tinjauan pustaka

advertisement
3
TINJAUAN PUSTAKA
Fasciola gigantica
Klasifikasi dan Morfologi Fasciola gigantica
Fasciola gigantica dikenal dengan cacing hati merupakan parasit dari
kelas trematoda yang hidup di dalam buluh empedu sapi, domba, kambing dan
mamalia lainnya. Klasifikasi F.gigantica menurut Soulsby (1986) adalah
kingdom
: Animalia
filum
: Platyhelminthes
kelas
: Trematoda
sub kelas
: Digenea
ordo
: Echinostomida
famili
: Fasciolidae
genus
: Fasciola
spesies
: Fasciola gigantica
Gambar 1 Fasciola gigantica
Sumber: Anonim 2011
Secara makroskopis F.gigantica tampak berwarna abu-abu coklat dan
memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan F. hepatica. Bentuk
tubuh menyerupai daun, pipih dorsoventral, tidak memiliki bentuk bahu yang
jelas, tidak bersegmen, dan tidak memiliki rongga badan. Panjang tubuh cacing
dewasa mencapai 7.5 cm dan lebar 1.5 cm. Hampir seluruh permukaan tubuh
ditutupi dengan duri-duri kecil atau tegumen (Taylor 2007).
4
Fasciola sp. memiliki alat penghisap oral (sucker oral) dan alat penghisap
ventral (sucker ventral). Alat penghisap oral terletak di ujung anterior dan
mengelilingi mulut, sedangkan alat penghisap ventral terletak di sepertiga anterior
permukaan ventral tubuh atau sejajar dengan bahu. Sistem pencernaan Fasciola
sp. terdiri dari mulut, faring, esofagus dan percabangan sekum yang membentang
sampai ujung posterior tubuh. Makanan diperoleh dari sekresi empedu dan
menghisap darah induk semang. Metabolisme cacing dewasa berjalan secara
anaerob. Sisa metabolisme diekskresikan melalui saluran ekskresi berupa
gelembung ekskresi, tabung koleksi, sel-sel api (sel ekskresi) dan lubang ekskresi.
Fasciola sp. dilengkapi dengan sistem syaraf yang sederhana. Sistem
syaraf cacing dewasa terdiri atas sistem syaraf pusat, otak, serabut syaraf, dan
sistem syaraf perifer. Otak cacing dewasa dilengkapi dengan ganglia yang terletak
di samping faring. Syaraf yang keluar dari ganglia menginervasi sekitar penghisap
oral (sucker oral) dan faring, sedangkan sistem syaraf perifer mengelilingi
esofagus kemudian berjalan bilateral pada setiap sisi tubuh menginervasi dinding
tubuh, jaringan adhesi, faring dan sistem reproduksi (Fairweather et al 1998).
F.gigantica merupakan cacing hermaprodit dan memiliki sistem
reproduksi yang sangat kompleks. Sistem reproduksi jantan terdiri atas dua testis,
disertai dengan saluran vas eferens yang berjalan ke anterior kemudian bergabung
membentuk saluran vas deferens. Saluran vas deferens melebar dan membentuk
vesikula seminalis. Di depan vesikula seminalis, vas deferens dikelilingi oleh sel
ekskresi yang membentuk kelenjar prostat. Vas deferens ini kemudian diteruskan
oleh sebuah sirus berongga yang dapat keluar dari lubang kelamin yang berada di
anterior tubuh. Sistem reproduksi betina terdiri atas satu ovarium, oviduk, ootipe,
dan uterus. Sel telur yang terbentuk di ovarium diteruskan ke oviduk, kemudian
menuju ootipe yang dikelilingi oleh kelenjar Mehlis sebagai kelenjar penghasil
kulit telur. Bahan kuning telur dihasilkan oleh kelenjar vitelaria yang tersebar di
sekitar lateral batil penghisap ventral (sucker ventral) hingga ke bagian posterior
tubuh. Telur yang dihasilkan akan diteruskan melalui uterus yang berkelok-kelok
kemudian keluar dari lubang kelamin. Pembuahan cacing ini umumnya terjadi
secara silang. Sperma dari satu cacing keluar melewati sirus dan masuk ke uterus
cacing lainnya yang telah berisi sel telur (Levine 1990).
5
Gambar 2 Morfologi Fasciola sp.. (A) sistim reproduksi dan (B) sistem pencernaan
(Andrews 1998).
Keterangan: 1. penghisap oral (sucker oral); 2. faring; 3. esofagus; 4.
penghisap ventral (sucker ventral); 5. sekum; 6. lubang genital; 7. kantung
sirus; 8. vas deferens; 9. ovarium; 10. uterus; 11. ootipe; 12. duktus vitelaria;
13. testis; 14. kelenjar vitelaria
Siklus Hidup Fasciola gigantica
F.gigantica memiliki siklus hidup secara tidak langsung yaitu memerlukan
siput sebagai inang antara. Inang antara F.gigantica adalah siput Lymnaea
rubiginosa (Asia Tenggara), Lymnaea auricularia (Amerika, Asia, Pasifik) dan
Lymnaea natalensis (Afrika) sedangkan inang antara F.hepatica adalah siput
Lymnaea truncatula (Eropa), Lymnaea tomentosa (Australia) dan Lymnaea
humilis (Amerika Utara). Perbedaan inang antara ini menyebabkan kasus
fasciolosis yang terjadi di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh F.gigantica
(Levine 1990).
F.gigantica dewasa hidup di dalam buluh empedu inang definitif. Cacing
dewasa mulai produksi telur sekitar 8 hingga 10 minggu setelah infeksi
(Hutchinson et al 2007). Telur cacing dikeluarkan bersama tinja kemudian
berkembang di lingkungan. Telur F.gigantica berbentuk oval dan memiliki
ukuran yang lebih besar dibandingkan telur F. hepatica. Ukuran telur mencapai
170-190 x 90-100 µm. Pada salah satu ujung telur terdapat operkulum yang
berfungsi sebagai jalan keluar mirasidium pada saat menetas (Taylor 2007).
6
Gambar 3 Telur Fasciola sp.
Sumber: Andrews (1998).
Telur F.gigantica menetas dalam waktu 14-17 hari pada suhu lingkungan
0
28 C. Telur menetas mengeluarkan mirasidium. Mirasidium memiliki bentuk
mirip segitiga sama sisi, bagian ujung posterior lancip, memiliki sebuah papila di
pertengahan ujung anterior, epitel bersilia, dan sepasang bintik mata. Mirasidium
bergerak aktif dalam air dan melakukan penetrasi masuk ke dalam siput. Di dalam
tubuh
siput,
mirasidium
melepaskan
epitelnya
kemudian
masuk
ke
hepatopankreas dan berubah menjadi sporokista. Di dalam sporokista terdapat 1-6
bola-bola benih yang akan berkembang menjadi redia. Redia memiliki mulut,
faring yang berotot, dan sepasang tonjolan tumpul ke lateral di pertengahan
posterior tubuh. Di dalam redia terdapat bola-bola benih yang selanjutnya menetas
mengeluarkan larva berupa serkaria.
Serkaria memiliki bentuk tubuh agak bulat dengan lekukan pada ujung
posterior. Larva ini dilengkapi dengan sebuah alat penghisap anterior di sekeliling
mulut, faring berotot, sepasang sekum sederhana, sebuah alat penghisap ventral
atau asetabulum, ekor serta terdapat sejumlah kelenjar kistogenosa berwarna gelap
dan bergranula terletak di bagian lateral tubuh. Serkaria keluar dari dalam siput
(Lymnaea sp) sekitar 3-7 minggu setelah infeksi dan dipengaruhi oleh suhu
lingkungan. Serkaria aktif berenang dalam air dan menempel pada benda-benda di
sekitar permukaan air. Serkaria kemudian melepaskan ekornya dan memproduksi
bahan pembungkus kista membentuk metaserkaria (Levine 1990).
Metaserkaria dapat bertahan hidup lebih dari 6 bulan pada suhu optimal
200 C. Hewan terinfeksi melalui termakannya metaserkaria yang terdapat pada
rumput atau batang padi. Metaserkaria yang termakan akan mengalami ekskistasi
di dalam duodenum dan berubah menjadi cacing muda. Cacing muda bermigrasi
dan menembus dinding usus masuk ke rongga peritoneum dalam waktu 24 jam.
7
Sebagian cacing muda sudah menembus kapsula dan bermigrasi dalam parenkim
hati sekitar 4-8 hari setelah infeksi. Cacing tinggal di dalam parenkim hati selama
7 minggu kemudian bermigrasi masuk ke dalam buluh empedu untuk berkembang
menjadi cacing dewasa. Cacing F.gigantica dewasa mulai memproduksi telur
sekitar 8-10 minggu setelah infeksi (Levine 1990).
Gambar 4 Siklus hidup Fasciola sp.
Sumber: Bennett 1999
Patogenesis dan Gejala Klinis Fasciolosis
Fasciolosis dapat terjadi secara akut, subakut dan kronis. Fasciolosis akut
ditandai dengan adanya infeksi metaserkaria dengan jumlah yang besar dalam
jangka pendek. Menurut Mitchell (2007), kasus akut pada umumnya terjadi di
akhir musim gugur dan di awal musim dingin sedangkan di daerah tropis biasanya
terjadi pada awal musim hujan dan awal musim kemarau. Fasciolosis akut tidak
tampak gejala klinis yang jelas, ternak mati mendadak karena perdarahan akibat
rusaknya jaringan parenkim hati (Soulsby 1986).
8
Fasciolosis subakut terjadi pada akhir musim gugur sampai musim semi
(Mitchell 2007). Pada kasus ini ditemukan cacing dewasa sebanyak 500-1500
ekor di dalam buluh empedu dan telur cacing di dalam tinja kurang dari 100
(Matthews 1999). Kejadian subakut ditandai dengan adanya gejala klinis berupa
ikterus, anemia, penurunan berat badan, edema submandibular (bottle jaw), serta
perdarahan akibat dari cacing yang memakan jaringan hati (Soulsby 1986).
Fasciolosis kronis terjadi akibat dari migrasi dan keberadaan cacing
dewasa di dalam buluh empedu sehingga menyebabkan kerusakan parenkim hati.
Kejadian ini muncul pada musim dingin dan musim semi (Mitchell 2007) dengan
jumlah cacing yang ditemukan sekitar 250 ekor dan telur cacing di dalam tinja
mencapai 100 (Matthews 1999). Fasciolosis kronis ditandai dengan penurunan
nafsu makan, anemia, anoreksia, diare kronis, penurunan berat badan, bottle jaw,
cholangitis, dan fibrosis organ hati akibat dari cacing hati dewasa yang hidup
dalam buluh empedu (Soulsby 1986).
Pada daerah tropis seperti Indonesia kejadian fasciolosis banyak terjadi di
awal musim hujan dan di awal musim kemarau. Hal ini terjadi karena
pertumbuhan optimal telur menjadi mirasidium terjadi pada awal musim hujan
dan perkembangan di dalam tubuh siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir
musim hujan. Kemudian pelepasan serkaria terjadi pada awal musim kering saat
curah hujan masih cukup tinggi dan menurun seiring dengan penurunan curah
hujan.
Tingkat kerusakan atau perubahan patologi anatomi pada hewan
dipengaruhi oleh jumlah metaserkaria yang termakan oleh ternak, fase
perkembangan cacing di dalam hati, dan spesies inang definitif. Perubahan
patologi di dalam tubuh inang definitif terjadi akibat adanya migrasi cacing di
dalam tubuh. Migrasi diawali dengan penetrasi intestinal (pre hepatik) kemudian
sampai ke hati dan akhirnya masuk ke saluran empedu. Migrasi cacing pada organ
hati menyebabkan hemoragi, kerusakan parenkim dan buluh empedu. Buluh
empedu mengalami peradangan, penebalan dan penyumbatan sehingga terjadi
sirosis periportal, peritonitis serta kolesistitis. Secara mikroskopis terjadi
perubahan pada struktur jaringan hati. Perubahan tersebut digolongkan menjadi
dua kelompok yaitu kelompok perubahan akut dan kronis. Pada stadium akut
9
tampak adanya perdarahan, degenerasi sel hati, peradangan, proliferasi buluh
empedu, infiltrasi sel radang, serta adanya globula leukosit pada mukosa buluh
empedu.
Pada
stadium
kronis
tampak
fokus-fokus
radang
granuloma,
mineralisasi, dan fibrosis (Winarsih et al 1996).
Gambar 5 Perubahan anatomi hati sapi yang mengalami fasciolosis.
Tanda panah menunjukkan terowongan jalur migrasi
F.gigantica.
Sumber: Copeman et al 2008
Diagnosa Fasciolosis
Diagnosa fasciolosis didasarkan pada gejala klinis,
pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan post-mortem organ hati untuk melihat adanya
F.gigantica di dalam buluh empedu. Pemeriksaan laboratorium yang umum
dilakukan adalah pemeriksaan tinja untuk mendeteksi telur F.gigantica,
pemeriksaan enzim hati, pemeriksaan hematologi, uji serologi, dan coproantigen
atau pemeriksaan antigen dalam tinja (Mitchell 2003).
Metode pemeriksaan tinja yang umum dilakukan untuk mendeteksi telur
Fasciola sp adalah metode sedimentasi (Taylor 2007). Metode ini bersifat
konvensional dan hanya dapat digunakan untuk infeksi kronis. Telur ditemukan
dalam tinja ketika cacing sudah mencapai dewasa dan mulai produksi telur antara
8 sampai 10 minggu setelah infeksi. Metode pemeriksaan tinja memiliki
kekurangan karena telur Fasciola sp. diekskresikan dalam waktu yang tidak
beraturan dan jumlah telur yang terlalu sedikit dalam tinja akan mempengaruhi
hasil diagnosa (Kusumamihardja 1992).
10
Pemeriksaan enzim hati dilakukan untuk mengukur level enzim aspartate
aminotransfarase (AST), glutamate dehydrogenase (GLDH), dan L-gamma
glutamyl transferase (GGT) pada sampel darah. Metode ini dapat mendeteksi
adanya infeksi akut pada 2-3 minggu setelah infeksi. Jika level enzim AST lebih
dari 60 iu/l, level enzim GLD lebih dari 13 iu/l (sapi) dan 10 iu/l (domba), serta
level enzim GGT lebih dari 31 iu/l (domba) maka mengindikasikan adanya cacing
dewasa di dalam buluh empedu. Pemeriksaan hematologi berupa deferensial
leukosit dilakukan untuk menghitung jumlah sel radang eosinofil. Pemeriksaan ini
merupakan indikator awal kemungkinan adanya infeksi cacing Fasciola sp.
(Mitchell 2003).
Pendekatan alternatif untuk diagnosis fasciolosis adalah dengan uji
serologi dan coproantigen. Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya
antibodi dalam serum menggunakan ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya
infeksi awal pada minggu ke 2 sampai minggu ke 4 setelah infeksi dengan
sensitifitas 91 % dan spesifisitas 88 % (Estuningsih et al 2004). Sedangkan
coproantigen dilakukan untuk mendeteksi antigen dalam tinja menggunakan
Sandwich-ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 5
sampai minggu ke 9 setelah infeksi dengan sensitifitas 95 % dan spesifisitas 91 %
(Estuningsih et al 2004
Epidemiologi dan Pengendalian Fasciolosis
Fasciolosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh infeksi
Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Cacing F.hepatica tersebar luas di
daerah beriklim sedang dan dingin sedangkan F.gigantica tersebar di daerah
beriklim tropis seperti Indonesia. Kejadian fasciolosis di Indonesia erat
hubungannya dengan kegiatan di persawahan. Sumber utama infeksi adalah akibat
memakan batang padi atau tumbuhan lainnya yang mengandung metaserkaria.
Infeksi juga dapat terjadi akibat penggunaan tinja ternak ruminansia sebagai
pupuk serta pemanfaatan tenaga ternak untuk membajak sawah. Pengendalian
fasciolosis yang efektif pada ternak dilakukan dengan cara mengurangi jumlah
siput inang antara, pemberian anthelmintika secara periodik, dan manajemen
pemeliharaan ternak.
11
Populasi siput meningkat pada musim penghujan sehingga populasi harus
dikendalikan. Menurut Martindah et al (2005) pengendalian populasi siput dapat
dilakukan secara biologis, kimia dan mekanis. Pengendalian secara biologis yaitu
dengan memelihara itik/bebek sebagai predator dan itik yang terinfeksi cacing
Echinostoma sp. Cacing Echinostoma sp yang menginfeksi itik akan
memproduksi telur yang akan keluar bersama tinja itik. Telur Echinostoma sp
berkembang di lingkungan, menetas mengeluarkan larva mirasidium sebagai
kompetitor mirasidum Fasciola sp. untuk memasuki tubuh siput. Secara alami
terjadi juga persaingan antara mirasidium Fasciola sp. dengan mirasidium cacing
Haplometra cylindricea (cacing paru-paru pada katak) untuk memasuki tubuh
siput (Torgerson et al 1998).
Pengendalian secara kimia dilakukan dengan pemberian molusida pada
musim panas seiring dengan awal musim merumput bagi ternak. Molusida yang
dipakai diantaranya adalah sodium pentachlorophenenate/ NaPCP, triklosamide,
dan copper sulfat. Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan pengeringan
saluran irigasi dan habitat siput.
Pengendalian fasciolosis dapat dilakukan dengan pemberian anthelmintika
secara periodik untuk membunuh dan mengeluarkan cacing Fasciola sp. dari
dalam tubuh ternak. Pemberian anthelmintika sebaiknya dilakukan pada musim
kemarau karena sebagian besar siput sudah mati sehingga sisa telur cacing dalam
tinja tidak akan menemukan inang antara bila menetas (Martindah et al 2005).
Pengobatan ternak disesuaikan dengan bahan aktif anthelmintika yang digunakan.
Anthelmintika yang dapat membasmi semua stadium perkembangan cacing
Fasciola sp. diberikan sekali setahun yaitu sekitar 6-8 minggu dari panen padi
terakhir. Sedangkan anthelmintika yang hanya mampu membunuh cacing dewasa
sebaiknya diberikan dua kali setahun yaitu 6-8 minggu dari panen terakhir dan
beberapa minggu sebelum musim penghujan tiba. Beberapa anthelmintika yang
dapat digunakan adalah triclabendazole, closantel, nitroxynil, albendazole,
oxyclozanide, dan clorsulon. Triclabendazole merupakan anthelmintika yang
memiliki efektivitas paling tinggi karena dapat membunuh semua stadium
perkembangan Fasciola sp. dalam tubuh inang definitif (Mitchell 2003).
12
Kejadian fasciolosis dapat dikurangi dengan penerapan manajemen
pemeliharaan ternak yang baik. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah
manajeman pemberian pakan, pengembalaan ternak, serta manajemen penggunaan
tinja sebagai pupuk. Menurut Martindah et al (2005), sebaiknya ternak diberikan
pakan segar yang tidak terendam dalam air. Pengambilan jerami dari sawah
sebagai pakan ternak dilakukan dengan pemotongon sekitar 10 cm dari atas
permukaan air. Manajemen pengembalaan ternak sebaiknya dilakukan secara
rotasi untuk menghindari daerah yang tercemar oleh metaserkaria. Ternak
digembalakan di daerah yang tidak berair dan lembab. Menurut Mitchell (2003),
penggunaan tinja sebagai pupuk sebaiknya setelah dilakukan dekomposisi supaya
telur Fasciola sp. sudah mati.
Hati
Anatomi Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang berada di dalam
rongga perut. Pada ruminansia, hati terletak di bawah diafragma pada bagian atas
cavum abdominis dan cenderung terletak di sisi sebelah kanan akibat adanya
dorongan dari perut besar (Fradson 1992). Hati difiksasi secara erat oleh beberapa
ligamentum yaitu ligamentum coronarium hepatis, ligamentum triangulare
dextrum dan sinistrum, ligamentum falciniformis hepatis dan ligamentum
hepatorenale yang menghubungkan hati dengan ginjal kanan dan caecum. Pada
hati terdapat ligamentum teres hepatis berupa jaringan ikat sisa vena umbilicalis
yang berjalan dari pusar ke hati (Ressang 1984).
Hati terdiri dari 4 lobus yang terbagi dalam sejumlah lobulus. Lobus hati
dibungkus oleh kapsula serosa dan kapsula fibrosa yang memisahkan lobulus satu
dengan yang lainnya. Hati mendapat vaskularisasi ganda, yaitu melalui vena porta
dan arteri hepatika. Vena porta membawa darah yang berasal dari saluran
pencernaan dan pankreas. Darah ini mengandung banyak nutrisi yang akan diolah
dan diserap oleh hati. Sedangkan arteri hepatika membawa darah yang
mengandung banyak oksigen untuk hati. Darah yang keluar dari hati dibawa
melalui vena hepatika menuju vena cava caudalis dan dibawa menuju jantung
(Mills 2007).
13
Gambar 6 Anatomi hati
1.Lobus dexter; 2. Lobus sinister; 3. Lobus caudatus; 4. Lobus
quadratus; 5. Vena porta hepatica; 6. Ductus cysticus; 7. Vesica fellea.
Sumber: Atlas of Anatomy Veterinary Horse, Ruminant and
Carnivorous.
Histologi Hati
Hati dikelilingi oleh mesotelium berupa kapsula jaringan ikat yang
diperluas menjadi glandula dan terbagi menjadi lobus dan lobulus. Lobulus
berbentuk silindris dengan panjang beberapa millimeter dan berdiameter 0.8
sampai 2 mm. Setiap lobulus terdiri dari berbagai komponen yaitu sel-sel hati
(hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang
arteri hepatika, sel Kupffer dan kanalikuli biliaris (Ganong 1995).
Sel hati (hepatosit) berbentuk polihedral dengan inti bulat yang terletak di
tengah. Sel- sel ini tersusun secara radial ke arah luar vena sentralis. Diantara
baris-baris sel hati yang berdekatan terdapat kanalikuli empedu yang dibentuk
oleh dua atau lebih membran plasma hepatosit yang berbatasan. Empedu
disekresikan ke dalam kanalikuli empedu dibawa ke daerah portal (segitiga
Kiernan) dan akhirnya meninggalkan hati melalui duktus hepatikus (Dellmann
dan Brown 1992).
Sinusoid hati merupakan suplai intralobular vaskular berupa ronggarongga di dalam lobus yang alirannya menuju ke vena sentralis. Sinusoid
membawa darah dari cabang vena porta dan cabang arteri hepatika. Darah ini
bergerak dari perifer lobul menuju ke vena sentralis. Darah arterial mensuplai
jaringan ikat hati (stroma) sedangkan darah dari vena portal akan mengalami aksi
dari sel-sel parenkim.
14
Sinusoid diselaputi oleh sel-sel makrofag yang dikenal dengan nama sel
Kupffer. Sel-sel ini merupakan bagian terbesar dari sistem makrofag (retikulo
endotelial) yang memiliki fungsi fagositik terhadap benda asing serta
merontokkan jaringan, termasuk sel-sel merah yang aus atau rusak di dalam hati.
Cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatik, dan saluran
empedu yang kecil bergerak bersama di dalam jaringan ikat pada pertautan dari
beberapa lobul hati. Pengelompokan pembuluh-pembuluh tersebut disebut trinitas
portal atau triad. Pembuluh limfa terdapat di dalam pembungkus jaringan ikat,
jaringan ikat interlobular, jaringan ikat disekitar vena porta, dan jaringan ikat di
sekitar vena hepatik (Banks 1986).
Download