BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Judicial Activism

advertisement
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kerangka Teori
1.
Judicial Activism Dalam Proses Peradilan
1.1.
Tradisi Peradilan Pra Modern dan Lahirnya Peradilan Modern
Dalam tradisi kuno, apa yang disebut peradilan1 sangat mengandalkan pada
kekuasaan yang tidak terbagi-bagi “totalitarianisme”. Peradilan dalam tradisi-tradisi
awal kehidupan manusia dikendalikan melalui pendekatan status “rules of status”.
Ini berarti bahwa apa yang adil ditentukan oleh siapa yang memegang kendali
kekuasaan yang pada awalnya memang lebih bersifat fisik dan absolut. Status
penguasa diberikan kepada figur-figur yang kuat secara fisik yang ditunjuk sebagai
pemimpin gerombolan masa komunitas tersebut. Dalam pendekatan status, peradilan
dipegang oleh penguasa fisik yang sering direpresentasikan oleh seorang “hakim”
yang kerap bertindak sekaligus sebagai polisi dan jaksa. Mereka yang kuat secara
fisik selalu menjadi pemenang dalam pertarungan di Pengadilan. Oleh karena itu,
tidak mengheranan pribadi atau kelompok yang pernah disakiti ini melakukan
pembalasan dendam berdarah “bloedwraak” terhadap pribadi atau kelompok lainnya.
Tradisi inilah yang digambarkan dalam naskah hukum disebut sebagai tradisi main
hakim sendiri “eigenrichting”. Tradisi eigenrichting adalah tradisi hukum rimba yang
menempatkan kekuatan otot (fisik) di atas rasio. Tradisi eigenrichting sendiri
1
Istilah peradilan dan pengadilan berasal dari kata dasar adil yang memperoleh imbuhan dan awalan
(prefiks) pe dan per serta akhiran (sufiks) an. Di kalangan para sarjana terdapat silang pendapat dalam
memberikan dan mempergunakan istilah pengadilan dan peradilan. Pendapat yang membedakan
pengadilan dengan peradilan mengatakan bahwa pengadilan merupakan terjemahan dari rechtbank
atau court maksudnya menunjuk pada wadah, badan, lembaga atau institusi. Sedangkan peradilan
merupakan terjemahan dari rechtspraak atau judiciary digunakan untuk menunjuk fungsi, proses atau
cara memberikan keadilan seperti dilakukan pengadilan, dalam SF Marbun, op.cit., hlm. 50.
2
dibenarkan dalam peradilan-peradilan primitif. Tradisi eigenrichting dalam peradilanperadilan kuno tersebut dibenarkan atas dasar tujuan emosional2.
Upaya untuk mengakhiri tradisi “eigenrichting” dalam sistem peradilan dan
sistem hukum pada umumnya, tercatat sebagai prestasi tersendiri dalam perjalanan
sejarah hukum. Apabila mengikuti teori Maine, peralihan tradisi ini sudah membawa
hukum ke dalam perimbangan kepentingan dalam bentuk kontrak. Selanjutnya John
Gilisen dan Frits Gorle3 menyatakan larangan eigenrichting seiring dengan
pengukuhan kebiasaan-kebiasaan sebagai instrumen dalam upaya penyelesaian
perselisihan dan pendirian badan-badan peradilan primitif.
Padahal hukum dalam arti paling hakiki adalah upaya rasionalitas terhadap
kekuasaan fisik. Sebagaimana Max Weber menggunakan ukuran tingkat rasionalitas
dalam mengkonstruksi hukum. Tingkat rasionalitas sebuah masyarakat akan
menentukan warna hukum dalam masyarakat itu. Weber membagi tiga tingkat
rasionalitas yakni substantif-irasional, substantif dengan sedikit kandungan rasional
dan rasional penuh. Pada saat peradaban manusia masih sangat sederhana (primitif),
sistem peradilannya sangat kuat
menampilkan sisi-sisi irrasional. Hukum hanya
berupa intuisi, tanpa aturan. Pada tipe yang substantif dengan sedikit kandungan
rasional (berupa aturan umum yang serba informal). Tipe ini dimiliki oleh masyarakat
yang bertopang pada adat dan kebiasaan tradisional. Sedangkan ketika peradaban
mulai maju (sebagaimana masyarakat di dunia Barat saat itu) maka sistem peradilan
makin menunjukkan sisi-sisi rasionalitas. Hukum mengambil sosok dalam bentuk
aturan-aturan rinci, khusus dan terkodifikasi .
Ada tiga macam acara yang menandai prosedur hukum yang primitif
sebagaimana dikemukakan oleh Weber yaitu Pertama, ada peradilan lynch
keagamaan (penghukuman tanpa didahului pemeriksaan pengadilan dan biasanya
2
Shidarta, Tradisi Peradilan Pra-Modern, dalam Pendulum Antinomi Hukum, Shidarta dan Jufrina
Rizal (ed), Genta Publishing, Yogyakarta, 2014, hlm. 58
3
Ibid. hlm. 60
3
pidana mati). Kedua, ada tata cara perdamaian antara kelompok-kelompok yang
bertali persaudaraan (cikal bakal dari penyelesaian perdata). Ketiga, ada arbitrase
dalam pertikaian oleh kepala rumah tangga yang tidak diikat oleh batasan-batasan
atau prinsip-prinsip resmi (asal mula hukum administrasi) . Pendekatan prosedur
beracara pada era primitif terlalu ketat dan formalistis. Maksudnya adalah yang
diutamakan adalah kebenaran formal belaka karena pembuktian-pembuktian yang
diajukan pada akhirnya harus dipulangkan pada penilaian sepihak dari hakim yang
biasanya dirangkap oleh si pemegang kekuasaan.
Sistem peradilan primitif sebagaimana digambarkan oleh Weber disadari
mempunyai banyak kelemahan. Pada masa itu muncul dua kubu pemikiran antara
Socrates (469-399) dan kaum sofis yang antara lain diwakili oleh Protagoras (480411 SM) dan Gorgias (480-380). Socrates meyakini ada kebenaran objektif, tapi
sebaliknya dengan Protagoras dan Gorgias. Menurut Protagoras, manusia adalah
ukuran kebenaran dan kebaikan. Gorgias bahkan lebih jauh lagi berpendapat bahwa
kebenaran bukanlah utama. Menurut Gorgias yang utama adalah kemampuan
meyakinkan (retorika). Puncak dari perikaian di atas adalah apa yang disebut dengan
peradilan Socrates. Socrates dituduh meracuni pikiran orang-orang muda Athena oleh
Meletus dan orator Lycon. Kemudian Socrates dibawa ke pengadilan Agora (Court of
the Heliast). Peradilan model ini sudah mengenal sistem juri sejumlah antara 200
orang hingga 2.500 orang. Saat itu ada 500 juri yang memberikan suara dalam kasus
Socrates. Sebanyak 280 orang menyatakan bersalah dan layak dihukum sedangkan
sisanya 220 orang menyatakan Socrates tidak bersalah .
Sistem peradilan juri inilah yang selanjutnya berkembang di dalam lingkungan
sistem hukum Anglo saxon dan Anglo America. Sementara di wilayah Eropa
Kontinental, sistem juri telah ditinggalkan akibat pengaruh hukum Romawi yang
datang kemudian. Dalam rangka mempertahankan wilayah kekuasaannya yang sangat
luas, Romawi menerapkan sentralisme pemerintahan. Oleh karena itu kodifikasi dan
unifikasi hukum diperkenalkan, sehingga lahirlah kitab-kitab hukum yang menjadi
4
cikal bakal legislasi ala Eropa Kontinental. Pemerintahan termasuk sistem peradilan,
masih dijalankan melalui gaya aristokrat. Para hakim (praetor) memegang kekuasaan
tunggal untuk menafsirkan fakta dan hukum serta menjatuhkan sanksi menurut
pemikirannya sendiri.
Model peradilan Gaya Romawi tersebut sudah mengalami modifikasi dari waktu ke
waktu, namun sisa-sisa penerapannya dengan memberi kekuasaan paling besar
kepada hakim masih dijumpai dalam sistem peradilan Eropa Kontinental. Hakim
adalah orang yang dianggap paling tahu hukum (asas ius curia novit). Sebagai
konsekwensinya, hakim tidak boleh menolak untuk menerima suatu perkara dengan
alasan tidak ada hukum yang mengaturnya (asas non-liquet).
Seiring dengan pertambahan anggota komunitas, ukuran status fisik mulai
berubah. Pengakhiran tradisi eigenrichting menunjukkan suatu perkembangan dalam
sejarah sistem peradilan umat manusia. Pengendalian kekuasaan mulai dibagi-bagi
berdasarkan konsensus dan mengarah pada pertimbangan fungsional. Sebagaimana
dikatakan oleh Emile Durkheim, dikatakan bahwa pola interaksi sosial demikian
adalah solidaritas organis, mengganti pola solidaritas mekanis yang muncul pada era
primitif. Sebagaimana Durkheim4 membangun teorinya tentang hukum di bawah
tema “pembagian kerja” yang tercermin dalam judul karya utamanya : “De la division
du Travail” sebagai berikut :
He made a distinction between two types of such social solidarity or cohesion:
1. Mechanical soidarity
– which he said was to be found in small-scale
homogeneous societis. Here, he believed, most law would be o a penal and
repressie nature, since te entiretty of society woud take an interest in
criminal activity and wouls seek to reprress and deter it.
4
Cavendish Law Cards, Jurisprudence, Cavendish Publishing Limited, Great Britain, 1997, hlm. 128
5
2. Organic solidariy – to be found in more heterogeneous and differentiated
societies where there is a greater division of labour. In such societies there is
less of a common societal reaction to crime and the law becomes less
repressive and more restitutive.
Henry S. Maine menyebut perubahan tersebut sebagai pergerakan dari status
ke kontrak atau “movement from status to contract”. Teori Maine tidak lepas dari
telaah studi perbandingan mengenai perkembangan sistem hukum yang bervariasi di
berbagai belahan dunia. Dalam kondisi yang masih statis, hukum bersumber dari
perintah pribadi yang dikeluarkan para penguasa yang konon berasal dari ilham ilahi,
serta keputusan-keputusan dari minoritas kaum bangsawan yang merumuskan adatistiadat menurut hukum. Kemudian disusul era kitab undang-undang tapi masih tetap
didominasi oleh ketergantungan hubungan berdasarkan status. Perkembangan ke arah
kontrak muncul bersamaan dengan kesadaran untuk meninggalkan secara bertahap
ketergantungan berdasarkan status. Sebagai gantinya tumbuh kebebasan berkehendak
dan bergerak5. Hal inilah yang dikemudian hari diadopsi oleh J.J. Rousseau dengan
kontrak sosialnya.
Sebagaimana dikemukakan di atas, peradilan pun dalam tradisi-tradisi awal
kehidupan manusia dikendalikan melalui pendekatan status dan akhirnya berganti
kepada pendekatan kontrak. Dalam pendekatan status, peradilan dipegang oleh
penguasa fisik yang sering direpresentasikan oleh seorang hakim tunggal yang kerap
bertindak sekaligus sebagai polisi dan jaksa. Mereka yang kuat (secara fisik) selalu
menjadi pemenang dalam pertarungan di pengadilan. Dengan demikian, peradilan
pada masa paling awal peradaban manusia dilakukan untuk mencari keadilan punitif
belaka atau lebih lazim disebut keadilan vindikatif (justicia vindicativa).
5
Dalam Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 104
6
Penguasa-penguasa dalam peradaban kuno sudah memandang perlunya
mengkaitkan kekuasaan yang dimilikinya dengan kekuasaan mistis supranatural.
Dengan demikian dalam Kitab Hammurabi menggunakan pelbagai teori teokrasi
untuk mendukung pembenaran-pembenaran tindakan penguasa. Dalam hal ini
penguasa menjalankan kekuasaannya atas dasar kekuasaan yang diberikan oleh para
dewa atau Tuhan. Peradilan pun dianggap menjalankan fungsinya atas
nama
kekuasaan supranatural tersebut6.
Sistem peradilan dewasa ini tidak terlepas dari akar tradisi Barat 7.
Sebagaimana dalam sejarah pembabakan filsafat hukum, masa masuknya pengaruh
Barat seringkali dijadikan indikator zaman baru (modern) bagi negara yang
bersangkutan. Misalnya di India memulai zaman modernnya pada tahun 1757 yakni
terhitung sejak masuknya bangsa Inggris ke negeri tersebut. Sementara zaman
modern di Cina baru dimulai sekitar tahun 19008.
Dalam sistem peradilan yang paling sederhana, figur di pengadilan cukup
berpusat pada hakim yang notabene adalah juga penguasa politik. Sistem peradilan
demikian juga sangat mengandalkan sifat kharismatik sang hakim. Sebagaimana
Weber membagi tiga tipe otoritas yang niscaya terdapat dalam masyarakat manusia
sebagai berikut :
“He saw law as going through three ideal stages of development :
Dalam naskah akhir Kitab Hammurabi terdapat kalimat : “Hammurabi raja hukum, yang kepada
Syamsy telah menganugerahkan undang-undang”. Pandangan ini nampaknya masih tetap melekat
dalam banyak sistem peradilan di berbagai negara hingga saat ini dalam Shidarta, Tradisi Peradilan
Pra-Modern, op.cit., hlm. 58
7
Walaupun peradaban timur sudah lebih dahulu berkembang dengan adanya budaya bangsa Mesir
sekitar abad ke-28 dan 27 SM jauh sebelum bangsa Romawi yang baru mulai pada abad ke-6 dan 5
SM, ibid., hlm. 55
8
Portugis sebagai bangsa Barat pertama yang hadir disana, sudah masuk dan menetap di wilayah
Macao sekitar tahun 1500. Rupanya akses kebudayaan Barat di Cina tidak semudah akses di India,
ibid.
6
7
1. Charismatic – where leality arises from harismatis revelation- ie as a grift of
grace – through ‘law prophets’, who are rulers believed to have
extraordinary personal qualities. The law which they propound is supported
by an administrative apparatus of close aides or ‘disciples’
2. Traditional – where charisma may become institutionalised through descent
and the law-making powers pass to a successor. Law is then supported by
tradition and inherite status as in the case of new monarchies
3. Rational – where there is a ‘systematic elaboration of law and
professionalised administration of justice by persons who have received their
legal training in a learned and formally logical manner’. In this case the
authority of law is based on the accepted legitimacy of the law-givers, rather
than on charisma. There is a rationalised legal order which dominates in an
empersonal fashion”9.
Masing-masing tipe otoritas tersebut, menentukan model penyelenggaraan
hukum (baik law-making, law-finding, maupun law-enforcement). Dalam rezim
otoritas kharismatik, tidak terdapat pembuatan hukum. Namun yang ada hanyalah
penemuan hukum lewat intuisi dan bisikan supranatural. Akibatnya penerapan hukum
hanya mengandalkan kebijaksanaan etis moral yang unik dari tokoh kharismatik.
Oleh karena sifatnya sangat individual dan penuh misteri, bisa jadi penerapan hukum
didasarkan
pada
emosi,
intuisi
dan
rasa
pribadi
sang
pengadil.
Weber menyebutkan keadilan yang dikejar dalam sistem seperti ini sebagai keadilan
kadi atau keadilan Solomonian. Peradilan kadi10 adalah peradilan yang sangat arbiter
9
Cavendish Law Cards, op.cit., hlm. 127
Khadi justice adalah istilah yang diperkenalkan oleh Max Weber untuk sistem peradilan yang
dilaksanakan oleh umat Islam sejak zaman khulafa’ar-rasyidin dan mulai sedikit demi sedikit
ditinggalkan ketika datang era stagnasi fikih bersamaan dengan tertariknya sebagian umat Islam
kepada
sistem
peradilan
modern.
Dalam
transliterasi
Arab-Indonesia
10
8
dan karena itu juga dinilai sebagai peradilan yang paling tidak rasional. Putusanputusan peradilan ini sepenuhnya dipercayakan kepada kearifan sang pengadil, tanpa
dirasakan perlunya untuk dikontrol oleh keniscayaan sistem 11.
Peradilan tipe kedua ialah peradilan empirik. Weber mengatakan bahwa
peradilan ini terbilang peradilan yang lebih rasional, sekalipun belum sepenuhnya.
Dalam peradilan empirik ini, sang hakim memutus perkara dengan cara beranalogi;
keputusan-keputusan terdahulu dalam perkara-perkara serupa dicoba dicari dan
dirujuk, untuk kemudian ditafsir guna menemukan relevansinya dengan perkaraperkara yang tengah ditangani. Sedangkan peradilan dalam hukum modern adalah
peradilan yang harus dinilai paling rasional. Sebagaimana definisi Weber bahwa
peradilan rasional adalah peradilan yang bekerja atas dasar asas-asas dan kerja sebuah
organisasi birokrasi yang hasilnya
memiliki daya berlaku yang universal, tidak
seperti halnya peradilan kadi dan peradilan yang sifatnya lebih partikularistik.
Menurut Weber pula, hukum barat yang berkembang sejauh ini adalah hukum yang
paling rasional, ditangani oleh ahli-ahlinya yang profesional di bidang kehakiman dan
kepengacaraan. Dalam perkembangannya, hukum Barat yang modern itu akan kian
terlembagakan melalui proses-proses birokratisasi yang berlangsung ditubuh aparataparat negara, dan dengan begitu juga kian rasional sifatnya, dengan isi keputusankeputusan yang boleh didugakan kelugasan dan kepastiannya 12.
Koridor kekuasaan demikian longgarnya, sehingga lama-lama disadari bahwa
tanpa ada pembatasan, kekuasaan itu mudah disalahgunakan. Menyerahkan hukum ke
tangan hakim yang lalim pada hakikatnya sama saja dengan membawa hukum di
tangan penyamun yang “main hakim sendiri”. Upaya untuk mengakhiri tradisi main
istilah tersebut ditulis dengan Qadi Justice. Para ahli sosiologi hukum di Indonesia menyebut sebagai
Peradilan Kadi, Mukhtar Zamzami, Mencari Jejak Hukum Progesif Dalam Sistem Khadi Justice,
dalam Varia Peradilan Tahun XXIV No. 286 September 2009
11
Bernard L. Tanya, dkk, op.cit., hlm. 123
12
Ibid. hlm. 124
9
hakim sendiri atau eigenrichting13 dalam sistem peradilan dan sistem hukum pada
umumnya merupakan peralihan tradisi membawa hukum ke dalam perimbangan
kepentingan dalam kontrak. Sebagaimana menurut Henry S. Maine dengan teorinya
“Movement from Status to Contract”. Hukum hanyalah hasil ikutan dari kondisi
struktural (sosial-ekonomi) masyarakat. Wajah hukum akan berubah seiring
perubahan stuktur sosial-ekonomi masyarakat itu.
Perkembangan sistem hukum modern tidak dapat dilepaskan dari kelahiran
industrialisasi kapitalistik. Weber dalam bukunya “Wirtschaft und Gesellschaft”
melihat kapitalisme sebagai sebab terjadinya perubahan dalam tipe hukum tradisional
menjadi modern. Kapitalisme menuntut suatu tatanan normatif dengan tingkat dapat
diperhitungkan “calculability” yang tinggi sebagaimana berdasarkan penelitian
Weber terhadap sistem-sistem hukum yang ada pada waktu itu. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa hanya hukum modern yang rasional yang mampu memberikan
tingkat perhitungan yang dibutuhkan14.
Selanjutnya hukum semakin menampakkan karakteristiknya sebagai teknologi
pada hukum modern. Hukum modern dengan stukturnya yang rasional, prosedural
dan formil memungkinkan timbulnya penyakit teknologi pada lembaga pengadilan
yaitu teknologi untuk memenangkan perkara. Dalam hukum modern, pengadilan
menjadi mesin dan banyak orang telah menyerahkan nasibnya pada mesin-mesin
hukum tersebut. Hukum telah menjadi teknologi dan pengadilan menjadi mesin15.
13
Tradisi eigenrichting dibenarkan dalam peradilan-peradilan primitip yaitu sekitar 4.000 tahun yang
lalu yakni dalam kitab hukum tertua yang ditemukan dalam sejarah yaitu Kitab Hammurabi.
Hammurabi adalah raja Babilonia yang hidup sekitar tahun 1800 SM. Kitab Hammurabi dianggap
sebagai kitab hukum tertua di dunia, sekaligus menunjukkan pencapaian tingkat peradaban
Mesopotamia yang sudah sangat tinggi saat itu, dalam Sidharta, op.cit., hlm. 57
14
Widodo Dwi Putro, Kritik Proyek Justice For The Poor, dalam Jurnal Arena Hukum Volume 6
Nomor 2, Agustus 2012, Universitas Brawijaya : Malang, hlm. 149
15
Agus Rahardjo, Teknologisasi Hukum, dalam Jurnal Pro Justitia, Volume 28 Nomor 1, Universitas
Parahiyangan : Jakarta, hlm. 9
10
Sistem peradilan modern yang menempatkan fungsi peradilan terpisah dari
eksekutif, mengemuka setelah Charles Montesquieu (1689-1755) mengemukakan
konsep pemisahan kekuasaan “separation of powers”. Dengan demikian sistem
peradilan modern yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan baru lahir pada
abad 18 yang diakselerasi melalui pemikiran Montesquieu. Pemikiran Montesquieu
(bersama dengan John locke) memberi pengaruh besar pada para founders Amerika
terekspresi dalam Revolusi Amerika 1870. Dalam Konstitusi Amerika (1787)
memang sejak awal mensyaratkan adanya pemisahan kekuasaan mengikuti doktrin
Montsqueieu yaitu orang (penguasa) yang sama tidak boleh duduk dalam beberapa
tempat sekaligus. Oleh karena itu eksekutif (presiden) tidak boleh merangkap di
legislatif (konggres) dan yudikatif (mahkamah agung) demikian pula sebaliknya.
Gagasan pemisahan kekuasaan di Amarika Serikat didekati dengan konsep
saling kontrol “check and balance”. Masing-masing fungsi kekuasaan tadi membuat
pembagian agar satu sama lain tidak saling merampas kekuasaan atau menjadi
dominan. Dalam konteks Amerika Serikat, eksekutifnya tidak sekedar menjalankan
hukum melainkan juga diberi kekuasaan veto atas semua rancangan undang-undang,
ikut memilih para hakim dan pegawai peradilan, membuat perjanjian, memastikan
semua hukum dijalankan, memilih panglima tertinggi militer dan memberikan
amnesti. Legislatif juga diberi kekuasaan menyetujui semua hukum tingkat federal,
mengesahkan semua peradilan federal yang lebih rendah dan dapat membatalkan veto
presiden. Yudikatif diberikan kewenangan untuk menyidangkan kasus-kasus hukum
termasuk sengketa antar lembaga negara, serta menafsirkan undang-undang dan
konstitusi. Inilah yang dikenal dengan sistem pembagian kekuasaan “a system of
shared power” atau lazim disebut dengan istilah “division of power”. Gagasan
pembagian kekuasaan itu sendiri sebenarnya dapat dilacak sejak Aristoteles
memandang bahwa pembagian kekuasaan merupakan syarat bagi keteraturan negara.
11
Peradilan Administrasi Negara16 sebagai suatu lembaga yang lahir pada masa
perkembangan sistem hukum modern, telah dikembangkan berdasarkan kebutuhan
sistem hukum modern yang terdiri dari proses-proses formal. Proses formal ini
diantaranya birokrasi, administrasi, transformasi, maupun sub-sub sistem membentuk
jalinan prosedur yang merupakan jantung dari hukum. Sub sistem tersebut secara
sinergis membentuk satu jalinan sistem Peradilan Tata Usaha Negara, oleh karenanya
diantara sub sistem tersebut harus bersifat
integratif, dan tidak boleh bersifat
kontradiktif satu dengan yang lain17. Peradilan Tata Usaha Negara yang memiliki
otoritas untuk melakukan pengawasan yuridis terhadap perbuatan tata usaha negara
yang dinilai merugikan hak-hak warga masyarakat, tak lain merupakan konsekwensi
dari pemikiran yang dilembagakan mengenai perlunya pemisahan kekuasaan
tersebut18.
Kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara terkait dengan sejarah Peradilan Tata Usaha
Negara tidak dapat dilepaskan dengan Peradilan Administrasi Perancis atau paham
negara hukum “rechtsstaat” versi Eropa Kontinental yang merupakan cikal bakal
Peradilan Administrasi di sebagian besar negara-negara dunia. Pada waktu kerajaan
di bawah kekuasaan Raja Hugo Capet (kurang lebih tahun 967 AC) dibentuk lembaga
Curia Regis lebih nampak sewaktu Louis le Saint (1226-1270) memerintah yaitu
Curia Regis berperan sebagai pembantu Raja yang diberi wewenang : Pertama,
16
Terdapat berbagai macam istilah peradilan administrasi. Timbulnya bermacam-macam istilah
tersebut dimungkinkan akibat terjemahan dari administrative rechtspraak yang diterjemahkan antara
lain: peradilan tata usaha, peradilan tata usaha negara, peradilan tata usaha pemerintah, peradilan
administrasi, peradilan administratif, dan peradilan administrasi negara. Pada saat RUU dibahas di
DPR, penggunaan istilah ini telah memperoleh perhatian dan pembahasan yang cukup mendalam.
Masing-masing pihak mengemukakan alasannya dengan berbagai argumentasi sehingga pada akhirnya
diperoleh kesepakatan untuk mempergunakan istilah Peradilan Tata Usaha Negara, meskipun tidak
menutup kemungkinan untuk mempergunakan istilah Peradilan adminisrasi negara, lihat dalam SF
Marbun, op. cit., hlm. 53
17
Yos Johan Utama, Menggugat Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Akses
Warga Negara Untuk Mendapatkan Keadilan Dalam Perkara Administrasi Negara (Suatu Studi Kritis
Terhadap Penggunaan Asas-Asas Hukum Adminstrasi Negara dalam Peradilan Adminstrasi), dalam
Jurnal Ilmu Hukum Volume 10 Nomor 1 Maret 2007, Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta, hlm. 28
18
Willy Riawan Tjandra, op. cit., hlm. 76
12
memberikan nasihat kepada raja, ketika menetapkan kebijaksanaan berlakunya jenis
mata uang. Kedua, bertindak sebagai Mahkamah Banding terhadap putusan-putusan
hakim di daerah para feodal kecil19.
Pada masa monarki absolut, Curia Regis itu berubah menjadi Conseil du
Roi sebagai badan penasehat raja dalam masalah-masalah pemerintah, administrasi
dan keuangan. Pada saat Louis XIV memerintah, ke dalam Conseil du Roi
dimasukkan beberapa orang ahli yang menjalankan fungsi yang berbeda-beda dalam
beberapa formasi. Salah satu formasi itu disebut Le Conseil d’Etat prive oudes
parties yang diberi tugas yurisdiksional. Pada tahun 1789 pecahlah Revolusi Perancis
yang menentang kesewenang-wenangan raja. Rakyat menuntut persamaan hak dengn
tidak melihat kedudukan atau keturunan sehingga timbul semboyan liberte, egalite
dan fraternite (kebebasan, persamaan hak dan persaudaraan).
Pada tahun 1789 pecah revolusi Perancis, pada saat kekuasaan dipegang
oleh Napoleon Bonaparte yang terkenal dengan kodifikasinya yang disebut Code
Napoleon. Agar kesewenang-wenangan raja tidak terulang kembali, Napoleon
Bonaparte tahun 1799 mengubah lembaga Conseil du roi (dewan penasihat raja)
menjadi C’onseil d’Etat (Dewan Penasehat Negara). Dalam perkembangannya
Conseil d’Etat menjadi berfungsi ganda sebagai penasihat dan berfungsi yudikatif.
Akhirnya Conseil d’Etat berfungsi sebagai puncak dari lembaga peradilan
administratif/tribunal administratif.
Perkembangan Conseil d’Etat menjadi puncak dari badan-badan peradilan
administrasi yang muncul sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan menjalankan suatu
pemerintahan yang baik, merupakan suatu konsekwensi logis dari ketentuan hukum
dasar yang berlaku sejak Revolusi yang menjadi pemisah mutlak antar kekuasaan
19
Dahnial Khumarga, Persamaan Dan Nuansa Perbedaan Antara Corak Peradilan Tata Usaha Negara
Perancis, Belanda Dan Indonesia, dalam Jurnal Volume 01 No. 1 Juli 2001, Universitas Pelita
Harapan, hlm. 14 tersedia di http://dspace.library.uph.edu:8080/handle/ diakses pada Sabtu 4 April
2015 Pkl.17.05
13
eksekutif administrasi dengan kekuasaan yudikatif (Trias Politika dari Montesquieu).
Jadi di Perancis, lembaga peradilan administrasi banyak memegang peranan dalam
kehidupan ketatanegaraan sehari-hari. Fungsi peradilan administrasi ialah menangani
persoalan (hukum) yang terjadi antara pemerintah di satu pihak dengan warganya di
pihak lain. Hal ini juga merupakan fenomena yang biasa terjadi di beberapa negara
Eropa Barat bahkan di benua Afrika seperti Aljazair dan Maroko.
Kondisi serupa juga sudah membudaya di negara Belanda. Setelah 1848
dalam Grondwet Negara Belanda berdasarkan Pasal 163 ayat (2) ditentukan bahwa
sengketa wewenang antara administrasi dengan kekuasaan kehakiman akan diatur
dalam undang-undang. Ketentuan tersebut pada dasarnya sama dengan bunyi Pasal
165 Grondwet Negara Belanda tahun 1815. Namun ternyata Pasal 163 ayat (2) itu
dalam kenyataannya tidak pernah dilaksanakan. Sehingga sampai tahun 1887, Rajalah
yang berhak memutuskan segala perselisihan di bidang pemerintahan.
Namun selanjutnya kekuasaan raja itu menjadi terbatas sejak Grondwet
tahun 1887 karena wewenang memutus perselisihan tersebut diserahkan kepada Raad
van State. Untuk keperluan itu dibentuklah Komisi Negara tahun 1894 yang
menyebutkan perkara-perkara apa yang termasuk wewenang peradilan administrasi.
Selanjutnya karena Komisi Negara tersebut menimbulkan banyak badan yang
melakukan peradilan administrasi, maka pada tahun 1905 diajukan tiga Rancangan
Undang-undang yang isinya antara lain mengatur hukum acara administrasi dalam
buku Wet Boek van Administratieve Rechtsvordering. Oleh karena banyak timbul
pertentangan terhadap rancangan undang-undang tersebut di atas, akhirnya pada
tahun 1931 oleh J. Donner (selaku Menteri Kehakiman) dibentuk sebuah Komisi
yang disebut Komisi Koolen tahun 1932. Akhirnya rancangan undang-undang
tersebut ditarik kembali, hingga kemudian tahun 1947 dibentuk Komisi Negara yang
diketuai S.J.R. de Monchy. Komisi tersebut bertugas mencari dan menentukan
hakikat dari peningkatan perlindungan hukum terhadap penguasa tanpa mengubah
apa yang telah ada sebagaimana telah terdapat perlindungan hukum yang dilakukan
14
oleh hakim biasa, maupun melalui
badan-badan tertentu antara lain Raden van
Beroep, Ambtearengerechten dan raden van Boerop voor de Directe Belastingen.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa administratief beroep yang telah ada tetap
dipertahankan dan ternyata hasil Komisi de Monchy itu merupakan hasil Komisi
Koolen yang disempurnakan dengan memberikan klasifikasi bagi administratieve
rechtspraak20.
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa perkembangan Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia tidak terlepas dari keadaan di masa lampau yang memiliki nilai
historis yakni asal mula berdirinya lembaga peradilan administrasi di Perancis,
walaupun landasan berdirinya lembaga Peradilan Tata Usaha Negara
tersebut
berbeda. Peradilan Administrasi di Perancis didirikan sebagai akibat dari kekuasaan
raja yang absolut dan adanya kesewenang-wenangan raja sehingga menimbulkan
ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa/raja. Akhirnya raja membentuk lembaga
penasehat raja, yang pada mulanya memiliki tugas utama sebagai penasihat raja,
namun lama kelamaan akhirnya berfungsi ganda sebagai lembaga penasehat raja
sekaligus sebagai lembaga yudikatif. Sedangkan keberadaan lembaga Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia adalah sebagai tuntutan Negara Kesejahteraan “welfare
state” sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar RI 194521.
Perkembangan hukum tata usaha negara “administrative law” dan Peradilan
tata usaha negara di Amerika Serikat yang mempunyai tradisi common law, memang
sangat berbeda dari tradisi civil law di Eropa Kontinental. Lembaga peradilan
administrasi di Eropa berkembang dalam lingkungan sistem peradilan civil yang
dipandang sangat penting kedudukannya mulai abad ke-19. Sedangkan di Amerika,
lembaga ini berkembang dalam dan dari lingkungan badan-badan eksekutif. Oleh
20
Ibid., hlm. 16
Konsekwensi logis negera welfare state yaitu adanya campur tangan pemerintah yang begitu besar
terhadap segala kehidupan masyarakat. Campur tangan yang besar dari pemerintah tersebut seringkali
menimbulkan benturan kepentingan antara kepentingan umum dengan kepentingan warga negara
sehingga menimbulkan sengketa. Sengketa tersebut diatasi melalui lembaga Peradilan Tata Usaha
Negara, ibid., hlm. 19
21
15
karena pentingnya kedudukan lembaga peradilan administrasi negara di Eropa Barat
“administratieve rechtsspaak”, Julius Sahl merumuskan menjadi salah satu ciri
penting negara hukum “rechtspraak” dalam arti klasik. Menurut Stahl, negara yang
tidak memiliki lembaga peradilan administrasi negara, tidak dapat disebut sebagai
negara hukum “rechtsstaat”22.
Selanjutnya dalam tradisi “common law” di Inggris dan juga Amerika
Serikat tidak dikenal adanya lembaga peradilan tersendiri di bidang hukum
administrasi. Hal ini dikarenakan yang tumbuh dalam praktik adalah pelembagaan
fungsi-fungsi mengadili itu dalam lingkungan eksekutif pemerintahan melalui badanbadan yang menjalankan fungsi quasi-peradilan. “Quasi-judicial administrative
agencies” dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh badan administrasi negara
“an action by an administrative agency” dengan ciri-ciri dapat melakukan : (1)
Ascertain certain facts (2) Hold hearings (3) Weigh evidence (4) Make conclution
from the facts as a basis for their official action and (5) exercises discretion of a
judicial nature. Badan-badan administrasi semacam ini banyak sekali tumbuh di
Amerika Serikat. Upaya hukum lanjutan atau banding atas putusan “quasi-judicial
administrative agencies” tersebut biasanya juga tetap terbuka untuk dibawa ke
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum seperti “district court” sehingga
secara
praktis lembaga peradilan tata usaha negara tersebut tetap tidak dapat
dilepaskan dari dan merupakan bagian integral dari sistem peradilan pada
umumnya23.
1.2.Keaktifan Hakim (Judicial Activism)
Dalam Putusan Hakim
22
Jimly Asshiddiqie, Pengadilan Khusus, Tersedia di
http://jimly.com.makalah/namafile/126/PENGADILANKHUSUS_02.PDF.hlm.11 diakses 20 April
2015 Pkl. 22.00 WIB
23
Ibid.
16
Pengertian Judicial Activism24 adalah suatu filosofi dari pembuatan putusan
peradilan dimana para hakim mendasarkan pertimbangan-pertimbangan putusan,
antara lain pada pandangan hakim terhadap perkembangan baru atau kebijakan publik
yang berkembang dan sebagainya. Pertimbangan tersebut menjadi arahan bagi hakim
dalam memutus kasus karena adanya perkembangan baru atau berlawanan dengan
putusan-putusan sebelumnya dalam kasus yang sama. Istilah Judicial Activism sangat
populer
di
negara-negara
dengan
tradisi
common
law25.
Namun
dalam
perkembangannya juga dianut dalam negara-negara dengan tradisi bukan common
law26.
Pengertian judicial activism bisa dilihat dalam Black’s Law Dictionary27
sebagai berikut :
“Judicial activism as a philosophy of judicial decision-making whereby judges allow
their personal views about public policy among other factors to guide their
decisions…
24
Istilah judicial activism dikenal dalam doktrin common law Anglo Saxon dan sangat populer dalam
sistem ini. Sebagaimana istilah yang dikemukakan oleh James E. Bond bahwa :…”judicial restraint”
versus “judicial activism” or “non-interpretivist” versus “interpretivist”. Dalam sistem common law
dituntut ke”aktif”an hakim untuk pembentukan hukum dibandingan dengan legislatif. Apabila untuk
menyelesaikan suatu sengketa dirasakan bahwa hakim atau pengadilan harus menggunakan suatu
aturan baru atau mengubah suatu aturan yang lama, disitulah hakim menciptakan hukum “judge made
law” dengan kata lain putusan hakim adalah hukum.
25
Common law adalah hasil kerja para hakim sejak 1066 (mulai pemerintahan William the Conguoror)
dan baru tersusun lengkap selama kurang lebih tiga abad. Common law adalah hasil seleksi dari
hukum kebiasaan lokal masing-masing daerah dalam wilayah Inggris. Disebut common law karena
hukum yang disusun para hakim (dari berbagai hukum lokal) berlaku sama untuk seluruh wilayah
Inggris (unifikasi hukum tidak tertulis). Blackstone (commentaries) yang paling berjasa melakukan
kompilasi, klasifikasi dan menyusun secara sistematik common law sebagai sebuah sistem hukum.
Kompilasi Blackstone sangat berpengaruh dalam masa perjuangan kemerdekaan dan di masa awal
perkembangan hukum Amerika Serikat, dalam Bagir Manan, Judicial Precedent dan Stare Decisis
(Sebagai Pengenalan), Varia Peradilan No. 347 Oktober 2014, hlm. 2
26
Gu Peidong, A Study on Several Issues of Active Justice, China Legal Science 2010-04 Tersedia di
http://en.cnki.com.cn/Article-en/CJFDTOTA-ZGFX201004003.htm diakses pada hari Rabu 10
Januari 2014 Pkl. 20.30 WIB.
27
Http://en.m.wikipedia.org/wiki/judicial_activism diakses pada hari Minggu, 30 Agustus 2014 Pkl.
10.00 WIB
17
Judicial activism describes judicial rulings suspected of being based on personal or
political considerations rather than on existing law. It is sometimes used as an
antonym of judicial restraint ”
Terkait dengan pengertian judicial activism, Richard A. Posner dengan
mengutip pendapat Oliver Wendell Holmes menyampaikan bahwa hakim membuat
hukum (tidak hanya menemukan dan menerapkan hukum) :
“to resolve the dispute the court must create a new rule or modify a old one,
that is law creation. Judges defending themselves from accusations of judicial
activism sometimes say they do not make law, they only apply it. It is true that in our
system judge are not supposed to and generally do not make new law with the same
freedom that legislatures can and do; they are, in Oliver Wendell Holmes’ phrase,
confined from molar to molecular motions. The qualification is important, but the fact
remains that judge make, and do not just find and apply law 28.
Ronald Dworkin menyebut istilah Judicial Activism sebagai filosofi
pengambilan putusan sebagai berikut : I shall call these two philosophies by the
names they are given in the legal literature-the programs of judicial activism and
judicial restraint-though it will be plain that these names are in certain ways
misleading29.
Dalam negara dengan sistem hukum anglo saxon, istilah judicial activism sangat
populer. Hal ini terlihat dalam Judicial activism di India merupakan suatu kebutuhan
atau “the oxygen of the rule of law” :
28
29
Bryan A. Garner (ed), 2004, Black’s Law Dictionary, eighth edition, Thomson West
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, op. cit., hlm. 137
18
“Justice is the bread of the nation-it is always hungry for it. And, it is
wellknown that justice delayed is justice denied. The role of judicial activism in india
has been to rovide a safeguard to the common man and indigent aginst an intensive
system. This noble task, taken upon itself by the courts, has provided succour, relief
and requisite legal remedies to the needy and deprived, over the past few years of
judicial intervention and cementing”.30
Demikian halnya dengan Judicial activism di Amerika Serikat, juga dapat
dilakukan dalam rangka pengadilan melindungi kaum minoritas di suatu negara “The
origins of judicial activism in the protection of minorities. Judicial activism in
support of the rights and interests of Blacks no longer would rise the special
questions it once had.31
Judicial activism juga dikenal di China yang tidak menganut tradisi civil law dan
juga tradisi common law. Sebagaimana dikemukakan Kelik Wardiono32 bahwa sistem
hukum Cina berkembang menurut alur sejarahnya sendiri terlepas dari perkembangan
sistem hukum anglo saxon (anglo-american), maupun civil law (eropa-continental).
Meskipun pada titik tertentu terlihat adanya persinggungan di antara sistem-sistem
hukum tersebut. Akan tetapi sistem hukum Cina terbangun dengan pondasi sumber
30
Vikrant Pachnanda, The Judicial Shelter-Activism or Overreach ?, dalam India Law Jornal
http://www.indialawjournal.com/volume1/issue_1/judicial_hallow_activism.html diakses pada hari
Rabu 10 Desember 2014 Pkl. 23.10 WIB
31
Robert M. Cover, The Origins of Judicial Activism in the Protection of Minorities, The Yale Law
Journal, Volume 91 Number 7, June 1982, hm. 1287 diakses pada hari Rabu 10 Desember 2014 Pkl.
23.30 WIB.
32
Di sepanjang alur sejarah perjalanan model pembangunan hukum di Cina mengalami pergantian
antara suatu tatanan hukum berbasiskan undang-undang yang mendasarkan pada paham Marxismeleninisme dengan sistem hukum yang berbasis moral (etika umum) dengan mendasarkan pada
pendekatan tradisional Cina. Pada tahap akhir perkembangan Cina menganut kembali paham legalisme
tanpa mengingkari ideologi Mao dan menempatkan hukum secara subordinatif pada tujuan-tujuan
politik, Kelik Wardiono, Sistem Hukum Cina: Sebuah Tatanan Yang Terkonstruksi dalam Lintasan Li
dan Fa, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Volume 15 Nomor 1 Maret 2012, Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta: Surakarta, hlm.71
19
hukum, asas, lembaga dan pranata yang berbeda dengan sistem hukum lain di dunia
sehingga tampil sebagai sebuah sistem hukum tersendiri.
Demikian halnya dengan judicial activism juga terdapat dalam hukum Cina,
namun dalam pelaksanaannya berbeda dengan Judicial Activism di negara barat
(Amerika Serikat). Hal ini dikemukakan oleh Gu Peidong dalam “A Study on Several
Issues of Active Justice” sebagai berikut:
“As a judicial notion and practice, the Chinese style judicial activism has a
theoritical link with the western style judicial activism and has as well presented
some similar features as a phenomenon. Nevertheless, owing to the different political
and judicial systems in different states, the Chinese style judicial activism and
western style judicial activism is somehow different. In general. The chinese style
judicial ativism should be viewed as an unique from in the context of the worldwide
rule by law milieu. The western style judicial activism is coupled with judicial
independence, a more eager pursuit for the explicit rules of social behaviors and a
more mature proffesional judiciary. Therefore, different Chinese circumstances call
for a restrained judicial activism with a different model in practice. Meanwhile,
renovation and development is required and the corresponding safeguarding
mechanism needs to be established: firstly, a harmoniusly interactive relation
between judiciary and politics should be sought; secondly, a mechanism should be set
up for the effective supervision conducted by the higest judicial body over the lower
courts; thirdly, an effective and orderly internal judicial adjudicating mechanism
should be established”33.
Lebih lanjut Zhang Zhi melalui tulisannya menegaskan konsep keadilan di
China lebih ditekankan pada positive justice, sebagai berikut :
33
Gu Peidong, loc.cit.
20
“Judicial activism is an exotic phrase and it has the particular context and
implication, which is quite distinct from its use in China. Judicial activism
emphasized by chinese justice is on the basis of judicial duties fulfillment which is not
the expansion of justice and does not have normal constraint of judicial restrain.
Accordiningly, in terms of the general function from of Chinese justice the more
appropriate expression should be positive justice”34.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Yang Jianjun sebagai berikut :
“Fundamentalist sense of judicial activism refers to the core of the administration of
justice in the process of legislatived justice. The term judicial activism introduced to
China was given a lot of new meaning after then, the Chinese legal circles about the
understanding of what is judicial activism is diverse, very inconsistent, and most
people carried out according to their own understanding of elucidate many of them
accresion, distortions of the definition, or even incorrectly relaying erroneous
theories of the fallacy. Dynamic administration of justice in China, started there wa
not only inagequate theoritical foundation for the defects, are also facing a judicial
career and the judicial activism of the sharp conflict of contradictions. But the
transformation of social reality also demand that china must be accompanied by the
two tasks, i e. The full practice of judicial proffesionalism and the chinese-style
34
Zhang Zhi, The Function From of Chinese Justice: Judicial Activism or Positive Justice?, Journal of
Renmin University of China 209-06 Tersedia di http://en.cnki.com.cn/Article-en/CJFDTOTAZGFX20090010.htm diakses pada hari Rabu 14 Januari 2015 Pkl. 23.30 WIB.
21
judicial activism. Although there are many inadequacies, the emergence of judicial
activism question is still worthy of serious threatment”35.
Pelaksanaan judicial activism di Indonesia dilakukan dalam rangka
mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat sebagaimana dimuat dalam Pasal 5
ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang tersebut mewajibkan36 pada para hakim untuk menggali hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sudikno Mertokusumo menyampaikan
bahwa kata menggali diasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi, agar
sampai pada permukaan masih harus digali. Dengan demikian hukumnya itu ada
tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan. Sebagaimana Scholten mengatakan
bahwa “di dalam manusia itu sendirilah terdapat hukumnya”. Sedangkan setiap saat
manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya 37. Implementasi pasal
ini juga menjadi penting karena sejalan dengan adanya imbauan Carbonnier bahwa :
“Demikianlah senantiasa telah terjadi bahwa selama ribuan tahun, dituntut adanya
para hakim yang berpikir”38.
Terkait adanya kewajiban hakim untuk menggali hukum dan rasa keadilan
masyarakat dikarenakan hukum sebagai suatu skema dinamis yang terus bergerak.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Eugen Ehrlich39 bahwa titik berat perkembangan
35
Yang Jianjun, The Development of Judicial Activism in China, Journal of Northwest University of
Political Science and Law, 2010-01, Tersedia di http://en.cnki.com.cn/Article-en/CJFDTOTALDOUB201001008.htm diakses pada hari Rabu 14 Januari Pkl. 13.30 WIB.
36
Kata wajib mempunyai makna harus (1) melakukan, (2) harus melaksanakan, (3) sudah semestinya,
lihat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
2008.
37
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, ctk. Kelima, Liberty, Yogyakarta,
2007, hlm. 47.
38
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Juicialprudence)
Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), ctk. Kelima, Kencana, Jakarta, 2013, hlm.
479.
39
Hadi Suyoto, Komitmen Hukum Dan Kritik Legalisme Bagi Hakim, Varia Peradilan XXV No. 293
April 2010, hlm 65
22
hukum tidak terletak dalam perundang-undangan juga tidak dalam keputusan
pengadilan maupun ilmu pengetahuan di bidang hukum akan tetapi dalam masyarakat
itu sendiri. Selanjutnya Eugen Ehrlich menyimak bahwa kebiasaan yang hidup dalam
komunitas-komunitas lokal bisa saja hadir bersamaan dengan hukum resmi
diundangkan oleh negara, baginya hukum undang-undang negara itu selalu berkenaan
dengan masalah sengketa dan gugatan yang berakhir dengan jatuhnya putusan di
Pengadilan. Semantara itu hukum kebiasaan yang hidup dalam alam kesadaran rakyat
setempat itu lebih berkenaan dengan ihwal perdamaian dan gotong royong yang
signifikan dalam kehidupan sehari-hari.
Satjipto Rahardjo40 juga mengemukakan bahwa hukum bukanlah suatu skema
yang final “finite scheme” namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika
kehidupan manusia. Oleh karena itu hukum harus terus dibedah dan digali melalui
upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai
keadilan.
Konsep pengertian hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim
inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law yang demikian dipengaruhi
oleh suatu aliran filsafat pada peralihan abad ke 19-20 yaitu aliran filsafat Pragmatis.
Filsafat pragmatis merupakan aliran filsafat yang menekankan orientasi perhatian
terhadap kenyataan. Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam undangundang, melainkan apa yang dilakukan oleh aparat penyelenggara hukum, polisi,
jaksa, hakim atau siapa saja yang melakukan fungsi pelaksanaan hukum. Pencetus
pemikiran tersebut adalah Oliver Wendell Holmes (1841-1935) dalam karangannya
yang terkemuka The path of law. Menurut Holmes, seorang ahli hukum harus
menghadapi gejala kehidupan sebagai suatu kenyataan yang realistis. Yang
menentukan nasib pelaku kejahatan bukan rumusan sanksi dalam undang-undang
melainkan pertanyaan-pertanyaan dan keputusan hakim.
40
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2010, hlm. 1.
23
Selain Holmes, John Chipman Gray dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa
hakim-hakim Amerika bukanlah pribadi yang bebas anasir non hukum dalam
menjatuhkan putusan-putusannya. Selain unsur logika sebagai faktor utama
pengambilan keputusannya, mereka juga sangat dipengaruhi oleh subjektifitas
pribadinya, prasangka, dan unsur-unsur non logika lainnya. Asumsi Gray diperkuat
dalam berbagai alasan historis dengan menunjukkan besarnya pengaruh politik,
ekonomi dan kualitas individu hakim Amerika dan Inggris dalam memutuskan
perkara-perkara yang ditanganinya. Sebagaimana diungkapkan Oliver Wendell
Holmes bahwa hukum bukanlah closed logical system melainkan open logical
system.
“The life of the law has not been logic:it has been experience. The felt necessities of
the time, the prevalent moral and political theories, intuitions of public policy,
avowed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellowmen, have had a good deal more to do than the sylogism in determining the rules by
which men should be governed. The law embodies the story of a nations development
through many centuries, and it cannot be dealt with as if it contained only the axioms
and corollaries of book of mathematics”41
Holmes memaknai formalisme sebagai aliran yang menekankan cara berpikir
hukum yang formal dan logika-deduksi seperti matematika. Formalisme hukum tidak
dapat dilepaskan dengan ajaran Christopher Langdell pada akhir abad ke-19. Langdell
mendudukkan ilmu hukum termasuk dalam kelompok ilmu eksakta yang bekerja
seperti hukum-hukum fisika atas dasar hubungan sebab-akibat. Pola hubungan sebab
akibat itu dapat dipelajari di perpustakaan hukum dengan menganalisis kasus-kasus
seperti halnya fisikawan menggunakan laboratorium
41
Steven J. Burton, Judging in Good Faith, Cambridge University Press, New York, 1992, hlm. 3
24
Selanjutnya penegasan dari pemikir hukum realis lainnya adalah William James
yang menegaskan pentingnya penghindaran diri dari segala hal yang seolah-olah
berkesan mutlak dan asli. Perhatian hendaklah lebih diarahkan pada apa yang nyata.
Hal-hal yang sifatnya lebih ekstrem datang dari John Dewey dan Jerome Frank.
Menurut Dewey,
logika bukanah unsur tunggal dalam penciptaan hukum
(perwujudan hukum dalam kenyataan) melainkan sekedar petunjuk arah belaka.
Sementara Frank dengan metode psikoanalitisnya menegaskan bahwa untuk alasanalasan psikologis sebenarnya setiap perkara memerlukan penciptaan hukum sendiri.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa hukum diperlukan kehadirannya
untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Eksistensi hukum sangat diperlukan
dalam mengatur kehidupan manusia. Tujuan hukum adalah untuk melindungi
kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya. Dalam rangka
menegakkan aturan-aturan hukum, diperlukan adanya institusi yang dinamakan
kekuasaan kehakiman “judicative power”. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan
oleh badan-badan peradilan negara. Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa,
mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh
masyarakat pencari keadilan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bagir Manan42 :
“...that judges, individually and collectively, must respect and honor the judicial
office as a public trust and strive to enhance and maintain confidence in our legal
system. The judge is an arbiter of facts and law for the resolution or dispute and a
highly visible symbol of goverment under the rule of law”
...para hakim, baik perseorangan maupun bersama-sama wajib menghormati dan
menjunjung tinggi badan peradilan sebagai sebuah lembaga kepercayaan publik dan
berusaha sekuat-kuatnya membesarkan dan memelihara kepercayaan sesuai dengan
sistem hukum yang berlaku. Hakim adalah seorang arbiter baik menyangkut fakta-
42
Bagir Manan, Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim Sebagai Penjaga Kekuasaan Kehakiman
yang Merdeka, dalam Majalah Varia Peradilan No. 282 Mei 2009, hlm. 8
25
fakta atau hukum untuk menyelesaikan sengketa dan menampakkan diri sebagai
simbol utama negara berdasarkan hukum.
Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah
hakim. Soejono Koesoemo Sisworo mengemukakan bahwa tugas hakim dirumuskan
“paling anggun” yaitu alat kekuasaan yang merdeka yang menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia yang pada setiap keputusannya
wajib memuat kalimat kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhan-an Yang Maha
Esa”.
Dalam melaksanakan kekuasan kehakiman tersebut, hakim harus memahami
ruang lingkup tugas dan kewajiban sebagaimana telah diatur dalam perundangundangan. Setelah memahami tugas dan kewajiban selanjutnya hakim harus berupaya
secara
profesional
dalam
menjalankan
dan
menyelesaikan
pekerjaannya.
Profesionalitas seorang hakim dilaksanakan dengan peran aktif dari hakim melalui
pilihan pengambilan putusan yang menggunakan adanya keaktifan hakim (judicial
activism) dalam proses peradilan. Peradilan sebagai suatu proses harus terdiri atas
unsur-unsur tertentu yaitu: (1) adanya aturan hukum yang abstrak yang mengikat
umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan (2) Adanya suatu perselisihan
hukum yang konkrit (3) Ada sekurang-kurangnya dua pihak dan (4) Adanya suatu
aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan. Menurut Sjahran Basah
bahwa unsur-unsur peradilan itu lebih lengkap mencakup pula adanya hukum formal
dalam rangka penerapan hukum “rechtoepassing” dan menemukan hukum
“rechtsvinding” in concreto. Dengan demikian Peradilan adalah segala sesuatu yang
bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menurut hukum, menemukan hukum
26
in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan
menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal43.
Hukum dalam wujud putusan hakim hanya mengikat pihak-pihak tertentu saja.
Hal ini berbeda dengan hukum yang dibuat lembaga legislatif dalam wujud undangundang yang mengikat secara umum. Sehubungan dengan hukum dalam arti produk
lembaga legislatif dan hukum dalam arti putusan hakim memiliki kelebihan dan
kelemahan.
Undang-undang
lebih
menjamin
kepastian
hukum
sedangkan
kelemahannya adalah lamban dan statis. Sedangkan putusan hakim kadar
kepastiannya lebih rendah dibandingkan dengan undang-undang, tetapi kadar
elastisitasnya jauh lebih tinggi daripada undang-undang.
Anggota legislatif boleh membuat undang-undang apa saja berdasarkan
kewenangannya, tetapi pada akhirnya di tangan hakim tafsir yang menentukan arti
setiap frasa, setiap kata, setiap kalimat dalam rumusan perundang-undangan sehingga
undang-undang itu hidup, berkembang tidak ketinggalan zaman. Sebagaimana
Ronald Dworkin44 mengatakan bahwa setiap kali hakim memutus suatu perkara,
maka saat itu ia sedang berteori tentang apa hukum itu. Selanjutnya melalui putusanputusan hakim yang berkualitas dan kreatif dapat melakukan berbagai terobosan
hukum.
Terobosan hukum yang dilakukan oleh hakim menjadi penting karena
menurut R. Dworkin tidak semua kasus hukum yang komplek dan sulit atau hard
cases dapat secara langsung ditemukan jawabannya dalam hukum positif yang
tersedia. Dalam hard cases diperlukan kemampuan menganalisis, menginterpretasi
dan melakukan terobosan hukum untuk mendapat jawaban yang tersedia. Meskipun
demikian, para hakim bukan dan seharusnya tidak, menjadi pembuat hukum. Oleh
43
Nawa Angkasa, Analisis Kedudukan Dan Fungsi Yudikatif Sebagai Pemegang Kekuasaan
Kehakiman Dalam Sistem Negara Hukum Di Indonesia, dalam Jurnal Studi Keislaman No. 01 JanuariJuni 2013, hlm. 11
44
Dalam H.M. Fauzan, Merebut Kepercayaan Publik Terhadap Pengadilan, dalam Varia Peradilan
Nomor 266 Januari 2008, hlm. 53
27
karena itu bagi R. Dworkin tetap dibutuhkan teori yang lebih memadai untuk
menangani kasus berat. Apabila hakim tidak boleh membuat hukum sementara hakim
dihadapkan kasus berat, bagaimana terobosan hukum bisa dimungkinkan ? Dworkin
menjawab pertanyaan dengan memberi perbedaan yang jelas antara argumen prinsip
(argument of principles) dan argument kebijakan (argument of policies). Disebut
argument kebijakan ketika hakim berusaha mempertanggungjawabkan keputusan
dengan menunjukkan manfaat bagi komunitas politik secara keseluruhan. Sementara
argumentasi prinsip adalah argumen hakim yang membenarkan putusan karena pada
dasarnya menghormati atau melindungi hak-hak individu atau kelompok. Setiap
kasus baik
hard cases maupun clear cases pada hakikatnya unik sehingga
memerlukan interpretasi hukum yang baru atau dengan kata lain tidak pernah ada dua
perkara yang sepenuhnya serupa.
Para hakim bukanlah legislator karena tugasnya adalah melakukan ajudikasi
(adjudication) atau memeriksa dan mengadili. Tugas membuat undang-undang itu
ada dalam ranah legislasi. Kendatipun demikian pada akhirnya hakimlah yang
menentukan apa yang dikehendaki oleh undang-undang. Sebagaimana pendapat
Dworkin yang dikutip Satjipto Rahardjo, Hakim sesungguhnya juga “membuat
hukum” pada tingkatan lebih tinggi. Hal ini dikarenakan hakim memutuskan hukum
itu tidak dilakukan dengan membaca teks (textual reading) melainkan menggali
moral dibelakangnya (moral reading).
Hal ini juga terlihat dalam sejarah yang panjang bahwa hakim hanya menerapkan
hukum atau hakim hanya mulut undang-undang. Sebagaimana dikemukakan oleh
Mathias Klatt sebagai berikut :
Anglo-American Legal philosophy has long struggled with how to differentiate
legislation and adjudication. Traditionally, the judiciary is supposed to interpret and
to apply the law rather than invent and make new law, the latter task being
exclusively reserved for the legislature. This old ideal of the judges as ‘bouche de la
28
loi’ was rigidly adhered to in England, for example, during the ‘age of strict
literalism’, that is, between 1830 and 1950. The judiciary was seen as merely the
enforcing agent for decisions already made by the legislature. According to this view,
adjudication did not involve any creativity. Rather, it consisted of mere retrieval of
the ‘fixed’ meaning of a norm. This can be called the discovery model of judicial
interpretation, in which the accompanying literalist method of legal reasoning
exercises near-absolute predominance45.
Terkait hukum dalam arti undang-undang sebagai produk legislatif (produk
politik) sehingga perlu interpretasi dari hakim. Sebagaimana dikemukakan dalam
Ahmad Rifai46 bahwa bangunan sistem hukum Indonesia adalah undang-undang
sebagaimana dalam civil law system dimana hakim adalah pelaksana undang-undang
bukan pembuat undang-undang (hukum) sebagaimana yang dilakukan para hakim
yang menganut common law system, namun para hakim di Indonesia bisa melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding) melalui putusan-putusannya. Hal tersebut dapat
dilakukan sepanjang para hakim tidak boleh menabrak isi dan falsafah peraturan
perundang-undangan.
Interpretasi menjadi penting dikarenakan ada banyak kepentingan dalam proses
pembuatan undang-undang sebagaimana dijelaskan Antonin Scalia dan Bryan A.
Garner47 sebagai berikut : “…when necessary to achieve favorable consequences for
certain targeted groups of people, such as monorities, women, factory workers, the
poor, homeowners, busnesspeople, tenants, landlords, taxpayers, government
workers, children….”. Selain itu asumsi yang dibangun saat perumusan undang45
Mathias Klatt, Making The Law Explicit The Normativity of Legal Argumentation, Hart Publishing,
Oxford and Portland Oregon, 2008, hlm. 18
46
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, hlm. 129
47
Antonin Scalia & Bryan A. Garner, Reading Law: The Interpretation of Legal Texts, Thomson/West,
United States of America, 2012, hlm. 1
29
undang telah pula bergeser. Sebagaimana dikemukakan Harifin A. Tumpa 48 bahwa
suatu hukum positif selalu memiliki keterbatasan waktu, ruang dan keadaan.
Disinilah letak, fungsi dan peranan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan.
Penyimpangan terhadap suatu peran hukum yang telah ada dapat dilenturkan
penafsirannya. Hal ini sejalan dengan fungsi hakim wajib mencari nilai-nilai keadilan
dalam penerapan hukum yang bersifat progresif dan responsif. Namun suatu kaidah
hukum yang terjadi karena ada faktor-faktor yang eksepsionil tersebut di atas, tidak
dapat diartikan berlaku umum, seolah-olah menggantikan kaidah yang telah diatur
dalam undang-undang tersebut karena hakim bukan pembentuk undang-undang.
Kaidah yang terjadi secara eksepsionil tersebut hanya berlaku secara kasuistis.
Hakim mempunyai peranan mewujudkan total justice49 yaitu mendekatkan atau
menjembatani keadilan dan kepastian atau legal justice and moral justice yang dalam
praktik tidak mudah. Aharon Barak50 mengemukakan bahwa hakim yang baik adalah
hakim dengan legitimasi yang dimilikinya mampu membuat dan menciptakan hukum
lebih dari sekedar hukum yang dapat menjembatani hukum dengan masyarakatnya
yaitu :
“A good judge, is a judge who, within the bounds of the legitimate possibilities at his
dispose, makes the law that, more than other law, he is authorized to make, best
bridges the gap between law and society and best protect the constitution and its
values”.
48
Harifin A. Tumpa, Problem Hukum Keluarga Antara Realita Dan Kepastian Hukum, dalam Varia
Peradilan Nomor 286 September 2009, hlm. 5
49
Cita ideal keadilan yang dikeluarkan pengadilan adalah apa yang digagas oleh Lawrence M.
Friedman yaitu Total Justice. Konsep tersebut sekaligus merupakan kritik terhadap sistem pengadilan
di Amerika Serikat yang dinilai terlalu banyak pengacara (to many lawyers) terlalu banyak hukum (too
much law) dan terlalu banyak perkara di pengadilan (to much litigation), Artidjo Alkostar,
Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Varia Peradilan Tahun XX No.
38 Juli 2005
50
Jimly Maruli, Dicari: Putusan Yang Progresif, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXV
No. 293 April 2010, hlm. 78
30
Oleh karena itu memerlukan kearifan dengan naluri yang tinggi serta hati nurani yang
jernih yang dapat diperoleh dengan pengalaman yang cukup, ilmu pengetahuan yang
luas disertai kejujuran.
Sebagaimana dikemukakan Mackenzie51 bahwa ada beberapa teori atau
pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan
putusan dalam suatu perkara, yaitu : Pertama, Teori Keseimbangan yaitu
keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan
kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara seperti adanya keseimbangan
yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan penggugat, kepentingan
tergugat. Kedua, Teori Pendekatan Seni atau Intuisi. Pendekatan seni dipergunakan
oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan lebih ditentukan oleh instink atau intuisi
daripada pengetahuan hakim. Ketiga, Teori Pendekatan Keilmuan. Titik tolak teori
ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan putusan harus dilakukan secara
sistematis dan penuh kehati-hatian. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam
peringatan bahwa dalam memutus suatu sengketa, hakim tidak boleh semata-mata
atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus diengkapi dengan ilmu pengethuan
hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang
harus diputuskannya. Keempat, Pendekatan pengalaman. Pengalaman dari seorang
hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara
yang dihadapi sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya seorang
hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan. Kelima,
Teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok pekara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan
putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk
51
Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 249 Bulan
Agustus 2006, Ikahi, Jakarta, 2006, hlm. 7
31
menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang bersengketa.
Keenam, Teori Kebijaksanaan. Teori ini dapat digunakan oleh hakim agar putusanputusan yang dijatuhkan dapat memenuhi dimensi keadilan yaitu keadilan formil dan
keadilan substantif sekaligus.
Keaktifan hakim (judicial activism) seorang hakim dapat dilihat dalam
perspektif behavioral jurisrudence52. Salah satunya adalah Richard A. Posner dalam
buku “How Judge Think” menyampaikan bahwa ada banyak faktor yang
mempengaruhi hakim yaitu yang sifatnya personal yaitu :
“Ringing changes on the political might seem to exhaust the possible nonlegalist
factors in adjudication. It does not begin to. The possible other factors (call them
personal) include personality traits, or temperament (and thus emotionallity at one
end of the temperament spectrum and emotional detachment at the other end) which
are more or less innate personal characteristics”53.
Selain faktor yang sifatnya personal juga dari faktor lembaga “Institutional
factors such as how clear or unclear the law is, salary and workload, and the
structure of judicial promotion also influence judicial behavior”. Selain itu dari
aspek penguasaan ilmu, Richard A. Posner54 menambahkan bahwa hakim ”bukan
profesor” dengan penguasaan ilmu yang umum tidak seperti professor dengan ilmu
yang khusus (spesialis) sebagai berikut : “…Realism about judges is sorely lacking
52
Studi ilmu hukum perilaku (behavioral jurisprudence) adalah suatu studi yang mempelajari tingkah
laku aktual hakim dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut dipeajari dalam interaksi dan
interelasi antara orang-orang yang terlibat dalam tahap-tahap dalam pengambilan keputusan tersebut
satu sama lain. Oleh karena itu, pusat perhatian bukan pada hukum tertulis dan putusan hakim yang
bersifat formal, melainkan pada pribadi hakim dan orang-orang yang terlibat dalam peranan-peranan
sosial tertentu dalam pengambilan keputusan hukum. dalam Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim
dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence)
Kasus Hakim Bismar Siregar, Citra Aditya, Bandung, 2007, hlm. 32
53
Richard A. Posner, How Judges Think, op.cit., hlm. 10
54
Ibid., hlm. 377
32
there. Law is taught as if judges were second class professors, professors manquélegal analysts lacking the specialized knowledge of the law professor”. Selanjutnya
dikatakan hakim bekerjanya seperti “komputer” (mesin) bahwa : “The motivations
and constraints operating on judges and the judicial mentality that results, are
ignored, as if judges were computers rather than limited human intellects navigating
seas of uncertainty…”.
Pola pikir hakim sebagai “pelayan mesin” yang demikian juga disampaikan
oleh Jerome Frank55 sebagai berikut :
“Hukum bukanlah mesin dan para hakim bukanlah pelayan mesin. Tidak pernah ada
dan tidak akan pernah ada seperangkat aturan yang sudah ditentukan dan ditetapkan
sama bagi seluruh masyarakat. Tindakan manusia bukanlah satuan matematis yang
sama; posisi perseorangan tidak bisa dihilangkan seperti dalam persamaan-persamaan
aljabar karena persamaan yang setara dikedua sisi bisa berubah. Hidup memberontak
terhadap semua usaha yang terlalu menyederhanakan hukum.Kasus-kasus baru akan
terus memberikan aspek-aspek baru…aturan-aturan abstrak yang sudah disusun itu
harus diubah dan disesuaikan, rumus-rumus yang statis dihidupkan”.
Pola pikir hakim atau Satjipto Rahardjo56 mengistilahkan cara berhukum
yang positif-legalistis sudah seperti mesin otomatis. Beliau mengutip pendapat Paul
Scholten yang menyebut sebagai “hanteren van logische figuren” Oliver Wendell
Holmes menyebut sebagai “ a book of mathematics”. Cara hukum demikian adalah
ibarat menarik garis lurus antara dua titik. Titik yang satu adalah (pasal) undangundang dan titik yang lain adalah fakta yang terjadi. Segalanya berjalan secara linier.
55
Jerome Frank, Hukum & Pemikiran Modern. ctk. Nusa Cendekia. Bandung, 2013, hlm. 179.
Terjemahan dari Jerome Frank, Law and The Modern Mind, Anchor Books Donbeday & Company,
Inc, New York, 1963, Penerjemah Rahmani Astuti.
56
Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif : Aksi Bukan Teks, dalam Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti
(ed) . Ctk.kedua. Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi. 2010. hlm. 3
33
Keaktifan hakim (judicial activism) menjadi penting dalam rangka mewujudkan
keadilan sebagaimana Satjipto Rahardjo dengan mengutip Paul Scholten bahwa
keadilan itu (memang) ada di dalam undang-undang, tetapi (masih) harus ditemukan
“het recht is in de wet, maar het moet nog gevonden waeden”.
Selain itu “judicial passivity” seorang hakim juga dari pola kerja seorang
hakim yang hanya (terbiasa) menerima perkara, sebagaimana Richard A. Posner57
sebagai berikut :…The curious judicial passivity that result from judges being
accustomed simply to decide whatever is brought to them to decide, rather than to
initiate anything …”.
Demikian juga H.L.A. Hart 58 yang mengemukakan bahwa :
“…sistem hukum sepenuhnya atau bahkan pada pokoknya terdiri atas peraturanperaturan.
Tidak
diragukan
lagi
bahwa
pengadilan
memang
mengemas
persidangannya selalu ada pilihan dengan kesan tertentu bahwa keputusan-keputusan
mereka adalah konsekuensi perlu dari peraturan-peraturan tertentu yang maknanya
pasti dan jelas…Dalam kasus-kasus yang paling penting selalu ada pilihan…..tradisi
bahwa hakim “memungut” dan “tidak membuat hukum” dan mereka menyajikan
keputusan-keputusan mereka seolah-olah semuanya itu adalah deduksi yang dibuat
secara lancar dari peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya tanpa ada campur
tangan untuk memilih di pihak hakim”.
57
Richard A. Posner. How Judges Think, hlm. 377
H.L.A.Hart. Konsep Hukum, ctk. Kelima, Bandung, 2013, hlm. 19, Terjemahan dari H.L.A. Hart,
The Concept of Law, Clarendon Press-Oxford, New York, 1977, Penerjemah M. Khozim.
58
34
Keaktifan hakim (judicial activism) perlu dilakukan melalui pertimbanganpertimbangan dalam putusan dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum
yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis. Para hakim diminta untuk
melakukan apa yang menjadi intisari fungsi yudisial. Apabila dilakukan dengan
benar, tugas hakim tidaklah mudah. Hakim harus menyeimbangkan kepentingankepentingan manusia yang saling bertentangan agar tercapai situasi sosial yang baik.
Dengan kata lain apabila kekuasaan hukum ini tidak dilaksanakan secara baik maka
masyarakat akan menderita59.
1.3.Putusan Hakim Yang Berkeadilan
Peradilan Administrasi Negara
adalah salah satu pilar penting dalam
pengejawantahan prinsip-prinsip negara
hukum
yang memberikan jaminan
perlindungan hukum yang cukup terhadap kekuasaan negara yang besar sebagai
konsekwensi welfare state. Dalam rangka memberikan perlindungan tersebut
dibutuhkan satu media atau institusi keadilan yang dapat digunakan sebagai akses
bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan60 tersebut. Lembaga pengadilan ini
secara simbolik telah menjadi wujud dari pemberlakuan hukum dan keadilan secara
nyata. Salah satunya adalah Pengadilan Tata Usaha Negara yang memberikan akses
keadilan bagi para pencari keadilan di bidang tata usaha negara 61.
59
Jerome Frank, op. cit., hlm. 180
Kata keadilan dalam bahasa Inggris adalah justice yang berasal dari bahasa latin iustitia. Kata justice
memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu (1) secara atibutif berarti suatu kualitas yang adil dan
fair (sinonimnya justness) (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan
yang menentukan hak dan ganjaran atau hukumnya (sinonimnya judicature) dan (3) orang yaitu
pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara dibawa ke pengadian
(sinonimnya judge, jurist, magistrate). Sedangkan kata adil dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab
al’adl yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan
cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan katakata yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm dsb. dalam Muchamad Ali Safa’at, Pemikiran Keadilan
(Plato, Aristoteles, dan John Rawls), Tersedia di http//safaat.lecture.ub.ac.id
61
Yos Johan Utama, Menggugat Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Akses
Warga Negara Untuk Mendapatkan Keadilan Dalam Perkara Administrasi Negara (Suatu Studi Kritis
Terhadap Penggunaan Asas-Asas Hukum Administrasi dalam Peradilan Administrasi, dalam Jurnal
60
35
Penegakan hukum administrasi dilakukan oleh hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara. Tugas pokok hakim Pengadilan Tata Usaha Negara adalah menerima,
memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan setiap sengketa tata usaha
negara yang diajukan kepadanya. Namun kadangkala fungsi lembaga Peradilan Tata
Usaha Negara dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat seringkali harus
berhadapan dengan diskursus pilihan antara keadilan dan kepastian hukum. Tidak
jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. Sebagaimana
dikemukakan Sudikno Mertokusumo62 bahwa hukum demikian bunyinya, maka harus
dijalankan (kepastian hukum) tapi kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan
dirasakan tidak adil lex dura sed tamen scripta hukum itu kejam, tetapi demikianlah
bunyinya.
Hakim dalam semua tingkatan menduduki posisi sentral dalam proses peradilan.
Dalam posisi yang sentral itulah diharapkan dapat menegakkan hukum dan keadilan.
Persoalan yang perlu diselesaikan oleh hakim adalah bagaimana keadilan yang
bersifat abstrak yang berisi nilai-nilai tertentu dapat dijadikan pegangan dalam
penerapannya. Pekerjaan untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan ke dalam
bentuk-bentuk konkrit sehingga diterima oleh masyarakat, merupakan pekerjaan para
penegak hukum terutama para hakim. Esmi Warassih63 mengemukakan bahwa hakim
diharapkan memiliki kemampuan menterjemahkan nilai-nilai keadilan dalam
persoalan-persoalan yang dihadapkan kepadanya melalui putusan-putusannya.
Penerapan konsep abstrak ke dalam rumusan-rumusan hukum dan
selanjutnya bagaimana penerapannya ke dalam masyarakat sering menimbulkan
persoalan khususnya persoalan yang menyangkut keadilan karena hukum merupakan
makna simbolik yang memerlukan interpretasi lebih lanjut. Oleh karena itu persoalan
keadilan pun yang dirumuskan orang tergantung dari sisi mana melihatnya.
Ilmu Hukum Volume 10 Nomor 1 Maret 2007, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, hlm.
26
62
Sudikno Mertokusumo, op.cit. hlm. 90
63
Esmi Warassih, op.cit., hlm. 18
36
Sebagaimana dicontohkan keadilan di bidang kekeluargaan tidak akan sama dengan
masalah keadilan di bidang pidana, bidang ketatanegaraan dan seterusnya, sehingga
wajah keadilan bersifat dimensional. Dalam negara Pancasila, konsep keadilan
hukum yang multidimensional tersebut dicakup dengan satu istilah yaitu Demi
Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keadilan disini memiliki arti yang
sempurna karena tidak hanya menyangkut pembagian sumber daya saja tetapi harus
merujuk pada persoalan akhlak64.
Hanya hakim yang baik65 yang diharapkan dapat menghasilkan putusan yang
berkualitas. Putusan hakim yang berkualitas merupakan cerminan kepiawaian dan
kemampuan hakim di dalam memutus perkara. Salah satu aspek yang harus dimiliki
seorang hakim dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya adalah
profesionalisme sebagaimana dikemukakan Roscoe Pond bahwa tidak berjalannya
penegakan hukum sebagaimana yang diharapkan, lebih banyak disebabkan karena
faktor sumber daya manusia, bukan karena faktor hukum itu sendiri. Hal ini sejalan
dengan Beijing Statement of Principls of the Independence of the Judiciary in the
Law Asia Region yang menetapkan bahwa sikap profesionalisme hakim dibangun
oleh tiga pilar utama yaitu nilai-nilai kecakapan (competence), kejujuran (integrity)
dan kemerdekaan (independence) yang dipergunakan menegakkan kebenaran dan
keadilan. Selanjutnya profesionalisme hakim diukur antara lain dari mutu
putusannya66.
Profesionalisme hakim dilihat dari sudut putusan yang dibuat akan dilihat
dengan melihat beberapa kriteria yaitu : Pertama, pengetahuan, penguasaan serta
64
Ibid, hlm. 19
Sebagaimana dikemukakan oleh Mustafa Abdullah bahwa terdapat banyak pandangan tentang
kiteria hakim baik antara lain, memiliki kemampuan hukum (legal skill), berpengalaman yang
memadai, memiliki integritas, memiliki kesehatan yang baik, mncerminkan keterwakilan masyarakat,
memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbahasa dan menulis,
mampu menegakkan hukum negara dan bertindak independen dan imparsial dan memiliki kemampun
administratif dan efisien dalam Laporan Penelitian Putusan Hakim Tahun 2007, Tersedia di
http://komisiyudisial.go.id
66
Ibid, hlm. 2
65
37
pengembangan secara sistematik, metodik dan rasional asas-asas, kaidah-kaidah,
dan/atau aturan-aturan hukum baik tingkat lokal, nasional, transnasional maupun
internasional serta pada tataran hukum dasar atau bidang-bidang hukum pada sektorsektor kehidupan manusia dalam putusan-putusan yang dibuat. Kedua: kemampuan
berpikir yuridik dari hakim yaitu kemampuan menalar (reasoning) dalam kerangka
tatanan hukum yang berlaku (baik dalam tataran lokal, nasional, transnasional
maupun internasional) untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam
pergaulan hidupnya dengan mengacu pada upaya mewujudkan cita-hukum
(rechtsidee) yang mencakup idea tentang kepastian hukum predikbilitas kemanfaatan
sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam masyarakat melalui kaidahkaidah hukum. Ketiga: kemahiran yuridik mencakup keterampilan, atau kemahiran
dalam menelusuri dan menemukan bahan-bahan hukum (legal materials),
kemampuan untuk menangani bahan-bahan hukum yang ada (penggunaan doktrin
dan yurisprudensi). Keempat, kesadaran serta komitmen profesional yang mencakup
upaya penumbuhan sikap, kepekaan dan kesadaran etik profesional khususnya
berkenaan dengan pembebanan profesi hukum sebagai profesi yang berorientasi pada
upaya mewujudkan keadilan dalam masyarakat serta profesi hukum sebagai profesi
yang terhormat “officium nobile”67.
Dalam rangka hakim membuat putusan yang berkualitas sebagaimana terurai di
atas,
pintu masuknya tetap melalui “teks” dalam hal ini undang-undang atau
kodifikasi sebuah regulasi. Namun hal tersebut hanyalah starting point bagi hukum
untuk mengelaborasi suatu perkara sehingga dapat ditempatkan pada “konteksnya”.
Penempatan “teks pada konteks” atau sebaliknya penyandingan “konteks ke dalam
teks” secara sederhana dalam persidangan disebut sebagai proses pembuktian perkara
dengan instrumen alat buktinya. Oleh karena sebuah regulasi hanya sebagai starting
point maka kewajiban hakim pada tahap berikutnya adalah mengintepretasikan
regulasi tersebut dengan tidak menutup kemungkinan terserapnya nilai-nilai dan
67
Ibid. hlm. 9
38
aspirasi serta opini yang berkembang dalam masyarakat. The laws in books akan
bersinggungan dengan the living law dimana putusan hakim ikut serta menentukan isi
dan arah perkembangan hukum Indonesia. Hakim dapat menggali dan menemukan
nilai-nilai hukum yang baik dan benar sesuai dengan Pancasila dan “according to the
law of civilized nation...”68
Adapun otoritas memutus perkara ada pada hakim sebagai pemegang
kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh konstitusi. Sebagaimana
diungkapkan Gerhard Robbes69 bahwa secara kontekstual ada tiga esensi yang
terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman,
yaitu : Pertama, hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan. Kedua, tidak
seorangun termsuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang
akan dijatuhkan oeh hakim dan Ketiga, tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi
hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. Terkait dengan putusan
hakim, Oemar Senoadji70 mengungkapkan bahwa putusan ibarat “mahkota” bagi
seorang hakim. Bagi seorang raja, mahkota merupakan lambang kewibawaan dan
kebesaran, bagi seorang hakim, putusannya merupakan lambang kewibawaan dan
kebesarannya. Antara putusan dan hakim merupakan dua hal yang tidak terpisahkan
karena putusan pengadilan adalah produk hakim maka putusan berkualitas
mencerminkan hakim yang berkualitas.
Kualitas seorang pemahat dilihat dari detail patung pahatannya. Jimly
Maruli71 mengemukakan bahwa kualitas arsitek diukur dari cita rasa bangun
ruangnya. Hakim dan karyanya yaitu putusan, tak dapat terus berdiam diri di menara
gading, teralienasi dari masyarakatnya. Tugas hakim dalam menciptakan putusan
68
Jimly Maruli, Dicari: Putusan Yang Progresif, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 293 April
2010, hlm. 81
69
Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Majalah Hukum Varia Peradilan, Edisi No. 249 Bulan
Agustus 2006, IKAHI, Jakarta, 2006, hlm. 5
70
Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hlm. 83
71
Jimly Maruli, op.cit., hlm. 83
39
yang progresif bukan hanya meng-gathuk-gathuk-kan pasal-pasal. Ada tugas yang
lebih mulia yaitu membuat putusan yang berkaidah pada asas mengadili menurut
hukum the law in books tetapi progresif pada masyarakat beserta stuktur
kehidupannya the living law dengan tetap menggerakkan kekuasaan kehakiman yang
bebas dan merdeka rechterlije organisatie.
Sejalan dengan hal tersebut, Busthanul Arifin 72 mengungkapkan bahwa tugas
hakim dalam mewujudkan keadilan tidak terlepas dari putusan yang dihasilkan.
Seorang hakim haruslah learned in law dan juga skilled in law yaitu selain
memahami benar-benar substansi dan arti hukum, juga dia harus terampil dalam
penerapan hukum itu. Di tangan hakim ilmu hukum menjadi applied science. Para
hakimlah yang memberi nyawa dan hidup pada pasal-pasal undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang terdiri dari huruf-huruf mati karena yang dihadapi
sehari-hari sebagai tugasnya adalah hubungan-hubungan hukum dari manusia yang
hidup dalam masyarakat yang terus berubah. Oleh karena itu hakim “are forever
condemmed for the rest of their lives to continue studying the law”.
Sebagaimana diungkapkan James C. Reymond73 bahwa teknik membuat putusan
yang baik adalah seni “art” bukan sekedar hanya ilmiah “science”. Oleh karena seni
maka seseorang dapat sepanjang hidupnya mengembangkan dan melalui proses
belajar senantiasa mengarah naluri keindahannya. Demikian juga James E. Bond
dalam bukunya yang berjudul The Art of Judging yang menyampaikan bahwa : ada
dua perbedaan styles of judging antara judicial craftsmen dan judicial statesmen
yaitu “Judicial craftsmen look backward for guidance : to the text of the constitution,
the original understanding of the text and historical experience. Judicial statesmen
look forward: to moral and political ideals and notions of the public good”.
72
dalam Busthanul Arifin, Sepanjang Jalan Kenangan Bersama Bismar Siregar, sang Hakim, Varia
Peradilan No. 282 Mei 2009, hlm. 67
73
Menurut Mr. Sutan Muhammad Syah bahwa putusan seorang hakim adalah suatu karya seni atau
karya budaya, ibid., hlm. 67
40
Tugas yang diemban oleh aparat penegak hukum sebagaimana dikemukakan
oleh Immanuel Kant74 merupakan “kewajiban kategoris” atau “kewajiban mutlak”
dan tidak mengenal istilah “dengan syarat”. Tugas adalah tugas, wajib dilaksanakan.
Pelaksanaan tugas hakim adalah dalam rangka “mendistribusikan” keadilan. Hakim
melalui penanganan suatu sengketa melaksanakan distribusi keadilan bagi negara atau
masyarakat, dan para pihak. Bagi pencari keadilan yang mendambakan keadilan
hukum terhadap perkaranya pada hakim maka putusan berkualitas adalah putusan
yang dapat mewujudkan keadilan atau putusan yang mencerminkan rasa keadilan
yang dapat dilaksanakan dan dapat diterima atau memuaskan pencari keadilan.
Persoalan keadilan75 sendiri tidak akan pernah selesai secara tuntas
dibicarakan orang, bahkan persoalan keadilan semakin mencuat seiring dengan
perkembangan masyarakat itu sendiri karena tuntutan dan kepentingan yang berbeda
bahkan bertentangan satu sama lain. Adapun perbedaan interpretasi dan pemahaman
terhadap norma hukum disebabkan perbedaan budaya hukum para pelaku
(stakeholders) baik penegak hukum, birokrat maupun warga masyarakat. Keadilan
memiliki ragam makna sebagaimana diuraikan M. Quraish Shihab 76 diantaranya : (1)
adil dalam arti sama. Persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak (2) adil
dalam arti seimbang. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang
didalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat
dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian (3) Perhatian terhadap hak-hak
individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian ini
didefinisikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberi pihak lain
74
Bernard L. Tanya. Penegakan Hukum Dalam Terang Etika. ctk. Pertama. Genta Publishing.
Yogyakarta. 2011. hlm. 25
75
Keadilan sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan, keserasian dan keselarasan yang
membawa ketenteraman di dalam hati orang yang apabila diganggu akan mengakibatkan kegoncangan,
Sukarno Aburaera, Menakar Keadilan Dalam Hukum, Makalah Pidato pada upacara pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Imu Huum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
pada hari Senin 6 November 2006 di Makasar, hlm. 56
76
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, ctk. Kedua,
Mizan, Bandung, 2013, hlm. 152
41
haknya melalaui jalan yang terdekat (4) Adil yang dinisbatkan kepada ilahi. Adil
disini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah
kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan
untuk itu.
Dalam The Encyclopedia Americana, Dictionary of Philosophy, makna keadilan
menjadikan definisi keadilan beragam pula. Pemahaman keadilan menjadi lebih jelas
apabila terlebih dahulu memahami hukum. Sebagaimana dikemukakan Esmi
Warassih77 bahwa pada hakikatnya hukum selalu mengandung nilai-nilai abstrak
yang menjadi dasar bagi hukum untuk mengatur perilaku manusia. Adapun yang
menjadi ukuran tidak cukup hanya memakai landasan yuridis saja melainkan perlu
dilengkapi dengan landasan filosofis dan landasan sosiologis.
Keadilan bukan
sesuatu yang dapat diperoleh hanya melalui proses penalaran atau logika saja
melainkan melibatkan seseorang secara utuh. Hukum memiliki dimensi nilai-nilai
etika moral yang mewujud dalam asas-asas hukum dan tertuang dalam norma-norma
serta terumuskan dalam aturan-aturan. Oleh sebab itu seorang hakim dalam
menjalankan tugasnya mencari kebenaan untuk menentukan kesalahan seseorang
tidak cukup hanya memakai landasan yuridis semata tetapi juga landasan filosofis dan
sosiologis.
Terkait dengan kewajiban hakim menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat Bagir Manan 78
menungkapkan bahwa ungkapan ini enak didengar namun dari teori hukum
sekalipun, bukan sesuatu yang mudah dipahami apalagi dalam praktik. Salah satu
indikator pelaksanaan kewajiban hakim memperhatikan nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat adalah upaya membuat putusan yang mampu
77
Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudan Tujuan Hukum (Proses Penegakan
Hukum dan Persoalan Keadilan), Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya, Semarang 14 April
2001
78
Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XX No.
238 Juli 2005, hlm. 12
42
memberi kepuasaan kepada para pencari keadilan. Dari sudut pandang mengadili
menurut hukum, upaya menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan dilakukan dengan menemukan hukum “rechtsvinding”.
Sebagaimana dikemukakan Paulus Effendi Lotulung 79 bahwa ada benang
merah dalam penegakan hukum oleh hakim melalui proses peradilan. Dalam
penegakan hukum, hakim menegakkan undang-undang, padahal menegakkan hukum
tidak semata hanya menegakkan undang-undang. Hukum dibuat tidak semata untuk
ditegakkan. Oleh karena putusan hakim tidak dijatuhkan di ruang hampa, melainkan
untuk memberikan keadilan. Penegakan hukum selain untuk mewujudkan
perlindungan hukum terhadap masyarakat sehingga ada ketertiban juga harus dapat
mewujudkan keadilan. Oleh sebab itu, dalam penegakan hukum diperlukan sensivitas
hakim terhadap rasa keadilan untuk menjembatani antara kepastian hukum dan rasa
keadilan tersebut.
Pelaksanaan tugas hakim dalam rangka memberi keadilan80 bagi masyarakat dan
pencari keadilan maka hakim dapat menggunakan kekuasaan yang luas sebagai judge
made law. Apabila perundang-undangan tidak mempunyai jawaban dan tidak pula
ada putusan pengadilan mengenai perkara yang sejenis yang akan diputuskan maka
hakim akan mencari jawabannya pada pendapat sarjana hukum. Jika pendapat ahli
hukum tidak diketemukan untuk dijadikan pedoman oleh hakim untuk memutus
perkara maka hakim dibenarkan untuk menemukan hukum dengan jalan interpretasi
dan konstruksi hukum, kalau perlu mengadakan contra legem terhadap pasal-pasal
peraturan perundang-undangan yang telah ada dan hakim dapat menjawab segala
masalah hukum baru yang muncul.
79
Paulus Effendi Lotulung, ibid. hlm. 87
Yang ditegakkan hakim (sebagai aparat penegak hukum dan keadilan) adalah dua nilai yang satu
dengan yang lain tidak dapat dipisah-pisahkan yang itu hukum dan keadilan. Dengan kata lain bahwa
keadilan itu merupakan salah satu unsur konstitutif dari (hakekat pengertian) hukum. lihat dalam
Soejono Koesoemo Sisworo, op.cit. hlm. 5
80
43
Contra legem sebagaimana diuraikan diatas adalah putusan pengadilan yang
mengesampingkan, tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan
bertentangan dengan pasal undang-undang, sepanjang pasal undang-undang terebut
tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat. Sebagaimana
pemikiran critical legal studies maka hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik
dan hukum tidaklah netral serta bebas nilai. Dengan kata lain hukum sejak pembuatan
hingga pemberlakuannya selalu mengandung pemihakan-pemihakan atau hukum
sering disalahgunaan terutama untuk mempertahankan status quo dan kepentingankepentingan kelompok tertentu. Apabila hakim menemukan pasal-pasal demikian
maka dengan dikesampingkan pasal-pasal tersebut bahkan putusan yang dijatuhkan
bertentangan dengan pasal-pasal tersebut demi terciptanya keadilan81.
Salah satu alasan pentingnya judicial activism dalam penyelesaian sengketa
tata usaha negara berlakunya asas dominis litis yakni hakim aktif dalam proses
persidangan dalam rangka untuk menemukan kebenaran materiil. Penerapan asas
dominus litis pada gilirannya memungkinkan hakim menyimpang asas larangan ultra
petita dalam putusan yaitu hakim dapat menjatuhkan putusan terhadap hal-hal yang
tidak diminta (dituntut) oleh penggugat yang justru merugikan atau mengurangi
kedudukan atau kepentingan hukum penggugat yang dinamakan reformation in peius.
Pengertian Reformatio in peius adalah diktum putusan yang justru tidak
menguntungkan penggugat82. Adriaan Bedner mengartikan reformation in peius
yaitu :
“Reformatio in peius means that a citizen appeals against a decision-either at the
instance which issued the decision, a special instance for administratie appeal of the
administrative court-and that the outcome of the appeal puts him in a worse situation
81
Dasar hakim bertindak contra legem dalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 2 (1) Undang-undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
82
Buku II Mahkamah Agung RI tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata
Usaha Negara, 2009, hlm. 82
44
than he was before appealing. For instance, the decision is that he has to pay a
retribution of 100 euros and then the appellate institution finds that he must pay 200
euros. This is not allowed in the Netherlands, unless it concerns an appeal to the
authority that issued the original decision”83.
Kendati demikian, harus diperhatikan bahwa reformation in peius84 hanya diterapkan
apabila dinyatakan oleh undang-undang yang memungkinkan.
Sudah seharusnya hakim tidak terbelenggu oleh sekat-sekat formalitas
sepanjang demi satu tujuan yaitu Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Irah-irah tersebut mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan
keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia
dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencari keadilan. Pengertian
keadilan mempunyai banyak makna. Keadilan sebagaimana dikemukakan Bismar
Siregar85 bukanlah keadilan hukum (undang-undang) melainkan keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dikatakan karena keadilan hukum sifatnya nisbi
atau relatif karena buatan manusia yang memiliki keterbatasan, kekurangan dan
kelemahan. Selain itu karena: Pertama, keadilan hukum adalah cerminan moral dan
perasaan keadilan masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Kedua, keadilan hukum
adalah cerminan dari kompromi politik dalam masyarakat. Sedangkan keadilan
83
dalam Tri Cahaya Indra Permana, Reformatio In Peius, tersedia di http://www.ptunsurabaya.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=106&Itemid=167
84
Buku II Mahkamah Agung mencontohkan putusan yang bersiat reformatio in peius adalah dalam
kasus kepegawaian. Penggugat mohon agar Keputusan TUN yang digugat berupa penundaan kenaikan
pangkat selama satu tahun (jenis hukuman disiplin sedang) dinyatakan batal atau tidak sah, tetapi oleh
hakim dinyatakan dalam diktum putusannya keputusan TUN yang digugat dibatalkan dan
diperintahkan kepada Tergugat agar menerbitkan keputusan TUN yang baru berupa pemberhentian
tidak atas permohonan Penggugat, sebab fakta pelanggaran disiplin yang dilakukan Penggugat terbukti
jenis pelanggaran disiplin berat.
85
Antonius Sudirman, op.cit., hlm.160
45
Tuhan bersifat mutlak dan abadi karena merupakan ciptaan Tuhan sendiri. Hakikat
keadilan Tuhan Yang Maha Esa adalah keadilan yang dilandai oleh kebersamaan
dalam suasana kasih sayang yaitu keadilan tidak mengenal keberpihakan yang tidak
proporsional. Adapun makna keadilan sebagaimana dikutip oleh Harifin A. Tumpa 86
bahwa menurut Socrates adalah “justice if only was knew what it was”, Lord Denning
seorang Hakim Agung Inggris menyatakan “All I would suggest is that justice is not
somethig you can see. It is not temporal but eternal. How does man know what is
justice. It is not the product of his intellect but of his spirit”. Sedangkan Clerence
Darrow mengungkapan bahwa: “There is no such thing as justice. In fact, the word
cannot be defined. Jusice like life, cannot be adequtely defined. Justice is define mist,
and is something, inexorable connected to the state of being”. Dengan demikian
“Justice mens diferent things to different people. There is legal justice and moral
justice”.
Sedangkan konsep keadilan yang dikembangkan John Rawls adalah justice
as fairness (keadilan sebagai kejujuran), jadi prinsip keadilan yang paling fair itulah
yang harus dipedomani. Menurut John Rawls87 ada dua prinsip dasar keadilan yaitu
keadilan yang formal dan keadilan yang substantif sebagai berikut :
“The first statement of the two principles reads as follows.
First : each person is to have an equal right to the most extensive scheme of
equal basic liberties compatible with a similar sheeme of liberties for others.
Second : social and economics inequqlities are to be arranged so that they
are both (a) reasonaby expected to be everyone’s advantage and (b) attached to
positions and offices open to all”.
86
Harifin A. Tumpa, Hukum Keluarga Antara Realita Dan Kepastian Hukum, dalam Majalah Hukum
Varia Peradilan Tahun XXIV No. 28 September 2009
87
John Rawls, A theory Of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge,
Massachusetts, 1971, hlm. 52-53
46
Bagan 1
Teori Keadilan Rawls
Human Rationality
Capacity To Make Choices
Social contract
– Overlapping consensus
47
Veil of Ignorance
Original Position
– Constitutional Conference
Reflective
Equilibrium
Justice of Fairnes
- Two Principles of justice
- Procedural Fairness
Sumber : Cavendish Law Cards, 1997
Dalam “justice as fairness”, Rawls menguraikan mengenai posisi atau peran
yang dimainkan keadilan dalam tatanan sebuah masyarakat. Menurut Rawls bahwa
keadilan itu merupakan keutamaan pertama dari sebuah institusi sosial. Rawls
menganalogkan keadilan seperti kebenaran dalam sebuah sistem pemikiran. Oleh
karena itu sebuah masyarakat yang teratur baik “well-ordered”, jika masyarakat yang
bersangkutan diatur secara efektif oleh sebuah konsepsi keadilan umum. Hal itu
mengandaikan bahwa Pertama, setiap orang menerima dan mengetahui bahwa
orang-orang lan juga menerima prinsip-prinsip keadilan yang sama “everyone accepts
and knows that the others the same principles of justice”. Kedua, institusi sosial
secara umum diketahui puas dengan prinsip keadilan yang ditawarkan Rawls “the
basic social institutions generally satisfy and are generally known to satisfy these
principles”. Sehubungan dengan hal tersebut konsep keadilan yang ditawarkan oleh
48
Rawls secara eksplisit termasuk kategori teori keadilan yang deontologis88. ”Justice
as fairness” harus dipandang bahwa para pihak di dalam keadilan awalnya sebagai
sesuatu yang rasional dan tidak ada kepentingan yang saling bertolak belakang.
Prinsip-prinsip keadilan John Rawls seperti terurai di atas merupakan suatu hasil
dari persetujuan asali “the original agreement”. Oleh karena prinsip-prinsip ini akan
diterima oleh orang-orang rasional yang terikat lebih jauh pada kepentingan mereka
sendiri dalam kedudukan awal yang sama untuk menentukan hal-hal fundamental
persekutuan mereka. Prinsip-prinsip ini pula yang kemudian akan memberi
kekhususan pada jenis-jenis kerja sama sosial dan bentuk pemerintahan yang mau
dibangun. Cara melihat prinsip keadilan sebagai persetujuan asali yang kemudian
disepakati bersama dalam menentukan persetujuan-persetujuan lainnya inilah yang
disebut keadilan sebagai kewajaran “justice as fairness”89.
Dalam kedudukan asali itu pribadi-pribadi yang terlibat dalam kerjasama
sosial memilih secara bersama-sama prinsip-rinsip yang menentukan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dasar dan harus menentukan pula pembagian keuntungan sosial.
Syarat-syarat yang dijadikan pertimbangan mereka untuk memilih dan memutuskan
prinsip-prinsip keadilan adalah suatu “keadilan adil” atau “circumstance of justice”.
Syarat-syarat ini dibagi dua hal yaitu Pertama, ada keadaan objektif yang membuat
kerjasama itu dimungkinkan dan diperlukan “there are the objective circumstances
which make human cooperation both possible and necessary”. Kedua, adanya suatu
keadaan dimana kelangkaan dan kekurangan mereka mengerti “there is the condition
of moderate scarcity understood to cover a wide range of situations”.
Melalui syarat-syarat tersebut mereka sebagai orang-orang yang mempunyai
kebebasan mulai memilih dan memutuskan prinsip-prinsip keadilan dalam situasi
“tabir kegelapan” atau “veil of ignorance” yaitu situasi yang membuat mereka
88
89
Frans J. Rengka, Dialog Hukum Dan Keadilan, Genta, Yogyakarta, 2014, hlm. 23
Ibid., hlm. 25
49
seakan-akan kehilangan kemampuan untuk mengenal diri mereka sendiri. Mereka
tidak tahu lagi bagaimana berbagai kemungkinan itu akan mempengaruhi mereka
secara khusus. Oleh karena itu, mereka wajib mengevaluasi prinsip-prinsip yang
dipilihnya didasarkan pada pertimbangan umum. Dalam keadaan tabir kegelapan
“veil of ignarance” diandaikan
bahwa tak seorangpun dari mereka mengetahui
posisinya di dalam masyarakat, posisi sosial mereka, keuntungan dalam pembagian
modal-modal dan kemampuan-kemampuan kodrati, intelegensi dan kekuatannya 90.
Berdasarkan penjelasan proses penemuan keadilan secara bersama-sama melalui
persetujuan asli itu, Rawls memberikan suatu prinsip keadilan yang perlu dalam
masyarakat. Pertama, tiap orang harus memiliki hal yang sama atas kebebasan seluas
mungkin sesuai dengan kebebasan yang sama untuk semua orang. Kedua,
ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial dan ekonomis harus diatur sedemikian rupa
sehingga ketidaksamaan-ketidaksamaan itu diharapkan secara masuk akal menjadi
keuntungan bagi setiap orang dan terikat pada kedudukan dan jabatan yang terbuka
bagi semua orang.
Dalam mencapai keadilan “access to justice”, sebagaimana diuraikan di atas,
harus menempuh cara yang berliku dikarenakan jalan menuju kesana membutuhkan
sarana yang bersifat ekonomis dan intelektual91. Sedangkan keadilan merupakan
suatu nilai yang teramat tinggi kedudukannya dalam masyarakat, oleh karena itu
perlu mendapat pelayanan yang sebaik-baiknya bagi mereka yang mencarinya.
Dengan demikian keadilan dan pemberian keadilan merupakan masalah yang
kompleks dan rumit. Manajemen keadilan yang bijaksana tentu akan menanganinya
sesuai dengan kompleksitas tersebut. Oleh sebab itu, model khadi-justiz sebagaimana
disebut Weber adalah suatu istilah teknis yang menunjuk pada suatu bentuk
90
Ibid., hlm. 27
Sebagaimana hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk formal, dengan prosedur-prosedur dan
dengan birokrasi penyelenggaraan hukum. Materi hukum dirumuskan secara terukur dan formal dan
diciptkan pula konsep-konsep baru serta konstruksi khusus, dalam Satjipto Rahardjo, Penegakan
Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2010, hlm.223
91
50
administrasi keadilan yang tidak berorientasi pada peraturan-peraturan hukum formal
rasional.
Sebagaimana dalam sistem peradilan yang paling sederhana, figur di pengadilan
cukup berpusat pada hakim yang notabene adalah juga penguasa politik. Sistem
peradilan demikian juga sangat mengandalkan sifat kharismatik sang hakim.
Sebagaimana Weber92 membagi tiga tipe otoritas yang niscaya terdapat dalam
masyarakat manusia yaitu kharismatik, tradisional dan rasional. Masing-masing tipe
otoritas tersebut, menentukan model penyelenggaraan hukum (baik law-making, lawfinding, maupun law-enforcement). Dalam rezim otoritas kharismatik, tidak terdapat
pembuatan hukum. Namun yang ada hanyalah penemuan hukum lewat intuisi dan
bisikan
supranatural.
Akibatnya
penerapan
hukum
hanya
mengandalkan
kebijaksanaan etis moral yang unik dari tokoh kharismatik. Oleh karena sifatnya
sangat individual dan penuh misteri, bisa jadi penerapan hukum didasarkan pada
emosi, intuisi dan rasa pribadi sang pengadil.
Weber
menyebutkan keadilan yang dikejar dalam sistem seperti ini sebagai keadilan kadi
atau keadilan Solomonian. Peradilan kadi adalah peradilan yang sangat arbiter dan
karena itu juga dinilai sebagai peradilan yang paling tidak rasional. Putusan-putusan
peradilan ini sepenuhnya dipercayakan kepada kearifan sang pengadil, tanpa
dirasakan perlunya untuk dikontrol oleh keniscayaan sistem.
Administrasi keadilan khadi-justiz dewasa ini telah digantikan oleh suatu
lembaga yang diorganisasikan secara rasional. Lembaga tersebut adalah badan
peradilan modern yang kini telah merupakan bagian dari suatu birokrasi nasional.
Usaha memperoleh keadilan sekarang ini menjadi semakin jauh dari masyarakat
umum disebabkan karena persoalan yang bersifat teknis hukum, prosedur dan
sebagainya.
Kemunculan hukum
modern membuka
pintu bagi
masuknya
permasalahan yang tidak ada sebelumnya yaitu kepastian hukum. Nilai keadilan dan
92
Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 123
51
kemanfaatan secara tradisional sudah ada sejak dulu, tetapi kepastian hukum adalah
sesuatu yang baru yaitu sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik.
Dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan, hakim dituntut
mewujudkan keadilan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) dimana
hakim mempunyai tanggung jawab yang melekat pada tugas sebagai hakim untuk
aktif dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Kedudukan hakim dalam
peradilan di Indonesia menurut Bismar Siregar 93 bukan sekedar penerap hukum dan
pemutus perkara saja namun hakim ditempatkan sebagai penggali, penemu dan
pencipta hukum dan keadilan. Adapun implementasi pasal tersebut sejalan dengan
imbauan Carbonnier bahwa “demikianlah senantiasa telah terjadi bahwa selama
ribuan tahun, dituntut adanya para hakim yang berpikir”94.
Perubahan paradigma legalistik menjadi paradigma yang lebih memihak pada “
legal justice”, “moral justice” dan “social justice” ini merupakan “desirata” atau
kebutuhan utama dalam dunia peradilan. Dikatakan sebagai kebutuhan utama karena
sejak munculnya wacana hukum modern sesuai undang-undang pada umumnya
adalah aparat penegak hukum polisi, jaksa, hakim. Sebagaimana Oliver Wendell
Holmes95 mengatakan bahwa :
“The life of law has not been logic; it has been experience. The felt necessities of the
time, the prevalent moral and political theories, institutions of public policy avoewed
or unconscious even the prejudices wahich judges share with their fellowmen, have
had a good deal more to do than the syllogism in determining the rules by which men
should be governed”.
93
Antonius Sudirman, op. cit., hlm. 167
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) …, op. cit.,hlm. 479
95
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, op.cit. hlm 7, Achmad Ali, Menguak Teori Hukum
(Legal Theory) …, op. cit.,hlm. 479
94
52
Konsep keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahadjo 96
bukanlah keadilan distributif dan keadilan korektif menurut Aristoteles. Hal ini
dikarenakan konsep Aristoteles tentang keadilan hanya berfokus pada terpenuhinya
kebutuhan masyarakat secara merata dan bagaimana meraih proses legal terhadap
perseteruan masyarakat. Keadilan timur bertalian dengan kepuasaan spiritual dan
religisiusitas, hanyut dalam rezim musyawarah dan sifat gotong royong.
Pendapat diatas sejalan dengan perspektif hukum kodrat klasik sebagaimana
pemikiran Plato, Aristoteles, Cicero, Gaius, Aulus Gellius, Pomponius yakni sebuah
perjalanan menggapai yang abstrak, transedental, metafisis. Kebenaran sejati itulah
yang ingin direkonstruksikan dalam dunia hukum manusia yaitu Pertama, hukum
harus mengejar konsepsi utopis seperti kebenaran dan keadilan. Kedua, hukum
mempunyai saripati jiwa, ruh dan spirit yang tersembunyi di dalamnya. Ketiga,
hukum memiliki dasar falsafah yang memiliki dua dimensi yakni universalisme (yang
lebih ditonjolkan sebagai matematika filsafat hukum kodrat) dan partikularisme
(sebagai wajah keaslian dari sebuah lokalitas).
Hakim dalam praktik menangani suatu perkara di pengadilan, tidak terlepas
dari dan dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut. Sebagaimana dikemukakan M.
Syamsudin97 bahwa hakim akan selalu bergumul dan berdialog dengan sistem nilai
yang bersemayam alam kejiwan dan mentalitas hakim terebut. Hakim akan memilih
nilai-nilai apa yang dipentingkan dan yang diutamaan terhadap suatu perkara yang
dihadapkan kepadanya. Selanjutnya proses penanganan perkara oleh hakim di
Pengadilan tidak hanya urusan teknis yuridis dan prosedural penerapan peraturan
semata-mata, namun melibatkan orientasi nilai-nilai yang dianut oleh hakim. Dalam
proses menjatuhkan suatu putusan, terjadi poses berpikir, menimbang-nimbang dan
dialog hakim dengan nilai-nilai yang bersemayam di dalam alam kejiwaan hakim
96
Awaludin Marwan, Satjipto Rahardjo Sebuah Biografi Intelektual & Pertarungan Tafsir Terhadap
Filsafat Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2013, hlm. 344
97
M. Syamsudin, Rekonstruksi Perilaku Etik Hakim Dalam Menangani Perkara Berbasis Hukum
Progresif, dalam Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 18 Oktober 2011 hlm. 132
53
tersebut. Hakim akan memilah dan memilih niai-nilai apa yang akan diwujudkan.
Perwujudan dan pilihan terhadap nilai-nilai tersebut dalam praktik sangat ditentukan
oleh faktor-faktor yang meliputi : tingkat kepentingan, pengetahuan, kebutuhan
hidup, lingkungan dan kebiasaan serta karakter pribadi hakim. Faktor-faktor tersebut
akan sangat menentukan arah hakim dalam memutuskan perkara98.
Secara normatif, hakim diberikan kebebasan oleh hukum untuk mengadili
sesuai dengan keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun. Hakim bebas
memutuskan perkara berdasarkan pikiran dan hati nuraninya dan juga bebas dari
campur tangan pihak ekstra yudisial. Namun demikian, apa yang terjadi dalam
praktik terjadi banyak pengaruh terhadap hakim dalam mengambil putusan,
sebagaimana Richard Posner99 mengemukakan :
“...The possible other factors (call them personal) include personality traits, or
temperament (and thus emotionality at one end of the temperament spectrum and
emotional detachment at the other end), which are more or less innate personal
characteristics”.
Satjipto Rahardjo100 membuat penggolongan hakim di Indonesia menjadi dua
tipe yaitu: Pertama, tipe hakim yang apabila memeriksa, terlebih dahulu
menanyakan hati nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian
mencari pasal-pasal dan peraturan untuk mendukung putusan itu. Kedua: tipe hakim
yang apabila memutus terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan perutnya
dan kemudian mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap putusan
perutnya.
98
Ibid. hlm. 133
Ricard A. Posner, How Judges Think, Cambridge Massachusetts, Harvard University Press, 2010,
hlm. 10
100
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, op.cit., hlm. 198
99
54
Selanjutnya M. Syamsudin 101 menggolongkan ada tiga tipologi perilaku
hakim dalam menangani perkara dengan karakteristiknya masing-masing yaitu
Pertama, tipologi perilaku hakim yang pertama adalah hakim yang aktif menawarkan
penyelesaian perkara dengan meminta imbalan materi. Kedua, tipologi hakim yang
selalu mengikuti arah angin, jika diberi hadiah oleh pihak-pihak yang berkepentingan
diterima, kalau tidak diam saja. Golongan ini yang paling banyak jumlahnya. Hakim
ini digolongkan sebagai hakim pragmatis. Ketiga, hakim yang aktif menolak
pemberian apapun dari pihak-pihak tertentu, akan tetapi golongan ketiga ini sangat
sedikit jumlahnya. Hakim ini dikategorikan sebagai hakim idealis. Apabila dibuat
tabel nampak sebagai berikut :
Tabel 1:
Tiga Kecenderungan (orientasi) Perilaku Etik Hakim
Dalam Menangani Perkara
Materialis
Pragmatis
Idealis
Sangat dipengaruhi oleh Sangat dipengaruhi oleh Sangat dipengaruhi oleh
orientasi pada nilai-nilai orientasi
kebendaan
menangani perkara
dalam yang
pada
situasi orientasi pada nilai-nilai
menguntungkan ideal
dalam menangani perkara
hukum
dalam
menangani perkara
Selanjutnya, terdapat konstruksi perilaku etik hakim berbasis hukum progresif
dengan dimensi dan ciri-ciri sebagai berikut :
101
M. Syamsudin, op cit. hlm. 134
55
Tabel 2 :
Konstruksi Baru Perilaku Etik Hakim Berbasis Hukum Progresif
Dimensi
Pandangan Dasar
Ciri-Ciri
-
Hakim mempunyai pandangan bahwa hukum
untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk
hukum
-
Hakim mempunyai pandangan bawa hukum
bukan institusi yang mutlak dan final, karena
hukum selalu berada dalam proses menjadi
-
Hakim harus menolak status-quo manakala
menimbulkan dekadensi, suasana korup dan
sangat merugikan kepentingan rakyat
-
Hakim harus memandang hukum tidak lepas dari
relevansi sosial
-
Hakim
harus
mempunyai
spirit
untuk
membebaskan cara berpikir hukum yang legal
Cara Berpikir
positivism
-
Hakim harus peka terhadap perubahan yang
terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional
maupun global
-
Hakim
harus
memaknai
kontekstual (progresif)
hukum
secara
56
-
Hakim harus bersikap imparsial (tidak memihak)
dan hanya memihak pada kebenaran
Cara Kerja
-
Hakim
harus
dapat
melakukan
perubahan
dengan melakukan pemaknaan yang kreatif
terhadap peraturan yang ada, tanpa harus
menunggu perubahan peraturan
-
Peraturan yang buruk bukan menjadi penghalang
bagi hakim untuk menghadirkan keadilan bagi
rakyat dan pencari keadilan;
-
Hakim harus mempunyai multiple intelegence:
kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ) dan
spiritual (SQ)
Kalifikasi Pribadi
-
Hakim harus
mempunyai kepribadian yang
luhur dan menjunjung tinggi moralitas
-
Hakim harus mempunyai sifat-sifat sidiq (jujur),
amanah (dapat dipercaya), tabligh (terbuka) dan
fatonah (cerdas)
-
Hakim harus berorientasi untu mewujudkan
hukum yang adil secara subtantif dan bukan
sebatas keadilan prosedural (ideal)
-
Hakim tidak beperilaku materialis dan pragmatis
dalam menjalankan profesi;
Orientasi Kerja
57
Sumber : M. Syamsudin, 2011
Kehadiran hukum progresif sangat penting dalam konteks penegakan
hukum, terutama bagi hakim di pengadilan. Putusan hakim yang adil akan menjadi
puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam
kehidupan bernegara. Putusan hakim yang adil akan menjadi puncak kearifan bagi
penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Putusan
hakim yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang
Maha
Esa”
menunjukkan
kewajiban
menegakkan
keadilan
yang
dipertanggungjawabkan secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga secara
horisontal kepada semasa manusia102.
Kriteria hakim progresif menurut Artidjo Alkostar 103, tidak dapat lepas dari
kualifikasi standar tinggi yang mencakup penguasaan kompetensi keilmuan,
kecakapan profesional dan kualitas kepribadian yang dilekatkan pada hakim sebagai
subjek penegak hukum. Dari predikat tersebut dituntut konsekuensi etis munculnya
putusan hakim yang menunjukkan adanya kecerdasan moral, intelektual dan
emosional. Putusan yang dihasilkan dapat memberikan pencerahan rokhani bagi
pihak yang berperkara, mempererat kohesi sosial dalam tata pergaulan masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan prasyarat tertentu bagi hakim progresif dalam
bertugas melakukan mandat hukum. Dalam posisinya sebagai aparat negara, hakim
wajib menegakkan keadilan hukum “legal justice” agar dalam menghadapi godaan
dan tantangan atau tidak berkompromi dengan kebatilan dan merugikan rakyat.
Peran dan tugas hakim bukan hanya sekedar pembaca deretan huruf dalam undangundang yang dibuat oleh badan legislatif, tetapi dalam putusannya memikul tanggung
jawab menjadi suara akal sehat dan mengartikulasikan sukma keadilan dalam
102
103
Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Mahkamah Agung RI, 2007 hlm. 1
dalam M. Syamsudin, ibid, hlm. 138
58
kompleksitas dan dinamika kehidupan masyarakat. Hakim progresif akan
mempergunakan hukum yang terbaik dalam keadaan yang paling buruk.
Putusan-putusan hakim mempunyai arti dan kedudukan yang tersendiri
yaitu sebagai sarana pembaharuan hukum “vonis as a tool as law reform” atau lebih
luas lagi putusan hakim sebagai sarana rekayasa sosial ”vonis as a tool as social
engineering”104. Pemikiran peran penting putusan pengadilan dalam pembaruan
hukum dan masyarakat harus direspon secara cermat oleh hakim dan hakim agung
dalam memeriksa dan memutus perkara. Peran tersebut dapat dijalankan jika terdapat
konsistensi penerapan hukum dalam putusan pengadilan. Mahkamah Agung sebagai
badan peradilan tertinggi di Indonesia mempunyai peran penting dalam upaya
mewujudkan konsistensi penerapan hukum di Indonesia.
2. Penemuan Hukum Oleh Hakim
2.1.Pengertian Penemuan Hukum
Politik pembaruan sistem nasional sejak reformasi hingga Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) masih didasarkan pada paradigma civil law yang
menempatkan
peraturan
perundang-undangan
sebagai
satu-satunya
sarana
pembaruan. Meskipun didalamnya mendorong kualitas putusan pengadilan tetapi
RPJP belum memberikan ruang bagi putusan pengadilan sebagai sarana perubahan.
Kondisi demikian, bertolak belakang dengan perkembangan praktik hukum selama
104
Pada masa lalu, peran hakim dalam pengembangan dan pembaharuan hukum di Indonesia belum
berjalan optimal. Pembaruan hukum lebih didominasi lembaga legislatif dan eksekutif melalui undangundang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Namun apabila dilihat kebelakang, sejak
dulu putusan pengadilan telah menghasilkan putusan penting (landmark decision) sebagai bentuk
penemuan hukum. Hal ini penting karena yang perlu ditekankan adalah bukan pada siapa yang
mendominasi pembaruan hukum, melainkan bagaimana hukum dan keadilan dapat ditegakkan, Imam
Soebechi, Putusan Hakim Dalam Pembaruan Hukum, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan No. 347
Oktober 2014, hlm. 24
59
ini dimana peraturan perundang-undangan belum mampu secara optimal mengikuti
dinamika masyarakat105.
Belum optimalnya fungsi peraturan perundang-undangan dalam melakukan
pembaruan hukum dan masyarakat memberi ruang pada Mahkamah Agung mengisi
kekosongan hukum. Pada posisi demikian Binsar M. Gultom 106 mengemukakan
bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya berada pada posisi pelaksana peraturan
perundang-undangan semata melainkan berperan dalam penemuan hukum. Begitu
strategisnya fungsi hakim sesuai independensinya maka hakim mempunyai hak
prerogatif untuk: (1) menafsirkan peraturan perundang-undangan (2) mencari dan
menemukan dasar-dasar hukum (3) mencipta hukum baru apabila menghadapi
kekosongan perundang-undangan (4) bahkan dibenarkan melakukan contra legem
apabila ketentuan suatu pasal perundang-undangan bertentangan dengan kepentingan
umum (5) memiliki otonomi yang bebas mengikuti yurisprudensi.
Hakim dalam memutus perkara tidak hanya mampu menggali, mencari dan
menemukan nilai-nilai hukum dalam kehidupan masyarakat secara teoritis, namun
harus mampu dan ahli menggali peristiwa dari fakta hukum yang terjadi di
persidangan, lalu mengaitkannya dengan sumber-sumber hukum dan ajaran teori
hukum serta peraturan hukum yang berlaku. Hal inilah yang disebut penemuan
hukum atau rechtvinding lalu dirumuskannya melalui pertimbangan hukum dalam
putusannya motivering vonis lewat putusan ini yang disebut menciptakan hukum atau
rechtschepping.
Menurut DHM Meuwissen107, Penemuan hukum adalah keseluruhan berpikir dari
seorang hakim dengan suatu metode (penemuan hukum) mengantarkan dan
membawanya kepada suatu putusan hukum ataupun pengembangan hukum dan
105
Ibid., hlm. 27
Binsar M. Gultom, Peran Hakim Sebagai Pembaharu Hukum Untuk Mewujudkan Pengadilan Yang
Bersih, Majalah Hukum Varia Peradilan No. 331 Juni 2013, hlm. 136
107
Soejono Koesoemo Sisworo. op. cit.. hlm. 8
106
60
pertumbuhan hukum. Dalam arti yang khusus, penemuan hukum ialah proses dan
karya yang dilakukan oleh hakim yang menetapkan benar atau tidak benar menurut
hukum dalam suatu situasi konkrit yang diujikan pada hati nurani.
Paulus Effendi Lotulung108 mengemukakan bahwa penemuan hukum diartikan
juga sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum das sollen yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit das sein tertentu. Hakim
selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, konflik atau kasus yang harus diselesaikan
atau dipecahkan dan untuk dicari hukumnya. Problematik yang berhubungan dengan
penemuan hukum pada umumnya melekat pada profesi hakim. Selain itu hasil
penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum sebagaimana dikemukakan Sudikno
Mertokusumo109, hal dikarenakan mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum
karena dituangkan dalam bentuk putusan. Adapun hasil penemuan hukum oleh hakim
itu merupakan juga sumber hukum. Putusan hakim adalah penerapan peraturan
hukum yang berlaku pada fakta hukum tersebut. Oleh karena itu, Ahmad
Mujahidin110 menyampaikan bahwa hakim harus memilih aturan hukum yang berlaku
yang akan diterapkan, menginterpretasinya untuk menentukan (menemukan) model
perilaku yang tercantum dalam aturan hukum tersebut serta menentukan maknanya
guna menetapkan wilayah penerapannya dan mengintepretasi semua fakta yang
diajukan dalam persidangan oleh para pihak yang berperkara untuk menentukan
fakta-fakta tersebut dapat dijadikan sebagai fakta hukum yang dapat dimasukkan ke
dalam wilayah penerapan aturan hukum yang ada.
108
Hakim harus menguasai benar berkaitan dengan penemuan hukum dikarenakan hakim dianggap
mengetahui hukumnya (ius curia novit) maka hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara yang diajukan oleh pihak-pihak dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada
atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Konsekwensi asas ius curia
novit bagi hakim adalah di dalam memutus perkara harus memuat alasan dan dasar putusan berupa
hukum tertulis atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili, Paulus Effendi
Lotulung, op. cit. hlm. 15
109
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Ctk. Kelima, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2014,
hlm. 50
110
Ahmad Mujahidin, Antara Penerapan Dan Keadilan, Majalah Varia Peradilan No. 347 Oktober
2014, hlm. 33
61
Dalam sistem yang berlaku di Indonesia 111, metode penemuan hukum
rechtvinding sebagai salah satu atau bentuk tehniko yuridik yang dihasilkan oleh
kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi
knowledge and experience. Sebagaimana menurut J.M. Polak bahwa penemuan
hukum sesungguhnya memiliki pelbagai segi yang bersifat logis-rasionil-ilmiah tapi
sekaligus juga intuitif-irrasional. Rasional-ilmiah intellectual dalam arti hakim
(seharusnya) berkemampuan mengenal dan memahami kenyataan kejadiannya (fakta
dan positanya) dan peraturan hukumnya yang berlaku dan akan diperlakukan beserta
ilmunya; logis-intellektual dalam penerapan peraturan hukum normatif terhadap
kasus posisinya harus mengindahkan hukum logika, baik yang formil maupun yang
materiil; sedangkan aspek intuitif-irrasionalnya adalah terletak dalam hal penemu
hukum (hakim) itu melibatkan, menggunakan dan mendambakan perasaannya yang
halus dan murni mendampingi ratio dan logika sehingga bersama-sama mewujudkan
rasa keadilan yang dibimbing oleh hati nurani, sehingga mengejawantahkan putusan
yang adil berdasarkan kebenaran.
Hati nurani atau geweten/conscience of man berfungsi sebagai faktor yang
dapat mencegah dan menjaga penemuan hukum dari penalaran permasalahan yang
(mungkin
sekali)
serba
tidak
pasti/wilekeurig/arbitrair.
Sebagaimana
lebih
dikonkritkan adanya rasa teposliro dengan mulatsiro. Kemampuan ini sekiranya
pada akhirnya harus ditingkatkan terus dengan selalu di-asah dan di-asuh sehingga
menerima hidayah dan inayah dari Tuhan Seru Sekalian Alam. Sebagaimana
111
Sistem hukum di Indonesia pada umumnya terkena pengaruh sistem hukum civil law (Eropa
Kontinental). Civil law sebagai hukum yang berasal dari beberapa universitas dan hukum Romawi
adalah peraturan yang didasarkan pada dan secara terus menerus berusaha mencari solusi bagi sebuah
permasalahan di hadapan pengadilan sedangkan common law dengan pendekatannya yang konkrit dan
berdasarkan pada pengadilan, berusaha mencari jawaban-jawaban pragmatis untuk diketengahkan di
hadapan Pengadilan. Perkara menjadi sumber utama common law, sedangkan undang-undang dan
hukum yang terkodifikasi menjadi bagian-bagian yang membentuk civil law lihat dalam Peter de Cruz,
Perbandingan Sistem Hukum, ctk. Ketiga, Nusa Media, Bandung, 2012, hlm. 55. Terjemahan Peter de
Cruz, Comparative Law in Changing World, London-Sydney : Cavendish Publishing Limited,
London-Sydney, 1999. Penerjemah Narulita Yusron.
62
dikemukakan oleh Paul Scholten112 bahwa penemuan hukum sebagai Rechvinden is
altijd tegelijk intellectueel en intuitief zedelijk werk.
Kemampuan mengambil suatu putusan
yang dimiliki seorang hakim
sebagaimana pendapat Josef Esser113 diperoleh selama pendidikan dan karir yang
dijalaninya. Oleh karena itu, kematangan pengetahuan dan pengalaman dari hakim
sangat penting dalam mengambil suatu putusan. Apapun metode pendekatan yang
akan dipakai oleh hakim pada penemuan hukum adalah bertemunya methodenwahl in
der Rechtsfindung. Uraian argumentasi pertanggungjawaban semestinya dipaparkan
dalam ratio decidendi dan dimana perlu juga dalam obiter dicta dari putusan.
Argumentasi dan motivasi merupakan sumber bagi legitimasi dari suatu putusan.
Oleh karena itu harus dibuat se-akseptabel mungkin untuk pihak-pihak yang
berperkara, masyarakat maupun forum ilmiah.
2.2.Aliran-aliran Penemuan Hukum
Dalam praktik penemuan hukum dikenal beberapa aliran penemuan
hukum114 dengan karakteristik dan ciri-cirinya masing-masing sesuai dengan
perkembangan situasi dan kondisi masyarakat. Masing-masing aliran penemuan
hukum sebagai berikut 115:
a. Aliran legisme
Pembagian hukum dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Lahirnya hukum tertulis tentunya pada saat tatkala orang mulai pandai
112
Penemuan hukum bukanlah semata-mata reinelogishe Arbeit, dalam Soejono Koesoemo Sisworo,
op. cit., hlm. 8
113
Ibid., hlm. 10
114
Lahirnya aliran-aliran penemuan hukum pada dasarnya bertitik tolak pada pandangan mngenai apa
yang mrupakan (satu-satunya) sumber hukum. Jadi aliran-aliran itu merupakan aliran-aliran tentang
teori atau ajaran sumber hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo. Op. Cit. h. 94
115
Lihat Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, op. cit. hlm. 9, Sudikno
Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, op. cit. hlm. 94, dan Bambang Sutiyoso, Metode
Penemuan Hukum, op. cit., hlm. 75
63
menulis dan membaca. Hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis sudah lama
dikenal pada saat orang hidup bermasyarakat. Sebelum tahun 1800 SM sebagian
besar hukum yang digunakan pada saat itu adalah hukum kebiasaan. Sedangkan
hukum tertulis untuk pertama kalinya dalam sejarah adalah undang-undang Hamurabi
pada zaman Kerajaan Babilonia Irak pada sekitar tahun 1950 SM.
Hukum kebiasaan sumbernya adalah kebiasaan sehari-hari yang didasarkan
pada pandangan dan kesadaran orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutan
bahwa kebiasaan itu adalah memang seharusnya ditaati. Sejalan dengan kemajuan
kemasyarakatan dan kenegaraan yang makin lama makin luas, orang mulai merasa
tidak puas dengan hukum yang tidak tertulis.
Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum kebiasaan.
Di Eropa muncul gerakan kodifikasi sekitar abad 19 dengan berupaya menuangkan
semua hukum secara lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum
kebiasaan sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan. Di Perancis pada akhir abad 18
diadakan kodifikasi undang-undang yang dicontoh oleh seluruh Eropa. Di Belanda
kodifikasi hukum dilakukan pada tahun 1838 M. Timbulnya gerakan kodifikasi ini
disertai dengan lahirnya aliran legisme.
Aliran legisme merupakan garis paling ekstrim dari positivisme hukum yang
mengidentikkan hukum hanya sebagai hukum positif, sehingga tidak ada norma
hukum di luar hukum positif. Konsekwensi aliran ini adalah hakim hanya menjadi
corong atau terompet undang-undang. Pembatasan ini dikarenakan pengalaman
bangsa Eropa sendiri dimana pada masa lampau kebebasan hakim yang tak terbatas
membawa ketidakpastian hukum. Sikap awal aliran ini menganggap pengadilan
sebagai imam dari hukum “the priests of the law”, tempat penyimpanan hukumhukum kuno “The repositories of its ancient rules”, putusan-putusan kemudian
disaring “disstilled” dalam sebuah jalan misterius oleh hakim “inscrinio pectoris sui”
atau “all law in the shrine of his breast” atau hukum bersemayam dalam dada.
64
Bahkan hakim tidak pernah menciptakan hukum baru, melainkan hanya menyatakan
penerapan baru dari aturan-aturan lama.116.
Sesuai dengan teori Montequieu ataupun Rousseau, aliran legisme berpendapat
bahwa kedudukan pengadilan adalah pasif. Ia hanya terompet undang-undang, ia
hanya bertugas melakukan sesuatu hal yang konkrit dalam peraturan undang-undang
dengan jalan silogisme hukum, secara deduksi yang logis. Pengadilan tidaklah
merupakan penentu “determinant” pembentuk hukum. Satu-satunya adalah badan
pembentuk undang-undang saja. Penganut teori ini antara lain Montequieu, Rousseau,
Robbespierre, Fenenet, Rudolf Van Jhering, G. Jellineck. Carre de Malberg, H.
Nawiastski dan Hans Kelsen.
Para ahli hukum dari tradisi kontinental pada dasarnya berada pada arus
besar “mainstream” pemikiran bahwa “law as it is written in the book”. Pada negara
yang berkiblat pada tradisi kontinental, hakim dalam menyelesaikan perkara harus
terlebih dahulu kepada undang-undang daripada sumber hukum lainnya. Dalam
sejarah kolonial hukum Indonesia, melalui asas konkordansi, sistem kontinental ini
oleh kolonial Belanda kemudian ditanamkan kedalam konstelasi hukum di Hindia
Belanda (Indonesia) untuk menggantikan secara berangsur sistem hukum terdahulu
yang berasarkan tradisi-tradisi lokal. Pengaruh sistem hukum Belanda yang
berlangsung dalam kurun waktu lama, membuat bangsa Indonesia terbiasa dengan
sistem hukum tertulis dan terkodifikasi. Corak tradisi hukum kontinental ini tumbuh
berkembang dibawah pengaruh ajaran positivisme hukum yang kemudian menjadi
pohon utama yang menaungi sistem hukum Indonesia sampai sekarang117.
Pemikiran positivisme sudah ada pada masa sebelum masehi. Aliran
legisme (Fa Zia) dipraktikkan di Cina pada masa kaisar Han Feizi (meninggal tahun
233 SM). Han Feizi merumuskan bahwa negara akan aman bila tidak didasarkan
116
117
Dalam Widodo Dwi Putro, op. cit., hlm. 142
Widodo Dwi Putro, op.cit., hlm. 30
65
moralitas pemimpin, tetapi pada kesadaran seluruh warga negara akan kodrat dan
posisinya. Kesadaran seperti ini hanya mungkin bila kodat dan posisi individu warga
negara dirumusan dalam hukum yang dilengkapi sanksi yang keras bagi pelanggarnya
dan ganjaran rewards bagi yang mematuhinya. Hanya dengan cara ini seorang
pemimpin tidak peru repot-repot menyelenggarakan pemerintahannya Teori
positivisme hukum juga tumbuh di daratan India, terutama dikembangkan Kautilya
pada masa Kerajaan Candragupta (abad ke-4 SM). Kautalya percaya bahwa sistem
monarkhi mempunyai manfaat lebih dibanding dengan bentuk pemerintahan lain.
Pengaturan tatanan duniawi tergantung hukum raja “the king’s Rod”.
Satjipto Rahardjo118 menyebutkan bahwa pemikiran positivisme hukum
muncul pada abad ke 19. Penggunaan tolok ukur ini mengacu pada terjadinya
revolusi industri di Inggris. Revolusi ini menimbulkan gelombang industrialisasi di
Eropa sekaligus menandai kelahiran jaman modern dan oleh karena itu pemikiran
positivisme seringkali diidentikkan dengan hukum modern. Seiring dengan
perkembangan tersebut muncul pula negara modern. Dalam negara modern muncul
kelas sosial borjuis yang membutuhkan pelayanan hukum yang tidak dapat dilayani
oleh pemikiran hukum alam ataupun hukum kodrat. Hal ini dikarenakan doktrin
positivisme lahir sebagai penolakan terhadap mazhab hukum kodrat. Mereka menolak
hukum kodrat karena terlalu metafisik dan idealistis sehingga gagal memberikan
kepastian hukum.
Salah satu tokoh yang memberi perhatian pada perkembangan hukum dalam
jaman modern adalah Max Weber. Max Weber melihat pentingnya hukum sebagai
mekanisme untuk mengantarkan perkembangan masyarakat menuju kepada
masyarakat modern. Perkembangan masyarakat Eropa pada waktu itu bergerak
kepada tingkat pengorganisasian yang terpusat, rasional dan birokratis sehingga
terlihat hubungan antara hukum modern dengan negara modern. Hukum modern yang
118
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 267
66
rasional adalah hukum yang telah dipositifkan. Hukum yang demikian trmasuk dalam
ranah kajian ilmu hukum masuk dalam kategori pemikiran positivisme hukum.
Hakim menafsirkan hukum positif secara monotafsir karena yang dicari adalah
kebenaran objektif. Monotafsir adalah metode tafsir yang hanya bersumber pada teks
formal, ketat atau rigid sehingga diasumsikan tidak menyimpang dari orisinal teks.
Sebagaimana Hans Kelsen menjelaskan tentang penafsiran dalam buku “The Pure
Theory of Law” dimana Hans Kelsen meragukan metode penafsiran hanya mengarah
pada hasil yang mungkin, yang tidak pasti dan tidak pernah mengarah pada hasil yang
langsung benar. Secara ketat, Kelsen mengingatkan bahwa norma-norma moral dan
keadilan harus dihindari dalam penafsiran. Tujuan Kelsen membakukan metode
penafsiran yang ketat agar penafsiran hukum mencapai kepastian.
Ronald Dworkin119 kurang sepakat dengan cara pandang klasik tersebut.
Dworkin mengingatkan bahwa seorang hakim ketika dihadapkan pada kasus konkrit
tidak saja berurusan dengan masalah teknis (prosedural semata), tetapi juga
berhadapan dengan substansi hukum. Ketika seorang hakim mempersoalkan masalah
etika, bukan lagi bertanya tentang prosedur teknis penyelesaian hukum, tetapi juga
mempersoalkan substansi hukum apakah adil atau tidak.
b.
Mazhab Historis
Pemikiran hukum abad ke 19 mendapat pengaruh yang sangat kuat dari
revolusi Perancis dan akibat-akibatnya yang sangat memprihatinkan. Keadaan
tersebut membuat kebanyakan ahli pikir berusaha lari dari kenyataan dan
mengarahkan kekaguman mereka pada kehidupan masa lampau yang gemilang. Di
antara kebanyakan orang yang berorientasi ke masa lampau, terdapat ahli pikir yang
mencoba membebaskan diri dari pengaruh itu. Mereka antara lain Friedrich Karl von
Savigny. Pemikirannya tentang hukum yang kemudian dikenal dengan sebutan
119
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, Universal Law Publishing, 1999, hlm. 1
67
mazhab hukum historis dikembangkan dalam bukunya yang diberi judul Von Beruf
unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (seruan zaman kini terhadap
undang-undang dan ilmu hukum) yang diterbitkan pada tahun 1814. Kebangkitan
pemikiran Savigny tentang hukum hakikatnya merupakan reaksi kerasnya terhadap
undang-undang Perancis dan tata pemerintahan Perancis yang dipaksakan di Jerman
Barat Daya. Hukum Jerman yang berlaku ketika itu merupakan formulasi ganda
antara hukum asli Jerman lampau dengan hukum Romawi120.
Istilah volkgeist sendiri diperkenalkan pertama kali oleh murid Savigny yaitu G.
Puchta. Ucapan Savigny yang terkenal adalah : “des Rechtwird nich gemacht, es ist
und wird met dem Volke”. Bagi Savigny : “All law is the manifestation of this
common consciousness” (semua hukum merupakan manifestasi dari kesadaran umum
ini). Sebagaimana digambarkan Savigny bahwa hukum itu mirip bahasa dimana
keduanya berkembang secara bertahap dari karakteristik-karakteristik suatu
masyarakat. Hukum dan bahasa berkembang ketika suatu masyarakat berkembang
dan keduanya musnah ketika suatu masyarakat kehilangan individualitasnya, hukum
tidak diciptakan negara. Ciri khas kaum historis, hukum adalah ketidakpercayaan
mereka pada pembuatan undang-undang, ketidakpercayaan mereka terhadap
kodifikasi121.
Dalam abad 20 disadari bahwa undang-undang tidaklah lengkap. Nilai-nilai yang
dituangkan dalam undang-undang tidak lagi sesuai dengan perkembangan kehidupan
bersama. Ternyata terdapat kekosongan-kekosongan dan ketidakjelasan dalam
undang-undang. Perkembangan ini di Nederland dimulai pada akhir abad ke 19.
Judge made law dan hukum kebiasaan dapat melengkapi undang-undang. Sejak itu
pula hukum kebiasaan dan yurisprudensi dianggap sebagai unsur-unsur sistem
hukum.
120
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Jakarta : Fikahati Aneska,
2012, hlm. 111
121
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum...., op. cit., hlm. 83
68
Berlawanan dengan pandangan legisme yaitu bahwa undang-undang adalah
satu-satunya sumber hukum adalah pandangan Mazhab Historis yang dipelopori oleh
Von Savigny (1779-1861). Mazhab Historis
berpendapat bahwa hukum itu
ditentukan secara historis, hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu
tempat dan waktu tertentu “Das Recht Wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem
volke”. Kesadaran hukum “volkgeist” yang paling murni terdapat dalam kebiasaan.
Peraturan hukum terutama merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktikpraktik yang terdapat dalam kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dari atas. Para
yuris harus mengembangkan dan mensistematisasi keyakinan dan praktik-praktik ini.
Von Savigny berpendapat bahwa hukum adalah hukum kebiasaan yang tidak
cocok dengan kehidupan modern. Sebelum mengkodifikasikan hukum harus
mengadakan penelitian yang mendalam lebih dahulu. Perundang-undangan menyusul
pada tingkat terakhir setelah ilmuwan hukum berhasil mengungkapkan roh volkgeist.
Persoalan bagaimana merumuskan sebagai rumusan hukum merupakan pekerjaan
para teknolog hukum. Bagi Savigny, pembuat hukum harus setia pada volkgeist. Oleh
karena itu, suatu tatanan hukum (termasuk dalam wujud perundang-undangan) tidak
bisa bersifat universal dan hukum selalu bersifat kontekstual bagi bangsa tertentu 122.
Apabila dilihat dalam konteks zamannya, teori Savigny menentang dua kekuatan
yang berkuasa pada zaman itu yaitu Pertama, Rasionalisme dari abad ke-18 dengan
kepercayaannya kepada hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama,
yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara
deduksi dan tanpa memandang fakta historis, berciri khas nasional dan sesuai dengan
kondisi masyarakatnya. Sebagaimana dikemukakan G.W. Paton “the historical
school in part was a result of that surge of nationalism that arose at the end of the
eighteenth century” Kedua, kepercayaan dan semangat revolusi Perancis dengan
pemberontakannya terhadap kekuasaan dan tradisi, kepercayaannya pada akal dan
122
Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, op.cit.,
hlm.96
69
kekuasaan
kehendak
manusia
atas
keadaan-keadaan
dan
pesan-pesan
kosmopolitannya123.
Mazhab historis juga merupakan bentuk penolakan atas pemikiran hukum
alam. Di sisi lain juga juga menyatakan bahwa hukum sebagai produk lembaga
legislatif pada dasarnya merupakan bentuk kesewenang-wenangan namun hukum
berkembang sebagai bentuk respon yang bersifat impersonal serta ditemukan dalam
semangat masyarakat suatu bangsa. Hal ini dikemukakan ole Lloyd’s Freeman
sebagai berikut : “Savigny rejected natural law..Law was not the result of an
arbritary act of legisltor but developed as response to the impersonal powers to be
found in the people’s national spirit”124.
Sebagaimana dicontohkan oleh Savigny bahwa perkembangan hukum
Romawi merupakan penuntun hukum yang bijaksana karena pembentukannya
dilakukan melalui adaptasi bertahap sampai tahap pembentukan kodifikasi yang final.
Dalam proses tersebut, peran ahli hukum begitu menentukan terutama dalam
membaca semangat zaman dan konteks sosial kontemporer sebagai landasan adaptasi
hukum itu sendiri. Dengan demikian Savigny memandang ilmu hukum sebagai
panduan reformasi hukum dan kesadaran umum merupakan sumber hukum yang
utama,
c.
Begriffsjurisprudenz
Ketidakmampuan pembentuk undang-undang meremajakan undang-undang
pada waktunya merupakan alasan untuk memberi peran aktif kepada hakim. Dari
hakim diharapkan dapat menyesuaikan undang-undang pada keadaan baru.
Yuriprudensi mulai memperoleh peranan sebagai sumber hukum. Demikian pula
hukum kebiasaan memperoleh kembali perannya sebagai sumber hukum. Sebaliknya
123
lihat Himawan Estu Bagijo, Hukum Sebagai Produk Sejarah, dalam Jurnal Perspektif Volume XV
No. 2 Tahun 2010 Edisi April, hlm. 161
124
Ibid. hlm. 162
70
para sarjana mulai bersikap kritis terhadap undang-undang. Begriffsjurisprudenz
adalah a school of german jurist which believed that ideal laws are based on a
logical analysis of legal concept125”
Sebagaimana pendapat Hans-Peter Haferkamp126 sebagai berikut :
“Begriffsjurisprudence is a polemical German term for a conseptual and
mathematical orientation in jurisprudence, which is accused of being remote from
reality. No jurist has ever called hismself a follower of the Begriffsjurisprudenz
(Begriffsjurist).
Begriffsjurisprudence is assigned to threeinterrelated elementary positions, which
are critized as being misleading (1) that the given law contains no gaps (2)that the
given law can be traced back to a logically organized system of concepts (pyramid
concepts) (3) that new law can be logically deduced from superordinate legal
concepts, which themselves are found inductively (method of inversion)”
Dalam pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von
Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistematik hukum “The term
Begriffsjurisprudenz was first used in 1884 by Rudolph von Jhering as a catchword
against contemporary Pandektistik (pandectism)”. Setiap putusan baru dari hakim
harus sesuai dengan sistem hukum. Berdasarkan kesatuan yang dibentuk oleh sistem
hukum, maka setiap ketentuan undang-undang harus dijelaskan dalam hubungannya
dengan ketentuan undang-undang yang lain sehingga ketentuan-ketentuan undangundang itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Menurut aliran ini yang ideal ialah
apabila sistem yang ada itu berbentuk piramida dengan pada puncaknya suatu asas
125
Ludwig von Mises Institute, Begriffsjurisprudenz, Tersedia di
http://wiki.miss.org/wiki/Begriffsjurisprudenz diakses Senin, 4 Mei 2015 Pkl. 12.05 WIB
126
Hans-Peter Haferkamp, Begriffsjurisprudenz/Jurispredence of Concepts, Enzyklopadie zur
Rechtsphilosophie, April 6, 2011, Tersedia di http://www.enzyklopaedie-jurisprudene-of-concepts,
diakses Senin, 4 Mei 015 Pkl. 13.00 WIB
71
utama.
Dari
situ
dapat
dibuat
pengertian-pengertian
baru
“Begriff”.
Dikembangkanlah sistem asas-asas dan pengertian-pengertian umum yang digunakan
untuk
mengkaji
undang-undang.
Oleh
karena
itu
teori
ini
disebut
Begriffsjurisprudenz, suatu nama yang diberikan Von Jhering pada aliran ini
Menurut aliran ini bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap
namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangnnya sendiri
karena undang-undang memiliki daya meluas. Hukum dipandang sebagai satu sistem
tertutup dimana pengertian hukum tidaklah sebagai sarana, tetapi sebagai tujuan.
Pekerjaan hakim dianggap sebagai pekerjaan intelek di atas hukum-hukum rasional
dan logis. Kepastian hukum merupakan tujuan dari aliran ini sehingga keadilan dan
kemanfaatan hukum bagi warga masyarakat diabaikan.
Penggunaan hukum logika yang dinamakan sillogisme menjadi dasar utama
aliran ini dan hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor yaitu
peraturan hukumnya dan premise minor yaitu peristiwanya. Contoh, siapa mencuri
dihukum, A terbukti mencuri maka A harus dihukum. Jadi, rasio dan logik
ditempatkan dalam ranah yang istimewa. Kekurangan undang-undang dapat
dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian
undang-undang berdasarkan rasio. Model pemikiran seperti ini, menurut Satjipto
Rahardjo127 bersifat lebih melihat ke dalam yaitu analisa dari sistem dan isi,
penafsiran makna-makna dari peraturan dan yang sejenisnya. Inilah yang dimaksud
dengan melihat hukum sebagai sistem yang logis-konsisten-tertutup.
Cara berpikir dari positivisme-dogmatik ataupun analytical jurisprudence
atau rechtsdogmatiek adalah cara berpikir serial thinking yaitu yang didasarkan pada
IQ. Cara berpikir ini merupakan cara yang paling sederhana, bersiat linier, logis dan
dispassionate. Keunggulan dari serial thingking dan IQ adalah accurate, precise dan
127
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni
Bandung, 1977, hlm. 43
72
reliabe. Cara berpikir ini menjadi landasan Newtonian Science yang bersifat linier
dan deterministik. Dalam konteks positivisme hukum, unsur-unsur dan cara berpikir
ini adalah peraturan dan logika. Hasil analisis diperoleh dengan berangkat dari
peraturan yang diolah dengan menggunakan logika, dengan mengabaikan unsur
lingkungan sehingga keadilan yang diperoleh adalah keadilan logika peraturan atau
formal justice128. Adapun kritik terhadap aliran ini terutama berpendapat bahwa
hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio tetapi juga merupakan persoalan hati
nurani maupun pertimbangan akal budi manusia yang kadang-kadang bersifat
irrasional.
d.
Interessenjurisprudenz
Sebagai reaksi terhadap Begriffjurisprudenz lahirlah pada abad ke 19 di
Jerman. Interessejurisprudenz yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1892)
suatu aliran yang menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan (interessen) yang
difiksikan.
Oleh
karena
itu
aliran
ini
disebut
interessejurisprudenz.
Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada
dasawarsa pertama abad ke 20 di Jerman.
Sebagaimana dijelaskan Remus Titiriga129 bahwa :
“Interessenjuriprudenz from Germany belongs to an approach based on balance or
proportionality (rationality of conflicting consideration) which is a dominant mode o
legal reasoning of our time. The major thinkers responsible for creating this appoach
were Olier Wendell Holmes in the United States, Rene Demogue in France and
Phillipp von Heck in Germany. Although the technique of conflicting considerations
has a rich Euroean genealogy, it received it most elaborate from in the Unites States
128
Agus Rahardjo, op. cit., hlm. 12
Remus Titiriga, The Jurisprudence of Interests (Interessenjurisprudenz) from Germany: History,
Accomplishments Evaluation, International Journal of Law, Language and Discourse, Volume 3.1,
June 2013. Tersedia di http://papers.ssrn.com./sol/papers.cfm?abstrac_id=2011479 diakses Sabtu, 9
Mei 2015 Pkl. 21.10 WIB
129
73
between 1940 and 1970. In the early fifties, the constitutional Court of Germany and
later the European Union Court of Justice or European Court of Human Rights,
adopted the technique of proportionality as their usual technique”
Aliran ini berpendapat bahwa undang-undang jelas tidaklah lengkap. Undangundang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya
mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum. Oleh
karena itu hakim bukan sekedar menerapkan undang-undang saja, tetapi juga
mencakup memperluas dan membentuk peraturan dalam putusan hakim. Bahkan
dalam rangka mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim boleh menyimpang
dari undang-undang demi kemanfaatan masyarakat. Oleh karena itu hakim
mempunyai freies ermessen. Ukuran dengan kesadaran hukum dan keyakinan warga
masyarakat, tergantung pada ukuran darai keyakinan hakim, di mana kedudukan
hakim bebas mutlak.
Menurut aliran interessenjurisprudenz bahwa suatu peraturan hukum tidak boleh
dipandang oleh hakim sebagai sesuatu yang formil logis belaka, tetapi harus dinilai
menurut tujuannya yaitu tujuan hukum pada dasarnya adalah melindungi, memuaskan
atau memenuhi kepentingan “interessen” atau kebutuhan hidup yang nyata. Dalam
putusannya, hakim harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau
dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, hakim harus
memahami
kepentingan
sosial,
kepentingan
moral,
kepentingan
ekonomi,
kepentingan kultural ataupun kepentingan-kepentingan lainnya dalam suatu peristiwa
konkrit tertentu yang disodorkan kepadanya untuk diperiksa dan diadili.
Peluang kesewenang-wenangan hakim dalam aliran ini dapat saja terjadi karena
hakim merupakan manusia biasa yang mungkin saja tidak terlepas dari berbagai
kepentingan dan pengaruh sekelilingnya termasuk kepentingan pribadi, keluarga dan
74
sebagainya. Menurut aliran ini pula, hakim tidak hanya boleh
untuk mengisi
kekosongan undang-undang saja, namun hakim bahkan boleh menyimpanginya
e.
Sociologische rechtsschule
Aliran ini tidak menyetujui hakim diberikan freies ermessen atau menolak
adanya kebebasan dari hakim dalam melakukan penemuan hukum, namun demikian
hakim bukan hanya sekedar corong undang-undang yang hanya menerapkan undangundang semata, tetapi hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat,
perasaan dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga
masyarakat. Menurut aliran ini,
dalam melaksanakan tugasnya hakim tetap
mempunyai kebebasan tetapi kebebasan yang terikat “gebonded-vrijheid” atau
keterikatan yang bebas “vrij-gebondenheid”. Tugas hakim hanyalah menyelaraskan
undang-undang dengan keadaan zaman. Oleh karena itu, Hakim seyogyanya
mendasarkan putusan sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang
sedang hidup di dalam masyarakat. Hanya putusan hakim yang sesuai dengan
kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakat merupakan hukum dalam
makna sebenarnya.130.
Sociologische rechtsschule
menekankan perlunya para hakim memiliki
wawasan pengetahuan yang luas bukan sekedar ilmu hukum dogmatik belaka tetapi
seyogyanya mendalami juga ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, antropologi,
politik, ekonomi dsb. Sebagaimana diungkapkan bahwa seorang hakim yang tidak
belajar ekonomi dan sosiologi, sangat cenderung menjadi musuh masyarakat dan
seorang hakim yang tidak belajar sejarah dan preseden adalah merupakan suatu
kesombongan sekaligus “ketolololan”131.
130
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 34
131
Ibid. hlm. 35
75
f. Freirechbewegung
Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di Jerman.
Reaksi itu dimulai oleh Kantorowicz (1877-1940) yang dengan nama samaran
Gnaeus Flavius dalam tahun 1906 menulis Der Kampf um die Rechtswisswnschaft.
Aliran baru ini disebutnya freirechtlich (bebas) dan dari situlah timbul istilah
Freirechtbewegung. Freirechbewegung merupakan ajaran penemuan hukum bebas,
yaitu penemuan hukum yang tidak secara ketat terikat pada undang-undang tetapi
lebih menekankan pada kepatutan.
Pada prinsipnya pandangan atau dasar pemikiran aliran ini yaitu : Pertama,
Kodifikasi itu tidak mungkin lengkap, tidak seluruh hukum terdapat dalam undangundang, karena disamping undang-undang masih terdapat umber-sumber lain untuk
menemukan hukumnya. Kedua, Tiap pemikiran yang melihat hakim sebagai
subsumptie automaat dianggap sebagai sesuatu yang tidak nyata. Ketiga, Peran
undang-undang adalah subordinatie yaitu undang-undang bukanlah tujuan bagi
hakim tetapi sekedar sebagai sarana. Hakim tidak hanya mengabdi kepada fungsi
kepastian hukum tetapi mempunyai tugas sendiri dalam merealisasi keadilan. Dalam
hal
undang-undang
bertentangan
dengan
rasa
kedilan,
hakim
berwenang
menyimpangi undang-undang tersebut. Hakim tidak semata-mata berperan sebagai
penafsir undang-undang tetapi juga sebagai pencipta hukum.
g.
Open System Van Het Recht
Hukum sebagai suatu sisem terbuka “open system van het recht” dikemukakan
oleh Paul Scholten. Konsep tersebut merupakan reaksi terhadap pendapat, bahwa
hukum itu merupakan kesatuan yang tertutup secara logis. Ajaran ini hendak
mempertahankan keutuhan dari sistem hukum sebagai suatu sistem perundangundangan dengan menjaga kemurnian kualifikasinya sebagai suatu sistem hukum
76
tertulis. Sistem itu tidak boleh berubah dan diubah selama pembuat undang-undang
tidak mengubahnya. Segi positif dari ajaran yang demikian iu terletak pada nilai
kepastiannya yang besar dan segi negatifnya terletak pada sifatnya yang statis.
Bagi Scholten, hukum merupakan satu sistem yang semua aturan saling
berkaitan. Aturan-aturan itu dapat disusun secara sistematik dan untuk yang bersifat
khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya. Hakim bekerja atas dasar penilaian
dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru. Disamping itu sistem
hukum itu logis dan tidak tertutup. Sistem itu juga tidak statis karena sistem hukum
itu membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa
menambah luasnya sistem hukum tersebut. Oleh karena itu penilaian hakim itu
dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi.
Konsep penemuan hukum oleh hakim terutama dipelopori oleh aliran sistem
terbukanya hukum “open system van het recht” Paul Scholten, dimana ia mengatakan
:
a. Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah
sebelum badan pembuat undang-undang mengubahnya. Artinya
undang-undang dapat saja diubah maknanya, meskipun tidak diubah
bunyi kata-katanya untuk menyesuaikannya dengan fakta konkrit yang
ada.
b. Keterbukaan
sistem
hukum
berhubungan
dengan
persoalan
kekosongan dalam hukum, dimana ada dua macam kekosongan
hukum, yaitu :
1. Kekosongan dalam hukum yaitu manakala hakim mengatakan
bahwa ia menjumpai suatu kekosongan, karena tidak tahu
bagaimana ia harus memutuskan;
77
2. Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu yang terjadi
manakala dengan konstruksi dan penalaran analogipun problemnya
tidak terpecahkan sehingga hakim harus mengisi kekosongan itu
seperti ia berada pada kedudukan pembuat undang-undang dan
memutuskan sebagaimana kiranya pembuat undang-undang itu
akan memberikan keputusannya dalam menghadapi kasus seperti
itu.
Scholten menyarankan agar pikiran tentang kekosongan dalam hukum
sebagaimana tersebut diatas ditinggalkan saja dan tidak membuat perbedaan lagi
antara penerapan hukum oleh hakim dan pembuatan hukum oleh pembuat undangundang. Di dalam penerapan hukum juga dijumpai masalah penilaian dan tidak hanya
menangani pengkotak-katikan pengertian-pengertian logis belaka. Dalam penerapan
hukum selalu dijumpai adanya hal-hal baru yang ditambahkan. Keputusan yang
dilakukan
oleh hakim pada akhirnya merupakan suatu lompatan dari penalaran
secara logis pada suatu penilaian.
Alasan lain yang menjadi dasar dari konsep Scholten adalah bahwa hukum itu
merupakan suatu kesatuan norma-norma. Norma-norma itu merupakan peristiwa
sejarah, oleh karena ditetapkan oleh badan-badan dan kekuatan-kekuatan yang
konkrit terdapat di dalam masyarakat pada suatu waktu tertentu, seperti pembuat
undang-undang, kebiasaan bahkan juga tingkah laku hukum dari masyarakat.
Berdasarkan alasan-alasan itulah Scholten mengemukakan pendapatnya bahwa
hukum itu merupakan sistem yang terbuka yang tidak hanya melihat ke belakang
pada perundang-undangan yang ada, tetapi juga memandang ke depan dengan
memikirkan konsekuensi-konsekuensi suatu keputusan hukum bagi masyarakat yang
diaturnya.
h.
Penemuan hukum modern
78
Penemuan hukum modern lahir sesudah Perang Dunia II, Dibawah pengaruh
eksistensialisme dan merupakan kritik terhadap pandangan hakim sebagai subsumptie
automaat. Dasar pemikiran atau pandangan ajaran in diantaranya adalah :
a. Positivisme
undang-undang/legisme
sebagai
model
subsumptie
automaat tidaklah dapat dipertahankan;
b. Yang menjadi titik tolak bukan pada sistem perundang-undangan
tetapi masalah kemasyarakatan konkrit yang harus dipecahkan;
c. Tujuan pembentuk undang-undang dapat digeser, dikoreksi tetapi tidak
boleh diabaikan;
d. Penemuan hukum modern berpendirian bahwa atas satu pertanyaan
hukum dapat dipertahankan pelbagai jawaban dalam sistem yang
sama;
e. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia maka
dalam menemukan harus diperhatikan pula perkembangan masyarakat
dan perkembangan tekhnologi;
f. Metode penafsiran yang digunakan terutama teleogis, yang lebih
memperhatikan tujuan dari undang-undang dari pada bunyi katakatanya saja.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka pandangan penemuan hukum
modern ini dapat digolongkan dalam pandangan “gesystematiseerd probleemdenken”
atau pandangan yang problem oriented dari ajaran freirechtbewegung, dimana
pencari keadilan lebih diutamakan.
i.
Aliran Critical Legal Studies
79
Selama kurang lebih 30 tahun, terhitung sejak tahun 1920-an, The Realistic
Jurisprudence tampil merajai perbincangan-perbincangn untuk menyuarakan
pendapat yang berseberangan dengan paham formalisme132 sebagaimana dianut para
lawyers profesional Amerika133. Setelah itu hampir 30 tahun pula lamanya, suarasuara keras anti formalisme terdengar kian lirih dan hampir seperti tidak akan
terdengar lagi. Namun secara tiba-tiba, gerakan-gerakan sosial politik yang sebagian
dipicu oleh memuncaknya Perang Vietnam meningkat pada tahun 1970 an untuk
mengekspresikan perlawanan kepada kebijakan pemerintah, yang pada waktu itu
serasa aman-aman saja di bawah naungan hukum formalisme. Kebijakan-kebijakan
yang sekalipun dibenarkan secara formal oleh hukum namun ternyata tidak berselaras
dengan tuntutan realitas yang ada pada waktu itu dengan segera mengundang
tampilnya sejumlah ahli hukum yang kritis134.
“Critical Legal Studies is most often associated with controversial claim that all
legal doctrine is necessarily indeterminate.In the are of analytic jurisprudence,
critical legal scholars have critized liberal rights theory by stressing the economic
and social interdependence of legal persons. They therefore argue that the liberal
ideals of freedom to act without harming others and freedom to transact with
consenting others, are self-defeating”135.
132
Paham formalisme hukum (legal formalism) mendominasi pendidikan dan praktik hukum di
Amerika Serikat sampai dengan pertengahan tahun 1970. Paradigma ini sama dengan positivisme
hukum yang muncul di Eropa Barat pada abad 19. Seperti halnya dengan positivisme hukum, paham
formalisme hukum menganggap hukum sbagai sebuah sistem yang netral, objektif dan otonom, dalam
Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap..., op.cit., hlm. 100
133
Pendekatan formalisme hukum hanya menyiapkan mahasiswa sebagai tukang dan menjadi bagian
dari sekrup kapitalisme. Para lawyer yang bekerja untuk korporasi hanya melayani klien yang mau
membayarnya tanpa kritis mempertanyakan tentang keadilan dan ketidakadilan, ibid, hlm 101
134
Soetandyo Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial Dan Hukum,
Malang: Setara Press, 2013, hlm. 132
135
Guyora Binder, Critical Legal Studies, Buffalo Legal Studies Research Paper No. 2012-023,
ed.2010. Tersedia di http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1932927 diakses Senin, 11
Mei 2015 Pkl. 10.30 WIB
80
Sesuai dengan namanya maka aliran ini mengkritik secara konsepsional
teori hukum tradisional yang berlaku pada saat ini. Aliran critical legal studies ini
lahir di Amerika Serikat yang dibidani oleh sejumlah Profesor hukum yang berhaluan
post modern136 dari universitas terkemuka antara lain Universitas Havard pada akhir
dekade 1970 an. Sebagai arus utama teori hukum kritis pada waktu ini cukup masif
mempengaruhi kebijakan publik Amerika dan membuka kesadaran warganya untuk
anti perang Vietnam. Beberapa lawyer, yuris, akademisi, dan aktor di bidang hukum
berkumpul untuk mengumandangkan sebuah paradigma oposisi pemerintah terhadap
perang Vietnam. Disana berkumpul Unger, Abel, Heller, Horwits, Kennedy
Macaulay, Rosenblatt, Trubek dan Tushnet. Merekalah yang mendesain bahwa
hukum barangkali sebagai institusi yang tidak dapat diberikan kepercayaan lagi.
Milovanovic menyebutkan adanya tiga tahap perkembangan pemikiran kritis di
bidang praktik dan teori hukum (yang dikenal dengan nama “The Critical Legal
Studies Movement” dengan inisial CLS). Dikatakan olehnya bahwa pada awalnya
sepanjang belahan pertama dasawarsa 1970 an, gerakan CLS ini barulah merupakan
suatu seri serangan awal yang penuh kritik pada praktik dan ajaran klasik kaum
formalis. Pada tahap yang kedua yaitu sepanjang belahan kedua dasawarsa 1970 an,
gerakan CLS sudah mulai berprakarsa mengkritiki kasus-kasus lewat berbagai
analisis yang hasinya pada tahap berikutnya telah diintegrasikan untuk menghasilkan
konsep, teori dan metode baru dalam kajian hukum CLS tidak lagi hanya sebatas
suatu gerakan akan tetapi juga tumbuh kembang sebagai aliran baru dalam ilmu
hukum. Apabila dalam tahap awal nama Kennedy yang sering disebut sebagai tokoh
eksponennya dan pada tahap kedua nama Kairys yang dikedepankan, pada tahap
ketiga nama Unger yang acapkali disebut sebagai nama penting137.
136
Roberto M. Unger, Law and Modern Society : Toward a Critism of social Theory,Terjemahan :
Dariyanto dan Dertan Sri Widowatie, 2010, Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat
Modern, hlm. 134.
137
Ibid., hlm. 135
81
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa “Critical Legal Studies” merupakan suatu
gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri “leftist138 dengan orientasi yang sama
dengan orientasi politik “neo marxist” tetapi kemudian dikembangkan juga oleh para
praktisi hukum. Gerakan ini lahir karena pembangkangan atas ketidakpuasan
terhadap teori dan praktik hukum yang ada pada dekade 1970 an, khususnya terhadap
teori dan praktik hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut : Pertama, Terhadap
pendidikan hukum, Kedua: Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum
dan Ketiga: Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.
Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970 an yang
merupakan hasil dari suatu konfederasi tahun 1977 di Amerika Serikat. Pada saat
hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum
dengan paham yang serupa walaupun metode dan fokus berbeda, juga lahir secara
terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti Jerman, Perancis, dan
Inggris. Critical Legal Studies di Inggris lahir pada tahun 1984 dengan adanya
konferensi yang membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat
kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori “law in books” dengan hukum
dalam kenyataan “law in action” dan kegagalan dari hukum dalam merespon
masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Konferensi tersebut dianggap
sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies yang
dilakukan oleh suatu organizing commitee yang beranggotakan para ahli hukum yaitu
: Abel, Heller, Hoewitz, Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek, Tushnet dan
Unger.
Gerakan Critical Legal Studies ini lahir dilatarbelakangi oleh kultur politik
yang serba radikal dalam dekade 1960an. Meskipun gerakan-gerakan tersebut
bervariasi dalam konsep, fokus dan metode yang digunakan, dalam gerakan ini
mengandung kesamaan atau kesejajaran tesis mereka. Pertama-tama para eksponen
138
Roberto M. Unger, The Critical Legal Studies Movement, Terjemahan : Narulita Yusron, 2012,
Gerakan Studi Hukum Kritis, Bandung : Nusa Media
82
Critical Legal Studies tidak percaya akan paradigma kaum positivis-formalis yang
mengidealkan hukum sebagai suatu institusi yang dapat dikonstruksi dan dikelola
sebagai suatu otoritas yang mampu bertindak netral. Idealisme hukum sebagai hasil
positivisasi norma-norma yang telah disepakati, yang dengan demikian akan memiliki
kekuatan internal guna mengikat siapapun dan dari pihak manapun (termasuk yang
menciptakan hukum itu sendiri), tidaklah bisa diterima begitu saja. Sekalipun hukum
formal merupakan hasil kesepakatan namun dipertanyakan apakah benar-benar
bersifat netral dan akan dapat ditegakkan lewat suatu silogisme yang objektif oleh
badan yudisial yang konon diidealkan sebagai institusi yang juga berposisi
independen dan tidak akan memihak
Dengan kata lain,
ajaran Critical Legal Studies ini memiliki beberapa
karakteristik umum sebagai berikut :
a. Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku
yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral;
b. Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang sarat
dan dominan dengan ideologi tertentu;
c. Aliran Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen yang
besar terhadap kebebasan individual
dengan batasan-batasan
tertentu. Oleh karena itu aliran ini banyak berhubunan dengan
emansipasi kemanusiaan;
d. Aliran Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentukbentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benarbenar objektif. Oleh karena itu ajaran ini menolak keras ajaranajaran dalam aliran positivisme hukum.
e. Ajaran Critical Legal Studies ini menolak perbedaan antara teori
dan praktik dan menolak juga perbedaan antara fakta “fact” dan
83
nilai “value” yang merupakan karakteristik dari faham liberal.
Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori murni
“pure theory” tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki
daya pengaruh terhadap transformasi sosial yang praktis.
Perkembangan selanjutnya dari Critical Legal Studies adalah dengan
munculnya generasi kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya
dengan menggunakan hukum untuk merekonstruksi kembali realitas sosial yang baru.
Generasi kedua tersebut sekarang ini muncul dalam wujud Feminist Legal Theorist
“fem-crit” dan critical race theorist (race-crit) dan yang masuk lebih jauh di bidang
hukum adalah radical ciminology. Dewasa ini aliran-aliran seperti itu telah
mempengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat sudah sangat sadar
bahwa hukum yang ada sekarang bukanlah pelindung “protector” melainkan sudah
menjadi penindas “oppressor”.
Pembaharuan hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional di Indonesia
seringkali diamati dalam perspektif studi hukum kritis139. Hal ini dikarenakan
pembaharuan hukum erat sekali dengan kebijakan politik hukum dalam pembangunan
hukum nasional. Pembaharuan hukum dalam perspektif studi hukum kritis dengan
mengutip pendapat Duncan Kennedy melalui metode elektisnya lebih memberi
perhatian pada upaya bagaimana mengungkapkan doktrin hukum yang diciptakan dan
bagaimana ia berfungsi mensahkan suatu sistem sosial tertentu. Oleh karena itu,
hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah melainkan merupakan resultante
dari berbagai proses interaksi dan negosiasi berbagai kepentingan diantara faksi-faksi
dalam masyarakat dan negara. Memahami pembaruan hukum haruslah diarahkan
kepada realitas kekuatan-kekuatan sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat.
j.
139
Teori Hukum Progresif
Diana E. Rondonuwu, Menggagas Pembaharuan Hukum Melalui Studi Hukum Kritis, Jurnal Lex
et Societatis, Vol. II/No. 3/April/2014, Universitas Sam Ratulangi, Manado, hlm. 101
84
Kata progresif berasal dari progress yang berarti kemajuan. Hukum diharapkan
mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman
dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan
menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum
sendiri. Selanjutnya bahwa hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara
berhukum. Sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo140 bahwa cara berhukum
bermacam-macam. Cara berhukum yang positif-legalistis adalah menerapkan
berdasarkan undang-undang
“alles binnen de kader van de wet” atau mengeja
undang-undang. Dihadapkan pada cara berhukum tersebut di atas, maka hukum
progresif bekerja sangat berbeda. Cara berhukum memang dimulai dari teks tetapi
tidak berhenti hanya sampai disitu melainkan mengolahnya lebih lanjut. Cara
berhukum menurut hukum progresif dibangun dengan tidak sekedar melibatkan ciri
berpikir linier, tetapi juga melibatkan rasa-perasaan dan kecerdasan meta-rasional.
Mengutip pendapat Paul Scholten141 bahwa dalam pembuatan putusan-putusan
hukum lalu terjadi suatu lompatan “een sprong”.
Soetandyo Wignjosobroto142 mengungkapkan tentang paham progressisme
adalah paham yang bertolak dari suatu paradigma saintisme yang empirik dan positif
yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat dalam permasalahan
ekonomi, sosial politik dan hukum. Menurut progressisme bahwa perubahan macam
apapun yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, jejak langkahnya sudah pasti
akan selalu berarah ke bentuk dan substansi yang secara kodrati akan lebih baik
daripada yang sudah-sudah.
Di Amerika Serikat, ajaran atau sikap progresivisme dipelopori oleh Hakim
Agung Oliver Wendell Holmes, Louis Brendeis dan Benjamin Cardozo sekitar atau
hampir seratus tahun yang lalu. Progresivisme dari para hakim tersebut berkenaan
140
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Berdamai dengan Alam, Jurnal Hukum Progresif, Volume 3
Nomor 2 (Oktober 2007)
141
Satjipto Rahardjo dalam Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, op. cit.,hlm. 5
142
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, hlm.7
85
dengan penerapan (pemaknaan) Undang-Undang Dasar dan konstitusionalisme.
Tetapi ada pula yang mempersoalkan ajaran ini karena hukum menjadi semata-mata
kehendak hakim yang dapat mengancam kepastian hukum. Menurut pandangan ini,
progresivisme tidak menjadikan misalnya Undang-Undang Dasar sebagai the living
constitution, sehingga dikatakan the living constitution adalah the dead faith. Dalam
kenyataan, hukum yang hidup adalah putusan-putusan hakim yang menjadi semacam
common law di Inggris. Apabila ditinjau dari maksudnya, progresivisme tidak lain
cara menafsirkan hukum (Undang-Undang Dasar). Progresivisme menolak anggapan
bahwa hukum itu berlaku tanpa dibatasi waktu (no time bound). Selain itu
progresivisme tidak dapat menerima penafsiran yang disebut originalis atau tekstual,
melainan kontekstual atau kontemporer. Konsekwensi lebih jauh dari progresivisme
jika dikaitkan dengan judicial review membawa pengadilan ke dalam proses
politicking. Sebagaimana Bradley C.S. Watson143 menulis :
“In many ways, the judiciary and in particular Supreme Court of the United States,
has become the most politically controversial branch of goverment. It has
undoubtedly become the locus of attention for those concerned with what are often
referred to as the culture wars. How and why this has come to be case is a
fascinating story. It is the story that finds its beginning in the transformation of
American political thought that commenced in the dae nineteenth century, and it has
continued apace throughout the twentieth and twenty-first. This transformation led in
a word, to progressivis”.
Dalam banyak hal, pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Amerika Serikat secara
praktik telah menjadi cabang pemerintahan yang paling kontroversial. Tidak
diragukan, Mahkamah Agung menjadi pusat bagi orang-orang yang tertarik pada apa
yang disebut perang budaya. Bagaimana dan mengapa hal ini menjadi persoalan
merupakan suatu kisah yang menarik. Suatu kisah yang bermula dari perubahan143
Bagir Manan, Menurut Majelis Mahkamah Agung Hukuman Mati Bertentangan Dengan UUD
1945, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Nomor 328 Maret 2013, hlm. 14
86
perubahan (transformasi) aliran-aliran politik di Amerika Serikat yang dimulai pada
abad ke 19 dan berlanjut ke abad 20 dan 21. Perubahan-perubahan ini membawa pada
satu kata yakni progresivisme.
Bagir Manan144 mengemukakan bahwa ajaran progresivisme hukum apabila
melihat akar-akarnya serupa dengan ajaran hukum bebas “freie rechtslehre” dan
sociological jurisprudence (Ehrlich dan Jhering) dan yang oleh Pound dikaitkan
dengan fungsi hukum sebagai a tool of social engineering. Satjipto Rahardjo145
membandingkan positivisme dan hukum progresif yaitu apabila positivisme hukum
melihat hukum sebagai sesuatu yang final, maka hukum progresif mengatakan
sebaliknya bahwa hukum tidak bisa disebut sebagai tipe hukum yang mutlak dan
selesai. Institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi “law at
process, law in the making”. Hukum progresif diibaratkan sebagai papan petunjuk
yang selalu memperingatkan, hukum itu harus terus menerus merobohkan,
mengganti, membebaskan hukum yang mandek karena tidak mampu melayani
lingkungan yang berubah.
Jalan yang dilalui oleh hukum progresif itu sejalan dengan apa yang dilewati
oleh hukum kodrat. Cara berhukum adalah mencari sebuah hakikat dari sebuah sistem
hukum yang asli dalam jalinan idea-idea yang terkelupas. Bagi Plato sebagaimana
yang diajarkan dalam sejarah filsafat barat, mengajarkan bahwa negara itu bukanlah
sebuah institusi tanpa tujuan. Paling tidak fungsi negara adalah menjaga keselamatan
bersama. Sebuah negara dipimpin oleh seorang filsuf-raja karena dialah yang
mengetahui banyak hal dan mempunyai tingkatan kebijaksanaan level tinggi.
144
Ibid. hlm. 15
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Kesinambungan, Merobohkan dan Membangun, dalam Jurnal
Progresif Volume 2 No. 1 Tahun 2006, hlm. 1
145
87
Filsafat hukum progresif dalam perspektif hukum kodrat klasik memiliki
titik keselarasan yang cukup fundamental. Dalam bingkai pemikiran Socrates, Plato,
Aristoteles, Cicero, Gaius, Aulus Gellius, Pomponius yakni sebuah perjalanan
menggapai yang abstrak, transendental, metafisis dst. Kebenaran sejati itulah yang
ingin direkonstruksikan dalam dunia hukum manusia. Pertama, hukum harus
mengejar konsepsi utopis seperti kebenaran dan keadilan. Kedua, hukum mempunyai
saripati jiwa, ruh dan spirit yang tersembunyi di dalamnya. Ketiga, hukum memiliki
dasar falsafah yang memiliki dua dimensi yakni universalisme yang lebih ditonjolkan
sebagai matematika filsafat hukum kodrat dan partikularisme sebagai wajah keaslian
dari sebuah lokalitas.
Hukum untuk manusia adalah sebuah utopia146 dan hukum untuk manusia
merupakan sebuah adagium yang ditekankan Satjipto Rahardjo. Utopia dikatakan
penting selaras dengan pemikiran Santos tentang utopia adalah syarat mutlak yang
diperlukan bagi gerakan sosial mengidentifikasi dirinya, menetapkan tujuannya,
memasang strategi politik dan menaklukkan lawan-lawannya. Utopia dalam benak
merupakan panggilan jiwa bagi proyek surga duniawi tentang keyakinan sebuah
emansipasi diantara manusia. Oleh karena itu, gerakan sosial yang murni melakukan
counter-hegemoni atas tirani negara dan imperialisme pasar147.
Hukum progresif sesungguhnya adalah sebuah pedang teori hukum kritis yang
bersifat ke-Indonesia-an148. Apabila banyak pandangan teori hukum kritis diletakkan
berbagai kalangan kiri yang selalu bermula dari pertentangan kelas, wacana neoimperialisme, anti-kapitalisme maka Satjipto Rahardjo mengawali teori hukum
146
Hukum untuk manusia adalah sebuah utopia, adapun gambaran tentang utopia dapat dilihat dalam
“Law and the Utopian Imagination” sebagai berikut : “The term “utopia” first appeared in Sir Thomas
More’s eponymous novel of 1516, but the concept predated More by two millennia, finding its first and
most influential elaboration in the pages of Plato’s Republic...”, Lawrence Douglas, Austin Sarat,
Martha Merrill Umphrey, Law and the Utopian Imagination:An Introduction”, dalam Law ang the
Utopian Imagination, Lawrence Douglas (ed) Stanford University Press, California, 2014, hlm. 2
147
Dalam Awaludin Marwan, Satjipto Rahardjo...., hlm. 251
148
Ibid., hlm. 361
88
kritisnya dari sudut diskursus hukum dan masyarakat sehingga memunculkan namanama yang tidak lazim yang dikenal dalam tradisi hukum kritis seperti Nonet,
Selznick, Freidman, Skolnick, Schwartz.
Selanjutnya agar memudahkan pemahaman tentang hukum progresif maka
penulis mengambil tentang identifikasi hukum progresif sebagaimana dikemukakan
Yudi Kristiana sebagai berikut :
Tabel 3
Identifikasi Hukum Progresif
No
IDENTIFIKA
.
SI
1
Asumsi
HUKUM PROGRESIF
1. Hukum
bukan
untuk
manusia,
sebaliknya.
kehadiran
untuk
hukum
dirinya
melainkan
Maka
bukan
sendiri,
untuk
sesuatu
yang lebih luas dan besar.
Itulah
sebabnya
terjadi
permasalahan
dalam
hukum
hukumlah
di
maka
yang
ditinjau
dan
bukan
manusia
dipaksa-paksa
ketika
harus
diperbaiki
yang
untuk
dimasukkan ke dalam skema
89
hukum
2. Hukum bukan merupakan
institusi yang mutlak serta
final karena hukum selalu
berada dalam proses untuk
terus menjadi (law as a
process, law in the making)
2
Tujuan
2. Kesejahteraan dan kebahagiaan manusia
3
Spirit
3. 1. Pembebasan terhadap tipe, cara berfikir, asas
dan teori yang selama ini dipakai
4. 2. Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum
(administration of justice) yang selama ini
berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum
untuk menyelesaikan persoalan.
4
Progresivitas
1. Bertujuan untuk kesejahteraaan dan kebahagiaan
manusia dan karenanya memandang hukum selalu
dalam proses untuk menjadi (law in the making)
2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat
baik lokal, nasional maupun global
3. Menolak
status
quo
manakala
menimbulkan
dekandensi, suasana korup dan sangat merugikan
kepentingan
rakyat
sehingga
menimbulkan
perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada
penasiran pogresif terhadap hukum
90
5
Karakter
1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan
titik
berat
kajian
hukum
yang
semula
menggunakan optik hukum menuju ke perilaku
2. Hukum progresif secara sadar menempatkan
kehadirannya dalam hubungan erat
dengan
manusia dan masyarakat, meminjam istilah Nonet
& Selznick, bertipe responsif
3. Hukum progresif terbagi paham dengan legal
realism karena hukum tidak dipandang dari
kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan
dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan
akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.
4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan
sociological jurisprudence dari Roscoe Pond yang
mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi
tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek
dari hukum dan bekerjanya hukum
5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori
hukum alam karena peduli terhadap hal-hal yang
meta-juridikal
6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan
Critical Legal Studies namun cakupannya lebih
luas.
91
5.
Sumber : Yudi Kristiana : 2007 : 44
Menurut
Hwian
Christianto149,
peran
penting
hukum
progresif
bagi
pembangunan hukum di Indonesia sebagai berikut : Pertama, hukum progresif
merupakan hukum yang membebaskan. Salah satu peran hukum progresif adalah
melakukan terobosan dalam kegiatan penafsiran hukum terhadap ketentuan hukum
yang berlaku. Hukum progresif pada dasarnya tetap mengakui pentingnya ketentuan
hukum yang berlaku. Hukum progresif pada dasarnya tetap mengakui pentingnya
ketentuan hukum yang tertulis dan tidak terikat secara normatif, tapi bebas
melakukan terobosan pemikiran hukum demi keadilan. Bagi penegak hukum
progresif, sumber hukum adalah rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan
kecerdasan spiritual yaitu peran hati nurni dalam menangani setiap kasus hukum yang
dihadapkan kepadanya. Kedua, hukum progresif merupakan solusi atau strategi jalan
tengah yaitu solusi terhadap kondisi hukum Indonesia. Solusi utama yang ditawarkan
adalah perubahan paradigma serta orientasi dalam memandang hukum kepada
kebutuhan masyarakat (manusia). Sedangkan sebagai sebuah strategi jalan tengah
pada dasarnya hukum progresif tidak secara mutlak menolak hukum tertulis, hanya
memberikan porsi lebih banyak pada pentingnya faktor keadilan, kesejahteraan,
kepedulian rakyat sebagai tujuan utama dari hukum. Ketiga, hukum progresif sebagai
gerakan
pembebasan
(dalam
semua
tahapan
penegakan
hukum).
Sebagai
dikemukakan Satjipto Rahardjo150 bahwa konsep hukum progresif menuntut hukum
selalu “bergerak” dalam mengimbangi perkembangan kebutuhan manusia yang
membutuhkan jaminan dan perlindungan hukum. Hukum tidak boleh terbelenggu
149
Hwian Christianto, Penafsiran Hukum Progresif dalam Perkara Pidana, dalam Jurnal Mimbar
Hukum, Volume 23 Nomor 3, Oktober 2011, hlm. 483
150
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Kesinambungan, Merobohkan dan Membangun, dalam Jurnal
Hukum Progresif , Volume 2 No. 1 tahun 2006, hlm. 1
92
dalam pola pikir apa yang dikatakan undang-undang melainkan membuka diri dan
hati untuk menemukan keadilan. Hukum progresif masih terus menerus menegaskan
sosoknya “contour”. Hukum progresif ingin menerobos kemerdekaan dan status quo
dalam rangka hukum setia melayani kemanusiaan. Salah satu yang dilakukan adalah
merobohkan, membebaskan “rule breaking” dan kemudian membangun yang baru
“rule-making”, semua berlangsung dalam satu kesinambungan.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa hukum progresif sangat relevan
disimak dan dipertimbangkan melihat realitas kondisi hukum dan penegakan hukum
di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh A. Mukthie Fadjar 151 yang menyebutkan
ada beberapa indikator yaitu : (1) Hasil reformasi konstitusi (Perubahan UUD 1945
tahun 1999-2001) belum mampu untuk melahirkan suatu sistem ketatanegaraan dan
sistem hukum yang mengedepankan supremasi hukum yang mengedepankan
supremasi hukum, menghormati HAM dan berkeadilan sosial, (2) Pembentukan
hukum baik melalui proses legislasi maupun melalui yurisprudensi belum mampu
menghasilkan hukum yang berparadigma Pancasila, (3) Institusi-institusi penegak
hukum kehilangan kredibilitasnya dan bahkan institusi-institusi baru seperti KPK,
MK yang semula sangat diandalkan mulai dijangiti penyakit degeneratif, (4)
Manajemen penegakan hukum yang kacau balau karena arogansi sektoral yang
melahirkan konflik kelembagaan, (5) Lembaga-lembaga pendidikan tinggi hukum
yang menjadi pemasok utama sumber daya manusia pembentuk dan penegak hukum
memang produktif dalam kuantitas tetapi belum bagus dari segi kualitas dan
integritas, (6) Pengaruh kekuatan dan kekuasaan politik masih sangat kental dalam
penegakan hukum sehingga sering membuat mandul hukum dan penegakkannya.
Penemuan hukum dilakukan oleh hakim berawal dari peristiwa konkrit yang
dihadapkan kepada hakim untuk diputuskan. Dalam konteks dengan sistem penemuan
hukum di Indonesia, pembentuk undang-undang tidak memprioritaskan pada salah
151
A. Muktie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 122
93
satu metode penemuan hukum. Oleh karena itu, para hakim bebas menentukan
metode yang dianggap paling tepat, meyakinkan dan memuaskan. Hakim dalam hal
ini bersikap otonom dalam menentukan pilihannya. Bahkan dalam putusan-putusan
pengadilan pun, hakim tidak pernah menegaskan alasan penggunaan metode
penemuan hukum tertentu, bahkan tidak jarang menggunakan gabungan atau lebih
dari satu jenis metode penemuan hukum152.
Hakim dalam menghubungkan antara teks undang-undang dengan suatu
peristiwa konkrit yang diadilinya, wajib menggunakan pikiran dan nalarnya untuk
memilih metode penemuan hukum apa yang paling relevan untuk diterapkannya
dalam suatu perkara karena ketepatan penggunaan metode tersebut akan
mempengaruhi putusan. Hal ini dikarenakan putusan hakim tersebut dapat dinilai adil
dan bermanfaat oleh warga masyarakatnya. Seorang yuris yang baik tidak hanya
membutuhkan sekedar kemampuan membaca seperti orang lain tetapi harus mampu
menafsirkan dengan tepat apa yang dibaca. Putusan hakim memang hukum, bukan
sekedar sumber hukum153.
Sejak digagasnya konsep hukum progresif sebagaimana terurai di atas,
berbagai pemikiran untuk menggunakan hukum progresif dalam tahapan proses
hukum mulai bergulir termasuk didalamnya penemuan hukum progresif yang
memiliki tiga karakteristik utama154, yaitu : Pertama, penemuan hukum yang bersifat
visioner dengan melihat permasalahan hukum tersebut untuk kepentingan jangka
panjang ke depan dengan melihat case by case. Kedua, penemuan hukum yang
berani dalam melakukan suatu terobosan “rule breaking” dengan melihat dinamika
masyarakat, tetapi tetap berpedoman pada hukum, kebenaran daan keadilan serta
memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya. Ketiga, penemuan
hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga
152
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Prespekif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Bandung, hlm. 92
153
Ibid. hlm. 93
154
Hwian Christianto, op.cit., hlm. 491
94
dapat membawa bangsa dan negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan
sosial seperti saat ini.
Secara faktual tidak dapat ditentukan metode penemuan hukum yang
bagaimanakah yang dapat digunakan hakim dalam melakukan penemuan hukum yang
sesuai dengan karakteristik penemuan hukum yang progresif karena dalam setiap
perkara atau kasus mempunyai bentuk dan karakteristik yang berlainan sehingga
hakim akan menggunakan metode penemuan hukum yang sesuai dengan kasus yang
dihadapinya “case by case”. Seorang hakim (dalam hal ini Hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara) pada saat menghadapi kasus-kasus konkret yang harus diadili, dimana
hukum yang bersifat statis atau yang menimbulkan ketidakjelasan dalam masyarakat
yang senantiasa berkembang maka diperlukan kemampuan berpikir pada hakim untuk
mencari hukum dan menemukan hukum solusi dalam kasus yang dihadapi yang harus
dipecahkan dan diputuskan secara cepat dan adil. Dalam kerangka berpikir demikian
judicial activism dilakukan oleh hakim dan peradilan untuk menjawab dan mengisi
kekosongan hukum dalam mengikuti perkembangan dan dialektika hukum dalam
masyarakat sehingga putusan-putusan peradilan dapat mencerminkan rasa keadilan.
2.3. Metode Penemuan Hukum
Kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis berada di belakang
perubahan masyarakat. Bahkan tidak jarang memunculkan kepincangan “tension”
antara tuntutan hukum dan tuntutan masyarakat. Salah satu cara meniadakan tension
sebagaimana tersebut di atas dilakukan denan membentuk kaidah baru. Walaupun
tersedia cara mekanisme membentuk kaidah baru namun tidak mudah dilakukan. Hal
ini dikarenakan makin tinggi tingkat suatu kaidah hukum, makin tidak mudah
membentuk, mengubah atau mengganti yang sudah ada. Di lain pihak, masyarakat
senantiasa berubah dan peritiwa hukum yang harus diselesaikan terjadi setiap waktu.
Pembentukan kaidah hukum baru tidak menjadi sarana efektif memecahkan masalah.
95
Sebagaimana dikemukakan Bagir Manan155 bagi hakim ada dua hal yang dihadapi,
yaitu : Pertama, hakim wajib memutus menurut hukum. Setiap putusan harus
didasarkan pada kaidah hukum tertentu yang telah ada pada saat peristiwa hukum
terjadi (bukan saat akan memutus). Kedua, hakim dilarang menolak memutus atas
alasan tidak tersedia kaidah hukum, atau auran yang ada tidak jelas. Ketiga, hakim
wajib memutus dengan cepat mengingat ungkapan yang mengatakan “justice delayed
justice denied”. Dalam rangka mengatasi permasalahan yang demikian maka hakim
disediakan instrumen yang mengatur cara-cara menyelesaikan peristiwa hukum
menurut hukum secara hukum, tepat dan tidak terlambat yang dinamakan penemuan
hukum.
Dalam literatur dikenal macam-macam penemuan hukum “rechvinding atau legal
finding” yaitu interpretasi atau penafsiran, konstruksi, analogi, penghalusan hukum
rechtsverfining,
legal
refinary
dan
menciptakan
atau
membentuk
hukum
rechtschepping, law making, law creating. Hal ini agak berbeda dengan di negaranegara yang mengikuti tradisi Inggris atau Amerika Serikat dimana dalam sejumlah
buku “textbooks” yang dijumpai satu tema yaitu penafsiran “interpretation”. Dari
penafsiran tersebut terpancar seperti analogi, penghalusan “narrowing”, penciptaan
hukum dll.
Hakim bukan satu-satunya yang menemukan hukum melalui penfsiran dsb
namun peranan hakim sangat penting. Hal ini dikarenakan Pertama, hakim yang
mewujudkan hukum dalam arti konkit. Melalui putusan hakim, ketentuan undangundang (hukum) yang abstrak menjadi suatu kenyataan. Wujud hukum konkrit yaitu
ada yang kalah, ada yang menang, ada yang dihukum atau bebas dsb. Kedua, hakim
bukan hanya menyatakan atau menetapkan hukum bagi yang berperkara tetapi dapat
mencipakan hukum yang berlaku umum. Ketiga, hakim menjamin aktualisasi hukum
termasuk mengarahkan perkembangan hukum.
155
Bagir Manan, Beberapa catatan Tentang Penafsiran, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan No.
285 Agustus 2009, hlm.6
96
Dalam rangka menemukan hukum tersebut hakim memerlukan ilmu bantu
berupa metode penemuan hukum156 dikarenakan : (1) Tidak pernah ada satu peristiwa
hukum yang tepat serupa dengan lukisan dalam undang-undang (peraturan
perundang-undangan). Dalam memutus (hakim dilarang menolak memutus), hakim
harus menemukan kesesuaian antara fakta dan hukum. Hal ini dilakukan dengan cara
merekonstruksi fakta (melalui bukti-bukti) sehingga memenuhi unsur-unsur yang
dimuat dalam undang-undang (hukum) atau melakukan penafsiran agar suatu kaidah
hukum secara wajar dapat dikenakan atau diterapkan pada suatu fakta hukum. (2)
Suatu perbuatan tidak tercakup dalam kata atau kata-kata ordinary word yang disebut
dalam undang-undang (3) Tuntutan keadilan. Hakim bukan corong (mulut) undangundang “spreekbuis van de wet, bouche de la loi, the mouth of laws”. Sebagai
“arbiter” hakim wajib menyelesaikan suatu perkara dengan adil. (3) Keterbatasan
makna bahasa dibandingkan dengan gejala atau peristiwa yang ada atau terjadi dalam
masyarakat, baik peristiwa hukum, politik, ekonomi maupun sosial. Dalam upaya
menemukan putusan yang benar, hakim wajib memperimangkan berbagai gejala atau
peristiwa yang belum tentu tercakup dalam ketentuan yang berlaku (4) Bahasa dapat
diartikan berbeda pada setiap lingkungan masyarakat (5) Secara sosiologis, bahasa
atau kata atau kata-kata dapat berbeda makna (6) Pengaruh perkembangan
masyarakat (7) Transformasi atau resepsi konsep hukum asing yang dipergunakan
dalam praktik hukum Pengaruh berbagai teori baru di bidang hukum, seperti
sociological jurisprudence, feminist legal theory dsb. (8) Ketentuan atau bahasa atau
kata atau kata-kata dalam undang-undang tidak jelas, bermakna ganda, tidak
konsisten bahkan ada pertentangan atau ketentuan tidak nalar (unreasonable).
Walaupun banyak sebab yang mendorong melakukan penafsiran, namun tidak
berarti hakim dapat melakukan penafsiran secara tanpa batas yaitu 157 : (1) Dalam hal
kata atau kata-kata dan susunan kaidah sudah jelas, hakim wajib menerapkan undang-
156
157
Ibid., hlm. 11
Ibid. hlm. 12
97
undang menurut bunyi dan susunan kaidah kecuali didapati hal-hal seperti
inkonsistensi, pertentangan atau ketentuan tidak dapat menjangkau peristiwa hukum
yang sedang diadili, atau dapat menimbulkan ketidakadilan, bertentangan dengan
keyakinan yang hidup dalam masyarakat, kesusilaan atau kepentingan umum yang
lebih besar (2) Wajib memperhatikan maksud dan tujuan pembentukan undangundang kecuali maksud dan tujuan sudah usang, terlalu sempit sehingga perlu ada
penafsiran yang lebih longgar (3) Penafsiran semata-mata dilakukan demi memberi
kepuasan kepada pencari kadilan. Kepentingan masyarakat diperhatikan sepanjang
tidak bertentangan dengan dengan kepentingan pencari keadilan (4) Penafsiran
semata-mata dilakukan dalam rangka aktualisasi penerapan undang-undang bukan
untuk mengubah undang-undang (5) Mengingat hakim hanya memutus menurut
hukum, maka penafsiran harus mengikuti metode penafsiran menurut hukum dan
memperhatikan asas-asas hukum umum, ketertiban hukum, kemaslahatan hukum dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (6) Dalam penafsiran, hakim dapat
mempergunakan ajaran hukum sepanjang ajaran tersebut relevan dengan persoalan
hukum yang akan diselesaikan dan tidak merugikan kepentingan pencari keadilan (7)
Penafsiran harus bersifat progresif yaitu berorientasi ke masa depan “future oriented”,
tidak menarik mundur keadaan hukum di masa lalu yang bertentangan dengan
keadaan yang hidup dan perkembangan hukum.
a. Metode
Interpretasi
(penafsiran)
Hermeneutika Yuridis
Metode penemuan hukum yang umumnya digunakan oleh hakim adalah metode
interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Selain itu ada metode hermeneutika
hukum yang dianggap sebagi metode baru dalam teori penemuan hukum 158. Secara
etimologi, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti
menafsirkan atau menginerpretasi. Maka kata benda heremenia secara harfiah dapat
158
Ahmad Rifai, op.cit., hlm.135
98
diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Dari kata kerja hermeneuein dapat
ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya yaitu (1) mengungkapkan
kata-kata (2) menjelaskan dan (3) menerjemahkan159.
Istilah ini diambil dari mitologi Yunani pada tokoh yang bernama Hermes, yaitu
seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia.
Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih
banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa latin. Tugas Hermes adalah
menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang
dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu fungsi hermes adalah penting
sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal
bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau
menyadur sebuah pesan yang dipergunakan oleh pendengarnya. Oleh karena itu
hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai ”proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidak tahuan menjadi mengerti..
Demikian juga Sayyed Hossein Nashr160 memakai kata ”hermes” untuk sebutan
Nabi Idris yang bertugas menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa
”langit” dapat dipahami oleh manusia yang berbahasa ”bumi”.
Hermeneutika
merupakan metode atau fundamen dan dasar penalaran manusia untuk menambah
kejelasan dari suatu bahasa, sehingga bahasa yang digunakan itu dapat dimengerti.
Pada abad akhir-akhir ini, Schleiermacher menghidupkan kembali topik tentang
hermeneutika. Dan ini dikumandangkan lebih luas lagi oleh penulis biografinya, yaitu
Wilhelm Dilthey. Pada zaman ini, hermeneutik telah diangkat oleh beberapa filsuf,
diantaranya Hans Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques
Derrida.
159
Ahmad Zaenal Fanani, Hermeneutika Hukum Sebagai Metode Penemuan Hukum Dalam Putusan
Hakim, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXV No. 297 Agustus 2010, hlm. 55
160
Ibid. hlm. 56
99
Menurut
Bernard
Sidharta161,
Arief
mula
pertama
hermeneutika
itu
dikembangkan adalah sebagai metode atau seni untuk menafsirkan teks. Kemudian
lewat karya Scleiermacher dan Wilhelm Dilthey mengembangkan dan menggunkan
herneneutika sebagai metode untuk ilmu-ilmu manusia khususnya ilmu sejarah.
Hans-Georg Gadamer dalam bukunya “Truth and Method” mengilustrasikan secara
singkat bahwa pada mulanya hermeneutika berkembang antara lain dibawah
pengaruh inspirasi Ilmu Hukum. Sebagaimana diresepsi oleh Kodifikasi Yustisianus
“corpus iuris iustiniani” dari abad keenam. Di Italia pada abad ke-12 timbul
kebutuhan pada suatu metode yang membuat teks-teks yuridikal yang berlaku dari
suatu periode historikal terdahulu lewat intepretasi dapat diterapkan untuk suatu jenis
(tipe) masyarakat yang sama sekali berbeda 162.
Selanjutnya
hermeneutika
hukum
menurut
C.W.
Maris
mengalami
perkembangan pesat dan signifikan baru di era abad ke 20. Hermeneutika hukum
hadir mengambil posisi tengah antara dua tendensi (kecenderungan) yang saling
berlawanan dan inhern dalam pandangan dunia secara ilmiah atau pandangan ilmiah
tentang dunia “scientific worldview, wetenschappelijke wereldbeeld” yaitu antara
tendensi nihilistik dengan tendensi emansipatorik di satu pihak. Di pihak lain,
hermeneutika hukum juga berada pada posisi antara filsafat “Positivisme logikal”
dengan ”Rasionalisme Kritikal”163.
Positivisme Logikal (termasuk tendensi Nihilistik) dan Rasionalisme Kritikal
(termasuk tendensi emansipatorik) keduanya mempropagandakan ideal ketunggalan
ilmu
berdasarkan
model
keilmualaman.
Sedangkan
para
penentangnya
menyampaikan bahwa sesungguhnya metode keilmualaman tidak memadai untuk
mempelajari tindakan (perilaku) manusia. Dengan demikian ilmu-ilmu sosial akan
161
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Stuktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm.
71
162
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Sejarah Filsafat & Metode Tafsir, Universitas Brawijaya
Press, Malang, 2011, hlm. 89
163
Ibid., hlm. 90
100
mensyaratkan (menuntut) suatu jenis metode tersendiri yaitu metode mengerti atau
memahami “versteheen” dengan mengintepretasi atau disebut juga hermeneutika.
Metode intepretasi atau hermeneutika yuridis adalah suatu metode untuk
menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundangundangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa kongkrit tertentu. Secara
spesifik teori penafsiran dalam hukum saat ini digunakan lebih terbatas dalam
memahami realitas hukum. Adapun pertanyaan yang muncul kemudian adalah
mengapa harus undang-undang. Hal ini dikarenakan penafsiran yang paling
kontekstual adalah undang-undang. Saat ini tidak ada negara yang tidak memiliki
undang-undang atau pada umumnya undang-undang ditempatkan sebagai sumber dari
segala kegiatan penafsiran, khususnya untuk memecahkan berbagai persoalan hukum
dalam masyarakat. Sebagaimana dicontohkan dan dikatakan Satjipto Rahardjo
dengan istilah “hyperregulated”, dimana dalam konteks tersebut undang-undang di
Indonesia menjadi sangat sentral. Semua kegiatan penafsiran difokuskan kepada teks
undang-undang dan nampaknya tidak ada aspek kehidupan yang tidak diatur oleh
undang-undang164.
Undang-undang muncul sebagai suatu kebutuhan dari semakin menguatnya
eksistensi negara modern yang memerlukan bentuk-bentuk pengaturan modern pula.
Teks yang ditulis dalam bentuk undang-undang muncul menggantikan tradisi lisan.
Dengan demikian ada pergeseran perilaku masyarakat ketika peradaban teks
menggantikan peradaban lisan dan bagi orang hukum penganut formalisme (legistik),
teks undang-undang dipandang lebih bermakna ketimbang tradisi lisan. Menurut
kaum formalisme hukum, teks yang sudah diformalkan lebih memiliki kepastian
karena teks termapankan dalam bentuknya. Hal ini berbeda apabila melihat
hermeneutika Ricoeur dalam tradisi lisan, peran pengucap menjadi sangat sentral
164
Anthon F. Susanto, Dekonstruksi Hukum Eksplorasi Teks Dan Model Pembacaan, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 64
101
karena tradisi lisan terikat kepada pengucap, namun dalam tradisi teks, teks adalah
otonom dan terlepas dari si pengucap atau si pembuat aturan165.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa ajaran interpretasi atau
penemuan hukum ini telah lama dikenal166 yang disebut hermeneutika yuridis atau
metode yuridis. Sebahagian kalangan akademisi hukum menganggap bahwa aliran
realisme dalam ilmu hukum adalah puncak kemenangan ilmu hukum dalam
mengembangkan dirinya secara empiris, tetapi dengan munculnya postmodernisme di
pertengahan abad ke- 20 muncul juga aliran critical legal studies. Aliran critical legal
studies pada prinsipnya mencoba untuk mengembangkan aspek radikal dari realisme
hukum
dalam
postmodernisme,
critical
race
theories
dan
critical
marxist menerapkannya ke dalam kerangka berpikir dari marxism, khususnya dalam
hal kritikan kaum marxism terhadap pemikiran kaum liberal. Pemikiran hukum
liberal ini mengajarkan bahwa hukum dibuat oleh parlemen yang mewakili suara dari
rakyat, sedangkan dalam memutus perkara, hakim paling jauh hanya menafsirkan
hukum, bukan membuat hukum. Oleh karena itu gerakan critical study menggunakan
pisau analisis berupa hermeneutika.
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim tetapi juga oleh peneliti
hukum dan mereka yang berhubungan dengan kasus (konflik) dan peraturanperaturan hukum167. Sebagaimana dikemukakan Jazim Hamidi bahwa letak penting
dan kebaruan hermeneutika hukum terutam bagi para hakim pada saat menemukan
hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata penerapan peraturanperaturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan
165
Ibid, hlm. 63
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, ctk. Kelima, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2014,
hlm. 73
167
Penemuan hukum bukanlah merupakan ilmu baru, tetapi telah lama dikenal dan dipraktikkan
selama ini oleh hakim, pembentuk undang-undang dan para sarjana hukum yang tugasnya
memecahkan masalah-masalah hukum. Walaupun penemuan hukum pada dasarnya merupakan
kegiatan dalam praktik hukum namun penemuan hukum tidak dapat dipisahkan dari ilmu (teori)
hukum. Dengan kata lain, praktiknya praktik hukum dan ilmu hukum itu saling memerlukan satu sama
lain, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op.cit., hlm. 1
166
102
pembentukan hukum. Bagi para penegak hukum yang lain seperti jaksa, polisi
maupun para advokat/pengacara, hermeneutika hukum juga penting artinya terutama
pada saat mereka membuat tuntutan atau dakwaan (untuk jaksa), melakukan
penyidikan (untuk polisi) dan mendampingi klien dalam membela perkaranya (untuk
pengacara). Hal ini dikarenakan tugas hakim, jaksa, polisi dan pengacara itu termasuk
melakukan interpretasi atas teks hukum/peraturan perundang-undangan yang
dijadikan dasar pertimbangan serta interpretasi atas peristiwa dan fakta hukum itu
sendiri. Para ilmuwan hukum juga sangat berkepentingan dengan hermeneutika
hukum karena pada saat diminta kesaksiannya sebagai saksi ahli dalam suatu perkara
di pengadilan. Saksi ahli harus memberikan pendapat hukumnya secara jujur, benar
dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai kapasitas ilmunya 168.
Sebagaimana pengertian hermeneutika dari Paul Ricoeur bahwa setiap
orang boleh menafsirkan teks undang-undang yaitu siapa saja yang dapat membaca
undang-undang dan tidak terbatas ruang dan waktu. Menurut Ricoeur, yang terjadi
adalah seorang pembaca membuka dirinya dihadapan teks yang juga membuka diri.
Makna sebuah teks tidak ada dibalik atau di belakangnya, melainkan ada di
depannya. Fungsi pembacaan tersebut akan terlihat lebih nyata misalnya dalam proses
peradilan, ketika semua pihak seperti hakim, jaksa, pengacara/advokat, polisi dan
terdakwa melakukan pembacaan terhadap undang-undang. Dalam proses tersebut
terjadi apa yang disebut dengan proses penjelasan (explanation) dan pemahaman
(understanding)169.
Selanjutnya Ricoeur menguraikan bahwa penjelasan atau pemahaman tidak
bekerja secara dikotomis dan tidak dapat dipisahkan. Penjelasan (explanation) adalah
cara kerja yang menghubungkan metafor terhadap teks yaitu pembakuan bahasa lisan
kepada bahasa tulis, sementara interpretasi “interpretation” ialah cara kerja teks ke
matafor yaitu transkripsi dari bahasa tulis ke bahasa lisan. Pada explanation ini teks
168
169
Jazim Hamidi, op. cit., hlm. 37
Anthon F. Susanto, op.cit., hlm. 68
103
undang-undang dipandang sebagai meaning, sebuah sistem tanda yang memiliki
konstelasi internal yang baku dan objektif170.
Terkait penafsiran yang dilakukan oleh hakim adalah penafsiran dan
penjelasan yang harus menuju kepada penerapan atau tidak menerapkan suatu
peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh
masyarakat. Dengan demikian tugas penting dari hakim adalah menyesuaikan
undang-undang dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila undang-undang tidak
dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkan. Sebagaimana
Francois Geny yang membangun teori tentang metode penafsiran hukum. Lewat
karya utamanya : Methode d’interpretation et sources en droit prive positif dengan
mengkritik cara penafsiran rasionalisme abad ke 18 dan ke 19 yang terlampau
deduktif dan formal. Menurut Geny, metode rasionalisme tersebut beranjak dari
pengandaian yang keliru bahwa undang-undang itu sempurna adanya. Sebuah
undang-undang tidak pernah mampu dengan sempurna mempesentasikan keutuhan
realitas yang ada dalam bentangan kehidupan sosial171.
Lebih lanjut Geny mengemukakan bahwa sangat tidak logis untuk menarik garis
lurus begitu saja antara konsep-konsep umum yang abstrak dalam undang-undang
dengan kasus-kasus riil dalam dunia empiris. Hal ini dikarenakan banyak faktor dan
variabel yang ikut mewarnai profil sebuah kasus. Penafsiran yang benar adalah
panduan yang proporsional antara roh hukum dan konteks kasus. Langkah pertama
adalah memperhatikan maksud pembentuk undang-undang waktu undang-undang itu
dibuat. Kemudian perlu diberi perhatian akan situasi masyarakat waktu undangundang itu dibentuk yakni kebutuhan atau susunan sosial zaman itu. Pada saat yang
170
171
Ibid. hlm. 69
Bernad L. Tanya, op. cit. hlm. 179
104
bersamaan perlu pula diperhatikan logika internal dan sistematika undang-undang itu
sendiri172.
Kajian hermeneutika hukum dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan
kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis tetapi juga dari
kajian-kajian hukum kaum stukturalis atau behavioralis yang terlalu empirik sifatnya.
Kajian hermeneutika hukum juga telah membuat kesempatan kepada para pengkaji
hukum untuk tidak hanya berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata,
menggunakan paradigma positivisme atau metode logis formal saja. Selain itu,
hermeneutika hukum juga menganjurkan agar para pengkaji hukum supaya menggali
dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para
pencari keadilan.
Sebagai aliran yang relatif khas bagi ilmu-ilmu humaniora, maka hermeneutika
bertolak dari manusia sebagai makhluk budaya yaitu makhluk yang memiliki
idealisme, keinginan dan kebutuhan. Makhluk yang senantiasa memberi jawaban
pada diri dan lingkungannya lewat tindakannya baik yang eksplisit maupun implisit.
Dengan demikian aliran ini menempatkan manusia sebagai subjek untuk dijadikan
perspektifnya. Walaupun hermeneutik pada awalnya merupakan disiplin memahami
teks, namun tetap dalam kerangka pemahaman tentang tindakan manusia. Teks yang
dikaji selalu dipahami dalam konteks “sistem situasi” manusia, seperti : latar
belakang kemunculan teks itu, identitas si pembuat teks, aksara dan bahasa yang
digunakan, bahan yang digunakan untuk media teks tersebut, maksud/tujuan teks itu
dsb. Perhatian utama bukan pada teks itu sendiri sebagai teks tetapi pada mosaik
maknawi manusia di balik teks itu173.
Metode hermeneutika ini tidak banyak atau jarang sekali digunakan sebagai
metode penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan
172
173
Ibid. 180
Bernard L. Tanya dkk., Teori Hukum..., hlm. 215
105
begitu dominannya metode penalaran dan konstruksi hukum yang sangat legalistik
formal sebagai metode penemuan hukum yang telah mengakar cukup lama dalam
sistem peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan sebagian besar hakim belum familir
dengan metode ini. Hal ini disayangkan arena sesensi hermeneutika hukum terletak
pada pertimbangan triangle hukumnya yaitu suatu metode mengintrepretasikan teks
hukum yang tidak semata-mata melihat semata teks saja, tetapi juga konteks hukum
itu dilahirkan serta bagaimanakah kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di masa
kini dan masa mendatang174.
Terkait hukum dalam arti undang-undang sebagai produk legislatif (produk
politik) sehingga perlu interpretasi dari hakim, ada banyak kepentingan dalam proses
pembuatan undang-undang. Sebagaimana pendapat Moh. Mahfud MD bahwa
undang-undang merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai
formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi
dan saling bersaing sehingga sangat dimungkinkan ada beberapa nilai hukum yang
hidup dan rasa keadilan masyarakat yang terabaikan, sehingga tidak masuk dalam
formulasi rumusan undang-undang175.
Undang-undang merupakan produk politik dengan berbagai macam
kepentingan juga dikemukakan Antonin Scalia dan Bryan A. Garner sebagai berikut
:“…when necessary to achieve favorable consequences for certain targeted groups of
people, such as minorities, women, factory workers, the poor, homeowners,
busnesspeople, tenants, landlords, taxpayers, government workers, children….”176
174
Ahmad Rifai, op. cit., hlm. 89
Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia. LP3ES. Jakarta, 1998, hlm. 7
176
Antonin Scalia dan Bryan A. Garner, Reading Law : The Interpretation of Legal Texts”,
Thomson/West, United States of America, 2012, hlm. 1
175
106
Lebih lanjut Antonin Scalia dan Bryan A. Garner 177 mengemukakan ada tiga
belas kesalahan terkait dengan intepretasi “Thirteen falsilities exposed” sebagai
berikut :
1.
The false notion that the spirit of a statute should prevail over its letter
2.
The false notion that the quest in statutory interpretation is to do justice
3.
The false notion that when a situation is not quite covered by a statute, the
court should reconstruct what the legiskature would have done had it
confronted the issue
4.
The half-truth that consequences of a decision provide the key to sound
interpretation
5.
The false notion that words should be strictly construed
6.
The false notion that tax exemptions-or any other exemptions for that
matter-should be strictly construed
7.
The false notion that remedial statutes should be liberally construed
8.
The false notion that a statute cannot oust courts of jurisdiction unless it
does so expressly
9.
The false notion that commitee report and floor speeches ar worthdhile aids
in statutory construction
10. The false notion that the purpose of interpretation is to discover intent
11. The false notion that the plain language of a statute is the “best evidence” of
legislative intent
177
Ibid., hlm. 341
107
12. The false notion that lawyers and judges, not being historians, are
unqualified to do the historical research that originalism requires
13. The false notion that the Living Constutition is an exeption to the rule that
legal texts must be given the meaning they bore when adopted.
Secara umum, metode interpretasi (penafsiran) hukum dapat dikelompokkan
yaitu :
Tabel 4
Metode Interpretasi (Penafsiran) Hukum
No. Nama Interpretasi
Keterangan
1
Penafsiran menurut bahasa, antara lain
Gramatikal (objektif)
108
dengan melihat definisi leksikalnya
2
Otentik
Penafsirn
menurut
batasan
yang
dicantumkan dalam peraturan itu sendiri,
yang biasanya diletakkan dalam bagian
penjelasan, rumusn ketentuan umumnya,
maupun dalam salah satu rumusan pasal
lainnya.
3
Teoleologis (sosiologis)
Penafsiran
berdasarkan
tujuan
kemasyarakatan
4
Sistematis (logis)
Penafsiran yang mengaitkan suatu peraturan
dengan peraturan lainnya
5
Historis (subjektif)
Penafsiran dengan menyimak latar belakang
sejarah hukum atau sejarah perumusan
suatu ketentuan tertentu (sejarah undangundang)
6
Komparatif
Penafsiran dengan cara memperbandingkan
peraturan pada suatu sistem hukum dengan
peraturan yang ada pada sistem hukum
lainnya
7
Futuristis (antisipatif)
Penafsiran
dengan
mengacu
kepada
rumusan dalam rancangan undang-undang
atau rumusan yang dicita-citakan (ius
constituendum)
8
Restriktif
Penafsiran degan mmbatasi cakupan suatu
109
ketentuan
9
Ekstensif
Penafsiran dengan memperluas cakupan
suatu ketentuan
10
Interdisipliner
Interpretasi jenis ini biasa dilakukan dalam
suatu analisa masalah yang menyangkut
berbagai disiplin ilmu hukum
11
Multidisipliner
Dalam interpretasi multidisipliner, seorang
hakim harus juga mempelajari suatu atau
beberpa disiplin ilmu lain di luar ilmu
hukum
Sumber : Bambang Sutiyoso, 2012
Metode-metode interpretasi di atas secara sederhana dapat dikelompokkan
berdasarkan dua pendekatan yaitu “the textualist approach (focus on text)” dan “the
purposive approach” (focus on purpose). Interpretasi gramatikal dan otentik
termasuk kategori pendekatan pertama, sementara metode interpretasi lainnya
mengacu kepada pendekatan kedua. Pendekatan dengan memperhitungkan keadaankeadaan tertentu dapat disamakan dengan purposive approach178. Sebagaimana
Aharon Barak dalam buku Purposive Interpretation in Law mengemukakan bahwa :
The word “text” is not limited to a written text. For purpose of interpretation, any
behavior that creates a legal norm is a “text”179.
b.
Metode Argumentasi (Penalaran Hukum,
redering atau reasoning)
178
Bambang Sutiyoso, op. cit., hlm. 134
Aharon Barak, Purposive Interpretation In Law, Princeton University Press, United States of
America, 2007, hlm. 1
179
110
Metode argumentasi disebut juga dengan metode penalaran hukum, redering
atau reasoning. Metode ini dipergunakan apabila undang-undang tidak lengkap.
Dalam rangka melengkapi maka dipergunakan metode argumentasi dan teori
argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar suatu argumentasi yang
jelas dan rasional180.
Suatu tradisi yang sudah sangat lama dalam argumentasi hukum adalah
pendekatan formal logis. Dalam analisa rasionalitas proposisi dikembangkan tiga
model logika yaitu logika silogistis, logika proposisi, logika predikat. Sedangkan
analisis penalaran dikembangkan logika diontis. Kata logika sebagai istilah berarti
suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran.
Penalaran adalah satu bentuk pemikiran, adapun bentuk pemikiran yang lain adalah
pengertian atau konsep (conceptus, concept), proposisi atau pernyataan (propositio,
statement) dan penalaran (ratio cinium, reasoning).Tidak ada proposisi tanpa
pengertian (konsep) dan tidak ada penalaran tanpa proposisi.181
Arti penting makna logika bagi hukum dipaparkan oleh A. Soeteman dan P.W.
Brouwer182 yaitu satu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika.
Dengan kata lain adalah suatu “conditio sine qua non” agar suatu keputusan diterima
adalah apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan sistem logika formal yang
merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi.
Argumentasi yuridis merupakan satu model argumentasi khusus. Ada dua
hal yang menjadi dasar kekhususan argumentasi hukum yaitu Pertama, Tidak ada
hakim ataupun pengacara yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa.
Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan
merupakan suatu keadaan yang tertutup ataupun statis akan tetapi merupakan satu
180
Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,
2011, hlm. 13
181
Ibid. hlm. 14
182
Ibid. hlm. 17
111
perkembangan yang berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi
akan menentukan norma-norma baru. Dengan demikian orang dapat bernalar dari
ketentuan hukum positif dari asas-asas yang terdapat dalam hukum positif untuk
mengambil keputusan-keputusan baru. Kedua, dalam argumentasi hukum atau
penalaran hukum berkaitan dengan kerangka prosedural yang didalamnya
berlangsung argumentasi rasional dan diskusi rasional.
Menurut Kenneth J. Vandevelde183, ada lima langkah penalaran hukum yaitu : (1)
“Indentify the applicable sources of law, usually statutes and judicial decisions”
Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan, (2) “Analyze these source of law to
determine the applicaple rules of law and the policies underlying those rules“.
Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin
dan kebijakan dalam aturan tersebut, (3) “Synthesize the applicaple rules of law and
the policies underlying those rules”. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam
struktur yang koheren yakni stuktur yang mengeompokkan aturan-aturan khusus di
bawah aturan umum (4) “Research the available facts”. Menelaah fakta-fakta yang
tersedia (5) “Apply the structure of rules to the facts to ascertain the rights or duties
created by the facts, using the policies underlying the rules to resolve difficult cases”.
Menerapkan stuktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau
kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu dengan menggunakan kebijakan yang
teretak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit.
Sidharta184 menyimpulkan ada enam langkah utama penalaran hukum yaitu
(1) mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu stuktur (peta) kasus yang
sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi; (2)
menghubungkan (mensubsumsi) stuktur kasus tersebut dengan sumber-sumber
hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam
183
184
Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 156
Ibid. hlm. 157
112
peristilahan yuridis (legal term); (3) menyeleksi sumber hkum dan aturan hukum
yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam
aturan hukum itu (the policies underlying those rules) sehingga dihasilkan suatu
stuktur (peta) aturan yang koheren; (4) menghubungkan stuktur aturan dengan stuktur
kasus; (5) mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin; (6) menetapkan
pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan
akhir.
Dalam
penalaran hukum atau legal reasoning dikembangkan melalui
formula IRAC (Issue, Rule, Analysis dan Conclusion). Menurut Peter Suber185 dari
Philosopy Department-Earlham University yaitu bentuk-bentuk dasar dari balokbalok pembentuk dari analisis hukum. Formula ini merupakan proses yang harus
dilalui setiap praktisi hukum pada saat memikirkan dan mencermati setiap
permasalahan hukum. IRAC merupakan model penalaran hukum yang baik dan
banyak memberikan kemudahan bagi praktisi hukum. Namun, para praktisi hukum
ini seringkali melupakan bagian terpenting dari formula IRAC yaitu analisis.
Bagan 2 :
Segitiga IRAC
FACTS
Fakta-fakta
3
185
1
Sebagaimana disarikan oleh H.M. Arsyad Sanusi, Mempelajari Rahasia Legal Reasoning/Penalaran
Hukum Melalui Formula IRAC, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun ke XXIII No. 270 Mei 2008,
hlm. 10
113
RULES
Aturan hukum
ISSUES
Isu Hukum
2
Segitiga IRAC di atas menekankan pada Analisis dengan menggunakan faktafakta hukum (facts), permasahan atau isu hukum (issues)186 dan aturan hukumnya
(rules) sebagai balok-balok pembentuk analisis hukum. Analisis hukum ini
merupakan produk akhir seekigus tujuan utama dari segitiga IRAC, namun peran
fakta-fakta hukum dalam membentuk analisis tetap menjadi fokus perhatian.
Langkah-langkah dalam segitiga IRAC adalah sebagai berikut, Langkah Pertama:
mencermati isu hukum. Fakta-fakta hukum dari suatu perkara merupakan petunjuk
bagi permasalahan atau isu hukum (issues) yang bersangkutan, Langkah Kedua:
(rule) Aturan hukum mana yang diterapkan187. Permasalahan atau isu hukum tersebut
diatur oleh suatu aturan hukum (rules) yang berlaku. Secara mekanis, permasalahan
atau isu hukum menentukan aturan hukum manakah yang akan diterapkan
186
Kunci untuk dapat mencermati suatu isu hukum adalah kemampuan untuk mengidentifikasi fakta
hukum apa memunculkan isu hukum apa. Oleh karena hukum itu sangat kompleks maka setiap
pembatasan atau penambahan suatu fakta hukum. Pertanyaan-pertanyaan untuk dinyatakan pada saat
membaca kertas perkara (terkait dengan isu hukunya) :
ï‚· Fakta-fakta dan keadaan-keadaan apa sajakah yang membawa para pihak ke pengadilan ?
ï‚· Adakah kata-kata di dalam fakta hukum tersebut yang dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi
permasalahan atau isu hukum terkait ?
ï‚· Apa sajakah yang tidak dapat dikategorikan sebagai isu hukum yang patut menjadi fokus perhatian.
Ibid., hlm. 11
187
Aturan hukum dimaksud dapat berupa common law yang dibentuk dan dikembangkan oleh
Pengadilan atau dapat pula berupa aturan-aturan hukum tertulis yang dibuat legislatif atau pembuat
undang-undang. Pertanyaan-pertanyaan untuk ditanyakan pada saat membaca berkas perkara terkait
aturan hukum (rule) :
ï‚· Elemen-elemen apa saja yang dapat membuktikan keberlakuan aturan hukum yang didakwakan?
ï‚· Apa saja pengecualian bagi pemberlakuan aturan hukum tersebut?
ï‚· Keluarga sistem hukum (family of legal system) yang manakah yang menjadi sumber dari aturan
hukum tersebut ?
ï‚· Apakah bersumber dari common law, peraturan perundang-undangan atau yang lain ?
ï‚· Adakah kebijakan publik, freiz ermessen dan sebagainya yang menjadi dasar di balik aturan hukum
yang diterapkan tersebut ?., ibid. hlm 12
114
terhadapnya. Langkah 3: Analisis sebagai seni dalam berpraktik hukum. Membentuk
analisis hukum dilakukan dengan membandingkan antara fakta-fakta hukum dengan
aturan hukum yang berlaku.
Kesalahan terbesar yang sering terjadi adalah bahwa
hakim dan para praktisi hukum lainnya cenderung hanya menyoroti permasalahan
atau isu hukumnya saja kemudian mengutip aturan-aturan hukum yang hendak
diterapkan, tanpa membuat atau melakukan analisis sama sekali. Padahal yang
terpenting bukanlah sekedar menemukan hukumnya saja melainkan juga menerapkan
aturan hukum tersebut terhadap serangkaian fakta atau keadaan yang dijumpai.
Analisis merupakan bagian terpenting dari formula IRAC karena disinilah terjadi
proses berpikir yang sesungguhnya 188. Langkah Keempat : kesimpulan-mengambil
sikap. Kesimpulan merupakan bagian terpendek dari rangkaian langkah-langkah
dalam formula IRAC. Kesimpulan dapat berupa kalimat sederhana ya atau tidak atau
kalimat yang menyatakan apakah aturan hukum tertentu dapat diterapkan terhadap
serangkaian fakta hukum tertentu pula189.
188
Pertanyaan-pertanyaan untuk ditanyakan pada saat membaca berkas perkara (terkait dengan
analysis) :
ï‚· Fakta hukum apakah yang dapat membantu membutikan unsur-unsur suatu aturan hukum?
ï‚· Mengapa suatu fakta hukum dianggap relevan ?
ï‚· Bagaimana fakta hukum tersebut dianggap memenuhi unsur-unsur dari aturan hukum tersebut?
ï‚· Jenis-jenis fakta hukum apasajakah yang dapat diterapkan terhadap aturan hukum tersebut ?
ï‚· Adakah argumentasi yang bertolak belakang untuk mendapatkan solusi lain ?. ibid.,hlm. 13
189
Pertanyaan-pertanyaan untuk ditanyakan pada saat membaca berkas perkara (terkait dengan
conclusion) :
ï‚· Proses beracara perkara tersebut ?
ï‚· Apakah pendirian anda tersebut berbeda dengan aturan hukum positif ?
ï‚· Bagaimana pengaruh pendirian anda tersebut terhadap proses beracara perkara tersebut?
ï‚· Apakah dakwaan/gugatan dalam perkara tersebut ditolak, dikuatkan atau diminta untuk dilakukan
persidangan ulang ?
ï‚· Setujukah anda dengan hasil yang diperoleh dalam perkara tersebut ?. ibid.,hlm. 14
115
c.
Metode Eksposisi (Konstruksi Hukum)
Metode eksposisi tidak lain adalah metode konstruksi hukum yaitu metode
untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian (hukum) bukan untuk
menjelaskan barang190. Metode konstruksi hukum akan digunakan oleh hakim pada
saat dia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum atau kekosongan undangundang “wet vacuum”. Tujuan dari konstruksi hukum adalah agar putusan hakim
dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan dan kemanfaatan bagi
pencari keadilan. Sebagaimana adanya prinsip hakim tidak boleh menolak perkara
untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya asas
“ius curia novit”. Hakim harus terus menggali dan menemukan hukum yang hidup
dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana terurai di atas, ada tiga macam metode penemuan hukum yaitu
penafsiran atau hermeneutik yuridis, argumentasi atau penalaran hukum dan eksposisi
atau konstruksi hukum. Adapun perbedaannya sebagai berikut :
Tabel 5 :
Metode Penemuan Hukum
Metode
Interpretasi Metode
Argumentasi Metode
Eksposisi
(Penafsiran)
(Penalaran Hukum, redering (Konstruksi Hukum)
Hermeneutika Yuridis
atau Reasoning)
190
Bos sebagaimana dikutip Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 1996, hlm. 69
116
ï‚·
ï‚·
Menafsirkan
terhadap
teks
Metode
ini
dipergunakan
perundang-
apabila
undang-undang
undangan
yang
lengkap oleh karena
tidak
agar
itu untuk melengkapi
jelas
perundang-
dipergunakan metode
undangan tersebut
Argumentasi
dapat
diterapkan
terhadap peristiwa
ï‚·
tersimpul dalam undangundang.
Hakim
menyesuaikan
undang
:
undang-
dengan hal-hal
nyata di masyarakat.
J.
undang-undang
dapat
menurut
arti
dijalankan
katanya,
hakim harus menafsirkan
Logemann
Hakim harus tunduk pada
kehendak
pembuat
untuk
Metode eksposisi akan
saat dihadapkan pada
situasi
lima
adanya
kekosongan uu
penalaran
-
hukum :
Prinsip hakim tidak
boleh
1. Mengidentifikasi
mungkin,
biasanya
berupa
peraturan
(identify
untuk
diselesaikan
ada
atau
belum
mengaturnya
dan
-
Hakim
harus
menggali
the
aplicable sources of
menemukan
law)
yang
hidup
berkembang
2. Menganalisis
terus
dan
hukum
dan
di
tengah-tengah
sumber
hukum
tersebut
untuk
menetapkan aturan
hukum
dengan
dalih hukumnya tidak
perundangundangan
menolak
perkara
putusan pengadilan
Apabila
bukan
menjelaskan barang.
sumber hukum yang
Tugas
ï‚·
pengertian
digunakan hakim pada
Kenneth
langkah
Rekonstruksi pikiran yang
tidak
kata-kata atau membentuk
-
menguraikan
Von Savigny
Bos :
metode untuk menjelaskan
Vandevelde
konkrit tertentu
ï‚·
tidak
ï‚·
yang
masyarakat
ï‚·
Rudolph
Von
117
undang-undang,
hakim
mungkin
tidak boleh menafsirkan
kebijakan
uu
aturan
secara
sewenang-
wenang
ï‚·
dalam
tersebut
(analyze the sources
of law)
3. Mensintesiskan
menafsirkan
ditentukan
oleh
undang-undang
bersangkutan,
perkara
aturan
materi
tempat
diajukan
dan
menurut zamannya
subsumptif
2.
kedalam
stuktur
yang
koheren
yakni
stuktur
yang
mampu
Dlm konstruksi boleh ada
pertentangan
membantah dirinya sendiri
dibawah yang jelas tentang sesuatu hal
aturan
umum tidak boleh ada pertentangan
into
the logis didalamnya atau tidak
4. Menelaah
sistematis/logis
3. 4
.
membantah
dirinya
coherent sendiri
a
structure);
3. Interpretasi
logis
didalamnya atau tidak boleh
aplicable rule of law boleh
gramatikal
semua
khusus
(synthesize
2. Interpretasi
melihat
mampu memberi gambaran
aturan-aturan
1. Interpretasi:
melakukan konstruksi hukum
melihat semua bidang hukum
mengelompokkan
Macam Metode
Ada 3 syarat utama untuk
hukum positif
tersebut
yang
Jhering
bidang hukum hrs mampu
Polak
Cara
ï‚·
dan
Dlm konstruksi boleh ada
fakta- pertentangan
logis
fakta yang tersedia didalamnya atau tidak boleh
the membantah dirinya sendiri
(research
available facts)
mampu memberi gambaran
I
5. Menurut
stuktur yang jelas tentang sesuatu hal
n
aturan
tersebut tidak boleh ada pertentangan
t
kepada
e
untuk
fakta-fakta logis didalamnya atau tidak
memastikan boleh
membantah
dirinya
118
r
hak dan kewajiban sendiri
p
yang
r
fakta-fakta
e
dengan
t
menggunakan
a
kebijakan
s
terletak
i
aturan-aturan
timbul
dari
itu
yang
dalam
memecahkan kasus-
o
kasus sulit (apply
s
the
t
rules to the facts)
i
s
4. I
n
t
e
r
p
r
e
t
a
s
structure
verbal
prinsipal
dan
verbal melengkapi
2. metode eksposisi yang
h
r
yaitu :
1. metode eksposisi verbal :
hukum dalam hal
o
Metode eksposisi dibagi 2
of
tidak verbal : metode
representasi
119
i
t
e
l
e
o
l
o
g
i
s
/
s
o
s
i
o
l
o
g
i
s
5. I
n
t
e
r
120
p
r
e
t
a
s
i
k
o
m
p
a
r
a
t
i
f
6. I
n
t
e
r
p
r
e
t
a
121
s
i
a
n
t
i
s
i
p
a
t
i
f
/
f
u
t
u
r
i
s
t
i
s
7. I
n
t
122
e
r
p
r
e
t
a
s
i
r
e
s
t
r
i
k
t
i
f
8. I
n
t
e
r
p
r
e
123
t
a
s
i
e
k
s
t
e
n
s
i
f
9.
I
n
t
e
r
p
r
e
t
a
s
i
124
o
t
e
n
t
i
k
a
t
a
u
s
e
c
a
r
a
r
e
s
m
i
10. I
n
t
125
e
r
p
r
e
t
a
s
i
i
n
t
e
r
d
i
s
i
p
l
i
n
e
r
11. I
n
t
126
e
r
p
r
e
t
a
s
i
m
u
l
t
i
d
i
s
i
p
l
i
n
e
r
12. I
n
t
127
e
r
p
r
e
t
a
s
i
d
a
l
a
m
p
e
r
j
a
n
j
i
a
n
128
3. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
3.1.Sengketa Tata Usaha Negara
a. Pengertian Sengketa Tata Usaha Negara
Seiring dengan perkembangan konsep negara hukum modern, kebutuhan akan
perlindungan hukum semakin penting dan mutlak. Dalam negara hukum modern,
keterlibatan negara turut campur hampir di setiap aspek kehidupan masyarakat
semakin besar sehingga menimbulkan konsekwensi administrasi negara memerlukan
kekuasaan dan kebebasan yang semakin besar pula. Agar kekuasaan dan kebebasan
tersebut tidak disalahgunakan dan perlindungan hukum tetap terjamin, maka perlu
dilakukan pengawasan terhadap administrasi negara.
Pengawasan dapat dilakukan melalui pengawasan ekstern dan pengawasan intern.
Pengawasan ekstern dapat dilakukan antara lain melalui pengawasan politik, pers dan
pengawasan hukum melalui pengadilan (dalam bidang administrasi, pengawasan
dapat dilakukan melalui Peradilan Administrasi). Sedangkan pengawasan intern dapat
dilakukan melalui badan-badan di lingkungan pemerintah sendiri baik melalui atasan
yang mempunyai hubungan hirarkhis maupun melalui suatu panitia yang terdiri dari
beberapa orang ahli dalam bidang tertentu.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa semakin meluasnya tugas administrasi
negara dan semakin besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh administrasi negara,
ternyata dapat menimbulkan persoalan besar dalam lapangan Hukum Administrasi
Negara. Persoalan utamanya adalah bagaimana melakukan pengendalian dan
pengawasan terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh administrasi negara tersebut.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk melaksanaan pengawasan administrasi negara
129
antara lain constitusional control, political control, judicial and legal control,
technical control, social control dan administrative control. Pengawasan secara
konstan terhadap pemerintah melalui pengawasan pengadilan dinyatakan oleh
H.W.R. Wade191 yaitu :
“...Hukum administrasi berkaitan dengan salah aspek masalah kekuasaan. Sejak
beratus-ratus tahun terakhir konsepsi mengenai keadaan yang benar dari kegiatan
pemerintah telah berubah. Kecuali membatasi dirinya untuk mempertahankan
ketertiban umum, hukum pidana dan beberapa hal umum lainna, negara modern juga
melaksanakan
pelayanan
sosial
dan
mengupayakan
pengaturan
kegiatan
perdagangan...”
Demikian pula perlunya pengawasan khusus yang dilakukan melalui peradilan
administrasi merupakan bagian penting dalam Hukum Administrasi sebagaimana
dikemukakan E.C.S. Wade and Phillips192 bahwa “...Pengawasan yudisial terhadap
pelaksanaan kekuasaan oleh administrator atau oleh peradilan administrasi negara
merupakan bagian yang paling sulit dan sangat mendasar dalam Hukum
administrasi...”.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pilar penting dalam
pengejawantahan prinsip-prinsip negara hukum. Lahirnya lembaga Peradilan Tata
Usaha Negara merupakan keputusan historis193 yang didasarkan suatu tekad untuk
191
Dalam S.F. Marbun, op. cit. hlm. 86
Ibid. hlm. 87
193
Salah satu perubahan terpenting dalam sistem hukum Indonesia pada dasawarsa terakhir adalah
pendirian peradilan tata usaha negara (PTUN dan PTTUN). Perlindungan hukum dan supremasi
hukum (yang merupakan sasaran yang hendak dicapai oleh pengadilan-pengadilan tersebut) adalah
konsep-konsep yang tidak lazim dikaitan dengan rezim Orde Baru yang otoriter dan bagi banyak
pihak, pendirian pengadilan tersebut merupakan kejutan. Adriaan W. Bedner, Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia, ctk. Pertama, HuMa Van Vollenhoven Institute KITLV-Jakarta, Jakarta, 2010,
hlm. 1. Terjemahan dari Adriaan W.Bedner, Administrative Courts in Indonesia: a socio-legal study,
Van Vollenhoven Institute, 1995, Penerjemah Indra Krishnamurti
192
130
mewujudkan dan menegakkan negara Republik Indonesia sebagai negara hukum
yang harus menjamin: Pertama, persamaan kedudukan semua warga dalam hukum.
Kedua, menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur, adil, bersih, efisien dan
berwibawa. Ketiga, memberi perlindungan hukum kepada rakyat dengan
memungkinkan rakyat dapat menggugat pemerintah melalui aparaturnya di bidang
Tata Usaha Negara.
Dengan demikian, Peradilan administrasi mempunyai peran sebagai lembaga
kontrol atau pengawas agar tindakan-tindakan hukum dari pemerintah (bestuur) tetap
berada dalam rel hukum, disamping sebagai pelindung hak warga masyarakat
terhadap penyalahgunaan wewenang atau kesewenang-wenangan oleh aparatur
pemerintahan atau “controle de administration et la protection des citoyens” 194.
Sebagai suatu lembaga kontrol terhadap pemerintah “judicial control”, pengawasan
yang dilakukan oleh peradilan administrasi dengan ciri-ciri meliputi : Pertama, bahwa
pengawasan itu bersifat external control karena dilakukan oleh suatu lembaga yang
berada di luar kekuasaan eksekutif. Kedua, pengawasan itu lebih menekankan pada
tindakan represif atau lazim disebut control a-posteriori dan pengawasan itu bertitik
tolak pada segi legalitas dari tindakan pemerintah yang dikontrol yaitu penilaian
apakah tindakan tersebut bersifat rechtmatig atau tidak195.
Dengan kata lain bahwa dalam rangka memberikan perlindungan atas
pelanggaran terhadap hak-hak individu, kepada warga diberikan hak atau kesempatan
untuk menggugat pemerintah melalui peradilan baik melalui peradilan umum maupun
peradilan administrasi. Adanya perlindungan terhadap hak-hak individu inilah yang
menjadi latar belakang peradilan administrasi di negara-negara Barat yang menganut
konsep rechtstaat yang liberal dan demokratis.196
194
Paulus Effendi Lotulung,
Jakarta, hlm.9
195
Ibid. hlm.8
196
S.F. Marbun, ibid., hlm. 25
Hukum Tata Usaha Negara Dan Kekuasaan, Salemba Humanika,
131
Apabila melihat konteks negara di Indonesia yang merupakan Negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, lahirnya dan dibentuknya
lembaga Peradilan administrasi adalah selain karena adanya jaminan hak
perseorangan dalam masyarakat, juga karena adanya jaminan perlindungan harkat
dan martabat masyarakat pada umumnya. Pelaksanaan pemberian perlindungan
terhadap hak-hak perseorangan itu harus disesuaikan dengan pandangan hidup dan
falsafah Pancasila197.
Keberadaan peradilan administrasi merupakan salah satu karakteristik dari
rechsstaats gedachte di Indonesia. Falsafah Pancasila meletakkan hak dan kewajiban
asasi warga masyarakat dalam keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara
kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.
Dengan demikian secara filosofis bahwa tujuan pembentukan peradilan administrasi
adalah untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak perorangan dan hak-hak
masyarakat secara serasi, seimbang dan selaras antara kepentingan perseorangan
dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum198.
Hal inilah yang membedakan Peradilan Tata Usaha Negara dengan peradilan
administrasi di negara-negara maju dan menganut paham individualismeliberalisme199 serta berlatar belakang falsafah dan budaya serta sosial politik yang
berbeda seperti di Perancis, Belanda dan Jerman. Namun demikian, paham
197
Sebagaimana termuat dalam konsideran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 bahwa Negara
Republik Indonesia sebagai negara Pancasia dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan
tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib, yang menjamin
persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan yang menjamin terpeliharanya hubungan
yang serasi, seimbang serta selara antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dan para warga
masyarakat.
198
S.F. Marbun, ibid. hlm. 25
199
Perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa paham individualisme-liberalisme atau sistem
demokasi kapitalis menjadi penyebab krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat sejak tahun
1930an, sebagaimana dikemukakan Richard A. Posner: ...the first really frightening and dangerous
economic crisis since the Great Depression of the 1930’s, this depession already has had profound
economic, political, institutional and intellectual consequences and the consequences may continue to
be felt for many years to come.” Richard A. Posner, The Crisis Of Capitalist Democracy, Harvard
University Press, Cambridge, Masachusetts and London, England, 2010, hlm. 1
132
individualistik dalam praktik negara-negara tersebut, tidak berlaku secara mutlak.
Hal ini terlihat dalam perkembangan yurisprudensi dari conseil d’Etat, ada
kecenderungan untuk melihat kepentingan umum atau kepentingan orang banyak
yang harus dilindungi.
Peradilan Administrasi di negara-negara yang sedang berkembang “developing
countries” mengemban tugas yang jauh lebih berat daripada negara-negara yang
sudah mapan “settled”. Menurut Paulus Effendi Lotulung200, hal ini disebabkan
peradilan administrasi negara harus dapat menjaga keseimbangan yang harmonis dan
selaras antara perlindungan terhadap kepentingan umum dan pelayanan umum
“public service” dengan perlindungan terhadap kepentingan individu. Dengan kata
lain kepentingan pembangungan yang menyangkut kehidupan orang banyak dan
kepentingan umum tidak oleh dihambat oleh kepentingan individu. Sebaliknya hakhak individu pun tidak boleh dilanggar secara sewenang-wenang dengan dalih untuk
kepentingan umum dan pembangunan.
Ada dua istilah yang seolah berhadap-hadapan yaitu antara kepentingan individu
“individual interest” dengan kepentingan umum “public interest” namun tidak
selamanya kedua kemungkinan itu tidak sejalan. Keberadaan ngara dan
penyelenggara negara bukanlah untuk meniadakan salah satunya tetapi lebih untuk
mencari keseimbangan diantara kedua kutub tersebut tanpa harus meniadakan yang
satu atau yang lainnya. Dalam sistem kenegaraan Indonesia maka pendulum dari
kedua kutub tersebut berada pada titik yang lebih mendekati kutub kepentingan
umum. Hal ini bisa terlihat dalam UUD 1945 bahwa kolektivitas, kebersamaan,
gotong royong lebih diutamakan dari kepentingan-kepentingan yang lebih sempit.
200
Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hlm. 61
133
Demikian pula secara tradisional nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat
cenderung lebih menekankan kebersamaan daripada individualisme201.
b. Unsur-unsur Sengketa Tata Usaha Negara
Persoalan pokok negara hukum adalah persoalan kekuasaan khususnya
persoalan kewenangan atau wewenang202. Pengadilan bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara 203. Adapun
yang dimaksud sengketa Tata Usaha Negara 204 adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka sengketa tata usaha negara terdiri
dari beberapa unsur205, yaitu : Pertama, sengketa timbul dalam bidang tata usaha
negara. Istilah sengketa206 mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan
Tata Usaha Negara yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum
dalam bidang Tata Usaha Negara. Sedangkan yang dimaksud Tata usaha Negara 207
adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah.
201
Sedangkan yang dimaksud
Y. Warella, Kepentingan Umum Dan Kepentingan Perseorangan, Dialogue JIAKP, 2004, hlm.
382. Tersedia di ejournal.undip.ac.id
202
Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan
hukum administrasi. Wewenang dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Setiap
kebijakan atau tindak pemerintah harus bersumber atau bertumpu atas kewenangan yang sah, baik dari
sumber attribusi, delegasi maupun mandat, lihat dalam Yudhi Setiawan dan Boedi Djatmiko
Hadiatmodjo, Cacat Yuridis Dalam Prosedur Sebagai Alasan Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah
Oleh Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Jurnal Equality Volume 13 Nomor 1 Februari 2008,
Universitas Sumatera Utara : Medan, hlm. 1
203
Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
204
Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
205
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 6
206
Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
207
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
134
dengan urusan pemerintahan sebagai kegiatan yang bersifat eksekutif208. Kegiatan
yang bersifat eksekutif sebagaimana teori Trias Politika adalah kegiatan yang bersifat
pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Namun, tata usaha negara tidak hanya
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan kegiatan yang bersifat pelaksanaan
peraturan perundang-undangan tetapi juga melaksanakan fungsi untuk menyelesaikan
urusan pemerintahan yang penting dan mendesak yang belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Pelaksanaan fungsi yang terakhir ini berkaitan dengan adanya
kebebasan bertindak freis Ermessen, discretionary power atau pouvoir discretionare
yang menjadi wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Terkait dengan hal
ini, Phillipus Hadjon mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan urusan
pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif. Nampaknya istilah eksekutif
begitu populer digunakan tanpa menyadari kontradiksi yang terdapat dalam
pengertian itu sendiri. Pada dasarnya pemerintah tidak hanya melaksanakan undangundang tetapi atas dasar Freis Ermessen dapat melakukan perbuatan-perbuatan
lainnya meskipun belum diatur secara tegas oleh undang-undang209. Kedua, sengketa
tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Ketiga, sengketa tersebut timbul sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan tata usaha negara. Antara sengketa Tata Usaha Negara dengan
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara selalu harus ada hubungan sebab
akibat. Tanpa dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, tidak mengkin sampai
terjadi adanya sengketa Tata Usaha Negara.
Apabila memperhatikan pengertian sengketa Tata Usaha Negara tersebut di atas,
maka sengketa tata usaha negara adalah sengketa di bidang hukum publik sehingga
mempunyai konsekwensi yaitu: Pertama, Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
sifatnya atau berlakunya adalah erga omnes artinya berlaku kepada siapa saja, yang
berbeda dengan putusan Peradilan Umum mengenai perkara perdata yang hanya
208
Penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Phillipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1995, hlm. 138
209
135
berlaku untuk para pihak yang berperkara saja. Kedua, dimungkinkan adanya
putusan ultra petita pada putusan Peradilan Tata Usaha Negara sehingga
dimungkinkan pula adanya reformatio in pieus. Dalam pengertian sengketa Tata
Usaha
Negara
sebagaimana
dimaksud
di
atas
maka
termasuk
sengketa
kepegawaian210
3.2.Keputusan Tata Usaha Negara
a. Ruang Lingkup Keputusan Tata Usaha Negara
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah produk yang diterbitkan oleh Pejabat
Tata Usaha Negara (Jabatan Tata Usaha Negara) berdasarkan wewenang yang ada
padanya “attributie” atau diberikan padanya dalam bidang urusan pemerintaha
“delegate”. Selanjutnya yang dimaksud urusan pemerintahan ialah kegiatan yang
bersifat eksekutif (tidak termasuk di dalamnya kegiatan yang bersifat legislatif dan
yudikatif)211. Salah satu kunci yang penting dalam suatu Keputusan Tata Usaha
Negara adalah adanya wewenang atau kewenangan yang selalu harus ada dan yang
menjadi dasar berpijak bagi pejabat Tata Usaha Negara untuk dapat melakukan
tindakan-tindakan hukum yaiu menerbitkan keputusan-keputusan Tata Usaha Negara
sebagai salah satu instrumen yuridis dalam menjalankan pemeritahan. Wewenang
dalam menjalankan urusan pemerintahan tersebut dapat dilakukan melalui perbuatan
210
Pengertian sengketa tata usaha negara terdapat dalan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 termasuk sengketa kepegawaian. Berdasarkan
ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 yang kemudian diubah dengan Undang-undang
Nomor 43 Tahun 1999 ditentukan bahwa sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata
Usaha Negara
211
Tentang administrasi pemerintahan, Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014
menyebutkan bahwa administrasi pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan
dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan lingkup administrasi pemerintahan tidak
hanya aktifitas yang dilakukan oleh badan/pejabat pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi
pemerintahan di lingkup lembaga eksekutif saja melainkan mencakup semua aktifitas badan/pejabat
pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan di lingkup lembaga eksekutif, legislatif,
yudikatif dan badan/pejabat pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang
disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
136
atau tindakan yang bersiat atau menurut hukum publik, maupun yang bersifat atau
menurut hukum privat.
Salah satu sisi yang terpenting dalam penerapan wewenang menurut hukum
publik tersebut terutama dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara adalah
penerapan wewenang tersebut membawa akibat atau konsekwensi hukum yaitu
lahirnya hak dan kewajiban yang bersifat hukum publik bagi warga masyarakat yang
bersangkutan, kewenangan mana dapat dipaksakan secara sepihak
(bersifat
unilateral). Pada dasarnya, wewenang hukum publik dikaitkan selalu pada jabatan
publik yang merupakan organ pemerintahan “bestuur organ” dan menjalankan
wewenangnya dalam fungsi pemerintahan yang dalam segala tindakannya selalu
dilakukannya demi kepentingan umum atau pelayanan umum “public service”212.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundag-undangan yang
berlaku. Rumusan ini sedemikian luasnya sehingga yang berkedudukan sebagai
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah apa saja dan siapa saja yang
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku pada suatu saat melaksanakan urusan
pemerintahan maka menurut undang-undang dapat dianggap berkedudukan sebagai
badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karena itu yang menjadi pegangan atau
ukuran bukan kedudukan stuktural/organisatoris dari organ atau pejabat yang
bersangkutan dalam stuktur atau susunan pemerintahan melainkan ditekankan pada
fungsi yang dilaksanakan pada waktu itu yaitu fungsi pemerintahan. Apabila pada
saat itu yang dilaksanakan adalah urusan pemerintahan berdasarkan perundangundangan yang memberikan wewenang kepadanya, pada saat itu ia termasuk pejabat
Tata Usaha Negara sekalipun secara stuktural organisatoris bukan termasuk dalam
jajaran pemerintah/eksekutif sehingga dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha
Negara.
212
Paulus Effendi otulung, op. cit., hlm. 28
137
Paulus Effendi Lotulung mengemukakan bahwa pandangan demikian sejalan
pula dengan Mr. Nicolai di Belanda yang menulis buku berjudul “Bestuursrecht”
yang menguraikan tentang pengertian organ pemerintah yang terkandung dalam
AWB “Algemen wet Bestuursrecht”. Dikatakan bahwa pembuat UU AWB
bermaksud melalui kategori yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1a memperluas
pengertian organ pemerintah “bestuurs organ” sehingga meliputi juga instansiinstansi yang sebetulnya secara struktural tidak masuk dalam kategori organ
pemerintah, tetapi pada saat tertentu menjalankan fungsi pemerintah/eksekutif.
Dalam beberapa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia dapat
dilihat perkembangan sebagaimana disebut diatas, dimana pengertian urusan
pemerintahan dilihat lebih pada aspek fungsinya bukan semata-mata pada aspek
stuktural organisasi atau segi formalnya. Kendati demikian, tidak boleh dilakukan
bahwa bagaimanapun juga harus ada peraturan sebagai landasan kewenangan untuk
bertindak dalam urusan atau fungsi pemerintahan tersebut, hal mana dinyatakan pada
persyaratan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (asas
legalitas)213.
Bagi Hakim Tata Usaha Negara, pengertian beschikking yang merupakan salah
satu Keputusan Tata Usaha Negara yang berfungsi sebagai instrumen yuridis
pemerintahan yang digunakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam
melaksanakan tugas kewajiban di bidang urusan pemerintahan itu sangat penting
artinya, karena hanya penetapan tertulis saja yang dapat digugat di Pengadilan Tata
Usaha Negara. Namun dengan diundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014
maka kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara menjadi lebih luas.
Keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
213
Pasal 1 Angka (2) UU PTUN yang berbunyi : Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat
yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
ibid., hlm 29
138
Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata214. Namun dengan berlakunya Undang-undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Keputusan Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 dimaknai
sebagai215 : (a) penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual (b) Keputusan
Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif dan penyelenggara negara lainnya (c) berdasarkan ketentuan perundangundangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (d) bersifat final dalam arti
lebih luas (e) keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum: dan/atau
keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Sedangkan format penuangan Keputusan Tata Usaha Negara, semula
berdasarkan Undang-undang Pengadilan Tata Usaha Negara hanya keputusan tertulis,
selanjutnya diperluas216 bahwa Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat
keputusan berbentuk elektronis yang berkekuatan hukum sama dengan keputusan
yang tertulis. Jika keputusan dalam bentuk tertulis tidak disampaikan maka yang
berlaku adalah keputusan dalam bentuk elektronis. Akan tetapi, dalam hal terdapat
perbedaan antara keputusan dalam bentuk elektronis dan keputusan dalam bentuk
tertulis, yang berlaku adalah keputusan dalam bentuk tertulis217.
Adapun ruang lingkup Keputusan Tata Usaha Negara 218 sebagai berikut :
214
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undangundang Nomor 51 Tahun 2009
215
Pasal 87 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
216
Pasal 38 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
217
Lihat Imam Soebechi, Peratun Dan Kontrol Hukum Secara Utuh (Catatan Awal Tentang Undangundang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dalam Subur M.S. dkk (ed),
Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer, Genta Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 8
218
Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
139
(1) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku “onwetmatige”. Suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat dinilai bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, apabila keputusan itu :
a. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat procedural/formal “vormsgebreken”
Contoh : Dalam kasus kepegawaian, sebelum keputusan pegawai dikeluarkan,
seharusnya pegawai yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
b. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang besifat materiil/substansial “inhoudsgebreken”.
Dalam praktik, ini adalah mnyangut isi keputusan yang bertentangan dengan
peraturan dasarnya atau dengan peraturan yang lebih tinggi.
Contoh : Keputusan Tata Usaha Negara tentang Izin Mendirikan Bangunan yang
tidak sesuai dengan RUTRK “beslemmingsplam”, Izin prinsip suatu perusaaan
pertambangan yang tidak sesuai dengan AMDAL, Sertifikat Hak Atas Tanah yang
tidak sesuai dengan peruntukannya atau diterbitkan kapada orang yang salah “error in
pesona/error in objecto” dan sebagainya
c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usah Negara yang tidak
berwenang “bevoegdheidsgrebeken”. Ketidakwenangan ini dapat berupa : 1)
Ketidakwenangan tentang materi “onbevoegdheid ratione materiale”,
yaitu apabila materi/substansi Keputusan Tata Usaha Negara itu bukan menjadi
wewenang dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkannya
(kompetensi absolut)
2)
Ketidakwenangan tentang tempat/wilayah “onbevoegdheid ratione loci”, yaitu
apabila kewenangan untuk menerbitan Keputusan Tata Usaha Negara itu bukan
140
termasuk dalam wilayah hukum dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
menerbitkannya, melainkan termasuk kewenangan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara di wilayah lain (kompetensi relatif)
3)
Ketidakwenangan tentang waktu “onbevoegdheid ratione tempori” yaitu
apabila keputusan Tata Usaha Negara itu diterbitkan belum atau telah lewat waktu
(kedaluwarsa) dari yang ditentukan menurut peraturan yang berlaku
(2) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik “Algemene Beginselen van Behoorljk Bestuur/The
Principles of the Good Administration”.
b. Unsur-Unsur Keputusan Tata Usaha Negara
Apabila melihat ruang lingkup keputusan tata usaha negara tersebut di atas, maka
ditemukan unsur-unsurnya, yaitu : Pertama, Penetapan tertulis. Keputusan tata usaha
negara ditentukan berupa penetapan tertulis219 dan istilah penetapan tertulis terutama
menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh
badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara itu memang
diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya
seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya 220. Adapun ketentuan ini
dikecualikan yaitu bentuknya memang tidak tertulis tetapi disamakan atau dianggap
sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
Keputusan Tata Usaha Negara
ditentukan harus tertulis dikarenakan untuk kemudahan bagi pembuktian. Namun
bentuk formal suatu penetapan tertulis tidak menjadi syarat mutlak agar suatu
219
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha jo. Undangundang Nomor 51 Tahun 2009
220
Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 3 tersebut dapat diketahui bahwa menurut pengertian
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tidak ada Keputusan
Tata Usaha Negara yang tidak tertulis atau menurut pengertian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 semua Keputusan
Tata Usaha Negara harus dengan bentuk tertulis, kecuali Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
141
penetapan tertulis dapat disebut atau termasuk Keputusan Tata Usaha Negara. Oleh
karena bentuk formal dari suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tidak menjadi syarat mutlak agar penetapan tertulis
tersebut dapat disebut atau termasuk Keputusan Tata Usaha Negara 221. Lebih lanjut
disebutkan bahwa sebuah memo atau nota akan merupakan suatu keputusan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara apabila sudah jelas badan atau pejabat tata usaha
negara mana yang mengeluarkan, maksud serta mengenai hal apa isi dari memo atau
nota itu, kepada siapa memo atau nota itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di
dalamnya. Istilah penetapan dalam penetapan tertulis tersebut menunjuk pada isi
hubungan hukum yang ditetapkan dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan yang dapat berupa: (1) kewajiban-kewajiban untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu atau untuk membiarkan sesuatu (2) pemberian suatu subsidi atau
bantuan (3) pemberian izin (4) pemberian suatu status.
Kedua, dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan Tata
Usaha negara berupa penetapan tertulis tersebut diatas harus dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata usaha negara yaitu badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku222 atau
dengan kata lain Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mempunyai
wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Ukuran atau kriteria agar suatu
badan atau pejabat disebut sebagai badan atau pejabat tata usaha negara adalah
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, badan atau pejabat tersebut
mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.
Ketiga, berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Tindakan hukum tata usaha negara adalah perbuatan hukum
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada ketentuan hukum tata
221
222
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
142
usaha negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain 223.
Tindakan hukum tata usaha negara adalah tindakan dari Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan terhadap
seseorang atau badan hukum perdata. Oleh karena tindakan hukum dari Badan atau
Pejabat tata usaha negara tersebut atas dasar peraturan perundang-undangan
menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan, maka dapat dikatakan
tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang menimbulkan
akibat hukum mengenai urusan pemerintahan saja yang merupakan tindakan hukum
tata usaha negara.
Empat, Bersifat konkrit, individual dan final. Bersifat konkrit, artinya objek yang
diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud,
tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya keputusan Tata Usaha
Negara tidak ditujukan untuk umum tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang
dituju. Apabila yang dituju itu lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang
terkena keputusan itu disebutkan, umpama keputusan tentang pembuatan atau
pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama yang terkena
keputusan tersebut. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi
atasan atau instansi lain belum bersiat final, karenanya belum dapat menimbulkan
suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud
definitif adalah sudah tidak dapat diubah lagi, artinya dengan diterbitkannya
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut sudah menimbulkan akibat hukum yang tidak
dapat ditawar-tawar lagi. Jadi mutlak dilaksanakan atau sudah tidak ada lagi tindakan
upaya hukum alternatif yang bisa ditempuh (apabila itu menimbulkan kerugian
terhadap pihak yang bersangkutan) kecuali dengan gugatan.
223
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
143
Lima, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Pengertian menimbulkan akibat hukum adalah menimbulkan akibat hukum tata usaha
negara karena penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara. Akibat hukum Tata Usaha Negara tersebut dapat berupa :
(1) menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada
“declaratoir”. (2), menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang
baru “constitutief”. (3) menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan
hukum yang telah ada dan menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau
keadaan hukum yang baru
3.3.Asas-asas umum Pemerintahan Yang
Baik
a. Latar Belakang
Pada saat konsep rechtstaat dan konsep the rule of law diintroduksi pada akhir
abad ke 19 dan awal abad ke 20, suasana ketika itu sangat didominasi oleh gagasan
yang menyatakan negara tidak boleh turut campur dalam urusan kehidupan warganya,
kecuali dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketertiban, keamanan dan hubungan luar
negeri. Adapun tampilnya peranan negara dalam negara nachwakerstaat yang lahir
dan berkembang seiring dengan faham ekonomi liberal yang dilandasi oleh slogan
laissez faire laissez aller artinya apabila setiap orang diberi kebebasan mengurus
ekonominya masing-masing, maka ekonomi negara akan sehat dengan sendirinya dan
negara tidak terlibat mencampuri urusan ekonomi warganya. Faham libralisme
sebagaimana tersebut di atas menimbulkan akibat negatif dan mencapai puncak
krisisnya pada tahun 1930 yakni krisis ekonomi yang melumpuhkan ekonomi
144
sebagian besar negara-negara di dunia. Sejak saat itulah keterlibatan dan campur
tangan negara secara perlahan mulai masuk dalam kebidupan masyarakat.
Teori negara kesejahteraan atau negara tipe welfare state mulai mengalami
perkembangan pesat dan kehadiran serta peranan hukum administrasi juga semakin
dirasakan arti pentingnya. Kepekaan hukum administrasi terhadap perkembangan
politik semakin menemukan aktualisasinya. Tujuan pokok negara ini tidak saja
terletak pada pelaksanaan hukum semata, tetapi juga mencapai keadilan sosial
“social gerechtigheid” bagi seluruh rakyat. Konsepsi negara hukum modern
menempatkan eksistensi dan peranan negara pada posisi kuat dan besar. Hal ini
dikarenakan suatu negara hukum modern mengharuskan setiap tindakan pemerintah
berdasarkan atas hukum dan bersamaan dengan itu kepada pemerintah diserahi pula
peran, tugas, dan tanggung jawab yang luas, berat dan kompleks serta rumit. Namun
seiring dengan pemberian tugas dan tanggungjawab yang besar itu ternyata dalam
praktiknya dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Suatu tindakan hukum pemerintahan dapat dinilai sangat baik
“doelmatig”
apabila sesuai dan masuk dalam pengertian rumusan wewenang pemerintahan yang
diberikan oleh undang-undang yang bersangkutan. Namun apabila cara penggunaan
wewenang dengan cara yang bersifat sewenang-wenang maka dari segi hukum
tindakan demikian sebagai bersifat melawan hukum. Oleh karena itu perlu dasar
wewenang dalam peraturan perundang-undangan dan juga pelaksanaan wewenang
tersebut dilakukan benar-benar menurut norma-norma keadilan hukum. Kata lain
adalah segala tindakan pemerintah hendaknya menurut hukum baik in appearance
maupun in reality. Indroharto224 menambahkan bahwa kesulitannya adalah walaupun
tiap wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara selalu dirumuskan dalam
peraturan tertulis tapi kenyataannya terdapat berbagai ragam rumusan mengenai
224
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994,
hlm.87
145
modalitas pelaksanaan wewenang pemerintahan yang bersangkutan. Dalam hal
demikian maka teori hukum dan yurisprudensi peradilanlah yang harus menetapkan
sampai seberapa jauh tepatnya wewenang tersebut boleh dilakukan.
Badan atau pejabat Tata Usaha Negara pada saat melakukan suatu tindakan
hukum pemerintahan harus menelusuri wewenangnya dalam peraturan hukum tertulis
atau hukum tidak tertulis yang berlaku. Dalam menggunakan wewenang ini harus
selalu berpedoman pada ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh teori hukum serta
jurisprudensi yang diantaranya adalah Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik 225.
Pengertian good governance sendiri ada beberapa macam diantaranya menurut
UNDP good governance adalah suatu hubungan sinergi antara negara, sektor swasta
(pasar) dan masyarakat yang berlandaskan pada sembilan karakteristik yakni :
partisipasi, rule of law, transparansi, sikap responsive, berorientasi konsensus,
kesejahteraan/kebersamaan, efektif dan efisien, akuntabilitas dan visi strategis.
Sementara itu pengertian good governance menurut Caroline G. Hernandez226
bahwa:
“In general, governance can be good or bad: good when collective goals are
served well, the processes of decision making are observed, governors performs their
functions and exercise their power properly and the organization is sustained. It is
bad when only the goal of a few, especially the governors are served, precribed
225
Istilah algemene beginselen van behoorlijk bestuur atau the general principles of good
administration yang diterjemahkan oleh para sarjana dengan berbagai istilah. Ada yang
menterjemahkan beginselen dengan prinsip-prinsip, dasar-dasar atau asas-asas, sedangkan istilah
behoorlijk diterjemahkan dengan yang sebaiknya, yang baik, yang layak atau yang patut. Ada sarjana
yang menterjemahkan dengan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik (selanjutnya disingkat
AUPB) atau layak atau yang patut (selanjutnya disingkat AUPL). Dalam kepustakaan administrasi
Indonesia, algemene beginselen van behoorlijk bestuur tersebut populer dengan sebutan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
226
Lihat Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2015, hlm.
166
146
processes are breached, power and entitlements are abused and when the
organization’s survival is threatened or the organization fragment or dies”.
Pada dasarnya good governance adalah merupakan penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih, teratur, tertib, tanpa cacat dan berwibawa. Oleh karena itu
Nomensen Sinamo227 mengemukakan bahwa tindak lanjut untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik “good governance” dan bersih “clean governance” dengan
mengaktualisasikan secara efektif asas-asas umum pemerintahan yang baik yang
digunakan sebagai hukum tidak tertulis dengan melalui pelaksanaan hukum dan
penerapan hukum serta pembentukan hukum.
Kebebasan Badan atau Pejabat Tata usaha Negara untuk menentukan
kebijaksanaan sendiri berdasarkan diskresi sebagaimana tersebut selalu merupakan
kebebasan menurut undang-undang yang tidak mutlak sifatnya. Norma-norma tidak
tertulis Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik tetap berlaku terhadap keputusankeputusan yang diambil berdasarkan wewenang yang diskresioner tersebut. Normanorma tersebut dapat ditemukan dalam teori hukum, praktek yurisprudensi
peerintahan maupun peradilan, dan juga ke dalam kesadaran akan norma-norma
moral dan keadilan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
dikarenakan yang dihadapi bukan persoalan wetmatigheid saja (ada dasar dalam
peraturan atau tidak) tetapi juga persoalan rechtmatigheid (menurut hukum atau
tidak, adil atau tidak, patut atau tidak, tepat atau tidak, benar atau tidak)228.
Munculnya Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana tersebut di
atas, tidak lepas dari adanya konsep negara welfare state sebagai pengganti negara
nachwakerstaat. Adapun peranan negara nachwakerstaat atau negara penjaga malam
lahir dan berkembang seiring dengan faham ekonomi liberal yang dilandasi oleh
227
228
Ibid., hlm. 167
Indroharto, op. cit., hlm. 89
147
slogan laissez faire laissez aller yang artinya apabila setiap orang diberi kebebasan
mengurus ekonominya masing-masing maka ekonomi negara akan sehat dengan
sendirinya dan negara tidak terlibat mencampuri urusan ekonomi warganya. Akibat
negatif dari faham liberalisme ini mencapai puncak krisisnya pada tahun 1930 yakni
timbulnya krisis ekonomi yang melumpuhkan ekonomi sebagian besar negara-negara
di dunia, sehingga untuk mengatasi krisis ekonomi ini diperlukan keterlibatan negara.
Sejak saat inilah keterlibatan dan campur tangan negara secara perlahan
mulai
merambat merasuki kehidupan masyarakat. Konsep negara hukum klasik dalam arti
negara hukum formil sebagaimana diintroduksi oleh Immanuel Kant dan Fichte mulai
ditinggalkan dan diganti dengan konsep negara kesejahteraan atau welfare state atau
lazim disebut dengn istilah social legality atau social rechtsstaat yang sifat dan
coraknya berbeda sama sekali dengan konsep negara hukum klasik.
Teori Negara Kesejahteraan atau negara tipe welfare state mulai mengalami
perkembangan pesat dan kehadiran serta peranan hukum administrasi juga semakin
dirasakan arti pentingnya. Kepekaaan hukum administrasi terhadap perkembangan
politik semakin menemukan aktualisasinya. Konsep Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik terkait dengan upaya-upaya untuk meningkatan perlindungan hukum
“rechtsbecherming” bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan yang menyimpang.
Selain itu juga untuk mengawal agar tercipta tindak pemerintahan “bestuurs
handlingen” yang bersih (absah). Sandaran perlindungan hukum bagi rakyat tidak
hanya terdapat pada ketentuan hukum tertulis melainkan juga terdapat pada ranah
teks hukum yang tertulis.
Pengakuan terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai
bagian dari norma hukum pemerintahan dan perlindungan hukum warga adalah
konsekwensi berkembangnya konsep negara hukum. Dalam konsep negara hukum
dewasa ini, mewajibkan negara untuk menyelenggarakan kepentingan umum dalam
arti yang seluas-luasnya atau juga disebut negara hukum “welvaartsstaat”, “welfare
state”. Peran negara hukum kesejahteraan berlandaskan dalil “staats bemoeienis”
148
yaitu negara dan pemerintah terlibat aktif dalam mewujudkan kehidupan sosial
ekonomi masyarakat (kesejahteraan umum), di samping menjaga ketertiban dan
keamanan “trust en orde”. Saat ini peran itu ditambah lagi yaitu terselenggaranya
pemerintah yang bersih 229. Pemerintahan yang bersih “good governance” merupakan
ideologi lama yang baru mendapat tempat ketika kondisi negara sudah dalam keadaan
kacau baik di bidang politik, ekonomi, sosial hukum dan administrasi termasuk
didalamnya mekanisme/proses dan lembaga-lembaga yang menanganinya. Prinsip ini
merupakan prinsip yang mengetengahkan keseimbangan antara masyarakat “society”
dengan negara “state” serta negara dengan pribadi-pribadi “personals”. Artinya setiap
kebijakan publik “public policy” harus melibatkan berbagai pihak baik pemerintah,
masyarakat maupun sektor swasta230.
Pada waktu membahas rancangan undang-undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik di lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat, Menteri Kehakiman yang mewakili Pemerintah mengemukakan
bahwa dalam praktik ketatanegaraan maupun dalam Hukum Tata Usaha Negara di
Indonesia belum mempunyai kriteria tentang “algemene beginselen van ehoorlijk
bestuur” tersebut yang berasal dari negara Belanda231. Berdasarkan keterangan
pemerintah tersebut bahwa pemerintah belum setuju jika sampai asas umum
pemerintahan yang baik dijadikan sebagai alasan gugatan
atau dasar pengujian
Keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan batal atau tidak sah.
Namun, ternyata tidak berapa lama setelah Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 dinyataan mulai diterapkan secara efektif tanggal 14 Januari 1991, sudah ada
Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan dengan menyatakan batal
atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara dengan alasan bertentangan dengan asas
229
Ridwan, Memunculkan Karakter Hukum Progresif Dari Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Solusi Pencarian Dan Penemuan Keadilan Substantif, dalam Jurnal Hukum Pro Justitia, April 2009,
Volume 27 No. 1 hlm. 78
230
Nuraini, Pemberantasan Korupsi Melalui Good Governance, dalam Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi Volume 13 Nomor 3 Tahun 2013, hlm. 19
231
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Yogyakarta, 2013, hlm. 92
149
umum pemerintahan yang baik, seperti misalnya Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Palembang tanggal 16 Juli 1991 No. 06/PTUN/G/PLG/1991 232. Dengan
demikian ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) huru b Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 sebenarnya hanya meneguhkan atau
memberi dasar hukum tertulis saja terhadap praktik yang sudah berlaku sebagai dasar
pengujian suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
b. Sumber-Sumber Hukum Administrasi Negara
Penguasaan ilmiah macam dan seluk beluk sumber hukum sangat penting untuk
pembentukan law making naupun penerapan hukum law applying. Dalam
pembentukan, sumber hukum penting untuk menjamin ketertiban susunan hukum dan
isi hukum legal structure and legal substance. Penguasaan sumber hukum
dimaksudkan untuk menjamin penggunaan hukum yang cepat ketika memecahkan
suatu persoalan hukum233.
Ada dua macam sifat sumber hukum yaitu sumber hukum yang bersifat formal
“formele rechtsbronen” dan sumber hukum yang bersifat materiil ”materiele
rechtsbronen”234. Sumber-sumber Hukum Administrasi dibedakan antara sumber
hukum administrasi materiil menunjuk pada faktor-faktor yang mempengaruhi isi
dari suatu undang-undang misalnya agama, filsafat, sejarah, sosiologis, antropologis
dan lain-lain. Sedangkan sumber hukum administrasi Indonesia formil adalah
berbagai bentuk aturan hukum yang ada yang oleh Utrecht dikelompokan ke dalam:
undang-undang, praktik (konvensi), yurisprudensi dan doktrin (pendapat para ahli
232
Jazim Hamidi, Yurisprudensi tentang Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan
yang Layak, Tatanusa, Jakarta, 2000, hlm. 37-72
233
Penguasaan yang dalam tentang substansi hukum sangat penting untuk menentukan ukuran kualitas
bagi seorang sarjana hukum. Selain itu adalah penguasaan secara ilmiah sumber hukum dan
penguasaan ilmu dan metode penemuan hukum (rechtsvinding), Bagir Manan, Kewajban Hakim
Memahami, Memelihara dan Menerapkan UUD 1945, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun
XXVI No. 309 Agustus 2011, hlm. 9
234
Ibid.
150
administrasi). Praktik (konvensi) tersebut adalah asas-asas umum pemerintahan yang
Baik235.
Sumber hukum dalam arti bentuk aturan hukum dalam uraian di atas ada dua
kategori yaitu: (1) Hukum tertulis236 yang berupa peraturan perundang-undangan
dalam arti material yang berisi pengaturan tentang wewenang Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara untuk melakukan tindakan-tindakan hukum Tata Usaha Negara
dan yang mengatur tentang kemungkinan untuk menggugat tindakan-tindakan hukum
Tata Usaha Negara yang bersangkutan. (2) Hukum Tidak Tertulis atau Hukum
Kebiasaan. Perkembangan dan penerapan asas-asas tersebut juga sudah terjadi dalam
yurisprudensi Hakim Perdata dimana dikenal adanya perbuatan-perbuatan penguasa
misalnya bersifat sewenang-wenang, dilakukan dengan itikad buruk, melanggar
norma kepatutan dan sebagainya.
Kedudukan yurisprudensi sebagai sumber hukum baik dalam kajian yuridis
maupun akademis tidak perlu diragukan lagi. Indonesia tidak menganut sistem statut
law secara ketat dan juga tidak menganut common law237 secara katat. Kedua sistem
235
Sesudah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004, bentuk asas umum pemerintahan yang baik adalah dalam bentuk tertulis yaitu asas-asas umum
pemerintahan sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sedangkan asas-asas umum
pemerintahan yang baik dalam bentuk tidak tertulis dapat diketahui dari pendapat yang dikemukakan
oleh para pakar.
236
Hukum tertulis ini dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu (1) peraturan perundang-undangan
hukum TUN yang bersifat umum yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bentuk dan
isi tindakan-tindakan hukum TUN serta hubungan-hubugan hukum yang dilahirkan pada umumnya (2)
peraturan perundang-undangan hukum TUN yang bersifat khusus yang memberikan wewenangwewenang kepada para Badan atau Pejabat TUN untuk melakukan tindakan-tindakan hukum TUN
dalam mengurus atau mengatur suatu bidang kehidupan dalam masyarakat
237
Hukum dikonsepsikan sebagai subsistem yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
manusia, law is a cultural institution yang kelahirannya dibidani dan dibesarkan oleh masyarakat itu
sendiri. Hukum dipahami sebagai sesuatu yang fleksibel yang mampu menyesuaikan diri dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, ekonomi, informasi, hubungan dengan luar
negeri, perkembangan ideologi, politik dan keamanan, dalam M. Fauzan, Hakim Sebagai Pembentuk
Hukum Yurisprudensi, Majalah Varia Peradilan N0. 244 Maret 2006, hlm. 43
151
ini diberi tempat dan kesempatan yang sama dalam mengelola hukum di Indonesia238.
Namun tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau putusan hakim tingkat
banding yang waaupun telah berkekuatan hukum tetap serta merta menjelma menjadi
hukum yurisprudensi karena untuk dapat dikategorikan sebagai hukum yurisprudensi
masih harus melalui tahapan proses eksaminasi dan notasi dari Mahkamah Agung
dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum
yurisprudensi tetap.
Berdasarkan hasil penelitian BPHN 1995 menyimpulkan bahwa putusan hakim
baru dapat dikualifikasikan sebagai hukum yurisprudensi, apabila putusan hakim
tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : (1) Putusan atas suatu peristiwa
hukum yang belum jelas pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan (2)
Putusan hakim tersebut harus merupakan putusan hakim yang telah berkekuatan
hukum tetap (3) Putusan hakim tersebut telah dijadikan dasar untuk memutus kasus
yang sama secara berulang-ulang dalam waktu yang lama (4) Putusan hakim tersebut
telah memenuhi rasa keadilan masyarakat (5) Putusan hakim tersebut telah
dibenarkan oleh Mahkamah Agung239. Kelemahan mendasar pandangan tersebut
menurut M. Fauzan240 adalah terletak pada istilah hakim yang dikerucutkan pada
hakim agung saja sehingga hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding tidak
memiliki legalitas pembentukan hukum yurisprudensi. Padahal dalam praktik
peradilan justru hakim tingkat pertama (judex factie) yang langsung bersentuhan
dengan masyarakat pencari keadilan, sehingga hakim dapat mempertimbangkan
hukum kasus itu bukan semata-mata dari aspek yuridis tetapi lebih dari itu hakim
dapat mempertimbangkan dari aspek sosiologis dan psychologis yang memungkinkan
238
Istilah yurisprudensi berasal dari bahasa latin Jurisprudentia yang berarti pengetahuan hukum.
Dalam praktik peradilan di Indonesia, yurisprudensi dikonsepsikan sebagai suatu keputusan hakim
yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan Pasal 22 A.B. yang
menjadi dasar keputusan hakim lainnya di kemudian hari untuk mengadili perkara serupa dan
keputusan hakim tersebut lalu mejadi sumber hukum bagi pengadilan, ibid., hlm. 44
239
Mahkamah Agung RI, Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, Jakarta, 2003, hlm. 21
240
Dalam M. Fauzan, op. cit., hlm. 44
152
putusan hakim itu lebih berbobot dan dalam kasus yang sama telah lama diikuti oleh
hakim berikutnya. Tetapi hanya karena tidak banding dan tidak kasasi, meskipun
telah berkekuatan hukum tetap tetap putusan hakim tingkat pertama tidak dapat lolos
ke dalam kualifikasi hukum yurisprudensi karena tidak terpenuhinya syarat belum
dibenarkan oleh Mahkamah Agung dan hanya karena belum diberikan rekomendasi
sebagai yurisprudensi tetap.
Optimalisasi penerapan lembaga yurisprudensi dipandang sebagai kebutuhan
yang fundamental untuk melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan yang
memiliki celah-celah kelemahan dan menterjemahkan kemajuan budaya masyarakat
yang berkaitan dengan penegakan hukum. Oleh karena itu hakim dituntut perannya
dalam mengembangkan pesan hukum yang masih tersembunyi dibalik undangundang yang penuh dengan keterbatasan dan kekurangannya dalam mengantisipasi
perkembangan zaman.
Dalam tradisi sistem hukum common law dikenal dengan istilah precedent241
yang berkaitan dengan asas stare decisis. Adapun perbedaannya sebagai berikut :
Pertama, dalam sistem yurisprudensi (tradisi kontinental) tidak ada kewajiban untuk
mengikuti putusan serupa yang pernah ada, Kalaupun mengikuti semata-mata karena
pertimbangan praktis dan psikologis. Praktis maksudnya mudah dalam menyusun
pertimbangan-pertimbangan (fakta dan hukum). Psikologis maksudnya kalau tidak
mengikuti (putusan hakim dari jenjang lebih tinggi) ada kemungkinan (kekhawatiran)
putusan atas kasus yang serupa itu akan dibatalkan dalam upaya hukum (banding atau
kasasi). Lazim disebut dalam sistem precedent, putusan hakim terdahu mengikat
(binding). Dalam sistem yurisprudensi (kontinental) kekuatan mengikat putusan
hakim terdhulu bersifat persuasif belaka (persuasive). Kedua, dalam sistem
Adapun pengertian precedent yaitu (1) Black’s Law Dictionary : An adjudged case or decision of a
court considered as furnishing an example or authority for an identical or similar case after ward
arising or similar question of law...Prior cases which are close in facts or legal principles to the case
under consideation are called precedent. (2) Oxford Dictionary of Law, Precedent : A Judment or
decision of the court ...used as an authority for reaching the same decision in subsequent cases, ibid.
241
153
yurisprudensi (tradisi kontinental) hakim lebih bebas memutus, lebih kreatif, lebih
terbuka mengikuti keyakinannya, baik atas dasar keyakinan hukum maupun rasa
keadilan. Tidak demikian dalam sistem precedent (stare decisis) yang wajib
mengikuti putusan terdahulu242.
Salah satu asas pokok negara hukum demokratis adalah adanya kekuasaan atau
wewenang istimewa administrasi negara yang diperoleh atas dasar peraturan
perundang-undangan yang berasal baik dari pusat maupun daerah, bersifat mengikat
umum dan diperoleh melalui atribusi. Asas ini yang dinamakan dengan asas legalitas.
Asas legalitas menghendaki setiap tindakan administrasi negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat secara
umum. Adapun yang menjadi persoalan yang dihadapi adalah suatu pemerintahan
yang menyatakan dirinya negara hukum demokratis, apabila dihadapkan pada suatu
undang-undang yang tidak mengandung nilai-nilai keadilan di dalamnya, kemudian
undang-undang itu dijadikan sumber wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan
yang bersifat hukum publik.
Meskipun suatu tindakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara nerupakan tindakan yang didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang berlaku, namun dilihat dari substansi negara hukum
demokratis, wewenang itu belum tentu bersumber pada undang-undang yang adil.
Apabila suatu wewenang dirumuskan secara sumir, samar-samar atau tidak jelas,
lebih-lebih mengingat keterbatasan kemampun undang-undang untuk mengatur
semua hal secara lengkap, maka disini peranan ilmu hukum, yurisprudensi dan asas
umum pemerintahan yang adil dan patut akan sangat penting artinya untuk tampil
menentukan batas-batas wewenang tersebut. Disinilah arti penting norma-norma
hukum tidak tertulis243 untuk melengkapi undang-undang tertulis. Asas-Asas Umum
242
Ibid., hlm. 15
Norma hukum tidak tertulis ini dalam hukum administrasi Belanda disebut algemene beginselen van
behoorlijk bestuur atau di Perancis disebut les principle generaux de droti contumier public atau
243
154
Pemerintahan yang Baik merupakan asas-asas yang mengandung suatu nilai hukum
yang berada diantara norma-norma yuridis (hukum) dan etika (moral/kepatutan)
yang menjembatani norma-norma hukum dan norma-norma etika. Bellefroid dan
Hommes menyebut norma dasar atau pedoman untuk pembentukan hukum.
Konijnenbelt mengatakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik mempunyai arti
penting karena merupakan pdoman arah bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
dalam menemukan atau menentukan hukum pada waktu mereka melaksanakan fungsi
pemerintahan. Selanjutnya Indroharto244 mengemukakan bahwa fungsi dari AsasAsas Umum Pemerintahan yang Baik adalah: Pertama, merupakan pedoman bagi
perbuatan pemerintahan atau pedoman dalam menemukan atau menentukan hukum
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Kedua, Merupakan suatu alasan untuk
mengganggu gugat Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan kepada instansi
yang berwenang. Ketiga, Asas-asas tersebut oleh instansi yang berwenang dapat
merupakan dasar untuk menguji apakah keputusan yang digugat itu bersifat melawan
hukum atau tidak.
c. Macam-Macam Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Hukum administrasi adalah termasuk ranah ilmu hukum dalam disiplin ilmu
hukum publik yang berisi peraturan-peraturan yang menyangkut administrasi yaitu
(bestuursrecht). Dengan demikian pemerintah dalam pengertian ini juga dipandang
sebagai fungsi pemerintahan (bestuurs-functie) yang merupakan tugas penguasa
(overheid-staak) yang tidak termasuk dalam
tugas pembentukan undang-
undang/legislasi maupun peradilan/yudikatif.
Van Wijk-Konijnenbelt mengatakan secara umum bahwa hukum administrasi
merupakan instrumen yuridis bagi penguasa (overhead) untuk secara aktif terlibat
dengan masyarakat, pada sisi lain hukum administrasi merupakan hukum yang
principles of natural justice atau Inggris The principle of Natural Justice, Belgia Algemene
Rechtsbegenselen atau Jerman termasuk lingkungan Verfassungsprinzipien.
244
Indroharto, op.cit., hlm. 90
155
memungkinkan anggota masyarakat mempengaruhi penguasa dan memberikan
perlindungan terhadap penguasa. Van Wijk-Konijnenbelt menggambarkan hukum
administrasi meliputi : Pertama, mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan
mengendalikan masyarakat.
Kedua, mengatur cara-cara parisipasi warga negara
dalam proses pengaturan dan pengendalian tersebut. Ketiga, perlindungan hukum
(rechtsbescherming) dan Keempat, menetapkan norma-norma fundamental bagi
penguasa untuk pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk
bestuur)
Unsur-unsur pokok dalam hukum administrasi di Indonesia juga mengikuti
perkembangan
hukum
administrasi
sebagaimana
digambarkan
Van
Wijk-
Konijnenbelt yang meliputi : Pertama, sarana-sarana bagi penguasa untuk
mengatur/mengendalikan (bestuuren) rakyat. Kedua, cara-cara partisipasi rakyat.
Ketiga, perlindungan hukum (rechbescherming) preventif/represif dan Keempat,
penormaan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 245Asas-asas tersebut pada
hakikatnya merupakan asas-asas hukum tidak tertulis yang awalnya diperoleh dari
penelitian putusan-putusan hakim atau Yurisprudensi di Belanda. Dengan kata lain
bahwa pengertian Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik pada dasarnya diilhami
dari “algemene beginselen van behoorlijk bestuur”
di Belanda, les principes
generaux du droit contumier public di Perancis, the principles of, natural justice, di
negara-negara yang berdasar hukum Anglo Saxon.
Setelah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 maka bentuk dan asas umum pemerintahan yang baik adalah
dalam bentuk tertulis dan dalam bentuk tidak tertulis yaitu: Pertama, Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tertulis dapat dijumpai dalam
penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo.
Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
245
Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hlm. 145
156
Baik yang dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme246. Kedua, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk
tidak tertulis. Hal ini dapat diketahui dari pendapat yang dikemukakan para ahli
hukum. Namun diantara pendapat ahli hukum terrsebut tidak ada kesamaan tentang
apasaja yang termasuk Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai dasar
penguji suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Hal ini dikarenakan asas-asas tersebut
merupakan “levende beginselen” sehingga berkembang menurut praktik khusus
melalui putusan pengadilan.
Kuntjoro Purbopranoto dengan mengambil alih sebagian besar mata kuliah R.
Crince Le Roy menyampaikan adanya tiga belas247 asas meliputi : asas kepastian
hukum
“principle
of
legal
security”,
asas
keseimbangan
“principle
of
proportionality”, asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh “principle of
equality”, asas bertindak cermat “principle of carefulness”, asas motivasi untuk setiap
keputusan pangreh “principle of motivation”, asas jangan mencampuradukkan
kewenangan “principle of non-misuse of competence”, asas permainan yang layak
“principle of fairplay”, asas keadilan atau kewajaran “principle of reasonableness or
prohibition of arbitrariness”, asas menanggapi pengharapan yang wajar “principle of
meeting raise expectation”, asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang
batal “principle of undoing the consequences of an annuleddecision”, asas
perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi “principle of protecting the
personal way of life”, asas kebijaksanaan “sapentia” dan asas penyelenggaraan
kepentingan umum “principle of public service”.
Pada mulanya timbul keberatan terhadap rumusan “algemene beginselen van
behoorlijk bestuur” yang dihasilkan oleh Panitia de Monchy sebagaimana terurai di
246
Asas-Asas Umum Pemerinatahan yang Baik dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-undang Nomor 28
Tahun 1999 meliputi sebagai berikut : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas
kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas.
247
Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hlm. 146
157
atas. Keberatan terutama datang dari para pejabat administrasi atau pegawai
pemerintahan di Nederland. Hal ini dikarenakan mereka khawatir rumusan algemene
beginselen van behoorlijk bestuur tersebut akan dijadikan hakim adinistrasi sebagai
tolok ukur untuk menguji tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh mereka.
Namun keberatan tersebut telah kehilangan relevansinya. Freies Ermessen tetap dapat
digunakan oleh administrasi negara dalam melakukan fungsinya melaksanakan
bestuurzorg dan bahkan pada masa sekarang ini algemene beginselen van behoorlijk
bestuur telah diterima secara luas dan dimuat dalam berbagai peraturan perundangundangan di Nederland serta dalam berbagai yurisprudensi. Sesuai dengan latar
belakang yang menjadi motivasi dirumuskannya asas-asas tersebut yakni adanya
keinginan untuk meningkatkan pemberian perlindungan hukum bagi warga negara
dan bagi pejabat tata usaha negara maka dengan diterimanya rumusan asas-asas
pemerintahan itu akhirnya keinginan terebut dapat direalisasikan 248.
Namun tidak semua asas-asas umum pemerintahan yang baik cocok bagi
negara Indonesia. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik akan digali dari
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, hukum adat, teori ilmu hukum dan
yurisprudensi yang selanjutnya asas-asas tersebut diuji ke dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia dan yurisprudensi. Sebagaimana pendapat Paulus
Effendi Lotulung bahwa Asas-asas umum pemerintahan yang baik akan berkembang
melalui yurisprudensi melalui kegiatan penemuan hukum atau rechtvinding 249.
Berkaitan dengan kegiatan menggali, menemukan dan merumuskan asas-asas
umum pemerintahan yang baik melalui yurisprudensi harus mengacu kepada
pembentukan hukum nasional yang merupakan pancaran dari pandangan hidup
bangsa yang terjelma dalam sila-sila Pancasila itu sendiri. Selain itu yurisprudensi
248
SF. Marbun, op.cit., hlm. 371
Pengembangan asas-asas umum pemerintahan yang baik dimungkinkan dengan menggali kearifan
lokal di berbagai daerah di Nusantara yang sangat kaya dengan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal.
Dengan demikian jumlah kriteria tersebut tidaklah limitatif, dalam Paulus Effendi Lotulung, op. cit.,
hlm. 147
249
158
tersebut harus pula mampu menemukan keserasian dengan cita-cita hukum
sebagaimana termuat dalam cita-cita hukum yang terkandung dalam Pokok-Pokok
Pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
berikut : Pertama, Hukum yang berwatak melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan dalam rangka mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh
bahwa pernyataan tersebut mempergunakan istilah segenap untuk bangsa dan istilah
seluruh
untuk tumpah darah. Hal ini berarti segenap menunjuk pada individu-
individu dan individu itu dirangkum dengan tetap memperhatikan individualitasnya
masing-masing, sedangkan seluruh menunjukkan bahwa individualitas ditiadakan dan
kesemuanya akan terangkum sebagai suatu kesatuan yang utuh. Kedua, Hukum yang
mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, Hukum
yang berasal dari rakyat dan mengandung sifat kerakyatan. Keempat, Hukum yang
berdasarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, dituntut adanya kearifan hakim untuk tidak secara bulat
menerima dan menerapkan pengertian-pengertian ataupun doktrin yang berlaku
dalam hukum administrasi negara yang berasal dari Barat atau paham yang tidak
sesuai Falsafah Pancasila. Para hakim Pengadilan Tata Usaha Negara inilah yang
nantinya harus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk diterapkan
dan diimplementasikan dalam putusan-putusannya250
Menurut Adriaan W. Bedner terkait dengan prinsip-prinsip tata usaha negara yang
baik (AUPB)251 bahwa prinsip-prinsip tata usaha negara yang baik telah secara umum
diterima sebagai bagian dari perlengkapan hukum para hakim tata usaha negara.
Namun penerapan masing-masing alasan tersebut telah menunjukkan keberagaman
opini dan penafsiran di kalangan hakim yaitu Pertama, pelanggaran hukum dan
peraturan yang berlaku paling sedikit menimbulkan masalah. Para hakim memberikan
250
251
Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hlm. 12
Adriaan W. Bedner, op.cit., hlm. 132
159
nilai penting kepatuhan pada prosedur oleh tergugat, dalam beberapa perkara hingga
mereka memerintahkan pembatalan keputusan yang digugat, padahal telah tampak
jelas bahwa substansi keputusan tersebut benar. Penafsiran yang lebih jauh adalah
bahwa pelanggaran terhadap hukum perdata dimasukkan ke dalam alasan ini dan
bahwa permasalahan demikian tidak dirujukkan ke pengadilan perdata. Kedua,
penyalahgunaan wewenang sejauh ini tidak terlalu banyak dipergunakan namun
memiliki banyak potensi dalam kondisi yang dihadapi administrasi kenegaraan
Indonesia. Ada sedikit kebingungan karena penafsiran alasan ini dalam penjelasan
sehingga konsep ini tidak menambahkan apapun pada alasan pertama: pelanggaran
hukum dan peraturan yang berlaku. Ketiga, Adanya kesewenang-wenangan. Masalah
besar yang timbul adalah bahwa beberapa hakim tidak mafhum bahwa mereka tidak
bisa menimbang seluruh kepentingan yang terkait, yang memperkuat kritik bahwa
hakim tata usaha negara cenderung berusaha menggantikan peran administrasi.
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik atau prinsip-prinsip umum
administrasi yang baik adalah alasan terakhir yang bisa digunakan hakim tata usaha
negara dalam uji materiil dan adalah alasan yang paling bermasalah. Hal ini
dikarenakan ketiadaan konsistensi dalam penafsirannya dan sementara dalam
beberapa perkara prinsip yang diberlakukan tampaknya dipilih secara serampangan.
Beberapa prinsip tidak diterapkan secara konsisten seperti prinsip kesetaraan dalam
perkara perintah pembongkaran. Dikatakan Bedner, beberapa hakim nampaknya tidak
memahami bahwa prinsip-prinsip tata usaha negara yang baik merupakan alasan
pengujian yang berdiri sendiri dan bukan bagian dari kepatuhan pada prosedur resmi.
Dalam beberapa perkara hal ini menyebabkan para hakim menyatakan bahwa sebuah
keputusan sesuai dengan prinsip-prinsip tata usaha negara yang baik karena apa yang
dituliskan hukum telah diikuti dengan benar252.
252
Ibid., hlm. 132
160
3.4.Beracara Di Pengadilan Tata Usaha
Negara
a. Rapat Permusyawaratan
Setelah surat gugatan beserta resume gugatan diterima oleh Ketua Pengadilan
dan Panitera maka oleh Ketua Pengadilan surat gugatan tersebut diperiksa dalam
rapat permusyawaratan253 yang menentukan bahwa dalam perusyawaratan, Ketua
Pengadilan berwenang menentukan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan
itu dinyatakan tidak
diterima atau tidak berdasar dalam hal : (a) Pokok gugatan 254 tersebut nyata-nyata
tidak termasuk dalam wewenang pengadilan; (b) Syarat-syarat gugatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia telah diberitahu
dan diperingatkan (c) Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang
layak; (d) Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (e) Gugatan yang diajukan sebelum
waktunya atau telah lewat waktunya.
Pengertian rapat permusyawaratan tidak dirumuskan secara jelas, oleh
karena itu muncul berbagai macam pendapat sebagai berikut 255 : Pertama, Ketentuan
tersebut ada kesamaan dengan Pasal 105 ayat (1) Wet op de Raad van State yang
berbunyi :
Devoorzitter kan onmiddelijk uitspraak doen, indien het verzoek kennelijk niet
ontvankelijk is dan wel indien de verdere behandeling van de zaak hem niet nodig
voorkomt omdat :
253
Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Penjelasan Pasal 62 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa
yang dimaksud pokok gugatan adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan. Atas dasar fakta tersebut,
Penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan huku tertentu dan oleh karenanya mengajukan
tuntutannya.
255
Abdullah Gofar, Teori Dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Tersedia di
eprints.unsri.ac.id
254
161
a. hetverzoek kennelijk ongegrond is;
b. het aangevallen besluit kennelijk niet in stand kan blijven;
c. het aangevallen besluit door het bevoegde overheidsorgaan is ingestrokken of
gewijzigd, en dit orgaan kennelijk aan de bezwaren van de verzoeker is
tegemoet gukomen
Dalam pasal tersebut tidak terdapat kata-kata de voozitte in de raadkamer namun
hanya de voorzitter saja. Oleh karena itu menurut A. Soedjadi kata rapat
permusyawaratan supaya dianggap tidak ada atau tidak perlu dibaca karena
kenyataannya Ketua Pengadilan saja yang membuat penetapan yang bersangkutan.
Kedua, Acara Rapat Permusyawaratan dilakukan sendiri oleh Ketua Pengadilan
sebelum Majelis Hakim Pemeriksa perkara pokok sengketa ditunjuk. Penetapan atas
hasil Rapat Permusyawaratan akan didengar oleh para pihak (Penggugat dan
tergugat) sebelum hari sidang ditentukan dst. Menurut SF Marbun bahwa acara rapat
permusyawaratan dilakukan sendiri oleh Ketua Pengadilan sebelum Majelis Hakim
memeriksa perkara pokok sengketa yang ditunjuk. Ketiga, Sebagaimana pendapat
Indroharto bahwa memang dikenal rapat permusyawaratan. Dalam pelaksanaan rapat
permusyawaratan yang hadir tidak hanya Ketua pengadilan saja namun juga hadir
para Anggota Majelis dan Panitera atau Panitera Pengganti yang akan ditunjuk untuk
memeriksa perkara yang dimaksud. Keempat, Philipus M. Hadjon berpendapat sama
dengan Indroharto tentang apa yang dimaksud dengan rapat permusyawaratan seperti
yang disebutkan dalam perumusan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Tata
Usaha Negara.
Dalam praktik di Pengadilan Tata Usaha Negara, rapat permusyawaratan dijelaskan
sebagai berikut : Dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
02/PLW/1993-PEND/PTUN-JKT terdapat pertimbangan hukum yang menyebut
162
bahwa rapat permusyawaratan diartikan sebagai raad kamer, dalam pemeriksaan
kamar tertutup, dilakukan oleh Ketua Pengadilan tanpa adanya proses antar pihakpihak dan tanpa dilakukan pemeriksaan di muka umum, hal mana sesuai dengan
maksud dan hakikat acara singkat dalam dismissal prosedure. Dengan demikian
proses tersebut pada dasarnya merupakan suatu penanganan yang berifat inkuisitoir
belaka yang merupakan penahapan atau ase pendahuluan terhadap gugatan yang
diajukan256.
Prosedur sebagaimana tersebut diatas adalah suatu prosedur penyelesaian yang
disederhanakan “vereenvoudigde behandeling, dismissal procedure” dimana kepada
Ketua Pengadilan diberikan wewenang untk memutuskan dengan mengeluarkan suatu
penetapan, yaitu penetapan dismissal yang dilengkapi dengan pertimbanganpertimbangan bahwa suatu gugatan yang diajukan ke pengadilan dinyatakan tidak
diterima atau tidak berdasar.
Terkait dengan pengertian rapat permusyawaratan tidak dijelaskan secara
rinci, dengan demikian muncul bemacam-macam pendapat. Salah satunya bahwa
rapat permusyawaratan diartikan sebagai raad kamer, dalam peeriksaan kamar
tertutup, dilakukan oleh Ketua Pengadilan tanpa adanya proses antar pihak-pihak dan
tanpa dilakukan pemeriksaan di muka umum, hal mana sesuai dengan maksud dan
hakikat acara singkat dalam proses dismissal prosedure 257. Oleh karena itu, proses
tersebut pada dasarnya merupakan suatu penanganan yang bersifat inkuisitoir belaka
yang merupakan pertahapan atau fase pendahuluan terhadap gugatan yang diajukan.
Acara rapat permusyawaratan atau pemeriksaan dismissal dilakukan sendiri
oleh Ketua dan Ketua dapat pula menunjuk seorang Hakim sebagai Rapourteur
(raportir).
Pemeriksaan
dismissal
dilakukan
secara
singkat
dalam
Rapat
permusyawaratan sebelum Majelis Hakim memeriksa pokok sengketa. Hasil
256
257
Ibid. hlm. 178
Dalam pertimbangan Putusan Nomor 02/PLW/1993-PEND/PTUN-JKT
163
pemeriksaan dismissal dituangkan dalam bentuk penetapan dan ditandatangani Ketua
atau Wakil Ketua apabila Ketua berhalangan dan Panitera Kepala/wakil panitera,
serta diucapkan dalam Rapat Permusyawaratan yang didengar oleh kedua belah
pihak. Penetapan tersebut diucapkan sebelum hari persidangan ditentukan dengan di
dengar oleh kedua belah pihak. Apabila para pihak tidak puas terhadap penetapan
Ketua tersebut, mereka dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan penetapan, Rapat
Permusyawaratan258.
b. Pemeriksaan Persiapan.
Selain dikenal acara rapat permusyawaratan dikenal pula acara pemeriksaan
persiapan. Acara pemeriksaan persiapan dilakukan setelah melewati Acara Rapat
Permusyawaratan atau setelah gugatan lewat sensor tahap pertama. Sebelum
pemeriksaan pokok sengketa di muka umum dimulai, sebelumnya dilakukan
penelitian yang bersifat administratif terhadap berkas gugatan oleh staf kepaniteraan.
Baik rapat permusyawaratan maupun pemeriksaan persiapan merupakan kekhususan
dalam Hukum Acara Peradilan Administrasi dan kedua acara tersebut dilakukan
sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai259.
Prosedur ini dibuat untuk mengkompensasi ketidaksetaraan informasi antara
penggugat dan tergugat. Dalam tahap ini, hakim bisa meminta keterangan dari
258
Acara rapat permusyawaratan atau pemeriksaan dismissal dilakukan sendiri oleh Ketua dan Ketua
dapat pula menunjuk seorang Hakim sebagai Rapourteur (raportir). Pemeriksaan dismissal dilakukan
secara singkat dalam Rapat permusyawaratan sebelum Majelis Hakim memeriksa pokok sengketa.
Hasil pemeriksaan dismissal dituangkan dalam bentuk penetapan dan ditandatangani Ketua atau
Wakil Ketua apabila Ketua berhalangan dan Panitera Kepala/wakil panitera, serta diucapkan dalam
Rapat Permusyawaratan yang didengar oleh kedua belah pihak. Penetapan tersebut diucapkan sebelum
hari persidangan ditentukan dengn di dengar oleh kedua belah pihak. Apabila para pihak tidak puas
terhadap penetapan Ketua tersebut, mereka dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan penetapan,
259
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sebelum
pemeriksaan pokok sengketa di muka umum dimulai, Majelis Hakim yang telah ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan, wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugutan yang kurang jelas
atau untuk mematangkan perkara. Penjelasan Pasal 63 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
ini adalah kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara.
164
Tergugat, sementara mereka harus memberikan saran kepada penggugat untuk
memperbaiki dan melengkapi gugatan. Batas waktu untuk tahap ini adalah 30 hari
namun Penjelasan menambahkan bahwa hakim tidak boleh terlalu ketat menerapkan
batasan ini260.
Pemeriksaan persiapan ini dapat dilakukan oleh Hakim Anggota yang ditunjuk
oleh ketua Majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Ketua Majelis.
Oleh karena pemeriksaan persiapan dilakukan sebelum pemeriksaan pokok sengketa
dimuka umum dimulai, maka pemeriksaan persiapan dapat dilakukan di ruangan
musyawarah dalam sidang tertutup untuk umum, tidak harus di ruangan sidang,
bahkan dapat pula dilakukan di dalam kamar kerja hakim tanpa memakai toga.
Acara pemeriksaan persiapan dilakukan setelah melewati Acara Rapat
Permusyawaratan atau setelah gugatan lewat sensor tahap pertama dan sebelum
pemeriksaan sengketa dilakukan. Maksud disediakannya Acara Pemeriksaan
Persiapan adalah guna mengimbangi dan mengatasi kesulitan penggugat memperoleh
informasi atau data yang diperukan yang berada dalam kekuasaan Badan atau Pejabat
tata usaha negara yang berada pada posisi yang tidak seimbang. Dengan
disediakannya Acara Pemeriksaan Persiapan diharapkan posisi tersebut akan
seimbang, yakni dengan cara memberikan kesempatan kepada hakim untuk meminta
penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, bahkan
pejabat tata usaha negara lainnya yang dianggap perlu oleh hakim261
Dalam praktiknya, kinerja pemeriksaan persiapan memang memenuhi standar
minimal yang ditetapkan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, namun tidak
260
Mahkamah Agung berpendapat dalam Surat Edaran No. 2/1991 hal. III bahwa pemeriksaan
persiapan harus dilakukan untuk mematangkan perkara sebelum tahap pemeriksaan pokok. Selain itu,
surat edaran ini memuat beberapa pedoman praktis misalnya bahwa pemeriksaan bisa dilakukan di
dalam kantor hakim dan ia tidak diwajibkan untuk menggunakan jubah. Cukup penting juga bahwa
surat edaran ini menyatakan bahwa majelis hakim bisa menolak gugatan atau memerintahkan
penundaan pada tahap ini.
261
dalam SF. Marbun, op. cit. hlm. 284.
165
lebih dari itu. Tugas pertama para hakim dalam membantu penggugat
menyempurnakan gugatannya biasanya dipenuhi dengan baik. Saran dalam
penjelasan untuk tidak terlalu ketat dengan batasan waktu262 ini biasanya dipenuhi.
Demikian juga tugas kedua mendapatkan keterangan dari tergugat tidak menimbulkan
masalah. Para hakim menyebutkan bahwa mereka tidak mengalami kesulitan untuk
mendapatkan informasi yang mereka minta dan berkas yang diteliti memastikan
pernyataan tersebut. Namun, tahap pemeriksaan persiapan ini tidak dimanfatkan
semaksimal mungkin263.
Perkembangan yang tampaknya memperkuat pemeriksaan persiapan adalah
diperkenalkannya hakim raportir oleh beberapa Ketua Pengadilan. Namun
berdasarkan penelitian Adriaan W. Bedner264 hakim raportir hanya ditunjuk dalam
beberapa perkara dan melaksanakan tugas mereka sebelum dimulainya pemeriksaan
persiapan. Mereka memberikan laporan mereka ke ketua pengadilan dan saran
mereka nyaris tidak berpengaruh pada proses berikutnya.
Pemeriksaan persiapan tidak ditujukan sebagai bentuk mediasi. Apabila
melihat latar belakang pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Pasal
63 harus dipandang sebagai pengejawantahan sikap integralistik yang nampaknya
mendukung usaha rekonsiliasi sebagaimana dalam proses perdata hakim diwajibkan
untuk mendorong tercapainya penyelesaian sengketa pada awal gugatan (Pasal 139
ayat (1) HIR). Namun menurut Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1991, sengketa hanya
bisa diselesaikan di luar pengadilan. Larangan ini biasanya dipatuhi oleh para hakim
262
Mahkamah Agung berpendapat dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1991 menentukan bahwa
pemeriksaan persiapan harus dilakukan untu mematangkan perkara sebelum tahap pemeriksaan pokok.
Selain itu surat edaran ini memuat beberapa pedoman praktis misalnya bahwa pemeriksaan bisa
dilakukan di dalam kantor hakim dan ia tidak diwajibkan untuk mengenakan jubah. Surat Edaran ini
juga menyatakan bahwa majelis hakim bisa menolak gugatan atau memerintahkan penundaan pada
tahap ini.
263
Adriaan W. Bedner, Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, ctk. Pertama, HuMa Van
Vollenhoven Institute KITLV-Jakarta, Jakarta, 2010, hlm. 1. Terjemahan dari Adriaan W.Bedner,
Administrative Courts in Indonesia: a socio-legal study, Van Vollenhoven Institute, 1995, Penerjemah
Indra Krishnamurti
264
Ibid., hlm. 147
166
tata usaha negara, kecuali ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Amarullah
Salim yang dalam pemeriksaan persiapan selalu menanyakan kepada kedua pihak
apakah mereka bersedia menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai.
Sebagaimana dikatakan oleh Adriaan W. Bedner265 terkait dengan upaya damai dalam
pemeriksaan persiapan yaiu dalam kasus Sumali melawan Kepala SMA Maria
Mediatrix yaitu seorang siswa SMA yang tidak dinaikkan kelasnya. Oleh seorang
hakim yang secara berhati-hati mendorong kedua pihak untuk mencapai kesepakatan
dalam pemeriksaan persiapan. Perundingan di luar pengadilan dilakukan dan
akhirnya tercapai kompromi. Lebih dalam batasan Undang-undang Peradilan Tata
Usaha Negara adalah Poerwantana melawan Kepala Kantor BTN Cabang Semarang
dimana tergugat menanyakan apakah sengketa ini tidak dapat diselesaikan melalui
mediasi. Hakim menyampaikan bahwa ia tidak diijinkan untuk melakukan hal
tersebut, namun tentu saja kedua pihak bisa berusaha berunding di luar pengadilan.
Hakim tersebut akhirnya mengabulkan waktu untuk pembicaraan tersebut. Namun
pengadilan tata usaha negara tidak melakukan mediasi.
Dalam rangka mencapai tujuan dari pemeriksaan persiapan, segala sesuatu
yang akan dilakukan untuk pemeriksaan persiapan tersebut diserahkan kepada
kearifan dan kebijaksanaan Ketua Majelis. Oleh karena itu, dalam pemeriksaan
persiapan, memanggil Penggugat untuk menyempurnakan gugatnnya dan/atau
Tergugat untuk dimintai keterangan atau penjelasan tentang keputusan yang digugat,
tidak selalu harus didengar secara terpisah. Pemeriksaan persiapan terutama untuk
menerima bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan dengan gugatan. Dalam hal
adanya tanggapan dari Tergugat, tidak dapat diartikan sebagai replik duplik. Jika
sampai terjadi hal yang sedemikian, harus dibuat berita acara pemeriksaan persiapan.
265
Adriaan W. Bedner, op.cit., hlm. 147
167
Menurut Indroharto266, dalam pemeriksaan persiapan dapat dilakukan
pemeriksaan setempat, pemeriksaan surat-surat yang disimpan oleh instansi-instansi
tertentu, atau mendengarkan saksi-saksi yang dapat memberikan kejelasan mengenai
fakta-fakta yang berkaitan dengn perkara yang bersangkutan. Dalam melakukan
pemeriksaan setempat tidak perlu dilaksanakan oleh Majelis hakim yang lengkap,
cukup oleh salah seorang Hakim Anggota yang khusus ditugaskan untuk melakukan
pemeriksaan setempat yang dituangkan dalam bentuk penetapan.
c. Perdamaian
Salah satu perbedaan hukum acara peradilan tata usaha negara dengan hukum
acara perdata adalah tidak dikenal kemungkian terjadinya perdamaian antara pihakpihak di dalam persidangan267. Apabila kedua pihak mencapai kesepakatan di luar
sidang sementara proses di pengadilan tata usaha negara belum selesai maka
penggugat harus menarik gugatannya secara resmi dengan menyebutkan alasanalasan pencabutannya dalam sidang terbuka. Kasus ini kemudian akan dicoret dari
catatan pengadilan. Perintah pencoretan diucapkan dalam persidangan yang terbuka
untuk umum268.
Menurut S.F. Marbun269, prinsip musyawarah merupakan salah satu prinsip dasar
dalam kehidupan masyarakat dan dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menanamkan prinsip adanya kewajiban
bagi setiap penyelenggara kekuasaan negara dalam menyelenggarakan kekuasaannya
266
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 89
267
Penyelesaian sengketa TUN tidak dikenal adanya perdamaian baik dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
268
Lihat butir VIII Surat Edaran Mahkamah Agung RI yaitu Apabila antara pihak dalam sengketa
TUN di luar pemeriksaan sidang Pengadilan sampai terjadi perdamaian maka (1) Penggugat mencabut
gugatannya secara resmi dalam sidang terbuka untuk umum dengan menyebutkan alasan
pencabutannya (2) Apabila pencabutan gugatan dimaksud dikabulkan maka hakim memerintahkan
agar panitera mencoret gugatan tersebtu dan register perkara (3) Perintah pencoretan diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum.
269
SF. Marbun, op. cit., hlm.219
168
untuk selalu berdasarkan musyawarah. Demikian halnya dengan penyelesaian
sengketa melalui putusan peradilan administrasi hanya akan dijadikan sarana terakhir,
apabila prinsip musyawarah dan perdamaian telah diupayakan semaksimal mungkin.
Selanjutnya, apabila dihubungkan dengan konsep negara hukum Indonesia (asas
kekeluargaan, kerukunan, keserasian, keseimbangan dan keselarasan) sudah tentu
adanya musyawarah dan perdamaian itu tidak bertentangan dan bahkan sejalan
dengan cita-cita negara hukum Indonesia.
Ada permasalahan yang nantinya bisa muncul yaitu ketika beberapa pejabat
tidak memenuhi kesepakatan setelah gugatan ditarik. Selanjutnya ketika hal itu
diketahui, batas waktu untuk mengajukan gugatan baru telah daluwarsa sehingga
akses ke pengadilan tata usaha negara terhalang. Pengadilan Tata Usaha Negara
Bandung berusaha menyelesaikan hal ini melalui yurisprudensi yaitu Putusan No.
03/G/PTUN-Bdg./1993 : mengumumkan kesepakatan perdamaian ini dalam sidang
terbuka dan hakim ketua sidang menambahkan “jika tergugat tidak memenuhi
kewajibannya yang timbul dari kesepakatan ini, penggugat diizinkan untuk
menghubungi pengadilan tata usaha negara lagi”. Tanggal kesepakatan ini tidak
dipenuhi akan menandai dimulainya perhitungan batas daluwarsa perkara.
Pendekatan ini nampaknya berhasil karena masalah tersebut tidak terjadi lagi.
Beberapa hakim menambahkan bahwa rasa takut terhadap publisitas negatif mungkin
juga memainkan peranan270.
d. Pemeriksaan Acara Biasa
Suatu gugatan diperiksa dengan acara biasa dikarenakan dua sebab
kemungkinan yaitu, Pertama, kemauan yang berasal dari penggugat sendiri karena
penggugat tidak punya alasan yang cukup untuk mengajukan permohonan agar
gugatannya diperiksa dengan acara cepat. Kedua, karena permohonan penggugat
270
Lihat dalam penelitian Adriaan W. Bedner, hlm. 148
169
agar gugatannya diperiksa dengan acara cepat tidak diterima hakim, sedangkan upaya
hukum lain tidak tersedia sehingga gugatan diperiksa dengan acara biasa.
Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang271, namun sebelumnya harus
memperhatikan ketentuan tentang kompetensi relatif dan ketentuan tentang sengketa
tata usaha negara tertentu yang harus diselesaikan melalui upaya administratif yang
tersedia. Gugatan yang diajukan oleh Penggugat diterima oleh Panitera tetapi tidak
langsung dimasukkan ke dalam daftar perkara, sebelum Penggugat membayar uang
muka biaya perkara yang besarnya ditafsir oleh Panitera 272.
Uang muka biaya
perkara adalah biaya yang dibayat lebih dahulu sebagai uang panjar oleh pihak
Penggugat terhadap perkiraan biaya yang diperlukan dalam proses berperkara seperti
biaya kepaniteraan, biaya materai, biaya saksi, biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan
di tempat lain dan ruang sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan
sengketa atas perintah hakim273. Setelah uang muka biaya perkara dibayar, gugatan
dimasukkan dalam daftar perkara untuk mendapat nomor perkara dan gugatan baru
diproses untuk selanjutnya 274. Pembayaran uang muka biaya perkara sifatnya adalah
imperatif. Tanpa adanya pembayaran uang muka biaya perkara, gugatan tidak akan
diproses lebih lanjut.
Demikian halnya apabila gugatan dikirim melalui pos. Apabila pembayaran uang
muka biaya perkara belum dipenuhi maka dianggap surat biasa. Namun jika sudah
jelas merupakan surat gugatan maka harus tetap disimpan di Panitera Muda Bidang
Perkara dan harus dicatat dalam Buku Pembantu Register dengan mendasarkan pada
tanggal diterimanya gugatan tersebut.
271
Pasal 53 ayat 1 UUPTUN
Pasal 59 ayat (1) jo, ayat (2) UU PTUN. Melalui SE MARI Nomor 2 Tahun 1991 ditentukan biaya
perkara sekurang-kurangnya sebesar Rp. 50.000,-(lima puluh ribu rupiah)
273
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UUPTUN
274
Pasal 59 ayat (3) dan Pasal (4) UU PTUN
272
170
Terhadap surat-surat gugatan yang masuk, perlu dilakukan
penelitian
administratif275. Adapun yang berwenang melakukan penelitian administratif adalah
Panitera, Wakil Panitera dan Panitera Muda Perkara sesuai dengan pembagian tugas
yang diberikan. Sedangkan yang menjadi objek penelitian adminitratif hanya segi
formal tentang bentuk dan isi gugatan apakah sudah sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 56 namun tidak sampai menyangkut segi materiil dari gugatan. Dalam tahap
penelitian administratif Panitera harus memberikan petunjuk seperlunya dan dapat
meminta kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatan yang dipandang perlu.
Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara dengan dalih apapun juga yang
berkaitan dengan masalah gugatan. Terkait hal ini Adriaan W. Bedner 276
mengemukakan bahwa setelah memperhatikan berkas perkara dan pengamatan di
PTUN Jakarta, Bandung dan Semarang, tahap pendaftaran dalam rangkaian prosedur
biasanya berjalan lancar. Panitera seharusnya bisa memberikan lebih banyak saran
dalam penulisan gugatan, setelah memperhatikan mutu hampir semua gugatan yang
masuk. Bedner tidak menemukan panitera yang menolak gugatan bahkan meskipun
sebenarnya ia bisa melakukan misalnya bila batasan daluwarsa perkara jelas-jelas
sudah terlampaui.
Dalam rangka memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya, maka setelah
perkara dimasukkan dalam daftar perkara dan memperoleh nomor perkara, oleh staf
Kepaniteraan membuat resume gugatan terlebih dahulu sebelum diajukan kepada
Ketua Pengadilan dengan bentuk formal yang isi pokoknya yaitu : (1) Siapa subjek
gugatan dan apakah Penggugat maju sendiri atau diwakili oleh kuasa (2) Apa yang
menjadi objek gugatan dan apakah objek gugatan tersebut termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara 277(3) Apakah yang menjadi alasan gugatan
dan apakah alasan memenuhi unsur Pasal 53 ayat 2 butir a dan b Undang-undang
275
Pasal 62 ayat (2) huruf b UU PTUN yang menentukan bahwa perlu diadakan penelitian terhadap
syarat-syarat gugatan sebagaimana Pasal 56 UUPTUN.
276
Adriaan W. Bedner, op. cit., hlm. 143
277
Sebagaimana Pasal 1 butir 3 UU No. 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009)
171
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. (4) Apakah yang
menjadi petitum atau isi gugatan, apakah hanya pembatalan Keputusan Tata Usaha
Negara saja atau ditambah dengan tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
e. Pemeriksaan Acara Cepat
Pemeriksaan acara cepat merupakan karakteristik khusus bagi Hukum Acara
PTUN. Pemeriksaan dengan acara cepat278
merupakan pengecualian terhadap
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pemeriksaan Acara Biasa. Pengajuan gugatan
dalam pemeriksaan dengan acara cepat pada prinsipnya adalah sama dengan acara
biasa. Perbedaannya adalah suatu gugatan diperiksa acara cepat atau acara biasa
tergantung pada alasan-alasan yang diajukan oleh penggugat dalam permohonannya
agar gugatannya diperiksa dengan acara cepat dan permohonan agar gugatannya
diperiksa dengan acara cepat dan permohonan dimasukkan dalam surat gugatan.
Dalam permohonan itu hendaknya dimuat alasan-alasan adanya kepentingan
penggugat yang cukup dan sangat mendesak279 untuk mohon agar pemeriksaan
terhadap gugatannya dilakukan dengan acara cepat.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka ada syarat-syarat yang harus dipenuhi
sebagai berikut : Pertama, dalam surat gugatan harus sudah dimuat atau disebutkan
alasan-alasan yang menjadi dasar dari Penggugat untuk mengajukan permohonan
agar pemeriksaan sengketa dipercepat. Kedua, berdasarkan alasan-alasan yang
dikemukakan oleh penggugat tersebut, dapat ditarik kesimpulan adanya kepentingan
dari Penggugat yang cukup mendesak bahwa pemeriksaan terhadap sengketa tata
usaha negara tersebut memang perlu dipercepat.
278
UU PTUN memungkinkan pemeriksaan dengan acara cepat oleh satu hakim untuk memberikan
kepastian hukum sesegera mungkin. Hal ini dilakukan bukan saja pemeriksaan dilakukan lebih cepat,
namun hakim juga harus memberikan putusannya dengan lebih cepat.
279
Sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
menentukan : Apabila terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat
disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada
Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat
172
Adapun pengertian “kepentingan penggugat yang cukup mendesak”
mempunyai sifat yang kasuistis sehingga kepada Ketua Pengadilan diberikan
kebebasan untuk membuat penilaian terhadap alasan-alasan yang diajukan oleh
Penggugat dalam permohonannya agar sengketa Tata Usaha Negara dapat dipercepat
pemeriksaannya. Selanjutnya dalam jangka waktu empat belas hari setelah
diterimanya permohonan supaya pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
dipercepat, mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya
permohonan tersebut. Dengan demikian yang mempunyai wewenang untuk
mengabulkan atau tidak mengabulkan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat
adalah Ketua Pengadilan yang dituangkan dalam bentuk penetapan ketua pengadilan.
Sebelum Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau
tidak dikabulkannya permohonan Penggugat, Ketua pengadilan akan melakukan
dalam rapat permusyawaratan terhadap gugatan yang sudah diadakan penelitian
administratif oleh staf kepaniteraan. Pemeriksaan didahului dengan pemeriksaan
apakah gugatan memenuhi salah satu atau beberapa atau semua ketentuan
sebagaimana dimuat dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a, b, c, d, e 280 maka Ketua
Pengadilan akan mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan tidak
diterima atau tidak berdasar tanpa melakukan pemeriksaan terhadap alasan-alasan
yang diajukan Penggugat dalam permohonannya agar sengketa tata usaha negara
280
Pasal 62 ayat (1) berbunyi : Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang
memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa
gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :
a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan;
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat
sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
c. Gugatan terebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usah Negara
yang digugat;
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya
173
dipercepat pemeriksaannya. Terhadap penetapan Ketua tersebut, Penggugat dapat
mengajukan upaya hukum yang berupa perlawanan281.
Apabila hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Ketua pengadilan menunjukkan
bahwa gugatan tidak memenuhi semua ketentuan Pasal 62 ayat (1) maka Ketua
Pengadilan baru memeriksa apakah dari alasan-alasan yang dibuat atau disebutkan
dalam surat gugatan, dapat ditarik kesimpulan bahwa memang terdapat kepentingan
Penggugat yang cukup mendesak untuk dikabulkan permohonan agar pemeriksaan
sengketa tata usaha negara dipercepat.
Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan tersebut dapat
berupa permohonan dari Penggugat tidak dikabulkan atau permohonan dari
Penggugat dikabulkan: Pertama, permohonan dari penggugat tidak dikabulkan maka
Ketua pengadilan akan mengeluarkan penetapan bahwa permohonan dari Pengugat
tersebut ditolak atau tidak dikabukan. Terhadap penetapan Ketua Pengadilan tersebut
tidak dapat digunakan upaya hukum 282. Kedua, apabila permohonan dari Penggugat
dikabulkan maka Ketua Pengadilan akan mengeluarkan penetapan bahwa
permohonan dari Penggugat diterima atau dikabulkan dan dalam jangka waktu tujuh
hari setelah dikeluarkannya penetapan tersebut, Ketua pengadilan menentukan
tentang hari, tempat dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan
persiapan283. Dengan penetapan, ketua pengadilan menunjuk hakim tunggal untuk
melakukan pemeriksaan dengan acara pemeriksaan cepat284.
Permasalahan mengenai acara cepat adalah apa kriteria yang digunakan ketua
pengadilan untuk menentukan kepentingan penggugat cukup mendesak. Adriaan W.
Bedner285 mengungkapkan bahwa sulit untuk menemukan kriteria yang diterapkan
hakim. Beberapa permintaan pemeriksaan dengan acara cepat nampaknya masuk
281
Sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Pasal 98 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
283
Pasal 99 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
284
Pasal 99 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
285
Adriaan W. Bedner, op. cit., hlm. 156
282
174
akal namun tetap ditolak tanpa penjelasan yang memuaskan. Contoh gugatan
terhadap keputusan Bank Indonesia untuk membekukan semua rekening penggugat
dimana ketua PTUN Semarang menolak permintaan pemeriksaan dengan acara cepat
karena menurutnya penggugat tidak memiliki kepentingan mendesak. Selain itu
menurut Bedner, yang kurang mendapat perhatian baik penyusun undang-undang
maupun Mahkamah Agung adalah hubungan antara pemeriksaan dengan acara cepat
dan penundaan. Pemeriksaan sengan acara cepat jauh kurang penting dalam praktik
pengadilan tata usaha negara dibandingkan penundaan. Selain masalah-masalah yang
disebutkan di atas, ketiadaan pemeriksaan dengan acara cepat pada tingkat banding
atau kasasi sangat mengurangi nilai tambah.
175
B. Kerangka Pemikiran
Bagan 3 :
Kerangka Pemikiran Disertasi
Teori Keadilan Sosial
Grand
Teory
Negara Hukum
(Teori Negara Hukum, Teori Welfare
state)
Pengadilan Tata Usaha
Negara
Judicial Activism
(Teori Realism, sociological jurisprudence, behavior
Middle Theory
jurisprudence, critical legal studies)
Metode Penemuan Hukum
Interpretasi yuridis,
Hermeneutika
Penemuan Hukum Progesif
Penalaran/
argumentasi
Konstruksi
Hakim Progresif
(Teori Hukum Progresif)
Putusan Hakim Berkualitas
(teori keadilan)
Applied
Theory
Download