View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan
Secara kuantitatif kajian tentang masyarakat nelayan atau masyarakat
pesisir masih sangat terbatas (langka) jika dibandingkan dengan penelitian
masyarakat petani atau masyarakat perkotaan. Kajian terhadap masyarakat pesisir
pantai ini sangat berarti untuk kepentingan pembangunan manusia, karena
masyarakat nelayan merupakan masyarakat yang tergolong miskin dibandingkan
dengan kelompok masyarakat lainnya (the poorest a/the poor).
Kelangkaan kajian penelitian terhadap masyarakat nelayan ini sangat tidak
seimbang jika dikaitkan dengan Negara Indonesia ini sebagai negara maritim
yang terbesar di dunia. Dari segi akademis kita kalah jauh dengan kuantitas dan
kualitas kajian serupa di negara lain misalnya: Filipina dan Thailand. Kelangkaan
ini mencerminkan lemahnya perhatian kita di bidang kemaritiman (Ocean Policy)
sehingga menjadi wajar jika pembangunan sektor kemaritiman nasional tertinggal
dibanding dengan kedua negara ASEAN tersebut (Kompas, Sabtu: 17 Mei 2003).
Mengkaji masyarakat nelayan merupakan persoalan yang khas dan bukan
persoalan yang mudah, yang sekaligus perlu mendapatkan perhatian serius.
Sosiologi dalam masyarakat pesisir menjadi penting, daerah pantai yang
panas, pemukiman nelayan yang padat dan sesak, temperamen masyarakatnya
yang dianggap "keras" serta sederet kecirian yang khas lainnya menjadi menarik
secara sosiologis untuk dikaji dan diungkap.
9
Oleh karena itu untuk mewujudkan relevansi pola pembangunan pun perlu
memperhatikan berbagai aspek dan karakteristik masyarakat nelayan itu sendiri.
Dalam pendekatan sosiologi, masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat
pertanian yang basis kegiatannya di darat. Hal ini disebabkan sosiologi dalam
mengkaji masyarakat pesisir direkonstruksi dari basis sumber daya resourses,
sedangkan sosiologi pedesaan berbasis pada society. Sehingga pendekatannya pun
harus berbeda, begitu juga pendekatan pola pembangunannya (PDII - lap Daftar
Pustaka Bidang Ilmu : Sosial | Akses Terahir : 2012-04-25 | | Hits : 65/0).
Berbagai kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada
kemiskinan dan ketidakpastian perekonomian, karena kesulitan hidup yang
dihadapi nelayan dan keluarganya (Acheson, 1981, Emerson, 1980). Kehidupan
nelayan dapat dikatakan tidak saja belum berkecukupan, melainkan juga masih
terbelakang, termasuk dalam hal pendidikan. Keterbatasan sosial yang dialami
nelayan memang tidak terwujud dalam bentuk keterasingan, karena secara fisik
masyarakat nelayan tidak dapat dikatakan terisolasi atau terasing. Namun lebih
terwujud pada ketidakmampuan mereka dalam mengambil bagian dalam kegiatan
ekonomi pasar secara menguntungkan, yang ditunjukkan oleh lemahnya mereka
mengembangkan organisasi keluar lingkungan kerabat mereka atau komunitas
lokal (Boedhisantoso, 1999).
1. Tinjauan Tentang Strategi Kelangsungan Hidup
Masalah kelangsungan hidup manusia menjadi fokus penting dan hangat
di berbagai negara maju maupun di negara-negara dunia ketiga. Seperti Indonesia
sesudah perang dunia II berbagai program dirancang dan diarahkan untuk
memberi kesempatan kepada semua umat manusia agar dapat hidup lebih lama.
10
Dalam kehidupan manusia pada belahan dunia manapun senantiasa tidak terlepas
dari mata pencaharian hidup, baik masyarakat sederhana, pedesaan maupun
masyarakat perkotaan yang umumnya bereaksi relative sama terhadap
rangsangan-rangsangan ekonomi. Sehubungan dengan pekerjaan diatas begitu
penting sebagai bagian tuntutan kebutuhan hidup, George Corner (DC Contes dan
Sharnir 1980:182) mengatakan bahwa : Strategi-strategi kelangsungan hidup
berputar sekitar akses sumber daya dan pekerjaan. Dalam perebutan ini,
kelompok-kelompok miskin bersaing bukan hanya dengan yang kaya, dan tetapi
diantara mereka sendiri.
Dengan demikian, dengan segala potensi yang dimiliki oleh setiap orang
tentunya ia berupaya untuk melakukan strategi dan upaya sehingga dapat
memuaskan
segala
kebutuhan
dengan
melakukan
pekerjaan
apapun.
Kelangsungan hidup sebagai upaya dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka
tidak lepas dari aspek jasmani dan rohani. Pertumbuhan atau pemeliharaan
membutuhkan makanan, tempat tinggal, air, udara, pemeliharaan kesehatan dan
istirahat yang cukup.
Secara harfiah dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KBBI), strategi
diartikan sebagai cara, siasat perang ( M.B Ali dan T.Deli, 1997). Dalam
terjemahan bebas, strategi diartikan sebagai cara, metode dalam memanfaatkan
segala sumber daya yang ada untuk digunakan sebaik mungkin agar tetap
bertahan hidup.
Pada dasarnya kebutuhan hidup manusia bukan hanya terpenuhi dari
kebutuhan biologis saja, tetapi juga memerlukan kebutuhan sosiologis dan
psikologis. Kebutuhan sosiologis yaitu manusia selalu berusaha untuk bertahan
11
dengan manusia yang lainnya. Baik dalam masyarakat kecil (keluarga) maupun
dalam masyarakat yang lebih luas, naluri untuk saling berhubungan adalah
terwujud pada kegiatan sehari-hari dimana manusia yang satu membutuhkan
manusia lainnya untuk segala keperluan. Ini berarti manusia bukan hanya sebagai
makhluk individual tetapi juga sebagai makhluk sosial yang berarti manusia harus
hidup dengan sesamanya. Sedangkan kebutuhan psikologis setiap orang adalah
mulai dari kecil sampai tua memerlukan kasih sayang dari keluarga dan
lingkungan sekitarnya.
Dapat dikatakan bahwa faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan seharihari tidak dapat lepas dari lingkungannya. Manusia harus menggunakan,
berpartisipasi, dan menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan untuk
memenuhi kebutuhannya agar dapat tetap hidup.
Oleh karena itu, pentingnya hubungan sosial diantara sesama manusia
merupakan syarat utama terjadinya kegiatan-kegiatan yang berlangsung di dalam
masyarakat. Seperti yang dikemukakan Gillin and Gillin (Oktaviani dalam I.
Rachmat 2007 : 18) yang mengatakan bahwa :
“Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitasaktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan
sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan perorang dengan
kelompok”.
Dengan demikian, interaksi dengan sesama manusia merupakan faktor
dimana dapat berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup manusia. Tanpa
adanya interaksi maka tidak ada kehidupan bersama. Selain itu kelangsungan
hidup manusia juga ditentukan dan erat kaitannya dengan kondisi dan
12
kemampuan sosial ekonomi seseorang, maka kuantitasnya juga dapat mencapai
standar kelayakan dan kecukupan. Sebaliknya bagi orang-orang miskin akan
merasa berat dan susah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya apalagi untuk
mencapai tingkat standar kelayakan dan kecukupan. Jadi analoginya, orang-orang
miskin harus berusaha dengan berbagai macam cara untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya.
Seperti yang dikemukakan oleh DC Contes dan Shahrir (1980:198) dalam
penelitiannya berikut ini : “Sasaran yang dituju oleh rumah tangga berpendapatan
rendah adalah menghasilkan atau memperoleh cukup makanan dalam pengertian
sesungguhnya, kekurangan gizi merupakan indikator dasar mengenai berhasil
tidaknya strategi mempertahankan hidup suatu rumah tangga”
Beberapa strategi yang dilakukan didalam rumah tangga untuk
mendapatkan masalah didalam pemenuhan dalam rumah tangga seperti
dikemukakan oleh Carner 1988 (Sumodiningrat, 1997 : 198) dalam penelitian
berikut ini : “Ada beberapa cara yang dilakukan rumah tangga (miskin) untuk
menanggulangi masalah kekurangan itu adalah para anggota rumah tangga
menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka. Pekerjaan-pekerjaan yang
merendahkan martabat pun masih mereka terima dan kerjakan, kendati ganjaran
yang mereka peroleh terhitung sangat rendah”.
Dalam keadaan yang serba kekurangan ini orang miskin mengembangkan
aneka cara untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Banyak hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam situasi miskin ketergantungan terhadap orang lain,
apakah itu kerabat, tetangga, atau institusi-institusi yang ada. Dengan demikian,
13
orang-orang yang dikategorikan miskin adalah orang-orang yang dalam
pemenuhan kebutuhan (utamanya) sangat bergantung pada pihak-pihak lain.
Suatu kebutuhan yang tak terpuaskan menghasilkan kekecewaan dan
mungkin juga ketegangan jiwa. Sebaliknya, apabila kebutuhan terpuaskan akan
membawa rasa sejuk, tentram dan bahagia. Dari beberapa pendapat dan hasil
pengamatan para ahli, dapatlah dipahami bahwa, kebutuhan hidup tidaklah dapat
ditunda-tunda pemenuhannya terlebih lagi pada kebutuhan pokok.
Segala usaha, daya dan potensi yang dimiliki oleh setiap orang, tentunya
dikerahkan dalam memenuhi kebutuhan hidup agar tetap survive. Strategi
kelangsungan hidup yang digunakan pun berbeda sesuai dengan daya dan juga
kesempatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat
harus menggunakan, berpartisipasi, dan menyesuaikan diri atau beradaptasi
dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat tetap hidup.
Strategi dan upaya terus dilakukan untuk tetap bertahan hidup, maka
setiap orang membutuhkan makanan dan minuman, tempat tinggal dan sebagai
makhluk sosial, setiap orang senantiasa menjalin interaksi dengan sesamanya.
Untuk pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan manusia mutlak
melakukan usaha dan strategi guna memenuhi kebutuhannya. Walaupun demikian
keluarga miskin masih mempunyai kemampuan untuk survive dalam berbagai
kondisi, mereka telah mempunyai strategi yang handal dalam menghadapi
goncangan.
14
2. Tinjauan Tentang Masyarakat Pesisir (Nelayan)
Manusia dalam proses kehidupan yang dilaluinya diperhadapkan pada halhal yang berada di luar kehadirannya. Manusia, dalam hal ini dipandang sebagai
mahkluk sepenuhnya utuh tidak terlepas dari lingkungannya dan budayanya.
Menurut Parsudi Suparlan, secara sederhana kebudayaan merupakan keseluruhan
pengetahuan
manusia
sebagai
mahkluk
sosial
yang
digunakan
untuk
menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan untuk
menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan. Dalam ketidakterpisahan
ini, manusia demi kelangsungan hidup senantiasa akan melakukan penafsiranpenafsiran akan lingkungan alam maupun sosialnya ini, manusia akan
mendapatkan pemahaman, pengetahuan, gagasan, maupun ide-ide yang mapan
dan digunakan sebagai pedoman, nilai, aturan atau menjadi pola-pola tindakan
untuk bertahan hidup (Asmal A. Arwinda, 2012 : 12).
Melihat kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari selebaran pulaupulau menunjukkan bahwa dalam setiap daratan yang menimbuni lautan terdapat
masyarakat maritim didalamnya. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa laut
berperan sebagai lapangan mata pencaharian hidup bagi penduduknya utamanya
yang bermukim di sekitar daerah pantai pesisir.
Apabila kita membatasi definisi umum tentang masyarakat, maka
masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang hidup dan bekerja dalam
jangka waktu yang cukup lama, sehingga mereka mengorganisasikan diri dan
sadar, bahwa mereka merupakan suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang
jelas (R. Linton 1960 dalam Mattulada 1977 : 15). Demikian halnya dengan
15
masyarakat yang ada di pesisir dan pulau-pulau lain yang mengembangkan
kesadaran akan kelompok-kelompok dan lingkungan alam yang ada di
sekelilingnya. Hal ini meliputi sikap dan pandangan masyarakat tersebut dalam
mempertahankan hidupnya.
Kebudayaan nelayan erat kaitannya dengan suatu orientasi terhadap laut.
Suatu orientasi meliputi sikap maupun pengetahuan aktual (Nishimura dalam
Asmal A. Arwinda, 2012 : 13). Dapatlah dikatakan bahwa masyarakat yang
mempunyai orientasi untuk mempertahankan hidup pada sumber daya laut,
dengan tujuh unsur kebudayaan yang dimiliki atau kesadaran akan kondisi
lingkungan, sosial, budaya, adalah tipe-tipe atau karakter budaya masyarakat
nelayan.
Dalam satu dasa warsa ini banyak penelitian-penelitian mengenai
kebudayaan masyarakat nelayan para ilmuan-ilmuan yang tertarik dalam masalah
ini memberikan input atau sumbangan-sumbangan berupa tulisan-tulisan
mengenai kondisi, karakter-karakter ataupun sosial dan ekonomi masyarakat
nelayan. Perhatian pada masyarakat nelayan, nampaknya juga menjadi suatu
kajian menarik bagi kaum akademis Indonesia. Hal ini didasarkan atas fakta-fakta
yang ditemukan dari beberapa laporan penelitian mengenai masyarakat nelayan,
juga mempunyai tuntutan kebutuhan konsumtif yang semakin meningkat, dimana
kedua tuntutan tersebut tidak dapat dijalankan secara bersama-sama oleh nelayan.
Sallatang (1982) menyatakan adanya hubungan kerjasama dalam suatu
kelompok kecil dalam pemanfaatan sumber daya laut. Kelompok kecil ini adalah
masyarakat nelayan itu sendiri dengan kerjasama yang khas dimiliki oleh
16
kebudayaan maritim. Selanjutnya Sallatang (1982) mengemukakan bahwa adanya
hubungan yang menyerupai hubungan kerabat. Hubungan ini lebih banyak tampil
khususnya antara punggawa kecil dan punggawa besar dengan para sawi. Antara
anggota-anggota saling mengharapkan, saling membutuhkan dan saling
bergantung satu sama lain. Interaksinya diatur oleh norma-norma dan lebih
merupakan pertukaran sosial dibawah kewajiban saling memberi dan menerima
merupakan solidaritas dalam anggota kelompok.
Pada pembagian lainnya, Abu Hamid (1982 : 35) menyatakan bahwa tata
hubungan punggawa-sawi bertolak pada tradisi yang ada atas dasar hubungan
sosial-ekonomi yang menjelma melalui hutang-budi. Dengan sistem tradisi ini
menurutnya mempunyai peranan dalam pelestarian kehidupan nelayan, oleh
karena sawi memandang punggawa sebagai penyelamat, pelindung, dan
pemimpin yang mengayomi kehidupan mereka dan dengan demikian dampak
adanya sistem patron-klien.
Demianus
(1985
:
1-56)
yang
dikutip
oleh
Fidelys
Lolobua,
menggambarkan secara luas mengenai aspek-aspek sosial dan ekonomi dalam
kehidupan masyarakat nelayan bagang di pulau Sembilan. Disini dikatakan bahwa
kelompok kerja mereka bekerja sesuai dengan fungsi dan diupah berdasarkan
sistem bagi hasil yang telah disepakati. Namun dalam kesimpulannya mengenai
hal ini, bahwa meskipun nelayan (sawi bagang sebagai anggota terendah dalam
status nelayan bagang), secara statistik mampu memenuhi kebutuhan makan
(penyediaan beras), namun kenyataannya menunjukkan bahwa, para sawi terusmenerus terikat oleh punggawa tanpa adanya alternatif lain.
17
Basri Hasanuddin dalam Fidelys Lolobua (1985 : 105-110) mengatakan
bahwa keterbelakangan relatif masyarakat pantai terutama disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu : usaha yang bersifat perorangan dan kecil-kecilan, sehingga
peningkatan efisiensi sulit dilakukan. Sifat produksi musiman sangat berpengaruh
pada biaya efisiensi, gejala over fishing pada perairan pantai, dan faktor-faktor
kelembagaan yang tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, dalam kesimpulannya
Basri Hasanuddin mengemukakan bahwa untuk mengatasi permasalahanpermasalahan dalam masyarakat pantai (khususnya nelayan) perlu disusun pola
desa pantai terpadu, dengan memperhitungkan semua faktor yang berpengaruh
baik faktor sosial maupun faktor ekonomi.
Perikanan laut cukup memegang peranan penting dalam menunjang
perekonomian nasional, maka tepatlah jika turut membantu para nelayan yang
bergerak di sektor perikanan dengan tujuan meningkatkan pendapatan mereka.
Untuk dapat mencapai maksud dalam pengadaan peralatan dan pemakaian
teknologi, maka unsur paling penting adalah “modal”.
Untuk itu diupayakan agar produksi nelayan dapat ditingkatkan sekaligus
dengan adanya peningkatan produksi diharapkan pula dapat meningkatkan
pendapatan mereka. Masalah rendahnya pendapatan, menurut Abu Hamid (1987)
antara lain disebabkan oleh :
a. Terbatasnya sarana produksi, cara processing dan pemasaran.
b. Teknologi dan peralatan tangkap yang masih sederhana.
c. Terbatasnya modal kerja yang dimiliki oleh nelayan.
18
d. Belum berfungsinya koperasi dan TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
secara baik yang membawa keuntungan bagi nelayan.
e. Unit kerja punggawa-sawi sebagai organisasi nelayan belum menjalin
kerja sama yang saling menguntungkan.
f. Jangkauan jelajah dan daerah operasi masih terbatas.
g. Produksi yang bersifat musiman dan berskala kecil.
Merujuk dari hasil diatas, dapat dikatakan pada umumnya penduduk yang
bermukim di pesisir pantai sebagian besar telah memilih jalan hidup mereka
sebagai nelayan. Dengan demikian, mata pencaharian utamanya cenderung amat
tergantung dengan laut. Sejalan dengan hal ini Suyono dalam kamus antropologi
(1985 : 272) yang dikutip oleh Fidelis Lolobua mengemukakan bahwa : “Yang
dimaksud sebagai nelayan adalah orang yang hidup dari usaha menangkap ikan
sebagai mata pencaharian pokok”.
Dari hal ini, dapat dilihat bahwa kelompok-kelompok masyarakat yang
menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut sering pula disebut sebagai
masyarakat bahari. Dikatakan demikian, karena masyarakat bahari merupakan
kesatuan-kesatuan hidup manusia yang sebagian besar atau sepenuhnya
menggantungkan kehidupan ekonominya secara langsung atau tidak langsung
pada pemanfaatan sumber daya laut yang dipedomani dan dicirikan bersama
dengan kebudayaan baharinya. Dengan kata lain, nelayan merupakan orang yang
mata pencaharian utamanya adalah mencari dan menangkap ikan dan jenis-jenis
biota laut lainnya yang bernilai ekonomi dengan menggunakan alat bantu dan
mempunyai pengetahuan tentang laut.
19
3. Tinjauan Tentang Kelompok Kerja dan Bagi Hasil
Nasib nelayan di Indonesia semakin terpuruk tidak saja oleh pembagian
hasil antara mereka, tetapi juga kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada
nelayan itu. Problem yang dihadapi masyarakat nelayan pun sangatlah kompleks
mulai dari permodalan, musim yang tidak bersahabat dan sistem bagi hasil yang
membuat minimnya penghasilan sehingga membuat nelayan jatuh pada lingkaran
kemiskinan.
Nelayan bukan hanya orang yang menggatungkan hidup dari menangkap
ikan di laut, melainkan juga orang yang terlibat dalam proses penangkapan ikan di
laut. Punggawa merupakan orang yang mempunyai peralatan menangkap ikan
sedangkan sawi adalah orang yang menangkap ikan di laut dengan menggunakan
peralatan yang dimiliki oleh punggawa.
Struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan
kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan tersebut merupakan konsekuensi dari
sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan karena
ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan tersebut merupakan langkah yang
penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien
merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena hingga saat ini
nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin
kepentingan sosial mereka.
Mengenai hubungan patron-klien ini, Legg (1983), dalam Najib (1999)
yang dikutip oleh Ahmad Rizal mengungkapkan bahwa tata hubungan patronklien umumnya berkaitan dengan :
20
a. Hubungan antara pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak
sama.
b. Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan
mengandung keakraban.
c. Hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan.
Sementara itu, James Scott (1983) yang dikutip oleh Ahmad Rizal melihat
hubungan
patron-klien
sebagai
fenomena
yang
terbentuk
atas
dasar
ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah sistem
pertukaran pribadi. Dalam pertukaran itu berarti ada arus dari patron-klien dan
sebaliknya. Masih menurut Scott, arus dari patron ke klien :
a. Penghidupan subsisten dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap,
penyediaan saprodi (sarana produksi padi), jasa pemasaran dan
bantuan teknis.
b. Jaminan krisis subsisten berupa pinjaman yang diberikan pada saat
klien mengahadapi kesulitan ekonomi.
c. Perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi (musuh pribadi)
maupun ancaman umum (tentara, pejabat, atau pemungut pajak).
d. Memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana
umum setempat (sekolah, tempat ibadah, atau jalan) serta mendukung
festival serta perayaan desa.
Namun, kemiskinan telah menjadi cirri yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat nelayan. Kehidupan masyarakat nelayan dari hari ke hari
hanya bergantung dari hasil tangkapan ikan di laut yang hasilnya belum tentu
21
memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi dengan sarana prasarana yang masih
tradisional.
Menurut Kusnadi (2003), tekanan sosial-ekonomi yang dihadapi rumah
tangga nelayan sawi berakar pada berbagai faktor yang saling terkait. Faktorfaktor tersebut terbagi menjadi faktor alamiah dan non alamiah.
Faktor alamiah, misalnya perubahan musim-musim penangkapan dan
struktur sumber daya kelautan dan tangkapan dan struktur sumber daya kelautan
dan desa. Faktor non alamiah terhubung dengan persoalan keterbatasan daya
jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak
adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan
pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada dan dampak
negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak 25 tahun
terakhir.
Terkadang ketika memasuki bulan-bulan kemarau bagi nelayan, maka
tingkat penghasilan akan berkurang bahkan mengalami masa paceklik. Biasanya
musim peceklik ini berlangsung selama kurang lebih 5 (lima) bulan, dan untuk
menutupi kebutuhan para nelayan harus membelanjakan simpanannya yang
diperoleh selama 7 (tujuh) bulan musim melaut itu, sehingga kesulitan pun
kemudian menghantui hidup para nelayan.
Dalam masa-masa paceklik biasanya istri dan anak-anak nelayan sawi
harus berjuang keras mencari nafkah dengan melakukan segala pekerjaan yang
memberikan penghasilan. Biasanya bagian terbesar tangkapan berada di tangan si
22
pemilik peralatan perahu punggawa, sementara biaya operasional ditanggung
bersama-sama oleh si nelayan sawi dan pemilik peralatan perahu punggawa.
Menurut Kusumastanto (2003 : 56) yang dikutip oleh Ahmad Rizal,
beberapa faktor yang mempengaruhi karakteristik masyarakat nelayan dan petani
ikan yaitu :
a. Kehidupan masyarakat nelayan dan petani ikan menjadi sangat
tergantung pada kondisi ekosistem dan lingkungan yang rentan
terhadap kerusakan, khususnya pencemaran dan degradasi kualitas
lingkungan.
b. Persoalan yang paling mencolok pada kelompok masyarakat ini
khususnya
nelayan
adalah
ketergantungan
pada
musim.
Ketergantungan pada musim ini sangatlah besar, khususnya pada
nelayan kecil. Pada musim penangkapan mereka sangat sibuk,
sementara pada musim paceklik mereka mencari kegiatan ekonomi
lain atau menganggur. Secara umum pendapatan masyarakat nelayan
sangat fluktuatif, kondisi ini tercermin juga dari pola-pola hidup
masyarakat nelayan, pada musim panen mereka cenderung bersifat
konsumtif atau berfoya-foya dan sebaliknya pada musim paceklik
mereka terlibat banyak utang pada rentenir atau tengkulak.
c. Kelompok masyarakat nelayan sangat tergantung pada pasar. Hal ini
dikarenakan komoditas yang dihasilkan harus segera dijual untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau akan membusuk sebelum
laku dijual.
23
Menurut Lampe yang dikutip oleh Ahmad Rizal, secara umum meskipun
laut menyediakan sumber ekonomi yang berpotensi bagi kelangsungan hidup
manusia, seperti ikan dan biotik laut lainnya yang mempunyai nilai ekonomi
(dapat dikonsumsi dan dipertukarkan), namun pekerjaan untuk memperolehnya
berlangsung
dalam
suatu
lingkungan
yang
berbahaya
dan
penuh
ketidakmenentuan. Acheson (1981) dalam Lampe (1989), mengemukakan bahwa
masalah-masalah umum yang biasa dihadapi oleh nelayan yaitu :
a. Laut penuh resiko dan ketidakmenentuan.
Acheson menggambarkan laut sebagai suatu lingkunganyang sulit
dimasuki orang untuk survival karena penuh dengan pukulan badai
dan ombak yang tidak henti-hentinya.
b. Adanya berbagai jenis dan pola kebiasaan ikan dan biotik lainnya.
Laut dengan berbagai macam kadar air dan keadaan dasarnya
mengandung banyak jenis biotik, tetapi yang bukan hanya ada secara
musiman karena mempunyai pola dasar migrasi, tetapi ada juga
populasi-populasi ikan yang meningkat atau merosot secara tiba-tiba
yang sulit diramalkan oleh nelayan. Hal ini menyebabkan nelayan sulit
mengontrol binatang buruannya di laut.
c. Lingkungan laut yang tampaknya homogen tetapi sebetulnya bersifat
mendua.
Salah satu sifatnya yang mempersulit operasi nelayan adalah seluruh
bagian permukaan tampak sama saja. Sifat mendua laut seperti ada air
laut yang kadar garamnya tinggi dan ada pula yang tawar, ada yang
24
dasarnya rata dan ada yang berbatu-batu. Hal ini menyebabkan para
nelayan tidak dapat mengetahui keadaan meningkat atau merosotnya
populasi dari jenis ikan tertentu di suatu lokasi dan dapat juga
menimbulkan kerusakan alat penangkapan.
d. Sumber ikan di biotik laut lainnya merupakan milik kekayaan bersama
masyarakat nelayan disekitarnya.
Sifat laut yang demikian menimbulkan persaingan dan pertentangan
diantara para kelompok nelayan dalam memperebutkan sumber. Hal
ini menjurus pada pengerusakan sumber-sumber ikan dan kerusakan
ekologi di suatu perikanan tertentu.
e. Hasil produksi ikan yang cepat membusuk.
Hal ini terjadi pada masyarakat nelayan yang belum menggunakan
teknik perawatan modern. Kondisi tangkap ikan yang demikian
menyebabkan
kualitas
komoditas
seringkali
menurun
dan
pemasarannya tidak dapat ditunda-tunda.
f. Harga ikan dipasaran yang sifatnya turun naik.
Meskipun tangkapan nelayan secara berturut-turut baik, tidaklah
selamanya bahwa pendapatan mereka juga demikian, melainkan justru
sebaliknya. Hal ini disebabkan faktor naik turunnya harga pasaran, dan
karena para nelayan tidak selamanya tahu informasi tentang pasar
yang dikuasai para pedagang dan tengkulak.
25
g. Ketidakmampuan nelayan dalam menghadapi eksploitasi para
pedagang atau tengkulak dan pemilik kapal atau perahu.
Nelayan dimana-mana di dunia menghabiskan sebagian besar
waktunya di laut sehingga mereka tidak melibatkan diri dalam situasi
yang sifatnya politis, sehingga mereka banyak bergantung pada
pedagang dan pemilik kapal yang sering mengeksploitasi mereka.
h. Masalah-masalah psikologis dan penyimpangan budaya.
Suatu fakta bahwa pekerjaan menangkap ikan di laut menyebabkan
kaum laki-laki (nelayan) terpisah secara fisik dari keluarga mereka.
Keterpisahan dalam jangka waktu yang lama menimbulkan masalah
psikologis dan penyimpangan budaya diantara kedua belah pihak.
Masalah psikologis yang timbul berupa gejala kesepian atau perasaan
was-was akan nasib masing-masing, sedangkan penyimpangan budaya
berupa penyimpangan peranan.
Dalam organisasi sosial ada prinsip-prinsip umum yang berlaku yaitu
organisasi sosial dapat dilihat baik secara struktur maupun secara proses.
Organisasi sosial sebagai struktur menitik beratkan perhatian pada tata hubungan
yang terdapat didalam organisasi sosial misalnya tata hubungan berdasarkan
keturunan yang menentukan posisi/status dalam tata hubungan organisasi
tersebut. Sedangkan organisasi sosial sebagai proses terletak pada kegiatan
sehingga dapat diamati perilaku-perilaku dari tiap anggota organisasi. Sejalan
dengan hal ini menurut Kusnadi (2002), struktur kelompok perikanan nelayan
berdasarkan pada tingkat penguasaan kepemilikan alat-alat produksi atau
26
peralatan tangkap (perahu, jarring, dan perlengkapan yang lain), sehingga terbagi
kedalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan
buruh tidak memiliki alat-alat produksi dalam melakukan kegiatan produksi,
nelayan buruh hanya menyumbangkan tenaganya.
Hal tersebut diatas merupakan suatu ironi bagi sebuah negara maritim
seperti Indonesia bahwa masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat
yang paling miskin. Walau ada agregatif dan kuantitatif yang terpercaya tidak
mudah diperoleh, pengamatan visual/langsung ke kampung-kampung nelayan
dapat memberikan gambaran yang jauh lebih gamlang tentang kemiskinan
nelayan di tengah kekayaan laut yang begitu besar.
Pemandangan yang sering kita jumpai di perkampungan nelayan adalah
lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana.
Walaupun ada beberapa rumah yang menonjolkan tanda-tanda kemakmuran
(misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-rumah tersebut
umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya
tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat
tergantung pada individu yang bersangkutan.
Disamping itu, karena lokasi geografisnya yang banyak berada di muara
sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi. Lebih dari itu,
aspirasi politisnya pun acap kali terabaikan. Dalam kondisi yang secara
multidimensi demikian miskin, akan sangat sulit bagi para nelayan untuk keluar
dari lingkaran kemiskinan dan begitu saja bersaing dalam pemanfaatan hasil laut
di era keterbukaan sekarang ini. Mereka akan selalu kalah bersaing dengan
27
perusahaan penangkapan ikan, baik dengan nelayan negara asing maupun
nasional yang berperalatan modern. Oleh karena itu, pemberdayaan komunitas
nelayan merupakan langkah yang sangat krusial dalam mencapai tujuan
pemanfaatan kekayaan laut Indonesia.
Sejalan dengan hal ini hasil penelitian Mintaroem dkk (2005) mengatakan,
kehidupan para nelayan di desa Bandaran berkelompok. Setiap nelayan kelompok
terdiri dari :
a. Juragan pemilik kapal/perahu;
b. Juragan kepala perahu;
c. Pandhiga.
Sebagai sebuah (organisasi) kelompok nelayan pola relasi kerja, baik
antara juragan perahu, juragan kepala dan pandhiga, atau antar anggota nelayan
itu sendiri, bukan terjadi dalam kerangka hubungan kerja atas “atasan” dan
“bawahan” yang bersifat “hubungan pengabdian”, tetapi bersifat “kolegialisme”
dan “kekeluargaan”. Sekalipun terdapat klasifikasi diantara mereka sesuai dengan
spesifikasi kerja masing-masing, hubungan di antara mereka pun sangat longgar,
terbuka, suka-hati dan didasarkan atas “kesertaan secara sukarela”, tetapi dalam
kasus-kasus tertentu bahkan seorang juragan pemilik perahu harus merekrut
anggota nelayannya dengan “cara membeli”. Hal ini menunjukkan betapa faktorfaktor sosial dan budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi. Sistem
atau pola rekrutmen keanggotaan nelayan dilakukan secara : (1) sukarela, dan (2)
membeli. Cara sukarela, adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok
nelayan yang terbuka bagi siapa saja atas dasar kesukarelaan yang bersangkutan
28
untuk menjadi anggota kelompok nelayan. Di lain pihak, sistem “membeli”
(melle) adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan dengan cara
membeli atau membayar agar yang bersangkutan mau menjadi anggota kelompok
perahunya.
Istilah punggawa berlaku untuk semua pemimpin, atau orang yang diikuti
(tonipinawang) atau bos dalam istilah sekarang dalam masing-masing bidang
usaha, dimana pemimpin itu adalah milik modal utama dalam usaha yang
bersangkutan. Istilah sawi berlaku untuk semua orang berstatus dipimpin atau
orang yang menjadi pengikut (tominawang) pada punggawa.
Hubungan punggawa-sawi dalam organisasi produksi nelayan dapat
dikategorikan sebagai pola hubungan patron-klien. Hal demikian dikatakan oleh
James E. Scott yang dikutip oleh Muchlis dan Robinson, bahwa suatu kasus
khusus hubungan antara dua orang sebagian besar melibatkan persahabatan
instrumental, dimana seorang yang lebih tinggi kedudukan sosial, ekonominya
(patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk
memberikan perlindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang
lebih rendah kedudukannya (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian
tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasajasa pribadi kepada patron (Muchlis dan Robinson : 1984).
Dari uraian diatas, dapat ditarik hipotesa secara umum bahwa ; sistem bagi
hasil dengan istilah-istilah bagian menunjukkan secara logis bahwa semua
anggota awak kapal merupakan orang-orang yang bekerja sama dan berhak
mendapatkan hasil kerjanya masing-masing. Dimana istilah punggawa berlaku
29
untuk semua pemimpin atau orang yang diikuti atau bos dalam istilah sekarang
dalam masing-masing bidang usaha, dimana pemimpin itu adalah pemilik modal
utama dalam usaha yang bersangkutan. Istilah sawi berlaku untuk semua orang
berstatus dipimpin atau orang yang menjadi pengikut. Dengan kata lain,
punggawa-sawi merupakan kelompok usaha/unit kerja nelayan, sehingga
hubungan punggawa-sawi dapat dikategorikan sebagai pola hubungan patronklien atau hubungan “antara dua orang” dan sebagian besar melibatkan
“persahabatan instrumental”, dimana seseorang yang lebih tinggi kedudukan
sosial ekonominya menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya
untuk memberikan perlindungan atau keuntungan dan atau kedua-duanya kepada
orang yang lebih rendah kedudukannya yang pada gilirannya membalas
pemberian tersebut dengan memberikan dukungan.
B. Kerangka Konseptual
Demi mempertahankan kehidupannya, maka manusia dituntut untuk
melakukan adaptasi. Dalam hal ini adaptasi menunjuk pada suatu proses timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Hardesty, 1977). Dari sudut
pandang evolusi biologi, adaptasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang
dapat meningkatkan kemungkinan makhluk hidup bisa bertahan hidup dari satu
generasi ke generasi berikutnya pada kondisi lingkungan tertentu. Dengan
demikian adaptasi adalah produk dari seleksi alam. Sebaliknya dari sisi
antropologi ekologi, adaptasi didefinisikan sebagai suatu strategi yang digunakan
oleh manusia dalam masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan
baik fisik maupun sosial (Alland Jr, 1975).
30
Kapasitas manusia untuk dapat beradaptasi ditunjukkan dengan usahanya
untuk mencoba mengelola dan bertahan dalam kondisi lingkungannya.
Kemampuan
suatu
individu
untuk
beradaptasi
mempunyai
nilai
bagi
kelangsungan hidupnya. Makin besar kemampuan adaptasi suatu makhluk hidup,
makin besar pula kemungkinan kelangsungan hidup makhluk tersebut. Dengan
demikian, adaptasi merupakan suatu proses di mana suatu individu berusaha
memaksimalkan kesempatan hidupnya (Sahlins, 1968).
Aspek kebudayaan yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan
adaptasi manusia terhadap lingkungan adalah aspek-aspek kebudayaan yang
berupa sistem teknologi mata pencaharian dan pola pemukiman. Keduanya dapat
memperlihatkan usaha-usaha manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan
sekitar. Pengaruh lingkungan terhadap sistem kebudayaan dapat dilihat dari dua
sisi, yaitu secara fungsional dan secara prosesual (Steward, 1955).
Perspektif ekologi fungsional maupun prosesual membedakan lingkungan
sebagai unit analisis dalam dua kategori yaitu lingkungan fisik dan lingkungan
alam. Keduanya dapat mempengaruhi pola-pola adaptasi dan jalannya proses
kebudayaan. Perspektif fungsional, dengan berdasarkan pada teori sistem
memfokuskan analisisnya pada penjelasan tentang usaha-usaha yang dilakukan
oleh setiap ekosistem untuk selalu berada dalam kondisi yang stabil. Interaksi
antara setiap komunitas dengan lingkungannya dalam sebuah relung ekologi
bertujuan untuk selalu menjaga kondisi sistem itu dalam keadaan stabil.
Sedangkan perpektif prosesual melihat kaitan antara lingkungan dengan
munculnya suatu pola adaptasi terutama dalam sistem kebudayaan. Karena
31
berkaitan dengan proses, maka ekosistem tidak dianggap stabil tetapi selalu
berada dalam keadaan dinamis.
Kedua perspektif tersebut di atas melatarbelakangi pula penjelasan usahausaha penyesuaian dan respons manusia terhadap pengaruh lingkungan. Dengan
kata lain, adaptasi manusia dapat dipahami secara fungsional dan prosesual.
Adaptasi secara fungsional adalah respons dari suatu organisme atau sistem yang
bertujuan untuk mempertahankan keadaan homeostatis, sehingga dalam hal ini
istilah adaptasi mengacu pada fungsi yang terjadi pada dimensi waktu tertentu.
Sedangkan adaptasi prosesual adalah sistem tingkahlaku yang terbentuk sebagai
akibat
dari
proses
penyesuaian
manusia
terhadap
perubahan-perubahan
lingkungan di sekitarnya (Alland, 1975 : 60).
Perilaku adaptasi ini bermula dari individu atau sekelompok individu yang
kreatif dalam masyarakat. Mereka memberikan tanggapan terhadap masalah
lingkungan yang timbul, baik dari lingkungan alam maupun lingkungan sosial.
Tanggapan ini berkesinambungan, kemudian tanggapan ini berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan mereka. Pengambilan keputusan ini berdasar kemampuan
penyesuaian diri secara rasional dan situasional dari pengalaman dan pengetahuan
mereka tentang lingkungan yang berubah dengan masalah yang ditimbulkannya
(Vayda dan McCay, 1978).
Persepsi manusia terhadap lingkungan dapat dibentuk dari bagaimana
manusia memperoleh pengetahuan lingkungan melalui rangsangan-rangsangan
yang diterima atau berupa tanggapan manusia terhadap lingkungan yang terdapat
dalam pikirannya. Proses manusia memperoleh pengetahuan lingkungan ini
32
ditentukan oleh faktor kebudayaan yang menjadi pedoman yang dianutnya
sehingga membentuk pandangan yang bersifat individual. Peranan kebudayaan di
sini bersifat menyaring terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari luar
lingkungan. Dengan demikian, pendekatan yang diambil dalam studi ini juga
difokuskan pada kajian tentang pilihan-pilihan tindakan yang diambil dalam
rangka pemanfaatan lingkungan sumber daya.
Suatu pilihan tindakan di dalam pemanfaatan sumber daya dianggap tepat
apabila tindakan tersebut dirasa menguntungkan dirinya. Hal ini didasarkan atas
perhitungan rugi-laba dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan berjenjang yang
dilakukan secara berulang-ulang. Pilihan-pilihan tindakan ini sangat tergantung
pada bagaimana manusia membuat persepsi terhadap lingkungan.
Proses adaptasi lingkungan dan evolusi budaya dapat berlangsung pada
setiap komunitas yang hidup di setiap tipe ekosistem. Ekosistem persawahan
dengan teknologi sawah irigasi membentuk pola interaksi yang spesifik antara
komunitas petani dengan lingkungannya, demikian pula halnya dengan komunitas
masyarakat pesisir yang membentuk pola adaptasi dengan ekosistem lingkungan
fisik laut dan lingkungan sosial sekitarnya. Proses adaptasi ini kemudian
menentukan proses perkembangan atau evolusi budaya yang terjadi pada masingmasing komunitas tersebut.
Dalam penelitian tentang Strategi Kelangsungan Hidup, Maslow (Gafur.
F, 2009 : 46) mengemukakan dalam teorinya bahwa :
“ketika manusia sudah mengatasi semua kebutuhan dasarnya untuk
bertahan hidup, maka ia pun dimungkinkan untuk mengejar
33
pancarian lebih tinggi: aktualisasi diri, pengetahuan tentang dirinya
sendiri di level yang paling dalam.
Dalam usaha pengertian dan memahami makna kebutuhan manusia.
Maslow mengemukakan mengenai kebutuhan manusia dengan membagi tingkat
kebutuhan manusia sebagai berikut :
a. Biologis, yaitu kebutuhan badani misalnya kebutuhan akan sandang,
pangan, dan papan yang merupakan kebutuhan prioritas pertama dari
seseorang.
b. Rasa aman (safe / secure), adalah kebutuhan untuk merasa terbebas
dari kekhawatiran akan bahaya yang bersifat fisik dan berkurangnya
kepastian akan kebutuhan psikologis.
c. Hubungan
sosial
(social
afiliation),
yaitu
kebutuhan
untuk
mengadakan hubungan dengan manusia atau kelompok sekeliling
secara baik.
d. Pengakuan (esteem / recognition), adalah kebutuhan akan merasa
mempunyai nilai, rasa berguna, rasa dihargai, rasa diakui oleh suatu
kelompok atau seseorang.
e. Pengembangan kemampuan/bakat (self actualization), yaitu kebutuhan
untuk dapat mengembangkan kemampuan menjadi lebih baik, dimana
tingkat-tingkat kepuasannya terutama dirasakan atau usaha-usaha
peningkatan dalam dirinya.
Dari tingkatan kebutuhan manusia yang dikemukakan Maslow tersebut,
dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori dasar : kebutuhan untuk
34
keberadaannya, kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain dan untuk
pengembangan dirinya.
Firth mengemukakan bahwa masyarakat nelayan memiliki paling sedikit
lima karakteristik yang membedakan dengan petani pada umumnya. Kelima
karakteristik tersebut adalah :
a. Pertama, pendapatan nelayan biasanya bersifat harian (daily
increments) dan jumlahnya sulit ditentukan. Selain itu, pendapatannya
juga sangat tergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri,
dalam arti apakah ia sebagai punggawa atau sawi. Dengan
pendapatannya yang bersifat harian, tidak dapat ditentukan, dan sangat
tergantung pada musim, maka mereka (khususnya nelayan sawi)
merasa
sangat
kesulitan
dalam
merencanakan
penggunaan
pendapatannya. Keadaan demikian mendorong nelayan untuk segera
membelanjakan uangnya segera setelah mendapatkan penghasilan.
Implikasinya, nelayan sulit untuk mengakumulasikan modal atau
menabung.
Pendapatan
yang
mereka
peroleh
pada
musim
penangkapan ikan habis digunakan untuk menutup kebutuhan keluarga
sehari-hari, bahkan seringkali tidak mencukupi kebutuhan tersebut.
b. Kedua, dilihat dari segi pendidikan, tingkat pendidikan nelayan
maupun anak-anak nelayan pada umumnya rendah.
c. Ketiga, dihubungkan dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan,
maka nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukarmenukar karena produk tersebut bukan merupakan makanan pokok.
35
Selain itu, sifat produk tersebut yang mudah rusak dan harus segera
dipasarkan menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan
kepada pedagang.
d. Keempat, bahwa bidang perikanan membutuhkan investasi yang cukup
besar
dan
cenderung
mengandung
resiko
yang
lebih
besar
dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya.
e. Kelima, kehidupan nelayan yang miskin juga diliputi oleh kerentanan,
misalnya ditunjukkan oleh terbatasnya anggota yang secara langsung
dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan yang
sangat besar pada mata pencaharian menangkap ikan.
(http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=strategi%20kelangsungan
%20hidup%20nelayan&source=web&cd=1&sqi=2&ved=0CB8QFjA
A&url=http%3A%2F%2Fmadib.blog.unair.ac.id%2Ffiles%2F2010%2
F05%2Fcontoh-artkel-ilmiah-08-trijoko.pdf&ei=hz2gT9agF8LPrQfQmo3qAQ&usg=AFQjCNG5HKOVmWUarKz2pHNPSRqvVnbfg , 27, Februari 2012.)
Kehidupan nelayan memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan
alam. Keeratan hubungan ini menciptakan ketergantungan nelayan pada
lingkungan alam, terutama ketergantungan terhadap sumber daya hayati yang ada
di lingkungan alam yang dapat memberikan sumber penghidupan bagi mereka.
Hubungan ini bersifat timbal balik, lingkungan alam dapat mempengaruhi
36
nelayan, bagitu pula sebaliknya nelayan dapat mempengaruhi lingkungan alam
melalui perilakunya (Sukadana, 1987).
Di kalangan masyarakat pesisir (nelayan), secara umum terdapat dua
bentuk strategi adaptasi.
a. Pertama adalah intensifikasi, yang merupakan strategi adaptasi yang
tumbuh di kalangan nelayan untuk melakukan investasi pada teknologi
penangkapan, sehingga hasil tangkapannya diharapkan akan lebih
banyak. Untuk itu, melalui intensifikasi maka kegiatan penangkapan
dapat dilakukan pada daerah yang semakin jauh dari tempat
pemukiman, bahkan mungkin memerlukan waktu penangkapan lebih
dari satu hari.
b. Strategi adaptasi yang kedua adalah dengan melakukan diversifikasi
pekerjaan. Diversifikasi merupakan perluasan alternatif pilihan mata
pencaharian yang dilakukan nelayan, baik di bidang perikanan maupun
non perikanan. Diversifikasi pekerjaan merupakan strategi yang umum
dilakukan di banyak komunitas nelayan, dan sifatnya masih
tradisional. Ragam peluang kerja yang bisa dimasuki oleh mereka
sangat tergantung pada sumber-sumber daya yang tersedia di desadesa nelayan tersebut.
Setiap desa nelayan memiliki karakteristik lingkungan alam dan sosial
ekonomi tersendiri, yang berbeda antara satu desa dengan desa yang lain. Ada
desa nelayan yang tersedia peluang cukup besar untuk melakukan diversifikasi
pekerjaan, sementara ada desa nelayan lain yang hampir tidak memiliki peluang
37
untuk melakukan diversifikasi pekerjaan, sehingga sektor kenelayanan menjadi
gantungan utama seluruh warganya.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan digambarkan skema kerangka
konseptual :
38
SKEMA
KERANGKA KONSEPTUAL
KELUARGA / MASYARAKAT PESISIR
Latar Belakang Kehidupan Sosial-Ekonomi Keluarga / Masyarakat Pesisir, meliputi :
 Umur
 Tingkat Pendidikan
 Kondisi Rumah Tangga
 Mata Pencaharian
Strategi Kelangsungan Hidup Masyarakat Pesisir
di Desa Lero, Kec. Suppa, Kab. Pinrang
Intensifikasi Pekerjaan
Diversifikasi Pekerjaan
Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga
Pola Hubungan Sosial
Mengakses Fasilitas Pemerintah
Punggawa
Darat
(Bos atau
Pemodal)
Sawi
Punggawa
Laut
(Nahkoda
Kapal)
Punggawa
Kapal
Panyambang
(Punggawa
Pa’es)
Nelayan
Katinting
39
C. Definisi Operasional

Strategi ; rencana aksi atau rencana yg cermat mengenai kegiatan untuk
mencapai sasaran khusus.

Kelangsungan Hidup ; merupakan upaya dalam memenuhi kebutuhan
dasar yang tidak lepas dari aspek jasmanai dan rohani. Pertumbuhan atau
pemeliharaan membutuhkan makanan, tempat tinggal, air, udara,
pemeliharaan kesehatan dan istirahat yang cukup.

Punggawa Darat (Bos/Pemodal) ; orang yang mempunyai modal yang
cukup banyak berupa uang tunai untuk membiayai kegiatan penangkapan
ikan dan juga memiliki alat-alat penangkapan ikan misalnya perahu, mesin
tempel, bagan, rumpon dan lain sebagainya. Pada umumnya punggawa
darat tidak turun ke laut untuk menangkap ikan. Mereka hanya
menyediakan kebutuhan para nelayan yang turun ke laut dalam hal
peralatan maupun perbekalan. Hasil tangkapan biasanya dikuasai oleh
punggawa darat dan memasarkannya. Jadi, punggawa darat hanya
mempekerjakan sawi dengan modal yang dimilikinya dan mengelola hasil
tangkapan sampai pada pemasarannya.

Punggawa Laut (Nahkoda Kapal) ; orang yang bekerja pada punggawa
darat dan bertugas dalam mengoprasikan kapal motor penangkapan ikan
dengan kapasitas maksimal 13 orang atau mereka yang memiliki keahlian
dan keterampilan dalam kegiatan penangkapan ikan misalnya menjalankan
kapal, mengkoordinir segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayaran
perahu dan penangkapan ikan. Juga tugas-tugas di darat misalnya
40
mengurus surat izin berlayar dan lain sebagainya. Kadang-kadang mereka
juga memiliki salah satu peralatan yang dibutuhkan dalam kegiatan
penangkapan ikan misalnya perahu, motor tempel, bagan atau rumpon.

Punggawa Kapal Panyambang (Punggawa Pa’es) ; nelayan bebas atau
orang yang mempunyai modal dan kapal motor dengan kapasitas 4-5
orang yang bekerja untuk keluarganya sendiri atau terkadang mereka
bertugas mengambil ikan yang dibawa oleh kapal Pa’gae’ untuk di bawa
ke darat.

Sawi ; orang yang bekerja pada punggawa darat dalam penangkapan ikan
atau mereka yang hanya memiliki tenaga saja dan sedikit keterampilan
misalnya memancing, menjala, menarik dan menutup layar, memperbaiki
perahu.

Nelayan Katinting ; nelayan bebas atau orang yang mempunyai modal
dan kapal motor dengan kapasitas 2 orang yang bekerja untuk keluarganya
sendiri tanpa adanya keterikatan oleh pihak-pihak tertentu.
41
Download