BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah Potong Hewan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah Potong Hewan merupakan salah satu hal penting dari tujuan
higiene daging yaitu untuk memperoleh kualitas daging yang aman, sehat,
utuh dan halal (ASUH). Secara umum, RPH merupakan sumber pendapatan
daerah, pengawasan penyakit, pengawasan serta pengendalian populasi
ternak dan pelayanan terhadap masyarakat untuk memberikan daging yang
memenuhi syarat kesehatan. Rumah Potong Hewan adalah tempat yang
digunakan untuk kepentingan umum, yang prosesnya disesuaikan dengan
peraturan – peraturan daerah setempat serta dibawah pengawasan petugas
Pemerintah
Daerah
Setempat.
RPH
berperan
sebagai
tempat
dilaksanakannya pemotongan hewan secara benar, tempat dilaksanakannya
pemeriksaan antemortem dan postmortem , tempat untuk mendeteksi dan
memonitor penyakit hewan secara benar yang ditemukan saat pemeriksaan
antemortem dan postmortemdan tempat dilaksanakannya seleksi serta
pengendalian pemotongan hewan besar bertanduk betina yang masih
produktif.
Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat yang semakin
meningkat berperan dalam meningkatkan kebutuhan konsumsi protein
hewani. Konsumsi protein hewani yang semakin meningkat harus disertai
dengan pengamanan terhadap produk bahan asal hewan. Dalam usaha
meningkatkan produksi peternakan, faktor pengontrol dan pencegahan
penyakit perlu mendapatkan perhatian. Salah satu hal yang harus diwaspadai
adalah organ-organ seperti hati, ginjal, usus, jantung, dan paru-paru dari
hewan yang disembelih di RPH. Penyakit yang sering terjadi di RPH
Giwangan Yogyakarta adalah Fascioliasis.
B. Tujuan
Tujuan yang diharapkan dari penyusunan Tugas Akhir ini adalah
mengetahui kejadian fascioliasis yang terjadi di RPH Giwangan Yogyakarta.
C. Manfaat
hasil penyusunan Tugas Akhir ini dapat dijadikan sumber data
sehubungan dengan penyakit fascioliasis yang terjadi di RPH Giwangan
Yogyakarta untuk peternak sehingga bisa dilakukan pencegahan penyakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumah Potong Hewan
Rumah Potong Hewan adalah kompleks bangunan dengan desain
dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene
tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain
unggas bagi konsumsi masyarakat (Anonim, 1999). Rumah Potong Hewan
berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya pemotongan hewan secara benar,
tempat dilaksanakannya pemeriksaan antemortem dan postmortem, tempat
untuk mendeteksi dan memonitor penyakit hewan secara benar yang
ditemukan saat pemeriksaan antemortem maupun postmortem, dan tempat
dilaksanakannya seleksi dan pengendalian pemotongan hewan besar
bertanduk betina yang masih produktif (Budiharta,2009).
Prosedur penyembelihan dirumah potong hewan kota yogyakarta
antara lain sebagai berikut : (1) penurunan hewan, hewan diturunkan
ditempat penurunan hewan, dilakukan pemeriksaan surat keterangan asal
hewan; (2) pengistirahatkan hewan, dilakukan kurang lebih 10 jam, hewan
dipuasakan dan boleh diberi air minum; (3) pemeriksaan antemortem,
dilakukan oleh dokter hewan atau keurmaster rumah potong hewan.
Pemeriksaan dilakukan sebelum hewan dipotong dan harus dilakukan
pemeriksaan lagi apabila dalam 24 jam hewan tidak jadi dipotong,
pemeriksaan meliputi cara berdiri, adanya leleran dari lubang tubuh, luka,
bekas suntikan, demam dan hal-hal yang dilakukan sesuai pertimbangan
medis, keputusan hasil pemeriksaan (i)boleh dipotong; (ii) ditunda untuk
dipotong (iii) boleh dipotong dengan syarat; dan (iv) tidak boleh dipotong
(Budiharta, 2009), (4) penyembelihan hewan, hewan digiring dengan hatihati kedalam ruang pemotongan, pengendalian hewan/restrain dilakukan
dengan killing box atau dijatuhkan dengan pengawasan petugas, dilakukan
penyiraman dengan air pada hewan yang akan disembelih, penyembelihan
dilakukan oleh seorang juru sembelih yang ditunjuk, penyembelihan
dilakukan dengan tata cara islami sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia,
penyembelihan dilakukan dengan pisau tajam dengan memotong tiga
saluran, setelah sebelumnya membaca do’a “Bismillah Allahuakbar”,
penyelesaian proses penyembelihan hanya dapat dilakukan apabila hewan
benar-benar telah dinyatakan mati oleh petugas pengawas pemotongan; (5)
proses pengulitan; (6) pengeluaran jerohan (7) pemeriksaan postmortem,
dilakukan oleh dokter hewan atau keurmaster Rumah Potong Hewan
(Anonim, 1999). Pemeriksaan meliputi Limpoglandula pada daerah kepala,
karkas, jerohan putih dan jerohan merah serta dilakukan pemeriksaan kulit
dan lain-lain yang dilakukan sesuai pertimbangan medis, keputusan hasil
pemeriksaan (i) boleh diedarkan; (ii) boleh diedarkan dengan syarat; (iii)
tidak boleh diedarkan, selanjutnya daging dari hewan yang boleh diedarkan
diberi cap daging; (8) pembelahan karkas; (9) penimbangan karkas; (10)
pelayuan dan pembagian karkas; (11) pengangkutan daging; (12)
pembayaran retribusi (Anonim, 1999).
Hasil pemotongan ternak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
bagian karkas dan bagian bukan karkas. Bagian karkas mempunyai nilai
ekonomi yang lebih tinggi, sesuai dengan tujuan pemotongan ternak, yaitu
untuk mendapatkan daging. Ada beberapa persyaratan untuk memperoleh
hasil pemotongan yang baik yaitu (1) ternak harus diperlakukan secara
kasar; (2) ternak harus tidak mengalami stres; (3) penyembelihan dan
pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin; (4) kerusakan
karkas harus minimal, dan cara pemotongan harus (5) higienes; (6)
ekonomis; dan (7) aman bagi para pekerja abatoar/rumah tempat
pemotongan hewan (Soeparno, 2009).
B. Penyakit Yang Sering Dijumpai Di RPH
Penyakit – penyakit yang sering dijumpai di Rumah Potong Hewan
Giwangan Yogyakarta antara lain (1) Distomatosis (Fascioliasis), terutama
pada ruminansia (sapi, domba, kambing), penyebabnya adalah Fasciola
gigantica dan fasciola hepatica. Pada sapi saluran-saluran empedu sangat
menebal secara difus (jaringan ikat), sedangkan lumennya menciut, karena
mukosa yang menebal atau melebar karena empedu yang terbendung, sering
terjadi pengapuran dindingnya, terdapat gumpalan coklat kotor, berlendir,
berbutir dan empedu bercampur kotoran yang berisi fasciola (Budiharta,
2009). Bentuk akut dari sapi yang terkena Fasciolasis mempunyai ciri-ciri
gangguan pencernaan yaitu adanya gejala konstipasi yang jelas dan kadangkadang mencret. Terjadi pula pengurusan yang cepat, lemah dan anemia
(Anonimus, 1980); (2) Sindrom Sapi Ambruk (SSA, Downer cow
syndrome), gangguan fungsional yang bersifat kompleks, sering kali
ditemukan pada sapi perah dengan kebanyakan diawali gejala milk fever dan
penderita tidak mampu bangun meskipun telah dilakukan pengobatan
konvensional untuk milk fever (Subronto, 2004); (3) Hipokalsemia, sapi
yang mengalami distokia dapat mengalami kepayahan selama dan setelah
melahirkan, hingga sapi tidak mampu bangun. Bila sapi demikian menderita
hipokalsemia, sapi tersebut tidak akan mampu bangun meskipun kadar
kalsium darahnya telah disembuhkan (Subronto, 2004).
Cara hidup ternak di padang penggembalaan maupun yang didalam
kandang, akan segera terlihat bahwa agen-agen penyakit dapat dengan
mudah memasuki tubuh melalui alat pencernaan makanan. Macam dan
kualitas pakan dipadangan memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat
berlindung oleh parasit-parasit sebelum mereka dapat berkembang biak
didalam tubuh hewan. Agar tubuh hewan dapat terhindar dari bahan-bahan
yang dapat menyebabkan gangguan, dalam sistem pencernaan individu
tersedia perangkat-perangkat pertahanan yang memadai. Pertahanan tubuh
dalam sistem tersebut berupa sebagai perangkat mekanik faali yang berupa
refleks hipersalivasi, muntah dan peningkatan peristaltik saluran pencernaan
hingga terjadi diare. Dengan kedua perangkat tersebut yang terakhir bahan
penyebab sakit akan dikeluarkan dari tubuh dengan segera (Subronto, 2004).
Kerusakan sel dan jaringan dapat berbentuk sebagai berikut (a)
pencucuran darah misalnya oleh cacing Ancylostoma sp, Ostertagia sp,
Hemonchus sp, bunostomum sp, (b) Atrofi dan penyumbatan saluran usus
atau saluran empedu misalnya oleh cacing Ascaris sp dan Fasciola sp, (c)
Invasi terhadap sel jaringan misalnya oleh Coccidia dan (d) radang lokal
baik oleh larva maupun parasit dewasa seperti yang dilakukan oleh cacing
dewasa
Ostertagia
dan
cacing
muda
paramphistomum,
larva
Oesophagostomum sp dan strongylus sp (Subronto, 2004).
C. Fascioliasis
Fascioliasis adalah suatu penyakit yang diseabkan oleh infeksi
cacing famili trematoda dengan spesies fasciola hepatica dan fasciola
gigantica. kedua cacing ini pada ternak ditularkan melalui siput dari famili
Lymnaeidae. Cacing fasciola hepatica pada umumnya dijumpai didaerah
beriklim sedang, sedangkan Fasciola gigantica ditemukan didaerah yang
beriklim tropis basah (Winarsih, 1996). Fasciolasis (hepatik) atau penyakit
cacing hati (PCH) merupakan penyakit yang berlangsung akut, subakut, atau
kronik. Pada umumnya istilah fascioliasis digunakan untuk menentukan
diagnosis penyakit cacingan yang menyerang ternak memamah biak yaitu
sapi, kerau, kambing, domba, dan spesies lainnya, yang disebabkan oleh
cacing trematoda genus fasciola. Selain di jaringan hati, cacing dapat juga
bertumbuh dan berkembang dijaringan lainnya, misalnya paru-paru, otak,
dan limpa (Subronto, 2004).
Daur hidup cacing Fasciola sp dewasa dalam saluran utama
empedu dan kandung empedu. Telur yang keluar bersama tinja belum
berembrio. Setelah menetas keluarlah miracidium dengan aktif mencari siput
air tawar lymnaea rubiginosa dan menembus masuk dalam tubuh siput.
Dalam tubuh siput larva itu tumbuh menjadi sporokista yang secara
partenogenetis membentuk redia I dan selanjutnya secara yang sama
membentuk redia II. Dengan cara yang sama pula didalam tubuh redia II
terbentuk cercariae. Cercariae kemudian keluar dan berenang di air.
Cercariae ini telah infektif. Jika cercaria tidak tertelan oleh hospes akhir
maka cacing hati muda ini menempel pada benda seperti tumbuhan air dan
sebagainya, lalu melepaskan ekornya menjadi metacercaria dan tumbuhan
ternakan oleh ternak menembus usus (duodenum) menerobos rongga
peritonium mencapai tepi jaringan hati menembus sampai saluran empedu
kemudian tinggal, berkembang dan bertelur lagi dalam saluran hati
(Brotowidjoyo, 1976).
Gambar 1. Siklus hidup cacing hati (Olsen O. W., 1962)
1. Fasciola hepatica dewasa dalam saluran utama
empedu.
2. Fasciola hepatica muda dalam jaringan hati.
3. Telur keluar bersama tinja.
4. Mirasidium menetas dan kemudian memasuki siput
lymnae sp.
5. Cercaria keluar dari tubuh siput dan kemudian
mengkista pada tanaman air.
6. Tanaman air dengan kista.
D. Pengobatan Fascioliasis
Pengobatan yang bisa diberikan pada ternak yang terserang
Fasciola yaitu secara umum pengobatan dilakukan selama 3 kali pemberian
yaitu pada permulaan musim penghujan, pada pertengahan musim
penghujan, pada akhir musim penghujan. Obat obatan yang diberikan antara
lain Dovenix ( bahan aktif : Nitroxynil ), dosis : 10mg/kg berat badan (1 ml
untuk 25 kg berat badan) diberikan secara subcutan, Bilevon (bahan aktif
meniclopholan), dosis 3 mg/kg berat badan diberikan per-oral, monil (bahan
aktif : Albendazole), diberikan secara per-oral dengan dosis sapi dengan
berat badan <150 kg : 1,5 bolus, sapi dengan berat badan 150 – 300 kg : 3
bolus, sapi dengan berat badan 300 – 400 kg : 4 bolus, sapi dengan berat
badan >400 kg : 5,5 bolus, carbontetrachlorida, dosis : 50 mg/kg berat badan
diberikan secara subcutan, atau 1 – 5 ml/ekor diberikan secara per-oral
(BPTP NTB, 2001).
Usaha menghindari padang rumput lembab sebagai tempat
hidupnya induk memang akan menghalangi infeksi cacing hati pada sapi.
Daerah-daerah sekitar kolam harus dipagari dan sapi jangan dibiarkan
merumput di tempat tersebut. Tindakan pengendalian fascioliasis dilakukan
berdasarkan pemutusan siklus hidup fasciola sp,dengan cara membubuh
siput dengan mollicidia, memberantas siput secara biologis yaitu dengan
jalan memelihara itik, membunuh cacing dalam hospes utamanya dengan
obat cacing seperti dovemix, valbazen, ivomac F dan fasinec, memanfaatkan
kotoran ternak untuk pupuk tanaman polowijo atau mengkomposkannya,
mengeringkan padang rumput dari kelembaban, limpur dan genangan air,
hindari penggembalaan ternak di daerah yang tercemar metacercaria
(Levine, 1994).
BAB III
MATERI DAN METODE
A. Materi
Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan untuk penulisan Tugas Akhir
ini, dilakukan di RPH Giwangan Yogyakarta.
B. Metode
Metode yang digunakan untuk mengetahui adanya penyakit yaitu
dengan mengumpulkan data dari catatan hasil pemeriksaan postmortem
hewan potong di RPH Giwangan Yogyakarta. Data tersebut berisi tentang
jumlah hewan yang dipotong dan penyakit yang terjadi pada hewan yang
dipotong selama 1 bulan pada tanggal 1 April sampai 30 April 2015. Serta
observasi dengan mengamati secara langsung hewan potong di RPH
Giwangan Yogyakarta dan mempraktekkan secara langsung pemeriksaan
postmortem.
BAB IV
HASIL
Hasil pengolahan data pemeriksaan postmortem hewan potong
selama satu bulan dari tanggal 1 April sampai 30 April di Yogyakarta
menunjukkan bahwa penyakit yang sering dijumpai adalah fascioliasis, pada
pemeriksaan postmortem tidak ada catatan penyakit hewan yang lain pada
tanggal 1 April sampai 30 April (Tabel 1).
Tabel 1.Data jenis sapi yang menderita fascioliasis :
No
Jenis sapi
Total
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peranakan Ongole (PO)
Simmental
Simpo
Limpo
Limosin
Ongole
Brahman
Bali
Madura
Jumlah
Persentase
215
61
54
37
26
11
10
8
5
427
Jumlah sapi Fasciolasasis
(%)
Selama 1 bulan
7 (1,7%)
3 (0,8%)
3 (0,8%)
2 (0,4%)
2 (0,4%)
1 (0,2%)
1 (0,2%)
1 (0,2%)
1 (0,2%)
21 (4,9%)
4,9%
Sampel sapi yang positif terkena fascioliasis sebanyak 4,9% (21 dari total
427 sapi terkena fascioliasis) (Tabel 1).
Tujuh dari 21 sampel hati yang positif fascioliasis tujuh
menunjukan derajat kerusakannya <50%, 10 menunjukan derajat kerusakan
50%, dan 4 menunjukan derajat kerusakannya >50% (Tabel 2).
Tabel 2. Persentase pengafkiran organ hati sapi yang menderita fascioliasis :
No
Kriteria derajat kerusakan
hati
Total hati yang diafkir menurut
kriteria
1
2
3
<50%
50%
>50%
Total
7
10
4
21
Gambar 2. Hati yang terinfeksi cacing Fasciola sp
1. Cacing Fasciola sp
2. Bantalan lemak
3. Tepi hati yang tidak rata
4. permukaan yang tidak rata
BAB V
PEMBAHASAN
Pemeriksaan postmortem hati dilakukan untuk memastikan ada
tidaknya cacing Fasciola sp dan juga kerusakan hati. Hati yang sehat
mempunyai ciri-ciri mengkilat, permukaan datar, konsistensi elastis kuat,
tepi tajam, warna merah kecoklatan dan sukar ditekan dengan jari. Hati yang
mengalami Fasciolasis menunjukan penebalan dan pengapuran pada saluran
empedu. Pada saluran-saluran empedu terdapat gumpalan coklat kotor,
berlendir, berbutir, dan empedu bercampur kotoran yang berisi cacing
Fasciola sp.
Data yang diperoleh (Tabel 1.) Terlihat bahwa 4,9% sapi terkena
fascioliasis (21 dari total 427 sapi terkena fascioliasis). Sapi yang positif
terkena fascioliasis kemungkinan disebabkan curah hujan yang masih tinggi
di bulan April yang menyebabkan kondisi lingkungan kandang menjadi
lembab, sehingga memudahkan cacing Fasciola untuk berkembang.
Menurut Brotowidjoyo (1987), Indonesia mempunyai iklim tropis, basah,
lembab dan panas pada semua musim ( kelembaban lebih dari 60% dan
temperatur lebih dari 18°C ), maka cacing Fasciola merupakan salah satu
parasit yang mudah berkembang di Indonesia. Pengaruh kejadian fascioliasis
pada sapi yang dipotong disebabkan curah hujan yang cukup tinggi sudah
sesuai dengan literatur.
Jenis sapi yang paling banyak terinfeksi cacing Fasciola sp di RPH
Giwangan adalah sapi Peranakan Ongole (33%,7/21) dan paling sedikit
terinfeksi cacing tersebut adalah jenis sapi Ongole, Brahman, Bali dan
Madura (4,7%,1/21) (Tabel 1). Kejadian tersebut disebabkan karena rata rata
jenis sapi yang dipotong di RPH Giwangan paling banyak Sapi
peranakan Ongole dan paling sedikit sapi Ongole, Brahman, Bali dan
Madura. Berdasarkan dari proporsi bangsa sapi yang dipotong di RPH
Giwangan, persentase yang paling banyak terkena fascioliasis adalah jenis
sapi Madura (20%,1/5) (Tabel 1). Pada penerapan penanganan sapi yang
terkena fascioliasis di RPH Giwangan sudah cukup baik, karena organ hati
sapi yang rusak akibat cacing Fasciola sp diafkir dan tidak dimanfaatkan
lagi. Penanganan sapi yang terkena fascioliasis yaitu dengan mengafkir
organ hati <50%, 50% dan >50% organ yang terinfeksi cacing Fasciola sp.
Afkir bermanfaat untuk melindungi masyarakat dari ketidak layakkan daging
yang akan dikonsumsi. 21 sampel yang terkena Fasciolasis diafkir sebanyak
48% untuk organ yang mengalami kerusakan 50%, 33% untuk organ yang
mengalami kerusakan <50% dan 19% untuk organ yang mengalami
kerusakan >50%.
Menurut Subronto (2004), organ hati yang menderita akan
mengalami fibrosis, empedu kurang dihasilkan, dan cacing dewasa juga
menghisap darah segar hospes. Secara ekonomik kerugian infeksi cacing
berkisar dari 8 sampai lebih dari 20% pada sapi. Kerugian pada peternak
akibat fascioliasis menurunkan nilai jual sapi dan nilai jual hati karena
penurunan berat serta tertahannya pertumbuhan badan, hati yang terbuang
dan kematian. Menurut penjual daging di dari pasar Colombo Sleman
Yogyakarta, harga organ hati per-kg sebesar Rp.70.000,00 dan berat organ
hati rata-rata adalah 5 kg, sebanyak 21 sampel terkena fascioliaisis dengan
derajat kerusakan 50% sebanyak 10 sampel (kerugian 10 × 50% × 5 kg ×
Rp.70.000,00 = Rp.1.750.000,00), <50% sebanyak 7 sampel (kerugian 7 ×
25% × 5 kg × Rp.70.000,00 = Rp.612.000,00) , >50% sebanyak 4 sampel (4
× 75% × 5 kg × Rp.70.000 = Rp.1.050.000,00). Total kerugian 21 sampel
yang terkena fascioliasis sebesar Rp.3.412.500,00 (Rp.1.750.000,00 +
Rp.612.000,00 + Rp.1.050.000,00). Kerugian peternak untuk penjualan
organ hati pada periode bulan April dapat diperkirakan sebesar
Rp.3.412.000,00 ( 46% (3.412.000 ÷ 7.350.000 × 100%) ).
Terjadinya penyakit fascioliasis yaitu terdapat cacing dewasa dalam
saluran utama empedu dan kandung empedu. Telur yang keluar bersama
tinja belum berembrio. Setelah menetas keluar miracidium. Miracidium
dengan aktif mencari siput air tawar lymnaea rubiginosa, dan menembus
masuk dalam tubuh siput. Dalam tubuh siput larva itu tumbuh menjadi
sporokista yang secara partenogenetis membentuk redia I dan selanjutnya
secara yang sama membentuk redia II. Dengan cara yang sama pula didalam
tubuh redia II terbentuk cercariae. Cercariae kemudian keluar dan berenang
di air. Cercariae ini telah infektif. jika cercaria tidak tertelan oleh hospes
akhir maka cacing hati umum muda ini menempel pada benda seperti
tumbuhan
air
dan
sebagainya,
lalu
melepaskan
ekornya
menjadi
metacercaria dan tumbuhan termakan oleh ternak menembus usus
(duodenum) menerobos rongga peritonium mencapai tepi jaringan hati
menembus sampai saluran empedu kemudian tinggal, berkembang dan
bertelur lagi dalam saluran hati (Brotowidjoyo, 1976).
lymnea rubigenosa adalah nama genus keong yang pada umumnya
merupakan hospes intermedier cacing Trematoda. Spesies lymnea tersebut
merupakan hospes intermedier Fasciola gigantica yaitu cacing hati parasit
pada hati sapi. Keong tersebut terinfeksi oleh mirasidium(larva yang keluar
dari telur Fasciola yang menetas) didalam tubuh keong mirasidium tumbuh
dan berkembang secara aseksual (sporosista dan redia) menghasilkan
serkaria yangkemudian menjadi metaserkaria infektif terhadap sapi
(Sumartono, 2010). Fasciola gigantica terdapat dalam pembuluh empedu
sapi, domba, dan mamalia lain diseluruh dunia, tetapi tampaknya tidak di
Amerika selatan. Ia menggantikan kedudukan Fasciola hepatica di Timur
Jauh berkembang lebih baik di daerah tropis dibanding Fasciola gigantica
(Levine, 1994).
Penyakit yang disebabkan oleh Fasciola hepatica ialah salah satu
penyakit parasiter yang terpenting pada hewan ternak di Indonesia. Menurut
penyelidikan Edney dan Muchlis kerugian yang ditimbulkan penyakit ini
untuk seluruh Indonesia ialah kehilangan tiap-tiap tahun sebanyak kira-kira
5 – 7 setengah juta kilo berat badan. Kerugian ini terbesar di antara hewanhewan muda (Ressang, 1984).
Download