Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017 © Labor Sejarah, Universitas Andalas SEJARAH SUFISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP MASYARAKAT BARAT MODERN Rahmatul Husni, Staf pengajar Universitas Ibnu Khandun, Email: [email protected] Abstract Ada tiga aspek yang penting disorot dalam cara kerja epistemik sufi, yaitu aspek - aspek mengenai sumber pengetahuan, prosedur pengetahuan, dan produk pengetahuan. Pada umumnya para sufi berbicara tentang tiga alat (sumber ilmu pengetahuan) yaitu indra, intuisi (intuition) / ilham (creative imagination), dan nalar (reason). Dari kesemua sumber pengetahuan tersebut, para sufi cenderung lebih mengutamakan hati diatas segalanya. Ajaran tasawuf merupakan 'produk samping' dari persinggungan agama Islam dengan tradisi agama2 tua di sekelilingnya atau berkemungkinan berasal dari Upanishad dan Vedanta Hindu dan bisa jadi cikal bakalnya ialah Tradisi Hellenisme abad Pertengahan. Mistisisme Kristen, sistem filsafat Neo-Platonisme atau Stoikisme dianggap sebagai unsur yang juga mempengaruhi tasawuf. Kata Kunci : Sufi, Islam, Barat ~ 23 ~ Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017 © Labor Sejarah, Universitas Andalas Pengantar Masalah pengetahuan yang ada di dunia Timur, yang dikagumi oleh orang – orang Barat adalah masalah sufisme karena menyangkut aktivitas hati dan jiwa. Mekanisme sufisme seperti mekanisme ‘irfan merupakan suatu perbendaharaan ilmu pengetahuan dunia islam. Hal ini termasuk suatu ilmu baru out of the box bagi masyarakat Barat yang umumnya berpendapat bahwa segala sesuatunya harus ditaklukkan pada realita dan berpijak pada rasio semata. Sehingga materi yang difokuskan para orientalis dan Yahudi di Abad modern dalam kajian – kajian Islamic Studies sebagian besar ialah mengenai objek – objek non empiris khususnya sufisme (tasawuf). Kebanyakan masyarakat Barat beranggapan bahwa tasawuf adalah sebutan lain untuk mistisisme Islam. Bahkan ada yang mengatakan, there could be no Sufism without Islam1, seorang Sufi pastilah ia menjadi seorang Muslim karena tasawuf merupakan suatu wasilah dalam menghayati ajaran agama. Dampak penghayatan tersebut hanya akan menggiring penganutnya pada satu agama yang sahih kebenarannya yaitu Islam. Karena peradaban Islam memang bermula dari kegiatan tafaqquh terhadap wahyu yang kemudian berkembang tradisi intelektual dan akhirnya menjadi peradaban yang kokoh “being an exposition of the sa1 Sejalan dengan pendapat Willian Stoddard bahwa seseorang tidaklah menjadi seorang Sufi tanpa menjadi seorang Muslim. Lihat thesis Sri Mulyati, Sufism in Indonesia: An Analysis of Nawawi Al Banteni’s Salaalim Al-Fudalaa’, McGill University Canada, 1992, hlm. 1; A.H Johns dalam “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”, Journal of South East Asian History vol. 2 no 2 (1961): 23. “Islam did not take root in Indonesia until the rise of the Sufi orders, and that the quickening tempo of the development of Indonesian Islam subsequent to the thirteenth century was in the main, due the labours of the Sufi missionaries” lient point of distinction between the position of the theologians, the philosophers, the Sufi dan the pseudo -Sufi on the ontological relationship between God and the world and related questions”2. Persoalan di dunia Islam sendiri mengenai epistemologi sufi masih merupakan isu yang kontroversial dan menimbulkan polemik hingga saat ini. Menariknya perbincangan tentang tasawuf dikarenakan pameo bahwa tasawuf mengandung ajaran yang menumpulkan pemikiran umat Islam, dilihat dari stagnansi cara berfikir seorang sufi yang seolah tidak mementingkan aspek duniawi. Ajaran tasawuf memang susah dicerna akal baik bagi orang awwam maupun para ulama sehingga bahkan dianggap mengotori ajaran Islam itu sendiri. Sedangkan di sisi lain banyak aliran tasawuf di dunia, dan Indonesia khususnya, yang juga sukses menjadi alternatif pembinaan akhlak melalui latihan – latihan spiritual yang ditempuh dalam tarikat. Terdapat berbagai pendapat mengenai makna tasawuf ditinjau secara etimologis. Ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata shafw atau shafaa yang berarti bersih. Pendapat lain mengatakan, tasawuf berasal dari kata shaff yang berarti barisan waktu shalat. Selain itu ada juga yang mendefinisikan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti wol. Istilah ini dinisbatkan pada orangorang yang memakai pakaian itu yang disebut sebagai orang-orang sufi atau mutasawwif, kehidupan mereka benar – benar miskin dan sederhana. Pakaian yang ter2 Telaah utama ISLAMIA, THN II No. 5 / April - Juni 2005. Hmid Fahmy Zarkasy hlm. 9 -10 mengutip al - Attas, A comentary on the Hujat al - Ssiddiq of Nur al-Din al –Raniri, Ministry of Edu and Culture, Kuala Lumpur, 1986, 464-465 ~ 24 ~ Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017 © Labor Sejarah, Universitas Andalas buat dari bulu binatang tersebut mereka pakai perlambang kemiskinan dan kesederhanaan, yang berlawanan dengan pakaian orang-orang kaya yang bisanya terbuat sutera. Definisi tasawuf menurut Al-Junaid ialah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji. Sedangkan definisi tasawuf menurut Ibn-Khaldun: “tasawuf itu adalah semacam ilmu syar’iyah yang timbul kemudian dalam agama. Asalnya ialah bertekun ibadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap kepada Allah semata. Menolak hiasanhiasan dunia, serta membenci perkaraperkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”.3 Pada awalnya, sumber ajaran tasawuf merujuk langsung ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam Al Qur’an dan AlHadits, dan juga kehidupan para sahabat Rasulullah Muhammad SAW.4 Namun dalam perkembangannya, terdapat banyak istilah baru yang menyebabkan kerancuan pemahaman seseorang terhadap ahlussufi. Abu Yazid Al-Bustami dikenal sebagai seorang Sufi awal yang mengetengahkan istilah Ittihad yang berarti kesatuan, yakni kesatuan Tuhan-manusia. Al-Hallaj menyebutnya hulul, yang berarti menjelma, yakni Tuhan menjelma dalam manusia dan manusia menjelma dalam Tuhan. Ibn ‘Arabi terkenal karena wahdah-al wujud5, 3 Hamka, 1990, Tasawuf Moderen, Pustaka Panjimas, Jakarta, hlm.4 4 Hamka, 1994, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan XVIII, Pustaka Panjimas, Jakarta, hlm. 37 5 Menurut Dr Syamsuddin Arif, istilah wahdatu l-wujud sendiri tidak ditemukan dalam karya – karya Ibn Arabi. Istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan oleh Shadruddin al-Qunawi, murid setia sekaligus anak yakni kesatuan wujud Tuhan dan manusia, dua bentuk dalam satu hakikat, Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan. Suhrawardi menyebut dengan isyraq, yang berarti iluminasi atau pancaran, yakni Tuhan memancar dalam manusia.6 Konsep - konsep yang mengarah kepada “penyatuan” manusia dengan Tuhan seperti yang disebutkan diatas menjadi pokok perbincangan yang mengundang prokontra opini dan kebingungan berkepanjangan. Konstruk Epistemologi Sufi Ada tiga aspek yang penting disorot dalam cara kerja epistemik sufi, yaitu aspek aspek mengenai sumber pengetahuan, prosedur pengetahuan, dan produk pengetahuan. Pada umumnya para sufi berbicara tentang tiga alat (sumber ilmu pengetahuan) yaitu indra, intuisi (intuition) / ilham (creative imagination7), dan nalar (reason). Dari kesemua sumber pengetahuan tersebut, para sufi cenderung lebih mengutamakan hati diatas segalanya. Sehingga terkenallah istilah kasyaf. Kasyf, menurut kaum shufi adalah melihat hal yang ghaib dan menyaksikannya dengan tegas. Dengan demikian mereka mengaku atau meyakini, kalau sampai pada derajat kasyf itu maka mereka dapat mengetahui hal-hal yang gelap, rahasia-rahasia yang tirinya, dan dipopulerkan oleh penulis – penulis sesudahnya semisal Ibn Sab’in (w. 646 H/1248 M) dan Afiduddin at-Tilmisani (w. 690 H/1291). Selengkapnya lihat Dr Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 257 6 Hamka, Ibid, hlm. 93-116 7 Menurut Ibn ‘Arabi, inilah “mata hati” dengan mana para sufi dapat melihat entitas – entitas spiritual, sebagaimana indra lahir menangkap objek – objek indrawi. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 85 ~ 25 ~ Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017 © Labor Sejarah, Universitas Andalas tersembunyi, dan memecahkan segala soal-soal yang pelik8. Hati atau intuisi menangkap objeknya secara langsung, sama seperti indera. Perbedaannya terletak pada jenis objeknya, objek indera adalah benda – benda inderawi (mahsȗsật) sedangkan objek intuisi adalah entitas – entitas spiritual (ma’qȗlật)9. Intuisi inilah yang sering disebut sebagai ilmu hudhȗrȋ yang hadir begitu saja dalam diri. Sedangkan bagi para sufi nalar atau akal pikiran memiliki intensitas yang masih lemah dalam menunjukkan kebenaran. Yang dimaksud dengan nalar ialah daya rasional manusia untuk memikirkan sesuatu.10 Sementara akal menangkap objek – objek non fisik melalui objek – objek yang telah diketahui, intuisi menangkap objeknya langsung dari Tuhan, melalui “penyingkapan (mukậsyafah), penyinaran (iluminasi), atau penyaksian (musyậhadah)”11. Mengenai ilham, para sufi menyebutnya sebagai ilmu laduni yang mengandaikan pemberian langsung “makna” sesuatu oleh Tuhan kedalam hati seorang hamba yang dikehendakiNya.12 Sumber yang menjadi rujukan mereka adalah bisikan yang didakwakan datang kepada para wali, mimpi-mimpi yang merupakan ‘prolog’ bagi perjalanan bathin seorang sufi, perjumpaan dengan orang-orang mati yang dulu-dulu, dan (mengaku berjumpa) dengan Nabi Khidhir 'alaihis salaam, bahkan dengan melihat Lauh Mahfudh, 8 Lihat HSA Al-Hamdani, Sanggahan terhadap Tashawuf dan Ahli Sufi, PT Al-Ma'arif Bandung, cet. kedua, 1972, hal. 16 9 Ibid, hlm. 10 10 Dalam epistemology sufi, sejalan epistemologi teologi, peran nalar tidaklah terpisahkan dari kedudukan wahyu sebagai sumber utama. Lihat Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, (Yogyakarta: LKiS, cet. I 2012), hlm 70 11 Mulyadhi, Ibid, hlm. 11 12 Ibid, hlm. 136 dan mengambil (berita) dari jin yang mereka namakan para badan halus (ruhaniyyin). Selanjutnya dalam persoalan ibadah, orang-orang sufi mempercayai bahwa shalat, puasa, haji, dan zakat itu ibadah orang awam. Adapun mereka (orang sufi) maka menamakan diri mereka sebagai orang khas (khusus) atau khashatul khasah/ khawasus khawas (paling khusus). Oleh karena itu mereka memiliki ibadah-ibadah khusus13. Dalam prosesnya, bagi para sufi ilham dan intuisi hanya benar - benar bisa dijadikan sandaran apabila jiwa sudah bersih. Sehingga ada program penyucian jiwa yang mereka namakan dengan “takhalli, tahalli, dan tajalli”. Sama dengan konsep tazkiyatun nafs yang dimulai dengan pembersihan jiwa dari segala kotoran atau penyakit jiwa, menanamkan sifat - sifat terpuji, dan menirukan segala sifat atau nama yang indah dari Allah dan Rasulullah. Setelah ketiga tahapan ini dilaksanakan, barulah menurut para sufi, hati (intuisi) benar – benar berfungsi sehingga kasyaf, tampaklah kebenaran dan kebathilan. Bisa dikatakan bahwa inti epistemologi sufistik ialah pengalaman religius (pengalaman rohani). Sufisme dan Eropa Abad 18th dan 19th Mengenai asal – usul sufisme dan apakah tasawuf sebagai aspek spiritual Islam dipengaruhi oleh system dan disiplin spiritual yang lain, ada beberapa opini yang saling bertentangan. Sebagian mengatakan bahwa Ajaran tasawuf merupakan 'produk samping' dari persinggungan agama Islam dengan tradisi agama2 tua di 13 Hartono Ahmad Jaiz, mengutip Al-Fikrus Shufi, hal 61. ~ 26 ~ Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017 © Labor Sejarah, Universitas Andalas sekelilingnya14. Atau berkemungkinan berasal dari Upanishad dan Vedanta Hindu dan bisa jadi cikal bakalnya ialah Tradisi Hellenisme abad Pertengahan. Mistisisme Kristen, sistem filsafat Neo-Platonisme atau Stoikisme dianggap sebagai unsur yang juga mempengaruhi tasawuf. Tidak diragukan lagi bahwa orangorang tasawwuf yang percaya seperti itu mengenai Rasululah SAW, mereka bukan hanya terpengaruh oleh teori filosof-filosof kuno tentang teori penciptaan dan pendapat mereka bahwa ciptaan awal itu dengan haba' / debu (atom), dan akal pertama, atau akal fa''aal (akal kreator)... tetapi mereka (orang tasawwuf) juga terpengaruh oleh apa yang dikatakan orang-orang Nasrani mengenai Nabi Isa. Dan tidak diragukan lagi bahwa teori Nasrani mengenai Al-Masih itu terpengaruh pula dengan pendapat falasifah dalam hal "akal fa''aal" (akal kreator)15. Jika ditilik lebih jauh, ajaran tasawuf yang dianut umat Islam memang beberapa terlihat agak bercorak panteistis16, terutama tasawuf falsafi yang dianggap menyimpang. Konsepsi yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu ini benar – benar menggegerkan para ulama namun mempesonakan kaum awwam karena keindahan bahasanya. Terutama di Eropa pada Abad modern yang mengalami kegersangan dan kehampaan jiwa setelah sekian lama berkutat dengan corak filsafat eksistensialisme, positivism, dan rasionalisme. Ajaran panteisme dianggap menjadi 14 Syamsuddin Arif, PhD. Manipulasi dalam Kajian tentang Sufisme. ISLAMIA VOL III NO. 1 2006 15 Ebook Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf dalam Belitan Iblis, 2005 didownload dari http://www.geocities.com/pakdenono/ 16 Panteisme adalah kepercayaan bahwa Tuhan menjelma dimana – mana, dan segala yang wujud di alam merupakan penjelmaannya. solusi bagi masyarakat Eropa yang materialis sekuleris. Di Abad modern, Sufisme menjadi kajian yang paling diminati para orientalis. Bisa dikatakan bahwa ketertarikan mereka kepada Islam karena sufisme atau penasaran dengan tasawuf. Namun pemahaman yang salah kaprah mengenai ajaran esoterik dalam tasawuf juga menjadi latar belakang munculnya perrenialisme, pluralism, dan transendentalisme. Perennialism yang diajarkan oleh Aguéli dan Guenon kemudian dikembangkan oleh beberapa lainnya seperti Shadhili terinspirasi dari pemimpin Sufi Eropa yang orientasinya menjadi agak bervariasi17. Munculnya perrenialisme semenjak terkenalnya Frithjof Schuon Swiss (w. 1998) dan pengikutnya Martin Lings British (lahir 1914). Schuon merupakan penulis dari Inggris, sebelumnya seorang aktor Ian Dallas yang menekankan bahwa aspek eksoteris atau hukum yang berorientasi Islam tidak boleh dipisahkan dari tasawuf. Akan tetapi sesungguhnya hasil pemikiran Schuon yang terkenal dengan sebutan religio perennis (agama abadi), sangat bertentangan dengan Islam itu sendiri dengan mengatakan bahwa ada kebenaran abadi yang dibawa masing-masing agama hingga saat ini. Kesimpulan "Katakanlah! Tidak ada yang dapat mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi kecuali Allah." (An-Naml: 65). ”Barangsiapa mencari Allah, ia mendapatkan kekhusyu’an. Barangsiapa mengejar kekhusyu’an, ia kehilangan Allah.” Tasawuf, sebagai ajaran yang baru diakui kehadirannya dalam sejarah sejak 17Lihat http://mulayanadede.blogspot.com/2013/01/sufidi-eropa.html ~ 27 ~ Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017 © Labor Sejarah, Universitas Andalas Abad ke – 2 Hijriah memang bisa menimbulkan ambivalensi bagi seseorang, tergantung corak tasawuf nya, ada yang mengadopsi unsur dari luar Islam dan representasi unsur dari Islam. Namun orang yang benar – benar menekuni tasawuf biasanya tidak terlihat dalam pengamalannya ada pertentangan antara ma’rifat dan syari’at. Itu jika dirujuk pada pengertian bahwa Sufi merupakan orang yang mencari Tuhannya melalui tarikat. Sebagai ilmu bathin, pendalaman mengenai tasawuf sebenarnya tidak bisa dipelajari: apa yang diberikan kepada seseorang bisa jadi berbeda dengan yang lainnya. Dimanapun manusia bisa membersihkan diri; di posisi orang kaya maupun di posisi orang miskin, mereka mestinya berbuat sesuai pembawaannya. Orang yang obyektif memandang tasawuf bisa melihat bahwa Islam sendiri tidak butuh tasawuf karena sudah sempurna ajarannnya. Bagi seorang Sufi ekstase kenikmatan ruhani itu merupakan tujuan hidupnya, sedangkan Rasulullah menjadikannya hanya sebagai sarana peristirahatan. Ajaran Islam juga mengajarkan penganutnya menjadi pejuang yang mengajak pada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah. Itu jelas terlihat dari hadits mengenai bagaimana cara Rasulullah SAW menyeimbangkan kebutuhan lahir dengan rohani, hablumminallah dan hamblumminannaas. "Ada satu kelompok sahabat yang datang ke rumah Nabi saw untuk menanyakan kepada isteri-isteri beliau tentang ibadah beliau. Setelah mereka diberitahu keadaan ibadah beliau, seolah-olah mereka menganggap ibadah itu masih terlalu sedikit. Kemudian mereka berkata-kata satu sama lain, lalu mereka bertanya, di mana posisi kita dibandingkan dengan Rasulullah saw padahal Allah telah mengampuni dosa beliau, baik yang terdahulu maupun yang akan datang? Lalu salah seorang dari mereka berkata: "Saya akan puasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka." Yang kedua mengatakan: "Saya akan bangun (shalat) malam dan tidak tidur." Yang ketiga berkata: "Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan kawin selama-lamanya." Lalu Rasulullah saw datang kepada mereka seraya bersabda: "Kamukah yang telah berkata begini dan begitu tadi? Ketahuilah, demi Allah, akulah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan yang paling bertaqwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan kawin dengan perempuan. Maka barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah ia dari golonganku."18 Namun bagi masyarakat Barat yang belum mengenal Islam, tasawuf bisa menjadi jembatan untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan mereka mengenai metafisik, ketuhanan, eksistensialisme manusia dan lain – lain. Beberapa pengaruh tasawuf bagi masyarakat Barat modern yang terdistorsi ‘rasa keberagamaannya’ oleh paham – paham rasionalistik yang mereka ciptakan sendiri, yaitu: 1. Mengajar orang Eropa untuk mendahulukan dzikir daripada pikir. Ini merubah cara pandang masyarakat yang semula berfikir empirik-rasionalistik menjadi bercorak sufistik. 18 HR Bukhari dan lainnya ~ 28 ~ Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017 © Labor Sejarah, Universitas Andalas 2. Pengaruh dalam karya sastra. Semenjak adanya kajian mengenai sufisme, karya – karya Rumi, Ibn ‘Arabi menjadi popular dan mempengaruhi cara berfikir masyarakat Barat yang semula individualistik menjadi toleran, cinta damai, dan mengutamakan persaudaraan. Misalnya terlihat pada puisi – puisi Goethe, dan para penyair ulung lainnya. 3. Memberikan sumbangan keilmuan tentang tauhid kepada masyarakat Barat. Bagi mereka para ilmuwan Barat yang benar – benar serius menelaah karya – karya para sufi, hal ini bisa menjernihkan pandangan mereka tentang konsep Ketuhanan dalam Islam. Meskipun di sisi lain terjadi kesalahan dalam pengkajian, sehingga juga malah menimbulkan masalah baru: isu panteisme, perrenialisme, pluralism dan trensendantalisme. [*] ~ 29 ~ Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017 © Labor Sejarah, Universitas Andalas DAFTAR PUSTAKA Al-Fayyadl, Muhammad. 2012. Teologi Negatif Ibn ‘Arabi : Kritik Metafisika Ketuhana.,. Yogyakarta: LKiS. Arberry, A.J. 1985. Pasang Surut Aliran Tasawuf, Judul Asli “Sufism: An Account of the Mystics of Islam” diterjemahkan oleh Bambang Herawan, Bandung: Penerbit Mizan. Al-Sya’rậni, ‘Abd Al-Wahhậb. 2003. Beranda Sang Sufi: Jejak Langkah Para Arif Sejak Sahabat sampai Ulama Fiqh, Disadur dari judul asli “Al-Thabaqật AlKubrậ Al-Musammật bi Lawậqih Al-Anwậr fȋ Thabaqật Al-Akhyậr” oleh Syarif Hade Masyah, Lc. Jakarta: Penerbit Hikmah. Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Rineka Cipta. Departemen Agama. 1985. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama RI, Jakarta. Fakhry, Majid. 1983. Sejarah Filsafat Islam, Judul Asli “A History of Islamic Philosophy” diterjemahkan oleh Mulyadhi Kertanegara, Jakarta: Pustaka Jaya. Hamka. 1990. Tasawuf Moderen. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hamka. 1994. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan XVIII. Jakarta: Pustaka Panjimas. Malik, Jamal dan John Hinnels. 2006. Sufism in the West. New York: Routledge. Mulyati, Sri, et al., 2006. Mengenal dan Memahami Tarekat – Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana, Mulyati, Sri. 1992. Sufism in Indonesia: An Analysis of Nawawi Al Banteni’s Salaalim Al-Fudalaa’, Canada: McGill University Permata, Ahmad Norma. 1996. Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Rasjidi, H.M., 1975, Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. ~ 30 ~