BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN Bab ini, memuat gambaran hasil tinjauan kepustakaan yang dilakukan oleh Penulis, dan merupakan suatu usaha Penulis untuk mendeskripsikan suatu jawaban di tataran konsepsional terhadap rumusan masalah Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Kesarjanaan ini. Adapun rumusan masalah dalam karya tulis ini perlu Penulis kemukakan kembali di sini, yaitu, bagaimana asas persamaan perlakuan di depan hukum yang berlaku di Indonesia dalam PBM dan dalam Putusan 41 serta 127 Mahkamah Agung yaitu dalam sengketa TUN antara Wakil Rumah Ibadat A Quo dengan Kepala Dinas? Di samping itu tinjauan kepustakaan ini disusun dalam rangka merumuskan suatu proyeksi teoritis sebelum dalam Bab III, proyeksi teoritis itu dipergunakan untuk melihat bagaimana pengejawantahan atau manifestasi asas hukum di atas satuan amatan penelitian atau hasil penelitian berupa PBM, dan putusan pengadilan, yaitu Putusan 41, dan Putusan 127. Langkah Penulis untuk mendeskripsikan tinjauan kepustakaan mengenai asas persamaan perlakuan di depan hukum ini dilakukan dengan menyusunnya ke 15 dalam beberapa sub bab. Sub bab pertama, adalah uraian kepustakaan mengenai pengertian negara hukum (rule of law). Kedua, negara hukum (rechstaat) dan rule of law. Ketiga, hakikat persamaan perlakuan di depan hukum. Keempat, fungsi asas persamaan di hadapan hukum. Kelima, unsur-unsur persamaan perlakuan di depan hukum. Keenam, arti penting asas persamaan di depan hukum. Ketujuh, Pengertian judicial review. Kedelapan, kaitan judicial review dengan persamaan perlakuan di depan hukum. Kesembilan, Bab tinjauan kepustakaan ini diakhiri dengan arti penting studi kepustakaan atas asas persamaan perlakuan di depan hukum. 2.1. Pengertian Negara Hukum (Rule of Law) Hukum mendikte adanya suatu cita-cita negara hukum, yang mulai memerlihatkan, atau mewujudkan diri secara lebih mencerahkan di abad ke XVII, dan umumnya kebanyakan penulis berpandangan bahwa hal itu mulai muncul di negara-negara Barat. Istilah negara hukum, yang di dalamnya mengandung prinsip penting yang menjadi konsen penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini yaitu persamaan di hadapan hukum, baru mengemuka pada abad ke 19. Pembicaraan mengenai negara hukum (rechtstaat) biasanya dimulai dengan pengertian dua konsep, yaitu apa yang dimaksud dengan konsep “negara” dan konsep “hukum”.1 Definisi istilah hukum ini berbeda-beda dari para ahli, dari dulu sampai sekarang belum ada suatu definisi yang pasti mengenai hukum, padahal hukum itu pasti. Pada umumnya yang dimaksudkan dengan hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam 1 Dr. Khrisna Harahap, SH., MH., HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Grafiti Budi, 2003, Bandung, hlm., 22. 16 suatu kehidupn bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.2 Begitu pula dengan negara, sulit untuk ditemukan definisi yang pasti. Akan tetapi tidaklah menjadi suatu masalah bila orang tidak mengetahui suatu definisi tersebut, yang diperlukan sebetulnya lebih kepada pengetahuan mengetahui makna dan tujuan dari negara hukum tersebut. Sebab, pada hakikatnya negara itu, dalam perspektif Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum bukanlah suatu makhluk yang harus diartikan secara bertele-tele. Negara itu adalah subyek hukum atau a party to contract, as simple as that! Secara umum, tujuan negara antara lain, dari cirinya, untuk menjamin adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum atau equality before the law. Oleh sebab itu, orang mengatakan bahwa negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku. Negara hukum itu berkeadilan, tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara itu, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk kepada hukum yang sama. Kembali, dalam hal ini terlihat manifestasi dari persamaan perlakuan di hadapan hukum. Dalam negara hukum, hukum yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Yang sesungguhnya memimpin dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip the rule of law and not of man. Hukum itu nampak seolah-olah sebagai satu orang laki-laki perkasa (a 2 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, 2002, Edisi Keempat, Cetakan Ketiga, Yogyakarta, hlm., 40. 17 Man), Raja, King, dan dengan demikian agak sejalan dengan pengertian (nomocratie), yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum, nomos.3 Memerhatikan uraian di atas, nampaknya hakikat dari negara hukum itu sendiri berakar juga pada konsep kedaulatan hukum. Kedaulatan itu pada prinsipnya suatu kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Seperti telah Penulis kemukakan di atas, kekuasaan tertinggi dalam negara itu adalah hukum. Hukum adalah Raja. Oleh sebab itu, seluruh alat perlengkapan negara hamba si Raja itu, Hukum, apapun namanya termasuk warganegara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali. Krabe mengemukakan : “negara sebagai pencipta dan penegak peraturan di dalam segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukum membawahkan negara. Berdasarkan pengertian, hukum itu menyumber kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang”. 4 2.2. Negara Hukum (Rechstaat) dan Rule of Law Di Eropa, konsep negara hukum di kenal dengan istilah rechtstaat, berasal dari bahasa Belanda dan Jerman. Konsep rechtstaat atau “negara hukum” merupakan lawan dari konsep machstaat atau “negara kekuasaan”. Sedangkan, dalam sistem Anglo Saxon (English common law) dikenal istilah rule of law. 3 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, 2010, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Jakarta, hlm., 57. 4 B. Hestu Cipto Handoyo, SH., M.Hum., Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia, Dilengkapi dengan Naskah Lengkap Amandemen UUD 1945, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, hlm.,12. 18 Konsep negara hukum sudah didambakan sejak sebelum Plato. Tetapi Plato bahkan menulis bukunya berjudul “Nomoi”. Seperti juga Emanuel Kant, Plato memaparkan prinsip-prinsip negara hukum secara formal. Prinsip-prinsip itu kemudian oleh Julius Stahl terlihat sebagai suatu gagasan negara hukum yang substantif. Menurut Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah „rechtsstaat‟ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: (1) Perlindungan hak asasi manusia, (2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undangundang, (4) Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam konteks penelitian dan penulisan skripsi ini dan uraian pustaka ini, apa yang dikemukakan oleh Stahl itu memang sama sekali tidak menyebutkan persamaan perlakuan di hadapan hukum secara tegas. Namun demikian, hal itu tidaklah harus diartikan bahwa Stahl tidak mengakui adanya tuntutan persamaan perlakuan di hadapan hukum dalam konsep negara hukum yang dikemukakan olehnya. Menurut Penulis, dengan adanya pengakuan akan hak-hak asasi manusia, maka sejatinya ada pengakuan terhadap prinsip persamaan perlakuan di hadapan hukum, dalam Stahl. Selain penulis-penulis klasik di atas, yang lebih rechstaat katimbang rule of law, Penulis yang relatif datang belakangan yaitu ahli hukum tata negara Inggris (England) yang bermana A.V. Dicey, sekalipun tidak menyamakan antara rule of law dan rechstaat, juga mengemukakan ada tiga arti penting dari negara hukum yang disebut dengan istilah “the rule of law” yaitu: 5 supremacy of law, equality before the law, dan due process of law. Hal ini sudah Penulis singgung di dalam Bab Pendahuluan skripsi ini6. Kaitan dengan itu, “The International 5 Dr. Munir Fuady, SH., MH., LL.M., Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, 2009, Cetakan Pertama, Bandung, hlm., 5. 6 Lihat uraian yang sama di Bab I Skripsi ini, hlm., 7, Supra. 19 Commission of Jurists” mengurai unsur-unsur negara hukum yang terdiri dari: prinsip bahwa negara harus tunduk pada hukum, pemerintah menghormati hakhak individu dan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Meskipun konsep negara hukum di berbagai negara seperti telah dikemukakan di atas adalah berbeda, yaitu sesuai dengan sistem dan latar belakang sejarah kelahirannya, namun pada dasarnya mempunyai ide atau citacita untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,7 dan seperti telah Penulis kemukakan di atas, kaitannya dengan mencari jawaban atas pertanyaan rumusan masalah penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini, bahwa baik rule of law maupun rechstaat, kedua-duanya mengakui akan adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law), karena tekad pada penghormatan atas hak-hak asasi manusia (human rights). Selain itu, dalam konsep negara hukum atau rule of law sejak kelahirannya dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau tindakan penguasa negara yang sewenang-wenang kepada rakyatnya.8 Pembatasan itu dengan jalan adanya supremasi hukum yaitu bahwa semua tindakan penguasa tidak boleh semaumaunya, tetapi harus berdasarkan dan berakar pada hukum (Krabbe), menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuatan negara (Locke, Montesquieu), khususnya kekuasaan yudikatif harus dipisahkan dari raja (penguasa). Semua itu bertujuan untuk 7 Prof. A. Mukthie Fadjar. S.H., M.S., Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publising, 2005, Cetakan ke-2, Malang, hlm., 22. 8 Dr. Munir Fuady, SH., MH., LL.M., Op.Cit., hlm., 2. 20 menjamin dan melindungi hak-hak rakyat dan membawa kesejahteraan umum9 sesuai dikte Hukum. Hal itu berarti dalam suatu negara hukum, semua orang harus tunduk kepada hukum secara sama, yakni tunduk kepada hukum yang selalu adil. Pembatasan kekuasaan negara dalam suatu negara hukum bertujuan agar hak-hak rakyat tidak dilanggar oleh pemerintah. Dapat dikatakan juga ada hak-hak rakyat yang tidak dapat dicampuri oleh negara, hak-hak rakyat ini disebut dengan hakhak asasi manusia, atau sering juga disebut dengan non derogable rights. Negara tidak dapat mengurus hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersebut kecuali, wajib menjamin agar hak-hak tersebut tidak dilanggar baik oleh perseorangan maupun negara. Salah satu diantara hak tersebut adalah kebebasan beragama. Pemerintah tidak dapat memaksakan sesuatu warganya untuk memeluk sesuatu agama yang tertentu. Pemerintah tidak dapat mencampuri dalam hal pemilihan agama. Kekuasaan untuk itu hanya terletak pada pribadi manusia itu sendiri. Inilah yang dikatakan tentang pembatasan kekuasaan negara dan hak individu untuk mempunyai suasana pribadi.10 Elemen-elemen yang penting dari sebuah negara hukum, yang merupakan ciri khas dan merupakan syarat mutlak, adalah: asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, asas legalitas, asas pembagian kekuasaan negara, asas peradilan yang bebas dan tidak memihak, asas kedaulatan rakyat, asas demokrasi, dan asas konstitusional.11 9 Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., Op. Cit., hlm., 19. 10 Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Cetakan ke-3, 1983, Alumni, Bandung, hlm., 4. 11 Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., Op.Cit., hlm., 43. 21 2.3. Hakikat Persamaan Perlakuan di Hadapan Hukum, Suatu kontrak Asas atau prinsip hukum bukanlah berarti bukan peraturan hukum konkrit12, termasuk merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.13 Pandangan seperti itu menegaskan bahwa kalau asas hukum seperti persamaan perlakuan di hadapan hukum itu adalah suatu kaedah, maka dengan demikian asas persamaan perlakuan di hadapan hukum hakikatnya adalah suatu kontrak. Sebagai suatu kontrak, asas hukum mempunyai dua fungsi yaitu fungsi dalam hukum dan fungsi dalam ilmu hukum.14 Dalam Skripsi ini, apa yang Penulis maksudkan dengan kontrak adalah: “Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak 12 Dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D., meminta perhatian untuk memeriksa hasil penelitian individuilnya yang tidak dipublikasikan bahwa pada prinsipnya asas hukum itu kaedah. Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 536K/Pid/2005. Menurut keputusan tersebut, suatu konsep justru tidak memunyai kekuatan hukum mengikat. Melanggar konsep bukan melanggar hukum, namun melanggar asas hukum adalah melanggar hukum. Hal ini berarti asas hukum itu kaedah hukum konkret. Lihat Buku tersebut, hlm., 5. 13 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., Op.Cit., hlm., 34. 14 Ibid, hlm., 36. 22 berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya”15. Sebagai suatu kontrak, pengakuan asas persamaan kedudukan di dalam hukum itu, seperti telah Penulis kemukakan di atas sudah dimulai dari perumusannya di dalam Konstitusi Negara. Oleh sebab itu, apabila dikaitkan dengan pengertian kontrak yang baru saja Penulis kemukakan di atas tersebut, maka asas persamaan kedudukan di hadapan hukum itu merupakan suatu perikatan (an obligation) dalam sistem kewajiban sebagai suatu dikte hukum. Hal itulah yang mendorong Penulis berpendapat bahwa asas persamaan kedudukan di hadapan hukum itu sejatinya adalah satu strand, atau satu untaian benang dalam tenunan satu untaian kain (fabrik). Apabila helai benang (strand) itu dicabut keluar dari untaian pada helai kain itu maka lama kelamaan kain (fabrik) itu akan menadi rusak tercerai berai. Demikianlah rasionalisasi yang dapat dikonstruksi Penulis, suatu rasio legis dalam rangka memertanggungjawabkan apa pendirian Penulis bahwa pada hakikatnya asas persamaan perlakuan di hadapan hukum (equality before the Law) itu adalah suatu kontrak. Mengingat asas persamaan di hadapan hukum itu adalah suatu asas, maka ada di dalam kepustakaan pendapat bahwa asas hukum dibagi juga menjadi asas hukum umum dan asas hukum khusus.16 Asas atau prinsip persamaan perlakuan di depan hukum merupakan prinsip yang berlaku universal. Penulis seperti P. Scholten berpandangan bahwa asas hukum umum ialah asas yang berhubungan 15 Lihat definisi kontrak itu dalam Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, hlm., 2. 16 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., Op.Cit., hlm., 36. 23 dengan seluruh bidang hukum.17 Prinsip persamaan perlakuan di depan hukum menghendaki adanya keadilan dalam arti setiap orang adalah sama di depan hukum (equality before the law), setiap orang harus diperlakukan sama.18 Dalam sebuah negara hukum prinsip ini merupakan salah satu elemen yang sangat penting. Seperti telah Penulis kemukakan di atas, sebagaimana dikemukakan oleh A.V. Dicey yaitu equality before the law. Prinsip ini merupakan prinsip hak asasi manusia (human rights). Hak asasi manusia (HAM) yang dimaknai sebagai seperangkat hak yang dimiliki manusia semata-mata karena dirinya manusia (rights that all human beings everywhere have or should have equally and in equal measure by virtue of their humanity).19 Hak ini bersifat inheren atau melekat pada diri manusia. Equality before the law menurut pengertian Dicey, dalam suatu negara menuntut agar baik kedudukan warga negara demikian pula pejabat pemerintah adalah sama dan tidak ada bedanya di muka hukum. 2.4. Fungsi Asas Persamaan Perlakuan di Hadapan Hukum Kalaupun ada perbedaan, hanyalah fungsinya. Pemerintah berfungsi untuk mengatur. Sedangkan rakyat, diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur mempunyai pedoman yang sama yaitu Hukum. Keduanya harus sama-sama melaksanakan dan tidak boleh melanggarnya. Siapa saja yang melanggar hukum 17 Ibid. 18 Ibid, hlm., 37. 19 Titon Slamet Kurnia, S.H., M.H., Konsep Negara Berbasis Hak Sebagai Argumen Justifikasi Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Vol.9, No.3, September 2012, hlm., 564. 24 akan memperoleh sanksi.20 Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau mendiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Dengan adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang tidak terkecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan „affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.21 Menurut Dicey, persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court. Ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warganegara biasa berkewajiban menaati hukum yang sama.22 Inilah dasar perbedaan antara Dicey dan penulis-penulis Eropa Kontinetal yang memungkinkan perlakuan yang berbeda kepada Pejabat TUN, misalnya di Indonesia, untuk diadili di pengadilan administrasi atau PTUN, apabila diduga melakukan penerbitan keputusan TUN yang diduga melawan hukum. Asas perlakuan yang sama dalam hukum menjadi dasar dari semua peraturan perundang-undangan. Sesuatu yang dianggap penting oleh keseluruhan 20 Dr. Khrisna Harahap, SH., MH., HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Grafitri Budi Utami, 2003, Bandung, hlm., 39. 21 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H., Op.Cit., hlm., 128. 22 Iriyanto A.Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Alumni, 2008, Cetakan Pertama, Bandung, hlm., 41. 25 pihak yang terkait, harus sedapat mungkin diatur bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan, melalui waki-wakilnya, sejauh materinya memungkinkan untuk itu, dengan cara yang sama bagi para pihak tersebut. Peraturan tidak boleh ditunjukan kepada suatu kelompok tertentu. Di dalam suatu peraturan tidak boleh adanya pembedaan. Efek suatu peraturan tidak boleh menimbulkan ketidaksamaan (diskriminasi), dan antara suatu peraturan dengan peraturan lainnya tidak boleh timbul ketidaksamaan (kontradiksi). Tidak boleh adanya peraturan perundang-undangan yang ditunjukkan kepada sekelompok orang tertentu, karena hal ini akan mengakibatkan adanya ketidaksamaan dan kesewenang-wenangan di depan hukum.23 Asas persamaan perlakuan di depan hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hak-hak yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.24 Ini yang berarti persamaan hak. Jika asas ini dikaitkan dengan fungsi peradilan, berarti setiap orang yang datang berhadapan di sidang peradilan adalah “sama hak dan kedudukannya” dengan kata lain sama hak dan kedudukan di hadapan hukum. Lawan dari asas ini adalah diskriminasi yaitu membedakan hak dan kedudukan orang di depan sidang pengadilan. Diskriminasi normatif dan diskriminasi kategoris (menurut status sosial, ras, agama, suku, jenis kelamin dan budaya). 23 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, Rajawali Pers, 2009, Jakarta, hlm., 149. 24 Kansil, Chistine S.T. Kansil, Memahami Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.10. tahun 2004), Pradnya Paramita, 2007, Cetakan Pertama, hlm., 47. 26 Tuntutan asas persamaan hak dan kedudukan dalam praktek peradilan adalah agar peradilan jauh dari tindakan dan perlakuan diskriminasi dalam segala bentuk, dengan berpatokan pada; pertama: persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan, kedua: hak perlindungan yang sama oleh hukum, ketiga, mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum.25 Pengadilan mengadili menurut hukum tanpa membedakan orang. Di muka hukum semua orang adalah sama (equality before the law).26 2.5. Mengurai Unsur Asas Persamaan Perlakuan di Depan Hukum Prinsip persamaan perlakuan di depan hukum sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, mengandung unsur-unsur seperti adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan; tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Adanya jaminan persamaan bagi semua orang dan pemerintahan itu artinya bahwa apabila ada satu aturan yang pembuatan dan tujuannya diberlakukan bagi satu orang maka aturan itu juga berlaku bagi orang yang lain dan pemerintah di dalam negara yang bersangkutan. Disamping itu, apabila ada aturan yang dapat melahirkan suatu hak atau menjamin terselenggarannya hak asasi setiap manusia yang ada di dalam negara itu, maka tidak ada satu pihak pun yang dapat dengan sengaja menahan lahirnya hak-hak seperti itu apabila telah terpenuhinya segala sesuatu yang dikehendaki di dalam peraturan perundangan tersebut. 25 Prof. Dr. H. Muladi, SH (editor), ”Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, .hlm., 278 26 Prof.Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., Op.Cit., hlm., 129. 27 Jaminan perlakuan yang sama itu, juga bukan lah suatu jaminan yang kosong, namun jaminan atas perlakuan yang sama itu disertai dengan langkahlangkah konkret, atau, seperti telah dikemukakan di atas, ada mekanisme untuk merealisasikan jaminan itu. Misalnya, adanya aparat yang tersedia di dalam suatu negara, yang tunduk kepada aturan itu untuk memastikan bahwa jaminan seperti itu dinikmati oleh mereka yang telah memenuhi persyaratan memperoleh jaminan itu. Akan sangat menghina asas hukum apabila aparat yang ada di dalam satu negara yang diproklamasikan sebagai negara hukum, dan itu berarti ada jaminan perlakuan yang sama bagi siapa saja di dalam negara itu untuk menikmati hak-hak dasar yang ada, tetapi di sisi yang lain, justru aparat negara itu keberadaannya lebih condong untuk memihak satu golongan, sementara cenderung meniadakan kepentingan golongan yang lain. 2.6. Arti Penting Asas Persamaan di Hadapan Hukum Prinsip persamaan perlakuan di depan hukum sebagai prinsip dasar dari hak asasi manusia berlaku umum dan harus dijamin pemenuhannya oleh negara. Terutama bagi negara hukum, dalam pelaksanaan pemerintahannya wajib menjujung tinggi hukum.27 Dalam hal inilah makna prinsip persamaan perlakuan di depan hukum. Arti penting sebagaimana telah dikemukakan di atas tersebut mengisyaratkan, lagi-lagi suatu jaminan akan pemenuhan hak persamaan di hadapan hukum. Dan, dalam uraian di atas, jaminan itu justru datang dari 27 Hukum yang dimaksud disini bukan pengertian hukum dalam arti sempit yang hanya memberikan pengertian bahwa hukum adalah peraturan perundang-undangan (laws), tetapi Hukum dalam arti luas (Law). 28 pemerintah atau penyelenggara negara dan aparat yang diberikan mandat oleh hukum untuk menyelenggarakan pemerintahan di dalam negara itu. Itu berarti, misalnya apabila sudah ada suatu keputusan yang berkekuatan hukum tetap dari suatu peradilan negara, maka aparat yang tugasnya melaksanakan atau mengeksekusi perintah pengadilan, harus segera mungkin menjalankan putusan itu, sebab dengan dijalankannya putusan pengadilan itu maka pemerintah tersebut otomatis dapat disebut sebagai pemerintah yang menjunjung tinggi hukum dan bukan pemerintah yang lebih takut kepada suatu kekuasaan yang tidak berdasarkan hukum, apalagi suatu kekuasaan yang memunyai kecenderungan untuk melakukan perbuatan melawan hukum. 2.7. Pengertian Judicial Review Judicial review diartikan sebagai kewenangan untuk menguji atau hak uji yang diberikan kepada kekuasaan kehakiman atau hakim.28 Judicial review juga dapat dilakukan terhadap tindakan hukum yang bersifat konkret dan individual dari administrasi negara.29 Dalam hal ini, jika perbuatan hukum tersebut berbentuk keputusan atau ketetapan yang bersifat beschikking, pengawasan atau pengujiannya dilakukan oleh pengadilan tata usaha negara (administratieve rechtspraak). Sedangkan perbuatan hukum konkrit dan individual lainnya yaitu yang berupa vonnis atau putusan pengadilan dapat diawasi atau dikontrol oleh pengadilan tingkat yang lebih tinggi. Putusan pengadilan pada tingkat pertama dapat diuji oleh pengadilan pada tingkat banding, putusan pengadilan tingkat 28 Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H., Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Rajawali Pers, 2009, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Jakarta, hlm., 39. 29 Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Perihal Undang-Undang, hlm., 7. 29 banding dapat diuji oleh pengadilan tingkat kasasi, dan bahkan pada tingkat kasasi dapat diuji lagi dengan peninjauan kembali.30 Misalnya pada lingkungan peradilan tata usaha negara, pada tingkat pertama ada pada pengadilan tata usaha negara, tingkat banding pada pengadilan tinggi tata usaha negara, dan pada tingkat kasasi serta peninjauan kembali dilakukan di mahkamah agung. Judicial review berbeda dengan toetsingsrecht, toetsingsrecht memiliki arti lebih luas dan masih bersifat umum dan dapat diletakkan pada lembaga kekuasaan negara baik yudikatif, legislatif maupun eksekutif.31 Sedangkan judicial review, cakupan dan ruang lingkupnya terbatas pada kewenangan pengujian yang dilakukan melalui mekanisme judicial dan lembaganya hanya diletakkan pada lembaga kekuasaan kehakiman.32 Judicial review merupakan bagian dari prinsip kontrol secara judicial atas perbuatan hukum konkret pejabat TUN agar tidak bertentangan dengan norma hukum secara hierarkis. 33 Selain itu Judicial review perlu dilakukan dalam kaitannya dengan pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah. “which govern the exercise of power and duties by public bodies. Furthe, that is the law relating to the control of govermental power which has as its primari purpose,’to keep the powers of governmentalwithin their legal bounds, so as to protect the citizen 30 Ibid, hlm., 8. 31 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Model-model Pengujian Konstitusional di Pelbagai Negara, Konstitusi Pers, 2005, Jakarta, hlm., 4-7. 32 Ibid. 33 Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H., Op.Cit., hlm., 41. 30 against, their abuse. The powerfull engines of autority must be prevented from running amok” 34 Judicial review merupakan suatu pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah yang bertujuan untuk memastikan bahwa kekuasaan pemerintah tetap berada pada batas-batas hukumnya, yakni sesuai dengan prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik, dengan demikian dapat melindungi warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan atau perlakuan pemerintah yang sewenang-wenang. Sebagaimana diketahui, prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik atau the general priciples of good adminstration according to the law itu di dalam literatur di Indonesia dikenal dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik atau sering disingkat dengan AAUPB. Asas-asas itu menjadi rujukan dari pihak pengadilan, terutama pengadilan yang tugasnya memastikan bahwa administrasi negara berjalan sesuai dengan asas-asas hukum, dan satu dari strand atau asas itu adalah asas persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) yang menjadi obyek kajian dari penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan ini. 2.8. Kaitan Judicial Review & Persamaan Perlakuan di Depan Hukum Judicial review yang pada hakikatnya adalah suatu sistem pengawasan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau kaidah hukum baik yang bersifat umum dan abstrak maupun yang bersifat individual dan konkret, sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Dalam kaitannya dengan prinsip persamaan perlakuan di depan hukum, maka prinsip persamaan perlakuan di 34 Carendish Law Card, Constitutional law, Carendish Publishing Ltd, 1997, 1998, pp. 47-48. 31 depan hukum dipakai sebagai dasar pengujian atas tindakan yang dilakukan oleh badan peradilan tersebut. 2.9. Arti Penting Tinjauan Kepustakaan Mengenai arti penting secara keseluruhan dari tinjauan kepustakaan ini, dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, bahwa prinsip persamaan perlakuan di hadapan hukum itu pada hakikatnya, seperti telah dikemukaan di atas adalah suatu kontrak. Sebagai suatu kontrak, dan juga asas hukum yang tidak abstrak dan menjadi latar belakang yang sama dengan kaedah konkret yang diterapkan oleh lembaga yang berwenang seperti lembaga pengadilan, maka asas itu menjadi patokan bagi lembaga peradilan untuk menentukan apakah suatu negara itu merupakan negara hukum atau negara yang diselenggarakan berdasarkan kekuasaan belaka (politik hukum). Kedua, terlihat dari uraian di atas, bahwa asas persamaan perlakuan di depan hukum yang juga, ibarat menjadi suatu untaian (strand) penting dalam anyaman fabrik yang mengikat masyarakat, adalah asas yang instrumental. Instrumental, artinya tanpa asas itu, maka jaminan akan tegaknya dan kewibawaan suatu negara akan menjadi kurang begitu baik, kalau tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali. Bagaimanakah hal-hal seperti itu bermanifestasi atau mengejawantahkan diri di dalam peraturan-perundangan yang ada di Indonesia? Misalnya, apakah hal (strand) seperti itu ada di dalam PBM, sama seperti yang telah dikemukakan di atas ada juga di dalam konstitusi? Dan, apakah keberadaan strand itu di dalam peraturan yang konkret di Indonesia benar-benar diikuti juga oleh penyelenggara negara yang ada di negara ini, seperti misalnya aparat pemerintah daerah dan 32 pihak hakim yang menyelenggarakan peradilan? Dalam Bab III, setelah uraian tentang berbagai peraturan perundangan yang menjadi satuan amatan, dimana strand itu akan dilihat, jawaban-jawaban itu dicoba diberikan dalam suatu analisis. 33