TASAWUF DAN PERANANNYA DALAM MASYARAKAT MODERN Oleh : Ahmad Arif Ma’ruf A. Pendahuluan Adalah pondok Pesantren Suryalaya, sebuah pondok pesantren yang berkiprah di bidang penyembuhan korban narkotika.. Sejak didirikan pada tahun 1971 telah berhasil menampung dan membina ribuan pecandu narkotika. Secara spektakuler pesantren ini telah merehabilitasi dan resosialisasi korban narkotika dengan cara-cara yang unik. Konon lebih dari 13 % pecandu narkotika di Indonesia berhasil “dientaskan” di pesantren ini.1 Jelas sebuah prestasi yang luar biasa. Ditilik cara penyembuhan yang dilakukan di pesantren Suryalaya, memang terdapat perbedaan yang cukup menonjol dengan terapi yang umumnya pada lembaga-lembaga rehabilitasi narkoba. Rehabilitasi narkoba biasanya dilakukan dengan cara penyembuhan fisik. Sebuah pendekatan yang kadang-kadang tidak manusiawi, karena tidak jarang penderita dianggap “gila” sehingga harus opname di rumah sakit jiwa. Maka tidak aneh jika cara ini tdak mampu menyembuhkan secara tuntas penderita/pecandu narkotika. Secara fisik berhasil disembuhkan tetapi secara mental tidak. Jelas penderita sangat mudah kambuh lagi. Di Pesantren Suryalaya Jawa Barat, perawatan korban narkotika dilakukan dengan pendekatan keagamaan. Korban disembuhkan melalui praktek-praktek keagamaan tertentu, seperti banyak berdzikir tawajjuh, bertirakat, banyak bersembahyang ( yang bila ditotal sampai 124 raka’at dalam 24 jam) , membaca al-Qur’an, dan pengajian-pengajian. Ternyata, pendekatan ibadah yang diterapkan ini diakui oleh pihak pesantren Suryalaya adalah mengikuti metode aliran tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah. Aliran ini merupakan alirann tasawuf paling populer di nusantara ini. Kemampuan pendekatan tasawuf dalam penyembuhan penderita narkoba tersebut membuktikan bahwa ajaran tasawuf tetap mempunyai vitalitas yang tinggi meskipun di tengahtengah peradaban dunia yang semakin rasionalistik. Padahal semenjak kelahirannya hingga millenium ketiga , tasawuf kaya dengan hujatan-hujatan dan menjadi “kambing hitam” kemunduran Islam. B. Tasawuf: Pengertian dan Perkembangannya Tasawuf (sufisme) adalah julukan terhadap sebuah gerakan mistik Islam Secara etimologis kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulispenulis banyak mengaitkannya dengan kata: 1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa. 2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayatayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan. 1 Azra, Azyumardi. 1998. Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu (hal.97) 1 3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi. 4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf. 5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia. Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).2 Tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.3 Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong. Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu 2 Kahmad, Dadang. 2002. Tarekat dalam Masyarakat Islam ; Spiritualitas Masyarakat Modern. Bandung :Pustaka Setia (hal.70) lihat juga Rahman, Faslur.2000. Islam. Jakarta : Pustaka (hal 190) 3 Bruinessen, Martin Van, 1994. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Jakarta : Mizan 2 dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.4 Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini. Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam. Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan. Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri? 5 Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah 4 Nasution, Harun. Tasawuf (artikel). Sumber : http://haizam.tripod.com/tasauf/tasawuf.htm 5 ibid. 3 "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil." Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya. Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya." Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17). Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Akupun dikenal." Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan. Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf. 6 6 Nasution, Harun. Tasawuf (artikel). Sumber : http://haizam.tripod.com/tasauf/tasawuf.htm 4 Dalam sejarah Islam tasawuf atau sufisme adalah khazanah spiritualisme yang sangat berharga. Ia berkembang mengikuti dialektika jaman sejak Nabi Muhammad saw sampai sekarang baik dalam bentuk yang sederhana dan ortodoks, maupun yang elaborate dan heterodoks. Perkembangan sufisme mencerminkan ragamnya pemahaman terhadap konsep akhlaq dalam kehidupan sosial dan ihsan dalam kehidupan spiritual. Jika dilihat dalam konteks sejarah, ragamnya pemahaman itu muncul dalam beberapa fase perkembangan. Pada awal Islam, terutama periode Makkah, begitu jelas al-Qur'an menekankan pentingnya spirirualisme itu. Tetapi hal ini paralel dengan orientasi kesadaran profetik, di mana pengalaman spiritual tidak hanya ditujukan bagi spiritualisme itu sendiri, tetapi bermakna bagi pembangunan etika yang menggerakkan sejarah kehidupan umat Islam. Dalam tahap selanjutnya, piritualitas itu muncul dalam bentuk kehidupan zuhd ketika umat Islam menikmati kemewahan dengan terciptanya imperium yang luas. Kehidupan zuhd menjadi reaksi terhadap kehidupan yangsekular dan sikap penguasa dinasti Umayyah di istana mereka, yang kebanyakan bersikap kontras terhadap kesalehan dan kesederhanaan Khalifah yang Empat. Selama dua abad sejak kelahiran Islam, tasawuf merupakan fenomena individual yang spontan. Ia menjadi ciri dari mereka yang dikenal dengan sebutan zuhhad (orang-orang zuhud), nussak (ahli ibadah), qurra' (pembaca alQur'an), qushshash (tukang kisah) dan bukka' (penangis). Mereka menjauhkan diri dari hingar bingar kemewahan duniawi dan ketegangan politik di masanya. Setelah itu, ketika cara hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu, istilah sufi secara pelan-pelan mengantikan nama zuhhad, nussak dan lain-lain. Muncullah beberapa nama besar sufi, seperti Ibrahim ibn Adham (w. 174/790), Rabi'ah al-'Adawiyyah (w. 185/801), dan lain-lain..7 Kemudian, muncul organisasi sufi yang ditunjukkan kepada pertemuan yang informal dan longgar untuk diskusi agama, dan latihan spiritual, yang disebut halqah. Pada masa ini mucul para sufi, seperti Sahl al-Tustari (w. 283/896) dan al-Junayd al-Baghdadi (w. 297./910). Pembacaan dzikir bisa dilaksanakan di mana saja, termasuk masjid. Keadaan ini berlangsung sampai dengan abad ke-5/ke-11. Sejak abad ke-6/ke-12, praktek yang simpel ini berkembang menjadi konsep spiritual yang elaborate dan terorganisasi dalam bentuk tarekat (thariqah). Organisasi ini memiliki hirarki kepemimpinan, inisiasi atau baiat, formula dzikir dan silsilah yang diyakini sampai kepada shahabat Nabi. Jadi, tasawuf yang semula menjadi amalan individual atau pemikiran spekulatif sekarang menjadi terstruktur dan kemudian berkembang secara massal. Pasca abad ke-6/ke-12 dunia Islam didominasi oleh tarekat yang memainkan peran besar dalam kehidupan sosial dan politik . Dunia Islam pasca abad ke-6/ke-12 ditandai dengan lahirnya tarekat-tarekat yang kemudian menjadi jaringan internasional yang pengikutnya bebas lalu-lalang melintasi batasbatas kekuasaan dinasti. Pada akhir abad itu muncul tarekat Qadiriyah yang dinisbahkan kepada Abd al-Qadir al-Jilani (w. 561/1166). Ia menjadi salah satu tarekat yang paling kuat dan dikenal dengan kesalehan dan humanitarianismenya. Berdiri di Baghdad, ia berkembang lihat juga Arberry.A.J. 1983. Muslim Saints and Mystics atau Warilsan para Awliya. (terj.Anas Mahyuddin). Bandung: Pustaka (hal.1-3) 7 Bruinessen, Martin Van, 1994. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Jakarta : Mizan 5 ke barat di Afrika Utara dan kemudian Afrika Hitam, ke timur sejauh Indochina dan ke utara di Turki.8 Selama perjalanannya berabad-abad, tasawuf menhadapi polemik dan kontroversi yang seperti tak berujung pangkal. Tarik menarik antara Syari’ah dan Thariqah9, masalah keabsahan, bahkah sampai-sampai tasawuf dianggap sebagai penyebab kemunduran Islam. Al-Faruqi dan Faslur Rahman adalah dia pakar Islam yang berwibawa yang memandang tasawuf dari kaca mata negatif. Meskipun demikian, tampaknya sufisme (juga tarekat) makin mendapat tempat dalam masyarakat modern ini. Satu hal yang sangat unik adalah dalam perkembangannya cara-cara tasawuf banyak dipraktekkan oleh kelompok-kelompok bukan Islam. Bahkan konsep-konsep sufi hanya berterima bagi umat Islam saja, sebagaimana kutipan berikut ini. “. One of the few concepts that Sufis seem to agree on is that all religions offer a path to salvation or enlightenment and that true God realization, no matter how it is achieved, transcends the limitations and classification of any religion. Basically, a saint in any religion is equal to a saint in any other religion because they are inspired by the same Divine source. Initially the term Sufi referred only to those who had achieved God realization, but it has since come to be applied to anyone who follows that particular spiritual path.” 10 Sehingga tidak heran jika kemudian muncul berbagaimkelompok seperti kelompok Subud dan Anand Krisnha, yang menerima anggota dari berbagai umat beragama.. Jadi , tasawuf menjadi suatu yang bersifat universal tanpa batas agama. C. Peranan Tasawuf dalam Kehidupan Modern Terlepas dari polemik dan kontroversi mengenai tasawuf, tampaknya tasawuf makin menunjukkan peranannya dalam masyarakat modern. Seperti telah disinggung pada bagian awal, penyebab utama terjerumusnya remaja dalam narkoba adalah keringnya nilai-nilai spiritual. Kekeringan spiritual itu mengakibatkan kebingungan sementara kalangan renaja untuk menemukan pegangan. Akibatnya berjalin berkelindan dengan faktor-faktor lain, seperti broken home, lingkungan tak sehat dan lain-lain. Akhirnya remaja tersebut terjerumus ke dalam narkoba. Kebudayaan moderen yang berintikan liberalisasi, rasionalisasi, efisiensi secara konsisten terus melakukan proses pendangkalan kehidupan spiritual. Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan 8 ibid. Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta :Paramadina 10 David Berry. Sumber : http://www.davidberryart.com/articles/sufism.html 9 6 penting. Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlak mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan. Belakangan ini muncul gejala baru yang berbeda dengan era sebelumnya. Gerakan tarekat muncul di tempat yang tidak diduga sebelumnya, seperti di Manhattan dan New York. Di Indonesia sendiri, beberapa tahun terakhir gejala munculnya penghayatan sufisme ke panggung kehidupankeagamaan juga terlihat dengan jelas. Buku-buku ke-sufi-an makin marak hampir di semua toko buku. Ini indikasi kuat makin populernya sufisme dalam masyarakat kontemporer. Sayyed Hossein Nasr, dalam suatu surveinya pada tahun 1990 menyimpulkan , dalam beberapa dekade terakhir ini telah terjadi peningkatan yang signifikan dalam minat terhadap sufisme., terutama di kalangan terdidik.11Faslur Rahman menamakan sufisme yang muncul pada era modern ini sebagai neo-sufisme, atau sufisme yang telah diperbaharui. Neo-sufi berkembang dengan berbagai kebaruan sehingga terjadi banyak modifikasi, misalnya dzikir model Arifin Ilham, ritual gaya Haji Haryono, dan mungkin masih cukup banyak variasi lainnya. Kesemuannya itu bertujuan yang sama yaitu untuk mencari pencerahan batin dari kegersangan spiritual masyarakat modern. Ketika hal-hal yang bersifat material tak mampu mengatasi persoalan hidup, maka tasawuf menawarkan solusinya. Inilah bukti bahwa tasawuf merupakan bagian peradaban Islam yang tidak harus dipandang dengan lensa negatif. D. Penutup Sufisme atau tasawuf merupakan buah peradaban Iaslam yang sangat tua, namun mengalami revitalisasi di era modern ini. Kehadirannya semakin bermakna ketika ia mampu menjadi”oase di padang pasir” bagi masyarakat modern yang pengalami krisis spiritual. Dalam bentuk tarekat tertentu atau dalam bentuk yang sudah termodifikasi, tasawuf menjadi obat penyakit modernisasi dengan segala dampak negatifnya. Tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya semakin memainkan peranan penting. Ia yang dahulu dituduh penyebab kemunduran Islam, dan disikapi secara negatif oleh beberapa pakar Islam, seperti Faslur Rahman dan al-Faruqi, kini makin mendapatkan tempat dalam masyarakat modern. Bahkan ia menjadi solusi yang dinantikan bagi problematika masyarakat modern. **** 11 Kahmad, Dadang. 2002. Tarekat dalam Masyarakat Islam ; Spiritualitas Masyarakat Modern. Bandung :Pustaka Setia (hal.76) 7 Daftar Pustaka Arberry.A.J. 1983. Muslim Saints and Mystics atau Warilsan para Awliya. (terj.Anas Mahyuddin). Bandung: Pustaka Azra, Azyumardi. 1998. Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Bruinessen, Martin Van, 1994. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Jakarta : Mizan David Berry. Sumber : http://www.davidberryart.com/articles/sufism.html Kahmad, Dadang. 2002. Tarekat dalam Masyarakat Islam ; Spiritualitas Masyarakat Modern. Bandung :Pustaka Setia Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta :Paramadina Nasution, Harun. “Tasawuf” http://haizam.tripod.com/tasauf/tasawuf.htm Rahman, Faslur.2000. Islam. Jakarta : Pustaka (hal 190) 8