Laporan Studi Pustaka (KPM 403) STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT NELAYAN DALAM MENGHADAPI KETIDAKPASTIAN CUACA AUDINA AMANDA PRAMESWARI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 i PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul "Strategi Adaptasi Masyarakat Nelayan dalam Menghadapi Ketidakpastian Cuaca" benar-benar hasil karya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari pustaka yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Mei 2015 Audina Amanda Prameswari NIM. I34120153 ii ABSTRAK AUDINA AMANDA PRAMESWARI. Strategi Adaptasi Masyarakat Nelayan dalam Menghadapi Ketidakpastian Cuaca. Dibawah bimbingan SOERYO ADIWIBOWO. Ketidakpastian cuaca merupakan fenomena yang saat ini dirasakan oleh seluruh masyarakat. Cuaca yang kini sulit diprediksikan, mengganggu aktivitas manusia, terutama bagi mereka yang memiliki ketergantungan yang tinggi akan cuaca. Masyarakat nelayan, sebagai masyarakat yang memiliki ketergantungan yang tinggi akan cuaca, menjadi pihak yang mendapatkan dampak-dampak langsung akibat ketidakpastian cuaca ini. Ketidakpastian cuaca ini kerap kali menghambat aktivitas masyarakat nelayan, membuat mereka sulit melaut sehingga mendapatkan hasil tangkapan yang kurang maksimal. Untuk tetap bertahan hidup, masyarakat nelayan perlu menerapkan strategi-strategi khusus untuk mampu menyesuaikan diri dengan fenomena tersebut. Strategi tersebut dikenal dengan strategi adaptasi. Strategi adaptasi yang diterapkan oleh masyarakat nelayan tentu akan berbeda satu dengan lainnya, dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki nelayan yang diwujudkan dari posisi nelayan pada kelas tertentu. Strategi adaptasi ini juga dipengaruhi oleh tingkat kerentanan dan komponennya. Berdasarkan pernyataan tersebut, penulisan laporan ini ditujukan untuk menganalisis keterkaitan antara ketidakpastian cuaca, kelas nelayan dan karakteristiknya, serta kaitannya dengan strategi adaptasi. ABSTRACT AUDINA AMANDA PRAMESWARI. Fishing Communities and Their Adaptation Strategies on Facing the Uncertainty Weather. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO. Uncertainty weather is a phenomenon that is felt by the entire community. The weather that was difficult to predict, disrupt human activity, especially for those who have a high dependence on weather. Fishing communities, as a society that have a high dependence on the weather, is getting into direct impacts due to this uncertainty weather. The uncertainty weather often inhibits the activity of fishing communities, making them difficult to go to the sea so they earn less than the maximum catches. To survive, fishing communities need to implement specific strategies to be able to adapt with the phenomenon. That spesific strategy is known as an adaptation strategies. Adaptation strategies that was being implemented by the fishing community would be different from one another, depend on the resources that fishermen has, which is realized from their position on a specific class. This adaptation strategy is also influenced by the degree of vulnerability and its components. Based on that statement, this report is intended to analyze the relationship between the uncertainty of the weather, fishing classes and their characteristics, and its relation to adaptation strategies. iii STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT NELAYAN DALAM MENGHADAPI KETIDAKPASTIAN CUACA Oleh AUDINA AMANDA PRAMESWARI I34120153 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 iv LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Audina Amanda Prameswari Nomor Pokok : I34120153 Judul : Strategi Adaptasi Masyarakat Nelayan dalam Menghadapi Ketidakpastian Cuaca dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Siti Amanah, MSc. NIP. 19670903 199212 2 001 Tanggal Pengesahan:_______________________________ v PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka dengan judul "Strategi Adaptasi Masyarakat Nelayan dalam Menghadapi Ketidakpastian Cuaca" dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK. Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Tidak lupa, terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) angkatan 49 yang tidak mampu disebutkan satu-satu. Terima kasih senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dimulai dari penyusunan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Semoga laporan Studi Pustaka ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Mei 2015 Audina Amanda P. NIM. I34120153 vi DAFTAR ISI DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................ vii PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1 Latar Belakang .................................................................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................................................................. 2 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA ......................................................................................... 4 1. Jurnal "Adaptasi Perubahan Iklim Komunitas Desa: Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon" ..................................................................................................................................... 4 2. Jurnal "Strategi Kelangsungan Hidup Nelayan" ............................................................................. 6 3. Jurnal "Kondisi Ekonomi Nelayan Artisanal di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat" ....................... 8 4. Jurnal Nelayan Indonesia dalam Pusaean Kemiskinan Struktural ................................................ 10 5. Skripsi "Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir" ................. 12 6. Skripsi "Strategi Adaptasi Nelayan Pelabuhanratu Terhadap Perubahan Iklim ........................... 14 7. Jurnal "Strategi Adaptasi Nelayan Cirebon" ................................................................................. 16 8. Jurnal Strategi Adaptasi Nelayan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Perubahan Ekologis .................. 17 9. Jurnal "Peralihan Mata Pencaharian Sebagai Bentuk Adaptasi" .................................................. 19 10. Jurnal "Linkages Between Vulnerability, Resilience, and Adaptive Capacity".......................... 21 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN .............................................................................................. 24 Kelas Nelayan dan Karakteristiknya ................................................................................................. 24 Strategi Adaptasi Nelayan................................................................................................................. 25 Konsep Strategi Adaptasi .............................................................................................................. 25 Bentuk-Bentuk Adaptasi ............................................................................................................... 25 Konsep Kerentanan (Vulnerability) dan Resiliensi ........................................................................... 26 Ketidakpastian Cuaca dan Dampaknya ............................................................................................. 28 Persepsi ......................................................................................................................................... 28 SIMPULAN .......................................................................................................................................... 29 Kerangka Analisis ............................................................................................................................. 30 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................................................ 31 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 32 LAMPIRAN.......................................................................................................................................... 34 vii DAFTAR GAMBAR 28 Gambar 1 Keterkaitan antara Konsep Kerentanan (Vulnerability), Resiliensi, dan Strategi Adaptasi ............................................................................................................................................ Gambar 2 Kerangka Pemikiran ........................................................................................................ 31 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, yang terdiri dari 5 pulau besar dan 30 kepulauan kecil, jumlah keseluruhan tercatat ada sekitar 17.504 pulau, 8651 pulau sudah berganti nama, 8.853 pulau belum bernama, dan 9.842 pulau yang telah diverifikasi (Depdagri 2006 dalam Retnowati 2011). Dengan banyaknya pulau yang dimiliki Indonesia, dapat diindikasikan bahwa Indonesia pun kaya akan sumberdaya kelautannya, mengingat antara satu pulau dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut. Kementerian Kelauatan dan Perikanan (2009) dalam Retnowati (2011) mengungkapkan bahwa keseluruhan luas laut Indonesia adalah 5,8 juta km2 yang terdiri dari luas perairan kepulauan atau laut nusantara 2,3 juta km2; luas perairan teritorial 0,8 juta km2; luas perairan ZEE Indonesia 2,7 juta km2; dan panjang garis pantai 95.181 km. Kondisi geografis Indonesia sebagai Negara Kepulauan, tentu memberikan manfaat yang cukup besar bagi masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi akan sumber daya laut. Salah satu diantaranya adalah masyarakat nelayan. Nelayan dapat diartikan sebagai seseorang yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut (Pasal 1 UU No. 45 Tahun 2009). Dengan laut yang cukup luas, tentu seharusnya nelayan merupakan pihak yang diuntungkan, mengingat laut merupakan sumberdaya milik bersama (common pool resources) yang sepenuhnya dimiliki negara sehingga mampu diakses oleh masyarakat Indonesia, termasuk juga masyarakat nelayan. Pada kenyataannya, ternyata masyarakat nelayan tidak sepenuhnya diuntungkan oleh luasnya laut tersebut. Banyaknya pihak yang turut memanfaaatkan laut itu sendiri, menjadikan nelayan termarjinalisasi. Nelayan dengan kapasitasnya yang kurang dari segi pendidikan dan keterampilan, menjadikan nelayan kerap kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang lebih kuat sehingga akhirnya mereka termarjinalisasi. Posisi nelayan yang lemah membuat nelayan dibatasi aksesnya sehingga hanya mendapatkan sebagian kecil dari laut yang luas tersebut. Akses yang terbatas membuat nelayan terjerat dalam kemiskinan. Seperti tercantum pada Kompas (6/4/2015), dikatakan bahwa nelayan, khususunya di wilayah Muara Angke, Jakarta Utara, mengalami kemiskinan kronis. Potret kemiskinan tersebut terlihat dari masih banyaknya nelayan tradisional yang menggunakan kapal rata-rata berbobot 5 gross ton dan panjang sekitar 6 meter (kapal terkecil). Bukan hanya itu, permukiman nelayan pun hanya berukuran 4 meter x 4 meter, dibangun dengan topangan pilar-pilar bambu dengan dinding terbuat dari tripleks, berlantai papan dan beratap seng. Di dalam Kompas (6/4/2015) juga dikatakan bahwa penyebab terjadinya kemiskinan adalah penghasilan yang tidak sesuai dengan ongkos melaut dan ketergantungan yang tinggi akan cuaca. Apabila dibandingkan dengan masyarakat petani, menurut Firth (1967) dalam Haryono (2005) ternyata terdapat lima karakteristik yang membedakan nelayan dengan petani: 1. Pendapatan nelayan bersifat harian (daily increments) dan jumlahnya sulit ditentukan. Selain itu pendapatannya juga sangat tergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri, dalam arti apakah ia sebagai juragan atau pandega. 2. Dilihat dari segi pendidikan, tingkat pendidikan nelayan maupun anak-anak nelayan pada umumnya rendah. 3. Dihubungkan dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan, maka nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar-menukar karena produk bukan merupakan makanan 2 pokok. Sifat produk pun mudah rusak dan harus segera dipasarkan sehingga menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan kepada pedagang. 4. Bidang perikanan membutuhkan investasi yang cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang lebih besar daripada sektor pertanian. 5. Kehidupan nelayan yang miskin juga diliputi oleh kerentanan, misalnya ditujukan oleh terbatasnya anggota yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan yang cukup besar pada mata pencaharian menangkap ikan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah dibandingkan masyarakat petani dari segi pendapatannya. Telah disebutkan sebelumnya, adanya ketergantungan yang cukup tinggi terhadap musim menjadi salah satu pembeda antara masyarakat petani dengan nelayan. Musim pada nelayan terbagi atas musim awal, musim panen dan musim panceklik atau musim tidak ada ikan. Musim awal terjadi pada bulan Oktober dan November, musim panen terjadi pada bulan Desember sampai Maret, sedangkan musim panceklik biasanya terjadi bersamaan dengan musim kemarau yaitu pada bulan April sampai September (Haryono, 2005). Musim penangkapan ikan pada nelayan ini sangat dipengaruhi oleh cuaca. Cuaca mampu menyebabkan terjadinya pergeseran pada musim penghujan dan musim kemarau. Cuaca pun membuat musim sulit diprediksikan. Kesulitan memprediksikan pola cuaca dan musim ini telah banyak dirasakan oleh masyarakat nelayan. Seperti pada penelitian Subair et al. (2014) dikatakan bahwa musim panen yang secara rutin dilaksanakan pada bulan September, tidak dapat dilaksanakan di tahun 2010 dan 2011 dikarenakan terjadinya cuaca ekstrim. Nelayan Asilulu mengalami kesulitan dalam memprediksikan pola musim, dikarenakan kini terjadi pergeseran musim yang perhitungannya sudah tidak bisa dilakukan dengan pengetahuan lokal setempat. Kesulitan dalam memprediksikan pola musim dikarenakan adanya cuaca yang ekstrim, menjadikan nelayan semakin rentan terhadap ancaman khususnya yang berkaitan dengan perekonomian rumahtangga. Nelayan yang menggantungkan hidup sepenuhnya kepada laut, dengan pendapatan yang bersifat harian (daily increments), membuat nelayan kerap kali tidak melaut dikarenakan adanya cuaca ekstrim yang membahayakan diri nelayan itu sendiri. Ketika nelayan sudah tidak lagi dapat mengandalkan laut sebagai sumber nafkah utamanya, tentu untuk tetap bertahan hidup nelayan perlu mencari alternatif kegiatan nafkah lainnya. Mencari alternatif kegiatan nafkah lainnya tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk strategi adaptasi. Marten (2001) mengungkapkan bahwa adaptasi (adaptive development) adalah kemampuan sistem sosial untuk menyatu dengan perubahan. Ketika manusia tidak mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan tertentu, akan terjadi maladaption yang berimplikasi pada ketidakmampuan manusia tersebut untuk bertahan hidup. Berdasarkan hal tersebut, muncul ketertarikan bagi peneliti untuk menganalisis lebih mendalam mengenai strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi ketidakpastian cuaca. Tujuan Sebagai masyarakat dengan ketergantungannya yang cukup tinggi akan musim, ketidakpastian cuaca menjadi faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat nelayan. Adanya kesulitan dalam memprediksikan pola cuaca dan musim, menjadikan masyarakat nelayan perlu melakukan strategi adaptasi agar tetap mampu bertahan hidup. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan studi pustaka ini adalah (1) mengidentifikasi masyarakat nelayan dan karakteristiknya, (2) menganalisis fenomena ketidakpastian cuaca 3 dan dampaknya, (3) mengidentifikasi strategi adaptasi dan keterkaitannya dengan kerentanan serta resiliensi. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan laporan studi pustaka ini adalah metode studi literatur yakni dimulai dengan meninjau kembali, meringkas dan menganalisis sepuluh literatur; membuat rangkuman dan pembahasan; kemudian menyimpulkan konsep-konsep yang menjadi fokus pembahasan dalam laporan studi pustaka ini. Peninjauan kembali (mereview) jurnal bertujuan untuk mengidentifikasi strategi adaptasi yang menjadi state of the art. Peninjauan kembali jurnal dimulai dengan cara membuat ringkasan pustaka, dan menganalisis keterkaitan keseluruhan aspek penelitian termasuk variabel yang diuji dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti. Selanjutnya, rangkuman dan pembahasan, dilakukan dengan menyintesiskan hasil dari konsep-konsep yang telah dianalisis pada subbab sebelumnya, yaitu berkaitan dengan strategi adaptasi dan keterkaitannya dengan ketidakpastian cuaca. Pada tahap terakhir penulisan laporan studi pustaka ini, akan muncul kesimpulan dari konsep-konsep yang menjadi fokus pembahasan. 4 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1. Jurnal "Adaptasi Perubahan Iklim Komunitas Desa: Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon" Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : : : Nama Editor Judul Buku Nama Jurnal Volume (Edisi) Alamat URL/doi Tanggal diudah : : : : : Subair, Lala M. Kolopaking, Soeryo Adiwibowo, M. BambangPranowo Jurnal Komunitas Vol 6, No 1(2014): 57-69 http://dx.doi.org/10.15294/komunitas.v6i1.2943 : 28 Februari 2015 : Adaptasi Perubahan Iklim Komunitas Desa: Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon 2014 Jurnal Elektronik Ringkasan Pustaka Penelitian Subair et al. (2014) mendiskusikan strategi adaptasi yang dilakukan oleh komunitas nelayan Asilulu di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon dalam menghadapi permasalahan akibat perubahan iklim. Hasil penelitian Subair et al. (2014) menunjukkan bahwa nelayan secara nyata telah merasakan adanya perubahan ekologi sebagai implikasi dari perubahan iklim. Nelayan merasakan adanya kenaikan permukaan air laut hingga kurang lebih 3 meter. Hal ini ditandai dengan ditemukannya genangan air laut pada beberapa lokasi yang cukup tinggi dari permukaan air laut. Para-para1 yang khusus dibuat oleh para nelayan agar terhindar dari hempasan ombak, pun kini sudah terkena hempasan ombak. Begitu pun dengan talit2, kini sudah banyak ditemukan roboh karena tidak mampu menahan hempasan ombak. Nelayan Asilulu pun sulit untuk memprediksikan pola angin dan cuaca karena terjadi perubahan musim angin yang tidak menentu. Bukan hanya itu, posisi fishing ground pun kerap kali ditemukan bergeser dari tempat asalnya. Penelitian Subair et al. (2014) juga menganalisis kerentanan. Kerentanan diartikan sebagai keadaaan dimana perubahan iklim melewati batas kritis (critical threshold) yang dikaji melalui tiga aspek yaitu: tingkat paparan (exposure), tingkat kepekaan (sensitivity), dan kemampuan adaptasi (adaptive capacity). Tingkat paparan diartikan sebagai sejauh mana perubahan iklim bersinggungan dengan pola kehidupan dan penghidupan masyarakat maupun ekosistem (IPCC 2007 dalam Subair et al. 2014). Faktor penentu paparan adalah kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan iklim, perkiraan iklim, serta data masyarakat dan ilmuwan. Tingkat kepekaan diartikan sebagai dampak dari perubahan iklim, meliputi dampak dari perubahan pola musim jangka panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat dan bencana terkait perubahan iklim (IPCC 2007 dalam Subair et al. 1 2 tempat menaikkan perahu sebuah tembok yang dibangun oleh pemerintah khusus untuk menahan hempasan ombak 5 2014). Kemudian, kemampuan adaptasi merupakan kemampuan dari suatu sistem untuk melakukan penyesuaian (adjust) terhadap perubahan iklim sehingga potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak positif dapat dimaksimalkan atau dengan kata lain kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dari perubahan iklim (to cope with the consequences) (Jones et al. 2004 dalam Subair et al. 2014). Penilaian kemampuan dikaji berdasarkan keberadaan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menunjukkan kemampuan adaptasi meliputi kondisi pada aspek sosial-ekonomi, penghidupan, dan kelembagaan yang memungkinkan masyarakat untuk menghadapi dan mengatasi ancaman perubahan iklim. Berdasarkan penelitian, tingkat paparan pada masyarakat Asilulu dikategorikan tinggi, mengingat perubahan iklim yang terjadi mempengaruhi kehidupan masyarakat dan ekosistem di Kawasan Pesisir Utara Ambon. Tingkat kepekaan pada masyarakat Asilulu juga dikategorikan tinggi. Hal ini terjadi karena dampak yang diterima masyarakat Asilulu dari perubahan iklim ini juga cukup tinggi, mengingat masyarakat Asilulu hanya bergantung pada satu sumber daya saja yaitu sumber daya laut. Kemudian kemampuan beradaptasi, masyarakat Asilulu dikategorikan memiliki kemampuan beradaptasi yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari adanya alternatif tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Asilulu dalam menghadapi perubahan iklim, salah satunya adalah menguatkan jaringan sosial sebagai dukungan sosial. Nelayan menjadikan kelembagaan "pengumpul" sebagai sumber dukungan sosial. Subair et al. (2014) mengkategorikan masyarakat Asilulu sebagai masyarakat dengan tingkat kerentanan yang sedang. Artinya, dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh masyarakat Asilulu masih dalam selang toleransi (coping range) yang mampu diatasi. Bukan hanya itu, dampak dari perubahan iklim ini pun belum menyebabkan kerugian yang berarti bagi nelayan. Strategi adaptasi diartikan Subair et al. (2014) sebagai tindakan nyata penyesuaian sistem lingkungan fisik dan sosial dengan beberapa prinsip pendekatan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya dampak negatif dari perubahan iklim. Strategi adaptasi ini juga dikaitkan Subair et al. (2014) dengan konsep resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan masyarakat untuk mengatasi gangguan atau perubahan dan mempertahankan perilaku adaptif. Strategi adaptasi yang diterapkan oleh nelayan Asilulu, diantaranya (1) membangun talit yang dapat menahan kenaikan permukaan laut, hantaman gelombang pasang dan rob, dan (2) membuat para-para untuk mengantisipasi hempasan gelombang pasang yang berpotensi menghantam perahu. Selain ini, nelayan Asilulu pun melakukan berbagai hal untuk mengantisipasi dampak dari perubahan iklim, diantaranya yaitu (1) melakukan strategi adaptasi mengejar musim, (2) membentuk kelompok operasi penangkapan, (3) tidak melakukan kegiatan penangkapan dan beralih mengerjakan kegiatan off fishing ketika tidak bisa mengakses fishing ground. Di dalam prosesnya, nelayan pun kerap kali menunjukkan strategi adaptasi dalam bentuk menangkap ikan dasar dan mengganti perahu tradisional menjadi perahu berbahan fiber. Tidak hanya itu, nelayan juga mengganti teknik penangkapan ikan dengan teknik layang-layang. Analisis Pustaka Hasil dan pembahasan yang dipaparkan oleh jurnal ini sudah konsisten dengan judul yang diangkat. Informasi yang disampaikan oleh jurnal ini menguatkan pemahaman pembaca bahwa gejala-gejala perubahan iklim telah secara nyata dirasakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat nelayan. Di dalam jurnal dijelaskan bahwa masyarakat nelayan merupakan pihak yang secara langsung merasakan dampak dari perubahan iklim, seperti terlihat dari ketidakmampuannya melaut karena sulit memprediksikan pola musim. Bukan 6 hanya itu, informasi yang ada di jurnal juga menguatkan pemahaman pembaca bahwa masyarakat nelayan memiliki cara yang berbeda satu dengan lainnya dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim tersebut. Hasil dan pembahasan pada jurnal ini sudah sangat rinci, mencakup bukti-bukti terjadinya perubahan iklim, tingkat kerentanan nelayan Asilulu dan strategi adaptasi yang diterapkan oleh nelayan tersebut. Hal yang menjadikan jurnal ini semakin menarik adalah adanya konsep kerentanan yang diukur berdasarkan 3 aspek, yaitu (1) tingkat paparan, (2) tingkat kepekaan, dan (3) kemampuan adaptasi. Konsep ini belum ditemukan di jurnal lainnya. Oleh karenanya, konsep tersebut menjadikan jurnal ini berbeda dengan jurnal lainnya. Konsep kerentanan yang dibahas di dalam jurnal ini, menginspirasi pembaca untuk ikut meneliti konsep yang sama di dalam penelitiannya, mengingat di jurnal lainnya, hal ini tidak diulas secara spesifik, sehingga pembaca menyimpulkan tingkat kerentanan merupakan sesuatu yang perlu diteliti sebelum menganalisis strategi adaptasi suatu masyarakat. 2. Jurnal "Strategi Kelangsungan Hidup Nelayan" Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Nama Jurnal Volume (Edisi) Alamat URL/doi Tanggal diudah : : : : : : : : : : Strategi Kelangsungan Hidup Nelayan (Studi tentang diversifikasi pekerjaan keluarga nelayan sebagai salah satu strategi dalam mempertahankan kelangsungan) 2005 Jurnal Elektronik Tri Joko Sri Haryono Berkala Ilmiah Kependudukan Vol. 7 No 2 http://www.madib.blog.unair.ac.id/files/2010/05/contoh-artkelilmiah-08-tri-joko.pdf 24 Maret 2015 Ringkasan Pustaka Hasil penelitian Haryono (2005) membahas strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan Randuputih agar tetap mampu bertahan hidup di dalam menghadapi kesulitan ekonomi sebagai akibat dari posisinya yang cenderung lemah dalam stratifikasi sosial nelayan. Penelitian ini dilakukan di Desa Randuputih, Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, khususnya menggunakan pendekatan pengamatan, wawancara mendalam dan studi literatur. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah (1) Bagaimana peluang yang ada di desa untuk melakukan diversifikasi pekerjaan sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup? (2) Bagaimana upaya yang dilakukan keluarga nelayan untuk melakukan diversifikasi pekerjaan tersebut? (3) Ragam pekerjaan apa saja yang dilakukan keluarga nelayan dan siapa saja (anggota keluarga) yang terlibat?. Di dalam penelitiannya, Haryono (2005) mengklasifikasikan nelayan Randuputih ke dalam tiga kategori, yaitu nelayan juragan/pemilik perahu, buruh nelayan, dan nelayan perorangan. Nelayan juragan atau nelayan pemilik adalah pemilik alat tangkap, yaitu berupa perahu beserta peralatan tangkapnya seperti jaring. Buruh nelayan adalah mereka yang 7 mengoperasikan alat tangkap bukan miliknya sendiri (pandega atau bandega). Nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, yang dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. Di Desa Randuputih itu sendiri, profesi nelayan dengan jumlah terbanyak adalah mereka yang berperan sebagai nelayan perorangan. Kemudian apabila dilihat dari teknologi peralatan tangkap, nelayan Randuputih menggunakan jaring gondrong, jaring selangkek, jaring setet, jaring kejer dan jaring belanak. Hal ini menunjukkan alat tangkap yang digunakan nelayan Randuputih tergolong tradisional. Alat tangkap yang sederhana ini berimplikasi pada waktu operasional nelayan yang terbatas. Bukan hanya itu, nelayan pun menjadi sangat tergantung akan pergantian musim. Kemudian apabila ditinjau dari perahu, sebagian besar nelayan Randuputih hanya memiliki perahu kecil yang diawaki dua orang. Di Randuputih sendiri, tak jarang ditemukan nelayan yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap. Nelayan dengan kategori ini dengan sangat terpaksa tidak memiliki alternatif lain selain menjadi buruh nelayan. Buruh nelayan ini diikat oleh sistem bagi hasil yaitu mekanisme membagi hasil tangkapan antara buruh dengan juragan, namun sebelumnya hasil tangkapan dikurangi biaya operasional terlebih dahulu. Sistem bagi hasil ini cukup menyulitkan buruh nelayan, karena hasil dari bagi hasil ini, tak jarang harus dibagi berdasarkan jumlah buruh nelayan. Semakin banyak buruh nelayan yang bekerja, maka bagian yang didapatkan tentu akan semakin kecil. Bukan hanya itu, buruh nelayan pun mengalami kondisi yang semakin kritis di saat musim panceklik. Tidak adanya tangkapan, menjadikan buruh nelayan harus mencari alternatif lainnya untuk tetap memenuhi kebutuhan hidup rumahtangganya. Salah satu alternatif yang dilakukan nelayan adalah menerapkan diversifikasi pekerjaan. Haryono (2005) mengungkapkan bahwa nelayan hanya melakukan diversifikasi pekerjaan ketika nelayan tidak mampu melaut. Ketika nelayan tidak mampu melaut, nelayan bekerja di luar bidang perikanan seperti menjadi tukang becak, buruh tani atau kuli bangunan. Di bidang perikanan itu sendiri, sebagian nelayan menjadi pedagang ikan, mengawetkan/mengasinkan ikan, dan mencari tiram atau kepiting di pinggir pantai. Bukan hanya itu, nelayan juga tampak mengintensifkan setiap anggota keluarga untuk turut berkontribusi terhadap perekonomian rumahtangga. Isteri nelayan misalnya, mereka ikut mengambil andil dalam perekonomian rumahtangga, mereka turut membantu suaminya dengan cara menjual ikan dan mengasinkan/mengawetkan ikan. Pedagang ikan dan pengasinan ikan ini merupakan profesi tetap isteri nelayan. Oleh karena itu, ketika tidak musim ikan, beberapa pedagang mencari dagangan ikan hingga Situbondo dan menjualkannya di Probolinggo. Bukan hanya isteri, anak nelayan pun turut dilibatkan dalam kegiatan kenelayanan. Anak laki-laki membantu ayahnya melaut, sedangkan anak perempuan membantu mengolah ikan dalam proses pengasinan ikan. Analisis Pustaka Jurnal ini sudah secara konsisten membahas strategi diversifikasi pada nelayan. Konsistensi ini terlihat dari adanya kesesuaian antara judul jurnal dengan hasil dan pembahasan yang diutarakan oleh penulis dalam jurnal ini. Konsistensi pun tampak dari adanya kesesuaian antara hasil dan pembahasan dengan simpulan. Simpulan yang dituliskan secara singkat merangkum keseluurhan isi jurnal. Keseluruhan isi jurnal membahas mengenai kehidupan nelayan dan bagaimana cara nelayan tetap bertahan hidup dalam menghadapi krisis ekonomi. Hal yang menjadikan jurnal ini menarik adalah adanya studi literatur mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan karakteristik nelayan dan cara hidup nelayan. Konsep tersebut mengarahkan pembaca kepada pentingnya meneliti kehidupan nelayan, mengingat nelayan mendapatkan penghasilan harian dan juga memiliki 8 ketergantungan yang tinggi akan pergantian musim. Hal ini membuat nelayan lebih terbelakang dari masyarakat lainnya. Hal yang perlu dikritisi lebih lanjut dari jurnal ini adalah masih ditemukannya pustaka yang tidak dituliskan di daftar pustaka. Seperti konsep Firth (1967) mengenai lima karakteristik nelayan, tidak ditemukan di daftar pustaka. Hal ini mengindikasikan penulis dapat dikategorikan melakukan tindakan plagiarisme. Sebagaimana dikemukakan oleh Ismulyana (2012)3, pencantuman daftar pustaka merupakan salah satu bentuk kejujuran seorang penulis atas hasil karyanya dan merupakan upaya untuk menghindari plagiarisme. 3. Jurnal "Kondisi Ekonomi Nelayan Artisanal di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat" Judul : Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan Artisanal di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat Tahun : 2012 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk : Elektronik Pustaka Nama Penulis : Prihandoko S, Amri Jahi, Darwis S. Gani, I. Gusti Putu Purnaba, Luky Adrianto, dan Iwan Tjitradjaja Nama Editor : Judul Buku : Nama Jurnal : Jurnal Penyuluhan Volume (Edisi) : Volume 8 No.1 Alamat : http://ejournal.skpm.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/view/49/54 URL/doi Tanggal : 30 Maret 2015 diudah Ringkasan Pustaka Prihandoko et al.(2012) di dalam penelitiannya, membahas kondisi sosial ekonomi nelayan artisanal, khususnya di 16 desa, 11 wilayah kecamatan yang tersebar di Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang Karawang dan Bekasi. Penelitian ini dilatabelakangi oleh adanya keresahan pada peneliti dikarenakan kondisi masyarakat nelayan yang masih dalam kondisi termarjinalisasikan dari segi sosial dan ekonomi. Menurut Prihandoko et al.(2012), kebijaksanaan terkait kesejahteraan masyarakat nelayan yang telah banyak dikeluarkan oleh pemerintah belum menunjukkan hasilnya, bahkan semakin memarjinalisasikan nelayan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada 400 rumah tangga (5% dari 10.404 KK). Data yang dikumpulkan mencakup karakteristik demografi; umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan non formal, pengalaman sebagai nelayan, lama tinggal di desa, lama memiliki perahu sendiri, besaran ukuran perahu, nilai nominal harga perahu dan peralatan tangkap yang ada di dalamnya, jumlah anak buah kapal serta ukuran mesin perahu yang dimiliki. Pengolahan data menggunakan SPSS for Windows dengan menganalisis data secara deskriptif. Penelitian menunjukkan bahwa usia nelayan artisanal di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat berkisar antara 30 - 55 tahun, dengan rata-rata perlu menanggung 5 jiwa di setiap rumahtangganya sehingga apabila dikumulatifkan, maka total jumlah jiwa yang tergantung dari nelayan mencapai tidak kurang dari 40.000 jiwa (5 jiwa dari setiap rumah tangga, 3 Ismulyana. 2012. Metode Penelitian Survei. Effendi S dan Tukiran, editor. Jakarta (ID):LP3ES. 9 dikalikan dengan total keseluruhan KK). Tingginya ketergantungan akan profesi nelayan, menjadikan Pantai Utara telah mengalami kejenuhan akibat over-fishing. Rataan pendidikan formal pada masyarakat nelayan pun berada pada tingkat cukup rendah, yaitu 4,63 tahun, yang mengindikasikan bahwa nelayan maksimal mengecap pendidikan hingga kelas 5 SD. Begitupun dengan pendidikan non formal, rata-rata hanya mengakses pendidikan non formal selama 3,5 jam per tahun (Subang) hingga 5,8 jam per tahun (Indramayu). Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama bekerja nelayan mencapai 21,28 tahun, demikian pula dengan lamanya waktu telah memiliki perahu secara sendiri rata-rata mencapai waktu 17,26 tahun. Nelayan di wilayah Pantai Utara Provinsi Jawa Barat sulit untuk melakukan diversifikasi pekerjaan. Sumberdaya alam yang hanya didominasi oleh wilayah pesisir, aspek sosio-kultural yang mengikat nelayan, menjadi penyebab utama diversifikasi sulit untuk dilakukan. Nelayan di wilayah Pantai Utara Provinsi Jawa Barat rata-rata memiliki ukuran perahu relatif kecil dengan luas perahu masing-masing kabupaten; Cirebon (13,2 m2), Indramayu (18,2 m2), Subang (17,8 m2), Karawang (17,3 m2), dan Bekasi (14,5 m2). Ukuran mesin yang dimiliki oleh nelayan artisanal berkisar antara 12,3 PK (Bekasi) - 42,6 PK (Cirebon). Nelayan di daerah Bekasi memiliki kapasitas mesin yang cukup kecil dikarenakan tidak ditemukan adanya perahu purse-seine dengan ukuran indeks luas perahu di atas 15 m2. Ukuran perahu yang relatif kecil, menyebabkan kegiatan melaut pada nelayan dibatasi. Untuk mengatasi permasalahan ini, nelayan melakukan strategi sebagai berikut (1) melakukan oneday fishing, yaitu berangkat melaut pada sore hari dan kembali esok harinya, (2) melakukan tandun, (3) meminjam modal kepada punggawa (pedagang perantara). Tandun merupakan tradisi mencari fishing ground di wilayah kabupaten sebelah Barat atau Timur untuk sementara waktu bila di wilayah mereka sedang tidak musim ikan atau tidak memungkinkan untuk melaut karena kondisi cuaca yang buruk. Tradisi tandun ini dilakukan oleh nelayan yang memiliki keterbatasan sumberdaya alam. Waktu pelaksanaan tandun dapat mencapai 8 bulan atau hingga lepas musim ikan. Analisis Pustaka Jurnal ini telah secara rinci menjelaskan kondisi sosial ekonomi nelayan di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat. Jurnal ini juga sudah secara konsisten membahas hal yang diangkatnya di dalam judul penelitian. Data-data yang didapatkan dari lima kabupaten, sangatlah bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. Selain data, cara menganalisis penulis dengan membandingkan satu wilayah dengan wilayah lainnya, menjadikan pembaca mampu menyimpulkan secara garis besar bahwa karakteristik nelayan di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat umumnya sama. Hal yang menarik, di dalam jurnal ini, penulis menambahkan strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di dalam menghadapi permasalahan akibat keterbatasan akses. Strategi adaptasi ini tidak disebutkan sebelumnya di bab pendahuluan, hal yang disebutkan hanyalah keinginan penulis untuk mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan. Walaupun tidak disebutkan di bab pendahuluan, adanya pembahasan mengenai strategi adaptasi, memberikan tambahan informasi bagi pembaca. Bukan hanya itu, di dalam jurnal ini ditemukan strategi adaptasi baru, berupa tandun. Konsep tandun belum pernah ditemukan di jurnal lainnya. Hal ini menjadikan jurnal ini menarik karena adanya strategi adaptasi yang semakin beragam. Bukan hanya itu, muncul pemahaman baru bahwa diversifikasi pekerjaan tidak dapat terjadi pada daerah dengan sumberdaya yang terbatas. Oleh karena itu, masyarakat nelayan di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat tidak melaksanakan diversifikasi pekerjaan, dikarenakan sumberdayanya yang terbatas hanya pada sumberdaya perikanan dan kelautan saja. 10 4. Jurnal Nelayan Indonesia dalam Pusaean Kemiskinan Struktural Judul : Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif Sosial, Ekonomi dan Hukum) Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk : Elektronik Pustaka Nama Penulis : Endang Retnowati Nama Editor : Judul Buku : Nama Jurnal : Perspektif Volume (Edisi) : Volume XVI no. 3 Edisi Mei Alamat : ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207081310382587/12.pdf URL/doi Tanggal : 30 Maret 2015 diudah Ringkasan Pustaka Retnowati (2011) di dalam penelitiannya, mendiskusikan tentang nelayan dan keberadaannya dari sisi sosial, ekonomi dan hukum. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya ketimpangan antara kondisi yang ideal dengan kondisi yang sebenarnya terjadi. Nelayan idealnya menjadi pihak yang paling kaya dari sisi ekonomi, mengingat luasnya laut yang dimiliki Indonesia dan juga banyaknya sumber daya ikan yang terkandung di dalamnya, namun realitanya kehidupan nelayan masih sangat memprihatinkan, kemiskinan masih dijumpai dan nelayan pun rentan akan konflik. Berdasarkan penelitian Retnowati (2011), nelayan dibedakan menjadi nelayan pemilik (juragan), nelayan penggarap (buruh/pekerja) dan nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan gendong (nelayan angkut), dan perusahaan/industri penangkapan ikan. Nelayan pemilik adalah orang yang memiliki hak atau berkuasa atas perahu dan alat tangkap ikan yang dipergunakan untuk menangkap ikan. Nelayan penggarap (buruh/pekerja) adalah seseorang yang menyediakan tenaganya atau bekerja untuk melakukan penangkapan ikan dengan mendapatkan upah berdasarkan bagi hasil penjualan ikan. Nelayan tradisional adalah orang yang menangkap ikan dengan perahu atau alat tangkap yang sederhana (tradisional) sehingga hanya mampu menjangkau 6 mil laut dari garis pantai. Nelayan kecil adalah nelayan tradisional yang sudah menggunakan diesel atau motor (jangkauannya lebih luas). Nelayan gendong (nelayan angkut) adalah nelayan yang tidak menangkap ikan di laut, hanya membawa modal uang yang akan digunakan untuk melakukan transaksi (membeli) ikan di tengah laut yang kemudian dijual kembali. Perusahaan/industri penangkapan ikan adalah perusahaan yang melakukan usaha penangkapan ikan dengan tujuan perdagangan (eksport) atau berorientasi komersiil. Retnowati (2011) pun menambahkan konsep nelayan dari Anthony T. Charles (2001) yang mengkategorikan nelayan berdasarkan kepentingan dan latar belakangnya, yaitu: 1. Subsistence Fishers merupakan nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhannya akan makan. 2. Native Aboriginal Fisher merupakan nelayan yang tergabung dalam komunitas adat tertentu dan menangkap ikan untuk kebutuhan subsisten. 3. Recreational Fisher merupakan orang yang menangkap ikan untuk kesenangan pribadi (enjoyment) 11 4. Commercial Fisher merupakan nelayan komersiil yang melakukan penangkapan ikan dengan tujuan perdagangan, baik di dalam negeri maupun luar negeri (export). Nelayan ini dibagi ke dalam dua kategori, yaitu (1) artisanal (small scale) (2) industrial (large scale) Keberadaan nelayan di Indonesia secara sosial dan ekonomi, didominasi oleh nelayan penggarap dan nelayan kecil atau nelayan tradisional. Hingga tahun 2009, tercatat ada 2.752.490 orang dengan total armada 596.230 unit (Dirjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan). Banyaknya jumlah nelayan tradisional dengan keterbatasan pengetahuan, menyebabkan kerap kali terjadi penangkapan pada nelayan akibat melanggar batas-batas teritorial penangkapan ikan. Tidak hanya itu, banyaknya jumlah nelayan tradisional yang melebihi kapasitas wilayah tangkapan, memicu potensi tangkap lebih (over fisihing). Kondisi ini tentu menimbulkan konflik karena perebutan wilayah tangkapan. Banyaknya profesi nelayan dikarenakan tidak diperlukannya suatu persyaratan untuk menjadi nelayan. Oleh karena itu, banyak nelayan yang hanya menjadi nelayan musiman dan kemudian beralih melakukan pekerjaan lain di musim panceklik. Bagi nelayan tradisional yang tidak memiliki alat penangkapan atau perahu, mereka dijerat oleh sistem bagi hasil yang diberlakukan oleh nelayan pemilik (juragan) sebagai pemilik aset produksi. Seperti di PPI Lekok Kabupaten Pasuruan, pendapatan hasil penangkapan setelah dikurangi biaya operasional (solar, alat tangkap, bahan makan, dan uang saku) sisanya dibagi dua yaitu 50% untuk pemilik perahu (juragan) dan 50% untuk Anak Buah Kapal (ABK, nelayan penggarap atau pekerja) dengan pembagian alat tangkap Alet Juru Mudi 1,5 bagian, ABK yang tidak merangkap jabatan masing-masing satu bagian, jumlah ABK untuk setiap perahu tidak sama, tergantung jenis perahu dan alat tangkapnya. Dengan sistem ini, pendapatan ABK rata-rata per hari Rp 15.000 - Rp 40.000 bahkan sering kali impas atau tidak mendapatkan hasil. Ketimpangan ini tentu disebabkan oleh keterbatasan modal dan skill yang dimiliki oleh nelayan penggarap. Retnowati (2011) mengutip pada pernyataan Kusnadi (Direkotorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir 2006:1-2), menuliskan sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada nelayan: (1) belum adanya kebijakan program pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan terpadu, (2) adanya inkonsistensi kuantitas produksi dikarenakan sumberdaya perikanan yang telah mencapai kondisi "overfishing", musim panceklik dan kenaikan BBM, (3) masalah isolasi geografi desa nelayan, (4) keterbatasan modal, (5) adanya relasi sosial ekonomi yang "eksploitatif", dan (6) rendahnya tingkat pendapatan rumahtangga nelayan. Analisis Pustaka Jurnal hasil penelitian Retnowati (2011) memberikan pengetahuan tambahan kepada pembaca, terkait kondisi nelayan dari perspektif sosial ekonomi dan hukum. Jurnal sudah secara konsisten memasukkan ketiga perspektif tersebut sebagai inti dari pembahasan jurnal. Dari perspektif sosial, penulis memaparkan kategori nelayan yang ditemukannya dari hasil penelitiannya. Penulis juga secara mendalam membahas keterbatasan akses pada kategori nelayan yang jumlahnya mendominasi di Indonesia (nelayan tradisional). Penulis menambahkan kutipan berupa fakta adanya penangkapan nelayan tradisional di daerah Australia dikarenakan keterbatasan pengetahuan nelayan akan batas-batas teritorial. Hal ini cukup menarik, dan memberikan pengetahuan tambahan bagi pembaca mengenai kondisi nelayan di Indonesia. Dari perspektif ekonomi, penulis membandingkan sistem bagi hasil dari satu wilayah dengan wilayah lainnya, sehingga muncul kesimpulan bahwa nelayan penggarap atau ABK mendapatkan penghasilan yang sangat rendah setiap harinya. Dari perspektif hukum, penulis membandingkan beberapa kebijakan-kebijakan yang kurang relevan dengan 12 kondisi nelayan secara realita. Hal yang menjadi kekurangan dari jurnal ini adalah tidak adanya pembahasan mengenai mekanisme penelitian, dimulai dari metode yang digunakan hingga tempat dan tanggal pelaksanaan penelitian. Hal ini menyulitkan pembaca untuk memahami daerah yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini dan bagaimana proses penelitian yang dilakukan peneliti. 5. Skripsi "Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir" Judul : Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Skripsi Bentuk : Cetak Pustaka Nama Penulis : Alfian Helmi Nama Editor : Judul Buku : Nama Jurnal : Volume (Edisi) : Alamat : URL/doi Tanggal : 30 Maret 2015 diudah Ringkasan Pustaka Penelitian Helmi (2011) dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menganalisis strategi adaptasi nelayan menghadapi perubahan ekologis, berupa kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh perubahan ekologis terhadap kegiatan nelayan, dan mengidentifikasi strategi adaptasi yang dilakukan nelayan Desa Pulau Panjang terhadap perubahan ekologis di kawasan tersebut. Penelitian dilakukan di Desa Pulau Pajang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Lokasi ini mengalami kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang cukup parah. Berdasarkan penelitian, kerusakan mangrove sebagian besar terjadi akibat adanya pelabuhan khusus batubara (30%). Dampak dari perubahan ekosistem mangrove adalah (1) terjadinya penurunan jumlah dan keragaman hasil tangkapan nelayan dan (2) hilangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan, bahan baku obat-obatan. Bukan hanya ekosistem mangrove, terumbu karang juga mengalami kerusakan ekosistem yang cukup buruk, disebabkan oleh jangkar kapal (70%) dan perubahan iklim/pemanasan global (23,3%). Dampak dari kerusakan ekosistem ini adalah (1) sulitnya menentukan daerah penangkapan ikan dan (2) menurunnya kesempatan berusaha bagi para nelayan. Penelitian ini memadukan metode kualitatif dengan metode kuantitatif. Data diolah menggunakan program SPSS 16 for Winodws dengan melakukan uji crosstab Chi-Square. Sebagian besar masyarakat Desa Pulau Pajang didominasi oleh mata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat masih menggunakan armada tangkap yang bersifat tradisional, hanya dengan mesin berukuran 5-24PK, seperti balapan/klotok, swan dan ketinting4. Masyarakat juga masih menggunakan alat tangkap tradisional berupa rempa, rengge, rawai, 4 Klotok merupakan jenis perahu dengan panjang ± 8 sampai 10 meter dan lebar 1-1,5 meter yang dilengkapi dengan mesin berkekuatan 24-30 PK. Perahu jenis swan berukuran ± 5 x 0,75 meter dengan mesin maksimal 13 rakang dan pancing5. Selain mengenal musim panceklik dan musim panen, nelayan juga mengenal dua musim yang terjadi dua minggu sekali, yaitu konda6 dan nyorong7. Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan dari adanya kerusakan ekologis tersebut, nelayan melaksanakan strategi adaptasi. Stategi adaptasi yang pertama dilakukan adalah dengan menganekaragamkan sumber pendapatan (53,3%), yaitu dengan berkebun, budidaya rumput laut, budidaya udang bandeng, dan menjadi buruh bangunan. Selanjutnya, menjalin hubungan sosial (33,3%) yang ditempuh dengan membentuk jaringan sosial informal, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan sarana prasarana penangkapan ikan. Ketiga, memobilisasi anggota rumah tangga (33,3%) dengan ikut melibatkan istri nelayan dan anakanaknya dalam kegiatan ekonomi. Istri nelayan ikut membantu perekonomian rumahtangga dengan menjadi kuli ikat rumput laut, sedangkan anak-anak nelayan, membantu orangtuanya. Keempat, menganekaragamkan alat tangkap dengan menggunakan tiga-lima alat tangkap agar mampu beradaptasi dengan lingkungan yang rusak. Kemudian, melakukan perubahan daerah penangkapan (16,7%) dan melakukan strategi lainnya (20%) seperti menebang hutan mangrove, memungut retribusi kapal, dan mengandalkan bantuan. Helmi (2011) juga menguji keterkaitan antara strategi adaptasi tersebut dengan karakteristik rumah tangga nelayan seperti usia, tingkat pendidikan, pengalaman nelayan, jumlah anggota rumah tangga nelayan, dan tingkat teknologi penangkapan. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik rumahtangga nelayan tidak berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilihnya. Analisis Pustaka Penelitian yang dilakukan oleh Helmi (2011) sudah secara konsisten membahas keterkaitan perubahan ekologis kawasan pesisir dengan strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan. Konsistensi dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara perumusan masalah dengan hal yang dibahas di bagian pembahasan. Bukan hanya itu, konsistensi juga dapat dilihat dari judul penelitian yang sudah secara ringkas mewakili keseluruhan pembahasan pada skripsi ini. Hal yang menarik dari hasil penelitian ini adalah adanya pengujian perubahan ekologis yang dilakukan dengan menganalisis kesesuaian data primer berupa persepsi masyarakat dengan data sekunder (data kerusakan lingkungan). Penelitian juga secara rinci membahas variabel yang diuji, dimulai dari adanya persepsi masyarakat dalam menanggapi kerusakan ekosistem, karakteristik rumahtangga nelayan, strategi adaptasi yang dijalankan masyarakat, hingga sampai pada pengujian keterkaitan antara strategi adaptasi dengan karakteristik rumahtangga nelayan. Bukan hanya rinci dalam pencarian dan pengujian datanya saja, di dalam menginterpretasikan hasil pengolahan data pun, Helmi (2011) melakukannya dengan sangat baik. Helmi (2011) turut memasukkan hasil diskusi dengan dosen, terkait strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis berupa kerusakan ekosistem magrove dan terumbu karang. Hal ini menjadikan penelitian ini berbeda dengan penelitian lainnya. Helmi (2011) juga tampak mengutip pernyataan yang cukup 20PK. Kelinting, dilengkapi dengan jenis mesin masing-masing 5-10 PK dan berukuran lebih kecil dari perahu jenis swan. 5 Rempa merupakan jenis jaring net dengan ukuran 5-8 inch yang dipergunakan untuk menangkap kakap. Rengge merupakan jenis jaring net dengan ukuran 6-9 inch yang dipergunakan untuk menangkap bawal. Rawai merupakan alat penangkap ikan yang terdiri dari ratusan mata pancing. Rakang merupakan alat penangkap kepiting yang berbentuk bundar dengan jaring-jaring dtengahnya sebagai perangkap. 6 Konda adalah situasi dimana air laut tenang, tidak ada gelombang, pasang surut tidak terjadi terlalu ekstrim, biasa terjadi di tanggal 6-11dan 18-23 7 nyorong adalah situasi pasang surut yang sangat ekstrim, kondisi air laut mengalami pasang surut di luar kondisi biasanya, terjadi di tanggal 12-17 dan 24-30. 14 banyak dari para ahli di dalam menguatkan interpretasinya. Hal ini menjadi menarik karena ada kesesuaian antara interpretasi dengan pernyataan dari para ahli. 6. Skripsi "Strategi Adaptasi Nelayan Pelabuhanratu Terhadap Perubahan Iklim Judul : Strategi Adaptasi Nelayan Pelabuhanratu Terhadap Perubahan Iklim Tahun : 2014 Jenis Pustaka : Skrispi Bentuk : Cetak Pustaka Nama Penulis : Gilang Angga Putra Nama Editor : Judul Buku : Nama Jurnal : Volume (Edisi) : Alamat : URL/doi Tanggal : 30 Maret 2015 diudah Ringkasan Pustaka Penelitian Putra (2014) membahas strategi adaptasi yang diterapkan oleh nelayan Pelabuhanratu dalam menghadapi gejala-gejala akibat perubahan iklim. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan hubungan karakteristik pada kelas nelayan dengan strategi adaptasi yang dilakukan dan menganalisis strategi adaptasi berdasarkan kelas nelayan. Penelitian dilakukan di Kecamatan Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang dikombinasikan dengan pendekatan kualitatif. Pengolahan data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif, yang ditujukan untuk mendeskripsikan karakteristik pada setiap kelas dan juga hubungan karakteristik yang melakat pada kelas nelayan dengan bentuk strategi adaptasi sosial ekonomi yang dilakukan. Dalam penelitian ini, Putra (2014) membagi nelayan ke dalam tiga kategori, yaitu nelayan juragan, nelayan tradisional dan nelayan buruh. Nelayan juragan diasumsikan sebagai mereka yang memiliki modal dan aset seperti perahu, alat tangkap dan lainnya. Nelayan tradisional diasumsikan sebagai mereka yang masih menggunakan alat tangkap yang sederhana karena keterbatasan modal dan skill. Nelayan buruh diartikan sebagai mereka yang hanya bermodalkan "tenaga" tanpa memiliki alat tangkap dan modal untuk melakukan penangkapan. Berdasarkan hasil penelitian, nelayan Pelabuhanratu merasakan adanya perubahan iklim. Diuji berdasarkan persepsi nelayan, gejala perubahan iklim yang paling dirasakan nelayan adalah kesulitan untuk memprediksi kondisi cuaca. Gejala perubahan iklim lainnya yang juga dirasakan nelayan adalah musim ikan semakin sulit diprediksi, terjadinya perubahan pola penyebaran ikan, gelombang air laut semakin tinggi, gelombang air laut semakin sering terjadi, frekuensi badai laut meningkat, jumlah ikan semakin sedikit, semakin sulit menentukan daerah penangkapan ikan dan permukaan air laut semakin meninggi. Gejala perubahan iklim yang dirasakan nelayan Pelabuhanratu menimbulkan adanya konsekuensi bagi nelayan untuk beradaptasi. Di dalam penelitiannya, Putra (2014) mengaitkan karakteristik nelayan dengan tiga kategori nelayan. Hasil penelitian, berkaitan dengan karakteristik nelayan, menunjukkan bahwa: (1) nelayan juragan, didominasi oleh usia 15 produktif (36-46 tahun), dengan pendidikan relatif menyebar, dengan didominasi pada tingkat Sekolah Dasar (SD), memiliki pengalaman melaut yang sedang. dan memiliki pendapatan yang cukup tinggi. Sama halnya dengan nelayan juragan, (2) nelayan tradisional, juga didominasi oleh usia produktif, namun untuk pendidikan, nelayan ini hanya tamat SD, tanpa ada yang menyelesaikan sekolahnya pada jenjang berikutnya. Kemudian, nelayan tradisional pun memiliki pengalaman melaut yang cukup tinggi, namun pendapatannya tergolong rendah. Selanjutnya, (3) nelayan buruh, didominasi oleh usia muda (25-35 tahun), dengan pendidikan tamat SD, pengalaman melaut yang rendah dan juga pendapatan yang rendah. Apabila dikaitkan dengan strategi adaptasi, terdapat lima strategi yang dianalisis oleh Putra (2014) yaitu (1) diversifikasi, (2) intensifikasi, (3) mobilisasi anggota keluarga, (4) pemanfaatan hubungan sosial, (5) menggadaikan dan menjual barang berharga. Untuk diversifikasi pekerjaan, kelas nelayan yang melakukan diversifikasi pekerjaan adalah nelayan buruh, kemudian diikuti oleh nelayan tradisional dan terakhir nelayan juragan. Kemudian untuk kategori intensifikasi, didominasi oleh nelayan juragan, dan diikuti oleh nelayan tradisional. Nelayan buruh tidak melakukan intensifikasi, mengingat tidak adanya sumberdaya yang dimilikinya selain tenaga. Selanjutnya, untuk mobilisasi anggota keluarga, nelayan tradisional-lah yang melakukan mobilisasi anggota keluarga, dengan mengoptimalkan anggota keluarganya di dalam kegiatan perekonomian. Mobilisasi anggota keluarga juga dilakukan oleh nelayan buruh, namun tidak dilakukan oleh nelayan juragan, mengingat pendapatan yang sudah tinggi, membuat nelayan juragan tidak merasa perlu utnuk memobilisasi anggota keluarganya. Untuk kategori pemanfaatan hubungan sosial, secara optimal dilakukan oleh nelayan buruh. Kemudian terkait, kegiatan menggadaikan dan menjual barang berharga, didominasi oleh nelayan tradisional dan diikuti oleh nelayan buruh. Nelayan juragan tidak melakukan kegiatan ini disaat mengalami kesulitan akibat perubahan iklim, mengingat pendapatannya yang sudah tergolong tinggi. Analisis Pustaka Apabila dianalisis dari sistematika penulisan, penelitian Putra (2014) masih banyak mengalami kesalahan dalam cara penulisan beberapa kata. Bukan hanya itu, penulisan penelitian ini juga tampak tidak sistematis. Ditemukan adanya pembahasan yang seharusnya tidak termasuk ke dalam bab tersebut. Hal ini membuat pembahasannya tampak tidak teratur, tampak diulangi berkali-kali. Di penelitian ini juga banyak ditemukan halaman-halaman kosong yang seharusnya masih dapat diisi. Penulisan yang tidak mendalam membuat banyak halaman masih kosong. Terlepas dari sistematika penulisan, penelitian Putra (2014) ini belum sepenuhnya berhasil menghubungkan isu perubahan iklim ini secara mikro. Konsep perubahan iklim yang makro ini belum secara nyata tampak terjadi di kawasan Pelabuhanratu. Belum adanya data-data yang menunjang, menyebabkan perubahan iklim ini belum sepenuhnya terbukti di kawasan Pelabuhanratu. Data yang hanya berdasarkan persepsi masyarakat, seharusnya perlu didukung oleh data perubahan iklim yang terjadi di kawasan tersebut, bukan lagi data global, tetapi perlu ada data lokal. Selain hal tersebut, responden yang hanya berjumlah 36 responden, menjadikan penyajian data tidak mengalami perbedaan yang signifikan antar kelas nelayan. Hal ini tentu menyulitkan pembaca untuk memahami kebenaran argumentasi yang disampaikan oleh peneliti. Terlepas dari kesalahan yang dilakukan peneliti, penelitian ini memberikan pandangan baru bagi pembaca bahwa perlu adanya segmentasi berdasarkan kelas nelayan di dalam menganalisis strategi adaptasi, mengingat setiap kelas tentu memiliki strategi adaptasi yang berbeda-beda, seperti yang dilakukan oleh Putra (2014). 16 7. Jurnal "Strategi Adaptasi Nelayan Cirebon" Judul : Strategi Adaptasi Nelayan Cirebon Tahun : 2008 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk : Elektronik Pustaka Nama Penulis : Eko Sri Wiyono Nama Editor : Judul Buku : Nama Jurnal : Buletin PSP Volume (Edisi) : Vol. XVII No 3 Desember Alamat : http://jamu.journal.ipb.ac.id/index.php/bulpsp/article/view/4292 URL/doi Tanggal : 30 Maret 2015 diudah Ringkasan Pustaka Penelitian Wiyono (2008) membahas strategi adaptasi yang dilakukan nelayan garuk di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Mundu Pesisir, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, dalam menghadapi tantang eksternal seperti kenaikan BBM dan faktor luar lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis strategi adaptasi yang dikembangkan nelayan garuk dalam menghadapi kenaikan harga BBM dan faktor-faktor luar lainnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan non-probability sampling, mengambil sampel nelayan (ABK, nahkoda, dan pemilik kapal) dari 30 unit kapal. Di dalam menghadapi tantangan eksternal, khususnya kenaikan BBM, nelayan garuk menempuh opsi mengganti bahan bakar solar dengan minyak tanah sebagai respon atas tingginya harga solar. Pemilik kapal (100%), nahkoda (100%), dan ABK (92,9%) setuju menempatkan opsi modifikasi BBM sebagai opsi paling utama dalam menghadapi kenaikan BBM. Opsi selanjutnya yang juga ditempuh nelayan, khususnya nelayan ABK adalah menambah modal melaut (7,1%). Opsi ini tidak dipilih oleh pemilik kapal dan nahkoda. Hasil ini menunjukkan bahwa nelayan garuk mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan profesi nelayan sebagai mata pencaharian utamanya. Menyikapi tantangan eksternal berupa peningkatan biaya usaha penangkapan ikan, nelayan garuk menempuh opsi paling utama berupa menekan biaya perbekalan, dengan persentase sebagai berikut: pemilik kapal (50%), nahkoda (80%), dan ABK (78,6%). Kemudian, diikuti oleh opsi berikutnya berupa mengurangi tenaga kerja, yang sebagian besar dilakukan oleh pemilik kapal sebanyak 33,3% dan diikuti oleh ABK (14,3%), dan nahkoda (0%). Strategi selanjutnya yang ditempuh adalah menekan biaya pelumas, dengan persentase: pemilik kapal (16,7%), nahkoda (20%), dan ABK (0%). Strategi terakhir yang ditempuh adalah mengurangi BBM. Strategi ini hanya dilakukan oleh ABK (7,1%). Di dalam menghadapi penurunan pendapatan usaha penangkapan, nelayan garuk memprioritaskan untuk menmanfaatkan hubungan patronase dengan pemilik modal dalam bentuk pinjaman finansial. Nahkoda sebanyak (80%) secara mendominasi menerapkan strategi ini, diikuti oleh ABK (64,3%) dan pemilik kapal (50%). Selanjutnya, strategi kedua adalah melakukan diversifikasi pekerjaan atau menjalankan pekerjaan sampingan di sektor usaha informal yang tidak berorientasi pada keahlian atau tingkat pendidikan, seperti buruh bangunan, tukang becak, sektor transportasi, pengolahan hasil tangkapan, dan sektor usaha lainnya, dengan persentase: pemilik kapal (50%), nahkoda (20%) dan ABK (14,3%). 17 Kemudian, nelayan ABK (21,4%) menganggap bahwa sistem penunjang sosial dapat menjadi opsi untuk mengatasi tekanan ekonomi. Sistem penunjang yang dimaksudkan adalah sistem kekeluargaan, sistem ketetanggaan, dan kemitraan dalam usaha penangkapan. Strategi ini tidak ditempuh oleh pemilik kapal dan ABK. Di akhir penelitiannya, Wiyono (2008) menyimpulkan bahwa strategi adaptasi yang ditempuh oleh ABK, nahkoda dan pemilik kapal, berbeda satu dengan lainnya. Pemilik kapal cenderung memaksimalkan keuntungan usahanya dengan mengurangi biaya dan mengurangi tenaga kerja. Berbeda dengan pemilik kapal, ABK dan nahkoda cenderung akan menghindari opsi mengurangi tenaga kerja dan mengganti opsi tersebut dengan menekan biaya perbekalan. Di dalam menghadapi kenaikan harga BBM, seluruh nelayan dari kelas yang berbeda, memiliki strategi sama, yaitu memodifikasi BBM, menggunakan minyak tanah untuk mengganti solar. Diversifikasi pekerjaan tidak tampak terjadi pada nelayan ABK dan nahkoda, mengingat ketergantungannya yang tinggi akan kegiatan penangkapan ikan, menjadikan nelayan ABK dan nahkoda untuk cenderung mempertahankan profesinya dan mengandalkan strategi adaptasi lainnya. Berbeda dengan ABK dan nahkoda, pemilik kapal tampak lebih memilih diversifikasi pekerjaan sebagai opsi adaptasinya. Memanfaatkan hubungan patron-klien antara pemilik kapal dengan nelayan buruh, pun dijadikan sebagai salah satu strategi adaptasi, khususnya bagi ABK. Sekalipun hubungan patron-klien ini cenderung merugikan namun tetap menjadi pilihan untuk beradaptasi. Analisis Pustaka Penelitian Wiyono (2008) mengalami inkonsistensi antara judul dengan pembahasan yang dibahas di dalam penelitiannya. Inkonsistensi dalam hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya independent variabel (variabel pengaruh) di dalam judul. Hal ini berbeda dengan pembahasan yang menunjukkan adanya independent variabel (variabel pengaruh) berupa kenaikan BBM, peningkatan biaya usaha, dan penurunan pendapatan. Adanya independent variabel (variabel pengaruh) ini di dalam pembahasan seharusnya ikut disebutkan di dalam judul. Judul penelitian terlalu luas, hanya menunjukkan adanya satu variabel berupa strategi adaptasi nelayan, tanpa menunjukkan independent variabel (variabel pengaruh). Terlepas dari judul penelitian yang terlalu luas dan inkonsistensinya terhadap pembahasan penelitian, penelitian ini cukup menarik, membandingkan tiga kelas nelayan yang berbeda yaitu pemilik kapal, nahkoda dan ABK, di dalam menghadapi tantangan yang sama, berupa kenaikan BBM, peningkatan biaya usaha dan penurunan pendapatan. Hal ini menarik, mengingat pemilik kapal, nahkoda dan ABK, memiliki karakteristik yang berbeda, khususnya dalam faktor perekonomiannya. Penelitian Wiyono (2008) sudah cukup baik mengolah data-data hasil penelitian surveinya, namun sangat disayangkan penginterpretasian data hasil penelitian dirasa kurang mendalam. Penginterpretasian data, tidak sepenuhnya didukung oleh penjelasan yang rinci, belum sepenuhnya dikuatkan oleh argumentasiargumentasi yang menunjukkan fenomena tersebut terjadi. Seharusnya Wiyono (2008) menguatkan argumentasinya dengan pendapat dari para responden atau para ahli, bukan hanya dari pendapatnya pribadi agar subyektivitas dapat dihindari. 8. Jurnal Strategi Adaptasi Nelayan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Perubahan Ekologis Judul : Strategi Adaptasi Nelayan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Perubahan Ekologis Tahun : 2013 Jenis : Jurnal Pustaka Bentuk : Elektronik 18 Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Nama Jurnal Volume (Edisi) Alamat URL/doi Tanggal diudah : Hendri Stenli Lekatompessy, M. Natsir Nessa, Andi Adri Arief : : : : : http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/b8e41a786da110597359750867c6c4c7.pdf : 30 Maret 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian Lekatompessy et al. (2013) membahas strategi adaptasi nelayan di Pulau Badi dan Pajenekang, Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tupabiring. Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan, dalam menghadapi perubahan ekologis yang terjadi akibat aktivitas penambangan karang dan adanya peningkatan intensitas gelombang serta badai. Penelitian ini menekankan pada tiga tujuan, yaitu (1) mengidentifikasi bentuk-bentuk perubahan ekologis Pulau Badi dan Pajenekang, (2) menganalisis dampak perubahan ekologi terhadap kegiatan nelayan, (3) menganalisis strategi adaptasi nelayan Pulau Badi dan Pajenekang terhadap perubahan ekologis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan Lekatompessy et al. (2013) dengan teknik survei, menggunakan instrumen kuesioner, yang didukung dengan teknik pengamantan (observation), wawancara mendalam (indepth interview) dan studi literatur. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan melakukan proses editing, pengkodean (coding) dan penghitungan persentase jawaban responden dalam bentuk tabulasi deskriptif. Selanjutnya, pengolahan data kualitatif dilakukan dengan pengumpulan data, analisis, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian Lekatompessy et al. (2013) menunjukkan bahwa masyarakat di Pulau Badi dan Pajenekang merasakan adanya perubahan ekologi berupa kerusakan tumbu karang dan peningkatan intensitas gelombang serta badai. Adanya perubahan ekologi ini dibuktikan dari adanya persepsi masyarakat di Pulau Badi yang menunjukkan sebanyak 36 responden (81,8%) mengatakan tutupan karang hidup menurun, 5 responden (11,4%) mengatakan tetap, dan 3 responden (6,8%) mengatakan semakin meningkat. Begitupun dengan masyarakat Pajenakang, sebanyak 20 responden (80%) mengatakan menurun, 3 responden (12%) mengatakan tetap, dam 2 responden mengatakan semakin meningkat. Terkait peningkatan intensitas gelombang dan badai, di Pulau Badi, sebanyak 32 responden (72,7%) mengatakan intensitas gelombang dan badai semakin meningkat, 7 responden (15,9%) mengatakan tetap dan 5 responden (11,4%) mengatakan intensitas gelombang dan badai semakin menurun. Begitupun di Pulau Pajenekang, sebanyak 16 responden (64%) mengatakan intensitas gelombang dan badai semakin meningkat, 6 responden (24%) mengatakan tetap dan 3 responden (12%) mengatakan intensitas gelombang dan badai semakin menurun. Berkaitan dengan dampak dari perubahan ekologis, hasil penelitian menunjukkan di Pulau Badi masyarakat mengalami kesulitan dalam menentukan daerah penangkapan, 19 menurunnya jumlah hasil tangkapan nelayan, daerah penangkapan semakin jauh, abrasi pemukiman penduduk serta meningkatnya resiko melaut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan di Pulau Badi, 38 responden (86,4%), mengalami penurunan hasil tangkapan. Begitupula di Pulau Pajenekang, dampak yang dirasakan adalah abrasi di pemukiman penduduk, menurunnya hasil tangkapan, daerah tangkapan semakin jauh dan meningkatnya resiko melaut. Di Pulau Pajenekang sendiri, terdapat 20 responden (80%) yang mengatakan adanya penurunan jumlah hasil tangkapan. Berkaitan strategi adaptasi nelayan, hasil survei menunjukkan di Pulau Badi sendiri, nelayan melakukan strategi adaptasi diantaranya menganekaragamkan alat dan teknik penangkapan (72,7%), memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain (68,2%), memperluas daerah penangkapan (45,5%), menganekaragamkan sumber pendapatan (34,1%), memobilisasi anggota rumahtangga (27,3%). Begitupun di Pulau Pajenekang, sebanyak menganekaragamkan alat dan teknik penangkapan (64%), memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain (52%), menganekaragamkan sumber pendapatan (36%), memperluas daerah penangkapan (44%), memobilisasi anggota rumah tangga (32%). Oleh karenanya, dapat disimpulkan nelayan menerapkan strategi adaptasi diantaranya, (1) menganekaragamkan alat dan teknik penangkapan, (2) memperluas daerah penangkapan, (3) menganekaragamkan sumber pendapatan, (4) memobilisasi anggota rumah tangga untuk melakukan kegiatan ekonomi tambahan, (5) memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain. Analisis Pustaka Penelitian ini sudah secara konsisten membahas hal-hal yang tertulis di dalam tujuan penulisan. Di dalam tujuan penulisan, peneliti memiliki tiga tujuan, yaitu (1) mengidentifikasi bentuk-bentuk perubahan ekologis Pulau Badi dan Pajenekang, (2) menganalisis dampak perubahan ekologi terhadap kegiatan nelayan, dan (3) menganalisis strategi adaptasi nelayan Pulau Badi dan Pajenekang terhadap perubahan ekologis. Ketiga tujuan ini dibahas secara mendetail oleh peneliti. Hal ini ditunjukkan oleh adanya subbab di bab "Hasil" yang dikategorikan ke dalam tiga subbab yaitu "Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis","Dampak Perubahan Ekologis","Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis". Bukan hanya itu, untuk menganalisis secara lebih rinci, penulis menambahkan bab "Pembahasan". Di bab ini, penulis menyintesiskan hasil penelitian dengan teori-teori yang mendukung. Teori yang mendukung, cukup memberikan referensi pustaka bagi pembaca. Teori ini juga sudah secara konsisten dituliskan oleh penulis di dalam daftar pustaka. Hal ini memudahkan pembaca dalam mencari literatur lainnya yang lebih beragam. Penelitian ini dapat dikategorikan cukup unik, mengingat penelitian ini membandingkan dua daerah yang berbeda karakteristik, yaitu Pulau Badi dan Pajenekang. Hal yang menjadi kekurangan dari penelitian ini adalah adanya data yang kurang reliable. Hal ini dapat dilihat dari adanya jumlah responden yang tidak seimbang. Di Pulau Badi, peneliti menyebarkan kuesioner kepada 44 responden. Di Pulau Pajenekang, peneliti menyebarkan kuesioner hanya kepada 25 responden. Adanya jumlah yang tidak seimbang ini tidak dijelaskan oleh peneliti di dalam penelitian ini. 9. Jurnal "Peralihan Mata Pencaharian Sebagai Bentuk Adaptasi" Judul : Peralihan Mata Pencaharian Sebagai Bentuk Adaptasi (Studi Kasus: Desa Batu Belubang, Bangka) Tahun : 2013 Jenis Pustaka : Jurnal 20 Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Nama Jurnal Volume (Edisi) Alamat URL/doi Tanggal diudah : Elektronik : : : : : : Ira Adiatma, Azis Nur Bambang, Hartuti Purnaweni TEKNIK Vol. 34 No. 2 file:///C:/Users/PWD%201%20IPB/Downloads/5637-12431-1SM.pdf 30 Maret 2015 : Ringkasan Pustaka Penelitian Adiatma et al. (2013) membahas tentang efektivitas peralihan mata pencaharian nelayan tangkap menjadi nelayan apung, yaitu nelayan yang bermatapencaharian sebagai pekerja tambang inkonvensional (TI). Peralihan mata pencaharian ini merupakan salah satu bentuk adaptasi yang dilakukan nelayan Batu Belubang, Bangka, dalam menghadapi dampak dari cuaca yang ekstrim. Adiatma et al. (2013) menganalisis efektivitas dari aspek ekonomi, ekologi dan keberlanjutan komunitas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menekankan pada teknik observasi dan wawancara. Penelitian Adiatma et al. (2013) dilatarbelakangi oleh adanya kerentanan yang dialami nelayan karena tekanan cuaca yang ekstrim. Cuaca yang ekstrim ini dialami nelayan pada musim panceklik, dimana terjadinya curah hujan dan gelombang air laut yang cukup tinggi. Nelayanpun merasakan kesulitan dalam memperoleh kayu panjang dan solar. Ancaman ini menyebabkan nelayan beralih profesi menjadi nelayan apung. Peralihan profesi nelayan tangkap menjadi nelayan apung, merupakan salah satu strategi yang dijalankan nelayan. Peralihan mata pencaharian nelayan tangkap menjadi nelayan apung, dianalisis oleh Adiatma et al. (2013) dari aspek ekologi, ekonomi dan keberlanjutan komunitas. Dari aspek ekologi, profesi nelayan apung tidak menjamin keberlanjutan ekologi. Aktivitas nelayan apung menyebabkan adanya sedimentasi lumpur yang langsung menutup terumbu karang sehingga karang mengalami kerusakan bahkan kematian. Dari aspek ekonomi, nelayan apung mengalami peningkatan ekonomi namun tidak berkelanjutan, karena aktivitas ini hanya bersifat sementara hingga timah habis. Pendapatan nelayan apung setiap bulannya mencapai ≥ Rp 3.000.000,- tergantung dari hasil timah yang didapatkannya. Apabila nelayan berhasil mendapatkan 30 kg timah maka pendapatan kotornya adalah Rp 2.700.000. Nelayan dengan hasil timah 40 kg, mendapatkan Rp 3.600.000, kemudian dengan hasil timah 50 kg, mendapatkan Rp 4.500.000, dan dengan hasil timah 60 kg, mendapatkan Rp 5.400.000. Untuk keberlanjutan komunitas, kelompok Camar Laut dan Angin Mamiri terancam keberlanjutannya akibat peralihan profesi ini, yaitu. Kelompok Camar Laut adalah kelompok pengawas pantai, sedangkan kelompok Angin Mamiri adalah kelompok pengolahan ikan asin yang mendapatkan pasokan bahan baku dari nelayan tangkap. Adiatma et al.(2013) membandingkan karakteristik nelayan apung dengan nelayan tangkap. Hasil penelitian menunjukkan nelayan apung menggunakan alat ponton8 yang tahan 8 bulan, dengan modal awal Rp 50 juta, waktu melaut 07.00-16.00 (normal), menggunakan drum dan kayu 7-8 meter sebagai bahan (perawatan), hasil yang didapat adalah timah dengan harga Rp 70.000 - Rp 100.000/kg, tidak ada resiko dan pasti laku karena ada smelter swasta, 8 alat sejenis bagan yang digunakan nelayan apung untuk menyedot pasir timah di laut 21 penghasilan buruh rata-rata Rp 300.000- Rp 400.000 /minggu dan bos/pemilik TI bisa mencapai jutaan rupiah/hari, tidak membutuhkan keahlian tertentu, biaya melaut ditanggung oleh bos, peminjaman modal didapatkan dari bos (50:50) dengan cicilan yang tidak mengikat. Nelayan tangkap memiliki karakteristik sebagai berikut: menggunakan bagan drum 9 dan bagan tancap10, dengan modal tergantung jenis bagan, waktu melaut 16.00-04.00 (normal), dengan bahan kayu 25-30 meter yang sulit didapatkan, hasil yang didapat adalah ikan/ hasil laut dengan harga bervariasi rata-rata Rp 2.000- Rp 15.000/ kg (tergantung musim), resiko penjualan berupa hasil laut yang cepat membusuk, penghasilan yang tidak pasti, membutuhkan keahlian memahami cuaca, angin, pergerakan awan dan kondisi laut, kemudian biaya melaut ditanggung oleh nelayan dengan peminjaman modal kepada bos (50:50) dan jumlah cicilan yang tidak mengikat. Analisis Pustaka Ditinjau dari kesesuaian judul penelitian dengan hal yang dibahas di dalam penelitian, jurnal ini sudah secara konsisten membahas efektivitas peralihan mata pencaharian sebagai salah satu bentuk strategi adaptasi nelayan Bangka menghadapi kerentanan akibat adanya cuaca yang ekstrim. Peneliti sudah secara rinci membandingkan kesejahteraan nelayan ketika menjadi nelayan apung dan nelayan tangkap. Keduanya dibahas oleh peneliti cukup mendalam, dengan membandingkan kedua aspek yang sama. Informasi yang terdapat pada penelitian ini, memberikan tambahan pengetahuan bagi pembaca, terutama dalam hal karakteristik nelayan apung dan nelayan tangkap. Adanya perbandingan antara nelayan apung dan nelayan tangkap yang memiliki karakteristik dan sumberdaya yang berbeda, menginspirasi pembaca untuk menganalisis hal yang sama, yaitu dengan membandingkan kesejahteraan dari karakteristik nelayan yang berbeda. Bukan hanya itu, hal yang menjadikan jurnal ini juga unik adalah adanya analisis efektivitas yang menekankan pada tiga aspek, yaitu (1) aspek keberlanjutan ekologi, (2) peningkatan kapasitas perekonomian, (3) aspek keberlanjutan komunitas. Pengukuran dari ketiga aspek tersebut, memberikan referensi tambahan kepada pembaca bahwa ternyata nelayan apung hanya memberikan kesejahteraan dari aspek ekonomi, membuat tidak adanya keberlanjutan ekologi dan komunitas. Terlepas dari kelebihan jurnal ini, jurnal ini memiliki kelemahan dari sistematika penulisan. Tidak ditemukannya tujuan penulisan, menyulitkan pembaca untuk menganalisis kesesuaian isi dengan tujuan penulisan. 10. Jurnal "Linkages Between Vulnerability, Resilience, and Adaptive Capacity" Judul : Linkages Between Vulnerability, Resilience, and Adaptive capacity Tahun : 2006 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk : Elektronik Pustaka Nama Penulis : Gilberto C. Gallopin Nama Editor : Judul Buku : 9 Karakteristik bagan tancap adalah sebagai berikut: tahun operasi 1978/1980, digunakan oleh 1 orang, alat yang digunakan adalah bambu dengan panjang 25-30 meter, perlu perawatan setiap 8 bulan dan menjangkau 7 mil 10 Karakteristik bagan drum adalah sebagai berikut: tahun operasi 1978/1980. digunakan oleh 2 orang, alat yang digunakan adalah kayu nibung dengan panjang 25-30 meter, perlu perawatan setiap 8 bulan dan menjangkau 7 mil dengan harga Rp 20-30 juta. 22 Nama Jurnal Volume (Edisi) Alamat URL/doi Tanggal diudah : : : Global Environmental Change Vol. 16 293-303 doi:10.1016/j.gloenvcha.2006.02.004 : 5 Mei 2015 Ringkasan Pustaka Jurnal ini membahas hubungan antara kerentanan (vulnerability), resiliensi (resilience) dan kemampuan beradaptasi (adaptive capacity). Gallopin (2006) menyampaikan bahwa ketiga konsep ini memiliki keterkaitan terutama dalam sistem ekologi-sosial (the socio ecological system atau SES). Sistem ekologi sosial adalah sistem yang terdiri dari subsistem sosial/manusia dan subsistem ekologi (biophysical) yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Kedua subsistem ini tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Gallopin (2006) menyampaikan bahwa untuk menganalisis sistem dunia (Earth System), SES ini perlu dipahami sebagai satu kesatuan, karena subsistem di dalamnya (sosial dan ekologi) tidak dapat berdiri sendiri (saling berkaitan). Berkaitan dengan konsep vulnerability (kerentanan), Gallopin (2006) menyampaikan kerentanan adalah kondisi ketika sistem diguncang oleh suatu gangguan (disturbances) dan tekanan dari luar sistem (perturbations). Kerentanan juga dilihat sebagai kemampuan untuk bertahan, kemampuan melakukan perubahan (transformasi) ketika diguncang suatu gangguan tertentu. Gallopin (2006) turut membedakan konsep kerentanan dan resiliensi, keduanya berbeda dalam keterkaitannya akan struktur sistem. Kerentanan menekankan pada kapasitas manusia untuk tetap pada struktur sistem (preserve the system), sedangkan resiliensi menekankan pada kapasitas untuk memperbaiki diri dari perubahan non-struktural yamg dinamis. Di dalam pembahasannya, jurnal ini tidak terlepas dari konsep-konsep yang erat kaitannya dengan kerentanan, seperti tingkat kepekaan (sensitivity), yang diartikan sebagai derajat keterpaan suatu sistem pada hal-hal yang berkaitan dengan iklim. Efek dari sensitivitas ini dapat diterima secara langsung maupun tidak langsung. Efek yang diterima langsung dapat berupa perubahan temperatur, sedangkan efek yang tidak diterima langsung dapat berupa intensitas banjir rob yang tinggi akibat kenaikan permukaan air laut. Selain sensitivitas, terdapat konsep "Capacity of response" yang disebut juga kemampuan adaptasi (Adger; Smith and Wandel 2006). Capacity of response yang terbagi atas kapasitas untuk menyatu (to cope) dan merespon (to respon) perubahan, keduanya merupakan komponen dari resiliensi (Turner et al. 2003). Kemampuan menyatu dengan perubahan (coping ability) dianggap sebagai bentuk adaptasi jangka pendek, sedangkan kemampuan merespon perubahan dianggap sebagai bentuk adaptasi jangka panjang (Smit and Wandel 2006). Berdasarkan hal tersebut, Gallopin (2006) menyimpulkan bahwa "capacity of response" merupakan kemampuan sistem untuk menanggapi gangguan, menyeimbangkan potensi dampak yang akan muncul, memanfaatkan peluang, dan menyatu dengan konsekuensi yang kemungkinan muncul dari adanya suatu perubahan. Selanjutnya, tingkat paparan (exposure), diartikan sebagai derajat, durasi atau sejauhmana sistem berada dalam kontak gangguan tersebut. Perbedaan ketiga konsep ini dicontohkan Gallopin (2006) melalui suatu ilustrasi; rumah dengan bangunan yang lebih kokoh akan lebih sulit terkena banjir (tingkat kepekaan), rumah orang miskin seringkali berlokasi di tempat yang rawan banjir (tingkat paparan), dan keluarga dengan sumberdaya yang tinggi memiliki kemampuan lebih tinggi untuk memperbaiki diri dari gangguan banjir (capacity of response). 23 Berkaitan dengan konsep resiliensi, Gallopin (2006) mengutip pernyataan Holling (1973) bahwa resiliensi adalah ukuran kegigihan suatu sistem untuk tetap mempertahankan hubungan yang sama antara populasi tertentu pasca terjadinya suatu gangguan. Menurut Gallopin (2006), resiliensi ini erat kaitannya dengan capacity of response (komponen kerentanan), namun berbanding terbalik dengan kerentanan (vulnerability) dikarenakan ada tingkat paparan (exposure) dan tingkat kepekaan (sensitivity) yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Kemampuan seseorang untuk resilien terhadap suatu gangguan dipengaruhi oleh faktor internal di dalam sistem. Oleh karena itu, resiliensi erat kaitannya dengan capacity of response. Untuk konsep selanjutnya, kapasitas adaptasi diartikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri. Gallopin (2006) menyebutkan bahwa adaptive capacity lebih luas cakupannya daripada capacity of response, karena adanya tuntutan untuk meningkatkan penyesuaian, bukan sekedar hanya menerima dan merespon perubahan. Analisis Pustaka Jurnal ini merupakan jurnal yang berisikan konsep mengenai kerentanan, resiliensi dan kapasitas adaptasi. Gallopin (2006) berhasil membuat pembaca paham bahwa konsepkonsep tersebut memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Keterkaitan antara satu konsep dengan konsep lainnya, diilustrasikan oleh Gallopin (2006) ke dalam suatu grafik. Hal ini membuat pembaca paham bahwa tidak semua komponen kerentanan, memiliki keterkaitan dengan resiliensi dan kapasitas adaptasi. Hanya komponen capacity of response yang dikategorikan sebagai komponen yang memiliki keterkaitann dengan resiliensi dan kapasitas adaptasi. Gallopin (2006) juga sudah menjelaskan mengapa ketiganya memiliki keterkaitan, mengingat ketiga faktor ini sepenuhnya melekat pada kemampuan internal manusia, bukan dipengaruhi oleh faktor eksternal. Bahkan Gallopin (2006) juga secara rinci menjelaskan perbedaan antar konsepnya dengan mengutip pendapat-pendapat ahli lainnya. Tidak lupa, untuk membuat pembaca paham akan perbedaan satu konsep dengan konsep lainnya, Gallopin (2006) membuat ilustrasi dengan mencontohkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Seperti ketika membahas komponen kerentanan, Gallopin (2006) menjelaskan perbedaan tingkat kepekaan, tingkat paparan dan capacity of response dengan sebuah contoh. Hal yang menjadi kekurangan dari jurnal ini adalah adanya penjelasan konsep yang tidak sepenuhnya tuntas. Masih banyak ditemukan adanya pernyataan dari Gallopin (2006) yang mengatakan bahwa keterkaitan kedua konsep ini masih akan dipertimbangkan lebih lanjut. Hal ini membuat pembaca menjadi kebingungan akan konsep yang diutarakan oleh Gallopin (2006). 24 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Kelas Nelayan dan Karakteristiknya Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan (Pasal 1 UU No. 45 Tahun 2009). Pasal 1 UU No. 45 Tahun 2009 mengklasifikasikan nelayan ke dalam "nelayan kecil" yaitu orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT). Berbeda dengan Pasal 1 UU No.45 Tahun 2009 yang hanya menyebutkan nelayan kecil di dalam pengkategoriannya, beberapa ahli mengemukakan adanya kelas-kelas pada masyarakat nelayan sebagai berikut. 1. Nelayan juragan/pemilik perahu adalah orang yang memiliki hak atau berkuasa atas perahu dan alat tangkap ikan yang dipergunakan untuk menangkap ikan seperti jaring (Retnowati 2011; Haryono 2005). 2. Buruh nelayan/nelayan penggarap (pekerja) adalah seseorang yang mengoperasikan alat tangkap bukan miliknya sendiri sehingga melakukan penangkapan ikan dengan mendapatkan upah berdasarkan bagi hasil penjualan ikan (pandega atau bandega) (Retnowati 2011; Haryono 2005). 3. Nelayan kecil adalah nelayan tradisional yang sudah menggunakan diesel atau motor (jangkauan lebih luas) (Retnowati 2011). 4. Nelayan tradisional adalah orang yang menangkap ikan dengan perahu atau alat tangkap yang sederhana (tradisional) sehingga hanya mampu menjangkau 6 mil laut (Retnowati 2011). 5. Nelayan gendong (nelayan angkut) adalah nelayan yang tidak menangkap ikan di laut, hanya membawa modal uang yang akan digunakan untuk melakukan transaksi (membeli) ikan di tengah laut yang kemudian dijual kembali. (Retnowati 2011) 6. Perusahaan/industri penangkapan ikan adalah perusahaan yang memiliki usaha penangkapan ikan dengan tujuan perdagangan (eksport) atau berorientasi komersiil (Retnowati 2011). Haryono (2005) menambahkan bahwa terdapat kategori nelayan perorangan yaitu mereka yang memiliki peralatan tangkap sendiri yang dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. Nelayan perorangan ini tentu berbeda dengan nelayan juragan/pemilik perahu, mengingat adanya kemungkinan bahwa nelayan juragan pun melibatkan orang lain di dalam pengoperasiannya. Berbeda dengan kelas nelayan yang dikategorikan berdasarkan sumberdaya yang dimilikinya, terdapat kategori nelayanyang didasarkan pada kepentingan dan latar belakangnya untuk menjadi nelayan (Anthony T. Charles 2001 dalam Retnowati 2011), yaitu: 1. Subsistence Fishers merupakan nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhannya akan makan. 2. Native Aboriginal Fisher merupakan nelayan yang tergabung dalam komunitas adat tertentu dan menangkap ikan untuk kebutuhan subsisten. 3. Recreational Fisher adalah mereka yang menangkap ikan untuk kesenangan pribadi (enjoyment) 4. Commercial Fisher merupakan nelayan komersiil yang melakukan penangkapan ikan dengan tujuan perdagangan, baik di dalam negeri maupun luar negeri (export). Nelayan ini dibagi ke dalam dua kategori, yaitu (1) artisanal (small scale) (2) industrial (large scale) Terlepas dari kelas nelayan, apabila masyarakat nelayan dibandingkan dengan masyarakat petani, terdapat beberapa karakteristik unik yang hanya dimiliki oleh masyarakat 25 nelayan. Seperti yang dikemukakan oleh Firth (1967) dalam Haryono (2005) masyarakat nelayan memiliki paling sedikit lima karakteristik yang membedakannya dengan petani; 1. Pendapatan nelayan bersifat harian (daily increments) dan jumlahnya sulit ditentukan. Selain itu pendapatannya juga sangat tergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri, dalam arti apakah ia sebagai juragan atau pandega. 2. Dilihat dari segi pendidikan, tingkat pendidikan nelayan maupun anak-anak nelayan pada umumnya rendah. 3. Dihubungkan dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan, maka nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar-menukar karena produk bukan merupakan makanan pokok. Sifat produk pun mudah rusak dan harus segera dipasarkan sehingga menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan kepada pedagang. 4. Bidang perikanan membutuhkan investasi yang cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang lebih besar daripada sektor pertanian. 5. Kehidupan nelayan yang miskin juga diliputi oleh kerentanan, misalnya ditujukan oleh terbatasnya anggota yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan yang cukup besar pada mata pencaharian menangkap ikan Karakteristik nelayan yang cukup berbeda, menjadikan nelayan mengalami kesejahteraan yang lebih rendah dibandingkan masyarakat nelayan. Kusnadi (Direkotorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir 2006:1-2) dalam Retnowati (2011) menyebutkan terdapat enam penyebab terjadinya kemiskinan pada nelayan; (1) belum adanya kebijakan program pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan terpadu, (2) adanya inkonsistensi kuantitas produksi dikarenakan sumberdaya perikanan yang telah mencapai kondisi "overfishing", musim panceklik dan kenaikan BBM, (3) masalah isolasi geografi desa nelayan, (4) keterbatasan modal, (5) adanya relasi sosial ekonomi yang "eksploitatif", dan (6) rendahnya tingkat pendapatan rumahtangga nelayan. Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat nelayan ini menuntut masyarakat nelayan melakukan strategi adaptasi di dalam menghadapi ancaman-ancaman. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat nelayan tentu akan berbeda antara satu kelas nelayan dengan kelas nelayan lainnya. Strategi Adaptasi Nelayan Konsep Strategi Adaptasi Strategi adaptasi tidak dapat terlepas dari konsep adaptasi itu sendiri. Adaptasi (adaptive development) adalah kemampuan sistem sosial untuk menyatu dengan perubahan (Marten 2001). Berbeda dengan hal tersebut, terdapat beberapa ahli yang mengaitkan konsep ini dengan perubahan iklim. Adaptasi diartikan sebagai kemampuan suatu sistem sosial melakukan penyesuaian terhadap perubahan iklim, yang diwujudkan melalui tindakan nyata, ditujukan untuk memaksimalkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif yang memungkinkan muncul dari perubahan iklim (Subair et al. 2014; Jones et al. 2004). Bentuk-Bentuk Adaptasi Adaptasi yang diterapkan oleh masyarakat nelayan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa strategi, yaitu: 1. Intensifikasi (Haryono 2005; Helmi 2011; Prihandoko et al. 2012; Lekatompessy et al. 2013; Subair et al. 2014; Putra 2014) Intensifikasi yaitu strategi adaptasi yang diterapkan nelayan dengan melakukan investasi pada kegiatan penangkapannya, seperti melakukan one day fishing, 26 melakukan tandun11, merubah daerah penangkapan, menganekaragamkan alat dan teknik penangkapan serta melakukan strategi mengejar musim. 2. Diversifikasi pekerjaan (Haryono 2005; Helmi 2011; Lekatompessy et al. 2013; Putra 2014) Diversifikasi pekerjaan yaitu perluasan alternatif pilihan mata pencaharian yang dilakukan nelayan, baik di bidang perikanan maupun non perikanan. Diversifikasi pekerjaan dikenal juga dengan istilah menganekaragamkan sumber pendapatan. Dalam konteks adaptasi, diversifikasi pekerjaan ini ditempuh dengan memobilisasi anggota rumahtangga untuk melakukan kegiatan perekonomian, umumnya kegiatan off fishing seperti menjadi pedagang, kuli bangunan, tukang ojek dan lainnya. 3. Memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain (Helmi 2011; Lekatompessy et al. 2013; Subair et al. 2014; Putra 2014) Wahyono et al. (2001) sebagaimana dikutip oleh Lekatompessy et al.(2013) mengartikan hubungan sosial sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang. Hubungan sosial ini dimanfaatkan nelayan untuk melakukan diversifikasi pekerjaan. Bukan hanya itu, nelayan juga memanfaatkan hubungan sosial atau jaringan sosial untuk membentuk kelembagaan nelayan seperti kelompok operasi penangkapan penangkapan. . Berbeda dengan bentuk adaptasi tersebut, Wiyono (2008), Prihandoko et al. (2012), Angga (2014), menemukan bahwa bentuk-bentuk adaptasi ternyata dipengaruhi oleh kelas sosial yang ditempati nelayan. dan juga aspek sosial kultural pada nelayan itu sendiri. Nelayan yang tergolong ke dalam nelayan juragan/pemilik kapal melakukan intensifikasi dengan memanfaatkan alat dan teknik penangkapan yang ada, mengurangi biaya dan tenaga kerja, serta merubah fishing ground. Berbeda dengan hal tersebut, buruh nelayan cenderung melakukan diversifikasi pekerjaan dengan memanfaatkan hubungan sosial dan memobilisasi seluruh anggota rumahtangga. Hal ini menjadi satu-satunya strategi buruh nelayan, mengingat tidak melimpahnya sumberdaya berupa alat dan teknik penangkapan yang dimiliki buruh nelayan. Buruh nelayan hanya memiliki tenaga dan keterampilan yang mampu dimanfaatkan dalam melakukan diversifikasi pekerjaan. Berbeda dengan buruh nelayan, nelayan tradisional hanya melakukan strategi intensifikasi dengan memanfaatkan alat dan teknik penangkapan yang sederhana. Diversifikasi tidak menjadi pilihan bagi nelayan tradisional, mengingat masih tingginya aspek sosial kultural yang dimiliki oleh mereka, sehingga mereka tetap memilih menjadi nelayan. Konsep Kerentanan (Vulnerability) dan Resiliensi Untuk memahami strategi adaptasi yang diterapkan oleh sistem sosial tertentu, penting untuk memahami konsep kerentanan (vulnerability) dan resiliensi (resilience). Strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat tertentu dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kerentanan yang dialami olehnya. Kerentanan (vulnerability) merupakan kondisi ketika sistem diguncang oleh gangguan dari luar sistem hingga melewati batas kritis (critical threshold), sehingga menyebabkan sistem memiliki kemampuan untuk bertahan dan melakukan perubahan (transformasi) (Gallopin 2006; Subair et al. 2014). Terdapat tiga komponen kerentanan yang mempengaruhi strategi adaptasi suatu sistem sosial dalam menghadapi perubahan, yaitu: 1. Tingkat paparan (exposure) Tingkat paparan adalah sejauh mana sistem (pola kehidupan masyarakat) bersinggungan dengan gangguan. Dalam hal ini gangguan yang dikaitkan dengan 11 Tradisi mencari fishing ground di wilayah Barat atau Timur pada saat musim panceklik 27 perubahan iklim. (IPCC 2007 dalam Subair et al. 2014; Gallopin 2006). Faktor penentu paparan dapat dilihat dari kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan iklim, perkiraan iklim, serta data masyarakat dan ilmuwan (Subair et al. 2014). 2. Tingkat kepekaan (sensitivity) Tingkat kepekaan diartikan sebagai efek atau dampak dari perubahan iklim yang diterima baik langsung maupun tidak langsung oleh suatu sistem, meliputi dampak dari perubahan pola musim jangka panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat, dan bencana terkait perubahan iklim (IPCC 2007 dalam Subair et al. 2014; Gallopin 2006) 3. Kemampuan adaptasi (capacity of response) Kemampuan adaptasi (capacity of response) merupakan kemampuan sistem untuk menanggapi gangguan, menyeimbangkan potensi dampak yang akan muncul, memanfaatkan peluang, dan menyatu dengan konsekuensi yang kemungkinan muncul dari adanya suatu perubahan (Gallopin 2006). Berbeda dengan konsep kerentanan, resiliensi diartikan sebagai kemampuan masyarakat untuk mempertahankan perilaku adaptif pasca terjadinya gangguan yang diukur melalui kegigihan mereka untuk tetap mempertahankan hubungan yang sama antar sistem sosial (Holling 1973 dalam Gallopin et al. 2006; Subair et al. 2014). Untuk membedakan kemampuan adaptasi (capacity of response) dan strategi adaptasi, Gallopin (2006) mengatakan bahwa strategi adaptasi (adaptive capacity) mencakup hal yang lebih luas dibandingkan capacity of response, strategi adaptasi menuntut adanya peningkatan penyesuaian, bukan hanya pada tingkatan merespon suatu perubahan. Konsep kerentanan, strategi adaptasi dan resiliensi ini berkaitan satu dengan lainnya. Komponen kerentanan menentukan tinggi rendahnya kerentanan suatu sistem sosial tertentu. Tinggi rendahnya kerentanan mempengaruhi strategi adaptasi suatu sistem sosial dan strategi adaptasi menentukan tingkat resiliensi suatu sistem sosial. Gallopin (2006) mengungkapkan terdapat keterkaitan antara kerentanan (vulnerability), strategi adaptasi dan resiliensi. Keterkaitan tersebut tergambar dari adanya kesamaan antara salah satu komponen kerentanan, yaitu capacity of response dengan strategi adaptasi dan resiliensi. Gallopin (2006) mengatakan bahwa capacity of response, strategi apatasi dan resiliensi merupakan bentuk-bentuk penyesuaian yang muncul dari dalam sistem sosial, bukan muncul karena adanya faktor eksternal. Hubungan antara kerentanan (vulnerability), strategi adaptasi dan resiliensi, digambarkan Gallopin (2006) sebagai berikut (Gambar 1). Sumber: Gallopin (2006) 28 Gambar 1. Keterkaitan antara Konsep Kerentanan (Vulnerability), Resiliensi, dan Strategi Adaptasi Ketidakpastian Cuaca dan Dampaknya Jepma dan Munasinghe (1998) menyebutkan bahwa konsep mengenai cuaca dan iklim merupakan dua konsep yang saling berkaitan dan erat kaitannya dengan atmosfer. Aktivitas-aktivitas harian atmosfer, seperti hujan dan badai, menentukan cuaca pada waktu tertentu. Iklim didefinisikan Jepma dan Munasinghe (1998) sebagai; average of a series of weather events, or more precisely defined by the statistical measurement of weather variability over a period of time. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa iklim merupakan rata-rata dari kondisi cuaca yang terjadi pada periode waktu tertentu. Keterkaitan iklim dengan cuaca mengindikasikan bahwa perubahan pada iklim mampu menyebabkan terjadinya perubahan pada cuaca, begitupun sebaliknya. Adanya perubahan pada iklim ini dengan sendirinya akan mempengaruhi siklus cuaca yang berimplikasi pada munculnya cuaca ekstrim sehingga cuaca sulit diprediksikan. Sulitnya memprediksikan cuaca menunjukkan adanya fenomena ketidakpastian cuaca. Apabila dikaitkan dengan masyarakat nelayan, ketidakpastian cuaca ini dapat dilihat dari adanya ketidakmampuan masyarakat nelayan dalam meramalkan cuaca (Subair et al. 2014; Angga 2014). Masyarakat nelayan memiliki pengetahuan-pengetahuan lokal dalam memprediksikan cuaca, seperti perhitungan yang didasarkan pada pergerakan benda-benda langit diantaranya rasi bintang, pergerakan bulan dan bentuk awan (Subair et al. 2014; Angga 2014). Ketidakmampuan masyarakat memprediksikan cuaca berimplikasi pada adanya kerugian yang dialami nelayan khususnya dalam kegiatan penangkapan ikan. Hasil tangkapan yang kurang maksimal dan juga ketidakmampuan nelayan untuk melaut, menjadi implikasi dari adanya ketidakpastian cuaca tersebut. Nelayan menjadi sulit melaut, cenderung memanfaatkan daerah yang tidak jauh dari bibir pantai, bahkan nelayan sudah harus kembali sebelum memperoleh hasil tangkapan, hal ini menyebabkan kerugian pada nelayan karena meningkatnya biaya tanpa didukung adanya hasil tangkapan (Subair et al. 2014; Angga 2014). Adanya ketidakpastian akan cuaca, menuntut nelayan perlu menerapkan strategi adaptasi, mengingat nelayan memiliki ketergantungan yang cukup tinggi akan cuaca. Persepsi Konsep persepsi menjadi salah satu cara untuk memahami ada tidaknya ketidakpastian cuaca dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat nelayan. Persepsi di dalam psikologi diartikan sebagai proses perolehan, penafsiran, pemilihan dan pengaturan informasi indrawi (Tim Penulis Fakultas Psikologi UI: 2012). Berbeda dengan konsep tersebut, persepsi diartikan oleh Kulsum dan Jauhar (2014) sebagai proses pengorganisasian dan penginterpretasian stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu. Apabila dikaitkan dengan ketidakpastian cuaca, stimulus yang dimaksudkan adalah ketidakpastian cuaca yang diperoleh, ditafsirkan, dipilih dan diatur melalui informasi indrawi (Tim Penulis Fakultas Psikologi UI 2012; Kulsum dan Jauhar 2014). Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu: 1. Faktor stimulus (Riyanto 2007; Kulsum dan Jauhar 2014) 29 Faktor stimulus adalah faktor yang datang dari obyek atau kejadian yang dipersepsi. Faktor stimulus dipengaruhi oleh kekuatan stimulus dan faktor-faktor penarik perhatian. Stimulus harus cukup kuat dan mampu melewati ambang stimulus, yaitu kekuatan stimulus yang minimal tetapi dapat menimbulkan kesadaran sehingga sudah mampu dipersepsikan oleh individu. Dalam hal ini, faktor stimulus yang kuat atau lemah melekat pada objek yang dipersepsikan. Apabila dikaitkan dengan ketidakpastian cuaca, objek yang dipersepsikan adalah ketidakpastian cuaca itu sendiri. Ketidakpastian cuaca yang melewati ambang stimulus, menimbulkan kesadaran dan mempengaruhi tingkat paparan (exposure) pada masyarakat nelayan akan ketidakpastian cuaca tersebut. Dalam hal ini, tingkat paparan (exposure) sebagai salah satu komponen kerentanan (vulnerability) akan dirasakan apabila stimulus ini sudah melewati ambang stimulus. 2. Faktor Perseptor/Faktor Eksternal (Riyanto 2007; Kulsum dan Jauhar 2014) Faktor perseptor adalah faktor yang datang dari orang yang melakukan persepsi yang dipengaruhi oleh lingkungan dimana persepsi tersebut berlangsung (faktor eksternal). Proses persepsi dikatakan DeVito (1997) dalam Riyanto (2007) terjadi dalam tiga tahap, yaitu: 1. Stimulasi alat indera (sensory stimulation) Stimulasi alat indera (sensory stimulation) adalah tertangkapnya stimulus (rangsangan) oleh panca indera manusia. Dalam hal ini, stimulus (rangsangan) yang dimaksudkan adalah ketidakpastian cuaca. Ketidakpastian cuaca sebagai sebuah stimulus, akan tertangkap oleh alat indera melalui proses sensasi. Sensasi, berasal dari kata "sens" (merasakan), merupakan proses tertangkapnya stimulus oleh indera (Riyanto 2007). Ketidakpastian cuaca sebagai suatu stimulus akan mampu dirasakan oleh alat indera ketika memiliki kekuatan di luar ambang stimulus. 2. Pengaturan stimulasi indera Pengaturan stimulasi indera adalah pengorganisasian stimulus yang ditangkap indera dengan menggunakan kerangka rujukan yang sudah dimiliki. DeVito (1997) dalam Riyanto (2007) mengungkapkan terdapat dua prinsip utama yang digunakan dalam proses ini, yaitu: prinsip kelengkapan (closure) dan prinsip proksimitas (proximity). Prinsip kelengkapan (closure) ditunjukkan dengan adanya proses melengkapi stimulus yang tidak lengkap. Apabila dikaitkan dengan nelayan, maka dalam proses ini nelayan akan mengaitkan fenomena ketidakpastian cuaca ini dengan hal-hal yang logis sehingga muncullah pemahaman yang lengkap akan ketidakpastian cuaca ini. Selanjutnya, prinsip proximitas (proximity) ditunjukkan dengan adanya proses mengaitkan sesuatu dengan hal lain yang mirip dengannya. Apabila dikaitkan dengan nelayan, dalam proses ini nelayan akan mengaitkan fenomena ketidakpastian cuaca ini dengan pengalaman yang dialami sebelumnya, sistem nilai dan kepercayaannya, yang erat kaitannya dengan kehidupan nelayan dan juga mengalami kesamaan dengan fenomena ketidakpastian cuaca ini. 3. Penafsiran-evaluasi stimulasi indera. Penafsiran-evaluasi adalah proses subyektif yang melibatkan evaluasi dari penerima. Pada tahap ini, nelayan akan menafsirkan fenomena ketidakpastian cuaca ini disesuaikan dengan stimulus yang diterima dan juga kerangka rujukan yang sudah dimiliki oleh nelayan, sehingga muncullah suatu makna tertentu pada diri nelayan akan fenomena ketidakpastian cuaca tersebut. 30 SIMPULAN Kerangka Analisis Cuaca yang erat kaitannya dengan iklim, sebagaimana diutarakan oleh Jepma dan Munasinghe (1998), mengalami perubahan yang signifikan sejalan dengan adanya perubahan pada iklim. Perubahan pada iklim dengan sendirinya mempengaruhi siklus cuaca yang berimplikasi pada munculnya cuaca ekstrim sehingga cuaca sulit diprediksikan. Kesulitan dalam memprediksikan cuaca ini menunjukkan adanya fenomena ketidakpastian cuaca. Ketidakpastian cuaca ini dipahami melalui konsep persepsi. Persepsi adalah proses pengorganisasian dan penginterpretasian stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu (Kulsum dan Jauhar 2014). Dalam hal ini, stimulus yang dimaksudkan adalah ketidakpastian cuaca. Apabila dikaitkan dengan masyarakat nelayan, stimulus ini akan mempengaruhi tingkat kerentanan pada masyarakat nelayan. Apabila ketidakpastian cuaca ini melewati ambang stimulus, maka akan menimbulkan kesadaran dan mempengaruhi kerentanan pada masyarakat nelayan. Kerentanan (vulnerability) adalah kondisi ketika sistem diguncang oleh gangguan dari luar sistem hingga melewati batas kritis (critical threshold), sehingga menyebabkan sistem memiliki kemampuan untuk bertahan dan melakukan perubahan (transformasi) (Gallopin 2006; Subair et al. 2014). Kerentanan (vulnerability) ini dibagi atas tiga komponen, yaitu (1) tingkat paparan (exposure); tingkat kepekaan (sensitivity); dan kemampuan adaptasi (capacity of response). Ketiga komponen ini saling mempengaruhi satu dengan lainnya, dan mempengaruhi tingkat kerentanan yang dirasakan oleh masyarakat nelayan. Tingkat kerentanan yang dirasakan nelayan, tentu akan berbeda satu dengan lainnya, dipengaruhi oleh posisi nelayan pada kelas tertentu. Nelayan dengan sumberdaya yang melimpah tentu akan memiliki tingkat kerentanan yang berbeda dengan nelayan yang terbatas akan sumberdaya. Berdasarkan hal tersebut, selain dipengaruhi oleh kemampuan nelayan mempersepsikan ketidakpastian cuaca, tingkat kerentanan ini juga dipengaruhi oleh kelas nelayan dan karakteristiknya. Tinggi rendahnya tingkat kerentanan ini menentukan strategi adaptasi yang akan diterapkan oleh masyarakat nelayan. Adaptasi diartikan sebagai kemampuan suatu sistem sosial melakukan penyesuaian terhadap perubahan iklim, yang diwujudkan melalui tindakan nyata, ditujukan untuk memaksimalkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif yang memungkinkan muncul dari perubahan iklim (Subair et al. 2014; Jones et al. 2004). Strategi adaptasi yang diterapkan oleh masyarakat nelayan ini tentu akan berbeda satu dengan lainnya dan akan dipengaruhi oleh posisi nelayan pada kelas tertentu. Kelas nelayan dibagi menjadi lima kategori, yaitu (1) nelayan pemilik/juragan, (2) buruh nelayan, (3) nelayan kecil, (4) nelayan tradisional, dan (5) nelayan gendong. Posisi nelayan pada kelas tertentu ini membuat nelayan memiliki bentuk strategi adaptasi yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut, selain dipengaruhi oleh tingkat kerentanan, strategi adaptasi ini dipengaruhi juga oleh kelas nelayan dan karakteristiknya. Selanjutnya, bentuk strategi adaptasi ini dapat diklasifikasikan ke tiga bentuk, yaitu (1) melakukan intensifikasi, (2) melakukan diversifikasi, dan (3) memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain. 31 Kelas Nelayan dan Karakteristiknya 1. Nelayan pemilik/juragan 2. Buruh Nelayan 3. Nelayan Kecil 4. Nelayan Tradisional 5. Nelayan gendong Kerentanan (Vulnerability): Ketidakpastian Cuaca Persepsi 1. Tingkat Paparan (exposure) 2. Tingkat Kepekaan (sensitivity) 3. Kemampuan Adaptasi (capacity to response) Strategi Adaptasi Bentuk-Bentuk Adaptasi: 1. Intensifikasi 2. Diversifikasi 3. Memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain : hubungan sebab akibat Gambar 2. Kerangka Analisis Keterangan: Pertanyaan Penelitian Berdasarkan kerangka penelitian tersebut, muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Sejauhmana ketidakpastian cuaca mempengaruhi tingkat kerentanan nelayan? 2. Sejauhmana tingkat kerentanan nelayan akibat ketidakpastian cuaca mempengaruhi strategi adaptasi mereka menurut kelas sosial? 32 DAFTAR PUSTAKA Adiatma, I. Bambang, NA, Purnaweni H. 2013. Peralihan Mata Pencaharian sebagai Bentuk Adaptasi (Studi Kasus: Desa Batu Belubang, Bangka). TEKNIK (vol.34 no. 2) [Internet].[diunduh2015Mar30].Tersedia pada: file:///C:/Users/PWD%201%20IPB/Downloads/5637-12431-1-SM.pdf Gallopin GC.2006. Linkages Between Vulnerability, Resilience, and Adaptive Capacity. Global Environmental Change (vol.16) [Internet]. [diunduh2015Mei5]. Tersedia pada: doi:10.1016/j.gloenvcha.2006.02.004 Global Environmental Change. vol.16 293-303. Haryono, TJS. 2005. Strategi Kelangsungan Hidup Nelayan (Studi tentang diversifikasi pekerjaan keluarga nelayan sebagai salah satu strategi dalam mempertahankan kelangsungan hidup). Berkala Ilmiah Kependudukan (vol. 7 no 2) [Internet]. [diunduh2015Mar24]. Tersedia pada: http://www.madib.blog.unair.ac.id/files/2010/05/contoh-artkel-ilmiah-08-tri-joko.pdf. Helmi A. 2011. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ismulyana. 2012. Metode Penelitian Survei. Effendi S dan Tukiran, editor. Jakarta (ID):LP3ES. Jepma, CJ and Munasinghe M. 1998. Climate Change Policy: Facts, Issues, and Analyses [Internet]. London (UK): Cambridge University Press. [diunduh2005Mei12]. Tersedia pada: https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=jFYqKADb09AC&oi=fnd&pg=PR 11&dq=UNEP+Climate+Change+Science+Compendium.&ots=6Sq A2557f&sig=4qn0OjF7TUgXPcGTUh7ygGPk5gE&redir_esc=y#v=onepage&q&f=f alse. Kompas edisi 6 April 2015. Kemiskinan Nelayan Kronis. Kulsum U dan Jauhar M. 2014. Pengantar Psikologi Sosial. Jakarta (ID): Prestasi Pustaka. Lekatompessy HS, Nessa NM, Arief AA. 2013. Strategi Adaptasi Nelayan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Perubahan Ekologis [Internet]. [diunduh2015Mar30]. Tersedia pada: http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/b8e41a786da110597359750867c6c4c7.pdf Marten, GG. 2001. Human Ecology The Basic Concept for Sustainability. London (UK): Earthscan. Putra GA. 2014. Strategi Adaptasi Nelayan Pelabuhanratu Terhadap Perubahan Iklim [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Retnowati E. 2011. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif Sosial, Ekonomi dan Hukum). Jurnal Perspektif (vol XVI no.3 edisi Mei) [Internet] [diunduh2015Mar30]. Tersedia pada: ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207081310382587/12.pdf. Riyanto, S. 2007. Dasar-Dasar Komunikasi. Hubeis AF, editor. Bogor (ID): Sains KPM IPB Press. S Prihandoko, Jahi A., Gani DS, Purnaba IGP, Adrianto L, Tjitradjaja I. 2012. Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan Artisanal di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan (vol. 8 no 1) [Internet].[diunduh2015Mar30]. Tersedia pada: http://ejournal.skpm.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/view/49/54. Subair, Kolopaking LM, Adiwibowo S, Pranowo MB. 2014. Adaptasi Perubahan Iklim Komunitas Desa: Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon. Jurnal Komunitas (vol 6 no 1) [Internet]. [diunduh 2015Feb28]. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.15294/komunitas.v6i1.2943. 33 Tim Penulis Fakultas Psikologi UI. 2012. Psikologi Sosial. Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno, editor. Depok (ID): Salemba Humanika. [UU]. Pasal 1 Undang-Undang No.45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. Wiyono, ES. 2008. Strategi Adaptasi Nelayan Cirebon. Buletin PSP (Vol. XVII No 3 Desember) [Internet]. [diunduh2015Mar30]. Tersedia pada: http://jamu.journal.ipb.ac.id/index.php/bulpsp/article/view/4292 34 LAMPIRAN 35 RIWAYAT HIDUP Audina Amanda Prameswari dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Juli 1994. Penulis adalah anak kedua dari pasangan Arya Hadi Dharmawan dan Eka Intan Kumala Putri. Pendidikan formal yang ditempuh adalah SD Negeri Polisi 4 Kota Bogor periode 2002-2006, SMP Negeri 4 Kota Bogor periode 2006-2009, SMA Negeri 1 Kota Bogor periode 2009-2012. Pada tahun 2012, penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Tes Mandiri (UTM). Pada tahun 2014, penulis berhasil menjadi Mahasiswa Berprestasi pada tingkat Departemen dan Finalis Mahasiswa Berprestasi pada tingkat Fakultas. Bukan hanya itu, pada tahun yang sama, proposal PKM-GT yang ditulis oleh penulis dengan judul "'Haraktan' Sebagai Penguat Resiliensi Nafkah Rumahtangga Pedesaan Jawa dalam Menghadapi Resiko Perubahan Iklim", mampu lolos hingga tingkat nasional. Selain aktif dalam bidang akademik, penulis juga aktif mengikuti berbagai macam kegiatan kepanitiaan dan organisasi. Penulis tergabung ke dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) Kabinet Mozaik Toska periode 2013-2014 dengan menempati posisi sebagai anggota Biro Relasi. Di tahun berikutnya, penulis melanjutkan keaktifannya dalam organisasi, dengan tergabung dalam BEM FEMA Kabinet Terasa Manis periode 2014-2015 dengan menempati posisi sebagai Kepala Biro Bisnis dan Kemitraan. Tidak lupa, penulis juga menjadi bagian dari beasiswa terkemuka, yaitu Beasiswa Plus Djarum Foundation Beswan Djarum periode 2014-2015.