BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan Secara kuantitatif kajian tentang masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir masih sangat terbatas (langka) jika dibandingkan dengan penelitian masyarakat petani atau masyarakat perkotaan. Kajian terhadap masyarakat pesisir pantai ini sangat berarti untuk kepentingan pembangunan manusia, karena masyarakat nelayan merupakan masyarakat yang tergolong miskin dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya (the poorest a/the poor). Kelangkaan kajian penelitian terhadap masyarakat nelayan ini sangat tidak seimbang jika dikaitkan dengan Negara Indonesia ini sebagai negara maritim yang terbesar di dunia. Dari segi akademis kita kalah jauh dengan kuantitas dan kualitas kajian serupa di negara lain misalnya: Filipina dan Thailand. Kelangkaan ini mencerminkan lemahnya perhatian kita di bidang kemaritiman (Ocean Policy) sehingga menjadi wajar jika pembangunan sektor kemaritiman nasional tertinggal dibanding dengan kedua negara ASEAN tersebut (Kompas, Sabtu: 17 Mei 2003). Mengkaji masyarakat nelayan merupakan persoalan yang khas dan bukan persoalan yang mudah, yang sekaligus perlu mendapatkan perhatian serius. Sosiologi dalam masyarakat pesisir menjadi penting, daerah pantai yang panas, pemukiman nelayan yang padat dan sesak, temperamen masyarakatnya yang dianggap "keras" serta sederet kecirian yang khas lainnya menjadi menarik secara sosiologis untuk dikaji dan diungkap. 9 Oleh karena itu untuk mewujudkan relevansi pola pembangunan pun perlu memperhatikan berbagai aspek dan karakteristik masyarakat nelayan itu sendiri. Dalam pendekatan sosiologi, masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat pertanian yang basis kegiatannya di darat. Hal ini disebabkan sosiologi dalam mengkaji masyarakat pesisir direkonstruksi dari basis sumber daya resourses, sedangkan sosiologi pedesaan berbasis pada society. Sehingga pendekatannya pun harus berbeda, begitu juga pendekatan pola pembangunannya (PDII - lap Daftar Pustaka Bidang Ilmu : Sosial | Akses Terahir : 2012-04-25 | | Hits : 65/0). Berbagai kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada kemiskinan dan ketidakpastian perekonomian, karena kesulitan hidup yang dihadapi nelayan dan keluarganya (Acheson, 1981, Emerson, 1980). Kehidupan nelayan dapat dikatakan tidak saja belum berkecukupan, melainkan juga masih terbelakang, termasuk dalam hal pendidikan. Keterbatasan sosial yang dialami nelayan memang tidak terwujud dalam bentuk keterasingan, karena secara fisik masyarakat nelayan tidak dapat dikatakan terisolasi atau terasing. Namun lebih terwujud pada ketidakmampuan mereka dalam mengambil bagian dalam kegiatan ekonomi pasar secara menguntungkan, yang ditunjukkan oleh lemahnya mereka mengembangkan organisasi keluar lingkungan kerabat mereka atau komunitas lokal (Boedhisantoso, 1999). 1. Tinjauan Tentang Strategi Kelangsungan Hidup Masalah kelangsungan hidup manusia menjadi fokus penting dan hangat di berbagai negara maju maupun di negara-negara dunia ketiga. Seperti Indonesia sesudah perang dunia II berbagai program dirancang dan diarahkan untuk memberi kesempatan kepada semua umat manusia agar dapat hidup lebih lama. 10 Dalam kehidupan manusia pada belahan dunia manapun senantiasa tidak terlepas dari mata pencaharian hidup, baik masyarakat sederhana, pedesaan maupun masyarakat perkotaan yang umumnya bereaksi relative sama terhadap rangsangan-rangsangan ekonomi. Sehubungan dengan pekerjaan diatas begitu penting sebagai bagian tuntutan kebutuhan hidup, George Corner (DC Contes dan Sharnir 1980:182) mengatakan bahwa : Strategi-strategi kelangsungan hidup berputar sekitar akses sumber daya dan pekerjaan. Dalam perebutan ini, kelompok-kelompok miskin bersaing bukan hanya dengan yang kaya, dan tetapi diantara mereka sendiri. Dengan demikian, dengan segala potensi yang dimiliki oleh setiap orang tentunya ia berupaya untuk melakukan strategi dan upaya sehingga dapat memuaskan segala kebutuhan dengan melakukan pekerjaan apapun. Kelangsungan hidup sebagai upaya dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka tidak lepas dari aspek jasmani dan rohani. Pertumbuhan atau pemeliharaan membutuhkan makanan, tempat tinggal, air, udara, pemeliharaan kesehatan dan istirahat yang cukup. Secara harfiah dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KBBI), strategi diartikan sebagai cara, siasat perang ( M.B Ali dan T.Deli, 1997). Dalam terjemahan bebas, strategi diartikan sebagai cara, metode dalam memanfaatkan segala sumber daya yang ada untuk digunakan sebaik mungkin agar tetap bertahan hidup. Pada dasarnya kebutuhan hidup manusia bukan hanya terpenuhi dari kebutuhan biologis saja, tetapi juga memerlukan kebutuhan sosiologis dan psikologis. Kebutuhan sosiologis yaitu manusia selalu berusaha untuk bertahan 11 dengan manusia yang lainnya. Baik dalam masyarakat kecil (keluarga) maupun dalam masyarakat yang lebih luas, naluri untuk saling berhubungan adalah terwujud pada kegiatan sehari-hari dimana manusia yang satu membutuhkan manusia lainnya untuk segala keperluan. Ini berarti manusia bukan hanya sebagai makhluk individual tetapi juga sebagai makhluk sosial yang berarti manusia harus hidup dengan sesamanya. Sedangkan kebutuhan psikologis setiap orang adalah mulai dari kecil sampai tua memerlukan kasih sayang dari keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dapat dikatakan bahwa faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan seharihari tidak dapat lepas dari lingkungannya. Manusia harus menggunakan, berpartisipasi, dan menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat tetap hidup. Oleh karena itu, pentingnya hubungan sosial diantara sesama manusia merupakan syarat utama terjadinya kegiatan-kegiatan yang berlangsung di dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan Gillin and Gillin (Oktaviani dalam I. Rachmat 2007 : 18) yang mengatakan bahwa : “Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitasaktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan perorang dengan kelompok”. Dengan demikian, interaksi dengan sesama manusia merupakan faktor dimana dapat berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup manusia. Tanpa adanya interaksi maka tidak ada kehidupan bersama. Selain itu kelangsungan hidup manusia juga ditentukan dan erat kaitannya dengan kondisi dan 12 kemampuan sosial ekonomi seseorang, maka kuantitasnya juga dapat mencapai standar kelayakan dan kecukupan. Sebaliknya bagi orang-orang miskin akan merasa berat dan susah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya apalagi untuk mencapai tingkat standar kelayakan dan kecukupan. Jadi analoginya, orang-orang miskin harus berusaha dengan berbagai macam cara untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Seperti yang dikemukakan oleh DC Contes dan Shahrir (1980:198) dalam penelitiannya berikut ini : “Sasaran yang dituju oleh rumah tangga berpendapatan rendah adalah menghasilkan atau memperoleh cukup makanan dalam pengertian sesungguhnya, kekurangan gizi merupakan indikator dasar mengenai berhasil tidaknya strategi mempertahankan hidup suatu rumah tangga” Beberapa strategi yang dilakukan didalam rumah tangga untuk mendapatkan masalah didalam pemenuhan dalam rumah tangga seperti dikemukakan oleh Carner 1988 (Sumodiningrat, 1997 : 198) dalam penelitian berikut ini : “Ada beberapa cara yang dilakukan rumah tangga (miskin) untuk menanggulangi masalah kekurangan itu adalah para anggota rumah tangga menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka. Pekerjaan-pekerjaan yang merendahkan martabat pun masih mereka terima dan kerjakan, kendati ganjaran yang mereka peroleh terhitung sangat rendah”. Dalam keadaan yang serba kekurangan ini orang miskin mengembangkan aneka cara untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam situasi miskin ketergantungan terhadap orang lain, apakah itu kerabat, tetangga, atau institusi-institusi yang ada. Dengan demikian, 13 orang-orang yang dikategorikan miskin adalah orang-orang yang dalam pemenuhan kebutuhan (utamanya) sangat bergantung pada pihak-pihak lain. Suatu kebutuhan yang tak terpuaskan menghasilkan kekecewaan dan mungkin juga ketegangan jiwa. Sebaliknya, apabila kebutuhan terpuaskan akan membawa rasa sejuk, tentram dan bahagia. Dari beberapa pendapat dan hasil pengamatan para ahli, dapatlah dipahami bahwa, kebutuhan hidup tidaklah dapat ditunda-tunda pemenuhannya terlebih lagi pada kebutuhan pokok. Segala usaha, daya dan potensi yang dimiliki oleh setiap orang, tentunya dikerahkan dalam memenuhi kebutuhan hidup agar tetap survive. Strategi kelangsungan hidup yang digunakan pun berbeda sesuai dengan daya dan juga kesempatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat harus menggunakan, berpartisipasi, dan menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat tetap hidup. Strategi dan upaya terus dilakukan untuk tetap bertahan hidup, maka setiap orang membutuhkan makanan dan minuman, tempat tinggal dan sebagai makhluk sosial, setiap orang senantiasa menjalin interaksi dengan sesamanya. Untuk pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan manusia mutlak melakukan usaha dan strategi guna memenuhi kebutuhannya. Walaupun demikian keluarga miskin masih mempunyai kemampuan untuk survive dalam berbagai kondisi, mereka telah mempunyai strategi yang handal dalam menghadapi goncangan. 14 2. Tinjauan Tentang Masyarakat Pesisir (Nelayan) Manusia dalam proses kehidupan yang dilaluinya diperhadapkan pada halhal yang berada di luar kehadirannya. Manusia, dalam hal ini dipandang sebagai mahkluk sepenuhnya utuh tidak terlepas dari lingkungannya dan budayanya. Menurut Parsudi Suparlan, secara sederhana kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahkluk sosial yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan. Dalam ketidakterpisahan ini, manusia demi kelangsungan hidup senantiasa akan melakukan penafsiranpenafsiran akan lingkungan alam maupun sosialnya ini, manusia akan mendapatkan pemahaman, pengetahuan, gagasan, maupun ide-ide yang mapan dan digunakan sebagai pedoman, nilai, aturan atau menjadi pola-pola tindakan untuk bertahan hidup (Asmal A. Arwinda, 2012 : 12). Melihat kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari selebaran pulaupulau menunjukkan bahwa dalam setiap daratan yang menimbuni lautan terdapat masyarakat maritim didalamnya. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa laut berperan sebagai lapangan mata pencaharian hidup bagi penduduknya utamanya yang bermukim di sekitar daerah pantai pesisir. Apabila kita membatasi definisi umum tentang masyarakat, maka masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang hidup dan bekerja dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga mereka mengorganisasikan diri dan sadar, bahwa mereka merupakan suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang jelas (R. Linton 1960 dalam Mattulada 1977 : 15). Demikian halnya dengan 15 masyarakat yang ada di pesisir dan pulau-pulau lain yang mengembangkan kesadaran akan kelompok-kelompok dan lingkungan alam yang ada di sekelilingnya. Hal ini meliputi sikap dan pandangan masyarakat tersebut dalam mempertahankan hidupnya. Kebudayaan nelayan erat kaitannya dengan suatu orientasi terhadap laut. Suatu orientasi meliputi sikap maupun pengetahuan aktual (Nishimura dalam Asmal A. Arwinda, 2012 : 13). Dapatlah dikatakan bahwa masyarakat yang mempunyai orientasi untuk mempertahankan hidup pada sumber daya laut, dengan tujuh unsur kebudayaan yang dimiliki atau kesadaran akan kondisi lingkungan, sosial, budaya, adalah tipe-tipe atau karakter budaya masyarakat nelayan. Dalam satu dasa warsa ini banyak penelitian-penelitian mengenai kebudayaan masyarakat nelayan para ilmuan-ilmuan yang tertarik dalam masalah ini memberikan input atau sumbangan-sumbangan berupa tulisan-tulisan mengenai kondisi, karakter-karakter ataupun sosial dan ekonomi masyarakat nelayan. Perhatian pada masyarakat nelayan, nampaknya juga menjadi suatu kajian menarik bagi kaum akademis Indonesia. Hal ini didasarkan atas fakta-fakta yang ditemukan dari beberapa laporan penelitian mengenai masyarakat nelayan, juga mempunyai tuntutan kebutuhan konsumtif yang semakin meningkat, dimana kedua tuntutan tersebut tidak dapat dijalankan secara bersama-sama oleh nelayan. Sallatang (1982) menyatakan adanya hubungan kerjasama dalam suatu kelompok kecil dalam pemanfaatan sumber daya laut. Kelompok kecil ini adalah masyarakat nelayan itu sendiri dengan kerjasama yang khas dimiliki oleh 16 kebudayaan maritim. Selanjutnya Sallatang (1982) mengemukakan bahwa adanya hubungan yang menyerupai hubungan kerabat. Hubungan ini lebih banyak tampil khususnya antara punggawa kecil dan punggawa besar dengan para sawi. Antara anggota-anggota saling mengharapkan, saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain. Interaksinya diatur oleh norma-norma dan lebih merupakan pertukaran sosial dibawah kewajiban saling memberi dan menerima merupakan solidaritas dalam anggota kelompok. Pada pembagian lainnya, Abu Hamid (1982 : 35) menyatakan bahwa tata hubungan punggawa-sawi bertolak pada tradisi yang ada atas dasar hubungan sosial-ekonomi yang menjelma melalui hutang-budi. Dengan sistem tradisi ini menurutnya mempunyai peranan dalam pelestarian kehidupan nelayan, oleh karena sawi memandang punggawa sebagai penyelamat, pelindung, dan pemimpin yang mengayomi kehidupan mereka dan dengan demikian dampak adanya sistem patron-klien. Demianus (1985 : 1-56) yang dikutip oleh Fidelys Lolobua, menggambarkan secara luas mengenai aspek-aspek sosial dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan bagang di pulau Sembilan. Disini dikatakan bahwa kelompok kerja mereka bekerja sesuai dengan fungsi dan diupah berdasarkan sistem bagi hasil yang telah disepakati. Namun dalam kesimpulannya mengenai hal ini, bahwa meskipun nelayan (sawi bagang sebagai anggota terendah dalam status nelayan bagang), secara statistik mampu memenuhi kebutuhan makan (penyediaan beras), namun kenyataannya menunjukkan bahwa, para sawi terusmenerus terikat oleh punggawa tanpa adanya alternatif lain. 17 Basri Hasanuddin dalam Fidelys Lolobua (1985 : 105-110) mengatakan bahwa keterbelakangan relatif masyarakat pantai terutama disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : usaha yang bersifat perorangan dan kecil-kecilan, sehingga peningkatan efisiensi sulit dilakukan. Sifat produksi musiman sangat berpengaruh pada biaya efisiensi, gejala over fishing pada perairan pantai, dan faktor-faktor kelembagaan yang tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, dalam kesimpulannya Basri Hasanuddin mengemukakan bahwa untuk mengatasi permasalahanpermasalahan dalam masyarakat pantai (khususnya nelayan) perlu disusun pola desa pantai terpadu, dengan memperhitungkan semua faktor yang berpengaruh baik faktor sosial maupun faktor ekonomi. Perikanan laut cukup memegang peranan penting dalam menunjang perekonomian nasional, maka tepatlah jika turut membantu para nelayan yang bergerak di sektor perikanan dengan tujuan meningkatkan pendapatan mereka. Untuk dapat mencapai maksud dalam pengadaan peralatan dan pemakaian teknologi, maka unsur paling penting adalah “modal”. Untuk itu diupayakan agar produksi nelayan dapat ditingkatkan sekaligus dengan adanya peningkatan produksi diharapkan pula dapat meningkatkan pendapatan mereka. Masalah rendahnya pendapatan, menurut Abu Hamid (1987) antara lain disebabkan oleh : a. Terbatasnya sarana produksi, cara processing dan pemasaran. b. Teknologi dan peralatan tangkap yang masih sederhana. c. Terbatasnya modal kerja yang dimiliki oleh nelayan. 18 d. Belum berfungsinya koperasi dan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) secara baik yang membawa keuntungan bagi nelayan. e. Unit kerja punggawa-sawi sebagai organisasi nelayan belum menjalin kerja sama yang saling menguntungkan. f. Jangkauan jelajah dan daerah operasi masih terbatas. g. Produksi yang bersifat musiman dan berskala kecil. Merujuk dari hasil diatas, dapat dikatakan pada umumnya penduduk yang bermukim di pesisir pantai sebagian besar telah memilih jalan hidup mereka sebagai nelayan. Dengan demikian, mata pencaharian utamanya cenderung amat tergantung dengan laut. Sejalan dengan hal ini Suyono dalam kamus antropologi (1985 : 272) yang dikutip oleh Fidelis Lolobua mengemukakan bahwa : “Yang dimaksud sebagai nelayan adalah orang yang hidup dari usaha menangkap ikan sebagai mata pencaharian pokok”. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa kelompok-kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut sering pula disebut sebagai masyarakat bahari. Dikatakan demikian, karena masyarakat bahari merupakan kesatuan-kesatuan hidup manusia yang sebagian besar atau sepenuhnya menggantungkan kehidupan ekonominya secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sumber daya laut yang dipedomani dan dicirikan bersama dengan kebudayaan baharinya. Dengan kata lain, nelayan merupakan orang yang mata pencaharian utamanya adalah mencari dan menangkap ikan dan jenis-jenis biota laut lainnya yang bernilai ekonomi dengan menggunakan alat bantu dan mempunyai pengetahuan tentang laut. 19 3. Tinjauan Tentang Kelompok Kerja dan Bagi Hasil Nasib nelayan di Indonesia semakin terpuruk tidak saja oleh pembagian hasil antara mereka, tetapi juga kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada nelayan itu. Problem yang dihadapi masyarakat nelayan pun sangatlah kompleks mulai dari permodalan, musim yang tidak bersahabat dan sistem bagi hasil yang membuat minimnya penghasilan sehingga membuat nelayan jatuh pada lingkaran kemiskinan. Nelayan bukan hanya orang yang menggatungkan hidup dari menangkap ikan di laut, melainkan juga orang yang terlibat dalam proses penangkapan ikan di laut. Punggawa merupakan orang yang mempunyai peralatan menangkap ikan sedangkan sawi adalah orang yang menangkap ikan di laut dengan menggunakan peralatan yang dimiliki oleh punggawa. Struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan karena ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan tersebut merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial mereka. Mengenai hubungan patron-klien ini, Legg (1983), dalam Najib (1999) yang dikutip oleh Ahmad Rizal mengungkapkan bahwa tata hubungan patronklien umumnya berkaitan dengan : 20 a. Hubungan antara pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama. b. Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan mengandung keakraban. c. Hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan. Sementara itu, James Scott (1983) yang dikutip oleh Ahmad Rizal melihat hubungan patron-klien sebagai fenomena yang terbentuk atas dasar ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi. Dalam pertukaran itu berarti ada arus dari patron-klien dan sebaliknya. Masih menurut Scott, arus dari patron ke klien : a. Penghidupan subsisten dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan saprodi (sarana produksi padi), jasa pemasaran dan bantuan teknis. b. Jaminan krisis subsisten berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien mengahadapi kesulitan ekonomi. c. Perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi (musuh pribadi) maupun ancaman umum (tentara, pejabat, atau pemungut pajak). d. Memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat (sekolah, tempat ibadah, atau jalan) serta mendukung festival serta perayaan desa. Namun, kemiskinan telah menjadi cirri yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat nelayan. Kehidupan masyarakat nelayan dari hari ke hari hanya bergantung dari hasil tangkapan ikan di laut yang hasilnya belum tentu 21 memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi dengan sarana prasarana yang masih tradisional. Menurut Kusnadi (2003), tekanan sosial-ekonomi yang dihadapi rumah tangga nelayan sawi berakar pada berbagai faktor yang saling terkait. Faktorfaktor tersebut terbagi menjadi faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah, misalnya perubahan musim-musim penangkapan dan struktur sumber daya kelautan dan tangkapan dan struktur sumber daya kelautan dan desa. Faktor non alamiah terhubung dengan persoalan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada dan dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak 25 tahun terakhir. Terkadang ketika memasuki bulan-bulan kemarau bagi nelayan, maka tingkat penghasilan akan berkurang bahkan mengalami masa paceklik. Biasanya musim peceklik ini berlangsung selama kurang lebih 5 (lima) bulan, dan untuk menutupi kebutuhan para nelayan harus membelanjakan simpanannya yang diperoleh selama 7 (tujuh) bulan musim melaut itu, sehingga kesulitan pun kemudian menghantui hidup para nelayan. Dalam masa-masa paceklik biasanya istri dan anak-anak nelayan sawi harus berjuang keras mencari nafkah dengan melakukan segala pekerjaan yang memberikan penghasilan. Biasanya bagian terbesar tangkapan berada di tangan si 22 pemilik peralatan perahu punggawa, sementara biaya operasional ditanggung bersama-sama oleh si nelayan sawi dan pemilik peralatan perahu punggawa. Menurut Kusumastanto (2003 : 56) yang dikutip oleh Ahmad Rizal, beberapa faktor yang mempengaruhi karakteristik masyarakat nelayan dan petani ikan yaitu : a. Kehidupan masyarakat nelayan dan petani ikan menjadi sangat tergantung pada kondisi ekosistem dan lingkungan yang rentan terhadap kerusakan, khususnya pencemaran dan degradasi kualitas lingkungan. b. Persoalan yang paling mencolok pada kelompok masyarakat ini khususnya nelayan adalah ketergantungan pada musim. Ketergantungan pada musim ini sangatlah besar, khususnya pada nelayan kecil. Pada musim penangkapan mereka sangat sibuk, sementara pada musim paceklik mereka mencari kegiatan ekonomi lain atau menganggur. Secara umum pendapatan masyarakat nelayan sangat fluktuatif, kondisi ini tercermin juga dari pola-pola hidup masyarakat nelayan, pada musim panen mereka cenderung bersifat konsumtif atau berfoya-foya dan sebaliknya pada musim paceklik mereka terlibat banyak utang pada rentenir atau tengkulak. c. Kelompok masyarakat nelayan sangat tergantung pada pasar. Hal ini dikarenakan komoditas yang dihasilkan harus segera dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau akan membusuk sebelum laku dijual. 23 Menurut Lampe yang dikutip oleh Ahmad Rizal, secara umum meskipun laut menyediakan sumber ekonomi yang berpotensi bagi kelangsungan hidup manusia, seperti ikan dan biotik laut lainnya yang mempunyai nilai ekonomi (dapat dikonsumsi dan dipertukarkan), namun pekerjaan untuk memperolehnya berlangsung dalam suatu lingkungan yang berbahaya dan penuh ketidakmenentuan. Acheson (1981) dalam Lampe (1989), mengemukakan bahwa masalah-masalah umum yang biasa dihadapi oleh nelayan yaitu : a. Laut penuh resiko dan ketidakmenentuan. Acheson menggambarkan laut sebagai suatu lingkunganyang sulit dimasuki orang untuk survival karena penuh dengan pukulan badai dan ombak yang tidak henti-hentinya. b. Adanya berbagai jenis dan pola kebiasaan ikan dan biotik lainnya. Laut dengan berbagai macam kadar air dan keadaan dasarnya mengandung banyak jenis biotik, tetapi yang bukan hanya ada secara musiman karena mempunyai pola dasar migrasi, tetapi ada juga populasi-populasi ikan yang meningkat atau merosot secara tiba-tiba yang sulit diramalkan oleh nelayan. Hal ini menyebabkan nelayan sulit mengontrol binatang buruannya di laut. c. Lingkungan laut yang tampaknya homogen tetapi sebetulnya bersifat mendua. Salah satu sifatnya yang mempersulit operasi nelayan adalah seluruh bagian permukaan tampak sama saja. Sifat mendua laut seperti ada air laut yang kadar garamnya tinggi dan ada pula yang tawar, ada yang 24 dasarnya rata dan ada yang berbatu-batu. Hal ini menyebabkan para nelayan tidak dapat mengetahui keadaan meningkat atau merosotnya populasi dari jenis ikan tertentu di suatu lokasi dan dapat juga menimbulkan kerusakan alat penangkapan. d. Sumber ikan di biotik laut lainnya merupakan milik kekayaan bersama masyarakat nelayan disekitarnya. Sifat laut yang demikian menimbulkan persaingan dan pertentangan diantara para kelompok nelayan dalam memperebutkan sumber. Hal ini menjurus pada pengerusakan sumber-sumber ikan dan kerusakan ekologi di suatu perikanan tertentu. e. Hasil produksi ikan yang cepat membusuk. Hal ini terjadi pada masyarakat nelayan yang belum menggunakan teknik perawatan modern. Kondisi tangkap ikan yang demikian menyebabkan kualitas komoditas seringkali menurun dan pemasarannya tidak dapat ditunda-tunda. f. Harga ikan dipasaran yang sifatnya turun naik. Meskipun tangkapan nelayan secara berturut-turut baik, tidaklah selamanya bahwa pendapatan mereka juga demikian, melainkan justru sebaliknya. Hal ini disebabkan faktor naik turunnya harga pasaran, dan karena para nelayan tidak selamanya tahu informasi tentang pasar yang dikuasai para pedagang dan tengkulak. 25 g. Ketidakmampuan nelayan dalam menghadapi eksploitasi para pedagang atau tengkulak dan pemilik kapal atau perahu. Nelayan dimana-mana di dunia menghabiskan sebagian besar waktunya di laut sehingga mereka tidak melibatkan diri dalam situasi yang sifatnya politis, sehingga mereka banyak bergantung pada pedagang dan pemilik kapal yang sering mengeksploitasi mereka. h. Masalah-masalah psikologis dan penyimpangan budaya. Suatu fakta bahwa pekerjaan menangkap ikan di laut menyebabkan kaum laki-laki (nelayan) terpisah secara fisik dari keluarga mereka. Keterpisahan dalam jangka waktu yang lama menimbulkan masalah psikologis dan penyimpangan budaya diantara kedua belah pihak. Masalah psikologis yang timbul berupa gejala kesepian atau perasaan was-was akan nasib masing-masing, sedangkan penyimpangan budaya berupa penyimpangan peranan. Dalam organisasi sosial ada prinsip-prinsip umum yang berlaku yaitu organisasi sosial dapat dilihat baik secara struktur maupun secara proses. Organisasi sosial sebagai struktur menitik beratkan perhatian pada tata hubungan yang terdapat didalam organisasi sosial misalnya tata hubungan berdasarkan keturunan yang menentukan posisi/status dalam tata hubungan organisasi tersebut. Sedangkan organisasi sosial sebagai proses terletak pada kegiatan sehingga dapat diamati perilaku-perilaku dari tiap anggota organisasi. Sejalan dengan hal ini menurut Kusnadi (2002), struktur kelompok perikanan nelayan berdasarkan pada tingkat penguasaan kepemilikan alat-alat produksi atau 26 peralatan tangkap (perahu, jarring, dan perlengkapan yang lain), sehingga terbagi kedalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dalam melakukan kegiatan produksi, nelayan buruh hanya menyumbangkan tenaganya. Hal tersebut diatas merupakan suatu ironi bagi sebuah negara maritim seperti Indonesia bahwa masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin. Walau ada agregatif dan kuantitatif yang terpercaya tidak mudah diperoleh, pengamatan visual/langsung ke kampung-kampung nelayan dapat memberikan gambaran yang jauh lebih gamlang tentang kemiskinan nelayan di tengah kekayaan laut yang begitu besar. Pemandangan yang sering kita jumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Walaupun ada beberapa rumah yang menonjolkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat tergantung pada individu yang bersangkutan. Disamping itu, karena lokasi geografisnya yang banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi. Lebih dari itu, aspirasi politisnya pun acap kali terabaikan. Dalam kondisi yang secara multidimensi demikian miskin, akan sangat sulit bagi para nelayan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan begitu saja bersaing dalam pemanfaatan hasil laut di era keterbukaan sekarang ini. Mereka akan selalu kalah bersaing dengan 27 perusahaan penangkapan ikan, baik dengan nelayan negara asing maupun nasional yang berperalatan modern. Oleh karena itu, pemberdayaan komunitas nelayan merupakan langkah yang sangat krusial dalam mencapai tujuan pemanfaatan kekayaan laut Indonesia. Sejalan dengan hal ini hasil penelitian Mintaroem dkk (2005) mengatakan, kehidupan para nelayan di desa Bandaran berkelompok. Setiap nelayan kelompok terdiri dari : a. Juragan pemilik kapal/perahu; b. Juragan kepala perahu; c. Pandhiga. Sebagai sebuah (organisasi) kelompok nelayan pola relasi kerja, baik antara juragan perahu, juragan kepala dan pandhiga, atau antar anggota nelayan itu sendiri, bukan terjadi dalam kerangka hubungan kerja atas “atasan” dan “bawahan” yang bersifat “hubungan pengabdian”, tetapi bersifat “kolegialisme” dan “kekeluargaan”. Sekalipun terdapat klasifikasi diantara mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing, hubungan di antara mereka pun sangat longgar, terbuka, suka-hati dan didasarkan atas “kesertaan secara sukarela”, tetapi dalam kasus-kasus tertentu bahkan seorang juragan pemilik perahu harus merekrut anggota nelayannya dengan “cara membeli”. Hal ini menunjukkan betapa faktorfaktor sosial dan budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi. Sistem atau pola rekrutmen keanggotaan nelayan dilakukan secara : (1) sukarela, dan (2) membeli. Cara sukarela, adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan yang terbuka bagi siapa saja atas dasar kesukarelaan yang bersangkutan 28 untuk menjadi anggota kelompok nelayan. Di lain pihak, sistem “membeli” (melle) adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan dengan cara membeli atau membayar agar yang bersangkutan mau menjadi anggota kelompok perahunya. Istilah punggawa berlaku untuk semua pemimpin, atau orang yang diikuti (tonipinawang) atau bos dalam istilah sekarang dalam masing-masing bidang usaha, dimana pemimpin itu adalah milik modal utama dalam usaha yang bersangkutan. Istilah sawi berlaku untuk semua orang berstatus dipimpin atau orang yang menjadi pengikut (tominawang) pada punggawa. Hubungan punggawa-sawi dalam organisasi produksi nelayan dapat dikategorikan sebagai pola hubungan patron-klien. Hal demikian dikatakan oleh James E. Scott yang dikutip oleh Muchlis dan Robinson, bahwa suatu kasus khusus hubungan antara dua orang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seorang yang lebih tinggi kedudukan sosial, ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasajasa pribadi kepada patron (Muchlis dan Robinson : 1984). Dari uraian diatas, dapat ditarik hipotesa secara umum bahwa ; sistem bagi hasil dengan istilah-istilah bagian menunjukkan secara logis bahwa semua anggota awak kapal merupakan orang-orang yang bekerja sama dan berhak mendapatkan hasil kerjanya masing-masing. Dimana istilah punggawa berlaku 29 untuk semua pemimpin atau orang yang diikuti atau bos dalam istilah sekarang dalam masing-masing bidang usaha, dimana pemimpin itu adalah pemilik modal utama dalam usaha yang bersangkutan. Istilah sawi berlaku untuk semua orang berstatus dipimpin atau orang yang menjadi pengikut. Dengan kata lain, punggawa-sawi merupakan kelompok usaha/unit kerja nelayan, sehingga hubungan punggawa-sawi dapat dikategorikan sebagai pola hubungan patronklien atau hubungan “antara dua orang” dan sebagian besar melibatkan “persahabatan instrumental”, dimana seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan dan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan. B. Kerangka Konseptual Demi mempertahankan kehidupannya, maka manusia dituntut untuk melakukan adaptasi. Dalam hal ini adaptasi menunjuk pada suatu proses timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Hardesty, 1977). Dari sudut pandang evolusi biologi, adaptasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kemungkinan makhluk hidup bisa bertahan hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya pada kondisi lingkungan tertentu. Dengan demikian adaptasi adalah produk dari seleksi alam. Sebaliknya dari sisi antropologi ekologi, adaptasi didefinisikan sebagai suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial (Alland Jr, 1975). 30 Kapasitas manusia untuk dapat beradaptasi ditunjukkan dengan usahanya untuk mencoba mengelola dan bertahan dalam kondisi lingkungannya. Kemampuan suatu individu untuk beradaptasi mempunyai nilai bagi kelangsungan hidupnya. Makin besar kemampuan adaptasi suatu makhluk hidup, makin besar pula kemungkinan kelangsungan hidup makhluk tersebut. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu proses di mana suatu individu berusaha memaksimalkan kesempatan hidupnya (Sahlins, 1968). Aspek kebudayaan yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan adaptasi manusia terhadap lingkungan adalah aspek-aspek kebudayaan yang berupa sistem teknologi mata pencaharian dan pola pemukiman. Keduanya dapat memperlihatkan usaha-usaha manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Pengaruh lingkungan terhadap sistem kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu secara fungsional dan secara prosesual (Steward, 1955). Perspektif ekologi fungsional maupun prosesual membedakan lingkungan sebagai unit analisis dalam dua kategori yaitu lingkungan fisik dan lingkungan alam. Keduanya dapat mempengaruhi pola-pola adaptasi dan jalannya proses kebudayaan. Perspektif fungsional, dengan berdasarkan pada teori sistem memfokuskan analisisnya pada penjelasan tentang usaha-usaha yang dilakukan oleh setiap ekosistem untuk selalu berada dalam kondisi yang stabil. Interaksi antara setiap komunitas dengan lingkungannya dalam sebuah relung ekologi bertujuan untuk selalu menjaga kondisi sistem itu dalam keadaan stabil. Sedangkan perpektif prosesual melihat kaitan antara lingkungan dengan munculnya suatu pola adaptasi terutama dalam sistem kebudayaan. Karena 31 berkaitan dengan proses, maka ekosistem tidak dianggap stabil tetapi selalu berada dalam keadaan dinamis. Kedua perspektif tersebut di atas melatarbelakangi pula penjelasan usahausaha penyesuaian dan respons manusia terhadap pengaruh lingkungan. Dengan kata lain, adaptasi manusia dapat dipahami secara fungsional dan prosesual. Adaptasi secara fungsional adalah respons dari suatu organisme atau sistem yang bertujuan untuk mempertahankan keadaan homeostatis, sehingga dalam hal ini istilah adaptasi mengacu pada fungsi yang terjadi pada dimensi waktu tertentu. Sedangkan adaptasi prosesual adalah sistem tingkahlaku yang terbentuk sebagai akibat dari proses penyesuaian manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan di sekitarnya (Alland, 1975 : 60). Perilaku adaptasi ini bermula dari individu atau sekelompok individu yang kreatif dalam masyarakat. Mereka memberikan tanggapan terhadap masalah lingkungan yang timbul, baik dari lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Tanggapan ini berkesinambungan, kemudian tanggapan ini berpengaruh terhadap pengambilan keputusan mereka. Pengambilan keputusan ini berdasar kemampuan penyesuaian diri secara rasional dan situasional dari pengalaman dan pengetahuan mereka tentang lingkungan yang berubah dengan masalah yang ditimbulkannya (Vayda dan McCay, 1978). Persepsi manusia terhadap lingkungan dapat dibentuk dari bagaimana manusia memperoleh pengetahuan lingkungan melalui rangsangan-rangsangan yang diterima atau berupa tanggapan manusia terhadap lingkungan yang terdapat dalam pikirannya. Proses manusia memperoleh pengetahuan lingkungan ini 32 ditentukan oleh faktor kebudayaan yang menjadi pedoman yang dianutnya sehingga membentuk pandangan yang bersifat individual. Peranan kebudayaan di sini bersifat menyaring terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari luar lingkungan. Dengan demikian, pendekatan yang diambil dalam studi ini juga difokuskan pada kajian tentang pilihan-pilihan tindakan yang diambil dalam rangka pemanfaatan lingkungan sumber daya. Suatu pilihan tindakan di dalam pemanfaatan sumber daya dianggap tepat apabila tindakan tersebut dirasa menguntungkan dirinya. Hal ini didasarkan atas perhitungan rugi-laba dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan berjenjang yang dilakukan secara berulang-ulang. Pilihan-pilihan tindakan ini sangat tergantung pada bagaimana manusia membuat persepsi terhadap lingkungan. Proses adaptasi lingkungan dan evolusi budaya dapat berlangsung pada setiap komunitas yang hidup di setiap tipe ekosistem. Ekosistem persawahan dengan teknologi sawah irigasi membentuk pola interaksi yang spesifik antara komunitas petani dengan lingkungannya, demikian pula halnya dengan komunitas masyarakat pesisir yang membentuk pola adaptasi dengan ekosistem lingkungan fisik laut dan lingkungan sosial sekitarnya. Proses adaptasi ini kemudian menentukan proses perkembangan atau evolusi budaya yang terjadi pada masingmasing komunitas tersebut. Dalam penelitian tentang Strategi Kelangsungan Hidup, Maslow (Gafur. F, 2009 : 46) mengemukakan dalam teorinya bahwa : “ketika manusia sudah mengatasi semua kebutuhan dasarnya untuk bertahan hidup, maka ia pun dimungkinkan untuk mengejar 33 pancarian lebih tinggi: aktualisasi diri, pengetahuan tentang dirinya sendiri di level yang paling dalam. Dalam usaha pengertian dan memahami makna kebutuhan manusia. Maslow mengemukakan mengenai kebutuhan manusia dengan membagi tingkat kebutuhan manusia sebagai berikut : a. Biologis, yaitu kebutuhan badani misalnya kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan yang merupakan kebutuhan prioritas pertama dari seseorang. b. Rasa aman (safe / secure), adalah kebutuhan untuk merasa terbebas dari kekhawatiran akan bahaya yang bersifat fisik dan berkurangnya kepastian akan kebutuhan psikologis. c. Hubungan sosial (social afiliation), yaitu kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan manusia atau kelompok sekeliling secara baik. d. Pengakuan (esteem / recognition), adalah kebutuhan akan merasa mempunyai nilai, rasa berguna, rasa dihargai, rasa diakui oleh suatu kelompok atau seseorang. e. Pengembangan kemampuan/bakat (self actualization), yaitu kebutuhan untuk dapat mengembangkan kemampuan menjadi lebih baik, dimana tingkat-tingkat kepuasannya terutama dirasakan atau usaha-usaha peningkatan dalam dirinya. Dari tingkatan kebutuhan manusia yang dikemukakan Maslow tersebut, dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori dasar : kebutuhan untuk 34 keberadaannya, kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain dan untuk pengembangan dirinya. Firth mengemukakan bahwa masyarakat nelayan memiliki paling sedikit lima karakteristik yang membedakan dengan petani pada umumnya. Kelima karakteristik tersebut adalah : a. Pertama, pendapatan nelayan biasanya bersifat harian (daily increments) dan jumlahnya sulit ditentukan. Selain itu, pendapatannya juga sangat tergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri, dalam arti apakah ia sebagai punggawa atau sawi. Dengan pendapatannya yang bersifat harian, tidak dapat ditentukan, dan sangat tergantung pada musim, maka mereka (khususnya nelayan sawi) merasa sangat kesulitan dalam merencanakan penggunaan pendapatannya. Keadaan demikian mendorong nelayan untuk segera membelanjakan uangnya segera setelah mendapatkan penghasilan. Implikasinya, nelayan sulit untuk mengakumulasikan modal atau menabung. Pendapatan yang mereka peroleh pada musim penangkapan ikan habis digunakan untuk menutup kebutuhan keluarga sehari-hari, bahkan seringkali tidak mencukupi kebutuhan tersebut. b. Kedua, dilihat dari segi pendidikan, tingkat pendidikan nelayan maupun anak-anak nelayan pada umumnya rendah. c. Ketiga, dihubungkan dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan, maka nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukarmenukar karena produk tersebut bukan merupakan makanan pokok. 35 Selain itu, sifat produk tersebut yang mudah rusak dan harus segera dipasarkan menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan kepada pedagang. d. Keempat, bahwa bidang perikanan membutuhkan investasi yang cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang lebih besar dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. e. Kelima, kehidupan nelayan yang miskin juga diliputi oleh kerentanan, misalnya ditunjukkan oleh terbatasnya anggota yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan yang sangat besar pada mata pencaharian menangkap ikan. (http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=strategi%20kelangsungan %20hidup%20nelayan&source=web&cd=1&sqi=2&ved=0CB8QFjA A&url=http%3A%2F%2Fmadib.blog.unair.ac.id%2Ffiles%2F2010%2 F05%2Fcontoh-artkel-ilmiah-08-trijoko.pdf&ei=hz2gT9agF8LPrQfQmo3qAQ&usg=AFQjCNG5HKOVmWUarKz2pHNPSRqvVnbfg , 27, Februari 2012.) Kehidupan nelayan memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan alam. Keeratan hubungan ini menciptakan ketergantungan nelayan pada lingkungan alam, terutama ketergantungan terhadap sumber daya hayati yang ada di lingkungan alam yang dapat memberikan sumber penghidupan bagi mereka. Hubungan ini bersifat timbal balik, lingkungan alam dapat mempengaruhi 36 nelayan, bagitu pula sebaliknya nelayan dapat mempengaruhi lingkungan alam melalui perilakunya (Sukadana, 1987). Di kalangan masyarakat pesisir (nelayan), secara umum terdapat dua bentuk strategi adaptasi. a. Pertama adalah intensifikasi, yang merupakan strategi adaptasi yang tumbuh di kalangan nelayan untuk melakukan investasi pada teknologi penangkapan, sehingga hasil tangkapannya diharapkan akan lebih banyak. Untuk itu, melalui intensifikasi maka kegiatan penangkapan dapat dilakukan pada daerah yang semakin jauh dari tempat pemukiman, bahkan mungkin memerlukan waktu penangkapan lebih dari satu hari. b. Strategi adaptasi yang kedua adalah dengan melakukan diversifikasi pekerjaan. Diversifikasi merupakan perluasan alternatif pilihan mata pencaharian yang dilakukan nelayan, baik di bidang perikanan maupun non perikanan. Diversifikasi pekerjaan merupakan strategi yang umum dilakukan di banyak komunitas nelayan, dan sifatnya masih tradisional. Ragam peluang kerja yang bisa dimasuki oleh mereka sangat tergantung pada sumber-sumber daya yang tersedia di desadesa nelayan tersebut. Setiap desa nelayan memiliki karakteristik lingkungan alam dan sosial ekonomi tersendiri, yang berbeda antara satu desa dengan desa yang lain. Ada desa nelayan yang tersedia peluang cukup besar untuk melakukan diversifikasi pekerjaan, sementara ada desa nelayan lain yang hampir tidak memiliki peluang 37 untuk melakukan diversifikasi pekerjaan, sehingga sektor kenelayanan menjadi gantungan utama seluruh warganya. Untuk lebih jelasnya, berikut akan digambarkan skema kerangka konseptual : 38 SKEMA KERANGKA KONSEPTUAL KELUARGA / MASYARAKAT PESISIR Latar Belakang Kehidupan Sosial-Ekonomi Keluarga / Masyarakat Pesisir, meliputi : Umur Tingkat Pendidikan Kondisi Rumah Tangga Mata Pencaharian Strategi Kelangsungan Hidup Masyarakat Pesisir di Desa Lero, Kec. Suppa, Kab. Pinrang Intensifikasi Pekerjaan Diversifikasi Pekerjaan Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga Pola Hubungan Sosial Mengakses Fasilitas Pemerintah Punggawa Darat (Bos atau Pemodal) Sawi Punggawa Laut (Nahkoda Kapal) Punggawa Kapal Panyambang (Punggawa Pa’es) Nelayan Katinting 39 C. Definisi Operasional Strategi ; rencana aksi atau rencana yg cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Kelangsungan Hidup ; merupakan upaya dalam memenuhi kebutuhan dasar yang tidak lepas dari aspek jasmanai dan rohani. Pertumbuhan atau pemeliharaan membutuhkan makanan, tempat tinggal, air, udara, pemeliharaan kesehatan dan istirahat yang cukup. Punggawa Darat (Bos/Pemodal) ; orang yang mempunyai modal yang cukup banyak berupa uang tunai untuk membiayai kegiatan penangkapan ikan dan juga memiliki alat-alat penangkapan ikan misalnya perahu, mesin tempel, bagan, rumpon dan lain sebagainya. Pada umumnya punggawa darat tidak turun ke laut untuk menangkap ikan. Mereka hanya menyediakan kebutuhan para nelayan yang turun ke laut dalam hal peralatan maupun perbekalan. Hasil tangkapan biasanya dikuasai oleh punggawa darat dan memasarkannya. Jadi, punggawa darat hanya mempekerjakan sawi dengan modal yang dimilikinya dan mengelola hasil tangkapan sampai pada pemasarannya. Punggawa Laut (Nahkoda Kapal) ; orang yang bekerja pada punggawa darat dan bertugas dalam mengoprasikan kapal motor penangkapan ikan dengan kapasitas maksimal 13 orang atau mereka yang memiliki keahlian dan keterampilan dalam kegiatan penangkapan ikan misalnya menjalankan kapal, mengkoordinir segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayaran perahu dan penangkapan ikan. Juga tugas-tugas di darat misalnya 40 mengurus surat izin berlayar dan lain sebagainya. Kadang-kadang mereka juga memiliki salah satu peralatan yang dibutuhkan dalam kegiatan penangkapan ikan misalnya perahu, motor tempel, bagan atau rumpon. Punggawa Kapal Panyambang (Punggawa Pa’es) ; nelayan bebas atau orang yang mempunyai modal dan kapal motor dengan kapasitas 4-5 orang yang bekerja untuk keluarganya sendiri atau terkadang mereka bertugas mengambil ikan yang dibawa oleh kapal Pa’gae’ untuk di bawa ke darat. Sawi ; orang yang bekerja pada punggawa darat dalam penangkapan ikan atau mereka yang hanya memiliki tenaga saja dan sedikit keterampilan misalnya memancing, menjala, menarik dan menutup layar, memperbaiki perahu. Nelayan Katinting ; nelayan bebas atau orang yang mempunyai modal dan kapal motor dengan kapasitas 2 orang yang bekerja untuk keluarganya sendiri tanpa adanya keterikatan oleh pihak-pihak tertentu. 41