Document

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah kelainan kompleks dari saluran
pencernaan bagian bawah, adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi
tanpa gangguan organik. IBS merupakan gangguan fungsional pada defekasi. IBS
utamanya dikarakteristikkan dengan gejala-gejala yang khas dan diperburuk dengan
stres emosional. Istilah bahasa Indonesia untuk penyakit ini memang belum ada yang
baku. (Sudoyo, dkk 2006)
Menurut Carmilleri (2001), IBS merupakan salah satu penyakit dari
kelompok Functional Gastrointestinal Disorders (Gangguan Fungsional Saluran
Pencernaan) atau Functional Motility Disorders (Gangguan Fungsional Pergerakan
Usus). Seringkali disebut sebagai gangguan, bukan penyakit, karena penyakit ini
merupakan sekumpulan gejala yang terjadi akibat gangguan fungsional saluran
pencernaan, dimana tidak terdapat kelainan organik dari saluran pencernaan itu
sendiri. Tiga kelompok gejala pokok yang timbul pada penyakit ini biasanya berupa:
1. Nyeri perut
2. Kembung dan
3. Gangguan buang air besar.
IBS merupakan salah satu penyakit yang tidak mudah didiagnosa,
dikarenakan tidak terdapat pemeriksaan fisik dan laboratorium yang spesifik pada
1
pasien IBS. Oleh karenanya, diagnosa penyakit ini seringkali didasarkan pada
kriteria eksklusi, yaitu diagnosa ditegakkan setelah menyingkirkan semua
kemungkinan adanya penyakit organik saluran pencernaan lain. (Carmilleri, 2001)
B. Epidemiologi
Sejak abad ke 19 IBS diakui sebagai salah satu penyakit yang paling sering
dijumpai namun data objektif mengenai prevalensi IBS belum ada, hal ini
kemungkinan disebabkan karena IBS bukan merupakan penyakit yang fatal.
(Kusmobroto, 2003)
Prevalensi rata-rata secara keseluruhan di negara maju sebesar 10% atau
berkisar antara 9-24%.
Belum ada penelitian statistik jumlah penderita IBS di
Indonesia. Di seluruh bagian dunia, prevalensi penyakit ini diperkirakan sangat
bervariasi.
Di Amerika Utara dan Eropa bagian barat, survei penduduk
menunjukkan bahwa penderita IBS sebesar 12-22% dari populasi umum atau satu
dari lima orang dewasa memiliki gejala IBS, sehingga menjadikan IBS sebagai salah
satu gangguan yang paling umum didiagnosa oleh dokter. Sementara prevalensinya
di Asia Tenggara lebih jarang yaitu sekitar kurang dari 5%. Perbedaan ini mungkin
disebabkan oleh perbedaan metode survey, kriteria yang digunakan ataupun jumlah
populasi yang diteliti. (Kusmobroto, 2003)
IBS lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria (2:1), dan 50%
penderita IBS gejalanya dimulai pada usia kurang dari 35 tahun dan 40% dimulai
2
pada usia 35-50 tahun. Tipe konstipasi didapatkan lebih banyak pada wanita, sedang
tipe diare lebih banyak pada pria. Walaupun penyakit ini bukan penyakit yang dapat
mengancam jiwa, penyakit ini dapat menimbulkan stres yang berat bagi pasien dan
perasaan frustrasi bagi dokter yang mengobatinya. (Kusmobroto, 2003)
Gambar 1. Epidemiologi IBS di beberapa negara. (Kenneth W, 1999)
C. Etiologi
3
Menurut Kusmobroto (2003), IBS dapat disebabkan oleh berbagai macam
faktor. Sampai saat ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS hanya
disebabkan oleh satu macam faktor. Penelitian-penelitian terakhir mengarah untuk
membuat suatu model terintegrasi sebagai penyebab dari IBS, antara lain:

Gangguan motilitas

Intoleransi makanan

Abnormalitas sensorik (Abnormalitas sistem saraf otonom)

Hipersensivitas visceral

Pasca infeksi usus. Biasanya disebabkan oleh giardia atau amoeba (biasanya
gejala berupa perut kembung, nyeri abdomen, dan diare).

Faktor psikologis : peranan stress kronik sukar digambarkan dan sudah
dibahas dengan luas oleh Trulove dan Reinell (1972). Stress akut dapat
menyebabkan diare dan hal ini diterima oleh semua ahli. Faktor emosional
(misal, stress, gelisah, depresi, dan takut) bisa memicu atau memperburuk
serangan pada IBS.

Faktor makanan: peranan makanan belum jelas diketahui, namun terdapat
beberapa makanan yang dapat menyebabkan menyebabkan diare serta
kekurangan serat akan menyebabkan konstipasi. Untuk beberapa orang,
makanan tinggi kalori atau makanan tinggi lemak, gandum, produk susu, kopi,
teh, atau buah jeruk kemungkinan bisa memicu terjadinya IBS.
D. Patofisiologi
4
1. Gangguan fungsi motoris kolon
Pada penelitian diterangkan bahwa pemeriksaan manometri penderita IBS
pada saat tidak ada rangsangan hanya ada sedikit perbedaan dibandingkan orang
normal. Tetapi setelah ada rangsangan makan maka pemeriksaan manometri pada
IBS menunjukkan respon yang lebih besar. Dijelaskan juga adanya peningkatan
aktifitas gelombang pendek di kolon distal pada penderita IBS sedangkan pada orang
normal tidak terjadi peningkatan. Aktifitas tipe ini dikaitkan dengan kontraksi
segmental tanpa ada dorongan di kolon yang selanjutnya akan menimbulkan gejalagejala konstipasi. (Quigley, 2003)
Sebanyak 74% penderita IBS, rasa sakitnya dimulai pada kuadran kanan
bawah dan secara tidak langsung hal ini dapat mencerminkan adanya gangguan
fungsi kolon acsendens. Sulliven el al tahun 1978, melaporkan adanya perubahan
motilitas kolon terhadap rangsangan seperti makanan, marah, dan stress psikologis
pada penderita IBS. (Quigley, 2003)
2. Gangguan Fungsi Motoris pada Usus Halus
Sudah diketahui bahwa pada orang normal akan terjadi perubahan motilitas
usus halus pada saat puasa maupun setelah makan, hal ini akibat aktifitas kontraksi
yang khas berkaitan dengan migrating motor complek. Hasil rekaman pada penderita
IBS menunjukkan adanya kelainan migrating motor complek pada saat berpuasa,
disini yang menonjol adalah adanya peningkatan aktifitas kontraksi migrating motor
complek, dengan gambaran meningkatnya jumlah kontraksi pada duodenum dan
5
jejunum. Perasaan sakit perut berhubungan dengan aktifitas kontraksi yang tiba-tiba
di usus halus, sedangkan pada saat tidur aktifitas ini tidak tampak, sehingga bisa
diterangkan mengapa pada penderita IBS jarang mengeluh terbangun dari tidurnya
akibat perasaan sakit perut. (Roger, 2001)
3. Sensoris yang tidak normal
Pada saat ini perhatian patofisisologi IBS ditujukan pada perubahan sensasi
visceral, beberapa peneliti berpendapat bahwa IBS merupakan akibat dari hiperestesi
visceral. Persepsi visceral yang tidak normal karena adanya sensitifitas yang
berlebihan. Pada penderita IBS terdapat penurunan nilai ambang sensitifitas di ileum,
rektosigmoid, dan anorektal. Disinilah nilai ambang rasa sakit lebih randah
dibanding dengan orang normal, sehingga rasa sakit timbul akibat adanya respon
terhadap distensi usus maupun kontraksi usus. Peningkatan sensitifitas anorektal
disertai dengan peningkatan aktifitas motorik yang berlebihan pada rectum dapat
ditunjukkan dengan adanya gejala-gejala timbulnya rasa sakit sebelum adanya
gerakan usus halus yang berlebihan. (Camilleri, 2001)
4. Gangguan psikologis
Timbulnya gejala-gejala sakit perut serta perubahan pola defekasi sangat erat
berkaitan dengan emosi kejiwaan penderita seperti kecemasan, depresi, perasaan
marah. Jika dibandingkan dengan orang sehat maka pada penderita IBS lebih banyak
mempunyai gangguan psikologis seperti kecemasan dan obsesif. Gejala-gejala
psikologis pada penderita IBS lebih merupakan status psikologis penderita itu sendiri
6
daripada akibat pengaruh penyakitnya, sehingga tampak penyakitnya lebih berat dan
penderita lebih sering konsultasi ke dokter. Pada penderita IBS stress psikologis juga
dapat mengakibatkan perubahan yang tidak mormal pada pola migrating motor
complek dengan aktifitas kontraksi usus halus yang tidak beraturan. (Kenneth, 1999)
E. Manifestasi Klinis
Menurut Rahza (2007), dari sudut klinik penderita dapat dibagi menjadi 3 kelompok :
1. Kelompok dengan diare sebagai gejala utama. Disini, diare biasanya lama,
diperberat dengan stress, biasanya tidak membangunkan penderita pada
waktu malam, sering terjadi setelah sarapan, dan tidak disertai dengan darah.
Hal ini sering disebut sebagai diare neurvosa, sekalipun sebenarnya istilah
neurvosa tidak pada tempatnya.
2. Kelompok dengan konstipasi sebagai gejala utama. Tinja kecil dan keras.
3. Kelompok dengan nyeri abdominal sebagai gejala utama. Bila tidak disertai
diare atau kostipasi, sebab-sebab lain pada nyeri hendaklah disingkirkan.
Nyeri hilang berkurang dengan flatus. Jarang membangunkan penderita ketika
tidur dimalam hari.
Tiap penderita memiliki satu atau lebih gejala yang predominan. Tapi
biasanya beberapa gejala timbul bersamaan. Gambaran lain yang penting adalah
keadaan umum pasien yang selalu baik, dan penyakit berlangsung pelan. (Rahza,
2007)
7
Menurut Sudoyo (2006), beberapa ahli juga membagi berdasarkan gejalanya
dalam dua kelompok besar, yaitu :
1. Tipe kolon spastik
Biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi berkala (konstipasi
periodik) atau diare disertai nyeri. Kadang konstipasi silih berganti dengan diare.
Sering tampak lendir pada tinjanya. Nyeri bisa berupa serangan nyeri tumpul atau
kram, biasanya di perut sebelah bawah. Perut terasa kembung, mual, sakit kepala,
lemas, depresi, kecemasan dan sulit untuk berkonsentrasi. Buang air besar sering
meringankan gejala-gejalanya.
2. Tipe yang kedua menyebabkan diare atau konstipasi yang relatif tanpa rasa
nyeri.
Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan. Gejala paling khas adalah
diare yang timbul segera setelah makan. Beberapa penderita mengalami perut
kembung dan konstipasi dengan disertai sedikit nyeri.
F. Penegakan Diagnosis
Menurut Sudoyo (2006), kriteria Roma II merupakan panduan kriteria
mutakhir yang banyak dipakai untuk mendiagnosa penyakit IBS, yaitu:
Sedikitnya 12 minggu atau lebih (tidak harus berurutan) selama 12 bulan terakhir
dengan rasa nyeri atau tidak nyaman di abdomen, disertai dengan adanya 2 dari 3 hal
berikut :
8

Nyeri hilang dengan defekasi

Awal kejadian dihubungkan dengan perubahan frekuensi defekasi

Awal kejadian dihubungkan dengan adanya perubahan konsistensi feses

Gejala lain yang menunjang diagnosa penyakit IBS:
a. Ketidaknormalan frekuensi defekasi
b. Kelainan bentuk feses
c. Ketidaknormalan
proses
defekasi
(harus
dengan
mengejan,
inkontinensia defekasi, atau rasa defekasi tidak tuntas)
d. Adanya lendir
e. Kembung
Menurut Kusmobroto (2003), selain kriteria Roma II terdapat juga kriteria
Manning. Kriteria diagnosis IBS berdasarkan Kriteria Manning ialah:
Gejala yang sering didapat :

Feces cair dan nyeri

Frekuensi BAB bertambah pada saat nyeri

Nyeri kurang setelah BAB

Tampak abdomen distensi
Gejala tambahan yang sering muncul :

Lendir saat BAB

Perasaan tidak puas setelah BAB
9
Menurut Mansjoer (2002), berdasarkan perubahan pola buang air besar dan
bentuk tinja maka IBS dapat dikelompokkan menjadi 4 subtipe, yaitu:
1. IBS Diare
Pada IBS diare pola buang air besar menjadi lebih dari 3 kali sehari dengan
bentuk tinja lembek atau cair. Diare sering pada pagi hari dan sering dengan
urgensi. Biasanya disertai rasa sakit dan hilang setelah defekasi.
2. IBS Konstipasi
Pada IBS Konstipasi terjadi sembelit dengan pola buang air besar menjadi
kurang dari 3 kali seminggu dan bentuk tinja menjadi lebih keras. Terutama
pada wanita, defekasi tidak lampias, dan biasanya feces disertai lendir tanpa
darah.
3. IBS Alternating atau berganti-ganti
IBS alternating terjadi diare dan konstipasi secara bergantian dari waktu ke
waktu (pola defekasi yang berubah-ubah). Sering feces keras di pagi hari
diikuti dengan beberapa kali frekuensi defekasi dan feces menjadi cair pada
sore hari
4. IBS predominan nyeri perut :

Nyeri di fosa iliaka, tidak dapat dengan tegas menunjukkan lokasi sakitnya

Nyeri dirasakan lebih dari 6 bulan

Nyeri hilang setelah defekasi

Nyeri meningkat jika stress dan selama menstruasi
10

Nyeri dirasakan persisten dan ketika kambuh terasa lebih sakit
Selain gejala-gejala diatas, terdapat juga gejala lain yang sering ditemui, diantaranya:

Rasa penuh pada perut, kembung

Distensi abdomen

Mual dan muntah

Nafsu makan berkurang

Distress emosional, depresi
11
Tabel 1. Kriteria diagnosis Irritable bowel syndrome (IBS) (Kusmobroto, 2003)
G. Pemeriksaan Penunjang
Tidak terdapat pemeriksaan spesifik untuk menentukan diagnosis. Akan tetapi
untuk mencocokkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan diagnosis
diperlukan pemeriksaan laboratorium berupa darah perifer lengkap, biokimia darah,
dan pemeriksaan fungsi hati. Pemeriksaan endoskopi dan foto kontras dilakukan
untuk melihat apakah ada inflamasi pada kolon. Pasien di atas 50 tahun sebaiknya
dilakukan CT-Scan untuk mendeteksi adanya kanker kolon. Biasanya dilakukan
pemeriksaan darah, tinja dan sigmoidoskopi, untuk membedakannya dengan penyakit
peradangan pada usus dan berbagai kondisi yang menyebabkan nyeri perut dan
kebiasaan buang air besar. (Roger, 2001)
Hasil pemeriksaan feces biasanya normal, meskipun tinja lebih encer.
Sigmoidoskopi mungkin menyebabkan spasme otot dan nyeri, tetapi hasilnya
biasanya normal. Kadang digunakan pemeriksaan lain, seperti USG abdomen.
Diperlukan kewaspadaan klinis dan harus disingkirkan sindrom penyakit lain yang
punya gejala hampir sama. Pada semua kasus, sigmoidoskopi harus normal, begitu
juga enema barium, atau hanya menunjukkan spasme, selain itu riwayat pemakaian
obat yang dapat menyebabakan diare atau konstipasi juga perlu dicermati. Perlu
diperhatikan juga untuk melakukan pemeriksaan psikiatri, karena gangguan psikiatri
(psychosomatic) seringkali timbul pada pasien-pasien IBS. (Roger, 2001)
12
H. Penatalaksanaan
Pengobatan biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non farmakologis
dan terapi farmakologis. Penting diperhatikan pada penderita IBS adalah menjaga
hubungan yang baik antara dokter dan pasien, diberi penjelasan tentang penyakitnya
yang jinak dan prognosisnya yang baik. Karena sifat penyakitnya kronis, diperlukan
hubungan baik jangka panjang. Dokter tidak secara langsung menyatakan bahwa
penyebab penyakitnya adalah psikis atau emosi. Jadi sebaiknya dijelaskan hubungan
antara stress psikologis yang dapat memperberat gejala. (Camilleri, 2001)
a) Terapi Non-farmakologis
Diet
Sampai saat ini belum begitu jelas apakah diet mempunyai banyak efek pada
gejala-gejala dari IBS. Meskipun demikian, pasien seringkali menghubungkan gejalagejala mereka dengan makanan-makanan tertentu (seperti salad, makanan berlemak,
dll). Meskipun makanan-makanan tertentu mungkin memperburuk IBS, namun jelas
bahwa makanan bukanlah penyebab dari IBS, melainkan hanya sebagai faktor
pencetus dari IBS. (Camilleri, 2001)
Pasien IBS tipe konstipasi disarankan modifikasi diet dengan meningkatkan
konsumsi serat, namun hal ini tidak mengurangi nyeri perut. Konsumsi air dan
aktifitas olahraga yang rutin juga disarankan pada pasien IBS tipe konstipasi. Disisi
lain pasien dengan IBS tipe diare disarankan mengurangi konsumsi serat. Beberapa
13
makanan atau minuman tertentu juga dapat mencetuskan terjadinya IBS, oleh karena
itu harus dihindari oleh pasien. Beberapa makanan atau minuman tersebut antara lain
gandum, susu, kafein, bawang, coklat, dan beberapa sayur-sayuran, serta makanan
yang mengandung lactose. (Kenneth, 1999)
Biasanya jika keluhan menghilang setelah menghindari makanan dan
minuman yang dicurigai sebagai pencetus dapat dicoba untuk dikonsumsi lagi setelah
3 bulan dengan jumlah makanan yang diberikan secara bertahap. (Kenneth, 1999)
Psikoterapi
Perawatan-perawatan psikologi termasuk cognitive-behavioral therapy (CBT),
hypnosis, psychodynamic atau interpersonal psychotherapy, dan manajemen relaksasi
atau stress disarankan diberikan pada pasien IBS. Penelitian menunjukan bahwa
perawatan psikologis dapat mengurangi kecemasan (anxietas) dan gejala-gejala IBS
lainnya, terutama nyeri dan diare. Penjelasan atas penyakit IBS dan meyakinkan
bahwa IBS adalah penyakit yang dapat diobati serta tidak membahayakan kehidupan
merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan pasien. Pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
organik harus disampaikan untuk menambah keyakinan pasien akan kesembuhan
penyakitnya. (Camilleri, 2001)
b) Terapi Farmakologis
Obat-obatan yang diberikan pada IBS terutama untuk menghilangkan gejala
yang timbul antara lain nyeri abdomen, konstipasi, diare, dan anxietas.
14
Konstipasi (sembelit)
Sembelit disebabkan oleh pengangkutan (transit) yang lambat dari isi-isi usus
yang melalui usus, terutama usus besar. Transit yang lambat ini mungkin disebabkan
oleh fungsi abnormal dari otot-otot seluruh usus besar, otot-otot dari dubur (anus)
atau rectum. (Guyton, 1997)
Tegaserod suatu 5-HT4 reseptor agonis, merupakan obat IBS tipe konstipasi
yang relatif baru dan sudah beredar di Indonesia. Mekanisme tegaserod mengurangi
sembelit adalah mengkontrol kontraksi dari otot-otot usus halus. Kontraksi usus halus
yang lebih banyak dapat mempercepat transit makanan di usus halus, kontraksi yang
lebih sedikit memperlambat transit makanan di usus halus. Pada pasien-pasien
dengan sembelit, kontraksi-kontraksi usus halus lebih sedikit. Pemberian tegaserod
dapat meningkatkan kontraksi usus halus, sehingga mempercepat waktu transit
makanan di usus halus dan waktu transit feces di kolon. (Camilleri, 2001)
Satu faktor penting dalam kontrol kontraksi usus adalah serotonin. Serotonin
adalah suatu bahan kimia yang dihasilkan oleh syaraf-syaraf didalam usus. Serotonin
merupakan suatu neurotransmitter yang dapat berikatan dengan reseptor-reseptor
saraf. Ketika serotonin mengikat pada reseptor syaraf yang mengontrol kontraksikontraksi dari otot-otot usus, serotonin dapat meningkatkan atau mengurangi
kontraksi otot usus halus tergantung pada tipe dari reseptor yang diikat. Pengikatan
pada beberapa tipe reseptor menyebabkan kontraksi, dan pengikatan pada tipe-tipe
lain dari reseptor dapat mencegah kontraksi. (Guyton, 1997)
15
Reseptor 5-HT4 adalah suatu reseptor yang mencegah kontraksi usus halus
ketika serotonin berikatan pada reseptor tersebut. Tegaserod menghalangi reseptor 5HT4, mencegah serotonin mengikat padanya, sehingga meningkatkan kontraksi dari
otot-otot usus halus. Tegaserod juga mengurangi kepekaan dari syaraf nyeri di usus
halus, sehingga dapat mengurangi persepsi nyeri. Tegaserod diberikan dengan dosis
2x6 mg selama 10-12 minggu. (Camilleri, 2001)
Diare
Obat yang paling luas dipelajari untuk perawatan diare pada IBS adalah
loperamide. Loperamide bekerja dengan menghalangi (memperlambat) kontraksikontraksi dari otot-otot usus kecil dan usus besar. Loperamide 30% lebih efektif
daripada suatu placebo dalam memperbaiki gejala pada pasien IBS tipe diare.
Pemberian loperamide harus tepat dosis karena pemberian yang berlebihan dapat
menyebabkan konstipasi (sembelit), sehingga dosis harus diberikan secara hati-hati.
Dosis loperamid adalah 2x 16 mg sehari. (Quigley, 2003)
Alosetron digunakan untuk merawat diare dan ketidaknyamanan perut yang
terjadi pada wanita-wanita dengan IBS parah yang tidak merespon pada perawatanperawatan sederhana lainnya. Alosetron, seperti tegaserod, mempengaruhi reseptorreseptor serotonin. Alosetron menghalangi reseptor 5-HT3, suatu reseptor yang
menyebabkan kontraksi usus ketika serotonin mengikat padanya, sehingga dapat
menurunkan kontraksi usus. Penggunaan dari alosetron hanya diizinkan pada wanita16
wanita dengan IBS parah dengan keutamaan diare yang telah gagal merespon dengan
perawatan konvensional untuk IBS. Efek samping yang paling umum dengan
alosetron adalah sembelit. (Quigley, 2003)
Nyeri Perut
Obat yang sering digunakan untuk menghilangkan nyeri perut pada pasien
IBS adalah suatu kelompok dari obat-obat yang disebut smooth-muscle relaxants.
Otot saluran pencernaan terdiri dari suatu tipe otot yang disebut smooth muscle.
Berlawanan dengannya, otot-otot kerangka, seperti biceps, terdiri dari suatu tipe otot
yang disebut striated muscle. Obat-obat smooth muscle relaxant mengurangi
kekuatan kontraksi dari smooth muscles namun tidak mempengaruhi kontraksi otototot dari tipe lain. Smooth muscle relaxants 20% lebih efektif daripada suatu placebo
dalam mengurangi nyeri perut. (Camilleri, 2001)
Smooth muscle relaxants yang umum digunakan dan sudah beredar di
Indonesia antara lain, mebeverine 3 x 135 mg, hiosin N-butilbromida 3 x 10 mg,
alverine 3 x 30 mg, Chlordiazepoksid 5 mg/klidnium 2,5 mg 3 x1 tablet. (Sudoyo,
2006)
Obat-Obat Psikotropik
Pasien-pasien dengan IBS seringkali ditemukan menderita depresi, namun
tidak jelas apakah depresi adalah penyebab dari IBS, akibat dari IBS, atau tidak
berhubungan dengan IBS. Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa anti
depressants cukup efektif pada IBS dalam menghilangkan nyeri perut. Obat-obat
17
psikotropik
yang
umum
digunakan
diantaranya
tricyclic
anti
depressants, amitriptyline, fluoxetine. (Quigley, 2003)
I. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi dari penyakit-penyakit fungsional dari saluran
pencernaan secara relatif terbatas. Karena gejala-gejala paling sering diprovokasi oleh
makanan, pasien-pasien yang merubah diet-diet mereka dan mengurangi pemasukan
kalori-kalori mereka mungkin kehilangan berat badan. Selain itu, penyakit IBS sering
mengganggu kenyamanan pasien dan aktivitas-aktivitas harian mereka. Gangguan
pada aktivitas harian juga dapat menjurus pada persoalan hubungan antar pribadi,
terutama pada pasangan suami-istri.(Quigley, 2003)
J. Prognosis
Penyakit IBS tidak akan menigkatkan mortalitas, gejala-gejala pasien IBS
biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus, dan hanya
kurang dari 5% yang akan memburuk atau dengan gejala menetap. (Sudoyo, 2006)
18
DAFTAR PUSTAKA
Camilleri M. Management of The Irritable Bowel Syndrome. Gastroenterology 2001;
120: 652-68.
Guyton and Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta
Kenneth W Heaton and W Grant Thompson. Fast Facts - Irritable Bowel Syndrome
Indispensable Guides to Clinical Practice. Health Press Ltd, Oxford, 1999.
Kusumobroto H. Evidence Based Approach to The Management of Irritable Bowel
Syndrome. Konas XI PGI-PEGI, PIN XII PPHI, Malang, Juli 2003.
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. I., Setiowulan, W. 2002. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Peter Hayes dkk, 2000 Segi Praktis Gastroenterologi dan Hepatologi.
Quigley EMM. Current Concepts of Irritable Bowel Sindrome. Review. Scan J
Gastroenterol 2003; Suppl 237: 1-8.
Rahza P. 2007. Irritable Bowel Syndrome. Diakses dari www.scribd.com , tanggal 25
Januari 2012.
Roger Jones. Irritable Bowel Syndrome. Martin Dunitz Ltd, 2001.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV , 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
19
Download