KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA SAPI BALI

advertisement
KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA
SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM, BALI
LINDA SAYUTI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
ABSTRAK
LINDA SAYUTI. Kejadian Infeksi Cacing hati (Fasciola spp) pada Sapi Bali di
Kabupaten Karangasem, Bali. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA.
Cacing hati merupakan salah satu masalah utama dalam peternakan sapi di
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian infeksi cacing hati
(Fasciola spp) pada sapi bali pada tingkat umur, jenis kelamin dan lokasi di
Kabupaten Karangasem, Bali. Sampel tinja diambil secara acak dari 257 ekor sapi
berumur kurang dari enam bulan, 6-12 bulan dan lebih dari 12 bulan.
Pemeriksaan jumlah cacing hati (Fasciola spp) dalam sampel tinja dengan metode
filtrasi bertingkat kemudian dilakukan penghitungan jumlah telur tiap gram tinja
(TTGT). Prevalensi infeksi cacing hati (Fasciola spp) dan rataan TTGT diduga
dengan selang kepercayaan 95% pada umur, jenis kelamin dan lokasi yang
berbeda. Tingkat asosiasi antara lokasi, jenis kelamin dan umur sapi bali terhadap
infeksi cacing hati diuji menggunakan uji khi-kuadrat (?²) dan nilai resiko relative
(RR). Hasil pemeriksaan menunjukan faktor umur mempengaruhi secara nyata
tingkat infeksi cacing hati. Sapi umur lebih dari 12 bulan beresiko 1,88 kali lebih
tinggi dibandingkan sapi umur kurang dari enam bulan dan umur 6-12 bulan.
Tingkat kejadian cacing hati tidak dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin dan
lokasi.
ABSTRACT
LINDA SAYUTI. Liver Fluke (Fasciola spp) Infection of Bali’s Cattle in
Karangasem Regency, Bali. Under the direction of FADJAR SATRIJA.
Liver fluke is one of serius problem at cattle farm in Indonesia. This
research was designed to study risk factor prevalence of Fasciola spp infetion on
the different age, sex and location of Bali’s cattle in Karangasem Regency, Bali.
Faecal samples were taken randomly from 257 cattle with age less than six
months, 6-12 months, and more than 12 months. Number of Fasciola egg (EPG)
was calculated by filtrations method. Prevalence and mean of EPG were
estimated with 95% confidence interval at each level of age, sex and different
location. The association level based on location, sex and age of Fasciola spp
infection were tested with Chi Square (?²) test and estimated relative risk value
(RR). Results of this experiment showed that age factor became significant factor
of Fasciola spp infection. Cattle with age more than 12 months had 1,88 times
higher risk than cattle with age less than six months and age between six to 12
months, however was not statistically. Locations and sex did not influence
significanthy the Fasciola spp infection.
KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA
SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM, BALI
LINDA SAYUTI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
:
Kejadian Infeksi Cacing hati (Fasciola spp) Pada
Sapi Bali Kabupaten Karangasem, Bali
Nama
:
Linda Sayuti
NRP
:
B04102046
Program Studi
:
Kedokteran hewan
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD
NIP. 131 760 846
Diketahui
Wakil Dekan
Dr. Nastiti Kusumorini
NIP. 131 669 942
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini
yang berjudul “Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola spp) pada Sapi Bali di
Kabupaten Karangasem, Bali”. Tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan dengan tulus kepada:
Kedua orang tua tercinta, aki, nini alm. dan adik-adikku (Ata Terek,
Syahrial, Suaka dan Sharoya) atas segala kasih sayang dan doa-doa
terbaiknya.
drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi atas
bimbingan, arahan dan saran yang diberikan.
drh. Isdoni M Biomed sebagai dosen pembimbing akademik yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan study.
drh. Yusuf Ridwan, MSi selaku dosen penguji seminar dan sidang skripsi
yang telah memberikan banyak masukan.
drh. I Ketut Artama MSi, Ayu Cendra Puspa SKH, Dzurriyatun Thaiybah
SKH dan atas bantuannya selama penulis menyusun skripsi ini.
Ria Purwito Sari SKH atas persahabatan yang tulus ini.
Lettu Anton Permadi atas dukungan dan hari-hari yang indah.
Ani S SKH, Jimmy Pangihutan SKH, Maurin A SKH, Prima M SKH, Ayu
H SKH, Reccy SKH, Atin, Yulismawati, Emi, Eev, Dita, Kak Eka, Ipit,
Cici, Fitriyani, Linda p atas dukungannya, Artropoda’39, angkatan 40
semoga kita semua sentiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
Staf Laboratorium Helmintologi FKH IPB atas bantuannya selama penulis
melakukan penelitian di laboratorium.
Bogor, Juli 2007
Linda Sayuti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Panimbang, Banten pada tanggal 3 juni 1984 sebagai
putri pertama dari lima bersaudara dari pasangan ayahanda Ahmad Sayuti dan
ibunda Siti Farida. Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri I Malingping dan
pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor pada Fakultas
Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian
Bogor (USMI). Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis aktif
di Himpunan Minat Propesi Ruminansia.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
......................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................xi
PENDAHULUAN ...........................................................................................1
Latar Belakang .................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................ 2
Manfaat Penelitian .............................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................3
Fasciolosis pada Ruminansia .............................................................. 3
Gambaran Umum Sapi Bali .. ............................................................13
Gambaran Umum Kabupaten Karangasem, Bali ............................... 14
METODOLOGI .............................................................................................. 17
Temapat dan Waktu Penelitian ........................................................... 17
Metode Pengambilan Sampel ............................................................. 19
Metode Pemeriksaan Telur .................................................................18
Analisis Data………………………………………………................18
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 21
Hasil .................................................................................................... 21
Pembahasan .........................................................................................23
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27
LAMPIRAN .................................................................................................... 31
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Penghitungan Resiko Relatif infeksi cacing hati pada umur yang
berbeda....................................................................................................20
2 Penghitungan Resiko Relatif infeksi cacing hati pada jenis kelamin yang
berbeda....................................................................................................20
3 Penghitungan Resiko Relatif infeksi cacing hati pada lokasi yang
berbeda....................................................................................................20
4 Prevalensi, ?² dan resiko relatif cacing hati pada tingkat umur ...............21
5 Prevalensi, ?², dan resiko relatif cacing hati pada jenis kelamin yang
berbeda ...................................................................................................22
6 Prevalensi ?², dan resiko relatif cacing hati dilokasi dataran rendah dan
dataran tinggi ..........................................................................................23
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Morfologi telur dan cacing dewasa Fasciola spp......................................4
2 Siklus Hidup Fasciola spp.........................................................................5
3 Telur Fasciola spp. ..................................................................................11
4 Peta Lokasi pengambilan sampel di Kabupaten Karangasem, Bali ........15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil analisis statistik Chi-Square..............................................................31
2 Tabel nilai resiko relatif pada lokasi yang berbeda....................................32
3 Tabel nilai resiko relatif pada jenis kelamin yang berbeda........................32
4 Tabel nilai resiko relatif pada umur yang berbeda.....................................32
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sapi Bali merupakan salah satu alternatif pilihan bagi ternak sapi potong
yang dikembangkan dan dipergunakan untuk membantu usaha tani dan pengadaan
protein hewani (Achjadi 1986). Bangsa sapi asli Indonesia ini memiliki
keunggulan berupa kemampuan adaptasi dalam lingkungan dengan ketersediaan
pakan kualitas rendah dan tingkat fertilitas yang tinggi (Sulistyowati 2002). Oleh
karena itu tingginya impor daging dan sapi bakalan untuk memenuhi kebutuhan
daging dalam negeri, dapat dijadikan pendorong untuk memperbaiki produktivitas
dan pengelolaan sapi asli Indonesia termasuk sapi Bali (Soeharsono 2002).
Kemurnian bangsa sapi asli Indonesia sebagai cadangan plasma nutfah sangat
diperlukan untuk perkembangan peternakan di masa mendatang.
Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang
dihadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi
akan optimal, bila secara simultan disertai penyediaan pakan yang memadai dan
pengendalian penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di
Indonesia, penyakit parasit masih kurang me ndapat perhatian dari para peternak.
Penyakit parasitik biasanya tidak mengakibatkan kematian hewan ternak, namun
menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktivitas
hewan sangat besar. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah
penyakit yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola spp, yang dikenal dengan
nama distomatosis, fascioliasis atau fasciolosis (Mukhlis 1985).
Infeksi cacing hati (Fasciola spp) merupakan salah satu parasit penting
pada ruminansia besar di Indonesia (Suweta 1984). Tingkat prevalensi penyebaran
cacing hati (Fasciola spp) pada ternak masih menunjukkan angka-angka yang
tinggi, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Prevalensi
penyebaran Fasciola spp di beberapa negara menurut FAO (2007), sebagai
berikut: Indonesia mencapai 14%-28%, Philipina 18%-59%, Thailand 75%,
Pakistan 50%-58%, Nigeria 60%-72%, Afrika utara 43%-50%, Brasil 50%-61%,
Mexico 74%. Prevalensi Fasciola spp di Peru pada tahun 1999 18,18%-31,3%
(Keiser dan Utzinger 2005).
2
Penyebaran
suatu
penyakit
dipengaruhi
oleh
iklim
dan
cuaca
(Arbani 1992). Menurut Brotowidjoyo (1987), cuaca menentukan prevalensi
penularan suatu penyakit parasit sampai timbulnya epidemi, sedangkan iklim
menentukan endemesitas suatu penyakit. Selain itu dipengaruhi oleh faktor umur
dan jenis kelamin. Umur dan jenis kelamin menentukan jumlah cacing Fasciola
spp yang menginfeksi yang merupakan faktor yang berasal dari induk semang.
Pengaruh umur dan jenis kelamin pada infeksi Fasciola spp bersifat hormonal
(Tizard 1987).
Pulau Bali yang terletak di wilayah tropis memiliki kisaran suhu dan
kelembaban udara yang mendukung bagi perkembangbiakan berbagai jenis
parasit. Terlebih pula di wilayah lahan sawah, yang relatif memiliki tingkat
genangan air dan lama waktu genangan air yang tinggi. Kondisi lahan yang
demikian sangat mendukung bagi perkembangbiakan berbagai jenis parasit cacing
seperti cacing hati (Fasciola spp) (Suweta 1984).
Program pengendalian penyakit parasitik, termasuk fasciolosis, akan
efektif apabila dirancang berdasarkan informasi akurat tentang kejadian penyakit
serta faktor-faktor resiko yang mempengaruhinya. Informasi tentang kejadian
fasciolosis pada sapi Bali masih sangat minim sehingga perlu dilakukan studi
yang lebih mendalam.
1.2. Tujuan
1. Mengetahui kejadian tingkat infeksi cacing hati pada sapi Bali di
Kabupaten Karangasem, Bali.
2. Mengetahui faktor resiko perbedaan umur, jenis kelamin, dan lokasi
peternakan terhadap kejadian infeksi cacing hati pada sapi Bali di
Kabupaten Karangasem, Bali.
1.3. Manfaat
Hasil Penelitian ini memberikan informasi mengenai kejadian infeksi
Fasciola spp pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem serta faktor-faktor risiko
yang mempengaruhinya sebagai bahan untuk merancang program pengendalian
fasciolosis di daerah tersebut.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fasciolosis pada Ruminansia
2.1.1. Klasifikasi dan Morfologi Fasciola spp
Menurut Kusumamiharja (1992) klasifikasi taksonomi cacing hati sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Platyhelmintes
Kelas
: Trematoda (Rudolphi 1808)
Ordo
: Digenea
Family
: Fasciolidae (Railliet 1895)
Genus
Spesies
: Fasciola
(Linnaeus 1758)
: - Fasciola hepatica (Cobbold 1885)
(Van Beneden 1858)
-Fasciola gigantica (Cobbold 1885)
Cacing dewasa Fasciola spp berbentuk pipih seperti daun tanpa rongga
tubuh. Perbedaan dari kedua jenis cacing Fasciola spp adalah pada bentuk tubuh
dan ukuran telur. Telur cacing hati (Fasciola spp) berbentuk oval, berdinding
halus dan tipis berwarna kuning dan bersifat sangat permiabel, memiliki
operkulum pada salah satu kutubnya. Operkulum merupakan daun pintu telur
yang terbuka pada saat telur akan menetas dan larva miracidium yang bersilia
dibebaskan (Noble dan Elmer 1989). Cacing dewasa Fasciola spp berbentuk
pipih, seperti daun tanpa rongga tubuh.
Tubuh Fasciola gigantica relatif lebih bundar dimana bagian posteriornya
terlihat lebih mengecil dan ukuran telurnya lebih besar dibandingkan Fasciola
hepatica (Adiwinata 1955). Menurut Brown (1979) cacing dewasa dapat
dibedakan dari Faciola hepatica karena lebih panjang, kerucut kepala lebih
pendek, alat reproduksi terletak lebih anterior, batil isap perut lebih besar. Faciola
hepatica mempunyai ciri-ciri: batil isap mulut dan kepala yang letaknya
berdekatan, divertikulum usus, alat kelamin jantan (testis) yang bercabang-cabang
dan berlobus. Sedangkan alat kelamin betina mempunyai kelenjar vitellaria yang
memenuhi sisi lateral tubuh. Memiliki sebuah
pharing dan oesphagus yang
pendek, uterus pendek dan bercabang- cabang (Soulsby 1969). Metabolisme
Fasciola hepatica secara anaerob, mendapat makanan dari sekresi empedu dan
4
dapat hidup selama 10 tahun (Brown 1979). Fasciola hepatica dewasa berukuran
20 mm sampai 50 mm (Noble dan Elmer 1989). Sedangkan Fasciola gigantica
mempunyai ukuran yang lebih besar dari Fasciola hepatica, yaitu 20 mm sampai
75 mm (Soulsby 1986). Di Indonesia Fasciola gigantica dewasa panjangnya 14
mm sampai 54 mm. Sisi kiri dan kanan hampir sejajar, bahu kurang jelas, alat
penghisap ventral sejajar dengan bahu, besarnya hampir sama dengan alat
penghisap mulut, kutikula dilengkapi dengan sisik. Usus buntunya bercabangcabang sejajar dengan sumbu badan, sirus tumbuh sempurna dan kantung sirus
mangandung kelenjar prostat serta kantong semen, ovarium bercabang terletak di
sebelah kanan garis median, kelenjar vitelin mengisi bagian lateral tubuh
(Kusumamiharja 1992).
Gambar 1. Morfologi telur dan cacing dewasa cacing hati (Anonim 2006)
2.1.2. Siklus Hidup
Siklus hidup parasit sangat komplek, pendek dan cepat penularannya
(Gambar 2). Fasciola spp mengalami mata rantai siklus perkembangan atau
stadium dalam siklus hidupnya sampai ke saluran empedu. Daur hidup cacing hati
dimulai dari telur yang dikeluarkan dari uterus cacing masuk ke saluran empedu,
kandung empedu, atau saluran hati dari induk semang. Telur terbawa ke dalam
usus dan meninggalkan tubuh bersama tinja. Seekor cacing hati (F. hepatica)
dalam sehari dapat memproduksi rata-rata 1331 butir telur pada domba dan 2628
butir telur pada sapi (Dixon 1964). Jumlah cacing di dalam pembuluh-pembuluh
empedu tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan jumlah telur dalam tinja.
5
Gambar 2. Siklus hidup cacing hati (DPP. CDC. 2006)
Jumlah telur dalam tinja akan mencapai maximum dalam waktu 2 bulan setelah
periode prepaten, kemudian menurun lagi secara pesat (Soulsby 1986). Telur tidak
dapat berkembang dibawah suhu 100C, tetapi dapat berkembang dengan baik pada
suhu 100C sampai 260C (Levine 1977).
Perkembangan dari stadium telur sampai metacecaria hanya dapat terjadi
pada lingkungan yang tergenang air yang bertindak sebagai faktor pembatas siklus
hidup cacing di luar tubuh ternak (Noble dan Elmer 1989). Apabila telur masuk ke
dalam air, operkulum membuka dan miracidia yang bersilia dibebaskan. Miracidia
hanya dapat keluar apabila mendapat cukup cahaya. Cahaya mengaktifkan
miracidium yang kemudian mengubah permeabilitas suatu bantalan kental yang
terletak di bawah operkulum. Telur yang sudah menetas menghasilkan
miracidium. Tubuh miracidium diliputi ciliae yang berfungsi sebagai alat
penggerak di air. Gerakan miracidium dipengaruhi oleh cahaya (Foto taxis)
(Brown 1979). Miracidium berenang selama beberapa jam dan kemudian
menebus tubuh siput (Lymnaea rubiginosa). Miracidium hanya hidup dalam
6
waktu singkat (24 jam) untuk mencari sipus sebagai induk semang antara. Apabila
ditemukan siput yang sesuai miracidium akan melekat dan menusukkan
papillanya. Setelah miracidium berhasil menembus jaringan siput, ciliae di
lepaskan, kemudian menempati rumah siput tersebut. Setelah 36 jam, miracidium
berbentuk gelembung dengan dinding transparan yang disebut sporokista.
Di dalam tubuh siput setiap miracidium berkembang menjadi sebuah sporokista
(Noble dan Elmer 1989). Selanjutnya sporokista berubah bentuk menjadi oval
setelah 3 hari berada di dalam hati siput. Sporokista memperbanyak diri dengan
pembelahan transversal, sehingga dari satu miracidium terbentuk banyak
sporokista. Setelah 10 hari tubuh siput terinfeksi miracidium, terlihat gumpalan
sel di dalam sporokista yang kemudian tumbuh manjadi redia (Brown 1979). Pada
hari ke 12 redia induk mulai tampak. Pada hari ke-23 redia anak mulai terbentuk,
hari ke 25 redia anak membebaskan diri. Setelah redia anak terbentuk kemudian
redia berkembang sendiri-sendiri untuk membentuk cercaria. Tubuh redia
berbentuk silinder dengan otot kalung leher (collar). Di dalam kalung redia
terdapat sel ekskresi dan sel pertumbuhan. Cercaria dihasilkan melalui
pembelahan sel pertumbuhan. Satu redia induk biasanya mengadung 3 redia anak
yang sudah berkembang sempurna. Selama musim panas, biasanya hanya terdapat
satu generasi redia. Redia menghasilkan cercaria yang akan meninggalkan siput
(Noble dan Elmer 1989).
Tubuh cercaria berbentuk bulat telur dan memiliki ekor untuk berenang.
Cercaria yang keluar dari tubuh siput membebaskan diri dan berenang kemudian
mencari tumbuh-tumbuhan air untuk melekat dan melepaskan ekornya . Cercaria
dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai bintik-bintik putih yang bergerakgerak dan akan terlihat lebih jelas pada air jernih dengan alas stoples yang gelap
yang disinari cahaya terang. Cercaria hidupnya terbatas kecuali menemukan
tumbuh-tumbuhan atau hewan yang sesuai untuk menjadi kista dan kemudian
berubah menjadi metacercaria (Brown 1979). Setelah melekatkan diri pada
tumbuhan air contohnya batang padi dengan jarak 10 cm dari batang kemudian
ekor dilepaskan. Selanjutnya cercaria berubah menjadi kista dengan cara
mensekresikan subtansi viskus untuk melapisi tubuhnya. Cercaria yang telah
menjadi kista disebut metacercaria. Proses pembentukan dinding kista disertai
7
pembentukan alat-alat dalam tubuh, berupa alat tubuh cacing dewasa, proses ini
berlangsung 2-3 hari, setelah itu metacercaria bersifat infeksius serta tahan kering
dan panas (Noble dan Elmer 1989). Metacercaria berdinding tebal berlapis dua
apabila termakan oleh sapi dewasa didalam lambungnya dinding kista yang
berhasil dihancurkan oleh asam lambung hanya lapisan luar saja. Pada anak sapi,
kemampuan lambung untuk merusak lapisan luar sangat terbatas sekali, hal ini
menyebabkan tingkat prevalensi infeksi cacing hati pada anak sapi tidak
berpengaruh secara nyata. Di dalam kista ini metacercaria berkembang menjadi
cacing muda (Suweta 1982). Agar dapat menginfeksi induk semang definitif,
metacercaria didalam induk semang antara (ikan, crutacea dan keong) atau
tumbuhan air harus termakan dahulu. Setelah mencapai saluran-saluran empedu
hati dan mencapai dewasa kelami n, maka mulai memproduksi telur. Telur berada
dalam cairan empedu. Terbawa arus ikut mengalir ke dalam kantung empedu yang
kemudian masuk ke dalam usus halus melalui ductus choleduchus. Dalam usus
terbawa keluar bersama tinja (Brown 1979).
Siput yang menjadi Induk semang antara berbeda spesies dalam wilayah
negara yang berbeda (Lapage 1956). Pada umunya jenis-jenis siput yang menjadi
induk semang antara sementara cacing hati, dari Fasciola hepatica dan Fasciola
gigantica temasuk family Lymnaeacidae. Lymnaea rubiginosa merupakan induk
semang antara cacing hati Fasciola gigantica di Indonesia. Di Afrika Lymnaea
natalensis, di Pakistan serta India adalah Lymnaea rufescens, Lymnaea truncatula
di Eropa dan Lymnaea tomentosa di Australia. (Kusumamiharja 1992). Siput
Lymnaea rubiginosa bentuk oval dengan lingkaran spiral pada ujung ekor.
Dinding rumah transparan, berwarna kuning coklat atau agak kehitaman (Suweta
1978).
2. 1.3. Patogenesa dan Gejala Klinis
Faciola spp, hidup di dalam tubuh ternak yang terinfeksi sebagai parasit di
dalam saluran empedu. Hidup dari cairan empedu, merusak sel-sel epitel, dinding
empedu untuk mengisap darah penderita. Cacing dewasa dianggap sebagai
pengisap darah yang setiap ekornya mampu menghabiskan 0,2 ml darah setiap
hari (Kusumamiharja 1992). Secara umum patogenesa dan gejala klinis yang
8
disebabkan cacing hati (Fasciola spp) tergantung dari derajat infeksi dan lamanya
penyakit. Serta faktor lain seperti lokasi di dalam induk semang, jumlah cacing
yang menginfeksi, invasi telur, larva dan cacing dewasa di dalam jaringan (Brown
1979).
Gejala klinis fasciolosis dapat bersifat akut dan kronis (Anonim 2004).
Pada sapi dan kerbau umumnya
bersifat kronis akibat dari infeksi yang
berlangsung sedikit demi sedikit (Kusumamiharja 1992). Gejala klinis yang
ditimbulkan dapat pula bersifat subakut yaitu berupa kelemahan, anoreksia, perut
kembung dan terasa sakit apabila disentuh (Kusumamiharja 1992). Gejala akut
pada sapi berupa gangguan pencernaan yaitu gejala konstipasi yang jelas dengan
tinja yang kering dan kadang diare, terjadi pengurusan yang cepat, lemah dan
anemia. Kematian mendadak pada kambing dan domba (Anonim 2004). Gejala
kronis berupa penurunan produktivitas dan pertumbuhan yang terhambat pada
hewan muda, keluar darah dari hidung dan anus seperti pada penyakit antrax,
kelemahan otot berupa gerakan–gerakan yang lamban, nafsu makan menurun,
selaput lendir pucat, bengkak diantara rahang bawah (bottle jaw), bulu kering,
rontok, kebotakan, hewan lemah dan kurus.
Pemeriksaan pasca mati penderita fasciolosis akut menunjukkan terjadinya
pembendungan dan pembengkakan hati, bercak-bercak warna merah baik di
permukaan sayatan maupun di sayatannya, kantung empedu dan usus mengadung
darah. Kondisi kronis di temukan dinding empedu dan saluran empedu menebal,
anemia, kurus, hidrotoraks, hiperperikardium, degenarasi lemak dan sirosis hati
(Anonim 2006).
Epidemiologi dan Kerugian Ekonomi
Fasciola gigantica merupakan cacing hati asli Indonesia, sedangkan
Fasciola hepatica diduga masuk ke Indonesia bersama-sama dengan sapi-sapi
yang didatangkan dari luar negeri. Val velzen, merupakan orang pertama yang
melaporkan penemuan adanya cacing Fasciola spp pada hewan ternak kerbau
yang mati karena Rinderpest di Tanggerang pada tahun 1890 (Mukhlis 1985).
Pada umumnya infeksi Fasciola spp menyerang sapi, domba dan kambing. Selain
itu juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, anjing, rusa, kelinci, marmot,
9
kuda, bahkan infeksinya pernah ditemukan pada manusia di Cuba, Prancis
Selatan, Inggris dan Aljazair (Brown 1979 dan Cheng 1973). Infeksi pada
manusia kurang dari 1% (Noble dan Elmer 1989). Telur Fasciola juga berhasil
ditemukan pada sampel tinja badak Jawa dari Suaka Marga Satwa Ujung Kulon
(Pangihutan 2007).
Tingkat prevalensi penyebaran cacing hati (Fasciola spp) pada ternak
masih menunjukan angka-angka yang tinggi, terutama di negara-negara
berkembang termasuk Indoneisa. Prevalensi penyebaran Fasciola spp di Indonesia
menurut FAO (2007), mencapai 14%-28%. Prevalensi cacing Fasciola spp pada
domba yang dipotong di RPH Pegirian Kota Surabaya sebesar 29 % (Damawi
dan Irsad 2004). Menurut Suweta (1982), prevalensi infeksi cacing hati di
Propinsi Bali
yaitu sebesar 36,62%, untuk Kabupaten Karangasem sebesar
30,33%, Kabupaten Buleleng 29,67%, Kabupaten Bangli 31,33%, Kabupaten
jembrana 33,67%, Kabupaten Klungkung 35,33 %, Kabupaten Badung 41,33%,
Kabupaten Gianyar 43,33% dan Kabupten Tabanan sebesar 48,00%. Menurut
informasi terdahulu tingkat infeksi cacing hati di Jawa Timur di dapatkan sebesar
63,2% (Soesetyo 1975 yang diacu dalam Suweta 1982).
Infeksi pada sapi dan kerbau lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
kambing dan domba, pada sapi dan kerbau mencapai 25-30% pada domba dan
kambing 6-10 % (Anonim 2006). Kejadian infeksi Fasciola spp berkisar antara
50-80% untuk sapi dan kerbau di pulau Jawa dan dibawah 10% untuk pulau
Sumba (Muchlis 1985). Menurut Resang (1984) persentasi kejadian untuk seluruh
Indonesia rata-rata 25% dan 60% untuk pulau Jawa.
Kejadian infeksi cacing hati di Indonesia, dari dataran rendah sampai
ketinggian 2000 m tetap ditemukan Fasciola gigantica. Hal ini karena Lymnaea
rubiginosa merupakan satu-satunya siput yang menjadi hospes antara mampu
hidup baik di dataran rendah maupun dataran tinggi (Mukhlis 1977) diacu dalam
(Suweta 1985). Siput dapat ditemukan dalam air yang mengalir dengan kecepatan
dibawah 20 cm tiap detik. Dalam air yang tergenang dan air yang keruh tidak
ditemukan, hal ini dimungkinkan kandungan oksigen yang rendah dan lebih tinggi
pada air jernih dan bergerak (Brotowijoyo1987). Lymnaea rubiginosa tidak tahan
kekeringan, tanpa makan dalam lumpur yang memiliki kelembaban 35 % siput
10
mati dalam waktu 2-14 hari, kelembaban 76 % mati dalam 4-16 hari dan dalam
kelembaban 80% mati dalam 8-16 hari. Kelangsungan hidup cacing hati
tergantung pada kehadiran siput serta kecocokan toleransi siput dan fase hidup
bebas cacing, terutama suhu dan pH air (Kusumamiharja 1992).
Kerugian akibat infeksi cacing sulit diperkirakan, kerugian yang
diakibatkan cacing hati biasanya berupa kematian terutama pada pedet, penurunan
produksi, keterlambatan pertumbuhan, kerusakan jaringan, penurunan berat
badan, penurunan daya tahan tubuh, penurunan tenaga kerja pada ternak kerja
juga dapat menyebabkan penurunan mutu daging. Kerusakan organ tubuh yang
mengakibatkan diafkir pada waktu infeksi daging, pembayaran tenaga profesional,
biaya pembelian obat-obatan serta me nurunnya efisiensi makanan (Levine 1990,
Suweta 1982).
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada umumnya dijumpai angka yang
tinggi. Kerugian dibeberapa daerah di Indonesia bervariasi, infeksi pada sapi dan
kerbau ditaksir mencapai 5-7,5 juta kilogram daging pertahun. Kerugian mencapai
Rp.513 miliar pertahun (Anonim 2006). Menurut informasi terdahulu hasil survai
Direktorat Jendral Peternakan Jakarta (1973;1980) kerugian ekonomi akibat
infeksi cacing hati ditaksir sekitar 22 milyard rupiah pertahun, kerugian ini
merupakan kerugian nomor dua terbesar setelah New Castle Disease. Menurut
FAO (2007), kerugian akibat infeksi cacing hati (Fasciola spp) di Indonesia
mencapai 32 juta $ pertahun atau sekitar 28%. Pada sapi di Pulau Bali kerugian
dapat mencapai Rp.445.220.800,- pertahun
(Suweta et al. 1978). Di Inggris
kerugian yang ditimbulkan pernah diperkirakan sebesar $ 200,000 setiap tahun
(Lapage 1956). Di Amerika Serikat, cacing hati menyebabkan kerugian karena
kematian setiap tahun sebesar $ 3.002.000 ditambah $ 1.657.000 disebabkan hati
yang diafkir pada sapi dan $ 98.000 pada domba (Brown 1979).
2.1.5. Diagnosis.
Penegakan diagnosa berdasarkan gejala klinis yang diperkuat dengan
penemuan telur cacing dalam tinja (Kusumamiharja 1992). Telur Fasciola bentuk
ovoid dan memiliki operkulum di salah satu kutubnya. Telur cacing ini memiliki
11
kerabang telur yang tipis. Di dalam telur dapat ditemukan blastomer yang
memenuhi rongga telur (Gambar3).
a
b
c
Gambar 3. Telur Fasciola spp. (a) Operkulum, (b) Kerabang telur,
(c) Blastomer
Menurut Brown (1979) dapat dilakukan uji ikat komplemen (CFT) dan
reaksi intradermal dengan antigen Fasciola untuk mendiagnosa infeksi ekstra
hepatik atau apabila tidak ditemukan telur pada pemeriksaan langsung. Antigen
Fasciola sebanyak 0,2 ml disuntikkan intradermal setelah sebelumnya dilakukan
pencukuran rambut. Setelah 15-30 menit daerah suntikan diperiksa untuk melihat
terjadinya penebalan kulit yang mengeras (induras) dengan mengukur diameter
daerah penebalan. Hasil positif apabila diameter penebalan lebih besar atau sama
dengan 15 mm, hasil negatif apabila diameter kurang dari 15 mm, harus dengan
resep dokter hewan (Deptan 2006). Resiko terjadinya infeksi pada suatu lokasi
penggembalaan juga dapat diketahui dengan memeriksa adanya metacercaria pada
contoh rumput yang dikirim (Anonim 2004).
2.1.6. Pengobatan.
Benzimidazol sintesis dengan dosis 5 mg/kg BB dan 10 mg/kg BB sebagai
faciolicidal pada domba (Anonim 2002). Albendazol plus Closantel yang di
berikan secara oral dapat membunuh Fasciola gigantica, cacing pita dan
nematoda (100%) (Al-Quddah at all. 1998). Fenbendazol dan Clorsulon dengan
dosis 25mg/kg BB dan dosis 35mg/kg BB dapat mengurangi infeksi cacing hati
dewasa (99,6%) dan cacing hati muda (Malone et al. 1997). Closantel dan
Rafoxanide dengan dosis masing-masing 7,5 mg/kg BB dan 10 mg/kg BB dapat
12
digunakan untuk mengontrol Haemonchus spp dan Fasciola spp (Swan 1999).
Diamphenethide dengan dosis 10 mg/kg BB juga dapat digunakan untuk
pengobatan infeksi Fasciola spp pada domba (Anonim 2002).
2.1.7. Pengendalian
Pencegahan
yang
efektif
sulit
dilakukan
karena
sulit
untuk
menghindarkan sapi dari sawah atau daerah basah yang merupakan habitat siput,
mungkin dapat digunakan bebek yang digembalakan sehabis panen untuk
memberantas siput (Kusumamiharja 1992).
Pencegahan jangka panjang
tergantung eradikasi penyakit pada binatang herbivora, pengobatan untuk binatang
peliharaan
mungkin
dapat diberikan,
tetapi untuk binatang liar
tidak
memungkinkan. Infeksi pada manusia di daerah endemi dapat dicegah dengan
tidak makan sayuran mentah (Brown 1979). Menurut Suweta (1982), upaya
pengendalian penyebarluasan penyakit dapat dilaksanakan dengan memutuskan
siklus hidup cacing, yaitu dengan memberantas siput yang hidup di air
persawahan dan lainnya dengan cara:
a. Mengeringkan tempat-tempat berair yang tidak diperlukan sehingga
siput-siput mati kekeringan
b. Dengan zat kimia, antara lain perusi (CuSO4) yang ditaburkan ke
dalam lahan berair. Cara ini tidak dianjurkan, karena menimbulkan
pencemaran lingkungan.
c. Dengan menggalakan pemeliharaan itik (bebek) di lahan sawah, karena
bebek
akan
memakan
siput-siput
yang
menjadi
tempat
berkembangbiak larva cacing hati.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan obat cacing yang diberikan
setiap 2 bulan sekali (BPPTP Kalbar 2006). Menurut Lubis (1983) pencegahan
infeksi cacing hati dapat dilakukan dengan pemberian ransum yang baik sangat
perlu diperhatikan untuk menambah daya tahan ternak. Disamping itu sebaiknya
dilakukan pelayuan hijauan sebelum diberikan pada ternak agar larva yang
mencemari hijauan tersebut mati.
13
2.2. Gambaran Umum Sapi Bali
Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang cukup penting karena
terdapat dalam jumlah yang cukup besar dengan wilayah penyebaran yang luas
(Handiwirawan dan Subandriyo 2002). Sapi Bali merupakan domestikasi
(penjinakan) banteng atau sapi liar yang dilakukan dari Jawa dan Bali sekitar
5.000-10.000 tahun lalu. Banteng dan sapi Bali mempunyai kromosom yang
identik, dan mempunyai kesamaan bentuk tulang kepala (Soeharsono 2002).
Kemurnian genetis sapi Bali masih terjaga sampai saat ini karena ada undangundang yang mengatur pembatasan masuknya sapi jenis lain ke Pulau Bali
(Bandini 2002).
Populasinya pada tahun 1999 mencapai 27% dari seluruh sapi potong yang
ada di tanah air (Bandini 2004). Menurut Soeharsono (2002), populasi sapi bali di
Indonesia diperkirakan mencapai 4 juta ekor, jumlah ini merupakan 25 % dari
populasi sapi di Indonesia.
Sapi Bali memiliki keunggulan terutama kemampuan adaptasinya dalam
lingkungan dengan ketersediaan pakan kualitas rendah dan tingkat fertilitas yang
tinggi (Hadiwirawan dan Subandriyo 2002). Berdasarkan (Jurnal Hemera Zoa
1983 diacu dalam Soeharsono 2002), 3.554 sapi Bali betina usia produktif dalam
setahun menghasilkan kelahiran hidup 1.999 anak (atau 56 anak tiap 100 sapi
betina). Ketahanan sapi Bali pada kondisi kering terletak pada kemampuannya
yang luar biasa menyimpan air di dalam tubuh. Disamping itu sapi bali mampu
mencerna unsur Nitrogen lebih banyak dari hijauan bergizi rendah dibandingkan
dengan sapi lain.
Sejak 30 tahun yang lalu melalui Departemen Pertanian, pemerintah telah
berupaya untuk meningkatkan kualitas sapi Bali, antara lain melalui teknologi
kawin suntik (inseminasi buatan) menggunakan mani beku dari pejantan terpilih.
Upaya ini baru sebatas menggantikan sapi jantan, belum menghasilkan stok sapi
yang benar-benar berkualitas. Pada tahun 1980 pernah dicoba teknologi transfer
embrio tetapi tidak diteruskan karena terlalu mahal (Soeharsono 2002). Pada saat
ini sedang digalakan upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali di Propinsi Bali
yaitu dengan seleksi dan uji keturunan melalui persilangan dengan bangsa sapi
Bos taurus dan Bos indicus (Handiwirawan dan Subandriyo 2002).
14
2.3. Gambaran Umum Kabupaten Karangasem Bali
2.3.1. Kondisi Geografis
Kabupaten Karangasem terletak di ujung Pulau Bali di antara 80 10-80 25
Lintang Selatan dan 115 0 25-1150 42 Bujur Timur. Kabupaten Karangasem terdiri
dari delapan kecamatan yaitu Kecamatan Rendang, Selat, Sidemen, Bebandem,
Manggis, Karangasem, Abang dan Kubu. Kecamatan Rendang dan Selat berada
pada ketinggian di atas 500 m sampai mencapai puncak G. Agung 3.142 m.
Kecamatan Sidemen terletak di atas 500 m sampai 800 m dengan daerah sekitar
perbukitan dan sawah. Kecamatan Bebandem berada pada ketinggian 400m1.500m. Kecamatan Manggis terletak pada ketinggian 0 sampai500 m diatas
permukaan laut dan Kecamatan Karangasem terletak pada ketinggian 0 ampai750
m diatas permukaan laut. Kecamatan Abang dan Kubu terletak pada ketinggian 0
sampai ketinggian puncak G. Agung 3.142m.
Suhu udara di Kecamatan Sidemen pada siang hari mencapai mencapai
330C dan malam hari 260C. Dengan rata-rata kelembaban mencapai 67%-95%.
Suhu udara di Kecamatan Selat pada siang hari mencapai 330C dan 240C. Curah
hujan di Kecamatan Selat mencapai 3.785 ml, di Kecamatan Sidemen 2.801 ml,di
Kecamatan Manggis (Desa Selumbung) 1.964 ml dan Kecamatan Karangasem
mencapai 903 ml (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Karangasem,
2003). Hasil pengukuran suhu di Kecamatan Karangasem pada siang hari
mencapai 310C dan malam hari 270C. Suhu udara di Kecamatan Manggis pada
siang hari mencapai 320C dan suhu malam hari mencapai 280C (Dinas Pertanian
Tanaman Pangan
yang diacu dalam Artama 2005). Gambar dibawah ini
merupakan peta lokasi pengambilan sampel tinja.
15
Gambar 4 peta lokasi pengambilan sampel Kabupaten Karangasem, Bali.
Gambar 4. peta lokasi pengambilan sampel Kabupaten Karangaem, Bali
(Anonim 2007)
2.3.2. Profil Peternak dan Manajemen Peternakan
Menurut Artama (2005) peternak sapi Bali yang ada di wilayah studi di
Kabupaten Karangasem didominasi oleh peternak yang berumur 40-50 tahun
sebanyak 91 orang (36%), 30-40 tahun 67 orang (27%), 50-60 tahun 42 orang
(17%), 20-30 tahun 35 orang (14%), umur lebih dari 60 tahun 11 orang (4%) dan
umur 10-20 tahun 4 orang (2%). Latar belakang pendidikan peternak, pendidikan
mereka terdiri atas tidak tamat SD berjumlah 122 orang (48%), tamat SD 74 orang
(30%), tamat SMP 22 orang (9%), tamat SMA 27 orang (11%), dan tamat
perguruan tinggi 5 orang (2%). Pengalaman beternak mereka cukup bervariasi.
Pengalaman beternak sapi selama 0-5 tahun sebanyak 9 orang (4%), 5-10 tahun
16
29 orang (12%), 10-15 tahun sebanyak 32 orang (13%), dan lebih dari 15 tahun
sebanyak 180 orang (71%).
Pada umumnya pola pemeliharaan sapi bali di Kabupaten Karangasem
dengan sistem kadas atau memelihara sapi milik orang lain (Sulityowati 2002).
Survei Artama (2005) di wilayah studi menunjukkan peternak yang memiliki
Kandang permanen 35 unit (22,06%) dan Kandang semi permanen 196 unit
(77,94%). Lokasi kandang dengan pemukiman peternak jaraknya kurang dari 10
m sebanyak 40 orang (16%); berjarak 10-20 m 41 orang (15,40%); berjarak 20-30
m 45 orang (18%); dan lebih dari 30 m mencapai 124 orang (49,60%).
Umumnya peternak yang menjaga kebersihan kandang dan ternak dengan
membersihkan kandang (162 orang/65,65%) dan memandikan ternaknya (244
orang / 93,55%). Namun jumlah sebagian lain ada yang tidak membersihkan
kandang sebanyak 86 orang (34,35) dan yang tidak memandikan ternak 6 orang
(6,45%).
Penanganan limbah dilakukan dengan penampungan 155 orang (59,63%).
Tinja yang digunakan untuk pupuk oleh peternak berjumlah 98 orang (29,57%)
dan yang dibiarkan saja 145 orang (69,26%). Sumber air yang dipergunakan
adalah air sungai sebanyak 154 oranng (61,60%) dan selebihnya menggunakan air
parit sawah, air sumur, air PAM dan mata air.
Kejadian diare mencapai 42 kasus selama penelitian. Diare berlangsung 12 minggu 39 kasus (32%, 2-4 minggu 3 kasus (2%). Diare pada umur kurang dari
enam bulan mencapai 32 kasus (26%), pada umur 6-12 bulan 8 kasus (6%).Diare
warna hijau 22 kasus (18%) dan diare berdarah 20 kasus (16%).
17
BAB III
METODOLOGI
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2005-Oktober 2006 di
Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sampel tinja yang diperiksa dalam penelitian ini
diambil oleh drh. I Ketut Artama (mahasiswa S2 Program Studi Sains Veteriner
2005).
3.2. Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel tinja segar dilakukan pada sapi bali dengan tiga variasi
umur, yaitu umur kurang dari enam bulan, 6-12 bulan dan lebih 12 bulan.
Sebanyak 257 sampel tinja diambil dari delapan kecamatan diantaranya empat
kecamatan terletak di dataran rendah (Kecamatan Manggis, Karangasem, Abang
dan Kubu) dan empat kecamatan lain terletak di dataran tinggi (Kecamatan
Rendang, Selat, Sidemen, dan Bebandem). Sampel diambil secara acak bertingkat
(Multiple Stage Random Sampling) (Gulo 2002, Bhisma 2003). Dari delapan
kecamatan terpilih empat kecamatan terdiri dari dua kecamatan didataran tinggi
dan dua kecamatan di dataran rendah. Dua kecamatan di dataran tinggi adalah
Kecamatan Selat dan Sidemen, sedangkan dua kecamatan di dataran rendah yaitu
Kecamatan Manggis dan Karangasem. Di Kecamatan Manggis terpilih dua desa
yaitu Desa Dauhtukad dan Selumbung, sedangkan di kecamatan Karangasem
terpilih dua desa yaitu Desa Padangkerta dan Amlapura. Di Kecamatan Sidemen
terpilih Desa Sedimen dan Tri Ekabuana kemudian di Kecamatan Selat terpilih
Desa Selat dan Muncan.
Sampel tinja yang diambil diawetkan dengan kalium bikromat 2%
(K2Cr2O7 2%) dan disimpan dalam lemari es pada suhu 40 C sampai saat
pemeriksaan sampel tinja.
18
3.3. Metode Pemeriksaan Telur
Pemeriksaan sampel tinja ditinjau dengan metode filtrasi/ DBL. Tinja
sebanyak dua gram dihomogenkan dalam air kran dalam sebuah gelas.
Selanjutnya suspensi tinja disaring secara bertingkat dengan filter ukuran celah
permiabel 400µm, 100µm, dan 45µm sambil terus dialiri air kran yang mengalir.
Endapan material yang tersaring pada filter 45µm dikumpulkan dengan cara
menyemprot endapan dengan air kran lalu ditampung dalam cawan petri. Filtrat
dalam cawan petri ditambahkan air secukupnya dan Metilen blue lalu diperiksa
dibawah mikroskop untuk menghitung jumlah telur cacing hati (Faecal Egg
Count). Telur cacing hati yang ditemukan kemudian dihitung dan jumlahnya
dinyatakan sebagai jumlah telur Fasciola spp dalam tiap gram tinja (Vatta dan
Krecek 2005):
Jumlah telur Fasciola spp (TTGT) = Jumlah telur total
Berat sampel feses (gram)
3.4. Analisis Data
Hasil pemeriksaan telur Fasciola spp dalam tinja digunakan untuk
menghitung prevalensi Fasciola spp pada masing-masing kelompok umur, jenis
kelamin dan lokasi peternakan pada sapi Bali. Prevalensi infeksi Fasciola spp
dianalisis dengan uji Duncan (Bauer 1999). Asosiasi antara prevalensi infeksi
dengan beragai faktor resiko dianalisis dengan uji khi Kuadrat (?2) (Wayne 1990;
Sugiarto et al. 2003) pada selang kepercayaan 95%, dan dihitung nilai resiko
relatif (RR) (Martin et al. 1987).
v Prevalensi dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
^
?
= Jumlah sapi yang positif cacing hati
Ukuran contoh
v Selang kepercayaan diduga dengan persamaan:
^
?
±
^
keterangan:
^
?
^
Z a / 2 v ?(1-?)
n
= Prevalensi dugaan
19
n =Ukuran contoh
Z a / 2 = Nilai normal baku pada a/2
(Pada penelitian ini di gunakan a = 0,05 atau
pada tingkat kepercayaan 95%)
a = Tingkat kepercayaan (1- a) 100%
v Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) diduga dengan:
x ±t
a/2,v
S
a
Keterangan:
x = Rataan TTGT
S = Ragam
n = Ukuran contoh
ta/2,v
= Nilai t-student pada a/2 dengan derajat bebas v
Untuk melihat asosiasi antara kejadian infeksi cacing hati terhadap
perbedaan lokasi, jenis kelamin dan umur digunakan statistik ? 2 dengan persamaan
2
? =?
(?i-oi)²
?i
ei = Nilai harapan pada lokasi/ jenis kelamin/ umur ke-i
oi = Nilai observasi dengan lokasi/ jenis kelamin/umur ke-i
v untuk melihat asosiasi antara kejadian infeksi cacing hati terhadap
perbedaan lokasi, jenis kelamin dan umur digunakan resiko relatif (RR)
yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
20
Tabel 1. Penghitungan Resiko relatif cacing hati pada lokasi yang berbeda
Lokasi
Infeksi Fasciola spp
Jumlah
+
-
Dataran rendah
a
b
a+b
Dataran tinggi
c
d
c+d
a+b
b+d
n
Jumlah
Keterangan: a; b; c; dan d = Jumlah sapi pada setiap sel
Tabel 2. Penghitungan Resiko relatif infeksi cacing hati pada jenis kelamin yang
berbeda
Jenis Kelamin
Infeksi Fasciola spp
+
-
Betina
a
b
Jantan
c
Jumlah
a+c
d
Jumlah
a+b
c+d
b+d
n
Keterangan: a; b; c; dan d = Jumlah sapi pada setiap sel
Tabel 3. Penghitungan Resiko relatif infeksi cacing hati pada umur yang berbeda
Umur
Infeksi Fasciola spp
Jumlah
+
-
< 6 bulan
a
b
a+b
> 6 bulan
c
d
c+d
Jumlah
a+b
b+d
n
Keterangan: a; b; c; dan d = Jumlah sapi pada setiap sel
Rumus: Resiko Relatif (RR) = (a / a + b) / (c /c + d)
21
BAB 1V
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Hasil pemeriksaan telur cacing sampel tinja sapi Bali dari Kabupaten
Karangasem menunjukkan prevalensi total infeksi Fasciola spp adalah sebesar
18,29%. Sapi yang terinfeksi mengeluarkan telur cacing dalam tinja dengan ratarata telur tiap gram tinja (TTGT) sebesar 7,03 telur/g (5,50-9,00 telur/g).
Prevalensi infeksi Fasciola spp pada umur lebih dari 12 bulan sebesar
30,61% (21,48%-39,73%). Nilai ini lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan sapi umur
kurang dari enam bulan yaitu sebesar 10,58% (4,40%-17,12%) dan umur 6-12
bulan sebesar 10,81% (3,73%-17,88%). Nilai rata-rata telur tiap gram tinja
(TTGT) pada umur lebih dari 12 bulan sebesar 9,26 telur/g (6,72-12,76 telur/g).
Nilai TTGT ini lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan pada sapi umur kurang dari
enam bulan sebesar 3,58 telur/g (2,57-4,77 telur/g) dan umur 6-12 bulan sebesar
5,60 Telur/g (4,07-7,71 telur/g). Nilai TTGT pada sapi umur 6-12 bulan tidak
berbeda nyata dibanding sapi yang lebih muda (Tabel 4).
Uji ?² dan resiko relatif (RR), menunjukan terdapat asosiasi (hubungan)
antara perbedaan umur terhadap infeksi Fasciola spp dengan nilai resiko relatif
sebesar 1,88 (p<0,05). Hal ini berarti menunjukkan sapi Bali pada tingkat umur
lebih dari 12 bulan memiliki risiko 1,88 kali lebih tinggi dibandingkan sapi Bali
pada tingkat umur kurang dari enam bulan dan umur 6-12 bulan.
Tabel 4. Prevalensi, ?² dan resiko relatif (RR) cacing hati pada sapi Bali pada
berbagai tingkat umur
Umur
< 6 bulan
Jumlah
Spesimen
Total
+
85
9
6-12 bulan
74
> 12 bulan
98
Total
257
Rata-rata
Prevalens ( %)
10,58
(4,04-17,12)a
8
10,81
(3,73-17,88)a
30
30,61
(21,48-39,73)b
47
18,29
Jumlah TTGT
(rata-rata)
RR
?²
3,58
(2,57-4,77)a 16,102* 1,88
5,60
(4,07-7,71)a
9,26
(6,72-12,76)b
7,03
(5,50-9.00)
Huruf superskrip yang berbeda dalam setiap kolom menunjukkan adanya perbedaan nyata
(P < 0,05); Tanda (*) menunjukkan adanya asosiasi antar faktor.
22
Tabel 5 menunjukkan hasil pemeriksaan tinja pada jenis kelamin sapi Bali
yang berbeda. Nilai prevalensi Fasciola spp pada sapi Bali betina yaitu sebesar
20,23% (14,48%-26,17%), sedangkan pada sapi jantan adalah 13,33% (5,63%21,02%). Nilai rata-rata TTGT pada sapi Bali jantan yaitu 6,61 telur/g (3,61-12,06
telur/g) dan sapi Bali betina 7,16 telur/g (5,46-9,39 telur/g). Pada prevalensi dan
nilai rata-rata TTGT tidak didapatkan perbedaan yang nyata infeksi Fasciola spp
untuk sapi Bali pada tingkat jenis kelamin. Uji ?² dan resiko relatif (RR)
didapatkan hasil bahwa tidak terdapat asosiasi diantara kedua jenis kelamin sapi
tersebut (p>0,05).
Tabel 5. Prevalensi, ?² dan resiko relatif (RR) cacing hati pada tingkat jenis
kelamin
Jenis
Kelamin
182
Betina
Jumlah
Spesimen
Total
+
182
37
Jantan
75
10
Total
257
47
Rata-rata tingkat
Prevalensi ( %)
Jumlah TTGT
(rata-rata)
?²
20,23
(14,48-26,17)a
7,16
(5,46-9,39)a
1,74
13,13
(5,63-21,02)a
6,61
(3,62-2,06)a
18,29
RR
1,52
7,03
(5,50-9.00)
Huruf superskrip yang sama dalam setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata
(P> 0,05)
Prevalensi infeksi Fasciola spp pada sapi Bali di lokasi dataran rendah
sebesar 19,81% (12,22%-27,39%), sedangkan di dataran tinggi sebesar 17,21%
(11,19%-23,24%). Infeksi rata-rata telur tiap gram tinja (TTGT) di lokasi dataran
rendah sebesar 6,94 telur/g (4,7-10,06 telur/g), sedangkan di dataran tinggi
sebesar 7,11 telur/g (5,08-9,94 telur/g). Tidak didapatkan perbedaan yang nyata
dalam prevalensi infeksi dan nilai rata-rata TTGT infeksi Fasciola spp untuk sapi
di lokasi dataran rendah dan di dataran tinggi. Hal ini diperkuat dengan uji ?² dan
resiko relatif (RR) yang dilakukan untuk mengetahui adanya asosiasi antara
tingkat kejadian infeksi Fasciola spp dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian tersebut. Tabel 6 menunjukkan tidak ada asosiasi antara lokasi dataran
rendah dan lokasi dataran tinggi (p>0,05).
23
Tabel 6. Prevalensi, ?² dan resiko relatif (RR) cacing hati pada sapi Bali di lokasi
dataran rendah dan dataran tinggi
Lokasi
JumlahJJumlah Spesimen
Total
+
Dt.Rendah
106
21
Rata-rata
Tingkat
Prevalensi (%)
Dt. Tinggi
151
26
19.81
(12,23-27,39)ª
17,22
(11,19-23,24)ª
Total
257
47
18,29
Jumlah
TTGT
( Rata-rata)
6,94
(4,7-10,06)a
7,11
(5,08-9,94)a
7,03
(5,50-9.00)
?²
RR
0,28
1,15
Huruf superskrip yang sama dalam setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata
(P> 0,05)
4.2. Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Fasciola spp
pada sapi Bali dari Kabupaten Karangasem, Bali sebesar 18,29%. Angka tersebut
jauh lebih rendah dari hasil penelitian Suweta pada tahun 1982 di Kabupaten yang
sama yaitu sebesar 30,33%. Perbedaan hasil ini diduga berkaitan dengan kurun
waktu penelitian yang berbeda jauh, serta metode diagnosa yang digunakan. Pada
penelitian ini prevalensi infeksi dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah
telur cacing hati dalam sampel tinja, sedangkan pada penelitian Suweta didasarkan
hasil pemeriksaan postmortem di Rumah Potong Hewan. Prevalensi infeksi pada
penelitian terdahulu lebih tinggi karena pemeriksan postmortem dapat mendeteksi
keberadaan cacing dewasa maupun cacing muda. Pemeriksaan telur cacing dalam
tinja hanya dapat mendeteksi keberadaan cacing setelah mereka melampaui masa
prepaten pada saat cacing dewasa mulai menghasilkan telur. Menggunakan
metode yang serupa dengan penelitian ini, Lubis (1983) mencatat prevalensi
fasciolosis pada sapi potong di Kabupaten Sumedang sebesar 14,04%.
Penelitian ini juga menemukan adanya asosiasi antara faktor umur sapi
dengan kejadian infeksi Fasciola spp pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem,
Bali (Tabel 4). Perbedaan yang nyata pada prevalensi dan derajat infeksi cacing
hati antara sapi berumur lebih dari 12 bulan dengan sapi yang lebih muda
disebabkan pola pemeliharaan ternak yang berbeda diantara ketiga kelompok
umur. Sapi dewasa pada umumnya digunakan untuk mengolah lahan pertanian.
24
Sapi yang sebagian dikandangkan dan digembalakan di sawah mempunyai
peluang untuk terinfeksi oleh Fasciola spp relatif tinggi. Disamping itu peternak
di Kabupaten Karangasem mempunyai kebiasaan (93,55%) untuk memandikan
ternaknya (Artama 2005). Metacercaria berada didalam air atau menempel di
bawah batang padi, rumput dan tumbuhan-tumbuhan lain yang berada disekitar
sungai. Apabila sapi minum dan makan tanaman tersebut maka sapi akan
terinfeksi larva metacercaria (Brown 1979). Menurut Suweta (1982) sapi yang
sebagian dikandangkan dan digembalakan di sawah me mpunyai peluang untuk
terinfeksi oleh cacing hati relatif tinggi.
Tingkat prevalensi infeksi yang relatif rendah pada sapi Bali kurang dari
enam bulan dan umur 6-12 bulan, dapat pula dihubungkan dengan kondisi asam
lambung yang tidak mampu merusak lapisan luar kista metacecaria. Menurut
Dawes (1961) yang diacu dalam Suweta (1982), asam lambung dan enzim
pencernaan belum berfungsi secara optimal dalam sapi muda sehingga tidak
mampu merusak semua lapisan kista metacercaria. Enzim ini hanya mampu
merusak lapisan luarnya saja yang mengakibatkan proses ekskistasi tidak berjalan
sempurna.
Pengaruh umur erat kaitannya dengan kurun waktu infestasi terutama di
lapangan. Makin tua umur sapi makin tinggi frekuensi infeksinya. Pada sapi muda
lebih rendah frekuensinya, hal ini disebabkan relatif sering kandangkan dalam
rangka penggemukan (sapi kereman). Selain itu juga frekuensi makan rumput sapi
muda masih rendah dibandingkan sapi dewasa, hal ini karena sapi muda masih
minum air susu induknya, sehingga kemungkinan untuk terinfekasi larva
metacercaria rendah. Seddon (1967), tingkat prevalensi infeksi cacing hati pada
sapi di Australia menunjukkan peningkatan sejalan dengan meningkatnya umur
sapi.
Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya asosiasi antara jenis kelamin
sapi Bali dengan prevalensi dan derajat infeksi cacing hati. Fenomena ini juga
diamati oleh Suweta (1978), yang memperlihatkan bahwa jenis kelamin tidak
mempengaruhi kepekaan sapi Bali terhadap infeksi Fasciola. Sebaliknya pada
studi lain Suweta (1982) mengamati bahwa sapi jantan memiliki kerentanan lebih
tinggi terhadap infeksi cacing hati dibandingkan sapi betina. Hal tersebut
25
berkaitan dengan hormon. Menurut Dobson (1964; 1965; 1966) yang diacu oleh
Suweta (1982), hormon estrogen pada ternak betina memiliki sifat pemacu sel-sel
Reticulo Endotelial System (RES) dalam membentuk antibodi terhadap parasit.
Akibatnya ternak betina relatif lebih tahan terhadap berbagai jenis penyakit dan
ternak betina juga jarang dipekerjakan terutama dalam kondisi bunting dan
menyusui (Suweta 1982).
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa faktor ketinggian lokasi dari
permukaan laut tidak berasosiasi terhadap kejadian infeksi Fasciola spp pada sapi
Bali (Tabel 6). Pada penelitian yang dilakukan sekitar 25 tahun yang lalu, Suweta
(1982) juga tidak menemukan adanya perbedaan yang nyata antara prevalensi
infeksi cacing hati antara berbagai daerah di Bali dengan luasan lahan persawahan
yang berbeda. Hal ini mungkin disebabkan kondisi mi kroklimat dan lingkungan di
dataran tinggi dan dataran rendah saat pengambilan sampel tinja tidak berbeda
nyata (Artama 2005). Waktu pengambilan sampel (Februari dan Maret) termasuk
pada musim kemarau yang biasanya berlangsung antara bulan Maret sampai bulan
Agustus. Musim hujan di Kabupaten Karangasem biasanya berlangsung selama
bulan September sampai bulan Februari.
Musim kemarau dapat mengganggu perjalanan siklus hidup cacing hati
(Boray 1985). Di Nigeria dilaporkan bahwa tingkat infeksi cacing hati pada sapi
dalam musim hujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau (Seddon 1967).
Kondisi tanah yang kering dan atmosfer yang cukup panas menyebabkan tinja
cepat mengering, sehingga telur cacing hati menjadi rusak dan mati. Telur
Fasciola spp menetas pada suhu optimum 26 0C (Kusumamiharja 1992). Cacing
hati (Fasciola spp) tidak berkembang biak pada siput dibawah suhu 100C dan
hidup pada suhu 10-360C. Sebaliknya, pada suhu 37 0C membunuh sebagian besar
telur dan miracidium (Levine 1990).
Kelangsungan hidup serta penyebaran cacing hati tergantung pada
kehadiran siput (Lymnaea rubiginosa) sebagai induk semang antara. Miracidium
akan mati apabila tidak menemukan siput, walaupun metacercaria tahan terhadap
kondisi kering (Brown 1979). Siput Lymnaea rubiginosa yang biasanya hidup di
sawah tidak tahan kekeringan dan akan mati apabila tidak ditemukan tempat yang
berair (Kusumamiharja 1992).
26
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
• Derajat prevalensi infeksi cacing hati (Fasciola spp) di Kabupaten
Karangasem pada penelitian cukup tinggi (18,29%), berkaitan dengan
musim, manajemen, sanitasi dan pendidikan peternak .
• Faktor perbedaan lokasi peternakan tidak mempengaruhi tingkat infeksi
cacing hati karena berkaitan dengan waktu pengambilan sampel tinja yang
dilakukan pada musim kemarau dan kondisi mikroklimat kedua lokasi
yang hampir sama.
• Faktor perbedaan jenis kelamin tidak
mempengaruhi tingkat infeksi
cacing hati.
• Faktor perbedaan umur mempengaruhi tingkat infeksi cacing hati. Umur
lebih dari 12 bulan rentan terhadap infeksi cacing hati dibandingkan umur
kurang dari 6 bulan dan umur antara 6-12 bulan dengan resiko relatif (RR)
1,88.
5.2. Saran
Berdasarkan
hasil
penelitian disarankan kepada peternakan rakyat di
Kabupaten Karangasem Bali untuk lebih memperhatikan manajemen peternakan.
Ternak sapi betina lebih berisiko untuk terinfeksi Fasciola spp, agar lebih
diperhatikan kesehatannya. Perlu dilakukan pemeriksaan telur tiap gram tinja
(TTGT) secara teratur untuk mengontrol kesehatan ternak terhadap infeksi parasit.
.
27
DAFTAR PUSTAKA
Achjadi KR. 1986. Studi Tentang Tingkat Kesuburan Sapi Bali dalam Usaha
Pengembangannya di Indonesia. Studi Kasus di Propinsi Kalsel.
[laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Jurusan
Reproduksi dan Kebidanan, Institut Pertanian Bogor.
Adiwinata RT. 1955. Tjatjing-tjatjing jang Berparasit pada Hewan Menjusui dan
Unggas di Indonesia. Hemera Zoa, 62:229-247.
Al-Quddah, Sharif, Al-Rawashdeh dan Al-Ani. 1999. Afficacy of Closantel plus
Albendazole Liquid Suspensi againtst Natural Infection of Gastrointetinal
Parasites in Camels. http/www.sciencedirect .com/science? [31 Maret
1999].
[Anonim].
2002.
Chemical
and
Pharmachemical
Buletin.
http://www.jstage.jst.go.jp/article/cpb/50/5/50 649/article/-char/en. [Mei
2002].
[Anonim]. 2004. Buku Panduan Workshop Penyakit Eksotik dan Penyakit Penting
pada Hewan Bagi Petugas Dokter Hewan Karantina. Bogor, 12-15 Januari
2004. Kerjasama Fakultas Kedokteran Hewan dan Badan Karantina
Pertanian.
[Anonim]. 2005. Sentra Pembibitan Sapi Bali Perlu dibangun tiap Kabupaten.
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/b3. htm. [30 Januari 2005].
[Anonim]. 2006a. Pengendalian Penyakit pada Domba dan Kambing.
http://primatani.litbang.Deptan.go.id/index.php?.option=Com content &
task = View & item.id = 56. [5 Oktober 2006].
[Anonim]. 2006b. Fasciola spp. http://www.med.cmu.ac.th/dept/parasite/
trematodes /Fgegg. [2 Juli 2006].
[Anonim]. 2007. Propinsi Bali Kabupaten Karangasem. ttp://www.ham.go.id/
pemetaan. asp?menu=Pelanggaran&prop=1&kab=13Tipologi Pemetaan.
[3 Juni 2007].
Arbani PR. 1992. Malaria Control Program in Indonesia. South East Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health. 23: 132- 148.
Artama IK. 2005. Studi Lintas Seksional Kriptosporidiosis pada Sapi Bali di
Kabupaten Karangasem, Bali. [tesis]. Bogor: Program Pasca sarjana,
Instutut Pertanian Bogor.
[BPPTP]. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2006.
Teknologi Penggemukan Sapi. http://www.bisnisbali.com/New/opini/t.
html. [18 Maret 2006].
28
Bandini Y. 2004. Sapi Bali. Jakarta. Penebar Swadaya.
Boray JC. 1985. Fluke of Domestic Animal. In Gaafar SM, Howard WE, Marsh
editors. Parasites, Pests and Predators-World Animal Sciensce.
Amsterdam: Elsevier Science Publisher B.
Brown HW. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi 3. B Rukmono, Hoedojo, NS
Djakaria, SD Soeprihatin, SS Margono, S Oemijati, S Gandahusada dan
W Pribadi. Penerjemah.Jakarta: PT Gramedia. Terjemahan dari: Basic
Clinical Parasitology.
Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan Parasitisme. Edisi 1. Jakarta: Media Sarana
Press.
Cheng CT. 1973. General Parasitology. New York, San Francisco, London.
Academic Press.
[DEPTAN]. Departemen Pertanian. 2004. Antigen Fasciola. http://balitnak.litbank.deptan.go.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=117
[ 20 April 2006].
[DPD.CDC] Division of Parasitic Disease Center for Disease Control. 2006.
Fascioliasis.http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Fascioliasis.htm.[22 Juli
2006].
[DPTPH]. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2003. Laporan
Statistik Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Dinas Pertanian
Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Karangasem.
Dixon KF. 1964. The Relative Suitability of Sheep and Cattle as Host For Liver
Fluke Fasciola hepatica. J. Helmint. 38:203-212.
[FAO]. Food and Agriculture Organization. Corporate Document Repository.
2005. Liver Fluke Infections. http://www.fao.org/DOCREP/004/T0584E/
T0584E03.htm. [4 September 2007]
Farag HF, Salem A, el-Hifni, Kandil M. 1991. Bhitionol (Bitin) treatment in
estabilished Fasciolosis in Egyptians. http://www.ncb.nlm.nih.gov/sites/
entrez?db=pubmed&uid=2301813&cmd=showdetailview&indexed=googl
e. [ Mei 1991].
Handiwirawan E dan Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumber Daya
Sapi Bali. Warta Zoa. 14(3):107-115. [Selasa, 7 Februari 2006].
Hyman LH.1967. The Invertebrates: Mollusca. The United Stated of America.
Harris B dan Shearer JK. 1992. Parasite Problem of Dairy Replacements. IFAS
Examonation. University of Florida.
29
Keiser
J dan Utzinger J. 2005. Emerging Foodborne Trematodiasis.
http://www.cdc.gov /ncidod/EID/vol11no10/05-0614. htm. [4 September
2007].
Kelly JD. 1977. Canine Parasitology. Sidney: The University of Sidney
Kusumamiharja S. 1978. Dovenix Sebagai Fascioliasis. Media Veteriner. 111(3):
43-44.
Kusumamiharja S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan
Piaraan di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut
Pertanian Bogor.
Levine ND.1995. Parasitologi Veteriner. S Soekardono, Penerjemah. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Texbook of Veterinary
Parasitology.
Lubis ZA. 1983.Beberapa Aspek Parasitologi pada Sapi Potong di Kabupaten
Sumedang. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut
Pertanian Bogor.
Mallone JB. Williams JC, Lutz M, Fagan N, Jacock M, Jones E, Marbury K dan
Willis E. 1997. Efficacy of concomitans early summer treatment with
Fenbendazole and Clorsulon against Fasciola hepatica and gastrointestinal
nematodes
in
calves
in
Louisiana.
http://www.ncb.nlm.nih.gov/sites/entrez?db=pubmed&uid=2301813&cmd
=showdetailview&indexed=google. [15 December 1997].
Martin S, Meek WAH dan Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. Principle
and Methods. lowa State University Press/ AMES.
Muchlis A. 1977. Fascioliasis di Indonesia. Tinjauan Masalah serta
Penanggulangannya. Seminar Nasional. Parasitologi ke-1,8-10.Desember
1977. Bogor.
Muchlis A. 1985. Identitas Cacing Hati (Fasciola sp) dan Daur Hidupnya di
Indonesia. [disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Noble AG, Elmer RN.1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Ed ke-5.
Wardiarto. Penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Terjemahan dari : Parasitology The Biology of Animal Parasites.
Pangihutan J. 2007. Telur Cacing Trematoda pada Tinja Badak Jawa (Rhinoceros
sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon. [skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Instutut Pertanian Bogor.
30
Seddon HR.1967. Disease of Domestic Animals in Australia. Di dalam:
Albiston HE, Editor. Helminth Infestations. Common Wealth of Australia:
Department of Health.
Soeharsono. 2002. "Quo valid" Sapi Bali? http://www.kompas.com/kompas-Cetak
/0408/18/ilpeng/12078116.htm. [18 Agustus 2004].
Soulsby ELJ. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated
Animal. London: Bailliere Tindall.
Swan GE. 1999. The Pharmacology of Halogenated Salicynalides and their
Anthalmintic use in animals. http://www.ncb.nlm.nih.gov/sites/entrez?db=
pubmed&uid=2301813&cmd=showdetailview&indexed=google. [2 Juni
1999].
Sugiarto, Siagian D, Sunaryanto LT, Oetomo DS. 2003. Teknik Sampling. PT
Gramedia Widia Sarana Indonesia. Jakarta.
Sulityowati A. 2002. Upaya Mendongkrak Kembali Populasi Sapi Bali.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0606/16/ekor/2656300.htm.
[16
juni 2006].
Suweta IGP, Putra GG, Septika G,dan Mayer GK. 1978. Fascioliasis pada Sapi
Bali. Buletin Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Peternakan
Udayana.
Suweta IGP. 1982. Kerugian Ekonomi oleh Cacing Hati pada Sapi Bali Sebagai
Implikasi Interaksi dalam Lingkungan Hidup pada Ekosistem Pertanian di
Bali. [disertasi]. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Suweta IGP. 1984. Laporan Pelaksanaan Penyuluhan Penggulangan penyakit
Parasiter pada Ternak di Kabupaten Gianyar. Pusat Pengabdian Pada
Masyarakat. [laporan penelitian]. Denpasar: Universitas Udayana.
Vatta AF, Krecek RC. 2005. Trematode Infection of Goats Farmed Under
Resource-Poor Conditions in South Africa. http://updetd.Up.ac.za/thesis/
available/etd 223200-233622/unrestricted/06chapter6.pdf#search=Trematode%20egg%20FEC. [26 September 2006].
Wayne WD. 1990. Applied Nonparametric Statistics. Second Edition. Georgia
State University.
Whitlock JH. 1960. Diagnosis of Veterinary Parasitism. Philadelphia: Lea and
Febiger.
31
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil analisis statistik Chi-Square
7/7/2007 7: 06:17 AM
Chi-Square Test: positif, negatif, n
Epected counts are printed below observed counts
dataran tinggi
1
positif
26
27.61
negatif
125
123.39
n
151
151.00
Total
302
dataran rendah
2
21
19.39
85
86.61
106
106.00
212
Total
47
210
257
514
Chi-Sq =
0.094 + 0.021 +
0.135 + 0.030 +
DF = 2, P-Value = 0.869
0.000 +
0.000 = 0.280
p value berbeda nyata jika nilai p < 0.05
Chi-Square Test: positif, negatif, n
Expected counts are printed below observed counts
Jantan
positif negatif
n
Total
1
10
65
75
150
13.72
61.28
75.00
Betina
2
37
145
182
364
33.28
148.72
182.00
Total
47
210
Chi-Sq =
1.007 + 0.225 +
0.415 + 0.093 +
DF = 2, P-Value = 0.485
257
514
0.000 +
0.000 = 1.740
p value berbeda nyata jika nilai p < 0.05
Chi-Square Test: positif, negatif, n
Expected counts are printed below observed counts
< 6 bulan
positif negatif
n
Total
1
9
76
85
170
15.54
69.46
85.00
6-12 bulan
2
8
66
74
148
13.53
60.47
74.00
> 12 bulan
3
30
68
98
196
17.92
80.08
98.00
Total
Chi-Sq =
47
2.756
2.262
8.139
DF = 4, P-Value
210
+ 0.617 +
+ 0.506 +
+ 1.822 +
= 0.003
257
514
0.000 +
0.000 +
0.000 = 16.102
p value berbeda nyata jika nilai p < 0.05
32
Tabel Lampiran 2 Nilai resiko relatif (RR) pada lokasi yang berbeda
Keterangan
Lokasi
Dt. Rendah
Dt. Tinggi
Total
Status
Positif
21
26
47
Total
Negatif
85
125
210
106
151
257
RRlokasi = {(a/a+b)/(c/c+d)}
= 1,15
Tabel Lampiran 3 Nilai resiko relatif (RR) pada jenis kelamin yang berbeda
Keterangan
Betina
Jantan
Status
Positif
37
10
47
Total
Negatif
145
65
210
182
75
257
RRlokasi = {(a/a+b)/(c/c+d)}
= 1,52
Tabel Lampiran 4 Nilai resiko relatif (RR) pada umur yang berbeda
Keterangan
< 6 bulan
= 6 bulan
Total
Status
Positif
9
38
47
Rrlokasi = {(a/a+b)/(c/c+d)}
= 1,88
Total
Negatif
76
134
210
85
172
257
Download