6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp

advertisement
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tanaman Biduri (Calotropis spp.)
Biduri (Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada
daerah kering dan toleran pada kadar garam yang relatif tinggi, tumbuh liar hingga
900 Mdpl. Tumbuh pada daerah yang memiliki curah hujan rata-rata tahunan:
300-400 mm. Penyebaran tanaman ini melalui angin dan hewan yang membawa
bibit yang tersebar, dengan cepat menjadi gulma di pinggir jalan dan padang
rumput. Tanaman ini di kenal di indonesia dengan nama Bidhuri (Sunda,
Madura), sidaguri (Jawa), rubik (Aceh) (Kumar et al., 2013).
Distribusi tanaman ini tersebar di seluruh dunia, tapi paling baik tumbuh
pada daerah yang beriklim sub-tropis dan tropis. Genus Calotropis yang paling
banyak diwakili oleh dua spesies yaitu Calotropis procera dan Calotropis
gigantea (Lohare et al., 2011). Biduri disebut juga sebagai tumbuhan ark,
penghilang kutil atau “milkweed” dan sering di temukan di Indonesia, Malaysia,
China, dan India. Ekstrak dari berbagai bagian tanaman ini memiliki nilai
terapeutik yang signifikan untuk mengobati berbagai macam penyakit (Menna et
al., 2011).
6
7
Di dalam taksonomi di golongkan biduri (Calotropis spp.) dalam:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom Super division
: Tracheobionta
Spermatophyta
: Seed plants
Division Magnoliophyta
: Flowering plant
Class Magnoliophyta
: Dicotyledons
Subclass
: Asteridae
Order
: Gentianales
Family
: Asclepiadaceae
Species
: Calotropis procera
dan Calotropis gigantea
(Lohare et al., 2011)
2.1.1 Kandungan Fitokimia daun biduri
Banyak kandungan fitokimia dari berbagai bagian Calotropis spp.
terutama pada daun. Kandungan fitokimianya berupa usharin, gigantin,
kalsium oksalat, alfa dan beta – calotropeol, beta – amyrin, asem lemak
(jenuh dan tak jenuh), hidrokarbon, asetat dan benzoat, campuran senyawa
tetracyclic triterpen, terols, giganteol, cardinolide calotropin, α – amyrin, β
– amyrin, taraxasterol, β – sisterol, α - amyrin methylbutazone, β - amyrin
methylbutazone, α – amyrin asetat, β – amyrin asetat, taraxesteryl asetat,
lupeol asetat B, gigantursenyl asetat A, giganturesenyl asetat B, flavonol
glikosida, akundarol, uscharidin, calotropin, frugosida, calotroposides A
sampai G juga yang bertanggung jawab untuk banyak aktivitas. Beberapa
8
komponen lainnya yang di temukan adalah benzoylisolineolon dan
benzoyllineolone, flavanoid, triterpenoid, alkaloid, steroid, glikosida,
saponin, terpen, enzim, alkohol, resin, asam lemak dan ester dari
calotropeols, asam lemak rantai panjang yang mudah menguap, glikosida,
dan protease telah terisolasi dari berbagai bagian dari tanaman biduri
(Kumar et al., 2013).
Dari kandungan fitokimia yang terdapat dari daun biduri banyak di
manfaatkan sebagai obat tradisional, seperti anti-bakteri, anthelmintik,
insektisida, anti-inflamasi, anti-diare, larvisida, dan anti-kanker (Juncker et
al., 2009). Aktivitas anthelmintik daun biduri berasal dari kandungan
flavonoid, alkaloid, glikosida, resin, dan tannin (Sharma et al., 2012 ;
Kumar et al., 2013). Enzim proteolitik juga terdapat pada calotropin
sebagai kandungan aktif pada daun biduri yang bersifat anthelmintik
(Menna et al., 2011 ; Tandon et al., 2011).
2.2
Cacing F. gigantica
Fascioliosis adalah penyakit yang di sebabkan oleh cacing F. gigantica
pada ternak menyerang organ hati dan biasa disebut liver fluke. Umumnya
menyerang hewan ruminansia dan merupakan salah satu penyakit parasiter yang
penting, terutama pada sapi. Kejadian fascioliosis pada ternak ruminansia tersebut
berkaitan erat dengan pencemaran metaserkaria, yang merupakan larva infektif
cacing trematoda genus Fasciola spp. dalam pakan hijauan ternak (Martindah et
al., 2005). Memiliki tubuh yang tidak bersegmen dan bersifat hemaprodit. F.
gigantica tubuhnya berwarna merah muda kekuningan sampai abu kehijauan
(Suwandi, 2001).
9
Gambar 1: F. gigantica (Taylor et al., 2007)
2.2.1 Taksonomi
Di dalam taksonomi cacing F. gigantica di golongkan ke dalam :
Phylum
: Platyhelminthes
Class
: Trematoda
Sub-Class
: Digenea
Family
: Fasciolidae
Genus
: Fasciola
Spesies
: F. gigantica
(Taylor et al., 2007)
2.2.2 Morfologi cacing dan telur F. gigantica
Cacing F. gigantica dapat mencapai panjang sekitar 7,5 cm dan
lebar 1 cm Berbentuk lebih mirip daun dan pada bagian anterior berbentuk
kerucut dan tidak ada “bahu” yang menonjol. Memiliki oral dan ventral
sucker untuk melekat pada organ yang bekas gigitannya dapat
menimbulkan jaringan parut dan pengapuran. Telur F. gigantica berbentuk
oval, berwarna kuning, besar, dan mempunyai operculum pada salah satu
sisi ujung telur. Memiliki ukuran 150 µm x 90 µm (Urquhart et al., 1996).
10
2.2.3 Siklus hidup
Cacing dewasa yang berpredileksi pada saluran empedu dan atau
kantung empedu memproduksi telur dan keluar bersama feses. Pada
kondisi yang sesuai telur cacing akan menetas dan mengeluarkan
mirasidium. Telur cacing F.gigantica akan menetas dalam 14-17 hari pada
suhu 28°C. Mirasidium memiliki cilia (rambut getar) dan aktif berenang
untuk mencari induk semang antara, yaitu siput Lymnaea auricularia,
kemudian mirasidium akan menembus ke dalam tubuh siput dan
berkembang menjadi sporokista. Dalam waktu 2 minggu sporokista akan
menetap
dalam
tubuh
siput,
kemudian
sporokista
mengalami
perkembangan lebih lanjut menjadi redia. Redia akan menuju jaringan
tubuh siput untuk berkembang menjadi serkaria yang mempunyai ekor.
Serkaria dapat berenang keluar menembus jaringan tubuh siput dengan
menggunakan ekor tersebut. Di luar tubuh siput, serkaria akan melepaskan
ekornya kemudian membungkus tubuhya dengan kista dan menjadi
metaserkaria. Metaserkaria yang dapat bertahan lama menempel pada
rumput atau tumbuhan air disekitarnya. Bila metaserkaria termakan oleh
ternak, di dalam usus metaserkaria tersebut akan keluar dari kista
menembus dinding usus menuju ke hati. Dalam waktu sekitar 20 minggu
akan tumbuh menjadi dewasa dan mulai memproduksi telur (Taylor et al.,
2007 ; Bowman, 2009).
Cacing F. gigantica dapat hidup sekitar satu tahun di dalam tubuh
ternak. Cacing ini akan memakan jaringan hati dan darah pada saat masih
11
muda, dan makanan utama setelah dewasa adalah darah (Martindah et al.,
2005).
Gambar 2: Siklus Hidup Fasciola spp (Bowman, 2009)
2.2.4 Patogenesis
Pada pemeriksaan hati sapi di rumah potong hewan, luas kerusakan
hati tergantung pada tingkat infeksi dan lamanya hewan terinfeksi. Pada
infeksi yang disebabkan oleh cacing muda terlihat adanya perubahan
berupa pembengkakan yang berair dan penyumbatan saluran empedu,
jaringan hati mengeras karena terbentuk jaringan parut (cirrhosis) dan hati
mengecil (atrophi), dan pendarahan pada hati. Infeksi dalam bentuk kronis
yang sering di temukan pada sapi (Martindah et al., 2005 ; Urquhart et al.,
1996). Selain itu fascioliosis yang di sebabkan oleh infeksi dari cacing
12
dewasa juga menyebabkan kolangitis, nekrosis pada dinding duktus,
anemia, hepatitis traumatis, dan fibrosis pada saluran empedu terjadi yang
akhirnya mengalami pengapuran (Ballweber, 2001).
2.2.5 Gejala klinis
Gejala klinis dalam bentuk kronis yang ditimbulkan seperti,
penurunan berat badan, anemia, asites, edema submandibular dan paling
banyak di temukan pada sapi. Gejala yang di timbulkan tergantung dari
tingkat infeksi metaserkaria pada sapi, semakin cepat metaserkaria yang
menginfeksi dan di dukung dengan kondisi tubuh sapi yang kurang sehat
maka akan semakin cepat kematian sapi tersebut (Ballweber, 2001).
2.2.6 Diagnosa
Diagnosa penyakit fascioliosis di lihat dari gejala klinis yang yang
tampak, epidemologi, anamnesa dan identifikasi siput sebagai hospes
perantara (Taylor et al., 2007). Diagnosa juga dapat dilakukan dengan cara
ante-mortem dan post-mortem. Pada diagnosa ante-mortem, yaitu dengan
cara indentifikasi telur cacing menggunakan uji sedimentasi dari feses sapi
yang
terinfeksi
sedangkan
diagnosa
post-mortem
dengan
cara
mengidentifikasi cacing yang berada pada hati, saluran empedu, dan
kantung empedu (Ballweber, 2001).
13
2.2.7 Terapi
Terapi menggunakan anthelmintik bertujuan untuk mengurangi
maupun menghilangkan parasit sebelum menpengaruhi produktivitas
ternak dan mencegah metaserkaria yang akan mencemari rumput. Terapi
pada fascioliosis dapat menggunakan Triclabendazole dan clorsulon yang
efektif terhadap fase dewasa dari F. gigantica pada sapi (Taylor et al.,
2007). Triclabendazole, obat yang umum digunakan untuk gejala klinis
sub-akut.
Pada
fascioliosis
kronis
menggunakan
nitroxynil
dan
oxyclozanide. Albendazole juga efektif melawan cacing dewasa pada
tingkat dosis tinggi, dalam bentuk bolus pada berat badan tertentu (< 150
Kg: 1,5 bolus, 150-300 Kg: 3 bolus, 300-400 Kg: 4 bolus, dan >400: 5,5
bolus) di berikan secara oral dan Meniclopholan dengan dosis 50mg/Kg
berat badan (Urquhart et al., 1996 ; Ballweber, 2001 ; BPTP NTB, 2001).
Download