KRITIK IBN TAIMIYYAH TERHADAP TASAWWUF Edi Kurniawan Farid∗ Abstrak: The critic of Ibn Taimiyah to tasawuf theory, there are some basic that can be held to see comprehensively the attitude of Ibn Taimiyah to teaching of sufistic community. according to Ibn Taimiyah, The validity of tasawuf as a way to assail a truth is not always can lead human to the truth, even, it will be impossible for human to know the truth as Allah Means. The life of tasawuf is fulfilled with the believed practice or worship is seen by him over reach the normative hint of aqidah tauhid or the true worshipping norm. the concept critic of Ibn Taimiyah is fully based to two things; those are lead tasawuf to lap of orthodox and shifting the attention of tasawuf from the system of personal development only, to the reconstruction of morality of in muslim social society. Keywords: Ibn Taimiyyah, Tasawuf, The critic of Ibn Taimiyah. ∗ Dosen Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan Genggong Kraksaan Pendahuluan Ibn Taimiyyah, seorang Hanbalian, dengan semangat yang meluap-luap melontarkan banyak tanggapan kritis. Sebagai seorang reformis, yang ingin memurnikan pelaksanaan ajaran Islam, ia memberikan kritik tajam terhadap prilaku dan pemikiran sufisme populer yang dianggapnya bertentangan dengan alQur’an dan al-Hadith. Namun tidak sebagaimana para ulama Hanbali yang dikenal anti-sufi, Ibn Taimiyyah tidaklah menyerang seluruh ajaran sufi. Dalam hal-hal tertentu ia sangat apresiatif terhadap tasawuf, kendati di saat yang sama ia mengutuk ritus-ritus tertentu kaum sufi, praktik pemujaan makam serta pengkultusan para wali mereka. Bahkan Ibn Taimiyyah beserta pengikutnya meneguhkan keseluruhan terminologi sufistik dengan mencoba memasukan ke dalamnya makna moral dan etos salafi. Studi tentang Ibn Taimiyyah bila dikaitkan dengan Tarekat, lebih banyak merupakan suatu kritik dibandingkan dengan konsep-konsep aplikasi ajaran Tarekat. Dalam banyak pemikiran yang berserakan, terdapat kecenderungan bahwa penilaian terhadap sosok Ibn Taimiyyah, seperti halnya juga dengan alGhazali, al-Syafi'i, lebih banyak menitikberatkan pada pemikirannya yang menonjol dan menjadi kecenderungannya. Al-Shafi'i diidentifikasi sebagai pemikir Fiqh, Al-Ghazali berkompeten dalam Tarekat, sedangkan Ibn Taimiyyah menduduki posisi yang tidak terlalu menonjol dalam bidang tertentu.1 Disini penulis mencoba untuk menguraikan tentang kritik seorang Ibn Taimiyyah terhadap tarekat, terutama seputar beberapa ajaran atau ritus yang dikembangkan banyak organisasi Sufi (tarekat) ketika model aktifitas keberagamaan ini telah menjadi gerakan yang sangat masif. Tulisan ini juga mensurvei model pengembangan tasawuf seperti apa kira-kira yang dikehendaki oleh Ibn Taimiyyah, sang formalist dan literalist Islam itu. Biografi Ibn Taimiyyah Ibn Taimiyyah atau Taqiy al-Din al-Abbas Ahmad b. Shaykh al-Allamah Shaykh al-Islam Madj al-Din Abi al-Barakat ‘Abd al-Salam b. Abi Muhammad ‘Abd Allah b. Abi al-Qasim al-Khidr b. ‘Ali b. ‘Abd Allah b. Taymiyah al-Harani2 dilahirkan di Harran, sebuah kota di Shiria Utara, pada tanggal 10 Rabi‘ al-Awwal 661/22 Januari 1263.3 Ia lahir dari keluarga dengan tradisi keilmuan cukup baik yang dapat ditelusuri mulai dari kakeknya, Majd al-Din Abu al-Barakat Abd alSalam (w 625 H/1270 M). Sementara putranya (ayah Ibn Taimiyyah), ‘Abd al- 1 . http://academia-mdz.blogspot.com/2008/11/pemikiran-tasawuf-ibnu-taimiyyah.html . Sabr al-Mutawalli, Manhaj Ibn Taimiyyah li Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm (Kairo: Alam al-Kutub, 1981). 3 . Henri Loust, “Ibn Taimiyyah,” The Encyclopedia of Islam, vol. 3, ed. Bernard Lewis ( Leiden: E. J. Brill, 1979), 951 2 Halim (w 682 H/1284 M), menjadi kepala sekolah ilmu hadith terkemuka di Damaskus. Pada usia dua puluh tahun ia sudah mulai aktif menulis dalam berbagai bidang ilmu keagamaan, terutama yang berhubungan dengan Shari'ah, Ibadah, dan tak kalah pentingnya adalah Tauhid. Ia sering diundang dalam pertemuan polemik dan debat dalam soal-soal agama di Damaskus. Keahliannya ini akhirnya ia mendapatkan gelar Shaikh. Sepeninggal ayahnya, ia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru Hadith dalam sebuah madrasah di Damaskus. Ketekunannya dalam ilmu tidak menjadikannya lupa pada dunia luar. Ia juga sering turut dalam peperangan melawan kehadiran tentara Mongol di Damaskus. Berbeda dengan ulama-ulama pada umumnya di zamannya, ia menolak untuk terlalu dekat dengan penguasa. Sebab menurutnya hal itu akan membawanya lupa kepada misi keilmuan dan nuraninya. Ketegasan dan ketegarannya dalam menentang praktek bid'ah mengakibatkan ia sering difitnah dan dipenjara beberapa kali.4 Konsep Tarekat Ibn Taimiyyah Kendati terkesan agak kompleks, penilaian Ibn Taimiyyah atas tasawuf secara keseluruhan relatif wajar dan adil. Sikapnya moderat antara para penentang tasawuf dan pemujanya. Baginya, para sufi adalah golongan yang sungguhsungguh mendekatkan diri kapada Allah sebagaimana juga ahl al-fiqh, pedagang yang jujur, serta penguasa yang adil dan amanah. Termasuk dalam kriteria ini adalah para prajurit yang berjuang di medan laga untuk mempertahankan agama Allah. Baginya, mereka itu adalah orang-orang yang benar (shiddiqîn) sepanjang berlaku sesuai tuntutan shari’ah. Dengan kata lain, tasawuf bukan satu-satunya cara mendekati Allah. Kriteria penilaian Ibn Taimiyyah atas tasawuf itu memang sepenuhnya didominasi oleh keutamaan shari’ah. Implementasi praktis dari sikap demikian adalah upaya untuk sedapat mungkin mengarahkan kembali tasawuf ke pangkuan ortodoksi. Artinya tasawuf hendak disesuaikan dengan apa yang diajarkan oleh Rasul serta para sahabatnya yang saleh (al-salaf al-shâlih). Sikap tersebut tampaknya lebih dipengaruhi oleh corak berpikir gurunya, Ahmad bin Hanbal, pendiri madhhab Hanbali, yang penghampiran metodisnya atas agama menolak otoritas manapun kecuali al-Qur’an dan al-Sunnah. Konsekuensi logis dari metode berpikir demikian, antara lain, ia menjadi amat kritis terhadap tasawuf, terutama beberapa gagasan dalam al-Tas}awwuf alFalsafî. Inilah faktor internal yang tanpaknya membentuk pola pikir Ibn Taimiyyah dalam menilai tasawuf. 4 . http://academia-mdz.blogspot.com/07Nov2008 Menurut Ibn Taimiyyah dalam kehidupan tasawuf banyak praktik-praktik keimanan maupun ibadah yang dipandang telah melampaui acuan-acuan normatif aqidah tauhid atau norma-norma ibadah yang benar, sehingga menimbulkan problem-problem yang bersifat teologis-ritualis.5 Tentang keabsahan tasawwuf sebagai jalan menempuh kebenaran, menurutnya tidak selamanya metode tasauf dapat mengantarkan pada kebenaran, bahkan mustahil manusia bisa mengetahui kebenaran sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah. Bahkan makrifah, sesuatu yang sering disebut-sebut sebagai tujuan akhir kegiatan tasawuf, juga tidak dapat mengantarkan pada kebenaran. Menurutnya, tujuan akhir kehiduan manusia adalah ibadah. Baginya tasauf memang dapat mengantarkan seseorang pada pembersihan jiwa (tazkiyah), namun posisinya sama dengan prilaku moralitas pada umumnya, dimana seseorang yang memiliki akhlak yang tinggi akan membantu pembersihan jiwanya. Kashf sebagai pengalaman religius semestinya dibawa pada tingkat intelektual yang dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun ia mengakui keabsahan metode eksperimental tasawuf, tapi ia menyarankan agar tasawuf juga mempergunakan validitas eksternal untuk menguji kebenaran konsepnya. Satu hal yang menurutnya amat membahayakan adalah konsep Wahdah al-Wujud, yang cenderung mengaburkan perbedaan antara khaliq dengan mahluk. Ekses dari konsep tersebut ternyata banyak disalahgunakan, misalnya, bila seseorang (Wali, Shaikh) telah mengganggap dirinya sampai pada tingkat ittihad, maka ia berada di luar batas-batas ketentuan Shariah. Terhadap ini, ia mengemukakan beberapa konsep kunci, antara lain tentang wali.6 Baginya kewalian bukan sesuatu yang tetap, tetapi relatif. Seseorang yang dekat dengan Allah, karena ketaatan dan kesuciannya, akan mengantarkannya pada kedudukan wali. Kebalikannya adalah bila seseorang berbuat maksiat, sesuatu yang dilarang dalam agama, maka orang tersebut dapat kehilangan kedudukannya sebagai wali (kekasih Allah). Yang kedua, adalah praktek Tasawuf (Tarekat). Ia antara lain mengakui bahwa wali mempunyai karomah, tetapi hal tersebut tidak menjamin orang tersebut ma’s}um dari kesalahan, dan tidak terbebas dari shari'ah. Baginya karomah tidak lebih afd{al dari istiqomah. Ia menentang adanya praktek memintaminta di kubur Nabi atau orang-orang S{aleh. Sebab hal tersebut tidak sejalan dengan konsep ibadah, dimana seharusnya orang yang memerlukan pertolongan kepada Allah, langsung berdo'a kepadanya, tanpa perantaraan siapapun. Demikian juga ziarah kubur dengan maksud taqarrub kepada Allah. Menurutnya taqarrub 5 . Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah atas Rancang Bangun Tasawuf, (Surabaya: JP Books, 2007), 117 6 . Ibnu Taimiyyah, Al-'Ubudiyyah, Al-Maktab al-Islamy, Beirut, 1399 H, hal 66. kepada Allah dapat dilakukan dengan mengamalkan amalan-amalan wajib maupun sunnah. Mengenai cinta pada Allah, ia memberikan konsep adanya beberapa tingkatan cinta, mulai dari hubungan hati, curahan hati, pengorbanan, rasa rindu, dan terakhir adalah penghambaan. Untuk mendapatkan cinta Allah, maka jalan satu-satunya adalah dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya. Di sinilah letak arti pentingnya jihad sebagai konsekuensi cinta Allah. Dalam kaitan ini ia mengemukakan adanya mahabbah yang sesat, yakni dengan menghilangkan kewajiban ubudiyah, serta meminta sesuatu pada Allah yang tidak layak. Dalam kerangka pembersihan jiwa, maka cara yang ampuh adalah dengan menundukkan pandangan (fungsi pengekangan), serta menjauhi perbuatan-perbuatan keji. Mengenai Fana', ia mengatakan bahwa fenomena fana' yang sering dialami oleh shekh-shekh tarekat, bukan sesuatu yang dibutuhkan. Secara umum, penolakan tas}awwuf Ibn Taimiyyah dilatarbelakangi oleh kondisi kaum Muslimin pada masanya sudah tidak responsif terhadap tantangan zamannya, karena mereka salah memahami potensi Islam yang sebenarnya, sehingga Islam kehilangan relevansinya dengan dinamika kehidupan yang selalu berubah dan berkembang. Pasalnya adalah, karena umat Islam saat itu telah sedemikian absolute dan beku (Jumud) dalam keberagamannya, sebab telah terpatri dengan praktik dan tradisi taqlid serta penerimaan keberagaman yang taken for granted tanpa pemikiran kritis, meskipun dipenuhi bid’ah dan khufarat. Dengan gagasannya yang ingin selalu mendekatkan tasawuf dengan shari’ah dan melucutinya dari unsur-unsur esktatik dan metafisis-spekulatifnya, serta penekanannya untuk memandang lebih positif terhadap dunia membuat konsep sufismenya cenderung aktif dan dinamis. Berangkat dari kritik konsepnya terhadap tasawuf yang demikian itu, banyak kemudian orang yang mengatakan bahwa Ibn Taimiyyah adalah penganjur suatu “jenis kesufian baru”, yang oleh sebagian sarjana masa kini disebut “neo-sufisme.” Gagasan demikian sangatlah wajar jika dikaitkan dengan kondisi sosiokultur pada masanya yang menuntut Ibn Taimiyyah melakukan reformasi atas keseluruhan social-order kaum muslimin. Fragmentasi politik di tingkat elit dan ketidakberdayaan yang terselubung dalam praktik-praktik asketik di tingkat akarrumput (grass-roots) telah membuat umat Islam masa itu menjadi rentan terhadap serangan bangsa Mongol dari Timur dan tentara Salib dari Utara/Barat. Itulah faktor eksternal yang secara tidak langsung turut mempengaruhi pandangan tasawuf Ibn Taimiyyah. Pendek kata ia tidak ingin umat Islam larut dalam dunia “ke-zuhud-an”, sementara aspek-aspek lain kemasyarakatan terabaikan. Ibnu Taimiyyah menawarkan satu konsep sufi yang berdasarkan kepada alQur’an dan al-Sunnah. Baginya, gerakan sufisme yang saat itu berkembang (Popular Sufism) sudah harus dikembalikan kepada yang standar dan mainstream (berdasar al-Quran dan as-Sunnah), karena memang obsesi keislamannya adalah kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam “tatapan langsung” yang artinya menekankan ke-Maha-Hadir-an Tuhan. Tuhan Yang Serba Hadir, Yang Selalu Ada bersama kita adalah bagian dari tema-tema sufi. Inilah yang oleh Fazlurrahman disebut sebagai neo-sufisme yang dikehendaki oleh Ibn Taimiyyah. Atau oleh Hamka, istilah neo-sufisme ini disebut dengan istilah Tas}awwuf Modern. Yaitu semacam suatu pandangan kesufian yang relevan dengan kehidupan masa kini. Ada dua hal yang menjadi ciri utama neo-sufisme yang dikehendaki Ibn Taimiyah, Pertama, Tauhid, dalam arti paham ketuhanan yang semurni-murninya, yang tidak mengizinkan adanya mitologi terhadap alam dan sesama manusia. Termasuk juga paham kultus yang dipraktekkan oleh banyak kalangan. Kedua, tanggung jawab pribadi dalam memahami agama. Tidak boleh “pasrah” kepada otoritas orang lain betapa pun tinggi ilmu dan kedekatannya dengan Tuhan dalam bentuk taqlid buta.7 Kewajiban seorang Salik orang yang berjalan menuju Tuhan agar mengenal Sang Pencipta (Ma’rifat al-Shani) sehingga dapat beramal dan berubudiyah secara ikhlas, Ibn Taimiyyah menegaskan dalam kitabnya al-Istiqamah: “Ini (mengenal sang Pencipta) termasuk di antara pokok-pokok Aqidah Ahl as-Sunnah dan imam-imam para Sheikh, khususnya shekh-shekh sufi, karena pokok pangkal tarekat para sufi adalah kehendak (al-Iradah), yang merupakan fondasi amal. Mereka dalam hal kehendak, ibadah, amal dan akhlak lebih besar ketehuhannya daripada dalam hal perkataan dan ilmu pengetahuannya. Mereka dengan semua itu lebih besar perhatiannya dan lebih banyak pemeliharaanya. Orang yang belum memasuki semua itu tidak dapat serta merta menjadi ahli tarekat mereka." Dalam kitabnya yang lain al-Hasanah wa al-Sayyiah, Ibn Taimiyyah menegaskan lebih lanjut bahwa orang yang mengikuti Imam al-Junaid adalah orang yang memperoleh hidayah, selamat dan bahagia: “Barang siapa menempuh jalan yang ditempuh oleh al-Junaid yang merupakan salah seorang pakar tasawuf dan ma’rifah, maka ia benar-benar telah mendapat hidayah, selamat dan bahagia."8 Ibn Taimiyyah memuji dan membela shekh-shekh tarekat, seperti: Abu Yazid al-Bust}ami, Shekh Abd al-Qadir al-Jailani, dan bahkan juga Imam alGhazali. Tentang Shekh Abd al-Qadir al-Jailani, misalnya, Ibn Taimiyyah menggambarkannnya sebagai berikut: 7 8 . http://asnawiihsan.blogspot.com/2008/03/ibnu-taymiyah-dan-sufisme.html . attachment:/155/tarekat-dalam-pandangan-ibn-taimiyah.html “Shekh Abd al-Qadir al-Jailani, misalnya, Ibn Taimiyyah menggambarkannya sebagai berikut: “Shekh Abd al-Qadir al-Jailani dan Shekh tarekat seperti beliau merupakan shekh yang paling gigih memerintahkan menetapi syara’, perintah dan larangan, serta mengedepankan agar meninggalkan keinginan dan kehendak nafsu, karena kesalahan dalam berkehendak dilihat dari segi kehendak itu sendiri hanya terjadi dari sisi hawa nafsu ini. Beliau memerintahkan seorang salik ‘murid yang menempuh suluk (perjalanan) menuju Tuhan’ agar tidak memiliki sama sekali kehendak yang bersumber dari hawa nafsu melainkan ia berkehendak sesuai dengan yang dikehendaki Allah ‘Azza wa Jalla.” Pada bagian sebelumnya sudah disinggung bahwa Ibn Taimiyyah menyebut para sufi sebagai Ahl al-Ulum al-Qulub ‘pakar-pakar ilmu hati yang bebas dari bid’ah (d}o}lalah) ketika ia mengatakan: “Perkataan pakar-pakar ilmu hati dari kalangan sufi dan yang selain mereka, seperti Abu Hamid al-Ghazali pula Ibn Taimiyyah mengutip pernyataan yang mengukuhkan kebenaran tarikat para sufi: “Tarekat para sufi adalah tujuan (ghayah), karena mereka menyucikan kalbu mereka dari hal-hal selain Allah dan memenuhinya dengan dhikrullah; dan ini merupakan prinsip dakwah para rasul. Pengakuan Ibn Taimiyyah mengenai kebenaran tarekat para sufi juga mencuat dari pernyataanya yang dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Sharh al-‘Aqidah al-Is}fahaniyah, yaitu ketika ia berbicara tentang mu’jizat para nabi: “ Tidak ada jalan bagi akal untuk memahami mukjizat para nabi hanya dengan komoditi akal semata. Hal-hal lain dari keistimewaan para nabi hanya dapat dipahami dengan rasa oleh orang yang menempuh tarekat tasawuf…”9 Selain dari apa yang telah dibicarakan di atas, patut kiranya kita untuk mengetahui pola kehidupan Ibn Taimiyyah dalam soal Tarekat ini. Salah satu yang menarik dari hasil penelitian terhadap dirinya adalah, bahwa ia merupakan penganut Tarekat Qadiriyah.Dalam beberapa karangannya ia seringkali menyebut Abdul Qadir Jaelani, dengan sebutan Shekh Abdul Qadir Jaelani, yang alim, zuhud, shaleh, bebas dari segala macam bid'ah dan kesesatan. Bukti eksternal juga menunjang hal ini. Dalam penelitiannya George Makdisi mendapati adanya silsilah Tarekat sebagai berikut : 1. Abd. Qadir al-Jilli (w.561) 2. Abu Umar ibn Qudama (w.607) 3. Muwaffaq ad-Din ibn Qudama(w.620) 4. Ibn Abi Umar ibn Qudama (w.682) 5. Ibn Taimiyyah (w.728) 6. Ibn Qayyim al-Jauziya (w.751) 9 . http://muhammadghozaly.wordpress.com/11Nov2010 7. Ibn Rajab (w.795)10 Terhadap adanya silsilah tersebut, maka berarti Ibn Taimiyyah adalah merupakan seorang guru (Shaikh) Tarekat. Tetapi mungkin juga ada orang yang berusaha memasukkan namanya agar aliran ini menjadi populer. Bila memang silsilah tersebut benar adanya, maka kemungkinannya, praktek tarekat pada waktu itu berbeda dengan praktek kebanyakan tarekat seperti yang kita kenal sekarang ini. Penutup Bahwa pemikiran Ibn Taimiyyah pada dasarnya berusaha mengembalikan arus pemikiran Islam yang sudah terdiferensiasi ke dalam beberapa jalur yang saling bertolakbelakang, mulai dari pemikiran Kalam Mu'tazilah, Asy'ariyah, Falsafah, Fiqh maupun Sufisme. Momentum pemunculan pemikirannya itu memang bertepatan dengan fenomena sosial dan politik dunia Islam abad keempatbelas yang suram. Ibnu Taimiyyah adalah seorang Neo-Sufisme, dengan cara mengembalikan Sufisme ke dalam pangkuan Tauhid, dengan konsep-konsep salaf seperti Ibadah, Iman, dan Akhlak. Meskipun Ibnu Taimiyyah tidak membawa gerakan besar, tetapi pengaruhnya cukup luas, bukan hanya di jazirah Arab, tetapi sampai ke negara-negara lain. 10 . George Makdisi, Ibnu Taimiyyah: A Sufi of The Qadiriya Order, American Journal of Arabic Studies, 1961, hal 79. DAFTAR PUSTAKA Makdisi, George, Ibn Taimiyyah:” A Sufi of The Qadiriya Order”, American Journal of Arabic Studies, 1961, Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah atas Rancang Bangun Tasawuf, Surabaya: JP Books, 2007, Mutawalli (al), Sabr, Manhaj Ibn Taimiyyah li Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm Kairo: Alam al-Kutub, 1981. Taimiyyah, Ibn, Al-'Ubudiyyah, Al-Maktab al-Islamy, Beirut, 1399 H, attachment:/155/tarekat-dalam-pandangan-ibn-taimiyyah.html http://academia-mdz.blogspot.com/ http://asnawiihsan.blogspot.com/ Loust, Henri, “Ibn Taimiyyah,” The Encyclopedia of Islam, vol. 3, ed. Bernard Lewis, Leiden: E. J. Brill, 1979,