HISTORISITAS TASAWUF A. Menyapak Tilas Jejak Kaum Sufi Awal Pertumbuhan Tasawuf Esensi dan semangat sepiritualitas dalam pnghayatan keislaman dan perilaku kehidupan, begitu nyata dalam diri rasulullah saw beserta segenap sahabatnya.suber sumber ajaran dasar atau konsep ulama dalam tasawuf juga banyak dijumpai dalam alquran yg tersebar diktum –diktum dalam kitap suci agar umat islam mampu membangun kehidupan dengan berbasis pada semangat samping adanya contoh – nyatadalam berbagai segi kehidupanseperti yg telah di bangun oleh para generasi awal pengikut Rasululah Saw. Dengan demikian, embrio tasawuf telah ada sejak abad pertama dan kedua H ijriah.suber sumber pentiing menyatakan hal itu secara menya-kinkan.ibnu khaadun misalnya dalam mukqadimah menyatakan,cikal bakal tasawuf bermula Dari generasi pertama dari kalangan sahabat dan tabi,in ,yang memiliki perhatian khusus dalam ibadahnya, penghidaran diri dari pesona dunia,kelezatan harta tahta,, seraya menikutinya melalui pemerapan pola kehidupan sederhana. Lalu pada abad kedua hijriah, kehidupan kehidupan duniawi semakin semarak dan banyak orang larut di dalam, maka orang mengosentrasikan dirnya dalam ibadahdigaleri ,sufi. Senada dengan ibnukhaldun,Abu al wafa’al Ghanmi al Taftazani mengatakan,fase petama perkebangan tasawuf disebut era asketisme ,tubuh pada abad pertama dan kedua hijriah.kala itu, mucul pada individu individu yang lebih memutuskanpada kegiatan ritual.mereka menjalakan kosepsi askeris dalam kehidupan, yaitu suatu pola hidup yang tidak mementingkan makan, pakean, dan tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal UNTUK menyakut HAL HAL AHERAT. DIANTARA MEREKA ADAlah hasan alBAShri(w.110H0) dan rabiahAdawiayah(w.185H). Tasawuf Sunni Vs Tasawuf Falsafi Pada abad 3-4 H mulai ada 2 model kecenderungan dalam penghayatan dan pengalaman tasawuf. Pertama, aliran tasawuf akhlaqi (tasawuf sunni), yang penganutnya mengklaim diri paling konsisten dalam usaha memagari tasawuf dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta mengkaitkan keadaan dan tingkatan rohaniyah mereka dengan keduanya. Kedua, aliran tasawuf semi Filosofis, yang para pengikutnya cenderung pada ungkapanungkapan ganjil (Syathabiyyat) serta bertolak dari keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (hulul). Menurut al-Taftazani, cirri umum tasawuf filosofis ialah kesamar-samaran ajarannya, akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahamai oleh mereka yang mendalami ajarannya. Tasawuf falsafi ini tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan sebaliknya tidak bisa dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni Karena ajarannya sering diungkap dalam terma filsafat dan berkecendrungan kea rah pantheisme. Dari Tarekat ke Neo-Sufisme Pada periode baru dikenal dengan era tarekat, suatu sebutan untuk menunjukkan sejumlah pribadi sufi yang bergabung dengan sang guru (syaikh) melalui system bai’at, mengikuti aturan-aturan dzikir dan jalan rohaniah lainnya. Dan secara rutin mereka mengadakan majelis spiritual di berbagai tempat yang khusu untuk itu (zawiyah, ribath, khanaqah). Tentang istilah neo-sufisme ini juga mengenai asal-usul, ciri pemikiran dan gerakan tokoh-tokohnya hingga kini masih merupakan diskusi hangat. Akan tetapi, yang patut dicatat bahwa gejala kebangkitan sufisme baru dengan visi baru yang hendak disuguhkan untuk masyarakat kontem-porer jelas sebagai trend yang tidak dapat dibendung. Secara lebih riil, dewasa ini banyak berkembang jenis tarekat baru yang lebih simple, tidak tertutup dan tetap mengedepankan aktifisme. Konsep-konsep tasawuf klasik seperti zuhud, uzlah, kasyf, selanjutnya diinterpretasi ulang. Jargon-jargon baru juga mulai muncul seperti ‘bertasawuf tanpa tarekat’. Pada intinya apapun istilahnya: neosufisme, tasawuf modern, tasawuf positif, ataupun lainnya sufisme baru tetap menegaskan fungsinya sebagai pelopor gerakan spiritualisme Islam dalam konteks duniaaktual dewasa ini. Tasawuf di Indonesia Proses islamisasi di kawasan kepulauan Nusantara tidak bisa lepas dari pengaruh dan peran para sufi. Memang para saudagar juga memiliki peran besar dalam membuka jalur-jalur brbagai kota , tetapi peran kunci dalam memperkenalkan ajaran islam untuk masyarakat luas tetaplah di tangan kaum sufi. Dari sekian banyak naskah kuno yang berhasil ditemukan baik dalam bahasa Arab maupun melayu adalah berorientasi tasawuf. Ajaran- ajaran tasawuf di Nusantara cepat berkembang seiring dinamika Islamisasi di daerah lainnya. B. Sejarah Sosial Politik Sufisme Pada Mulanya adalah Krisis Politik Sejarah menunjukkan, awal mula kelahiran dan keberagaman pemikiran teologi disebabkan oleh sengketa politik. Demikian pula alur-alur pemikiran hokum yang berbenturan dengan sufisme tidak lepas kaitannya dengan teologi, filsafat, dan kemasyarakatan. Sengketa politik ini dalam sejarah islam mencuat ke permuukaan ketika terjadi peristiwa pembunuhan Usman, Khalifah III, oleh segerombolan pemberontak. Pembunuhan yang menurut Welhausen lebih berpengaruh terhadap lembaran sejarah Islam dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa sejarah Islam yang lain ini, mengakibatkan integrasi umat Islam yang telah susah payah dibangun oleh Nabi dan dua khalifah sebelumnya runtuh. Sufisme vs Kekuasaan Naiknya Mu’awiyah pada posisi kekuasaan tertinggi kaum muslimin menandai era baru perpolitikan Islam. Kekhalifahan yang demokratis digantikan oleh system dinasti yang nepotism dimana penguasa tidak dipilih oleh rakyat tetapi ditentukan berdasarkan keturunan. System sperti ini jelas melahirkan atmosfir absolutism, aristokrasi, ketidakadilan dan kedhaliman. Sufisme vs Syari’ah Penetrasi gerakan sufisme ini kemudian begitu kuat sehingga melahirkan dikotomi yang tajam antara dua orientasi keagamaan yang lahiri dan batini, antara syari’ah dan sufisme. Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidla’ al-shirath al-Mustaqim melukiskan pertentangan itu sebagai serupa pertentangan antara kaum Yahudi dan Nasrani yang saling meng-‘tidak ada apa-apa’ kan pihak lain. Pertentangan ini kemudian dicoba direkonsiliasi antara lain oleh Syaikh Ahmad Syirhindi yang mengajarkan keselarasan antara Sufisme dan Syari’ah. Sufisme vs Modernitas Pada masa dinasti Umaiyah dan dinasti Abbasiyah, Islam mengalami perkembangan yang luar biasa. Wilayah Islam tidak hanya terbentang di Arabia dan Persia, tetapi juga merambat ke Afrika, Eropa, dan Asia. Perluasan wilayah ini juga diikuti oleh berkembangnya filsafat dan ilmu pengetahuan. Respon sufistik terhadap ketimpangan yang ditimbulkan oleh modernitas ini tidak hanya muncul dari kalangan bawah tetapi juga dari kalangan elite sendiri seperti yang ditunjukkan oleh sufi Ibrahim al-Adham, seorang pangeran dari Balkh. Demikian juga dengan fenomena al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Respon seperti ini bias terjadi karena pandangan bahwa apa yang ditawarkan oleh kemewahan material itu bukanlah hakekat yang dicari oleh manusia tetapi tidak lebih dari kefanaan, semu, dan semacam daki yang mengotori dan mengeringkan batin. Dengan demikian sufisme bagi mereka adalah askapisme dari semua itu sekaligus penelusuran makna hakiki kehidupan. METODE MENGHADIRKAN DAN MENGHAMPIRI TUHAN A. Konsep-Konsep Dasar Ajaran Para Sufi Ajaran Tasawuf tentang Syari’ah, Haqiqah dan Tariqah Syari’ah secara bahasa adalah jalan yang lurus, yang tercakup di dalamnya aspek: aqidah, ibadah, dan akhlak, atau dapat dikatakan sebagai kumpulan apa-apa yang diundangundangkan Allah bagi hamba-Nya, baik berupa tauhid, akhlaq, ibadah dan lainnya. Pengertian syari’ah adalah mencakup segala perintah dan larangan yang dating dari Allah, yang dalam pelaksanaannya seseorang tidak bertujuan untuk mendapatkan surga dan terhindar dari neraka, melainkan untuk menjalankan perintah Allah semata. Dari pengalaman batin mereka memunculkan kata-kata aneh, kemudian dibedakannya antara syari’ah dan haqiqah, dan menjadikan syari’ah sebagai ilmu yang berkaitan dengan zahir, dan haqiqah sebagai ilmu yang berkaitan dengan bathin, dan selanjutnya setelah membedakannya mereka menyatakan dirinya sebagai ahli haqiqah. Dapat ditekankan bahwa antara syari’ah dan haqiqah tidak dapat dipisahkan, karena haqiqah tanpa syari’ah adalah batal dan syari’ah tanpa haqiqah adalah mandul, karena seseorang tidak mengetahui hakikat siapa yang disembahnya. Tujuan akhir dari para sufi adalah terbukanya hijab yang disebut dengan al-Kasyf, yaitu penghayatan “fana’ fillah’” dan “a’rifah”. Keduanya merupakan pengalaman kejiwaan, yang ditempuh dengan cara konsentrasi total dalam zikir pada Allah. Dalam perspektif tasawuf cara tersebut dinamakan dengan tariqah, yang secara etimologis berarti: jalan, metode, system, aliran, keadaan, cara dan lain-lain. Sementara dalam istilah tasawuf, Thariqah merupakan suatu jalan khusus bagi seorang sufi (salik) kepada Allah dengan cara meninggalkan tempat dan naik dalam maqam. Ma’rifah dan Puncak Pengalaman dalam Tasawuf Ma’rifah berasal dari kata “arafa-ya’rifu-irfah-arafa-irfan-ma’rifah,” dengan bentuk jamaknya al-ma’arif, yang dapat berarti ilmu dan pengetahuan, yaitu mengetahui hakikat sesuatu. Dalam konteks tasawuf, ma’rifah merupakan suatu kondisi kejiwaan seseorang yang telah melakukan olah batin dengan seksama yang merupakan anugerah Tuhan. Karena merupakan anugerah Tuhan, maka seseorang hanya bias mempersiapkan diri, melalui latihan-latihan yang amat ketat (termasuk dalam maqam), sehingga dianggap layak untuk “bertemu” (ma’rifat) kepada Tuhan. Untuk menuju ma’rifah bagiseorang sufi melewati tiga jalan: 1. Al-Qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, 2. Al-Rab untuk mencintai Tuhan, dan 3. Al-Sir (hati nurani) untuk melihat Tuhan (al-Musyahadah). B. Maqamat dalam Perspektif Abu Thalib Al-Makky Abu Thalib al-Makky: Biografi dan Karya Tasawufnya Nama lengkap Abu Thalib al-Makky adalah Muhammad bin Ali bin Atiyah Abu Thalib al-Makky al-Harisi bermadzhab maliki. Menurut data yang dikemukakan oleh Ibrahim Madkur, Abu Thalib al-Makky (w. 386 H) lahir sekitar awal abad IV Hijriah. Ia termasuk imigran yang datang dari daerah pegunungan (pedalaman) yang lama berdiam di Makkah sehingga ia diberikan julukan al-Makky.sedangkan al-Harisi deberikan kepadanya menurut Ibn Khalika karena ada kemungkinan nasabnya dihubungkan dengn al-Haris atau Bani haris atau Harisah atau Bani Harisah, kesemuanya merupakan namanama (etnis) Arab. Al-Makky mewariskan suatu karya monumental, Qut al-Qulub, kitab ini kini tercetak sebanyak dua jilid. Jilid pertama sebanyak 270 halaman dan julid kedua sebanyak 298 halaman. Kitab ini mencakup penjelasan tentang amaliah sehari-hari yang meliputi persoalan zikir, wirid, salat, dan puasa dengan segala ragam aturannya. Maqamat Tasawuf dalam Kitab Qut al-Qulub Maqamat (stages, stations) pada dasarnay rangkaian tingkatan yang harus dilalui oleh seorang salik untuk mencapai derajat sufi pada posisi puncak dihadapan Allah SWT. Secara etimologis, maqamat berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Kata ini mempunyaipersonifikasi dengan maqam al-karamah artinya sebuah kedudukan yang selalu diliputi oleh kemuliaan, kebesaran, dan nama besar yang mashur. Sementara itu dalam pengetian erminologisnya, maqamat adalah kedududukan spiritual yang menjadi dasar dan asas ang harus ditempuh oleh salik agar dapat mencapai kesempurnaan kembali kepada Allah SWT. Pokok-pokok pemikiran maqamat yang dipaparkan al-Makky, yaitu: 1. Tawbah 2. Shabar 3. Syukur 4. Raja’ (mengharapkan rahmat Allah) 5. Khawf (taqwa) 6. Zuhd (tidak ingin pada sesuatu yang bersifat keduniawian) 7. Tawakkal (berserah diri kepada Allah) 8. Ridha ( rela, suka, senang) 9. Mahabbah (cinta yang mendalam) C. Kewalian dan Karamah dalam Tradisi Sufi Relasi Antara Tasawuf, Wali, dan Karamah Tasasuf bias dikatakan sebagai aktivitas penuh kedisiplinan dan kesungguhan untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian untuk mendekatkan diri pada Allah sehingga konsentrasi hidup seseorang hanya untuk-Nya. Dari perspektif Al-Qur’an, wali bias diartika orang yang benar-benar beriman dan bertakwa. Imannya tidak tercemar syirik sedikitpun. Menurut al-Qusyairi, wali apat dimaknai dengan dua pengertian: pertama, sebagai orang yang sangat dekat dengan Tuhan tanpa disertai maksiat. Dan kedua, orang yang selalu mendapat penjagaa dari Allah, makna kedua ini senada dengan bunyi Al-Qur’an (Qs. Al-A’raf:196) Karamah Hissiyah dan Ma’nawiyah Karamah ada dua macam. Pertama, karamah yang nyata (karamah hissiyah) yaitu kejadian luar biasa yang muncul dari seorang wali, yang dapat dikenali oleh orang lain selain sperti berjalan di atas air, terbang di udara, memunculkan air dari batu atu melihat sebagian hal-hal gaib. Dan kedua, karamah yang tidak nyata (Ma’nawiyah) yaitu istiqomahnya seorang hamba bersama Tuhanny, lahir dan batin. Kalau terjadi kebengkokan segera ia meluruskannya. Kemudian terungkaplah tabir (hijab) dalam hati sanbarinya sehingga ia dapat mengetahui Tuhannya dan mencapai kesuksesan dirinya, sementara penentangnya adalah hawa nafsunya sendiri. Keyakinan dan ketentramannya adalah bersama Allah dan karena Allah. Penentangan Terhadap Karamah Penentangan pertama dilakukan oleh ahl dhahir. Pengingkaran mereka dilandasi bahwa karamah bisa membatalkan mu’jizat, tegasnya kenabian. Karena seorang Nabi dapat dibedakan dengan yang lain melalui mu’jizatnya, sebagai bukti kebenaran risalah yang dibawa dan untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Penentangan kedua oleh kelompok , Mu’u’tazilah menginginkan pemikiran keutamaan dan karenanya tidak setuju dengan karamah. Mu’tazilah tidak sepakat adanya kelompok mukmin tertentu mendapatkan keistimewan dari yang lain. Sebab bagi mereka, tidak ada orang yang beriman yang lebih utama daripada seorang mukmin lain. Iman adalah dasar dari segalanya dan semua orang yang beriaman adalah wali Allah. Seandainya kewalian menghendaki karamah, maka setiap mukmin pasti memlikinya, Penetangan yang ketiga, dari kelompok antropomofis (hasywiyah) mereka mengingkari kelebihan yang dimiliki oleh para wali. Menurut mereka, hak istimewa itu bisa saja teradi, tetapi orang semacam itu sudah tidak ada lag, walaupun pernah ada sebelumnya. D. Neo-Sufisme: Kritik Konsep Ibn Taymiyyah terhadap Tasawuf Kritik konsep Ibn Taymiyyah terhadap ajaran tasawuf, beberapa hal mendasar yang dapat dipegangi untuk melihat keseluruhan sikap Ibn Taymiyyah atas ajaran kaum sufi tersebut. Pertama, Ibn Taymiyyah sesungguhnya bukanlah musuh sekaligus penentang keras tasawuf. Ia memang melontarkan kritik tajam terhadap beberapa sufi sperti: al-Halalaj, Ibn al-Arabi dan pendukungnya, tapi ia juga memberikan apresiasi yang cukup tinggi terhadap sufi yang lainnya, misalnya Abd al-Qadir al-Jilani, Fudyl b. Iyad, dan Junayd al-Bagdadi. Kedua, ia tidak menentang beberapa praktik sufi yang dikembangkan banyak tarekat, seperti berbagai pembacaan formula keagamaan yang dikemas dalam dzikir. Tetapi yang ia tolak adalah dzikir yang hanya menyebut nama-nama Allah dalam ism- almufrad. Menurutnya dzikir yang diajarkan oleh Rasul adalah dzikir dengan kalimat sempurna (al-jumlat al-tammah) Ketiga, ia tidak mengecam beberapa prilaku yang berlebihan dalam tindak ekstatik (mabalaghah fi al-zuhd) seperti yang dikembangkan para zahid di Basrah, yang menyebabkan mereka meninggal, pingsan, atau kondisi tidak sadar lainnya, melainkan sekedar menganggapnya lemah (maghlub). Seandainya mereka tetap terjaga, lanjutnya, tentu hal itu akan lebih baik, sebab Nabi saw dan para sahabatnya tidak sampai berlaku sampai demikian. Keempat, ia tidak mengabaikan adanya pengalaman spiritual para sufi seperti fana’ dan penyatuan, tetapi yang ia tentang ialah jika yang demikian itu menyebabkan pelakunya mengabaikan bahkan meninggalkan norma syar’iy. Kelima, ia tidak menegaskan adanya perolehan pengetahuan lewat kasyf atau ilham yang biasa diperoleh para sufi, tetapi ia tidak mengaanggapnya sebagai standar kepastian yang tidak terbantahkan. Kepastian yang sebenarnya hanya ada pada wahyu Allah yang diterima para Rasul. Ia juga menyalahkan mereka yang menjadikan kasyf sebagai tujuan akhir (ultimate goal) bagi perjalanan spiritualnya dan menganggapnya sebagai criteria kebesaran wali. Menurutnya kebesaran seseorang itu ditentukan oleh sejauh mana ia sepenuhnya menjalankan seluruh aturan syari’ah yang dicontohkan Rasul dan para sahabatnya. Intinya, ia ingin membawa kasyf tersebut kepada tingkat proses intelektual yang sehat dan menolak finalitas atasnya. Terakhir, keenam, kritik konsep Ibn Taymiyyah sepenuhnya didasarkan pada dua hal, yaitu mengarahkan tasawuf pada pengakuan ortodoksi (puritan) dan mengalihkan perhatian tasawuf dari hanya sekedar sebagai pola pengembangan pribadi kepada rekonstruksi moralitas sosial masyarakat muslim. Dua hal inilah setidaknya yang menempatkan Ibn Taymiyyah dalam barisan penganjur neo-sufisme. E. Erotisme dalam Tradisi Tasawuf Pada dasarnya cinta manusiawi yang digelar para sufi dalam karya mereka merupakan personifikasi cinta kepada Tuhan. Dengan melakukan redifinisi cinta dalam bentuk sastra dengan genre erotis transcendental merupakan cara yang paling sederhana untuk dapat memahami cinta kepada Tuhan. Tuhan dalam sastra sufi dipersonifikasikan sebagai tokoh cerita. Tuhan dipersonifikasikan sebagai figure utama. Layla adalah Tuhan, Syrin adalah Tuhan, gadis cantik Kristen lawan main saikh San’an adalah Tuhan, Nizam adalah tuha. Karena itu menurut kaum sufi tidaklah salah memanusiakan Tuhan dalam bersastra. Letak ujian yang menentukan: bukan dalam mengingkari sensualitas manusia melainkan dalam memahami karakter lebih dalam dari energy erotis dan konsekuensinya adalah dalam upaya yang dilakukan oleh pencari kebenaran untuk memanfaatkan kehidupan dimuka bumi guna membuka pintu menuju yang transenden, makhluk k nonmakhluk. Berupaya bagaiman hidup di dalam kekuatan hasrat kepada makhluk dengan tetap mendambakan non-makhluk, sama artinya dengan menjadikan hati yang mabuk cinta sebagai pintu masuk ke Yang Maha tak Terbatas. Pengalaman cinta manusia membuka hati sang pencinta terbuka kepada cinta yang transenden; cinta yang penuh gairah kepada Tuhan. Cinta sejati bukanlah hasrat untuk memuaskan cinta duniawi, namun kerinduan akan cinta purbawi. TASAWUF DAN KEBERAGAMAAN A. Kesatuan Eksistensial: dari yang satu ke yang banyak Rumusan teologis Ibn Arabi menegaskan kerangka teologis dimana keseluruhan bangunan kepercayaan terhadap Tuhan pada dasarnya adalah benar, selama Tuhan yang disembah adalah tuhan Yang Maha Mutlak yang berada di balik Tuhan (ilah) yang dianggap sebagai Tuhan (Allah). Asumsi ini menurut Ibn. Arabi didasarkan pada preposisi, suatu hal yang mustahil bagi manusia untuk bersama al-Haq dari sia-sia sebagai al-Haq yang “terkotak” dalam ipsitetiNya. Sesungguhnya seseorang hanya dapat bersama al-Haq sesuai dengan persepsi yang diberikan oleh manusia tentang dirinya. Diversitas agama / kepercayaan terhadap Allah berasal dari ketidakterbatasan model-model manipestasi Allah (modes of God manifestation). Allah didesain sedemikian rupa yang akhirnya mencair pada pembatasan diri Allah dalam bentuk-bentuk Tuhan yang tercipta dalam kepercayaan. Tuhan adalah satu, akan tetapi epifani Allah sepenuhnya berbeda, yang dipahami secara terbatas dan unik oleh manusia. Namun, keunikan dan kekhasan dari interpretasi atas kehadiran Allah kembali kepada nama-nama Tuhan sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Arabi bahwa setiap yang melihat Tuhan berada dalam kontrol nama-nama Tuhan. Nama itulah yang menyingkapkan diriNya dan kemudian memberikan kepercayaan tertentu melalui penyingkapan diriNya tersebut. Sekalipun demikian, Tuhan akan mengambil bentuk setiap keimanan sekalipun bentuk yang dihadirkan oleh manusia berbeda sama sekali dengan esensiNya. Dengan persepsi manusia yang beragam akan bentuk tuhan dan nama Tuhan sudah barang tentu pada akhirnya nanti akan melahirkan dialetika nama dan bentuk Tuhan. Pertanyaan sekarang yang muncul adalah bagaimana dengan esensi Tuhan sendiri? Apakah Tuhan akan berubah dengan pluralitas serta diversitas nama dan bentuk yang diberikan kepadaNya. Tuhan yang dipahami manusia adalah Tuhan yang satu, tidak terjangkau oleh pikiran manusia. Dia dikonsepsikan secara berbeda-beda oleh berbagai kelompok manusia sepanjang lintasan peradaban manusia yang bersifat konsepsional. Oleh karena itu, masalah ketuhanan tidak lebih dari persepsi manusia mengenai Tuhan. B. Makna Teologis-Sosiologis Antaragama. Wahdah Al-Wujud dalam Konteks Hubungan Konsep Kesatuan (al-Wahdah) dalam Tasawuf Pengalaman mistik bukanlah suatu bentuk pengetahuan fenomenal yang berada dalam kerangka hubungan distingtif subyek-obyek. Karena puncak dari pengalaman tentang Tuhan dalam tasawuf adalah “pencapaian kesadaran uniter” yang melenyapkan jarak antara subyek-obyek. Kesadaran uniter inilah yang selanjutnya oleh sebagian sufi dikonseptualisasi dalam ajaran tentang kesatuan (al-wahdah). Inti pemikiran tentang kesatuan ini adalah pada kesatuan wujud (wahdat alWujud), sedangkan yang seterusnya merupakan konsep-konsep turunan dari yang pertama ini. Konsep kesatuan wujud berpemahaman bahwa keragaman (pluralitas) wujud (ciptaan) merupakan tirai khayali yang menyelubungi wuud mutlak yang tak terbagi-bagi. Secara ontologism, konsep kesatuan tersebut bercorak monistik, yang memahami substansi terdalam dari segala yang ada sebagai bersifat tunggal dan tak terbagi-bagi, yaitu Wujud Mutlak. Membuka Ruang bagi Kebenaran ( Agama ) Lain Secara substansial pluralism agama menunjuk kepada adanya transformasi pemahaman dan penghayatan agama dari diri sebagai pusat (self centeredness) kepada Tuhan sebagai pusat (Divine Centeredness). Maka ketika membicarakan agama, orang tidak lagi berbicara tentang “agama saya atau agama kamu” sebagai orientasi, tetapi kepada “pusat dari agama saya dan agama kamu,” yaitu Tuhan. Karena hakikat Tuhan adalah tunggal, maka tatkala berbicara tentang pusat dan sumber agama-agama, itu berarti juga berbicara tentang suatu yang tunggal, yaitu wujud yang suci (Tuhan). Konsep ajaran al-Wahdah dalam tasawuf, secara ontologism-teologis, merupakan suatu upaya penegasan akan perbedaan antara yang Nampak (appeareance) dan yang nyata (the real). Kebenaran mutlak adalah pada yang Nyata, dan pada yang Nampak dimana kebenaran keberagamaan manusia berada adalah sebaliknya, kebenaran relative. Untuk itulah dalam konteks keberagamaan manusia perlu ada pembedaan antara pemahaman tentang Tuhan yang menghasilkan konsepsi tentang Tuhan dengan Tuhan yang sebenarnya. Tuhan yang dipercaya sebenarnya adalah Tuhan yang sudah dikonsepsikan oleh pikiran manusia, dan bukan Tuhan yang sesungguhnya. C. Manakar Agama dalam Konteks Kesatuan Agama-Agama Parameter yang diajukan oleh Ibn Arabi mengacu kepada : 1. Perintah penciptaan (al-amr al-takwini); semua agama atau system keyakinan terhadap Tuhan adalah benar karena sesuai dengan perintah penciptaan. 2. Perintah kewajiban (al-amr al-taklifi) Pada perintah penciptaan parameternya masih amat longgar, tetapi kelonggaran ini dibidas oleh Ibn Arabi dengan mengemukakan bahwa suatu system keyakinan terhadap Tuhan bisa saja abash harus mencakup tiga dimensi: dimensi ketuhanan, dimensi kenabian, dan dimensi syariat. Ketiga domain di atas merupakan dimensi generic yang selalu disuarakan oleh setiap Nabi dan Rasul dari setiap tradisi yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya tidaklah sekompleks visi dan misi kenabian yang dibawa oleh Muhammad. Visi dan misi kenabian Muhammad merupakan puncak tertinggi dan sintesis dari seluruh kenabian yang pernah ada sebelumnya. Hal ini berhubungan dengan posisinya sebagai agama awal dan agama akhir. Sebagai agama awal, Islam memosisikan dirinya sebagai agama primordial dengan mengajak manusia untuk kembali kepada keesaan orisinil, kebijaksanaan yang abadi, religio perennis, yaitu al-din al-hanif yang didasarkan pada unitas. Islam sebagai agama terakhir dengan memosisikan diri sebagai pengawet sehingga member daya sintesa, integrasi, serta penyerapan. Islam juga menghidupkan kembali spiritualitas dan melengkapi pesan dari kitab sebelumnya tanpa sedikitpun merendahkannya. Selain daripada itu, islam juga memiliki kewenangan untuk menghapus korpus atau ajaran dari para nabi sebelumnya karena dianggap sudah tidak relevan lagi dengan konteks kenabiannya. Hal ini memungkinkan dikarenakan posisi Muhammad sebagai nabi terakhir dan A-Qur’an sebagai wahyu terakhir. Muhammad dan Al-Qur’an laksana cahaya matahari yang muncul di tengah cahaya bintang-bintang. Semuanya tenggelam dalam cahaya kenabian Muhammad. TASAWUF DAN NAFSULOGI A. Olahraga Jiwa Perspektif Tasawuf Kesatuan Badan dan Jiwa Whitehead berpendapat bahwa badan dan jiwa manusia merupakan dua hal yang berbeda dan saling berhubungan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Badan manusi terdiri dari bagian-bagian yang sangat kompleks dan masing-masing bagian mempunyai susunan yang berbeda secara fisik maupun mental. Bagian tubuh yang bersifat fisik berhubungan langsung dengan lingkungan sekitar, sementara bagian tubuh yang bersifat mental menerima reaksi dari fisik tubuh. Masing-masing bagian ini bekerjasama dalam menghasilkan “tindakan” baik yang menyangkut cara kerja maupun respons terhadap keadaan di sekitarnya. Mengapa Olahraga Jiwa ? Ada sebuah organ yang selalu dipopulerkan oleh rezim orde baru yang berbunyi “di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Jargon ini tidak hanya sebatas seruan tanpa aksi, tetapi benar-benar dilaksanakan oleh pemerintah dengan memerintahkan seluruh instansi pemerintah baik departemen pemerintah, sekolah, kepolisian, TNI maupun insatnsi lainnya untuk melaksanakan olahraga minimal setiap hari jumat. Manusia yang sehat jiwanya tidak akan menyentuh hal-hal yang haram bahkan subhat, mereka akan mempunyai kesadaran untuk melakukan yang terbaik bagi badannya, serta selalu berperilaku baik dan hidup sehat. Mungkin untuk tepatnya jargon tersebut seharusnya dibalik menjadi “jiwa yang sehat akan menjadikan badan sehat” Relavansi Kesehatan terhadap Kesehatan Jasmani 1. Yang berakibat langsung terhadap kesehatan fisik 2. Yang berakibat pada kesehatan jiwa / mental. Tasawuf sebagai Media Olahraga dan Pengobatan Bagi masyarakat Islam slah satu alternatif olahraga jiwa adalah metode tasawuf. Mendengar kata tasawuf mungkin yang terpikirkan dalam benak kita adalah sesuatu yang sulit dijangkau oleh pemikiran terutama pikiran orang awam, kita akan teringan bagaimana suitnya mencapai ma’rifat, kita juga akan teringat bagaimana susahnya menangkap dan memahamai metode para sufi dan lain sebagainya. Jika itu yang kita pikirkan mana mungkin tasawuf dapat menjadikan jiwa kita sehat ? bukankah seharusnya olahraga itu dilakukan dengan mudah, ringan dan menyenangkan ? Rileksasi dapat dilakukan dengan: 1. Shalat 2. Dzikir 3. Puasa RESUME “TASAWUF” NAMA NIM KELAS MATA KULIAH : RAOYANI HULPAH : 160105060 : 1/B : TASAWUF INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM 2016