BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, maka terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai hasil penetilian ini, yaitu: 1. Pergeseran sifat dasar putusan MK dari self executing menjadi non-self executing dilandasi karena kewenangan MK dalam mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar berhak melakukan penafsiran terhadap undang-undang dasar (the final interpretator of constitution). Hal ini berimplikasi pada putusan MK yang mulai memunculkan posisi sebagai positive legislature yang dapat terlihat dari adanya beberapa varian putusan. Adapun varian putusan yang dimaksud yaitu putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional); putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional); putusan yang menunda pemberlakuan putusannya (limited constitutional); dan putusan yang merumuskan norma baru. Varian putusan tersebut memperlihatkan adanya sifat non-self executing karena untuk pelaksanaan putusan MK tersebut masih memerlukan tindak lanjut dengan tahapan berikutnya, yaitu tindak lanjut oleh pelaksana putusan baik melalui proses legislasi maupun regulasi. Dikatakan demikian karena putusan tersebut mempengaruhi norma-norma lain dan memerlukan revisi atau 114 pembentukan undang-undang baru atau peraturan yang lebih operasional dalam pelaksanaannya. Dengan kata lain, putusan ini tidak bisa serta merta dilaksanakan (non-self executing) tanpa adanya undang-undang baru ataupun produk perundang-undangan lainnya karena menimbulkan kekosongan hukum. 2. Bentuk-bentuk ketidaksesuaian dalam pelaksanaan putusan MK yang bersifat non self-executing adalah sebagai berikut: 3. a. Ketidaksesuaian Penggunaan Produk Hukum b. Disobedience Putusan MK c. Menghidupkan kembali Norma yang telah diuji d. Pembiaran terhadap Putusan MK Upaya ke depan yang dapat dilakukan guna mengantisipasi problematika dalam pelaksanaan putusan MK yang bersifat non self-executing perihal pengujian undang-undang yaitu melalui pemberian kewenangan judicial order yang terbatas pada MK. Judicial order dimaksudkan sebagai perintah hukum yang diberikan oleh MK untuk memerintahkan secara paksa pada otoritas pembentuk peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan putusan MK dan melakukan tindak lanjut yang konkrit sesuai dengan putusan MK. Adanya kewenangan tambahan ini yang melekat dalam kewenangan pokok MK sebagai lembaga yang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar diharapkan mampu menekan problematika eksekutorial putusan MK tersebut sehingga putusan yang bersifat non self executing dapat terimplementasi dan setiap norma 115 hukum yang terbentuk menghasilkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Hal ini mejadi kekuatan untuk memastikan bahwa implementasi putusan MK tidak dihadang oleh ”kekuatan” lain dengan alasan yang seolah-olah konstitusional. Namun demikian, kewenangan tambahan ini akan dapat disalahgunakan oleh MK sendiri jika suatu ketika hakim MK mengabaikan moral binding, sehingga untuk meminimalisir hal tersebut perlu diberikan rambu-rambu kepada MK dalam pemakaian kewenangan judicial order. B. Saran 1. Kepada Pembentuk Undang-Undang. Perlunya diadakan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan menempatkannya sebagai salah satu Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Revisi yang nantinya dilakukan untuk memberikan legitimasi MK melakukan judicial order terhadap putusannya yang bersifat non-self executing supaya implementatif, dengan demikian penambahan norma tersebut secara sah mempunyai akibat hukum yang nyata dan tegas terhadap penerapannya yang diharapkan dapat sebagai “pengaman” atas putusan MK. Kewenangan judicial order tersebut akan diberikan secara terbatas dan bersyarat, yaitu dengan tolok ukur keadilan, kepastian dan kemanfaatan (seperti tujuan hukum yang disampaikan Gustav Redbruch); situasi yang mendesak; dan sebagai pengisi rechtvacuum/wetvacuum untuk menghindari chaos atau kekacauan hukum di masyarakat. 116 2. Kepada Mahkamah Konstitusi. MK dalam melakukan pengujian perlu untuk memantapkan komitmen dalam memaknai ulang setiap ketentuan normatif dalam UUD 1945 dengan melihat pada konteks kasuistis sebagai syarat mutlak untuk melahirkan putusan-putusan berkualitas tinggi. Adanya penambahan ketentuan untuk memberikan kewenangan judicial order yang terbatas dan bersyarat kepada MK difungsikan untuk meminimalisir power tends to corrupt. 3. Kepada Presiden. Mengingat pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar menjadi fenomena penting di tengah pembaruan sistem kehidupan bernegara, maka Presiden sebagai kepala pemerintahan harus menjadi figur penentu dalam aktivitas untuk mengimplementasikan putusan MK guna menjunjung tinggi prinsip dan nilai reformasi politik yang dikehendaki oleh UUD 1945. Dengan demikian pemaknaan hukum bernegara akan mengarah kepada pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara simultan, yang kemudian diikuti dengan kepastian hukum. Dua nilai yang disebutkan pertama menjadi proses tujuan dalam proses pencarian (context of discovery), sementara nilai terakhir adalah tujuan dalam konteks penerapannya (context of justification).