1 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Sebelum melakukan penelitian hukum maka terlebih dahulu menentukan konsep hukum yang dipakai. Sebagaimana dijelaskan Soetandyo Wignyosoebroto 1, ada lima konsep hukum yaitu : 1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal; 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional; 3. Hukum adalah apa yang diputus oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law ; 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosiak yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik; 5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Terdapat tiga rumusan masalah dalam penelitian ini yang membutuhkan metode penelitian yang tepat. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah hukum yang dikonsepkan sebagai putusan hakim dan hukum yang dikonsepkan sebagai maknamakna simbolik sebagaimana termanifestasikan dan tersimak dalam dan dari aksi- 1 Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum UNS, Surakarta, 2010, hlm. 20 2 aksi serta interaksi warga masyarakat atau hukum dikonsepkan sebagai realitas maknawi yang berada di alam subjektiva.2 Dalam menjawab rumusan masalah yang pertama, konsep hukum ketiga yang dipakai yaitu konsep hukum sebagai keputusan-keputusan yang diciptakan hakim in concreto dalam proses peradilan sebagai upaya hakim menyelesaikan kasus atau perkara dan mempunyai kemungkinan sebagai precedent bagi kasus atau perkaraperkara berikutnya.3 Sejauh studi-studi itu berkaitan erat dengan soal opini-opini hakim tentang substansi hukum perundang-undangan dan atau keputusan-keputusan para hakim terdahulu yang berkaitan sebagai preseden-preseden tidak ada salahnya kalau studi-studi tersebut tetap dikategorikan sebagai studi-studi doktrinal. Oleh karena itu pendekatan doktrinal, analisis yang digunakan adalah silogisme deduktif, yakni untuk mencapai kesimpulan dilakukan dengan menarik premis mayor ke premis minor. Akan tetapi, studi tentang perilaku hukum di ruangan-ruangan pengadilan sulitlah kalau dikategorikan sebagai studi tentang doktrin-doktrin hukum. Variabel-variabel yang extra-legal itu kalau eksis ke luar ranah doktrinal dan penelitian-penelitian serta studi-studinya termasuk kategori non doctrinal dengan menggunakan metode-metode dan idiom-idiom yang non doctrinal pula.4 Terkait hubungan konsep, tipe kajian dan metode penelitian maka Soetandyo Wignjosoebroto5 mengemukakan sebagai berikut : Tabel 6 : Hubungan Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitian 2 Soetandyo Wignjosoebroto, Ragam-Ragam Penelitian Hukum, dalam Sulistyowati & Sidharta, Yayasan Obor, Jakarta, 2009, hlm. 139. 3 Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, Surakarta, 2010, hlm. 21. 4 Soetandyo Wignjosoebroto op. cit., hlm. 140 5 Dalam Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 20 3 Konsep Tipe Kajian Hukum Metode Peneliti Penelitian Hukum Filsafat Logika deduksi, Pemikir adalah asas- Hukum berpangkal asas premis normatif kebenaran yang diyakini dan keadilan bersifat yang bersifat evident” kodrati Orientasinya Filsafat dari “self dan berlaku universal Hukum Ajaran Doktrinal, Para Yuris Positivisme adalah hukum bersaranakan kontenenta norma-norma murni yang terutama positif di mengkaji logika l deduksi untuk dalam sistem “law as it is membangun perundang- written in sistem hukum undangan the books” positif American Doktrinal seperti American Behavioral di atas, tapi juga lawyers Sosiopsi- non logik hukum nasional Hukum adalah apa Sociological yang Jurispruden diputuskan ce doktrinal yang bersaranakan oleh hakim in mengkaji logika induksi 4 concreto, dan “law as it is untuk tersistematisa si decided mengkaji by court behaviours sebagai judges judge made through law judicial process” Hukum Sosiologi Sosial/non adalah pola- Hukum doktrinal, dengan pola perilaku mengkaji pendekatan sosial Stuktural Sosiolog, Simbolik yang law as it is stuktural/makro terlembagaka n, Sosiolog in society eksis dan umumnya terkuantifikasi sebagai (kuantitatif) variabel sosial yang empirik Hukum Sosiologi Sosial/non adalah dan/atau doktrinal dengan antropolog manifestasi Anropologi pendekatan makna- Hukum interaksional/mikr humaniora makna mengkaji o, dengan simbolis para law as it is analisis-analisis pelaku sosial in sebagaimana tampak dalam interaksi (human) yang kualitatif actions , pengkaji intraksional 5 diantara mereka B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih adalah Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta dan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh. Pada Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat pertama ini pemeriksaan secara lengkap terhadap fakta-fakta yang diajukan para pihak di muka sidang atau judex facti. Penelitian juga dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum UNS dan kepustakaan pusat UNS yaitu untuk diperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai data pendukung penelitian hukum empiris. Penelitian data sekunder yang berupa bahan hukum primer, yaitu dalam bentuk putusan pengadilan. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive yaitu sesuai dengan tujuan penelitian. C. Jenis dan Sumber Data Berdasarkan dengan jenis penelitian yang dilakukan, maka jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya atau diperoleh secara langsung dari masyarakat (mengenai perilakunya:data empiris). Data primer diperoleh langsung dari informan, yaitu hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh dan Penasihat Hukum. Jenis data ini memberikan keterangan atau informasi secara langsung terutama yang berkaitan dengan objek penelitian. Pemikiran-pemikiran hakim dalam menyelesaikan sengketa dituangkan dalam pertimbangan hukum yang mengemukakan alasan-alasan sebagai dasar putusannya. Data primer diperoleh melalui wawancara secara mendalam (indeepth interview), dalam bentuk wawancara tak berstuktur dengan memberikan 6 pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya telah disusun atau disiapkan lebih dahulu oleh interviewer. Data sekunder yang bersumber dari bahan pustaka, meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundang-undangan (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai perubahan kedua dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai perubahan kedua dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, putusan hakim, yurisprudensi, semua dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum dari bahan hukum yang diteliti, berupa suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Keputusan Tata Usaha Negara atau beschikking). Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku teks, jurnal hukum, kamus hukum, laporan atas hasil penelitian, komentar atas putusan pengadilan, bahan seminar dan lokakarya. D. Teknik Pengumpulan Data 1. Studi Kepustakaan Tujuan studi kepustakaan dimaksudkan untuk menemukan tori-teori, doktrin-doktrin, asas-asas dan ketentuan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan. Dari studi kepustakaan dapat diperoleh pengertian hukum dalam arti in abstracto sedangkan dari penelitian terhadap putusan hakim akan diperoleh pengertian hukum dalam arti in concreto. Hakim tidak sekedar menemukan lafal-lafal hukum in abstrakto, untuk kemudian secara logis (berdasarkan silogisme deduktif) menjabarkan lafal-lafal yang in abstrakto tersebut menjadi lafal-lafal yang in 7 concreto, sine ira, hakim itu selalu mengimbuhkan suatu pertimbangan pribadi yang ekstra legal sifatnya, dengan cita-cita bahwa putusan yang dibuat itu akan lebih fungsional bagi kehidupan6. Melalui studi literatur yang cukup mendalam dan luas, akan mempermudah seorang peneliti menyusun landasan teori berupa kerangka teori dan kerangka konsep yang kerap kali disebut juga penelaahan kepustakaan atau studi pustaka. Kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir yang menunjukan dari sudut mana masalah yang telah dipilih akan disoroti, sedangkan kerangka konsep disusun sebagai perkiraan teoritis dari hasil yang akan dicapai setelah dianalisa secara kritis berdasarkan persepsi yang dimiliki7. Melalui kajian pustaka dimaksudkan untuk meneliti norma-norma dan asas-asas dan prinsip yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tentang peradilan tata usaha negara dan dipergunakan sebagai dasar pertimbangan putusan. 2. Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu dan bertujuan untuk mengumpukan keterangan tentang kehidupan manusia serta pendapat-pendapat mereka. Sesuai dengan data yang ingin dikumpukan yaitu dalam kaitan dengan putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara maka peneliti melakukan wawancara dengan para hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta dan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh serta Penasihat Hukum. Wawancara dalam penelitian empiris ini penting dilakukan karena dari wawancara akan diperoleh sikap interview atau pemberi informasi (informan) terhadap permasalahan yang dihadapi. Wawancara dilakukan secara langsung 6 Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 44 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1987, hlm. 43 7 8 dimaksudkan untuk memperoleh keterangan yang benar dan akurat, oleh karena itu sebelum wawancara dilakukan pewawancara atau interiewer mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan lebih dahulu secara sistematik. Dalam hal ini peneliti ingin memperoleh informasi dari hakim terutama dalam kaitannya dengan alasan-alasan yang dikemukakan dalam pertimbangan hukumnya atau ratio decidendi, untuk selanjutnya hakim menjatuhkan putusan. Soerjono Soekanto mengemukakan metode wawancara digunakan oleh peneliti dengan tujuan, memperoleh data mengenai persepsi manusia, mendapatkan data mengenai kepercayaan manusia, mengumpulkan data mengenai kepercayaan manusia, mengumpulkan data mengenai perasaan dan motivasi seseorang/kelompok manusia, memperoleh data mengenai antisipasi atau orientasi ke masa depan dari manusia, memperoleh informasi mengenai perilaku manusia pada masa lampau dan mendapatkan data mengenai perilaku yang sifatnya sangat pribadi atau sensitif8. 3. Observasi atau pengamatan Obserasi yang digunakan untuk mengungkap data dalam penelitian ini adalah observasi non partisipasif yaitu peneliti dan pengamat berusaha untuk mengamati sikap dan perilaku dari observee dalam proses di muka sidang, namun tanpa ikut terlibat langsung. Hal ini dimaksudkan agar observee tidak akan terpengaruh dengan hadirnya pengamat dalam tindakannya untuk mengambil suatu keputusan. Soerjono Soekanto mengemukakan apabila tujuan penelitian hukum itu adalah mencatat perilaku (hukum) sebagaimana terjadi di dalam kenyataan dan peneliti akan memperoleh data yang dikehendakinya secara langsung pada saat itu juga. Tujuan pengamatan terutama untuk membuat catatan atau deskripsi mengenai perilaku dalam kenyataan9. Perilaku yang dimaksud adalah suatu proses yang dilakukan hakim dimulai dari penerimaan sengketa, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sampai dengan pengambilan putusan, yang didasarkan pada alasan8 9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI, Jakarta, 1986, Press, hlm. 67 Ibid., hlm. 66 9 alasan hukum yang dituangkan dalam pertimbangan hukum. Hakim sebagai aktor mempunyai banyak pilihan dari alternatif yang tersedia dan berdasarkan kemampuan yang dimiliki, hakim akan mengambil putusan yang berkualitas. E. Teknik Analisis Data Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan maka penelitian ini menggunakan analisis data melalui dua tahap : 1. Tahap pertama Dalam menganalisis data pada rumusan masalah pertama mendasarkan pada pendekatan doktrinal dan analisis dilakukan dengan menggunakan metode analisis doktrinal atau normatif. Pada tahap ini peneliti melakukan inventarisasi hukum dari berbagai norma hukum. Dalam penelitian ini peneliti memahami dan menggambarkan hukum dengan menggunakan metode logika-deduktif. Deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogisme yang tersusun dari dua pernyataan (premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan 2. Tahap kedua Dalam menganalisis data pada rumusan masalah kedua dan ketiga yang mendasarkan pada pendekatan non doktrinal, analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif yang dilakukan mempergunakan model analisis interaktif (interaktif model analysis). Model analisis interaktif yaitu data yang dikumpukan akan dianalisis melalui tiga tahap yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan 10 (verifikasi). Model analisis ini dilakukan melalui suatu proses siklus antar tahaptahap sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian. Tiga tahap tersebut adalah: 1. Reduksi data (data reduction) adalah merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data yang ada fieldnote. Kegiatan ini mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan 2. Penyajian data (data display). Display meliputi jenis matriks, gambar/skema dan tabel yang kemudian dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti dalam bentuk yang kompak. 3. Menarik kesimpulan (drawing and verifying conclusions) adalah upaya menarik kesimpulan dari semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data, dimana sebelumnya data diuji likuiditasnya agar kesimpulannya muncul lebih kuat. 11 Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Bagan 4 : Model Analisis Interaktif Pengumpulan data Reduksi Data Penyajian data Penarikan kesimpulan/verifikasi Keterangan : Model analisis tersebut saling berputar dan saling melengkapi antara masing-masing komponen analisis atau dengan kata lain mengalami proses siklus. Dalam hal ini ketika peneliti mulai melakukan pengumpulan data, maka data yang sudah terkumpul akan langsung dilakukan analisis guna memperoleh reduksi data dan sajian data sementara. Kemudian pada saat pengumpulan data, peneliti mulai berusaha untuk menarik kesimpulan berdasarkan semua hal bersama-sama dalam reduksi data dan sajian datanya tersebut. Apabila hasilnya kurang memuaskan karena masih adanya data yang belum tercakup dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti akan 12 berusaha menggali kembali data yan sudah terkumpul dari buku catatan khusus yang meralat tentang data yang terkumpul dari lapangan. F. Batasan Operasional Variabel Penelitian Variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang akan diteliti. Dalam penelitian ini yang perlu dijelaskan sebagai berikut : 1. Membangun10 adalah a. (bersifat) memperbaiki, kritik yang sangat diharapkan b. Mendirikan. Rekonstruksi dimaknai sebagai proses membangun kembali atau melakukan pengorganisasian kembali atas sesuatu “reconstruction is the act or process of rebuilding, recreating, or reorganizing something”11. 2. Keaktifan hakim (judicial activism)12 adalah suatu filosofi dari pembuatan putusan peradilan dimana para hakim mendasarkan pertimbangan- pertimbangan putusan, antara lain pada pandangan hakim terhadap perkembangan baru atau kebijakan publik yang berkembang dan sebagainya. Pertimbangan tersebut menjadi arahan bagi hakim dalam memutuskan kasus yang bersangkutan karena adanya perkembangan baru atau berlawanan dengan putusan-putusan sebelumnya dalam kasus yang sama. Pengertian ini bisa dilihat dalam Black’s Law Dictionary sebagai berikut : “Judicial activism as a philosophy of judicial decision-making whereby judges allow their personal views about public policy among other factors to guide their decisions… 10 Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2008 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi ke 7, West Group. ST Paul Minn, 1999, hlm. 1278 12 Istilah judicial activism dikenal dalam doktrin common law Anglo Saxon dan sangat populer dalam sistem ini. Sebagaimana istilah yang dikemukakan oleh James E. Bond bahwa :…”judicial restraint” versus “judicial activism” or “non-interpretivist” versus “interpretivist”. Dalam sistem common law dituntut ke”aktif”an hakim untuk pembentukan hukum dibandingan dengan legislatif. Apabila untuk menyelesaikan suatu sengketa dirasakan bahwa hakim atau pengadilan harus menggunakan suatu aturan baru atau mengubah suatu aturan yang lama, disitulah hakim menciptakan hukum (judge made law) dengan kata lain putusan hakim adalah hukum. 11 13 Judicial activism describes judicial rulings suspected of being based on personal or political considerations rather than on existing law. It is sometimes used as an antonym of judicial restraint”. Terkait dengan pengertian judicial activism, Richard A. Posner dengan mengutip pendapat Oliver Wendell Holmes menyampaikan bahwa hakim membuat hukum (tidak hanya menemukan dan menerapkan hukum): “to resolve the dispute the court must create a new rule or modify a old one, that is law creation. Judges defending themselves from accusations of judicial activism sometimes say they do not make law, they only apply it. It is true that in our system judge are not supposed to and generally do not make new law with the same freedom that legislatures can and do; they are, in Oliver Wendell Holmes’ phrase, confined from molar to molecular motions. The qualification is important, but the fact remains that judge make, and do not just find and apply law”.13 Ronald Dworkin menyebut istilah Judicial Activism sebagai filosofi pengambilan putusan sebagai berikut : I shall call these two philosophies by the names they are given in the legal literature-the programs of judicial activism and judicial restraint-though it will be plain that these names are in certain ways misleading.14 3. Penemuan Hukum Progresif Hukum dimaknai bukan merupakan suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Oleh karena 13 14 Bryan A. Garner (ed), 2004, Black’s Law Dictionary, eighth edition, Thomson West Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, op. cit., hlm. 137 14 itu hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan. Hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum (berpikir dan bertindak). Sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo bahwa cara berhukum bermacammacam. Cara berhukum yang positif-legalistis adalah menerapkan berdasarkan undang-undang (alles binnen de kader van de wet) atau mengeja undang-undang. Dihadapkan pada cara berhukum tersebut di atas, maka hukum progresif bekerja sangat berbeda. Cara berhukum progresif memang dimulai dari teks tetapi tidak berhenti hanya sampai disitu melainkan mengolahnya lebih lanjut. Cara berhukum demikian bersifat non linier. Sejak digagasnya konsep hukum progresif sebagaimana terurai di atas, berbagai pemikiran untuk menggunakan hukum progresif dalam tahapan proses hukum mulai bergulir termasuk didalamnya penemuan hukum progresif yang memiliki tiga karakteristik utama,15 yaitu: Pertama, penemuan hukum yang bersifat visioner dengan melihat permasalahan hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan dengan melihat case by case. Kedua, penemuan hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan (rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap berpedoman pada hukum, kebenaran dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya. Ketiga, penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga dapat membawa bangsa dan negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti saat ini. 4. Sengketa Tata Usaha negara Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah 15 Ahmad Rifai, op.cit., hlm. 93 sebagai akibat dikeluarkannya 15 Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada dua unsur sengketa tata usaha negara yaitu subjek atau para pihak yang bersengketa yaitu penggugat dan tergugat dan objek sengketa yaitu Keputusan Tata Usaha Negara. Kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata usaha negara adalah produk yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya (attributie) atau diberikan padanya dalam bidang urusan pemerintah (delegate).