SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997 STRATEGI PENANGGULANGAN FASCIOLOSIS OLEH FASCIOLA GIGANTICA SECARA TERPADU PADA TERNAK YANG DIPELIHARA DI LAHAN PERTANIAN DENGAN SISTEM IRIGASI INTENSIF SUHARDONO, SRI WIDJAIANTI , dan S. PARTOVroMO Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E Martadinata 30, Kotak Pos 151 Bogor-16114 RINGKASAN Sistem usaha penanaman padi irigasi merupakan sebagian besar usaha pertanian yang ada di negara kita. Lahan tanaman padi yang diairi, juga menyediakan habitat yang cocok bagi biota lain untuk tumbuh dan berkembang dengan subur, sepeRi siput Lymnaea rubiginosa, siput ini berperan sebagai induk semang antara cacing Fasciola gigantica . Penggunaan ternak sapi clan kerbau didalam menunjang usaha pertanian, juga tidak terjadi begitu saja melainkan melalui suatu proses evolusi yang cukup panjang . hlteraksi antara usaha penanaman padi irigasi dengan penggunaan ternak sebagai sumber tenaga dan pupuk, serta tingginya populasi siput L. rubiginosa mengakibatkan persistensi kejadian fasciolosis pada ternak pada eko sistem seperti ini . Kejadian fasciolosis oleh F. gigantica di Indonesia yang berkisar antara 42-100°/a ptida ternak menyebabkan kerugian ekonomi yang besar (Rp .513 milyar/tahun), karena penyakit ini dtipat menyebabkan kematian, penurunan tingkat produksi dan reproduksi serta tenaga kerja. Oleh karena itu, perlu diupayakan pola penanggulangan fasciolosis terutama di daerah pedesaan yang populasi ternaknya sebagian besar tersebar di sini. Dengan memahami sifat-sifat biologi dari cacing hati (telur, larva dan cacing dewasa) clan siput L. rubiginosa (populasi, distribusi dan infeksi oleh larvae cacing hati) yang dikaitkan dengan tatalaksana penanaman padi, penyediaan pakan hijauan clan sistem pengandangan ternak, akan dapat diformulasikan pola pengendalian fasciolosis secara terpadu . Program pengendalian tersebut meliputi pengobatan dan pencegahan terjadinya infeksi pada ternak . Pencegahan dilakukan dengan cara perbaikan tatalaksana sistem penkandangan, penanganan limbah kandang dan penyeditian pakan hijauan untuk ternak . Pengendalian penyakit dengan cara pemberian obat cacing dilakukan setahun sekali pada musim kemarau; tergantung dari jenis obat cacing yang digunakan, pengobatan dapat dilakukan antara 6 minggu setelah panen padi terakhir hingga beberapa minggu sebelum musim penghujan tiba. Tidak mendirikan kandang bersebelahan dengan sawah/saluran irigasi . Hindarkan penggunaan limbah kandang yang masih segar sebagai pupuk, kecuali sudah dikomposkan . Penyediaan pakan hijauan yang lebih selektif terutama pada musim penghujan (dimana ternak terutama mendapatkan infeksi pada musim panen padi) dengan menghindari penggembalaan/pengambilan hijauan di lahan tercemar (sawah sekitar kandang dan/ attiu dekat dengan pemukiman). Program pengendalian infeksi cacing hati pada ternak akan lebih berhasil bila didukung oleh Pemerintah melalui penyuluhan-penyuluhan, pembentukan kelompokkelompok peternak clan ketersediaan obat yang cukup. Kata kunci : Fasciolosis, ternak kerja, pengendalian 122 Seminar Nasional Peter akan don Vetenner 1997 FENDAHULUAN Sistem usaha penanaman padi di daerah tropis Asia termasuk Indonesia pada umumnya dikerjakan di daerah pedesaan dengan memanfaatkan kekayaan alam sekitar <yang ada (JARRIGE, 1980), misalnya ketersediaan lahan, air, pupuk organik, dan lain"lain. Sebagian besar usaha penanaman padi dilakukan dengan sistem irigasi baik secara intensif nutufpun semi intensif. Ketersediaan habitat berair (misalnya lahan tanaman padi) ini juga memungkinkan kehidupan lain berkembang biak di sini, misalnya siput Lvmnaea rubiginosa (SRI WtDJAJANTI, ,1189; 'VAN BENTHEM JUrrING, 1956) yang mana siput-ini berperan sebagai induk :semang antara c ng-fiati . Hubungan antara sistem usaha pertanian dengan pemeliharaan ternak, khususnya 4eraak kerja, tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling tergantung satu sama lain . Ternak sapi dan ktllbau merupakan salah satu sarana pendukung di dalam -sistem -usaha pertanian di daerah pedesaan. Ternak ini disamping sebagai sumber tenaga pada saat mengolah sawah, juga menghasilkan limbah kandang yang biasa dipakai sebagai pupuk tambahan pada tanaman (DoYLE-et al., 1986), juga pemeliharaan lernak ini dipakai sebagai cadangan bila terjadi kegagalan panen. Sedang limbah dari hasil usaha pertanian sebagian dimanfaatkan sebagai sumber hijauan pakan, ternak (RANGKIrri et al., 1986). Sehingga ekosistem seperti ini cocok untuk kelestarian teijadinya infeksi cacing hati pada ternak niminansia . Infeksi cacing hati atau fasciolosis pada ternak di Indonesia disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola giganlica (MUCHLIS, 1985; SOESETYA, 1975) yang kejadiannya lebih umum pada sapi clan kerbau dari pada di domba atau kambing dengan sebaran yang luas terutama di lalu+n-lahan basah (EDNEY dan MUCHLIS, 1962 ; SUHARDONo et al., 1989; SUWETA, 1983).' Dari populasi ternak sapi clan kerbau di selunih Indonesia yang berjumlah sekitar 15 jUta ekor, antara 42-100% diantaranya menderita penyakit ini, sedang pada domba clan kambing tingkat kejadiannya lebih rendah (ANONIMUS, 1992). Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan (ANONIMUS, 1991) melaporkan bahwa kenigian ekonomi akibat fasciolosis ini tidak kurang dari Rp.513 milyar setiap tahunnya yang berupa penurunan bobot badan, kerusakan hati, penurunan tenaga keda, penurunan fungsi reproduksi dan kematian . Mengingat pentingnya posisi ternak kerja didalam menunjang swasembada pangan, khususnya di daerah pedesaan, maka hanis dicari cara-cara pengendalian .penyakit ini . Akan lebih berani bila pola penanggifangan fasciolosis pada ternak ini dikaitkan langsung dengan Sistem usaha pertanian di daerah setempat. MASALAH FASCIOLOSIS DI INDONESIA Pada bab di alas telah disinggimg scdikit tentang agen penyebab infcksi cacing hati yakni F. giganlica . Parasit ini dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh van Velzen pada tahun 1890 (KRANEVELD, 1924). Pada taluln 1921 hampir di seuua wilayah Indonesia ditemukan penyakit ini . Kemudian EDNEY clan MUCHLIS (1962) melakukan penyigian tentang kejadian fasciolosis pada ternak yang dipotong di nimah-nlmah pemolongan hewan yang lersebar di Indonesia dengan hasil bahwa pada kerbau 30%, sapi 25%, kambing 10% clan domba 6% terinfeksi oleh cacing hati. Lebih lanjut penyigian di abatoir dilaporkan juga dari bcberapa daerah, misalnya dari Sumatera Barat (RIVAI, 1979), D.I Yogyakarta (PURNOMO el al., 1995), Jawa Timur (SoEsETYA, 1975 ; SRI SUBEKT1, 1995). Bali (SUWETA, 1983), Timor (SOEMARM clan RUBINO, 1979). Dampak ekonomi akibat fasciolosis pada ternak telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. EDNEY clan MUCHLIS (1962) melaporkan bahwa kerugian akibat fasciolosis dari kehilangan daging berkisar antara 5 .000 hingga 75 .000 ton setiap tahunnya. SL.'WETA (1983) menghitung kerugian 123 SeminarNasional Peternakan don Veteriner 1997 ekonomi akibat fasciolosis deengan angka prevalensi penyakit antara 7-58% pada sapi di Bali lebih .dari Rp.350 jutaltahun, dimana populasi sapi di Bali hanya sekitar 4,5% dari total populasi sapi potong di Indonesia . RONOHARDJO et al. (1985) melaporkan bahwa Direktorat Jenderal Peternakan -memperkirakan kerugian akibat fasciolosis pada ternak sebesar US$ 32 juta setiap tahunnya . Terakhir laporan dari Direktorat Jenderal Peternakan (ANoNimus, 1991) kerugian akibat fasciolosis adalah Rp.513 milyar setiap tahunnya, terdiri dari kematian ternak, penurunan produksi, reproduksi dan daya kerja. Kegiatan penelitian fasciolosis lainnya yang telah dilakukan para peneliti terdal)ulu sudah cukup banyak, ada yang meneliti kelainan histopatologi akibat faSCioloSis (WIEDOSARI, 1988; TARMUDn clan GINTtNG, 1983 ; TARMuDJi et al., 1983 ), ef)kasi obat cacing (SUHARDONO et al., 1991; EsTtnNtNGSIH el al ., 1990), mengidentifikasi 'sumber infeksi (RIRNOMo et al., 1995; SUHARDONo dan ESwNINGSIH , 1989; SuwETA, 1983) . Namun demikian, sejauh ini belum ada yang mendwarkan suatu program paket pengendalian untuk penyakit ini . Schubungan dengan hal tersebut maka SIIHARDONO (1997a) melakukan serangkaian penetitian untuk mengurangi celahcelah yang masih ada didalam usaha penanggulangan penyakit ini, antara lain melakukan penelitian tentang viabilitas telur cacing dan metaserkaria, biologi siput L. rubiginosa (termasuk didalamnya peram siput sebagai induk semang antara cacing trematoda), melacak sumber infeksi dan kapan ternak mendapatkan infeksi cacing hati . Semua penelitian tersebut dihubungkan dengan tatalaksana pemeliharaan ternak dan sistem petanaman padi. Daur hidup Fusciola gigantica Untuk memahan)i keterkaitan antara lingkungan dengan daur hidup cacing hati, F. gigantica, berikut secara ringkas diuraikan interaksi tersebut . Cacing dewasa memproduksi telur dan keluar bersamaan dengan kotoran sapi. Pada kondisi yang cocok (cukup air) telur cacing akan menetas dalam 9-12 hari, miracidium yang keluar dari telur akan mencari siput air tawar dari jenis L. rubiginosa (vAN BENTHEM JtrrnNO, 1956) untuk tumbuh dan berkembang biak lebih lanjut (RAKOTONDRAVAo el al., 1992). Dalam 6-7 minggu sejak miracidium memasuki siput, serkariae akan keluar dari tubul) siput dan berenang di dalarn air, kemudian serkariae ini akan membentuk kista dengan melepaskan ekornya dan menempel pada obyek yang terrendam di dalarn air (DUMAG et al., 1976; HODASI, 1972; UENo dan YOSHIHARA, 1974) . Setelah mengista, larvae ini lebih umum disebut metaserkariae, menunggu untuk tennakan oleh ternak. Metaserkariae yang termakan oleh ternak dalam waktu sekitar 18 minggu akan menjadi dewasa dan mulai memproduksi telur (SUHARDONO , 1997a). Sifat-sifat biologi cacing hati dan siput Lynrnaea rubiginosa Untuk memal)ami keterkaitan antara sistem usaha penanaman,padi dan kejadian infeksi oleh cacing hati pada ternak, berikut ini akan diuraikan secara singkat sifat biologi dari telur cacing hati dan biologi siput L. rubiginosa pada lahan tersebut. Menunit hasil penelitian dari SIIWETA (1983) bahwa telur cacing hati hanya akan menetas pada media berair. Telur han)s terpisal)kan dari feses, sehingga telur yang masih berada di dalam tumpukan feses ternak tidak akan menetas . Kekeringan akan mempercepat kematian dari telur sehingga tidak menetas lagi (SUHAR[X)NO, 1997a) . Lebih lanjut ia melaporkan bahwa telur cacing yang hidup tinggal sepertiganya di dalam tumpukan feses di tempat tedul) (setelah 8 minggu) dan di tempat terbuka (sctelah 2 minggu) . Setelah waktu itu, tinggal sebagian kecil telur yang masih hidup. Sedang pada feses yang tercecer-cecer, telur racing akan lebih cepat mati karena kekeringan 124 Seminar Nosional Peternakan don Veteriner 1997 dan sengatan sinar matahari . Penggunaan limbah kandang (yang biasanya ditumpuk :di sebelah kandang) sebagai pupuk tanantan padi irigasi merupakan salah satu somber telur casing hati, dimana miracidia yang menetas dari telur-telur tersebut akan lebih mudah menemukan siput L. rubiginosa untuk tumbuh dan berkembang-biak lebih lanjut (SUHARDONO, .1997a) . Siput L. rubiginosa adalah siput air tawar yang selama hidupnya mutlak :memerlukan air (VAN BENTHEM RrTrtNG, 1956), senang didalam genangan air yang dangkal dengan aliran relatiflamban dan teduh. Tidak seperti Lynnaea sp. lain yang berperan sebagai induk semang antara casing F. hepatica, siput ini tidak inampu beraestivasi (SRI WIDIAIANTI, 1989; SUHARDONO, 1997a), kekeringan selama dua minggu akan membunuh siput . Siput ini dapat ditemukan,pada ketinggian yang sangat rendah (pinggir pantai) hingga di dataran tinggi seperti di dataran tinggi Dieng (REsSANG et al., 1959). Perkembang-biakan siput ini berlangsung sangat cepat terutama pada genangan-genangan air yang dangkal dan teduh (misalnya pada lahan tanaman- padi irigasi). Di sawah yang ditanami padi dengan kedalaman air rata-rata tidak lebih dari 15 cm, siput mendapatkan perlindungan yang maksimal karena di habitat seperti ini aliran airnya sangat lamban, bebas dari paparan langsung sinar matahari dan tingginya biota lain -sebagai somber pakan siput itu sendiri . Sehingga di lahan ini siput akan tumbuh dan berbiak secara maksimal. Populasi siput akan tetap tinggi hingga panen padi berakhir. Siput ini kurang senang pada habitat dengan air yang dalatn atau terpapar langsung oleh sinar matahari (Sm WiDjAiANTt,' 1989)misalnya kolam, sehingga di daerah seperti ini populasi siputnya rendah. Kepindahan -*put dari satu ke lain tempat secara aktif sangat lamban tetapi secara pasifjauh lebih cepat, dimana siput ini mempunyai kebiasaan mengapung diperinukaan air dengan membalikkan tubuhnya sehingga arus air akan mentbawa siput ke tempat lain . Sifat ini juga memungkinkan sulitnya bagi siput untuk tinggal di air dengan ants yang den, s (sungai, selokan) ataupun tempat yang "terpapar langsung sinar matahari (misalnya kolani). Pada musim tanam padi, siput L. rubiginosa akan tersebar luas di lahan-lahan sawah yang ditanarni padi melatui sistem irigasi yang ada . Pada sant air mulai tenang, siput ini ntelanjutkan fiingsi reproduksinya. Apabila pada lahan ini dimasukkan timbah kandang (baik dengan cara diangkut niatipun membuat kandang dekat dengan. sawah) maka miracidia yang menetas dari telur casing yang terbawa bersatna limbah kandang tersebut akan lebih mudah menemukan siput-siput tersebut. Pertuntbultan dan perkembang-biakan`'larva' racing hati di dalant siput ntemerlukan waktu sekitar 6 minggu (AsAN1t, 1988; DUMAG et a1., , 1976; GURALP et al., 1964; RAKOTON-DRAVAO dan RONDELAUD, 1991). Waktu yang diperlukan:-telur casing hati untuk menetas sekitar dua minggu, sehingga jumlah waktu 8 minggu sejak iimbah kandang masuk ke sauah inentpakan suatu kunin waktu dimana siput yang terinfeksi telah siap untuk mengeluarkan larva infektif casing hati yakni metaserkaria . Waktu tumbuh tanarnan padi hingga siap panen sekitar 100 hari, periode ini lebih panjang dari waktu pertumbuhan 'larva' casing hati di luar ternak (%vaktu telur untuk menetas ditambah dengan waktu untuk pertumbuhan larva di dalam siput) yang hanya 8 minggu tersebut. Sisa waktu (100 - 56 hari) tersebut adalah periode terjadinya kontarninasi olelt metaserkaria pada jerami padi/rumput. Dari penelitian infeksi siput oleh larva casing hati (SUHARDONO, 1997a) diketahui bahwa kejadian infeksi tidak merata di semua habitat, melainkan tertinggi di lahan sawah yang berdekatan de-ngan kandang, kernudian infeksi lebilt rendah lagi pada habitat yang dekat dengan pemukiman penduduk (<200 nuKer) dan hampir tidak ditemukan siput yang terinfeksi oleh larva casing hati pada lahan sawah yang jaraknya >200 nteter dari pentukinian . Seminar NasionalPeternakan don Yeteriner 1'997 KS SD - Sawahbeisebelahan kandang Sawah <200 mdari pemukinman Gambar 1 . Tingkat prevalensi K- Kolam SL = Selokan SJ = Sawah >200 m dari pemukiman (SUKARa0N0,1997*) Fasciola gigantic* pad* siput Lymnaea mbiginow .di berbagai habitat Kegiatan usaha pertanian Mengingat Asia, ternlasuk Indonesia, adalah benua dengan lahan yang dapat ditanami (arable) terbesar di seluruh dunia (XARRICE, 1080) maka kegiatan pertaniannya juga sangat intensif. Sebaliknya lahan yang tersedia untuk perWembalaan ternak adalah yang tersempit, sehingga ternak ruminansia sebagian besar kebutuhan hijauannya tergantung dari limbah pertanian . Oleh karena itu tidak aneh kalau usaha peternakan, khususnya ruminansia besar, merupakan sub-sistem dari usaha pertanian . Pada awal musim penghujan biasanya petani mananami lahan sawahnya dengan tanaman palawija atau padi. Penanaman palawija dilakukan di daerah-daerah yang lebih sulit mendapatkan air irigasi dan ini tidak penting dari segi penularan cacing hati, namun tidak dentikian haInya untuk padi irigasi . Penanaman padi biasanya dimulai setelah petani 'memperkirakan' cukup air untuk menanam padi pada awal musim penghujan. Penggunakah limbah kandang sebagai pupuk biasanya dilakukan pada saat pemrosesan sawah sebelum ditanami padi dan hanya sebagaian kecd saja dari para petani yang menambahkan limbah kandang ke sawah yang sudah ditanami padi. Sisa lahan yang tidak dapat ditanami padi, biasanya ditanami palawija, sehingga pada 3 bul*n pertama musim penghujan, relatif sulit untuk mendapatkan hijauan pakan ternak dari lahan yang tidak ditanami kecuali dari limbah pertanian. Pada musim ini biasanya petani memberikan jerami kering (bagi yang menyimpan) sebagai tambahan pakan. Hal seperti ini berlangsung terus hingga panen padi dimulai . ROBERTS dan SUHARDONO (1996) melaporkan bah%va penularan cacing hati oleh F. hepatica erat kaitannya dengan suhu dan kelembaban sedang untuk F. gigantica interaksi antara sistem usaha peternakan dan pertanian merupakan faktor-faktor yang sangat penting dan utama dalam kaitannya dengan penyebaran infeksi cacing hati. Oleh karena itu Sistem usaha penanaman padi 126 Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997 ini harus dipahami dengan sebaik-baiknya karena hal ini sangat erat dengan penyebaran ¬asciolosis pada ternak kerja. Sehingga perubahan tatalaksana baik -sistem usaha pertanian m aupun peternakan dapat mengubah penularan fasciolosis pada ternak . Waktu terjadinya infeksi o1eh Fasciola gigantica pada ternak Ternak dapat terinfeksi oleh cacing hati F. gigantica hanya apabila makan danlatau minum pakan hijauan atau air minum yag tercemar oleh metaserkaria . Pencemaran pada air minum .atau hijauan oleh metaserkariae dapat terjadi bila serkaria cacing hati yang keluar dari siput, xsetelah berenang beberapa saat, kemudian menempel dan membentuk kista pada obyek dalam air. Menurut pengamatan SUHARDONO (1997a) bahwa periode panen pertama dengan xanam Padi berikutnya merupakan suatu periode yang sangat sibuk baik bagi petani maupun ternaknya. Petani pada masa itu harus memanen dan mengeringkan hasil tanamannya . Pada waktu yang bersatzaan petani juga harus menyiapkan lahan sawah tersebut untuk penanaman -padi berikutnya. Sedang untuk ternak, periode tersebut tenaganya diperas habis-habisan agar penyiapan lahan iontuk ditanami padi segera selesai secepat mungkin. Situasi seperti ini bagi petani dan keluarganya tidak cukup waktu untuk memilili pakan hijauan bagi ternaknya . Karena yang paling banyak tersedia, mudah dan cepat didapat adalah jerami padi basah, maka sebagian besar petani memberikan jerami basah sebagai sumber pakan hijauan . Apabila pengambilan jerami tersebut berasal dari daerah yang terkontaminasi oleh metaserkaria cacing hati maka dengan tidak sengaja para petani telah menyediakan pakan yang tercemar oleh metaserkaria clan mulai saat itu terjadilah .infeksi pada ternak tersebut. so 25 IFLNEMEMIJ111 M J J A s O N Di D2 Biiiari J F M A M J J A (SUHARDONo,1997a) Gambar 2. Persentase sapi-sapi pelacak yang mendapatkan infeksi barn oleh Fasciola gigantica, yang diamati setiap empat minggu selama 15 bnlan Dari tiraian di atas terlihat bahwa dengan tidak disadari, petani telah membuka peluang terhadap ternaknya untuk terinfeksi oleh cacing hati (dengan menyediakan hijauan yang tercemar) dan melestarikan daur hidup cacing hati pada ekosistem tersebut (dengan menggunakan limbah kandang sebagai pupuk tanaman padi, membuang limbah kandang ke saluran irigasi, membuat 127 SeminarNosional Paternakan don Yeteriner 1997 kandang berdekatan dengan sawah, dan-lain-lain) . Disini perlu sekali adanya penyuluhan kepada para petani untuk memahami penularan penyakit cacing hati berkaitan dengan sistem usaha penanaman padi yang sudah biasa mereka lakukan, sehingga penularan dapat dihindarkan/ditekan sekecil mungkin dan masih dapat memanfaatkan limbah pertanian -sebanyak-banyaknya untuk keperluan sumber pakan ternak . Pada bab terdabulu telah diuraikan bahwa berdasarkan waktu yang diperlukan oleh cacing hati untuk tumbuh dan berkembang di luar induk semang sekitar 8 minggu . Kurun waktu ini bila dikaitkan dengan aktivitas penanaman padi, maka kontaminasi pada jerami tedadi sebelum padi dipanen. Apabila jerami padi yang terkontaminasi ini menjadi sumber pakan hijauan untuk ternak maka mulai saat pemanenan padi, ternak di daerah itu terpapar oleh metaserkaria cacing hati . Dari hasil penelitian dengan menggunakan hewan pelacak (SUHARDONO, 1997a) diketahui bahwa infeksi oleh cacing hati pxda ternak tedadi sepanjang tahun, namun ada suatu periode dengan derajat yang sangat tinggi yaitu antara bulan Januari hingga Juni, dimana pada waktu itu adalah periode panen padi dan-limbah jerami melimpah. Dari kedua pendekatan tersebut (biologi cacing hati pada stadium larva dan biologi siput serta penggunaan sapi sebagai hewan pelacak terhadap tedadinya infeksi) tglihat bahwa jerami padi berperan sangat besar didalaiii penyebaran fasciolosis pada ternak yang cli'piara di lahan pertanian . Sumber infeksi Untuk mengidentifikasi sumber-sumber infeksi cacing hati pada ternak hal utama yang harus diingat adalah adanya habitat yang berair/ pernah berair dalam periode tertentu dimana siput L. rubiginosa dapat hidup . Di luar habitat tersebut tidak perlu dikhawatirkan akan terjadi pencemaran oleh metaserkaria . Sumber penularan infeksi oleh cacing hati dapat berasal dari pAan atau air minumnya . Beberapa laporan dari War negeri menyatakan bahwa untuk fasciolosis yang disebabkan oleh F. gigantica penularannya melalui rumput atau jerami padi yang diambil dari sawah bekas ditanami padi. Di Tanganyika, salah satu negara di Afrika, pernah terjadi wabah fasciolosis pada sapi yang digembalakan di sawah bekas ditanami padi (HAMMOND, 1956) dengan gejala kekurusan yang sangat parah, hilang napsu makan dan mencret, serta banyak ternak mati. Dari Nigeria dilaporkan oleh SCHILLHORN VAN VEEN (1979) juga terjadi wabah fasciolosis pada domba . Dari India GurrA dan PAUL (1987) melaporkan bahwa kerbau yang tidak digembalakan menderita fasciolosis yang cukup berat, diduga infeksi dari air minum/rumput yang tumbuh di selokan yang terletak di sebelah kandang dan teradi pada saat ternak tersebut dibawa ke tempat tersebut untuk minum. Dari Nepal (HARRISON et al ., 1996) dilaporkan bahwa kerbau yang dikandangkan mendapatkan infeksi tertinggi dari jerami padi dan rumput yang diarit dari sawah bekas tanaman padi . Dari laporan di atas terlilkat bahwa kejadian infeksi terjadi secara serius pada ternak yang, mengkonsumsi jerami/rumput yang berasal dari sawah bekas tanaman padi dan/ atau selokan dekat kandang. SUHARDONO (1997a) berhasil mengidentifikasi sumber-sumber terjadinya penularan fasciolosis . Berdasarkan penennian siput L. rubiginosa yang terinf'eksi oleh larva F. gigantica diketahui bahwa habitat yang lebih dekat dengan pemukiman (5200m) lebih potensial untuk terjadi pencemaran oleh metaserkaria, sedang yang tertinggi pencemarannya adalah lahan yang berdekatan dengan kandang ternak . Habitat yang jauh (>200 m) dari pemukiman/kandang ternak boleh dikatakan tidak tedadi pencemaran oleh metaserkaria cacing hati. 12 8 SeminarNasional Peternakan don Veteriner 1997 Dari penelitian lain, yakni mengikuti hewan pelacak saat digembalakan dan/ atau di tempat dimana peternak mengambil pakan hijauan . Dari lokasi-lokasi tersebut kemudian diambil spesimen air dan jerami/rumput untuk diteliti lebih lanjut di laboratorium . Hasil penelitian ini memperkuat hasil pengomatan pada siput tersebut di atas, dimana dapat diketahui bahwa air yang berasal dari sawah yang berdekatan dengan kandang, jerami atau rumput dari asal yang sama dengan air, memiliki tingkat kontaminasi lebih tinggi daripada bahan-bahan tersebut bila diambil dari tempat lain. Pakan dan air yang diambil dari tempat yang jauh (>200 meter) dari pemukiman/ kandang ternak tidak ditemukan adanya parasit (metaserkaria cacing hati). SUHARDONo dan ESTUNINGSIH (1989) menemukan bahwa hanya sepertiga bagian bawah dari jerami padi yang terkontaminasi dengan metaserkaria . Penelitian terbaru tentang distribusi metaserkaria F. gigantica pada jerami yang diambil dari lapangan, dilaporkan oleh SUHARDONO (1997a) dan diketahui bahwa tingkat kontaminasi yang tertinggi adalah jerami bagian bawah (10 cm dari tanah), makin ke atas tingkat kontaminasinya semakin rendah. Hal ini berhubungan erat-dengan bagian jerami yang terrendam air. Tlngginya galengan dxn saluran pembuangan pada petakan sawah tanaman padi secara langsung mempengaruhi bagian jerami yang terrendam air atau kemungkinannya untuk terkontaminasi oleh metaserkariae . PENGENDALIAN FASCIOLOSIS Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa kejadian fasciolosis pada ternak sangat erat hubungannya dengan sistem usalla penanaman padi irigasi, penggunaan limbah kandang sebagai pupuk tanaman dan pemanfaatan limbah pertanian (jerami) untuk pakan ternak . Oleh karena itu penanggulangan penyakit ini tanpa memperhatikan sistem usaha tani setempat akan sangat ulit balikan mustahil untuk dilakukan . Pola pengendalian fasciolosis pada ternak kerja di Indonesia telah ditawarkan oleh SUHARDONO (1997b) . Pertimbangan-pertimbangan yang harus diambil pada waktu melakukan pengobatan ternak antara lain : 1 . Tlngkat pencemaran oleh metaserkariae cacing hati di lapangan . 2. Populasi siput L. rubiginosa di lapangan . 3 . Pencemaran oleh telur cacing di lapangan . 4 . Wxktu yang diperlukan cacing hati untuk menjadi dewasa di dalam tubuh ternak . 5 . Kemxmpuan flukisida dalam membunuh cacing hati pada berbagai stadium . Secara umum pola penanggulangan fasciolosis dapat dikelompokkan berdasarkan musim (penghujan dan kemarau) . Pada musim penghujan, pada saat mana para petani sedang sibuk menanam padi dan palawija, populasi siput mencapai puncaknya dan tingkat pencemaran aleh metaserkaria juga tinggi, maka tindakan-tindakan yang dapat dilakukan adalah pencegahan terhadap adanya infeksi dan/ atau menekan serendah mungkin untuk terjadinya pencemaran lingkungan, antara lain dengan cara : 1. 2. 3. Jangan menggunakan limbah kandang segar sebagai pupuk pada tanaman padi kecuali sudab dikomposkan, Hindarkan pengambilan jerami yang berasal dari sawah dekat kandang, namun kalau terpaksa jerami harus diambil dengan pemotongan sedikit di atas tinggi galengan, sedang pemanfaatau jerami yang berasal jauh dari pemukiman/kandang ternak lebih aman dari pencemaran . Kerlngkan jerami yang berasal dari sekitar pemukiman dan/atau dekat kandang minimal dijemur selama 3 hxri bertunit-turut di bawah sinar matahari . 129 Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997 Hindarkan penggembalaan ternak di daerah berair dan/atau pernah diairi pada jangka waktu tertentu. 5 . Pemberian obat cacing flukisida pada saat ini belum tepat karena ternak terus menerus masih mendapatkan paparan yang tinggi oleh metaserkaria yang menempel pada rumput/jerami, sedang efek obat cacing sangat pendek . Pada musim kemarau menurut hemat penulis lebih cocok untuk melakukan pengobatan pada ternak yang dilakukan secara masal . Tergantung dari jenis obat cacing flukisida yang dipakai, pengobatan pada ternak dapat dilakukan paling cepat 6 minggu sejak panen padi berakhir (bila dipakai obat cacing yang mampu membunuh cacing segala umur) dan beberapa minggu sebelum musim penghhujan tiba (bila flukisida yang dipakai hanya mampu membunuh cacing dewasa saja). Waktu pengobatan ini ditekapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : 4. Pada musim kemarau sebagian besar siput akan mati karena habitatnya kering, sehingga sisa telur yang dikeluarkan oleh cacing dewasa bersamaan feses ternak tidak akan menemukan siput lagi bila menetas . Metaserkaria yang masih ada di lapangan akan mati karena kekeringan dan terpapar sinar matahari, sehingga pengobatan dengan flukisida pada musim kemarau memungkinkan bagi ternak tidak terpapar lagi oleh metaserkaria . 1. 2. 3. 4. Untuk jenis flukisida yang dapat membunuh semua umur cacing di dalam tubuh ternak (misalnya triclabendazo1e) maka obat tersebut dapat diberikan lebih awal (6 minggu sejak panen padi berakhir) untuk meminimkan kerugian akibat infeksi . Untuk jenis flukisida yang hanya mampu membunuh cacing dewasa, pemberian obat cacing ditunda hingga akhir musim kemarau. Hal ini mengingat bahwa infeksi yang tinggi masih terjadi hingga bulan Juni, dan pendewasaan cacing didalam tubuh ternak perlu waktu z 16 minggu. Pengobatan dengan flukisida pada musim kemarau ini bernilai ganda, yakni membunuh semua cacing hati yang ada di tubuh ternak dan selanjutnya mendadakan pencemaran pada musim penghujan berikutnya. Mengingat bahwa penularan penyakit ini terjadi dengan cara tidak langsung yakni melibatkan siput L. rubiginosa, juga masyarakat peternak menggunakan lahan gembalaan dan limbah pertanian secara bersama-sama didalam suatu daerah; maka pengobatan secara individu ataupun kelompok kecil tidak memberikan hasil yang maksimal pada masyarakat itu. Di sini peran penyuluhan sangat ditekankan agar petani menyadari arti kebersamaan didalam penanggulangan fasciolosis pada ternak di daerah itu . UJI LAPANG PENGENDALIAN FASCIOLOSIS DENGAN PEMBERIAN OBAT CACING PADA TERNAK Berdamrkan hasil penelitian tentang pelacakan fasciolosis pada ternak sapi, lerbukti bahwa ternak tersebut mendapatkan infeksi antara bulan Januari dan Juni, dimana pada waktu itL bertepatan dengan musim panen (SUHARDONO, 1997a). Perlu diketahui disini bahwa panen padi di daerah dinkana penelitian dilakukan tidak berlangsung secara serempak, nalmin mtu saina laitl jarak waktunya bertepatan. Dari hasil pemantauan dinamika populasi siput, juga diketahui bahwa selama musim panex tersebut populasi siput tetap tinggi. Akan tetapi seiring dengan berakhirnya panen padi (awa', 130 SeminarNasional Pet~kan dan Veteriner 1997 musim kemarau), keberadaan air jug& sudah mulai berkurang, lahan <sawah bekas lanaman padi mulai mengering/sengaja dikeringkan untuk tanaman >palawija atau idibiarkan 'bera' . Permukaan sawah yang tadinya teduh dan basah karena masih ada tanaman padi berangsur-angsur-mengering karena sinar matahari clan sengaja dihilangkannya genaugan air di .1ahan temebut . Sebagai akibatnya banyak siput yang mati clan populasinya menurun dengan tepat . Siput tlasih dapat ditemukan di pematang-pematang, sawah yang dipadukan kolam, dan cenikan-cerukan lainnya . Di habitat seperti ini siput tidak terlihat berkembang biak dengan baik, kecuali sekedar bertahan hidup. Dari hasil pengamatan di laboratorium tentang viabilitas metaserkaria (SuHARDoNO, 1997a), diperoleh hasil bahwa apabila metaserkaria tersebut terpapar langsung oleh sinar matahari akan mati walau hanya sehari. Sedang di tempat yang teduh metaserkariae bertahan hidup lebih lama. Hasil ini untuk pengetahuan praktis di lapangan diharapkan bahwa metaserkaria yang ada di rumput/jerami akan cepat mati pada awal musim kemarau, dalam beberapa minggu dari panen padi terakhir. Prevalensi (%) J-n S-8 N-16 J-24 M-32 _M_-40 J-48 r-5d Bulan (minggu) ODiberi obat cacing -Kontrol (SUHARDONO, 1997&) Gambar 3. Tingkat prevalensi oleh Fasciola gigantica pada kedua kelompok sapi (kontrol dan diberi obat cacing triclabendazole), pengamatan dilakukan selama setahun Dari ketiga alasan tersebut di atas maka dilakukan pengobatan secara massal sekali dalam setahun dengan menggunakan obat cacing triclabendazole (SIJHARDONO, 1997&). Pengobatan dilakukan pada bulan Juli. Pada penelitian ini dibuat dua kelompok sapi (masing-masing kelompok sekitar 150 ekor) yang menggunakan lahan gembalaan berbeda dan tidak bertemu satu sama lain. Kelompok pertama diberi obat cacing pada bulan Juli clan kelompok kedua dibiarkan sebagai kontrol . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok diberi obat cacing baru seekor positif terinfeksi setelah 8 bulan (Gambar 3) dan setahun kemudian kurang dari 30% sapi mendapatkan infeksi baru . Sedangkan kelompok sapi yang tidak diberi obat cacing menunjukkan tingkat prevalensi yang tetap tinggi . Penelitian ini tidak dipadukan dengan program pencegahan seperti yang telah diuraikan di atas. Sehingga bila program pengobatan ini dipadukan dengan pencegahan penyakit dan dilakukan selama 3-5 tahun bertunit-turut, bukan tidak mungkin masalah fasciolosis akan dapat ditekan screndah mungkin . Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997 "PENYULUHAN Pengetahuan umum tentang suatu penyakit mungkin sudah diketahui oleh parapetani, namun untuk penyakit yang khusus spalagi tidak memperlihatkan adanya tanaa-tanaa _keiainan yang menciri, diperlukan panyuluhan dengan waktu yang -atnungkin 1ebih -panjang -untuk Aapat memahaminya. Untuk penyakit yang cara penularannya tidak langsung seperti fasciolosis ini lebih sulit lagi untuk dipahami oleh para peternak . Kelompok-kelornpok tani perlu diadakan dan diberi penerangan. Petani biasanya lebih mudah menerima cara-cara yang praktis dan mudah dikaitkan dengan kegiatan sehari-harinya . Untuk penanggulangan fasciolosis pada ternak diperlukan penyuluhan-penyuluhan yang berkaitan dengan pengenalan penyakit dikaitkan dengan sistem usaha pertanian setempat. Stimbersumber penyakit dan kapan infeksi terjadi juga perlu diketahui oleh para petani sehingga akhirnya para peternak dapat memilih jenis hijauan yang aman untuk ternaknya . Pengenalan programprogram penanggulangan (pencegahan dan pengobatan) juga harus disampaikan kepada para petani . Hal yang tidak kalah penting ialah membuat kelompok-kelompok peternak, atau semacam koperasi sehingga penanggulangan penyakit ini dapat dilakukan secara masal di suatu daerah . Kemasan obat casing flukisida yang cukup besar ukurannya akan sangat memberatkan peternak untuk membeli satu kemasan, namun hal ini dapat diatasi dengan cara berkelompok/melalui koperasi. KESIMPULAN 1. Fasciolosis pada ternak ruminansia, khususnya ternak kerja, kejadiannya sangat erat hubungannya dengan sistem usahatani (bercocok tanam padi). Kejadian infeksi terjadi terutama pada musim panen padi . 2. Lahan sawah tanaman padi merupakan habitat yang sangat baik untuk perkembang-biakan siput L. rubiginosa yang berperan sebagai induk semang antara casing hati. 3. Pemanfaatan limbah kandang sebagai sumber pupuk, jerami sebagai sumber pakan ternak dan pengandangan ternak bersebelahan dengan sawah memungkinkan kelestarian infeksi casing hati pada ternak kerja. 4. Dengan sedikit pengbahan ketata-laksanaan dalam sistem bercocok tanam padi, cara-cara penyediaan pakan hijauan dan sistem pengandangan ternak, maka pencegahan infeksi casing hati dapat dilakukan terutama pada musim penghujan . 5. Pengobatan fasciolosis pada ternak 6-8 minggu setelah akhir musim panen padi dapat menghilangkan infeksi dan mempertahankan ternak tetap bebas dari infeksi casing hati selama 8 bulan. Sehingga pengobatan pada ternak kerja cukup dilakukan sekah dalant setahun pada %vaktu tersebut . DAFTAR PUSTAKA ANommous. (1991). Data ekonomi akibat penyakit hewan 1990. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Petemakan, Departemen Pertanian . ANoNimous . (1992). Dwi windu P41 (Beberapa masalah parasitosis pada hewan di Indonesia). Buku peringatan 16 tahun P41(13 Januari 1976 - 31 Januari 1992) . P41, Jakarta. AsANn 132 M. F. (1988). The snail intennediate host of Fasciola gigantica and the behaviour of miracidia in host selection . Bull. Anim . Hl1h. Prod. Africa. 36:245-250 Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997 Van BENTHEM JUTTING, W.S .S . (1956) . Systematic studies on the non-marine molluscs of the Indo-Australian archipelago. V. Critical revision of the Javanese fresh water gastropods . Treubia 23 :454-461 BORAY, J.C . (1991) . Current status of the control of trematode infections in livestock in developing countries. Working paper for expert consultation on helminth infections of livestock in developing countries. FAO Rome pp . 1-33 DOYLE, P.T ., DEVENDRA, C. and PEARCE, G.R. (1986). Current feeding system. In Rice straw as feed for ruminants. IDP, Canberra . DUMAG, P.U., BATOLOS, J.A ., EscANDoR, N.B ., CASTILO, A.M . and GAJuDo, C.E . (1976) . The encystment of Fasciola gigantica metacercariae on different pasture grasses. Phillipine J. Anim. Industry . 31 : 72-86 EDNEY, J.M. and MucHms, A. (1962) . Fasciolasis in Indonesian livestock. Veterinarlae. 6: 49-62 ESTuNINGSIH, S .E ., STEVENSON, P., BERIDIAJA and KNOX, M.R . (1990) Triclabnedazole in the treatment of Fasciola gigantica infection in swamp buffalo (Bubalus bubalis) . Aus. Vet. J.,67 :234-235 FAWCETT, A.R . (1990) . A study of a restricted programme of strategic dosing against Fasciola hepatica with triclabendazole . Yet. Rec. Nov.: 492-493 GUPTA R. P. and PAUL J. C. (1987). An unusual outbreak of fascioliasis (Fasciola gigantica) on a farm. Indian J. Anim . Res. 21 : 4142 GuRALPN, OzcANC and SIIvtms B T (1964) Fasciola gigantica and fascioliasis in Turkey . Ame. J. Yet. Res. 25 : 196-210 HAmmoND, J.A . (1956). Observation on fascioliasis in Tanganyika. Bull. Epiz. Dis. Africa . 13 : 55-65 HARRISON L J S, HAmmoND J. A. and SEWELL M. M. H. (1996). Studies on Helminthosis at the Centre for Tropical Veterinary Medicine . Trop. Anim.1111h . Prod. 28 :23-39 HGDASI J. K. M. (1972) . The output of cercariae of Fasciola hepatica by Lymnaea truncatula and the distribution of metacercariae on grass. Parasitol. 64 : 53-60 JARRIGE, R. (1980) . Herbivores in agricultural ecosystem. In Digestive physiology and metabolism in ruminants. Edited by Y Ruckebusch and P Thivend. AVI Publishing Company, Inc. pp.: 763-823 KRANEVELD, F.C . (l924) . Bijdrage tot de therapie der distomatosis in Nederlandsch-Indie. Ned.lndie Bl. Dier. 36 : 3-63 MuKHLJs, A. (1985) . Identitas racing hati (Fasciola sp .) dun daur hidupnya di Indonesia. Tesis Doktor. hnstitut Pertanian Bogor. PURNOmo, P.D ., MARTIN, S.W . and TOEWS, D.W . (1995) . Fasciolosis in zebu cattle in the lowlands of Kulon Progo district, Yogyakarta, Indonesia: A cross-sectional survey. Workshop on Fasciola gigantica in w cattle and buffalo in Indonesia. Bogor 1 l May 1995 . RAKoToNDRAVAo and RONDELAUD, D. (1991) . Shedding of Fasciola gigantica Cobbold cercariae by the mollusc Lymnaea truncatula Muller. Bull. Soc. Franc. Parasitol. 9: 87-92 RAKOTONDRAVAO, MOuKRIM A., HouRDiN P. and RoNDELAuD D. (l992). Redial generations of Fasciola gigantica in die pulmonate snail Ljmtnaea truncatula . J. Helminthol. 66 :159-166 RANGKuTi, M., SOEJONO, M. and MUSOFIE, A. (1986) . Fanning systems and economic of feeding crop residues in Java, Indonesia. In pp .320REsSANG, A.A ., FISCHER, H. and MUCHms, A. (1959) . The Indonesian veterinarian . His education, activities and problems . Conint. Vet. 3 : 55-99 13 3 Seminar Nasional Peternakan dan Vereriner 1997 RIVA1, M. (1979) . Losses caused by Fasciola hepatica in infected cattle and buffaloes slaughtered at Padang Panjang Abattoir. Vet. Parasitol. 5: 81 ROBERTS, J.A . and SuHARDONo. (1996) . Approaches to the control of fasciolosis in ruminants. Int. J. Parasitol . 26 : 971-981 A.J . and HIRST, R.G . (1985) . Current livestock disease status in Indonesia. Penyukit Hewan 17 : 317-326 RoNoHARDIo, P., WILSON, T.W . (1979) . Ovule Fascioliasis (Fasciola gigantica) on the Alunadu Bello Unibersity Farm. Tropical Animal Health andProduction 11 :151-156 SCHILLHORN VAN VEEN, A.W . and RuBINO .(1979). Distribution of Fasciola hepatica in cattle and buffalo in Timor. Yet. Pqrasitol. 5: 81 SOEMARDI, R.H.B . (1975) . The prevalence of Fasciola gigantica infection in cattle in East Java, Indonesia. Malaysian Vet. J. 6: 5-8 SOESETYA, B.S . (1995) . Fascioliasis survey in dairy cattle productive in up and low areas in East Java province. Workshop on Fasciola gigantica in cattle and buffalo in hldonesia. Bogor 11'h May 1995 . SRI SUBEKTI, (1989). Studies on the biology of Lyninaea rubiginosa . M.Sc Thesis, Tropical Veterinary Sciences and Agriculture, James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia. SRI WIDJAJANTI . (1997a). Epidemiology and control of fasciolosis by Fasciola gigantica in Ongole cattle in West Java. Tesis Doktor. Australian Institute of Tropical Veterinary and Animal Science, James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia. SUHARDONO. SUHARDONO. (1997b) . Fasciolosis dan penanggulanganurya . Infovet.Edisi o45.April 1997 . dan ESTUNINGSIH S. E. (1989). Tingkat kontaminasi jerami padi oleh metacercariae di daerah endemik fascioliasis . Proceedings Perternuan Ilmiah Ruminansia . Runrinansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembongan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembongan Pertanian, Bogor. Hal. 56-58. SUHARDONo S. and WAHYUNING, K.S . (1999) Usaha pengendalian fascioliasis secara biologis. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 11 : 6. SUHARDONo, BACHRI, P. and CARMICHAEL, I.H. (1991). Control of Fasciola gigantica with triclabendazole in hldonesian cattle. Tropical Anintal Health andProduction 23 : 217-220 SUHARDONO, SRI WIDJAJANTI, STEVENSON, SUwETA, I.G .P. (1983) . Kenlgian ekonomi oleh cacing hati pada sapi sebagai implikasi interaksi dalam lingkungan hidup pada ekoSistem pertanian di pulau Bali . Ph .D thesis, Universitas Pajajaran, Bandung, hldonesia. TARMuDJI dan GINTING, Ng . (1983). Derajat kerusakan hati akibat fascioliasis pada sapi-sapi Friesian Holstein betina di kabupaten Malang, Jawa Timur (Suatu tinjauan histopatologik) . Penyakit Hewan 15 : 83-85 T. don HAMtD, H. (1983) . Kasus fasci6liasis pada sapi-sapi di Jowa Tinuir, berdasarkan hasil pemeriksaan patologik (1979-1982). Penyakit Hewan 15 : 91-94. TARmuDn, IsKANDAR, UENo H. and YOSHIHARA S. (1974) . Vertical distribution of Fasciola gigantica metacercariae in stems of rice plant grown in a water pot. Nat. Inst. Aninn. 111th. Qu a??. 14 : 54-60 W.S .S . (1956) . Systematic studies on the non-marine molluscs of the Indo-Australian archipelago . V. Critical revision of the Javanese fresh water gastropods . Treubia 23 : 454-461 VAN BENTHEMJUTTING, 13 4 Saninar Nasionai Peternakan dam Vvteriner 1997 E. (1988) . Studies on infection of -Javanese =2hin4ailed sheep >with Faactvla -gigantica and Gigantocotyleexplanatum . M.Sc Thesis. James Cook University of North Queensland, Townsville, WuDwAm, ,Australia . WSKUSI Nana Supriatna (Tanggapan Umum) iintuk mendapatkan kualitas daging yang baik dalam rangka era globalisasi, maka casing had sangat penting ambil bagian kualitas daging. Kontribusi fasciolosis terhadap kesehatan hewan sehingga produk yang dihasilkan akan bermutu. Yang perlu diperhatikan adalah : Sistematika yang praktis dengan : menata pola tanam yang baik, sistem yang mudah dilaksanakan, dan perlu penelitian lebih lanjut . Jika penelitian sekarang ini disarankan maka kira-kira bagaimana prediksi hasilnya. Tanpa penanggulangan dan dengan penanggulangan bagaimana hasilnya ? Penurunan produksi kira-kira berapa ? Hal ini penting untuk penentu kebijakan . Strategi sudah eukup baik.