Materi 5 Kajian Ayat : BERLAKU ADIL DAN JUJUR A. QS Al Maaidah (5) : 8-10 1. Redaksi Ayat 2. Terjemah 8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 9. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. 10. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka. 3. Makna Mufrodat Surah an-Nisa [4]: 135 memiliki redaksi yang serupa dengan ayat di atas, hanya saja di sana dinyatakan ( )كونوا قوامني ابلقسط هطاءال هkûnû qawwâmîna bil qisth syuhadâ lillah, sedangkan ayat di atas berbungi ( )كونطوا قطوامني ه هطاءال ابلقسطkûnû qawwâmîna lillah syuhadâ bil qisth. Perbedaan redaksi boleh jadi disebabkan karena ayat surah an-Nisa' di atas dikemukakan dalam konteks ketetapan hukum dalam pengadilan yang disusul dengan pembicaraan tentang kasus seorang muslim yang menuduh seorang Yahudi secara tidak sah, selanjutnya dikemukakan uraian tentang hubungan pria dan wanita, sehingga yang ingin 94 digarisbawahi oleh ayat itu adalah pentingnya keadilan, kemudian disusul dengan kesaksian. Karena itu redaksinya mendahulukan kata al-qisth (adil), baru kata syuhada' (saksi-saksi). Adapun pada ayat al-Ma'idah ini, maka ia dikemukakan setelah mengingatkan perjanjian-perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya, sehingga yang ingin digarisbawahi adalah pentingnya melaksanakan secara sempurna seluruh perjanjian itu, dan itulah yang dikandung oleh kata qawwâmîna lillah. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat surah an-Nisa' dikemukakan dalam konteks kewajiban berlaku adil terhadap diri, kedua orang tua dan kerabat, sehingga wajar jika kata al-qisth/keadilan yang didahulukan, sedang ayat al-Ma'idah di atas, dikemukakan dalam konteks permusuhan dan kebencian, sehingga yang perlu lebih dahulu diingatkan adalah keharusan melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, karena hal ini yang akan lebih mendorong untuk meninggalkan permusuhan dan kebencian. Kata ( )أصطابashhâb adalah bentuk jamak dari kata ( )صطببshâhib/ yang menemani (teman). Yang menemani selalu bersama orang yang ditemaninya, sehingga ashhâb an-nâr, adalah orang-orang yang selalu menemani dan ditemani oleh api neraka, tidak pernah terlepas atau dapat melepaskan diri darinya. Itulah yang dimaksud dengan terjemahan penghuni neraka. 4. Analisa Kandungan Ayat Ayat ini menyeru : "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi Qawwamin, yakni orang-orang yang selalu dan bersungguh-sungguh menjadi pelaksana yang sempurna terhadap tugas-tugas kamu, terhadap wanita dan lain-lain dengan menegakkan kebenaran demi karena Allah, serta menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, baik terhadap keluarga istri kamu yang Ahl al-Kitab itu, maupun terhadap selain mereka. Berlaku adillah, terhadap siapa pun walau atas dirimu sendiri karena ia, yakni adil itu lebih dekat kepada takwa yang sempurna, dari pada selain adil. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Di atas dinyatakan bahwa adil lebih dekat kepada takwa. Perlu dicatat bahwa keadilan dapat merupakan kata yang menunjuk substansi ajaran Islam. Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai tuntunan tertinggi, Islam tidak demikian. Ini, karena kasih dalam kehidupan pribadi apalagi masyarakat, dapat berdampak buruk. Bukankah jika Anda merasa kasihan kepada seorang penjahat, Anda tidak akan menghukumnya ? Adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Jika seseorang memerlukan kasih, maka dengan berlaku adil Anda dapat mencurahkan kasih kepadanya. Jika seseorang 95 melakukan pelanggaran dan wajar mendapat sanksi yang berat, maka ketika itu kasih tidak boleh berperanan karena ia dapat menghambat jatuhnya ketetapan hukum atasnya. Ketika itu yang dituntut adalah adil, yakni menjatuhkan hukuman setimpal atasnya. Setelah pada ayat 8 Allah memerintah dan melarang, kini melalui kedua ayat 9 dan 10 Allah menggembirakan dan mengancam, dengan menyatakan : Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang sesuai dengan isi hati mereka dan membuktikannya dengan beramal saleh, bahwa untuk mereka ampunan terhadap dosadosa mereka dan pahala yang besar, baik di dunia lebih-lebih di akhirat sebagai buah dan imbalan amal-amal baik mereka. Adapun orang-orang yang kafir, yang menolak ajakan Rasul dan mendustakan ayat-ayat Kami, yang disampaikan oleh para Rasul maka mereka itu – yang ditunjuk oleh ayat ini – bukan selain mereka yang sangat jauh dalam kekafirannya, serta amat jauh dari rahmat Allah, adalah penghuni-penghuni neraka. Janji Allah pasti ditepati-Nya. Karena sebab-sebab pengingkaran janji tidak dapat menyentuh Allah. Biasanya seseorang tidak memenuhi janjinya jika ia tidak tahu apa yang akan terjadi, atau tidak mampu memenuhi janjinya, atau takut dan ada kepentingan yang lain. Hal-hal tersebut tidak mungkin menyentuh Allah SWT sedikit pun, dan karena itu pasti janji-Nya yang baik terpenuhi. Memang janji-Nya yang berupa ancaman dapat tidak dipenuhi-Nya, bukan karena hal-hal di atas, tetapi karena kasih sayang-Nya. Ancaman-Nya pun ketika disampaikan-Nya antara lain sekadar bertujuan menakutnakuti, agar manusia menghidari apa yang dilarang-Nya. Ancaman yang dibatalkan, pada saat seseorang mampu menjatuhkannya merupakan salah satu hal yang terpuji. 5. Hikmah Kandungan Ayat a. Allah SWT menyeru kepada setiap mu'min menjadi penyebar keadilan di mana dan kapan pun. Karena bersikap adil, akan lebih mendekatkan pada sikap takwa, sebagai wujud keyakinan bahwa Allah SWT melingkupi segala perbuatan manusia. b. Kesadaran atas sikap berlaku adil menyangkut diri dan orang lain membawa dampak langsung bagi kebaikan balasan kelak di hari pembalasan. Dan begitu pula sebaliknya. c. Kesadaran akan bersikap adil yang menyangkut pribadi sebagai saksi di pengadilan menjadikan pribadi itu termasuk kelompok orang-orang yang percaya diri dengan mantap dan termasuk orang-orang yang menghalangi/mencegah kerusakan masyarakat, menyangkut hasil dari proses pengadilan. B. QS An Nahl (16) : 90-92 1. Redaksi Ayat 96 2. Terjemah 90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. 91. dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. 92. dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. 3. Makna Mufrodat Kata ( )العطءal-'adl terambil dari kata ( ' )عطءadala yang terdiri dari huruf-huruf 'ain, dal dan lam. Rangkaian huruf-huruf ini mengandung dua makna yang bertolak belakang, yakni lurus dan sama serta bengkok dan berbeda. Seseorang yang adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah 97 yang menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. Beberapa pakat mendefinisikan adil dengan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantar kepada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Ada juga yang menyatakan bahwa adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya, melalui jalan yang terdekat. Ini bukan saja menuntut seseorang memberi hak kepada pihak lain, tetapi juga hak tersebut harus diserahkan tanpa menunda-nunda. "Penundaan utang dari seseorang yang mampu membayar hutangnya adalah penganiayaan." Demikian sabda Nabi SAW. Ada lagi yang berkata adil adalah moderasi : "tidak mengurangi tidak juga melebihkan," dan masih banyak rumusan yang lain. Kata ( )اإلبسطبal-ihsân menurut ar-Raghib al-Ashfahani digunakan untuk dua hal, pertama memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua, perbuatan baik. Karena itu – lanjutnya – kata ihsan lebih luas dari sekadar "memberi nikmat atau nafkah." Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna adil, karena adil adalah "memperlakukan orang lan sama dengan perlakuannya terhadap Anda," sedang ihsan adalah "memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda." Adil adalah mengambil semua hak Anda dan atau memberi semua hak orang lain, sedang ihsan adalah memberi lebih banyak daripada yang harus Anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya Anda ambil. Kata ( )إيتطبلîtâ' / pemberian mengandung makna-makna yang sangat dalam. Menurut pakar bahasa Al-Qur'an, ar-Raghib al-Ashfahan, kata ini pada mulanya berarti "kedatangan dengan mudah." Al-Fairuzabadi dalam kamusnya menjelaskan sekian banyak artinya, antara lain, istiqâmah (bersikap jujur dan konsisten), cepat, pelaksanaan secara amat sempurna, memudahkan jalan mengantar kepada seorang agung lagi bijaksana, dan lain-lain. Dari maknamakna tersebut dapat dipahami apa sebenarnya yang dikandung oleh perintah ini dan apa yang seharusnya dilakukan oleh sang pemberi, serta bagaimana seyogyanya sikap kejiwaannya ketika memberi. Kata ( )الفاشطبلal-fahsyâ'/ keji adalah nama bagi segala perbuatan atau ucapan, bahkan keyakinan yang dinilai buruk oleh jiwa dan akal yang sehat, serta mengakibatkan dampak buruk bukan saja bagi pelakunya tetapi juga bagi lingkungannya. Kata ( )املنكطal-munkar/ kemungkaran dari segi bahasa, berarti sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari. Itu sebabnya ia diperhadapkan dengan kata al-ma'rûf/ yang dikenal. 98 Dalam bidang budaya kita dapat membenarkan ungkapan :"Apabila ma'ruf sudah jarang dikerjakan, ia bisa beralih menjadi munkar, sebaliknya bila munkar sudah sering dikerjakan ia menjadi ma'ruf." Ibn Taimiyah mendefinisikan munkar, dari segi pandangan syariat sebagai Segala sesuatu yang dilarang oleh agama. Dari definisi ini dapat disimak bahwa kata munkar lebih luas jangkauan pengertiannya dari kata ma'shiyat/ kedurhakaan. Binatang yang merusak tanaman, merupakan kemungkaran, tetapi bukan kemaksiatan, karena binatang tidak dibebani tanggung jawab, demikian juga meminum arak bagi anak kecil, adalah mungkar, walau apa yang dilakukannya itu – melihat usianya – bukanlah maksiat. Sesuatu yang mubah pun, apabila bertentangan dengan budaya, dapat dinilai mungkar, seperti misalnya bergandengan tangan dengan sangat mesra dengan istri sendiri di depan umum apabila dilakukan dalam suatu masyarakat yang budayanya tidak membenarkan hal tersebut. Munkar bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap Allah, baik dalam bentuk pelanggaran ibadah, perintah nonibadah, dan ada juga yang berkaitan dengan manusia, serta lingkungan. Bahwa al-munkar, adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. ia adalah lawan ma'ruf yang merupakan sesuatu yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat selama sejalan dengan al-khair. Kata ( )البغطal-baghy/ penganiayaan terambil dari kata bagha yang berarti meminta/menuntut, kemudian maknanya menyempit sehingga pada umumnya ia digunakan dalam arti menuntut hak pihak lain tanpa hak dan dengan cara aniaya/tidak wajar. Kata tersebut mencakup segala pelanggaran hak dalam bidang interaksi sosial, baik pelanggaran itu lahir tanpa sebab, seperti perampokan, pencurian, maupun dengan atau dalih yang tidak sah, bahkan walaupun dengan tujuan penegakan hukum tetapi dalam pelaksanaannya melampaui batas. Tidak dibenarkan memukul seseorang yang telah diyakini bersalah sekalipun dalam rangka memperoleh pengakuannya. Membalas kejahatan orang pun tidak boleh melebihi kejahatannya. Dalam konteks ini Al-Qur'an mengingatkan pada akhir surah ini bahwa : "Apabila kamu membalas maka balaslah persis sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kamu (QS. An-Nahl [16]: 128). Kejahatan al-baghy pun sebenarnya telah dicakup oleh kedua hal yang dilarang sebelumnya. Tetapi di sini ditekankan, karena kejahatan ini – secara sadar atau tidak – sering kali dilanggar. Dorongan emosi untuk membalas, bahkan keinginan menggebu 99 untuk menegakkan hukum serta kebencian yang meluap kepada kemungkaran, sering kali mengantar seorang yang taat pun – tanpa sadar – melakukan al-baghy. Firman-Nya : ( )لعلكط ذططوكla'allakum tadzakkarûn / agar kamu dapat selalu ingat yang menjadi penutup ayat ini dapat dipahami sebagai isyarat bahwa tuntunan-tuntunan agama, atau paling tidak nilai-nilai yang disebut di atas, melekat pada nurani setiap orang, dan selalu didambakan wujudnya, karena itu nilai-nilai tersebut bersifat universal. Pelanggarannya dapat mengakibatkan kehancuran kemanusiaan. Yang dimaksud dengan ( )ذنقضطواtanqudhû/ membatalkan adalah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kandungan sumpah/janji. Yang dimaksud dengan ( )بعاطء هbi 'ahd Allah/ perjanjian Allah dalam konteks ayat ini antara lain, bahkan terutama adalah bai'at yang mereka ikrarkan di hadapan Nabi Muhammad saw. untuk tidak mempersekutukan Allah SWT serta tidak melanggar perintah Nabi SAW. yang mengakibatkan mereka durhaka. Janji dan atau sumpah yang menggunakan nama Allah yang kandungannya demikian, seringkali dilaksanakan oleh para sahabat Nabi SAW. sejak mereka masih di Mekkah, sebelum berhijrah. Memang redaksi ayat ini mencakup segala macam janji, sumpah, serta ditujukan kepada siapa pun dan di mana pun mereka berada. Firman-Nya ( )بعطء ذوكدطء بba'da taukîdihâ ada yang memahaminya dalam arti sesudah kamu meneguhkannya. Atas dasar itu yang jelas maksud meneguhkan/peneguhan tersebut adalah menjadikan Allah SWT sebagai saksi dan pengawas atas sumpah dan janji-janji manusia. Ayat ini menekankan perlunya menepati janji, memegang teguh tali agama serta menutup rapat-rapat semua usaha musuh-musuh Islam yang berupaya memurtadkan kaum muslimin, sejak masa Nabi SAW. di Mekah hingga masa kini dan mendatang. Kata ( )دخطاdakhalan dari segi bahasa berarti kerusakan, atau sesuatu yang buruk. Yang dimaksud di sini adalah alat atau penyebab kerusakan. Ini karena dengan bersumpah seseorang menanamkan keyakinan dan ketenangan di hati mitranya, tetapi begitu dia mengingkari sumpahnya, maka hubungan mereka menjadi rusak, tidak lain penyebabnya kecuali sumpah itu yang kini telah diingkari. Dengan demikian, sumpah menjadi alat atau sebab kerusakan hubungan. Kata ( )أرىبarbâ terambil dari kata ( )ال بطوar-rubwu yaitu tinggi atau berlebih. Dari akar yang sama lahir kata riba yang berarti kelebihan. Kelebihan dimaksud bisa saja dalam arti 100 kuantitas, sehingga bermakna lebih banyak bilangannya, atau kualitasnya, yakni lebih tinggi kualitas hidupnya dengan harta yang melimpah dan kedudukan yang terhormat. 4. Asbabun Nuzul Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (ayat 91) turun sebagai perintah untuk mematuhi bai'at pada Nabi SAW (masuk Islam). Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Buraidah. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa sa'idah Al-Asadiyah gila, yang kerjanya hanya mengepang dan mengurai kembali rambutnya berulang kali. Ayat ini (ayat 92) turun sebagai perumpamaan kepada orang-orang yang selalu mengikat janji tapi tidak menepatinya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abu Bakar bin Abi Hafsh. 5. Analisa Kandungan Ayat Ayat ini dinilai oleh para pakar sebagai ayat yang paling sempurna dalam penjelasan segala aspek kebaikan dan keburukan. Allah SWT berfirman sambil mengukuhkan dan menunjuk langsung diri-Nya dengan nama yang teragung guna menekankan pentingnya pesan-pesan Allah yang secara universal bersesuaian dengan nurani setiap manusia. Manusia dituntut untuk menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak dan dirinya (QS. An Nisa [4] : 135), bahkan terhadap musuhnya sekalipun (QS. Al-Ma'idah [5]: 8). Keadilan pertama yang dituntut adalah dari diri dan terhadap diri sendiri dengan jalan meletakkan syahwat dan amarah sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama, bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agamanya. Karena jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar. Ihsan adalah puncak kebaikan amal perbuatan. Terhadap hamba, sifat perilaku ini tercapai saat seseorang memandang dirinya pada diri orang lain sehingga dia memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuk dirinya; sedang ihsan antara hamba dengan Allah adalah leburnya dirinya sehingga dia hanya "melihat" Allah SWT. Karena itu pula ihsan antara hamba dengan sesama manusia adalah bahwa dia tidak melihat lagi dirinya dan hanya melihat orang lain itu. Siapa yang melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat dirinya pada saat beribadah kepada Allah maka dia itulah yang dinamai muhsin, dan ketika itu dia telah mencapai puncak dalam segala amalnya. Hakikat makna di atas, sejalan dengan penjelasan Rasul SAW., kepada malaikat Jibril AS. ketika beliau ditanya olehnya dalam rangka mengajar kaum muslimin. Rasul saw. menjelaskan bahwa ihsan adalah "menyembah Allah, seakan-akan engkau melihat-Nya dan bila 101 engkau tidak melihatnya maka yakinlah bahwa Dia melihatmu." Dengan demikian, perintah ihsan bermakna perintah melakukan segala aktifitas positif, seakan-akan Anda melihat Allah atau paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran akan pengawasan melekat itu, menjadikan seseorang selalu ingin berbuat sebaik mungkin, dan memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda, bukan sekedar memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya terhadap Anda. Sebenarnya pemberian kepada sanak keluarga telah dicakup dalam dua hal yang disebut sebelumnya, yaitu adil dan ihsan. Tetapi agaknya hal ini sengaja ditekankan di sini, karena sementara orang mengabaikan hak keluarga atau lebih senang memberi bantuan kepada orang lain yang bukan keluarganya. Boleh jadi karena ada maksud tertentu di balik pemberian itu, seperti popularitas dan pujian. Perlu dicatat bahwa salah satu cara yang ditempuh Islam guna memberantas kemiskinan, disamping kerja keras adalah memberi bantuan, dan karena itu pula ketika sahabat Nabi SAW. bertanya kepada Nabi Muhammad tentang nafkah, Al Qur'an menjelaskan bahwa sasaran pertamanya adalah kedua orang tua kemudian para kerabat (QS. Al Baqarah (2) : 215). Rasul SAW. menekankan agar memberi terlebih dahulu siapa yang termasuk dalam tanggungan seseorang, kemudian yang lebih dekat. "Para kerabat, lebih utama diberi ma'ruf daripada yang lain." Apabila setiap orang yang mampu memberi bantuan kepada keluarganya, niscaya tidak ada keluarga yang menderita karena kemiskinan. Demikian ayat-ayat di atas menyimpulkan nilai-nilai yang sangat mengagungkan. Jangankan dewasa ini, kaum musyrikin pun yang mendengar ayat di atas, tanpa ragu berdecak kagum mendengarnya. Diriwayatkan bahwa 'Utsman Ibn Mazh'un membacakan ayat ini kepada tokoh yang juga sastrawan kaum musyrikin Mekah, yakni Walid Ibn Al Mughirah, maka sang sastrawan berkata, "Sungguh ini adalah kalimat-kalimat yang sangat nikmat terdengar. Ia memiliki keindahan tanpa cacat, pucuknya berbuah dan dasarnya subur digenangi air. Ia sungguh tinggi tidak dapat ditandingi. Ini sama sekali bukan ucapan manusia." Dalam riwayat lain diinformasikan bahwa ketika ayat ini dibacakan kepada paman Nabi SAW., Abu Thalib, ia berseru kepada kaumnya, "Ikutilah Muhammad, niscaya kalian beruntung. Dia diutus Tuhan untuk mengajak kamu kepada budi pekerti luhur." Sahabat Nabi SAW., Ibn Mas'ud, menilai bahwa inilah Al-Qur'an yang paling sempurna kandungannya. Al-'Izz 'Abdussalam yang digelari Sulthan al-'Ulama menamainya asySyajarah/pohon yang mengandung semua hukum syariat serta bab-bab ilmu fiqh/hukum. Imam As Subki menamainya syajar al-ma'arif/pohon pengetahuan. Agaknya itu pula sebabnya sehingga Khalifah Umar Ibn 'Abdul Aziz r.a. (681-720 M) memerintahkan 102 membaca ayat ini pada setiap akhir khutbah Jumat, sebagai ganti tradisi yang dilakukan pendahulu-pendahulunya yang mengecam dan memaki 'Ali Ibn Abi Thalib r.a. – makian tersebut dinilai oleh khalifah yang adil itu sebagai tidak adil serta merupakan salah satu bentuk al-baghy. Bahwa setelah ayat yang lalu yang menghimpun semua perintah dan larangan dalam satu redaksi singkat yang tidak dapat ditampung oleh kitab-kitab dan dada manusia, serta disaksikan oleh para pendurhaka yang keras kepala bahwa redaksi semacam itu melampaui batas kemampuan manusia, maka ayat berikut melanjutkan sebagaimana dipahami dari konteksnya bahwa : Jika demikian itu kandungan kitab suci ini, maka laksanakanlah apa yang Allah perintahkan. Kepercayaan seorang muslim akan keesaan Allah dan kekuasaan-Nya seharusnya dapat menjadi jaminan bagi pihak lain atas kebenaran ucapannya. Keyakinannya itu seharusnya melahirkan jaminan ketepatan janji atau beritanya, karena pengingkaran janji dan kebohongannya mengundang murka Allah. Dan seorang muslim mustahil melakukan hal-hal yang mengundang murka-Nya. Dengan demikian, kata ba'da taukîdihâ/pengukuhan dimaksud tidak harus dibatasi pengertiannya pada pengukuhan sumpah yang menggunakan nama Allah. Setelah ayat yang lalu memerintahkan menepati janji dan memenuhi sumpa, ayat 92 melarang secara tegas membatalkannya sambil mengilustrasikan keburukan pembatalan itu. Pengilustrasian ini merupakan salah satu bentuk penekanan. Memang penegasan tentang perlunya menepati janji merupakan sendi utama tegaknya masyarakat, karena itulah yang memelihara kepercayaan berinteraksi dengan anggota masyarakat. Bila kepercayaan itu hilang, bahkan memudar, maka akan lahir kecurigaan yang merupakan benih kehancuran masyarakat. Ayat ini menegaskan bahwa : "Dan janganlah kamu dalam hal mengkhianati perjanjian dan membatalkan sumpa seperti keadaan seorang perempuan gila yang sedang menenun dengan tekun hingga ketika telah rampung ia mengurai kembali tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat, sehingga menjadi cera berai lagi. Kamu semua sadar bahwa melakukan hal demikian adalah kebodohan dan keburukan, dan itu sama halnya dengan apabila kamu menjadikan sumpah dan perjanjian kamu sebagai penyebab kerusakan di antara kamu, yakni alat menipu yang mengakibatkan kerusakan hubungan antar kamu disebabkan adanya suatu golongan yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih kuat, lebih kaya dan tinggi kedudukannya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu, yakni memperlakukan kamu seperti perlakuan seseorang yang menguji dengannya, yakni dengan adanya jumlah dan harta yang 103 banyak itu, untuk mengetahui apakah kamu setia menepati janji dan memenuhi sumpah atau tidak. Dan pasti di hati Kiamat nanti akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu, kemudian akan memberi balasan sesuai amal perbuatan kamu masing-masing. Konon di Mekah ada seorang wanita yang terganggu pikirannya. Dia memiliki pemintal, yakni alat untuk memintal benang guna membuat tali yang kukuh atau benang. Bersama para hamba sahaya wanitanya, mereka duduk memintal, dari pagi sampai siang hari, kemudian merombak kembali apa yang mereka lakukan sejak pagi itu sehingga benangbenang hasil pintalan mereka cerai berai lagi. Konon nama wanita itu adalah Raithah Ibn Sa'd At Taimiyah. Apakah kisah ini benar atau sekadar ilustrasi, yang jelas ini adalah kegiatan melemahkan kembali apa yang telah dikukuhkan, serta merusak apa yang telah diperbaiki, ini adalah ibarat seseorang yang tadinya berada dalam kesesatan, kemudian memeluk Islam dan memperbaiki diri, lalu kembali kepada kesesatan semula. Ayat ini melarang hal tersebut, yakni janganlah kembali kepada kesesatan setelah kamu menemukan kebenaran, karena jika demikian, keadaan kamu serupa dengan wanita yang dilukiskan di atas. Penggunaan kata seperti seorang perempuan, sama sekali bukan untuk melecehkan perempuan, karena apa yang dilakukan perempuan dalam hal ini dapat juga dilakukan oleh lelaki. Penyebutan perempuan di sini boleh jadi karena memang kisah ini cukup populer dan yang melakukannya adalah perempuan yang disebut namanya di atas, atau karena biasanya pekerjaan memintal banyak dilakukan oleh perempuan. Dalam konteks ini, pakar hadits Abu Nu'aim meriwayatkan melalui sahabat Nabi SAW., 'Abdullah Ibn Rabi' Al Anshari bahwa Nabi Muhammad SAW., bersabda, "Sebaik-baik permainan seorang muslimah di rumahnya adalah memintal." Ayat ini melarang seseorang atau suatu kelompok masyarakat-masyarakat, besar atau kecil membatalkan sumpah atau perjanjian dengan motif memperoleh keuntungan material. Dalam konteks sejarah, ayat ini mengingatkan kaum muslimin agar jangan memihak kelompok musyrik atau musuh Islam, karena mereka lebih banyak dan lebih kaya daripada kelompok muslimin sendiri. Apa yang diingatkan di atas, sungguh dewasa ini telah sering kali dilanggar oleh tidak sedikit kaum muslimin, baik secara pribadi, kelompok, bahkan negara. 6. Hikmah Kandungan Ayat a. Islam menyerukan pemeluknya untuk bersikap adil, bijak dan melarang perbuatan yang dinilai merusak fitrah manusia. Hal ini menunjukkan ajaran Islam sebagai ajara 104 universal yang pokok pikirannya dapat diterima oleh seluruh umat manusia, baik yang berhubungan dengan pribadi keluarga, dan masyarakat bahkan antar negara. b. Islam menyerukan umatnya untuk menepati perjanjian yang telah disepakati baik individu maupun kolektif dengan sekuar kemampuan. c. Pemutusan perjanjian yang telah disepakati dinilai sebagai sebuah konspirasi jahat yang berakibat pada keretakan dan perpecahan antara yang bersepakat. d. Keuntungan pribadi maupun kelompok adalah pemicu awal bagi pembatasan pembatalan perjanjian yang luhur dan suci sebagaimana telah disepakati yang tidak jarang biasanya menggunakan sumpah setia baik yang berhubungan dengan kesepakatan tertentu sampai pada dasar ketuhanan. C. QS An Nisaa’(4) : 105 1. Redaksi Ayat 2. Terjemah “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” 3. Makna Mufrodat Kata () Al haqq, terdiri dari huruf-huruf ha' dan qaf maknanya berkisar pada kemantapan sesuatu dan kebenarannya. Sesuaru yang mantap tidak berubah, dinamai haq, demikian juga yang mesti dilaksanakan atau yang wajib. Kata () araka dalam firman-Nya: ( ) araka Allah/ yang diperlihatkan Allah kepadamu pada mulanya berarti memperlihatkan dengan mata kepala, tetapi maksudnya di sini adalah memperlihatkan dengan mata hati dan pikiran. Hasilnya adalah pengetahuan yang meyakinkan. Apa yang diperlihatkan Allah itu, bukan terbatas pada memperlihatkan rincian satu hukum kepada Nabi Muhammad SAW., tetapi juga berarti memperlihatkan rinciannya melalm kaidah-kaidah yang diangkat dari ayat-ayat Al Qur'an. 4. Asbabun Nuzul 105 Bahwa ada seorang bernama Thu'mah Ibn Ubairiq yang mencuri perisai tetangganya yang bernama Qatadah Ibn Nu'man. Perisai itu berada dalam satu kantong yang berisi tepung. Thu'mah menyembunyikan perisai itu di rumah seorang Yahudi bernama Zaid Ibn As Samin. Rupanya kantong tempat perisai itu bocor. Ketika pemilik perisai mengetahui kehilangan perisainya, dia bertanya kepada Thu'mah tetapi dia bersumpah tak tahu menahu. Melalui tetesan tepung mereka menemukan perisai itu di rumah Zaid Ibn As Samin, Yahudi itu. Tentu saja dia menolak tuduhan, bahkan mengatakan Thu'malah yang menitipkan perisai itu kepadanya. Beberapa orang Yahudi ikut menjadi saksi kebenaran Zaid. Namun keluarga Thu'mah mengadu kepada Rasul serta membela Thu'mah. Rasul hampir terpengaruh oleh dalih-dalih yang dikemukakan mereka sehingga terlintas dalam pikiran beliau, bahkan hampir saja beliau menjatuhkan sanksi kepada si Yahudi, untung ayat ini turun meluruskan apa yang hampir keliru itu. 5. Analisa Kandungan Ayat Ayat 105 QS. An Nisa’ menegaskan bahwa: Sesungguhnya Kami, yakni Allah melalui malaikat Jibril telah menurunkan kepadamu wahai Muhammad secara khusus satu Kitab yang amat sempurna mengandung tuntunan yang sesuai serta disertai dengan haq, dalam segala aspeknya supaya engkau mengadili antara manusia siapa pun mereka dengan apa yang telah Allah wahyukan, yakni melalui apa yang telah Allah perlihatkan kepadamu dan atau ilhamkan dan tunjukkan pendapat melalui nalarmu, baik yang telah engkau terima maupun yang pasti bakal engkau terima dan janganlah engkau menjadi penantang orang yang tidak bersalah, karena membela para pengkhianat. Karena terlintas dalam benak Nabi saw. niat untuk membela orang-orang yang khianat walau akibat ketidaktahuan dan sangka baik beliau kepada sesama muslim, maka dengan ayat ini Allah memerintahkan; mohonlah ampun kepada Allah. Sebagaimana Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad SAW., untuk berjuang menegakkan keadilan terhadap orang-orang kafir dan munafik, maka perjuangan yang harus ditegakkan juga yakni dari kalangan yang mengaku telah beriman. Jangan duga, bahwa dengan pengakuan keislaman dan keimanan, membuat mereka yang telah mengaku beriman berbeda dengan yang lain dan telah memiliki kekebalan hukum. a. Kebenaran Mutlak Nilai-Nilai Al Qu’an Nilai-nilai agama adalah haq karena nilai-nilai itu selalu mantap tidak dapat diubahubah. Sesuatu yang tidak berubah, sifatnya pasti, dan sesuatu yang pasti, menjadi 106 benar, dari sisi bahwa ia tidak mengalami perubahan. Nilai-nilai yang diajarkan Al Qur'an adalah haq. Ia diturunkan dengan haq dalam arti tidak disentuh oleh kebatilan tidak juga dapat dibatalkan atau dilenyapkan oleh kenyataan. Segala yang berkaitan dengan Al Qur'an adalah haq. Yang menurunkannya, yaitu Allah, adalah Al Haq yang paling mutlak. Yang membawanya turun, yang menerimanya, cara turunnya, redaksi dan gaya bahasanya, kandungan dan pesanpesannya, semuanya haq dan benar, tidak boleh diubah dan tidak akan berubah. b. Ijtihad Nabi SAW sebagai Penentu Kebijakan Ayat ini memberikan kepada Rasul SAW., wewenang menetapkan hukum sekaligus kebenaran apa yang beliau putuskan melalui Ijtihad karena beragamnya persoalan, sedang petunjuk Al Qur’an bersifat global. Hal ini menuntut Nabi Muhammad SAW., untuk mengembangkan tasyri’ menyangkut persoalan pada waktu itu, tentunya dengan prinsip-prinsip yang dalam pada Al Quran. Ijtihad beliau pasti benar, tetapi ini bukan berarti bahwa rincian ketetapan hukum beliau menyangkut si A misalnya pasti benar, tetapi yang dimaksud adalah cara dan proses penetapan hukum yang beliau tempuh serta ketetapannya berdasarkan bukti-bukti formal yang dikemukakan oleh yang berselisih serta pengembalian rincian tersebut kepada wahyu Ilahi adalah benar dan haq. Tetapi apakah bukti-bukti yang dikemukakan dan yang menjadi dasar penetapan hukum serta yang dikemukakan oleh yang berselisih pasti benar pula? Belum tentu! Jika bukti-bukti yang dikemukakan itu benar, maka hukum yang ditetapkan Rasul secara formal dan material pasti benar, tetapi jika bukti-bukti itu palsu atau salah satu yang bertikai pandai mengemas alasan sehingga kebatilan dikemas dengan bungkus haq, maka ketika itu putusan Rasul benar dari segi formal tetapi salah dari segi material. Dalam konteks ini Nabi bersabda: "Aku tidak lain hanyalah seorang manusia. Kalian datang kepadaku mengadu dan meminta putusan. Boleh jadi sebagian kamu lebih pandai mengemas alasannya dari yang lain, sehingga aku memutuskan untuknya (memenangkannya) berdasarkan apa yang aku dengar. Maka siapa yang aku putuskan untuknya padahal itu adalah hak saudaranya (yang berselisih dengannya), maka janganlah dia mengambil apa yang aku putuskan, karena sesungguhnya yang demikian itu tidak lain kecuali bagian dari neraka yang aku berikan baginya" (HR. Bukhari dan Muslim, melalui Ummu Salamah.) c. Sikap Ahlul Kitab Terhadap Ajaran Kitab Suci 107 Dalam tradisi Islam, para mufassir senantiasa berpendapat, bahwa istilah Ahlul Kitab merujuk pada dua komunitas: Yahudi dan Nasrani. Dalam perkembangannya, sebagian kalangan mengembangkan pengertian Ahlul Kitab hingga semakin jauh dari apa yang telah dikaji oleh para ulama di masa lalu. Kata mereka, Ahlul Kitab dapat mencakup semua agama yang memiliki kitab suci; atau umat agama-agama besar dan agama kuno yang masih eksis sampai sekarang; seperti golongan Yahudi, Nasrani, Zoroaster; Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, Hindu, Budha, Konghucu, dan Shinto. Dalam pandangan Islam, status Ahlul Kitab menurut Imam Al Ghazali termasuk kategori kufur, yakni mendustakan terhadap Rasulullah SAW., dan ajaran yang dibawanya. Inilah yang dimaksud oleh al-Thabary sebagai ukuran keimanan bagi Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Yakni, pembenaran mereka terhadap kenabian Muhammad SAW., dan ajaran yang dibawanya. Lebih jauh Ibn Katsir menyatakan bahwa : “(Ukuran) keimanan orang-orang Yahudi adalah jika mereka berpegang kepada Taurat dan sunnah Nabi Musa hingga datang periode Nabi Isa. Pada periode Nabi Isa, orang-orang yang berpegang pada Taurat dan sunnah Nabi Musa dan tak mengikuti Nabi Isa, maka mereka akan binasa. Sementara (ukuran) keimanan orang-orang Nasrani adalah jika berpegang kepada Injil dan syari’at Nabi Isa. Keimanan orang tersebut dapat diterima hingga datang periode Nabi Muhammad SAW. Pada periode Nabi Muhammad SAW., orang yang tidak mengikutinya dan tidak meninggalkan sunnah Nabi Isa dan Kitab Injil, maka binasa”. Uraian ayat diatas, salah satunya adalah menggambarkan keanehan orang-orang yang telah diberi kitab suci yakni diantaranya Ahlul Kitab, yang sesat dan menyesatkan orang lain dan keimanan mereka kepada setan dan berhala, dilanjutkan dengan uraian tentang anehnya sikap mereka yang mengaku percaya kepada kitab yang diturunkan Allah tetapi mencari hakim selain-Nya. Ini dilanjutkan dengan aneka rincian, menyangkut mereka, serta aneka dalil yang membatalkan dalih mereka, sampai akhirnya perintah untuk menghadapi para pembangkang dengan keampuhan argument dan kekuatan senjata. Tetapi harus juga dingat bahwa tidak seluruh penganut ajaran Ahlul Kitab itu buruk secara sosiologis, sebagai bukti adalah bahwa Nabi juga membela kepentingan seorang Yahudi dengan bersikap adil dengan menyatakan orang tersebut tidak bersalah, karena memang bukti yang diajukan oleh seorang muslim lemah. 108 Salah satu argumen yang dibangun Nabi SAW., menyangkut sikap Ahlul Kitab yang mendustakan risalah Ilahi, seperti diungkap Al Qur’an dalam QS. Al Maidah (5) : 59, “ Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Apakah kamu memandang Kami salah, hanya lantaran Kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada Kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan diantara kamu benar-benar orang-orang yang Fasik ?” 6. Hikmah Kandungan Ayat a. Kerasulan Nabi Muhammad adalah benar adanya, oleh karenanya Rasul SAW., diberi wewenang untuk mengemban misi suci ini melalui pembentukan syari’at yang tidak didapati dalam Al Qur’an, yang kemudian lebih dikenal dengan Hadis Nabi SAW. Sehingga apa yang datang dari nabi menyangkut perkataan, perbuatan dan ketetapanya harus di taati. b. Kengganan Ahlul Kitab mempecayai bahwa apa yang dikatan Muhammad SAW., itu kebenaran adalah karena keangkuhan dan sikap egois yang ditunjukkan sebagai bentuk rasa tidak percaya diri dan bentuk ketakutan akan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pribandinya. c. Dalam fungsinya sebagai pemutus perkara (hakim) sikap dan keputusan yang diambil berdasar fakta yang ada di lapangan, berdasar fakta itulah Nabi SAW., memutus perkara yang timbul di masyarakat dengan kejujuran dan keadilan. Tetapi dengan keterbatasan diri dalam memutus perkara, Allah selalu membimbing sehingga terhindar dari kesalahan. 109