GURU SEBAGAI PEKERJA PROFESIONAL: Satu Renungan

advertisement
GURU SEBAGAI PEKERJA PROFESIONAL: Satu Renungan tentang sosok guru abad 21 serta
implikasinya bagi Universitas Terbuka
I G. A. K. Wardanti
(Universitas Terbuka)
Pendahuluan
Waktu berjalan begitu cepat, tahun demi tahun terlampaui tanpa terasa, dan tiba-tiba abad 21 sudah berada di
ambang pintu. Mereka yang menyadari cepatnya pergeseran waktu pasti telah menghitung-hitung apa yang telah,
sedang, dan akan dilakukannya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, dunia pendidikan, khususnya di Indonesia, tentu
juga mencoba melakukan refleksi atau renungan tentang apa yang telah dan sedang dilakukan sebagai dasar untuk
menyusun strategi dalam menghadapi abad yang akan datang. Salah satu masalah pendidikan yang dianggap belum
pernah tuntas dan karenanya pasti akan dihadapi pada abad yang akan datang adalah masalah mutu pendidikan.
Ukuran mutu pendidikan memang selalu berubah, sesuai dengan kondisi masyarakat serta perkembangan i1mu
pengetahuan dan teknologi. Salah satu aspek yang dianggap sangat berperan dalam menentukan mutu pendidikan
adalah guru, karena guru yang secara teratur dan terjadwal berdiri di depan kelas. Oleh karena itu, salah satu usaha
yang dilakukan secara terus-menerus untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan
kemampuan guru.
Mengingat betapa pentingnya peran guru dalam peningkatan mutu pendidikan, pengkajian tentang sosok guru yang
diinginkan dalam millenium mendatang menjadi sangat relevan. Setiap orang yang peduli terhadap dunia pendidikan
tentu menginginkan agar guru dapat. berbuat yang terbaik bagi anak didiknya. Apa yang harus dikuasai oleh guru
agar mampu memenuhi harapan tersebut? Jawaban pertanyaan inilah yang ingin dikaji dalam artikel ini. Pengkajian
akan diawali dengan membahas hakikat profesi guru, sosok guru abad 21, berbagai usaha yang telah dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan profesional guru atau yang sering disebut sebagai usaha pemberdayaan guru, dan
diakhiri dengan implikasi semua renungan ini bagi Universitas Terbuka.
Hakikat profesi guru
Pada hakikatnya, pekerjaan guru dianggap sebagai pekerjaan yang mulia, yang sangat berperan dalam
pengembangan sumber daya manusia. Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka perlu ditekankan bahwa yang layak
menjadi guru adalah orang-orang pilihan yang mampu menjadi panutan bagi anak didiknya. Hal ini sesuai dengan
hakikat pekerjaan guru sebagai pekerjaan profesional, yang menurut Darling-Hamond & Goodwin (1993) paling
tidak mempunyai tiga ciri utama. Ketiga ciri tersebut adalah: (1) penerapan ilmu dalam pelaksanaan pekerjaan
didasarkan pada kepentingan individu pada setiap kasus, (2) mempunyai mekanisme internal yang terstruktur, yang
mengatur rekrutmen, pelatihan, pemberian lisensi (ijin kerja), dan ukuran standar untuk praktik yang ethis dan
memadai; serta (3) mengemban tanggung jawab utama terhadap kebutuhan kliennya.
Di samping ketiga ciri pekerjaan profesional yang telah diungkapkan di atas, perlu dicatat bahwa keprofesionalan
seseorang bukan merupakan dikotomi, tetapi merupakan satu rentangan atau kontinum, mulai dari pemula (novice)
sampai kepada pakar (expert). Sejalan dengan konsep ini, seorang guru meniti karir dari entry ke mentor sampai ke
master teacher (Riel, 1998). Dikaitkan dengan surat keputusan Menpan no. 26/1989, guru dapat meniti karir mulai
dari -guru pratama sampai kepada guru utama. Dari segi penyiapan guru, program pendidikan guru, sebagaimana.
halnya suatu profesi, memerlukan waktu. yang relatif lama dalam jenjang perguruan tinggi (Tilaar, 1995), yang
paling tidak harus sama dengan program penyiapan profesi lain seperti sekolah kedokteran. Program tersebut
haruslah memberikan kesempatan kepada calon guru untuk menimba pendidikan umum yang menantang,
mendalami pengetahuan bidang studi yang mendasari praktik, menghayati latihan yang efektif untuk memangku
jabatan, serta mengembangkan wawasan/filosofi profesinya (Brameld, Th., 1965).
Profesionalisme ditandai oleh dua pilar penyangga utama, yaitu layanan ahli yang aman yang menjamin
kemaslahatan klien, serta pengakuan dan penghargaan dari masyarakat (Raka Joni, 1989; Konsorsium Ilmu
Pendidikan, 1993). Pilar yang pertama, yaitu layanan ahli, harus mampu ditunjukkan secara meyakinkan dengan
berpegang pada kode etik profesi (Tilaar, 1995) sehingga masyarakat merasa aman menerima layanan tersebut. Di
pihak lain, pengakuan dan penghargaan masyarakat terhadap layanan ahli yang diberikan akan memperkokoh
kehandalan profesi tersebut. Oleh karena itu, terdapat hubungan timbal balik antara kehandalan layanan dengan
pengakuan dan penghargaan masyarakat. Makin handal layanan ahli yang diberikan dan makin tinggi rasa aman
yang dirasakan penerima layanan, makin tinggi pula penghargaan dan pengakuan dari masyarakat. Selanjutnya patut
pula dicatat bahwa layanan ahli yang diberikan haruslah didasarkan pada bidang ilmu yang diakui sebagai landasan
profesi tersebut karena profesionalisme mulai dengan preposisi: knowledge must inform practice (DarlingHarmmond & Goodwin, 1993).
Dengan mengacu kepada ciri-ciri pekerjaan profesional yang digambarkan di atas, maka dapat dipahami bahwa.
seorang guru yang profesional bukanlah seorang tehnisi atau seorang tukang yang hanya menunggu perintah dari
mandorya. Seorang guru yang profesional seyogyanya mampu mengambil keputusan serta membuat rencana yang
disesuaikan dengan kondisi siswa, situasi, wawasannya sendiri, nilai, serta komitmennya (Zumwalt, 1989). Dengan
perkataan lain, seorang guru yang profesional harus mampu mengambil keputusan situasional dan transaksional
(Raka. Joni, 1989). Keputusan situasional diambil oleh guru ketika merencanakan pembelajaran, sedangkan
keputusan transaksional diambil guru ketika melaksanakan pembelajaran. Dengan demikian, seorang guru yang
profesional tidak akan pernah menganggap bahwa rencana pembelajaran yang disusunnya dapat digunakan seumur
hidup. Ia selalu harus mampu membaca situasi (seperti karakteristik siswa, ruang, waktu, sarana/fasilitas,
perkembangan dalam dunia pembelajaran) dan kemudian menyesuaikan rencananya dengan situasi yang akan
dihadapi. Ia harus mampu memutuskan sumber dan media belajar apa yang akan digunakan, demikian pula strategi
pembelajaran serta evaluasi yang akan dia terapkan. Ketika pembelajaran atau transaksi sedang berlangsung,
kembali ia harus mampu membaca situasi dan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan. Selanjutnya,
setelah pembelajaran berlangsung, guru harus mampu melakukan refleksi/analisis terhadap apa yang telah terjadi di
dalam kelas dan apa yang telah dicapai oleh siswa. Akhirnya, guru harus mampu memanfaatkan hasil
refleksi/analisis ini untuk memperbaiki perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran berikutnya.
Dari segi pengakuan serta penghargaan masyarakat dan pemerintah, keputusan Menpan No. 26/1989 tentang angka
kredit bagi jabatan guru merupakan pengukuhan jabatan guru sebagai jabatan fungsional/profesional, yang
mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab melaksanakan pendidikan di sekolah. Bidang pekerjaan guru
dibagi menjadi empat kelompok, yakni pendidikan, proses belajar-mengajar atau bimbingan dan penyuluhan,
pengembangan profesi, dan penunjang proses belajar mengajar atau bimbingan dan penyuluhan.
Sosok guru pada abad 21
Bagaimana sosok guru pada abad 21? Secara sederhana pertanyaan ini mungkin akan dijawab dengan enteng: guru
pada abad 21 sama saja dengan guru sekarang. Sepintas lalu, jawaban ini ada benarnya karena perbedaan pada
tuntutan kemampuan guru pada umumnya sukar ditandai secara jelas, lebih-lebih jika yang dimaksud abad 21 adalah
tahun 2000 atau 2001. Namun, perlu diingat satu abad adalah 100 tahun, satu kurun waktu yang cukup panjang.
Oleh karena itu, perlu dipikirkan/direnungkan dari sekarang kira-kira bagaimana sosok atau profil guru abad 21.
Renungan ini tentu harus didasarkan pada ciri-ciri abad 21 atau kecenderungan yang perlu diantisipasi dari sekarang.
Secara garis besar, abad 21 ditandai oleh arus globalisasi, yang membuat segala sesuatu akan menjadi mendunia.
Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat menyebabkan setiap orang yang mempunyai akses kepada
infonnasi akan mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia lain. Sejalan dengan itu, kemajuan teknologi yang
bergemuruh akan menyebabkan sebagian besar tenaga manusia digantikan oleh mesin, yang menurut Toffler (1992)
akan lebih banyak melakukan tugas rutin; sementara manusia akan lebih banyak bergelut dengan tugas-tugas yang
bersifat intelektual dan kreatif. Perdagangan bebas yang menandai abad 21 membuat persaingan menjadi semakin
ketat. Berbarengan dengan itu, berbagai usaha yang mengarah kepada penghancuran nilai-nilai/harkat manusia
seperti penggunaan obat-obat terlarang, penyelundupan narkotika dan sejenisnya, kenakalan remaja, serta
pencemaran lingkungan juga diperkirakan akan meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Dengan
demikian, perubahan besar-besaran akan dan selalu terjadi, sehingga Toffler (1992) menyebut masa depan ,tersebut
sebagai satu kejutan (future shock) terutama bagi orang orang yang sukar berubah. Secara singkat, abad mendatang
akan ditandai oleh perubahan secara terus menerus yang terjadi di segala bidang. Untuk menghadapi tantangan
seperti ini diperlukan manusia yang mampu menilai situasi secara kritis serta mampu mencari jalan sendiri dalam
lingkungan baru, di samping mampu menemukan hubungan baru yang mungkin terjadi dalam kenyataan yang
sedang berubah dengan cepat (Toffler, 1992).
Berkaitan dengan ciri-ciri/tantangan di atas, dunia pendidikan juga harus mampu melakukan berbagai perubahan.
Orientasi pendidikan Tidak lagi hanya ke masa lampau atau masa kini, tetapi lebih terfokus ke masa depan karena
individu masa depan akan menghadapi perubahan yang lebih cepat lagi daripada sekarang. Oleh karena itu, sasaran
utama pendidikan haruslah diletakkan pada peningkatan cope-ability (kemampuan menanggulangi) setiap individu
yang dibarengi dengan peningkatan kecepatan dan efisiensi dalam adaptasinya terhadap perubahan yang terjadi
secara terus menerus sebagaimana yang diisyaratkan oleh Toffler (1992). Artinya, agar mampu bertahan hidup
(survive), setiap orang harus secara cepat dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Agar peningkatan
kemampuan ini dapat berlangsung, setiap individu juga harus mampu membuat asumsi, prediksi, atau ramalan
tentang perubahan yang akan terjadi. Tentu saja kemampuan membuat asumsi, prediksi, atau ramalan tersebut
didasarkan pada. pengalaman/pengetahuan masa lalu dan masa kini. Oleh karena itu, semestinya orientasi baru ini
tidak mengabaikan masa lalu dan masa sekarang; sebaliknya, kedua masa tersebut merupakan acuan yang berharga
dalam mempersiapkan individu masa depan.
Sehubungan dengan perubahan orientasi pendidikan yang berfokus ke masa depan, struktur persekolahan juga perlu
dipertanyakan kembali. Apakah setiap orang harus menempuh pendidikan formal lewat sekolah ataukah lebih
bijaksana jika pendidikan sekolah hanya diperuntukkan bagi mereka yang memerlukan saja, khususnya untuk
bidang-bidang yang tidak dapat dipelajari sendiri? Jika pun sekolah masih tetap dianggap sebagai pusat pendidikan,
berbagai perubahan juga harus dilakukan. Siswa harus diberi kesempatan untuk berperan lebih aktif, baik dalam
bentuk simulasi, eksplorasi, atau kesempatan untuk menghayati/belajar dari kehidupan nyata, sehingga terbuka
peluang baginya untuk berlatih membuat prediksi dan menanggulangi satu situasi. Metode ceramah harus,
dikurangi, diimbangi dengan metode lain, yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berperan lebih
aktif, seperti seminar dan pengahayatan pengalaman yang direncanakan. Hal ini sesuai dengan paradigma baru dunia
pendidikan yang menekankan pada pendekatan yang berorientasi pada siswa (student oriented approach), bukan
pendekatan yang berfokus pada guru (Brodjonegoro, 1999). Dengan demikian, fokus kegiatan pembelajaran adalah
siswa, bukan guru.
Untuk mengantisipasi kecenderungan dan orientasi pendidikan seperti diuraikan di atas, seorang guru seyogyanya
memenuhi berbagai persyaratan, dengan asumsi bahwa pendidikan pada abad 21 masih akan berlangsung di sekolah.
Hal ini perlu ditegaskan karena bertitik tolak dari kecenderungan masa depan yang diuraikan oleh Toffler, sekolah
sebagai tempat pendidikan masih dipertanyakan. Dengan demikian, dalam renungan ini, uraian tentang profil guru
masa depan masih dilandasi oleh asumsi bahwa sekolah masih merupakan salah satu pusat berlangsungnya
pendidikan. Sehubungan dengan itu, sosok atau profil guru abad 21 kurang lebih dapat digambarkan sebagai berkut.
Secara umum, sebagaimana diungkapkan oleh Tilaar (1995), pada masa Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II,
masyarakat tidak dapat lagi menerima guru yang tidak profesional. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Unesco, yang
ditekankan pada tiga tuntutan yaitu: (1) guru harus dianggap sebagai pekerja profesional yang memberi layanan
kepada masyarakat, (2) guru dipersyaratkan menguasai ilmu dan keterampilan spesialis, serta (3) ilmu dan
keterampilan tersebut diperoleh dari pendidikan yang mendalam dan berkelanjutan (Tilaar, 1995). Bertitik tolak dari
rekomendasi tersebut serta profil guru pada saat ini, seyogyanya guru pada abad 21 benar-benar merupakan guru
yang profesional, agar mampu menghadapi tantangan abad 21. Untuk itu, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, dan kompetensi sosial seorang guru perlu dikembangkan sehingga mampu mendidik siswa yang
mempunyai kemampuan memprediksi dan menanggulangi. Kompetensi kepribadian menuntut guru agar mampu
menjadi panutan bagi siswa dan masyarakat. Manusia yang takwa, berbudi luhur, bersikap kritis, menjunjung tinggi
kode etik guru, mampu bekerja sama, menghormati sesama, mengembangkan diri, dan sejumlah ciri-ciri kepribadian
lain perlu dimodelkan oleh guru bagi para siswanya. Kemampuan profesional yang terutama berlandaskan pada
penguasaan bahan ajaran, pemahaman karakteristik peserta didik, landasan kependidikan, serta belajar dan
pembelajaran, ditunjukkan guru ketika merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Dalam melaksanakan
pembelajaran, guru dituntut agar mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan karena
suasana seperti itu merupakan sugesti positif yang mampu membuat "pemercepatan belajar" atau yang disebut
sebagai accelerated learning, yang didefinisikan sebagai hal yang memungkinkan siswa belajar dengan kecepatan
yang mengesankan, dengan upaya yang normal, serta dibarengi kegembiraan (De Porter & Hernacki, 1999, hal. 14).
Suasana yang nyaman dan menyenangkan merupakan faktor penting yang merangsang fungsi otak yang paling
efektif Oleh karena. itu, jika siswa merasa nyaman dan senang dalam belajar, mereka akan terpacu untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis seperti menganalis atau menilai situasi dan mengembangkan berbagai
prediksi atau asumsi berdasarkan hasil analisis/penilaian tersebut.Akhirnya, kompetensi sosial harus mampu
diperagakan oleh guru ketika melakukan interaksi profesional atau interaksi personal dengan teman sejawat dan
masyarakat Ciri-ciri keprofesionalan dalam memberikan layanan ahli yang berpangkal pada kemampuan mengambil
keputusan perlu dipertajam. Secara singkat, guru masa depan diharapkan mampu membuat suasana belajar menjadi
suasana yang nyaman dan menyenangkan serta mampu memodelkan apa yang diharapkan dari para siswanya,
seperti ia sendiri harus mampu menilai situasi secara kritis, memprediksi apa yang akan terjadi, dan kemudian
mencoba menanggulangi situasi yang dihadapi.
Di sisi lain, tugas-tugas guru yang bersifat profesional harus ditunjang oleh sistem penghargaan yang membetahkan,
sehingga guru mampu memfokuskan diri pada peningkatan kualitas layanan yang diberikan. Hal ini sejalan dengan
kriteria pekerjaan profesional yang menyebutkan bahwa guru berhak mendapat imbalan yang layak. Imbalan yang
layak bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk penghargaan/rasa segan/hormat masyarakat
terhadap guru. Jika penghargaan/imbalan ini masih terabaikan, citra guru profesional tidak akan muncul, yang ada
adalah guru siluman- pahlawan tanpa tanda jasa, yang tidak diperhitungkan oleh masyarakat.
Berbagai usaha untuk memberdayakan guru
Untuk mewujudkan profil guru yang diinginkan pada abad mendatang, berbagai usaha perlu dilakukan. Menyimak
hasil analisis profil guru pada saat ini (Wardani, 1998), tampaknya ciri-ciri keprofesionalan guru masih belum
banyak terwujud. Berbagai hasil penelitian (Jiyono, 1992; Nielson, D., dkk, 1996; Nasoetion, 1996; &Wardani,
1996) menunjukkan bahwa kinerja guru masih belum sesuai dengan harapan, baik dalam hal penguasaan materi
ajaran maupun dalam pengelolaan pembelajaran. Proses belajar mengajar yang masih banyak didominasi guru,
kurangnya kemampuan dan kesadaran guru untuk memfasilitasi dan menumbuhkan dampak pengiring,
menyebabkan siswa lebih banyak bergulat dengan bahan hapalan daripada mempertanyakan, memprediksi, atau
memecahkan masalah. Citra guru yang masih rendah menyebabkan pekerjaan sebagai guru bukan merupakan
pilihan utama, sehingga yang ingin menjadi guru, sebagian besar bukan putra terbaik bangsa. Kondisi ini didukung
oleh sangat rendahnya kesejahteraan guru, sehingga guru tidak mampu memfokuskan perhatian pada tugas-tugasnya
karena harus mencari pekerjaan sambilan untuk menghidupi keluarga.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut, usaha untuk memberdayakan guru haruslah mencakup dua aspek, yaitu aspek
yang terkait dengan kemampuan dan aspek yang terkait dengan kesejahteraan guru. Kedua aspek ini harus mendapat
penanganan yang proporsional dan memadai, sebab kalau terjadi ketimpangan, profil guru yang dikehendaki juga
tidak mungkin terwujud. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru, seperti
adanya Pemantapan Kerja Guru (PKG) yang kemudian menjadi Musyawarah Guru Bidang Studi (MGBS),
penataran/pelatihan berkala, serta pemberian kesempatan untuk melanjutkan studi, (misalnya yang terjadi secara
besar-besaran untuk meningkatkan kualifikasi guru SD dan guru SUP).
Demikian pula upaya untuk meningkatkan kesejahteraan guru telah pernah dilakukan meskipun secara terbatas,
misalnya dengan pemberian tunjangan fugsional guru serta pemberian insentif bagi guru daerah terpencil. Namun,
tampaknya usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang memadai karena pengamatan lapangan serta hasil-hasil
penelitian masih menunjukkan adanya kinerja guru yang di bawah standar dan mutu lulusan SD, SLTP, SLTA yang
masih dipertanyakan. Oleh karena itu, haruslah dicari upaya yang mampu mengatasi kelemnahan yang terjadi.
Beberapa upaya yang mungkin dilakukan adalah sebagai berikut.
Pertama, memperbaiki sistem rekrutmen calon guru, sehingga dapat dijaring calon guru yang memang benar-benar
berminat dan mampu menjadi guru. Dalam hal ini, ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) khusus untuk
calon mahasiswa yang ingin menjadi guru harus disertai dengan tes minat dan penampilan. Di samping itu, asal
daerah calon guru juga harus dijadikan salah satu pertimbangan dalam penerimaan mahasiswa, sehingga daerahdaerah yang memang memerlukan tambahan guru mendapat prioritas dalam penerimaan calon mahasiswa.
Kedua, meningkatkan kemampuan dan minat membaca guru dan calon guru, dapat dilakukan dengan memberi
tugas-tugas membaca yang disertai tagihan yang jelas bagi calon guru dan para guru yang sedang mengikuti
pelatihan. Di samping itu, penerbitan jurnal, pengembangan perpustakaan sekolah dengan buku-buku yang mutakhir
dan menarik, serta perlombaan menulis bagi para guru perlu digalakkan sehingga guru tertarik untuk membaca.
Pengumpulan buku bekas dari para dermawan dapat dilakukan untuk mengisi perpustakaan. Jika minat membaca
guru sudah meningkat, diharapkan kemampuannya juga akan meningkat, sehingga berdampak positif bagi
penguasaan materi ajaran.
Ketiga, membudayakan diskusi ilmiah bagi para guru dan calon guru. Para calon guru secara berkala diwajibkan
untuk melaksanakan diskusi ilmiah/seminar topik-topik yang menarik perhatiannya, terutarna topik-topik yang
paling mutakhir yang berkaitan dengan mata kuliah tertentu. Para guru dapat didorong metakukan diskusi ilmiah
secara berkala pula, misalnya setiap bulan atau menjelang peristiwa tertentu seperti Hari Pendidikan Nasional, Hari
Kemerdekaan, Sumpah Pemuda, dan Hari Anak-anak. Topik diskusi dapat dikaitkan dengan peristiwa yang sedang
berlangsung atau topik-topik yang berkaitan dengan pembelajaran/masalah yang dihadapi guru dalam melaksanakan
tugasnya. Dalam kaitan ini, lomba menulis artikel dapat mendukung berlangsungnya diskusi ilmiah, dengan cara
meminta pemenang menyajikan artikelnya. Upaya ini akan mempunyai nilai tambah karena, wawasan guru akan
berkembang, di samping mereka juga akan mendapat kredit untuk kenaikan jabatan.
Keempat, menyajikan model, baik bagi calon guru maupun bagi para guru. Model merupakan media yang sangat
efektif untuk menanamkan. keterampilan serta nilai dan sikap, baik bagi anak-anak maupun bagi orang dewasa. De
Porter & Hernacki (1999) juga menyebutkan bahwa model memegang peran penting dalam. pembentukan perilaku
dan kepribadian seseorang. Mengelola pembelajaran menuntut berbagai keterampilan yang harus ditampilkan guru
ketika mengajar. Namun, sering sekali terjadi guru tidak menguasai keterampilan tersebut karena ketika berada, di
bangku pendidikan guru, mereka tidak mendapat latihan yang memadai, di samping mungkin tidak pernah
menyaksikan pemodelan keterampilan tersebut. Oleh karena itu, berbagai strategi mengajar yang mampu membuat
siswa belajar aktif dan menumbuhkan dampak pengiring di samping dampak instruksional perlu dimodelkan oleh
dosen, tutor, dan pelatih/penatar. Selain itu, hubungan kolegial yang akrab, sehat dan saling menghargai akan dapat
dikembangkan oleh guru, jika dosen, tutor, dan penatar mampu memodelkannya. Penyajian model hendaknya,
disertai dengan latihan yang memadai karena penguasaan keterampilan hanya dapat dilakukan melalui latihan.
Kelima, mendorong guru untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas (Action Research), yang sudah mulai
digalakkan oleh lembaga pendidikan guru. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) tampaknya merupakan sesuatu yang
menjanjikan dalam usaha pemberdayaan guru karena merupakan "self reflective inquiry" (Stephen Kemmis, dalam.
Hopkins, D., 1993 dan McNiff, J., 1992) yang dilakukan guru di dalam kelas untuk memperbaiki praktik
pembelajaran serta meningkatkan pemahaman guru terhadap praktik tersebut. Berbeda dengan praktik pembelajaran
sehari-hari yang dilakukan guru, PTK mendorong guru mengenal/menyadari masalah yang dihadapinya, kemudian
merencanakan upaya untuk mengatasinya. Upaya tersebut dilakukan secara eksplisit dan sistematis yang mengacu
kepada kaidah-kaidah penelitian (Raka Joni, 1998). Inilah yang mencirikan PTK sebagai "systematic inquiry made
public". Jika PTK diarahkan dan dikerjakan dengan benar, ia akan mampu mendorong guru terlibat secara aktif
dalam pembelajaran yang dikelolanya, di samping mampu mendorong guru menempatkan diri sebagai peneliti di
kelasnya sendiri.
Keenam, membenahi program penataran/pelatihan guru dengan cara memfokuskan pada kebutuhan guru serta
menghindari ketumpangtindihan. Untuk membuat guru mampu menghadapi tantangan abad 21, penataran/pelatihan
guru harus difokuskan pada kebutuhan guru, yang berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pengamatan informal
berkisar pada dua aspek yaitu penguasaan materi ajaran dan mengelola interaksi di dalam kelas. Di samping itu,
program penataran/pelatihan juga harus memberi kesempatan kepada guru untuk berlatih memecahkan
masalah/menanggulangi situasi, yang semuanya ini dapat dikaitkan dengan mengelola interaksi di dalam kelas.
Dalam hal ini, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dapat dilatihkan sebagai wahana untuk mengenal masalah serta
merencanakan pemecahannya melalui berbagai langkah. Agar penataran guru tidak tumpang tindih, berbagai
instansi yang menyelenggarakan penataran perlu melakukan koordinasi sehingga kemubaziran dari segi dana dan
daya dapat dihindari.
Dari segi kesejahteraan guru, yang dalam hal ini sangat berkaitan erat dengan sistem imbalan yang membetahkan,
ada beberapa hal yang dapat diusahakan. Pertama, hentikan segala pungutan liar yang sering dikenakan kepada guru,
sehingga gaji guru yang sudah kecil tidak bertambah kecil lagi. Kedua, sudah saatnya Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan meninjau ulang tunjangan fungsional bagi guru, meskipun keadaan ekonomi negara sedang dalam
krisis. Kenaikan tunjangan fungsional diharapkan dapat memacu guru untuk memfokuskan diri pada tugas-tugasnya,
sehingga layanan yang diberikannya menjadi semakin handal dan aman. Ketiga, memberi penghargaan kepada guru
yang berprestasi, yang didasarkan pada penilaian masyarakat dan siswa, yang dapat dilakukan di tingkat kabupaten
dan propinsi secara. berkala. Penghargaan ini diharapkan dapat meningkatkan citra guru di mata masyarakat.
Keempat, untuk meningkatkan citra, tampaknya HARI GURU yang selama ini dirayakan setiap tanggal 25
November, perlu diberi makna yang lebih khusus, agar gemanya dapat menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.
Kegiatan yang digelar akan lebih bermakna jika diisi dengan hal-hal yang mampu meningkatkan citra guru, seperti
memamerkan karya-karya siswa yang berprestasi dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja, memamerkan hasil karya
guru yang berprestasi, mengadakan gelar wicara antar guru di televisi, atau menyelenggarakan bakti sosial yang
berkaitan dengan tugas guru. Dengan usaha-usaha tersebut diharapkan pilar kedua profesionalisme, yaitu pengakuan
dan penghargaan dari masyarakat, dapat terwujud.
Implikasi bagi Universitas Terbuka
Sehubungan dengan usaha-usaha di atas, apa yang harus dilakukan oleh Universitas Terbuka (UT) sebagai
perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan melalui Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ)? Pertanyaan ini
sangat erat kaitannya dengan peran UT, terutama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), dalam
menyelenggarakan pendidikan guru, khususnya bagi para guru yang ingin meningkatkan kemampuan dan
kualifikasinya. Jika dilihat dari jumlah lulusan guru yang sudah dihasilkan, yang sampai tahun 1998 hampir
mencapai 280 ribu orang, setiap orang pasti setuju bahwa UT mempunyai peran yang sangat penting dalam
meningkatkan kualifikasi guru. Namun, apakah UT cukup berpuas diri dengan jumlah lulusan yang demikian besar?
Di satu sisi mungkin ya, namun di sisi lain, secara jujur harus dijawab tidak.
Berbagai keluhan yang terjadi di lapangan membuat UT harus berusaha keras menjawab berbagai tantangan. Lebihlebih untuk mewujudkan sosok guru abad 21 seperti yang sudah diuraikan di atas, masih banyak yang perlu
diusahakan oleh UT. Dengan perkataan lain, implikasi renungan tentang sosok guru abad 21 sangat luas dan
menyeluruh, yaitu menuntut UT untuk berbenah diri dalam semua komponen program, mulai dari rekrutmen
mahasiswa sampai pelulusan. Jelas hal ini membawa dampak bagi semua komponen di UT, baik di pusat maupun di
daerah.
Sistem rekrutmen mahasiswa yang bersifat terbuka dan dilakukan dari jarak jauh sering menimbulkan masalah
karena kekurangakuratan persyaratan administratif yang diminta sehingga menimbulkan masalah ketika mahasiswa
hampir lulus. Hal ini perlu diantisipasi dengan kecermatan yang tinggi dari petugas registrasi. Jika selama ini, para
guru hanya boleh mengambil program studi yang sesuai dengan bidang studinya, sudah saatnya UT memikirkan
untuk membuka program bagi semua guru tanpa memandang latar belakang formal bidang studi, kecuali jenjang
latar belakang pendidikan terakhir, yaitu tamatan SLTA. Dengan cara ini, UT membuka peluang bagi guru untuk
mengikuti segala perkembangan/perubahan yang akan terjadi secara terus-menerus, dan kerumitan persyaratan
rekrutmen dapat dikurangi.
Sejalan dengan perbaikan sistem rekrutmen, program pendidikan guru juga perlu dibenahi. Program-program
sertifikat atau penawaran mata kuliah yang sangat relevan bagi guru, misalnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
perlu dipertimbangkan pengembangannya. Cara ini akan memungkinkan guru mengambil mata kuliah yang memang
diperlukan untuk meningkatkan kemampuan profesional tanpa harus terikat pada. pencapaian kualifikasi tertentu.
Selanjutnya, program pendidikan lanjut seperti Sl PGSD dan Pascasarjana Kependidikan perlu secepatnya
direalisasikan. Dalam waktu dekat barangkali Program SI PGSD perlu diusahakan pembukaannya. Program
pendidikan lanjut ini akan memberi peluang bagi para guru dari SD sampai SLTA untuk terus belajar sehingga akan
tersedia kesempatan untuk membina kemampuan memprediksi dan menanggulangi. Kemampuan yang terbentuk ini
kernmudian dapat dimodelkan oleh para guru di depan kelas.
Berkaitan dengan pembenahan program pendidikan guru, pelayanan kepada mahasiswa juga perlu ditingkatkan,
terutama dalam bidang pelayanan akademik. Proses pembelajaran yang selama ini lebih banyak diserahkan kepada
mahasiswa dan pengelola di daerah, perlu dibenahi oleh UT, baik di pusat maupun di daerah sehingga pembentukan
kemampuan profesional. guru mendapat. penanganan yang memadai. Dalam hal ini, mata kuliah yang paling rawan
untuk dibenahi adalah Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM) serta mata kuliah yang mempersyaratkan praktik.
PKM merupakan muara program yang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menerapkan segala
kemampuan yang telah diperoleh dari berbagai mata kuliah ke dalam pembelajaran di kelasnya sendiri. Oleh karena
itu, program ini harus benar-benar dapat meyakinkan bahwa guru yang sedang menjadi mahasiswa sempat
mengamati model yang benar serta mendapat kesempatan berlatih yang memadai. Untuk keperluan ini kolaborasi
dengan sekolah, lembaga pendidikan guru setempat, serta instansi yang membina guru perlu ditingkatkan.
Selanjutnya UT perlu merancang program ini dengan cermat serta mengadakan latihan yang memadai bagi para
tutor dan supervisor PKM, sehingga mereka benar-benar dapat memodelkan pendekatan yang berorientasi kepada
siswa (student oriented approach). Kaset-kaset video yang memuat perilaku guru yang efektif dalam mengajar
sehingga dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan perlu dikembangkan. Kaset video ini
dapat dijadikan model yang diharapkan dapat mendorong guru untuk memperbaiki kinerjanya.
Terakhir, dalam bidang ujian, ada dua hal mendasar yang perlu dibenahi. Pertama, menyangkut sistem ujian,
terutama bentuk ujian yang lebih didominasi oleh tes objektif. Tes objektif pada umumnya tidak dapat mengukur
kemampuan yang bersifat keterampilan, apalagi sikap dan nilai, sehingga untuk menilai kernampuan profesional
seorang guru, semestinya porsi tes objektif tidak terlampau besar. Oleh karena itu, perlu. dipikirkan cara lain untuk
menilai kemampuan para guru yang sedang menjadi mahasiswa. Cara tersebut tentu harus sesuai dengan ciri UT
yang menyelenggarakan pendidikan melalui SBJJ dengan jumlah mahasiswa ratusan ribu, di samping harus sesuai
dengan paradigma baru pendidikan tinggi yang menekankan pada pendekatan yang berorientasi pada siswa dan
penilaian yang didasarkan pada indikator penampilan (Brodjonegoro, 1999). Salah satu kemungkinan untuk
menanggulangi masalah ini adalah memperluas desentralisasi penilaian terutama bagi mata kuliah yang
memper.syaratkan keterampilan. Selanjutnya, dalam penentuan kelulusan, porsi kemampuan melaksanakan tugas
sebagai guru perlu dipertimbangkan kembali, sehingga guru yang lulus dari satu program benar-benar merupakan
lulusan yang berkualitas.
Aspek kedua yang perlu dibenahi adalah aspek moral, yang sangat erat kaitannya dengan cara pemecahan aspek
yang pertama. Moral merupakan aspek yang paling menentukan keberhasilan program, namun paling sukar
dibenahi. Untuk menjaga kualitas (yang juga merupakan salah satu paradigma baru. pendidikan tinggi), semua pihak
yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di UT, dari pegawai terendah sampai pimpinan puncak, baik di
pusat maupun di daerah, demikian pula para personil dari instansi mitra UT harus menunjukkan komitmen yang
tinggi terhadap peningkatan kualitas lulusan UT. Kejujuran dan keberanian mempertahankan kebenaran merupakan
kunci keberhasilan. Tanpa itu, kualitas guru, yang merupakan lulusan UT, tidak akan mampu menghadapi tantangan
abad 21 karena perubahan yang dipersyaratkan memang tidak terjadi pada dirinya.
Daftar Rujukan
BrodJonegoro, S. S. (1999). Management Change in University toward 21" Century: The Indonesian Policy.
International Seminar Proceedings. Jakarta: Higher Education Project, Ministry of Education and Culture.
Brameld, Th. (1965). Education as Power. New York: Holt, Rinehart, and Winston, Inc.
Darling-Hammond, L. & Goodwin, A. L. (1993). Progress toward Professionalism in Teaching Dalam: G. Cawelti
(ed). Challenges and Achievements of American Education, The 1993 ASCD Year Book. Alexandria: ASCD.
De Porter, B. & Hemacki, M. (1999). Quantum Learning. (Penerjemah: Alwiyah Abdurachman). Bandung: Penerbit
Kaifa.
Hopkins, D. (1993). A Teacher's Guide to Classroom Reseach. Buckingham: Open University Press.
Jiono. (1992). Laporan Penelitian Kemampuan / Pemahaman Guru tentang IPA dan Sarana Pelajaran IPA di SMP.
Jakarta: Balitbang-Dikbud.
Konsorsium llmu Pendidikan. (1993). Profesionalisasi Jabatan Guru: tawaran dan tantangannya. Jakarta:
Konsorsium llmu Pendidikan.
McNiff, J. (1992). Action Research: Principles and Practice. London: Routledge.
Nasoetion, N. (1996). Laporan Pendidikan IPA dan Teknologi di SMP. (Naskah disajikan pada Seminar Dies Natalis
UT, 28 Agustus 1996).
Nielson, D; Somerset, A.; Mahadi, R. & Wardani, I G. A. K. (1996). Sthrengthening Teacher Competency and
Student Learning. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Raka Joni, Prof Dr. T. (1989). Mereka Masa Depan, Sekarang. Tantangan bagi Pendidikan dalam Menyongsong
Abad Informasi. (Ceramah Ilmiah: disampaikan dalam Upacara Dies Natalis XXXV, Lustrum VII IKIP Malang, 18
Oktober 1989).
_______(1998). Hasil Telaah 6 Usulan PTK PPGSD. (makalah disiapkan untuk
pertemuan PTK di Yogyakarta, 5 Januari 1998).
_______(1998). Pengembangan Model Kurikulum Program DII PGSD: antara kajian akademik vs pengembangan
program. (naskah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Model Kurikulum Program Pendidikan Diploma
Tenaga Kependidikan (DII PGSD) Tahun 1998/1999). Jakarta: Pubang Kurandik- Balitbang Dikbud, 6-7 Agustus
1998.
_______ (ed). (1992). Pokok-pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru. Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendidikan.
Riel, M. (1998). Teaching and Learning in the Educational Communities of the Future. Dalam: Christ Dede (ed).
ASCD Year Book 1998. Pp. 171-195. Alexandria: ASCD.
Surat Keputusan Menpan No. 26 / Menpan / 1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam Lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tilaar, H. A. R. (1995). Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995: Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Toffler, A. (1992). Future Shock (Kejutan Masa Depan). Alih Bahasa: Dra. Sri Koesdiyatinah SB. Jakarta: PT Panca
Simpati.
Wardani, I G. A. K. (1996). Pemantapan Kemampuan Guru dan Belajar Siswa. (Naskah disajikan pada Seminar
Dies Natalis UT, 28 Agustus 1996).
______(1998). Pemberdayaan Guru: suatu usaha peningkatan mutu pendidikan. (Orasi Ilmiah, disampaikan dalam
Upacara Dies Natalis XIV UniversitasTerbuka, Jakarta: 14 September 1998).
Zumwalt, K. (1989). Beginning Professional Teachers: the Need for a Curricular Vision for Teaching. Dalam M. C.
Reynold (ed). Knowledge Base for Beginning Teachers. Pp. 173 -184. New York: Pergamon Press.
Sumber : http://lppm.ut.ac.id/jp/11wardani.htm
Download