57 Prevalensi Distomatosis pada beberapa Jenis

advertisement
Veterina Medika
Vol.10, No.1, Pebruari 2017
Prevalensi Distomatosis pada beberapa Jenis Sapi Potong di RPH Penggaron
Semarang
Prevalence of Distomatosis on Various Type of Slaughtered Cattle at
Penggaron Semarang Abattoir
Kurnia Winda Pratiwi1, Setiawan Koesdarto2, Nenny Harijani2
1
PPDH Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
2
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115
Telp. 031-5992785 Fax. 0315993015
Email: [email protected]
Abstract
The aim of this study is to know prevalence of distomatosis in slaughtered cattle
at Penggaron Semarang abattoir. This research was held on December 2015 – February
2016. This research used 100 samples of liver and feces with post-mortem and fecal
examination. The liver samples analysed with post-mortem examination showed that
there were 17% samples were positively infected by Fasciola sp. Moreover, the feces
sample examined with native and sedimentation method showed that 12% sample were
positively infected by Fasciola sp. Since there is no correlational relationship between
post-mortem and fecal examination, both of the examinations needs to be investigated to
know Fasciola sp. infection. The combined result of the liver and feces obtained prevalence
rate 27%. This research was analysed with Chi-Square method which showed that there is
no different prevalence rate on various type of cattle. 12% of Simental crossbreed cattle
were distomatosis positively. 12 % of Limousin crossbreed cattle distomatosis positively
and 3% of Ongole crossbreed distomatosis positively.
Keywords : distomatosis, Fasciola sp., abattoir, bovine.
Pendahuluan
Sapi potong merupakan salah satu
sumber protein hewani penghasil bahan
pangan asal hewan berupa daging yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting
di dalam kehidupan masyarakat. Menurut
Kementerian Pertanian pada tahun
2011 provinsi Jawa Tengah merupakan
provinsi dengan populasi sapi potong
terbesar kedua di Indonesia 1,9 juta ekor
atau sekitar 13,09% setelah provinsi Jawa
Timur. Di antara penyakit parasit yang
sangat merugikan adalah penyakit yang
disebabkan oleh cacing hati Fasciola sp.
yang dikenal dengan nama distomatosis.
Kerugian dari penyakit distomatosis
mencapai 80 milyard rupiah tiap tahun
yang manifestasinya berupa penurunan
bobot badan, terhambatnya pertumbuhan,
organ hepar yang terbuang dan kematian
hewan. Selain itu, kerugian berupa
penurunan tenaga kerja dan daya tahan
terhadap penyakit lain yang tak terhitung
(Koesdarto, 2012).
Cacing Fasciola sp. dewasa yang
hidup di saluran empedu mengakibatkan
57
Kurnia Winda P., Setiawan K., Nenny Harijani. Prevalensi Distomatosis pada beberapa....
banyak pembuluh darah yang ruptur,
sel hati yang nekrosis, kalsifikasi pada
hepar. Radang pada saluran empedu
menyebabkan penebalan pada dinding
saluran empedu sehingga terjadi
fibrosis. Penebalan pada saluran empedu
mengurangi aliran empedu dan terjadi
tekanan balik yang akan menyebabkan
atrofi parenkim hepar dan sirosis. Cacing
Fasciola sp. juga mampu menembus
keluar dinding saluran empedu menuju
parenkim hepar dan menyebabkan abses
dan peritonitis (Kurniasih, 2007). Akibat
migrasi serta aktivitas Fasciola sp. maka
terjadi kerusakan hepar, sehingga hepar
harus diafkir karena tidak layak untuk
konsumsi.
Pemeriksaan infeksi cacing Fasciola
sp. dapat dilakukan dengan pemeriksaan
tinja. Pemeriksaan tinja ini dilakukan
untuk mendeteksi kejadian distomatosis
pada sapi potong, sehingga infeksi
cacing Fasciola sp. dapat dicegah dan
tidak menimbulkan kerugian ekonomi.
Pemeriksaan tinja adalah satu-satunya
pemeriksaan yang bisa mendeteksi
secara aman tanpa harus membunuh
hewan ternak. Pemeriksaan secara
post mortem selain untuk mendeteksi
kejadian distomatosis secara langsung,
juga berfungsi untuk membuktikan
kelayakan bahan pangan yang dilihat
dari segi kesehatan masyarakat veteriner
(Denbarga et al., 2011).
Materi dan Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Desember 2015 hingga Februari 2016.
Sampel berupa organ hepar dan feses
masing-masing 100 sampel. Pemeriksaan
sampel organ hepar dilaksanakan di Rumah
Potong Hewan Penggaron Semarang dan
sampel feses diperiksa di Laboratorium
Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga.
Pemeriksaan Hepar
Pemeriksaan sampel organ hepar
dilakukan secara organoleptic terhadap
58
perubahan makroskopik dimulai dari
inspeksi, palpasi, serta insisi untuk
mengetahui keberadaan cacing dan
kondisi sayatan (Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011)
Pemeriksaan Feses dengan Metode Natif
(sederhana)
Feses diambil secukupnya dengan
menggunakan ujung gelas pengaduk
yang kecil atau lidi dan dioleskan dengan
object glass, kemudian ditambahkan satu
atau dua tetes air lalu diratakan sampai
homogeni dan ditutup dengan cover
glass. Pemeriksaan dilakukan dibawah
mikroskop dengan pembesaran 100 X
(Sosiawati dkk., 2007).
Pemeriksaan Feses dengan Metode
Sedimentasi
Feses dimasukkan kedalam gelas
plastik lalu ditambahkan air dengan
perbandingan 1 : 10. Feses dan air diaduk
sampai rata kemudian disaring dengan
saringan teh, hasil saringan dimasukkan
kedalam tabung sentrifus selanjutnya
disentrifugasi selama 2-5 menit dengan
kecamatan 1500 rpm. Supernatan
dibuang, sedangkan endapan ditambah
air seperti tahap sebelumnya kemudian
disentrifugasi selama 2–5 menit dengan
kecepatan 1500 rpm. Proses ini diulang
sampai supernatan jernih. Setelah
jernih, supernatan dibuang dan disisakan
sedikit, endapan diaduk dan diambil
sedikit dengan pipet Pasteur, kemudian
diteteskan pada object glass, selanjutnya
ditutup dengan cover glass dan diperiksa
pada mikroskop dengan pembesaran 100
X (Sosiawati dkk., 2007).
Analisis Data
Untuk
mengetahui
prevalensi
distomatosis pada sapi yang di potong
di RPH Penggaron Semarang, data
prevalensi dianalisis dengan menggunkan
Chi kuadrat (Chi-Square test).
Veterina Medika
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilaksanakan di Rumah Potong Hewan
Penggaron Semarang dan Laboratorium
Helmintologi
Fakultas
Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga pada bulan
Desember 2015 hingga Februari 2016
terhadap sampel feses dan organ hepar
masing-masing 100 sampel yang diambil
dari Rumah Potong Hewan Penggaron
Semarang
didapatkan
prevalensi
distomatosis sebesar 27%. Pemeriksaan
post-mortem menunjukan 17% sapi
terinfeksi distomatosis dan pemeriksaan
feses menunjukan 12% sapi terinfeksi
distomatosis.
Tabel 1. Data Post-Mortem dan
Pemeriksaan Feses pada Sapi yang di
Potong di RPH Penggaron Semarang
(angka %)
Vol.10, No.1, Pebruari 2017
Gambar 1. Telur Fasciola sp. pada
pemeriksaan laboratorium menggunakan
metode natif (foto menggunakan optilab
camera dengan pembesaran 400x). (A)
operculum tidak bekembang
No
Bangsa Sapi
Hepar Feses
1 Peranakan Simental
7
7
2 Peranakan Limosin
8
4
3
Peranakan Ongole
2
1
Total
17
12
Pada penyakit yang berlangsung akut,
daur hidup cacing belum sempurna dan
telur cacing belum dihasilkan sehingga
dalam pemeriksaan feses tidak terlihat
adanya telur Fasciola sp. (Subronto,
2007). Sehingga pada pemeriksaan
post-mortem sering ditemukan cacing
Fasciola sp. dan pada pemeriksaan feses
tidak ditemukan telur Fasciola sp. Sekitar
16 minggu kemudian cacing muda
tumbuh menjadi dewasa dan terdapat di
saluran empedu (Martindah et al., 2005).
Cacing dewasa memproduksi telur dan
keluar bersama feses. Jika pemeriksaan
feses ditemukan telur Fasciola sp. dan
pada pemeriksaan post-mortem tidak
ditemukan cacing Fasciola sp. hal itu
disebabkan migrasi dari cacing Fasciola
sp. tidak mencapai organ hepar.
Gambar 2. Hepar yang positif terinfeksi
cacing Fasciola sp. setelah diinsisi. (A)
cacing Fasciola sp. di saluran empedu.
(B) penebalan saluran empedu.
Perbedaan Angka Prevalensi Pada
Beberapa Jenis Sapi
Tabel 2 Data Hasil Gabungan
Pemeriksaan Post-Mortem­dengan
Pemeriksaan Feses
No.
Bangsa Sapi
Terinfeksi Tidak Total
1
Peranakan Simental
12
22
34
2
Peranakan Limousin
12
43
55
3
Peranakan Ongole
3
8
11
Total
27
73
100
59
Kurnia Winda P., Setiawan K., Nenny Harijani. Prevalensi Distomatosis pada beberapa....
Hasil analisis menggunakan ChiSquare menunjukan hasil pemeriksaan
post-mortem dan pemeriksaan feses pada
antar jenis sapi peranakan Simental,
peranakan Limosin, Peranakan Ongole
terhadap infeksi cacing Fasciola sp. tidak
ada perbedaan yang mendapat hasil 0,380
(p>0,05).
Faktor yang mempengaruhi infeksi
Fasciola sp. memiliki beberapa faktor
intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik
yang
mempengaruhi
distomatosis
meliputi umur, jenis, jenis kelamin.
Faktor ekstrinsik meliputi iklim,
wilayah, lingkungan, dan manajemen
(Spithill et al., 1999). Cara terbaik
mencegah distomatosis dengan tidak
memberikan rumput segar pada sapi
karena metaserkaria yang merupakan
larva infektif hidup pada lingkungan
yang basah dan lembab (Soulsby, 1986).
Faktor ekstrinsik ini menyebabkan
infeksi Fasciola sp. terhadap tiap jenis
bangsa sapi tidak ada perbedaan. Sapi
yang dipotong di Rumah Potong Hewan
Penggaron Semarang berasal dari daerah
berbeda seperti Pati, Kudus, Ambarawa,
Grabag, dan Wirosari. Pada aspek
kesehatan masyarakat veteriner hepar
yang positif terinfeksi cacing Fasciola
sp. harus diafkir dan tidak layak untuk
dikonsumsi walaupun ASUH. Kesadaran
manusia terhadap distomatosis dapat
menurunkan angka infeksi distomatosis
pada manusia dengan berkonsultasi
dengan pihak yang paham tentang proses
infeksi distomatosis.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap
sampel organ hepar dan feses yang
masing-masing sebanyak 100 sampel
di RPH Penggaron Semarang, maka
dapat disimpulkan bahwa besar angka
prevalensi Prevalensi distomatosis pada
sapi potong di RPH Penggaron Semarang
sebesar 27% dengan pemeriksaan
post-mortem diperoleh hasil 17% dan
pemeriksaan feses diperoleh hasil 12%.
60
Pada angka prevalensi distomatosis tidak
ada perbedaan antar jenis sapi, peranakan
sapi Simental sebesar 12%, peranakan
sapi Limosin 12% dan peranakan sapi
Ongole 3%.
Daftar Pustaka
Denbarga, Y., Gedefaw Demewez, Desie
Sheferaw. 2011. Major Cause of
Organ Condemnation and Financial Significance of Cattle Slaughtered ata Gondar Elfora Abattoir,
Northern Ethiopia. Global Veterinaria. 7(5): 487-490
Kurniasih. 2007. Perkembangan Fasciolisis dan Pencegahannya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta, 20 Maret 2007.
Koesdarto, S., S. Subekti., S. Mumpuni., H. Puspitawati dan Kusnoto.
2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Nematoda Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.
Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih
S.E, Suhardono. 2005. Meningkatkan Kesadaran Dan Kepedulian Masyarakat terhadap Fasciolisis Sebagai Penyakit Zoonosis.
Balai Penelitian Veteriner,PO Box
151,Bogor 16114.
Soulsby, E.J.L. 1986. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal 7th Ed. The English
Language Book Society and Billiere Tindall. London.
Download