1 BAB III PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA A. Sejarah Perkembangan Hukum Lingkungan Indonesia Pada tahun 19962 terbit buku “The Silent Spring” atau musim semi yang sunyi karangan Rachel Carson1 yang mempunyai pengaruh besar pada kesadaran orang terhadap lingkungan hidupnya. Dalam Bab I bukunya Carson bercerita tentang hari depan, antara lain penyakit misterius telah menyerang ayam, sapi dan domba, hewan-hewan tersebut sakit dan mati. Dalam ceritanya itu dimana-mana terdapat bayangan kematian, para petani berbicara tentang banyaknya penyakit dalam keluarga mereka, demikian pula para dokter mengahadapi teka-teki penyakit baru yang timbul diantaranya para pasienya. Kematian yang sekonyong-konyong tidak dapat diterangkan penyebabnya, terjadi tidak hanya terhadap orang-orang dewasa saja namun terjadi juga pada anakanak yang tiba-tiba menjadi sakit waktu bermain dan meninggal dalam beberapa jam saja. Ungkapan Rachel Carson2 antara lain mengemukakan hal berikut: “it is our alarming that so primitive a science har armed it self with the most modern and terribel weapons, and that in turning them against the inseets it has also turned them against the earth”. 1 Otto Sumarwoto, Op Cit, Hlm 11. Rachel Carson, Silent Spring, Fawceet Publication, Inc, Greenwich Conn, 1962, Hlm 261-262, dalam siti sundarai Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, 1987, Hlm 30. 2 2 Walaupun pada awalnya cerita Carson ini mendapat tantangan terutama dalam kalangan industriawan kimia, bahkan mereka mengeluarkan dana cukup besar sebanyak $ 250.000 digunakan sebagai dana kampanye untuk membuktikan bahwa Carson adalah seorang dungu yang histeris. Namun ada pula pihak yang terinspirasi akibat cerita Carson tersebut.3 Tak lama setelah terbitnya buku tesebut dunia dikejutkan oleh suatau penyakit misterius yang menjangkit masyarakat sekitar teluk Minamata di Jepang, disusul dengan berjangkitnya penyakit mematikan yang disebut dengan itai-itai. Dengan munculnya penyakit yang aneh dan misterius di Jepang tersebut, membuktikan bahwa tulisan Carson ini bukan sekedar fiktifimajinatif melainkan suatu kenyataan yang telah menimpa umat manusia di berbagai belahan bumi. Vittachi4 berpendapat bahwa peringatan Rachel Carson dalam Silent Spring tersebut tentang bahaya penggunaan insectisida (An no birds Sing) merupakan pemikiran yang pertama kali menyadarkan manusia mengenai lingkungan. Dan ini mejadi awal perhatian masalah lingkungan, sedangkan di Indonesia berdasarkan pendapat Syahrul Macmud5, penegakan hukum lingkungan dimulai sebelum Indonesia, sesungguhnya telah terdapat dua ketentuan yang berkaitan dengan lingkungan yang dikeluarkan baik di zaman Jepang, sebagaiman tercantum dalam Himpunan Peraturan 3 Sale, Kirkpatrick, Revolusi Hijau, Sebuah Tinjauan Historis Kritis Gerakan Lingkungan Hidup di Amerika Serikat, Terjemahan dari The Green Revolution, The American Environmental Movement, Yayasan Obor Indonesia , 1996, Hlm 2. 4 Syahrul Machmud, Op Cit, Hlm 28. 5 Ibid, Hlm 62. 3 Perundang-Undangan dibidang lingkungan hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah dibidang pengembangan Lingkungan Hidupyang diterbitkan pada 5 Juni1978, serta dikumpulkan dari berbagai bahan lainya, antara lain : 1. Zaman Hindia Belanda a. Ordonansi tentang perikanan mutiara dan perikanan bunga karang, yaitu Parelvisscherij, Sponsenvisscherij Ordonantie Stb. 1916 No. 157, dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Januari 1916. b. Natuurmonumenten Ordonantie (Ordonansi Cagar Alam) S. 1916 No. 278 yang bertujuan melindungi flora dan fauna. Ordonansi ini kemudian diganti reservatenordonantie dengan Natuurminumenten (Ordonansi Cagar Alam en dan WldSuaka Margasatwa) S. 1932 No. 17). Kemudian dicabut dengan ordonansi yang mengatur tentang perlindungan alam, yaitu Natuurbeschermingsordinantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). O\rdonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar alam dan suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en Wildreservaten ordonantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17). Dan terakhir diganti dengan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990. c. Pada tanggal 26 Mei 1920 denagn penetapan Gubernur Jenderal No. 86 telah diterbitkan Visscherrijordonantie (Stb. 1920 No. 396), yaitu peraturan perikanan untuk melindungi keadaan ikan 4 termasuk telur ikan, benih ikan dan segala macam kerangkerangan. Ordonansi lain tentang ikan adalah Kustvisscherijordonantie (Stb. 1927 No. 144) berlaku sejak 1 September 1927. Ordonansi perikanan telah dicabut dengan UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang diundangkan pada tanggal 19 Juni 1985. d. Reeden Reglement (Peraturan Bandar) S. 1925. Yang melarang membuang barang-barang di bandar sepanjang pantai dan alur pelayaran lainya (pasal 16). e. Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah ordonansi gangguan (Hinder Ordonantie), tanggal 13 Juni 1926 Stb. Tahun 1926 No. 226, mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1926 dirubah terakhir denagn Stb. Tahun 1940 No. 450. f. Monumentenordonantie S. 1931. No. 238 dalam pasal 12 jo 6 ayat (2), melarang merusak atau mengubah bentuk atau tujuan semula dari monumen tanpa izin. g. Ordonansi tentang perlindungan satwa adalah Dierenbeschermingsordonantie (Stbl. 1931 No. 134) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia). h. Ordonansi tentang perburuan, yaitu Jachtordonantie 1931 (Stbl. 1931 No. 133) dan Jachtordonantie Java en Madoera 1940 (Stbl. 1940 No. 733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli 1940. 5 i. Dalam bidang perusahaan telah pula dikeluarkan Bedrifsreglementteringsordonantie 1934 (Stbl. 1938 no. 86 Jo Stbl. 1948 No. 224) j. Wegverskeersvordening (Peraturan Lalu Lintas Jalan) S. 1936 jo PP No. 2 Tahun 1964, dalam pasal 11 sub 4a, dilaranag meneluarkan suara keras, menyebarkan uap atau bahan-bahan lain. Dalam pasal 24 ayat (1c) kendaraan harus dengana alatperedam suara. Ketetentuan tentang lalu lintas telah diperbaharui dengan UU No. 4 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. k. Dalam hubunganya dengan pembentukan kota, telah dikeluarkan Stadvormingsordonantie (Stbl. 1948 No. 168) disingkat SVOyang mulai berlaku pada 23 Juli 1948. Pada tahun tersebut sebenarnya Indonesia telah merdeka, namun SVO ditetapkan diwilayah yang secara de facto masih diduduki Belanda. Terdapat pula beberapa pasal dalam KUHP yang sampai sekarang masih berlaku mengandung aspek lingkungan : a. Pasal 187, yaitu sengaja membakar, menjadikan letusan atau mengakibatkan kebanjiran. b. Pasal 187 bis, yaitu membuat, menerima, berusaha untuk mendapatkan, mempunyai, meyembunyikan, membawa atau memasukan ke Indonesia bahan-bahan atau benda-benda yang diketahuinya atau patut disangkanya dapat digunakan sebagai bahan letusan yang dapat mendatangkan maut atau bahaya umum bagi barang. 6 c. Pasal 188, yaitu menyebabkan kebakaran, peletusan atau banjir. d. Pasal 191, yaitu menghancurkan dan sebagainya bangunan yang diperuntukan menahan atau menyalurkan air. e. Pasal 202,yaitu sengaja meracun mata air untuk kepentingan umum. f. Pasal 203, yaitu karena kelapaanya mengakibatkan mata air untuk kepentingan umum teracuni. g. Pasal 497, yaitu menyalakan api dijalan umum yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran. h. Pasal 500, yaitu membuat obat ledak tanpa izin. i. Pasal 501, yaitu menjual dan sebagainya barang makanan/minuman yang dipalsukan atau busuk atau dari ternak sakit. j. Pasal 502, yaitu berburu tanpa izin. k. Pasal 503, yaitu berbuat onar pada malam hari atau dekat tempat ibadah atau pengadilan. l. Pasal 548-549, yaitu membiarkan unggas, ternak berkeliaran. 2. Zaman Jepang Pada zaman Jepang terdapat peraturan tentang larangan menebang kayuaghata, alba dan balsem tanpa izin, yaitu Osamu S. Kanrei Nomor 6. Larangana tersebut berkaitan dengan kepentingan Jepang terhadap ketiga jenis kayu pembuatan pesawat peluncur (gliders). tersebut sebagai bahan 7 3. Zaman Kemerdekaan Pada awal keerdekaan Republik Indonesia, sebelum berlangsungnya Konferensi Stockholm tahun 1972 yang dianggap sebagai tonggak perhatian dunia terhadap masalah lingkungan tersebut, Indonesia telah memiliki beberapa perundangan yang bernuansa lingkungan. Demikian pula selanjutnya secara bertahap ditetapkan beberapa UU bernuansa lingkungan baik sebelum tahun 1972 maupun setelahnya, seperti: a. UU No.5 Tahun 1960, tentang Undang-Undang Pokok Agraria. b. UU No. 9 Tahun 1960, tetang Pokok Kesehatan. c. UU No. 11 Tahun 1962, tentang Hygiene. d. UU No. 5 Tahun 1967, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. e. UU No. 11 Tahun 1967, tentang Pertambangan. f. UU No. 3 Tahun 1972, tentang Transimgrasi. g. UU No. 4 Tahun 1982 (telah diganti dengan UU N0. 23 Tahun 1997), tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan telah diterbitkan UU organik. h. UU No. 5 Tahun 1983, tentang Zona Eksklusif, berkaitan dengan pasal 2 dan 4 UULH.6 Dan masih banyak lagi UU dan perturan setingkat pertauran pemerintah lainya. Mencermati masalah lingkungan secara global, menurut Emil salim7, 6 bahwa secara Syahrul Machmud, Op Cit. Hlm 65-66. perorangan beberapa ilmuan telah 8 mencetuskan masalah lingkungan, namun memperoleh perhatian yang layak. Barulah pada permulaan tahun tujuh puluhan, para ilmuan secara bersama-sama membahas masalah lingkungan hidup secara terbuka dalam satu seminar ilmiah. Perkembangan ini tidak terlepas dari bangkitnya minat pemikir dunia menanggapi masalah lingkungan hidup secara global. Kaidah dasar yang melandasi pembanguanan dan perlindungan lingkugan hidup Indonesia terdapat dal Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4 yang berbunyi; “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangs Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaa, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indnesia, kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksaan dalam permusyawratan perwakilan, serta dengan meweujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.8 Pembukaan UUD 45 tersebut menegaskan kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber alam 7 Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3ES, cetakan ketiga, April, 1990, Hlm ix. Syahrul Machmud, Op Cit, Hlm 67. 8 9 Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat manusia. Pemikran tersebut lebih dijabarkan lagi dalam pasal 33 ayat (3) sebagai berikut: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.9 Sejarah perkembangan peraturan masalah lingkungan Indonesia berkembang seiring dengan perkembangan masalah lingkungan di tingkat global tersebut. Sebagai sebuah negara anggota PBB, Indonesia telah turut ambil bagian aktif dalam konferensi dan segala dan segala kegiatan yang bernuansa lingkungan. Seperti dalam konferensi Stockholm 1972, Indonesia bahkan turut menyumbangkan pokok pemikiran tentang lingkungan berupa Indonesia’s Country Report sebagai dokumen resmi yang pada awalnya disampaikan pada forum ECAFE Seminar on Development and Enironmentdi Bangkok pada tanggal 17-23 Agustus 1971. Laporan tersebut direvisi untuk kemudian disajikan oleh delegsi Indonesia pada Konferensi Stockholm tersebut dengan judul Nation Report of Indonesia Environment Problems in Indonesia. Selanjutnya untuk ketiga kalinya laopran tersebut disajikan pada The IX International Forum on Industrialisation and Environment, yang dilangsungkan di Tokyo pada 25 November - 1 Desember 1973.dalam laopran tersebut antara lain disebutkan: 9 Ibid, Hlm 67. 10 “This report has been prepared to present environmental problems in Indonesia, and to describe what effort have been attempted by the goverment of Indonesia to solve those problems. Three problems areas have been identified in accordance with the main topics of discussion for the 1972 United Nations Conference on the Human Environment to be held ini Stockhlm, i.e. environmental problrms of human settlements,management of natural resources and environmental pollution”.10 Selain itu, dalam negeri sendiri Indonesia telah aktif berupaya mewujudkan satu undang-undang lingkungan menyesuaikan dengan suasana global. Bukti bahwa didalam negeri sendiri Indonesia sangat peduli dengan masalah lingkungan adalah telah diadakan seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan Pembangunan Nasional di Bandung yang diprakarsai oleh Lembaga Ekologi UNPAD pada tanggal 15-18 Mei 1972. Mochtar Kusumaamadja telah menulis makalah berjudul Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia: Beberapa Pikiran dan Saran. Mengingat bahwa sajian tentang pembinaan hukum lingkungan baru pertama kalinya dibahas di Indonesia, maka menurut Munadjat Danusaputro bahwa kita tidak ragu untuk menyatakan di Indonesia yang pertama kali sebagai peletak batu pertama untuk memperhatikan dan menangani hukum lingkungan adalah Prof. Mochtar Kusumaatmadja.11 10 St. Munadjat Danusaputro, Environmental Leislation and Admnistration in Indonesia, Alumni, Bandung 1978, Hlm 27 & 82. 11 St. Munadajt Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I, Op Cit, Hlm 39. 11 Pengaruh Konferensi Stockholm pada tahun 1972 serta seminar yang telah dilaksanakan tersebut bagi Indonesia adalah, kegiatan pengelolaan lingkungan mulai ditangani secara langsung oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari langkah-langkah tindak lanjut yang dilakukan pemerintah Indonesia merupakan langkah yang tepat dan konkret yaitu dengan membentuk Komite Nasional Lingungan Hidup berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1972. Komite ini bertugas merumuskan konsep pembangunan yang berkelanjutan untuk dituangkan dalam GBHN periode 1973-197612. Selain itu telah pula diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 60 tahun 1972 tanggal 17 Oktober 1972 tentang Pembentukan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang pengembangan Lingkungan Hidup. Panitia tersebut diketuai oleh oleh Menteri Negara Urusan Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara/Deputi Ketua BAPPENAS Bidang Perencanaan Material dan Prasarana Dr. JB Sumarlin. Tugas utama Panitia antar Departemen ini adalah menyusun, membuat investarisasi dan rencana kerja bagi Pemerintah dibidang pengembangan lingkungan hidup. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada waktu itu memiliki peranan yang sentral dalam merumuskan kebijakan dan hukum lingkungan melalui pembentukan komite, biro, serta menyiapkan rancangan UU Lingkungan melalui Pembentukan Kelompok Kerja Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Daya 12 Alam dan Lingkungan Mas Achmad Santosa, Op Cit, Hlm 193-194. Hidup. Saat itu BAPPENAS 12 melaksanakan juga kebijakan analisis mengenai dampak lingkungan secara ad hoc untuk pembangunan proyek-proyek besar tertentu.13 Selanjutnya hasil kerja Panitia tersebut dijabarkan lebih lanjut dama TAP MPR No. IV/MPR/1973tentang GBHN, pada BAB III, bagian b butir 10 dari pembukaan berbunyi sebagai berikut: “Dalam melaksanakan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia harus digunakan secara rasionil. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yag menyeluruh dan dengan memperhitungkan kenutuhan generasi yanga akan datang”. Dengan demikian gagasan pemabangunan berkelanjutan di Indonesia pada dasarnya telah dirumuskan sejak tahun 1973 tersebut. Penjebaran lebih lanjut mengenai arah pembangun lingkungan ini dituangkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)II, pada Bab 4 tentang pengelongaan sumber sumber alam dan lingkungan hidup selain itu pokok pokok sumber sumber alam dan lingkungan hidup. Selain itu pokok-pokok kebijakan pengelolaan 13 Syahrul Machmud, Op Cit, Hlm 69. 13 sumber-sumber alam dan lingkungan hidup, ditetapkan pula langkahlangkah pengelolaan dalam proses pelaksanaan pembangunan.14 Pada 17 Februari 1975 Kepala Negara telah mengeluarkan Intruksi kepada Menteri Kehakiman untuk menangani tata peraturan “Perlindungan Lingkungan Laut Nusantara” secara fundamental. Selanjutnya pada 31 Maret 1975 Menteri Kehakiman membentuk “Tim Teknis Penyusunan RUU Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Laut, khusunya di Selat Malaka dan Selat Singapura”. Hal ini merupakan awal permulaan Indonesia membebani hukum lingkungan secara konsepsional.15 Dengan terjadinya kecelakaan kapal tanker raksasa Showa maru benrbendera Jepang yang kandas dekat sebuah karang yang bernama Buffalo Roeks di Philip Channel, kurang lebih 3 mil dari pelabuhan Singapura pada 6 Januari 1975. Maka Kepala Negara pada 17 Februari 1975 mengintruksikan Menteri Kehakiman agar menangani tata pengaturan Perlindungan Lingkungan Laut Nusantara secara fundamental. Atas intruksi Presiden tersebut dibentuklah satuan-satuan tugas (task porce) di tingkat pusat secara interdepartemental ke arah 3 jurusan, yaitu: a. Satuan tugas teknis-operasional, dikoordinasikan oleh Menteri Perhubungan. b. Satuan tugas penelitian Menteri Riset. 14 Ibid, Hlm 39. Ibid, Hlm 14. 15 dan penilaian, dikoordinasikan oleh 14 c. Satuan tugas hukum dna penuntutan ganti rugi, dikoordinasikan oleh Menteri Kehakiman.16 Karena Indonesia belum meiliki Undnag-Undang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Laut dan belum meratifikasi konvensi-konvensi internasional, maka Indonesia sangat mengalami kesulitan dalam upaya penyelesaian hukum dan tuntutan ganti rugi akibat pencemaran lingkungan laut oleh tanker Showa Maru tersebut. Barulah pada tanggal 31 Maret 1975 Menteri Kehakiman membentuk tim teknis penyusunan RUU Pencegahan dan Penaggulangan Pencemaran Laut, khususnya di selat Malaka dan selat singapura. Hal ini merupakan langkah awal Indonesia membentuk hukum lingkungan secara konsepsional.17 Selanjutnya sebagai tindak lanjut usaha Pemerintah menangani maslah lingkungan ini, maka pada tanggal 25 Juni 1975 telah dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1975 tentang pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam (disebut Panitia Kekayaan alam) yang merupakan wadah bagi penyelenggara koordinasi, sinkronisasi dan integrasi untuk mempersiapkan kebijaksanaan umum Pemerintah di bidang Inventarisasi, evaluasi, pengelolaan, pengembangan dan pengamanan kekkayaan alam. Panitia Kekayaan alam diketuai oleh Menteri Negara Riset. 16 Ibid, Hlm 205. Ibid, Hlm 14. 17 15 Selain itu pada tanggal 25-27 Maret 1976 telah pula dilakukan seminar segi-segi hukum dan pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan bersama oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia dengan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, di Lembang. Pemikiran yang berkembang pada seminar tersebut sangat berpengaruh terhadap pembangunan hukum lingkungan nasional. Demikian pula pada 5-6 Juni 1978 dalam rangka memperingati hari lingkunga sedunia telah dilaksanakan pula seminar nasional pengembangan lingkunga hidup. Yang kemudian dilanjutkan dengan survey dan inventarisasi segala produk hukum bidang lingkungan hidup. Arah pembangunan lingkungan hidup lebih disempurnakan lagi dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV Tahun 1978 tentang GBHN yang khusus memuat butir 13 sumber daya alam dan ekonomi. Penjabaran lebih rinci dituangkan dalam Keputusan Presiden Ri Nomor 7 Tahun 1979 tentang REPELITA III, Bab 7 Pengelolaan sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, pembinaan hukum dan aparatur. Kebijakan lingkungan dan penjabaranya dicantumkan dalam GBHN-GBHN dan Repelita-Repelita selanjutnya yang senantiasa meningkat. Keppre No. 7 Tahun 1979 tersebut mengatur langkah-langkah pengelolaan sumber-sumber alam dan lingkungan hidup dalam proses pelaksanaan pembangunan yang lebih luas daripada dalam Keppres Nomor 11 Tahun 1974 tentang REPELITA II. 16 Sejak pembentukan Kabinet Pembangunan III berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 59/M Tahun 1978 telah diangkat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang tugasnya diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1978 tentang Kedudukan, Tugas Poko, Fungsi, dan Tata Kerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi serta susunan Organisasi stafnya dan mulailah lingkungan yang sumla hanya terkait dengan masalah ilmiah dan perncanaan semata, bergeser masuk kedalam bidang kebijakan (policies).Keputusan Presiden ini kemudian dirubah dengan Keputusan Presiden RI Nomor 35 Tahun 1978, terutama berisi penyempurnaan terhadap ketentuan angka 2 Pasal 2 Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1978, khusus mengania fungsi Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup ditetapkan sebagai berikut: a. Mempersiapkan perumusan Kebijakan Pemerintah mengenai segala sesuatu yang bersangkutan dengan tugas pelaksanaan pengawasan pembagunan dan pengelolaan serta pengembangan lingkungan hidup. b. Merencanakan segala sesuatu secara teratur dan menyeluruh dalam rangka perumusan kebijakan tersebut pada huruf a diatas. c. Mengkoordinasikan segala kegiatan pelaksanaan pengawasan dan pembangunan dari berbagai Instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Daerah, dan Perusahaan mlik negara. 17 d. Mengkoordinasikan kegiatan Inspektur Jenderal Departemen dan aparat pengawasn lainya dalam pelaksanaan pengawasan pembangunan secara menyeluruh. e. Menampung laporan dari instansi dan anggota masyarakat yang bermanfaat bagi pelaksanaan pengawasan pembangunan. f. Menkoordiansikan dan menangani segala kebijakan penglolaan, pengembangan, dan perlindungan lingkungan hdiup. g. Menyampaikan laporan dan bahan keterangan serta saran-saran dan pertimbangan dibidang tanggung jawabnya kepad Presiden. Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan dalam Kepurusan Presiden Nomor 35 Tahun 1978 tersebut, telah dikeluarkan Kpeutusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Peran Menteri Negara PPLH beserta stafnya dalam memajukan kesadaran lingkungan dan memeupuk peran seta masyarakat sangat menonjol selama Pelita III. Karena sampai tahun 1978 ini Indonesia belum memiliki undangundnag tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang sesuai dengan arah kebijakan yang ditetapkan oleh Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1978 tantang GBHN, maka ditetapkanlah Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan Lingkungan Hidup Nomor KEP-006/MNPPLH/3/1979 dan tentang Pembentukan Kelompok Kerja Dalam Bidang Pembinaan Hukum dan Aparatur Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkunga Hidup (disingkat “kelompok kerja”) yang diketuai oleh St. Munadjat Danusaputro, SH. Kelompok kerja ini bertugas menyusun rancangan 18 peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang tata pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Menurut Munadjat Danusaputro, maka tahun 1979 merupakan tahun penuh arti bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum lingkungan Indinesia.18 Setelah pembentukan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional (Kantor Menteri Negara PPLH) di tahun 1978, pekerjaan koordinasi perumusan kebijakan secara otomatis beralih kepada Kantor Menteri Negara PPLH. Pada saat itu persiapan UU Lingkungan Hidup (yang kemudian menjadi UU No. 4 Tahun 1982) dan Peraturan Pemerintah mengenai AMDAL (yang kemudian menjadi PP. No. 29 Tahun 1986) dalam proses pelaksanaan pembentukanya menjadi lebih terfokus dan lancar. Pada bulan Maret 1981 Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dihasilkan oleh kelompok kerja, dimatangkan kembali oleh sebuah Tim Kerja Kantor Menteri Negara PPLH untuk selanjutnya diajukan ke forum antar Departemen guna mendapat persetujuan para Menteri yang bersangkutan. Akhirnya RUU tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkunga Hidup dapat diajukan pada sidang DPR pada bualn Januari 1982, dan akhirnya berhasil diundangkan pada 11 Maret 1982 menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan demikian terbentuklah lembaran baru bagi kebijakan lingkungan hidup di Indonesia menuju 18 Ibid, Hlm 8. 19 kepada pembangunan hukum lingkungan nasional berlandaskan prinsip-prinsip hukum lingkungan modern yang diakui secara internasional. Sebelum diundangkan menjadi UU, telah diterbitkan surat Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup RI Nomor KEP-027/MNPPLH/11/1981 tentang Pembentukan Kelompok Ketja Pembinaan Hukum dan Aparatur Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup yang bertugas menyusun kebijakan lingkungan hidup dari segi pembinaan hukum dan aparatur, melakukan konsultasi dan koordinasi antar sesama unsur pemerintah dan anatar unsur pemerintah dengan kalangan swasta yang berkepentingan dengan pembinaan hukum dan aparatur dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian tugasnya diperbaharui dengan Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup RI Nomor KEP-21/MNPPLH/11/1982 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, yang diketuai oleh Munadjat Danusaputro, tugas kelompok kerja ini adalah sebagai berikut: a. Menyusun tanggapan atau saran-saran dari badan atau pihak lain yang berkepentingan dengan pembinaan hukum dan aparatur dalam pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup. b. Melaksanakan koordinasi lintas sektoral dalam penyusunan peraturan pelaksanaan Undang-Undnag Nomor 4 Tahun 1982 20 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. c. Memonitor perkembangan pelaksanaan kebijakan dan rencana kerja tersebut untuk penilaian dan penyempurnaan lebih lanjut. d. Lain-lain atas petunjuk Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Kelompok kerja tersebut telah beberapa kali menyampaikan sumbangan pikiran yang berharga bagi konsep peraturan perundangundangan untuk menunjang pelaksnaan Undnag-Undang Lingkungan Hidup (UULH), antara lain Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Masa kerja kelompok kerja Hukum PPLH ini berakhir tanggal 31 Desember 1982. Selanjutnya pada tahun 1983 telah dikeluarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN, dimana isinya tidak jauh berbeda dengan TAP MPR Tahun 1978. Hanya saja terdapat perubahan tentang penjabaran lebih lanjut yang tertuang dalam Keputusan Presiden RI Nomor 21 Tahun 1984 tentang REPELITA IV, Bab 8, Pengelolaan sumber Alam dan Lingkungan Hidup. Perbedaan Keppres tersebut dengan Keppres Nomor 9 Tahun 1979 tentang REPELITA III adalah mengenai kebijakan dan langkah-langkah pengelolaan lingkungan hidup. Dengan telah diundangkanya UULH Nomor 4 Tahun 1982 sejak tanggal 11 Maret 1982 tersebut, merupakan landasan hukum untuk 21 membangun hukum lingkungan nasional kearah suatu sistem yang mengandung keterpaduan.19 B. Kebijakan Pembangunan Berwawasan Lingkungan Kesadaran lingkungan Indonesia tidak terlepas dari adanya pengaruh kesadaran hukum lingkungan yang bersifat global atau intrenasional. Kesadaran lingkungan bersifat global atau internasional tersebut merupakan wujud kepedulian masyarakat terhadap beberapa kejadian yang timbul dibeberapanegara, diantaranya Jepang dan Amerika Srrikat itu sendiri.20 Sejak tahun 1950-an masalah lingkungan mendapatkan perhatian tidak saja dari para ilmuwan, melainkan juga masyarakat umu dan para politisi. Pemicu perhatian itu ialah terjadinya pencemaran pencemaran oleh limbah industri dan pertambangan serta pestisida rentetan kejadian tersebut membuat para polotisi dan masyarakat umum seakan tersentak melihat kerusakan lingkungan yang mulai parah.21 Konferernsi yang dilaksanakan pada tahun 1968 tersebut merupakan awal dari adanya perhatian masyarakat internasional terhadap kerusakan lingkungan secara gobal, yang kemudian diikuti oleh Konferensi lainya. 1. Internasional a. Kegiatan Sebelum Konferensi Stockholm Kegiatan ini dimulai dari kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) pada waktu diadakanya peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960- 19 Siti Sundari Rangkuti, Op Cit, Hlm 57. Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Hlm 53. 21 Ibid. 20 22 1970) guna merumuskan strategi Dasarwarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980)22. Gagasan untuk memberikan perhatian besar terhadap masalah lingkungan hidup ini, pertama diajukan oleh wakil dari negara Swedia pada tanggal 28 Mei 1968, dengan mengajukan usulan kemungkinan diadakanya suatu konferensi ineternasional mengenai lingkungan hidup manusia. Saran tersebut disetujui dalam Sidang Umum PBB pada sidangnya tanggal 3 Desember 1968 dengan Resolusi No. 2398/XXIII. Dalam tanggapanya Sekertaris Jenderal PBB yang waktu itu dijabat oleh U-Thant pada tanggal 26 Mei 1969 menerbitkan laporanya berjudul “Man and His Environment, Problems of the Human Environment” yang disajikan pada Rapat ke-47 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Dlam pengantar laporanya, U-Thant mulai mengajak masyarakat negara-negara guna memberikan sikap dan tanggapan baru terhadap lingkungan hidup. Laporan Sekjen PBB tersebut diajukan dalam sidang Majelis Umum PBB Nomor 2581 (XXIV) pada tanggal 15 Desember 1969. Dalam resolusi tersebut diputuskan untuk membentuk Panitia Persiapan bersama-sama dengan Sekjen PBB Untuk meyebarluaskan informasi ini guna menarik perhataian masyarakat dunia akan ari penting dan mendesaknya penanganan masalah lingkungan hidup. Panitia persiapan ini diketahui oleh F. Strong wakil Kanada yang telah memberikan sahamnya yang luar biasa terhadap seluruh persiapan konferensi. 22 Koesnadi Hardjasoemantri, Op Cit, Hlm 6. 23 1) The Club of Roma Selain itu terdapat lembaga tak resmi yaitu The Club of Rome yang bermula dari pertemuan 30 orang terkemuka dari 10 negara yang berkumpul di Roma pada bulan April 1968, atas inisiatif Dr. Aurelio Pecei seorang pengusaha terpandang di Itali, untuk membahas topik yang menonjol, yaitu “the present and future predicament of man” yang cukup berperan dalam bidang lingkungan, Meadows dan Meadows23 mengemukakan hasil: a) If the presents growth trends in world population, industrializations, pollution food production, and resource depletion continue unchanged, the limits to growth on this planet will be reached sometime within the next one hundred years. The most probable result willbe a rather sudden and uncontrollable decline in both population and industrial capacity. b) It is possible to alter these growth trends and to estabilish a condition of ecological and economic stability that is sustainable far into the future. The state of global equalibrium could be designed so that the basic material needs of each person on earth are satisfied and each person has an equal opportunity to realize his individual human potential. c) If the world’s people decide to strive for this second outcome rather than the first, the sooner they begin working to attain it, the greter will be their chances of success. 23 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan, Nasional, Airlangga Press, Hlm 35. 24 Kemudian pada tahun 1974 telah dilaporkan pula laporan kedua kepada The Club of Rome dengan judul “Mankind at the turning point” yang disusun oleh Measoronic dan Pestel. Laporan tersebut membahas masalah kesenjangan manusia yang semakin melebar, yaitu the gap between man and nature dan The gapbetween “North and South” rich and poor. Dan untuk menutup kesenjangan tersebut diajukan alternatif pemecahanya, yaitu : 1. An essential prerequisite in understanding the nature of the gap between regions. 2. Since the change is to be brought about by men there must exist a framework conducive to developmentin the desired direction. 3. Global anticipatory and adjustment procedures and mechanismsmust be developed to deal with a stream of crises, which might well come in increasingly short succession, as the results of our study indicate. Crises now must be prevented rather than reacted to.24 b. Konferensi PBB Tentang Lingkungan Hidup Manusia 1) Konferensi Stockholm Bertepatan dengan diumumkanya “Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2” (The Second UN-Development Decade), yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970, Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta internasional guna menanggulangai proses 24 Syahrul Machmud, Op Cit, Hlm 32. 25 kemelorotan kualitas hidup agar dapat diselamtkan keseimbangan dan keserasian ekologis demi kelangsungan nhidup manusia. Setelah melalui persiapan yang matang, akhirnya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang lazim disingkat dengan UNCHE 1972 (United Nation Conference on Human Environment) diselenggarakan di Stockholm Swedia pada tanggal 5-16 Juni 1972, diikuti oleh 113 negara, 21 organisasi PBB, 16 organisasi antar pemerintah, 258 LSM (NGOs) dari berbagai negara. Konferensi ini membahas keprihatinan terhadap masalahmasalah lingkungan yang dirasakan semakin problematis diberbagai belahan dunia. Di satu pihak terdapat sejumlah manusia diberbagai negara yang menderita kemiskinan dn keterbelakangan sehingga mempengaruhi lingkungan hidupnya, sementara dipihak lain negara-negara berpacu mengejar pembangunan dan kemajuan, yang memaksa lingkungan hidup menjadi rusak dengan berbagai dimensinya.25 Pada akhir sidang yaitu pada tanggal 16 Juni 1972 Konferensi mengesahkanhasil-hasil berupa Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia terdiri dari: 25 NHT Siahaan, Op Cit, Hlm 143. 26 a) Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia, terdiri atas Preambule dan 26 asas atau prinsip yang lazim disebut dengan Stockholm declaration. b) Selain itu juga dihasilkan actin plan (Rencana Aksi Lingkungan) lingkungan hidup manusia terdiri dari 109 rekomendasi termasuk didalamnya 18 rekomendasi tentang perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia. c) Action Plan internasional yang terdiri atas 3 (tiga) bagian kerangka: 1. A global asessment programme, dekenal sebagai earthwatch. 2. Environmental management activities. 3. Supporting measures, education anad training, public information and organization and financing arrangements. 4. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang, pelaksanaan rencana aksi, terdiri dari Dewan Pengurus, Sekertariat, dana lingkungan hidup, bahkan koordinasi lingkungan hidup. Konferensi ini telah berhasil melahirkan deklarasi yang mewujudkan kesepakatan masyarakat internasional dalam menangani maslah lingkungan hidup, dan mengembangkan hukum lingkungan hidup baik pada tingkat nasional, regional maupun 27 intrenasional. Deklarasi ini mengakui hak asasi manusia, untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat, serta membebankan kewajiban untuk memelihara lingkungan hidup dan sumber kekayaan alam hingga dapat dinikmati oleh generasi-generasi yang akan datang,26 Dari konferensi tersebut kemudian muncullah satu konsep pembanguanan (ecodevelopment) dan berwawasan konsep lingkungan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) kedua konsep pembangunan tersebut menekankan pada pentingnya keberlangsungan kelestarian antra manusia, sumber daya dan lingkungan dalam pembangunan.27 2) Kegiatan UNEP di Nairobi Bersamaan dengan konferensi sebelumnya, konferensi iru merekomendasikan pembentukan suatu Dewan Pengurus Program Lingkungan Hidup (Governing Council for Environmental Programme). Akhirnya dalam sidang umum PBB ke-27 menyusun pembentukan United Nation Environmental Programme (UNEP). Atas usulan akhirny disetujui Environment Secretariat berada atau bermarkas dislah satu negara berkembang yaitu Nairobi, Kenya.28 26 Syahrul Macmud, Op Cit, Hlm 35 Ibid. 28 Ibid, Hlm 36. 27 28 Puncak kegiatan UNEP dilaksanakan pada sidang Governing Council pada tanggala 20 Mei – 2 Juni 1982 di Nairobi yang telah menerima Deklarasi Nairobi yang terdiri dari 10 butir pokok pikiran sebagai tindak lanjut dari pertemuan-pertemuan sedunia untuk memperingati 10 tahun Konferensi Stockholm, tanggal 10- 18 Mei 1082 di Nairobi. Dalam memasuki The Second Environmental Decade (19821992, Deklarasi Nairobi mengemukakan tentang perlunya intensifikasi upaya melindungi an memajukan lingkungan hidup pada tahap global, regional dan nasional. Dengan demikian cukup besar peranan UNEAP dalam rangka mendorong dan memajukan upaya untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan hidup di dunia, termasuk pula melalui sarana hukum. Selanjutnya pada tanggal 18-22 Maret 1985 diselenggarakan suatau pertemuan khusus di Wina yang menghasilkan sebuah konvensi tentang oerlindungan ozon (Vienna Convention for the Protection of Ozone Layer, 1985) kemudian pertemuan ini dilanjutkan dengan pertemuan Montreal pada tanggal 14-16 September 1987 yang menghasilkan ketentuan tambahan untuk konvensi Wina 1985, yaitu Montreal Protocol on substances that Deplate the Ozone Layer, 1987. 29 3) Komisi WCED (The World Commission om Environment and Development) Menindaklanjuti hasil-hasil yang telah diputuskan dalam Konvensi Stockholm 1972, pada tahun 1983 oleh PBB dibentuklah suatu komisi yang diberi nama The World Comission on Environment and Development (WCED) yang dikenal dengan komisi Burtland, dalam rangka memenuhi keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161. WCED suatu komisi yang independen dengan tugas melakukan investigai dan memberikan berbagai rekomendasi terhadap masalah-masalah lingkungan global. Pada tahun 1987 WCED yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Bruntland (Norwegia) dengan anggota mencakup pemuka-pemuka dari Zimbabwe, Jerman Barat, Hongaria, Jepang, Guyana, Amerika serikat, RRC, India, Kanada, Kolumbia, Saudi Arabia, Italia, Mexico, Brazilia, Aljazair, Nigeria, Yugoslavia, dan Indonesia (Prof. Emil Salim). Sekertaris jenderal WCED berkedudukan di Geneva. WCED mengeluarkan suatu laporan yang diberi nama Our Common Future yang merupakan hasil investasi terhadap aktifitas dan program lingkungan trepadu berkenaan dengan masalah-masalah pembangunan ekonomi pada tingkat internasional, regional 30 dan lokal. Dan memeberikan banyak rekomendasi khusus untuk perubahan institusional dan perubahan hukum.29 4) Konferensi Rio Berkaitan dengan hasil laporan yang termuat didalam Our Common Future tersebut, WCED juga mengajukan usulanuntuk melaksanakan suatu konferensi tingkat dunia guna membicarakan masalah-masalah lingkungan global dalam kaitanya dengan upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable Development).rekomendsi dan usulan ini diterima oleh sidang Majelis Umum PBB denagn resolusi nomor 44/228. Implementasi diselenggarakanya United dari resolusi National ini adalah Conference on Environment and Development (UNICED) The Framework Convention on Climate Change30 di Rio de Janeiro, Brasil, yang berlangsung pada tanggal 3-14 Juni 1992 yang merupakan peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm 1972, konferensi ini menghasilkan Rio Declaration. Konferensi ini diadakan dalam rangka pelaksanaan resolusi Sidang Umum PBB No. 45/211 tanggal 21 Desember 1990 dan keputusan No. 46/468 tanggal 13 April 1992. Konferensi ini merupakan Konferensi terbesar dalam sejarah pertemuan tingkat dunia (Konferensi internasional) 29 Mas Achmad Santosa, Ecologically Sustainable Development in Indonesia Law, Indonesia Joyrnal of Environmental Law, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Edition II, August 1997, Hlm 7. Lihat pula Koesnadi Hardjasoemantri, Op Cit, Hlm 6-15. 30 Telah diraftifikasi melalui UU No 6 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Konvensi Perubahan iklim. 31 terbesar yang pernah terjadi, dan menjadi tonggak bersejarah bagi pengembangan kebijakan dan hukum lingkungan di tingkat internasional, nasional, maupun lokal. Konferensi ini bersejarah dan terbesar (unprecedent), karena jauh hari sebelum Konferensi berlangsung di beberapa negara diselenggarakan dengar pendapat dengan warganya untuk menyuarakan kepedulianya di Rio melalui wakil-wakilnya. Konferensi ini dihadiri oleh 177 Kepala Negara dan pemerintahan di dunia, 15.000 ribu orang termasuk wakilwakil dari pemerintahan (dipimpin oleh Kepala Negara/ pemerintahan), diliputi oleh tidak kurang dari 9.500 wartawan dan diikuti oleh 1200 LSM (NGOs)31. Dokumentasi penting yang dihasilkan UNCED, antara lain : 1. Rio Declaration on Environmental and Development yang menggariskan pinsip fundamental tentang lingkungan dan pembangunan. 2. Agenda 21 (Agenda tentang Rencana Aksi untuk melaksanakan prinsip-prinsip Rio). 3. The Convention on Biological Diversity.32 4. The Framework Convention on Climate Change.33 31 Menurut Mas Achmad Santosa , belum pernah terjadi sebelumnya sebuah Konferensi dihadiri secaraq rinci oleh 116 (seratu enam belas) kepala pemerintahan, 172 (seratus tujuh puluh dua) utusan negara-negara, 8.000 (delapan ribu) delegasi dan 3.000 (tiga ribu) perwakilan organisasi non pemerintah yang terakreditasi, serta disaksikan dan diliput oleh 9.000 (sembilan ribu) wartaawan media cetak maupun elektronika. Dokumen Agenda 21 internasional terdiri dari 40 (empat puluh) bab yang terbagi kedalam 4 (empat) bidang: dimensi sosial ekonomi, konservasi dan pengelolaan sumber daya untuk pembangunan, Penguatan peran kelompok-kelompok utama dalam masyarakat (major group) dari perangkat pelaksana. Op Cit. Hlm 202. 32 Telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1994 Tenetang ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati. 32 5. The Statement of Principle for a Global Consensus on the Management,Conservation and Sustainabe Dvelopment of all Types for Forest (the Statement of Forest Principles).34 Selanjutnya dari 5 (lima) dokumen tersebut, maka dalam kaitanya dengan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan UNCED telah mengahsilkan 5 (prinsip) utama atau pokok pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, yaitu : 1. Keaadilan antar generasi (intergenerational equity). 2. Keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity). 3. Prinsip pencegahan diri ( precautionary principle). 4. Perlindungan keanekaragaman hayati (conservation of biological diversity). 5. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif (Internalization of environment cost and incentif mechanism). Rio bukanlah semata-mata sebuah Konferensi negaranegara., akan bersamaan tetapi dengan juga Konferensi Konferensi resmi rakyat. Karena diadakan pula pertemuan yang disebut the ’92 Global Forum di Flamengo Park berdekatan dengana tempat pertemuan resmi, pertemuan ini dihadiri kurang lebih 10.000 oarang yang 33 34 Telah diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim. Mas Achmad Santosa, Op Cit, Hlm 160. 33 mewakili 9.000 organisasi dam telah menarik sebanyak 20.000 pengunjung. KTT Rio ini dimaksudkan untuk menjawab masalahmasalah lingkungan yang semakin menjadi serius, wlaupun telah dilangsungkan Konferensi Stocholm 1972. KTT Rio dalam preambulnya menegaskan kembali Deklarasi Stockholm dengan program kemitraan global yang baru dan adil (a new and equitabke global partnership) dalam pergaulan masyarakat dan bangsa-bangsa dalam upaya meliindungi integritas sistem lingkungan dan pembangunan global. Dengan penegasan demikian berarti nilai-nilai Deklarasi Stockholm masih tetap relevan, namun perlu didukung oleh komitmen baru dengan mewujudkan kemitraan global baru dan adil sebagaimana dihasilkan KTT Rio.35 Pada KTT Rio ini masalah yang krusial dibicarakan adalah prinsip oembangunan berkelanjutan (sustainable development). Yang bermakna pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi sekarang tanpa menyrangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhanya atau 35 if NHT. Siahaan, Op Cit, Hlm 146. it meets the needs of the present without 34 compromissing the ability of future generation to meet yheir own needs.36 Dokumen Agenda 21 internasional ini dipersiapkan sejak tahun 1990 oleh Komite Persiapan (Preparatory Comittee) KTT Bumi (Earth Summith) yang dibentuk oleh PBB, melalui proses negosiasi yang sangat alot. Agenda 21 merupakan kebijakan dan strategi bagi upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janerio. Dalam Agenda 21 itu dicakup sejumlah aspek, diantaranya adalah dimensi sosial dan ekonomi dengan disemangati oleh kemitraan global (global parnership). Dalam dimensi itu dibahas kerja sama internasionaluntuk mempercepat pembangunan berkelanjutan dinegara-negara berkembang serta kebijakan domestiknya, memerangi kemiskinan, pengembangan pemukiman yang berkelanjutan serta integrasi lingkungan dan pembangunan dalam pengambilan keputusan. Akhirnya untuk menjamin pelaksanaan dokumen KTT Bumi, khususnya Deklaraasi Rio dan Agenda 21, PBB menetapkan 3 (tiga) reolusi penting sebagai upaya menjamin pelaksanaan Deklarasi rio maupun agenda 21 : 1. Resolution 47/190 Endorsing Agenda 21. 36 Ibid. Hlm 147. 35 Resolusi ini menyatakan dukungan terhadap seluruh dokumen yang dihasilkan di KTT Bumi, dan mendesak kepada negara-negara dan kelembagaan dibawah sistem PBB serta lembaga-lembaga non pemerintah untuk melakukan seefektif langkah-langkah mungkin dokumen nyata KTT menindaklanjuti Bumi, khusunya Deklarasi Rio dan Agenda 21. 2. Resolution 27/191 Follow-up Agenda 21. Resolusi ini meminta Ecosoc (Economic and Social Council) membentuk high level Comission on sustainable development (CSD) yang berfungsi sebagai focal point untuk menindaklanjuti hasil KTT Bumi melalui upaya peningkatan krjasama Internasional, dan aspek lainya untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan disemua negara di dunia. Sehubungan dengan resolusi ini, UN Ecosoc pada tanggal 19 Februari 1993 membentuk Comission on Sustainable Development sekaligus menetapkan kerangka program (Keputusan UN Ecosoc No. E.CN.17/1993/2, tertanggal 19 Februari 1993). 3. Resolution 47/194 UNDP’s Capacity 21. Resolusi ini meminta Governing Council UNDP dan CSD melaksanakan melaksanakan program-program rekomendasi Agenda nyata untuk 21 tentang 36 pengembangan kapasitas (capacity buiding) terutama dinegara-negara sedang berkembang.37 Prinsip-prinsip permbangunan berkelanjutan atau kemudian dikenal dengan prinsip-prinsip Rio antara lain disebutkan: keaadilan antar generasi, keadilan dalam satu (sesama) generasi, partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputussan dan akses rakyat terhadap informasi, internalisasi biaya lingkungan dan pengembangan instrumen ekonomi, kerjasama internasional dalam pengembangan kapasitas, serta dalam pencegahan relokasi industri kotor, prinsip pencegahan dini, peran penting perempuan dan pemuda dalam pengelolaan lingkungan, pengakuan hak massyarakat asli, pengembangan pengetahuan dan praktek masyarakat tradisional dalam pengelolaan lengkungan, keterkaitan erat antar perdamaian, pemabnguann dan perlindungan lingkungan.38 c. Konferensi KTT Bumi Rio de Janeiro Deklarasi Rio yang berisikan 27 (dua puluh tujuh) prinsip, merupakan pengembangan dari prinsip-prinsip Stockholm yang mengadobsi berbagai prinsip dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Precautionary, intergenerational equity , intragenerational equity, peran serta masyarakat lokal, permpuan, pemuda serta lembaga-lembaga pemerintah dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, merupakan prinsip-prinsip penting 37 38 Mas Achmad Santosa, Op Cit, Hlm 202. Ibid, Hlm 204. 37 dalam deklarsai tersebut. Sedangkan agenda 21 (Earth’s Action Plan) memeuat kebijakan, rencana, program dan pedoman aksi bagi pemerintah di tingkat nasional dalam melaksanakan Deklarasi Rio39. Konferensi ini telah berupaya mencapai tingakt pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang konsep dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), serta bagaimana menterjemahkanya kedalam tindakan nyata sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Rio dan Agenda 21. d. Konferensi Johannesburg KTT Johannesburg ini menghasilkan dokumen Rencana Pelkasanaan (Plan of implementation) sebanyak 153 paragraf, yang secara komprehensif menyangkut semua segi kehidupan. Ada 3 (tiga) hal pokok yang diagendakan WSSD, yaitu : 1) Pemberantasan kemiskinan. 2) Perubahan pola konsumsi dan produksi. 3) Pengelolaan sumber daya alam.40 Ketiga hal tersebut menjadi dasar dari sepuluh action plan yang harus dilaksanakan oleh setiap negara. Upaya pemberantasan meningkatkan pendapatan, kemiskinan dilakukan pemberantasan dengan kelaparan, penyediaan air bersih, pembukaan akses terhadap sumber daya produktif, 39 40 Ibid, Hlm 160. NHT. Siahaan, Ibid, Hlm 150.. kredit dan kesempatan kerja yang melibatkan 38 perempuan dan masyarakat tradisional, perluasan akses energi, serta perbaikan kesehatan. Hasil-hasil yang dicapai WSSD, antara lain dapat dasar untuk dikemukakan sebagai berikut : 1) Mengadopsi target baru dalam sanitasi mengurangi jumlah penduduk yang tidak memiliki akses pada sanitasi sampai separuhnya pada tahun 2015. 2) Pengakuan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Disini disepakati komitmen, yang didalamnya juga tercakup hak-hak masyarakat adat paling sedikit 12 penjabaran, termasuk posisi masyarakat sebagai stakeholder dan akses perempuan pada hak atas tanah dan sumber daya lainya. 3) Masuknya prinsip-prinsip Rio, dalam corporate accountability dan respontybility terlepas dari tuntutan NGO untuk merundingkan konvensi yang mengikat (binding convention) mengenai isu corporate accountability dan respontybility. 4) Komitmen pemerintah untuk menjamin akses ke informasi lingkungan, hukum dan cara kerjanya dalam pengelolaan lingkungan, termasuk partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. 5) Pengakuan akan pentingnya etika dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini menguatkan keyakinan bahwa isu pembangunan dan lingkungan tidak bisa diimplementasikan secara seimbang kecuali pemerintah, masyarakat dan 39 komunitas memahami serta meyakini peran kritis dan norma etika dalam proses pengambilan keputusan.41 Setelah itu berkembang berbagai perjanjian internasional tentang kerjasama lingkungan hidup, seperti Protokol Kyoto, Protokol Cartagena, dan lain-lainya. 2. Nasional a. Kementrian Lingkungan Hidup Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1978tanggal 2 September 1978 telah menetapkan Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja dari tiga Menteri Negara, yaitu Menteri NegaraPenertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi. Pasal 1 ayat 3 menyebutkan tugas pokok Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (MENPPLH), yaitu mengendalikan pengawasan pelaksanaan pembangunan dan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan lingkungan hidup. Dalam Kabinet Pembangunan IV, MENPPLH telah diubah menjadi Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (MENKLH). Dalam keputusan presiden No. 25 Tahun 1983 telah ditetapkan Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara. Pasal 1 ayat (4) Keputusan Presiden menyebutkan bahwa Menteri Negara 41 Ibid, Hlm 150-151. adalah Pembantu Presiden dengan tugas pokok 40 menangani hal-hal yang berhubungan dengan kependudukan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kabinet pembangunan VI, perangkat kelembagaan setingkat menteri diubah dari Men KLH menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (seterusnya disingkat dengan sebutan Men LH). Penamaan Men LH ini tetap dipertahankan dalam Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid. Selain Kementrian Lingkunagn Hidup, di tingkat nasional juga pernah ada lembaga lainya yaitu: Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) namun pada masa Presiden Megawati, BAPEDAL diadakan sedangkan fungsi BAPEDAL diintegrasikan ke dalam Kementrian Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 101 tentang kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara. Meskipun saat ini BAPEDAL telah tiada, sekedar untuk pemahaman dinamika perkembangan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, keberadaan BAPEDAL perlu diuraikan. BAPEDAL di bentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1990. Pertimbangan yang melatarbelakngi pembentukan BAPEDAL dapat dilihat dari konsiderans Keputusan Presiden itu, yang berbunyi sebagai berikut : 1) Bahwa pembangunan yang semakin meningkat akan menimbulkan dampak yang semakin besar dan memerlukan pengendalian sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan; 41 2) Bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu membentuk badan yang melaksanakan secara operasional pengendalian dampak lingkungan hidup. Dari bunyi konsiderans itu dapat diketahui perbedaan diantara MENKLH dan BAPEDAL dalam hal tugas dan fungsinya. Jika MENKLH menjalankan tugas dalam mengkoordinasikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dan merumuskan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hdiup pada umunya, maka BAPEDAL menjalankan tugas operasionalnya pengendalian dampak lingkungan hidup. BAPEDAL berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan pimpin oleh seorang kepala. Tugas pokok BAPEDAL adalah membantu Presiden dalam melaksanakan pengendalian dampak lingkungan yang meliputi upaya pencegahan kerusakan, penanggulangan dampak serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Keppres No. 23 Tahun 1990).42 b. Kelembagaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Ketentuan tentang kewenangan dan kelmbagaan di daerah dapat diketahui dari rumusan pasal 12 ayat (1) UULH 1997. Ketentuan pasal 12 ayat (1) a mengandung asas dekosentrasi, sedangkan pasal 12 ayat (1) b mengandung asas pemabntuan. Pasal 13 ayat (1) UULH 1997 berbunyi sebagai berikut:” dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah 42 Takdir Rahmadi, Op Cit, Hlm 77-79. 42 dapat meyerahkan sebagian urusan kepada pemerintah daerah menjadi urusan rumah tangganya.”ketentuan ini mengandung asas desentralisasi urusan pengelolaan lingkungan hidup. Perkembangan penting tentang kelembagaan di darah terjadi dengan keluarnya Keppres No. 77 Tahun 1994, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota dapat membentuk BAPEDAL Daerah (disingkat BAPEDALDA). BAPEDALDA merupakan perangkat kelembagaan pemerintah daerah dan tidak berada di bawah BAPEDAL. Sebelum pembentukan BAPEDALDA Provinsi, maka kelembagaan yanga ada hanyalah Biro Bina Lingkungan Hidup.43 C. Pandangan Umum Hukum Pidana Lingkungan 1. Penegakan Hukum Lingkungan Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen disebut sebagai bidang hukum fungsional (finctioneel rechtsgebeid), yaitu didalamnya terdapat unsur-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata.44 Oleh sebab itu, penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan instrumen-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata dengan tujuan memaksa subjek hukum yang menjadi 43 sasaran mematuhi peraturan perundang-undangan Ibid, Hlm 82. Th. G. Drupsteen (1983), Ontwikkelingen in het Milieurecht gedurendu de jaren zaventig” dalam H. Th. F van Maarseven et al., Recente Rechtssontwikkelingen (1970-1980), Tjeen Wilink, Zwolle, Hlm 99. 44 43 lingkungan hidup. Penggunaan instrumen dan sanksi hukum administrasi dilakukan oleh instansi pemerintah dan juga oleh warga atau badan hukum perdata. Gugatan Tata Usaha Negara merupakan sarana hukum administrasi negara yang dapat digunakan oleh warga atau badan huku perdata terhadap instansi atau pejabat pemerintah yang menerbitkan keputusan tata usaha negara yang secara formal atau materiil bertentangan eraturan perundang-undangan lingkungan. Penggunaan sanksi-sanksi hukum pidana hanya dapat dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah. Penggunaan instrumen hukum perdata, yaitu gugatan perdata, dapat dilakukan oleh warga, badan hukum perdata dan juga instansi pemerintah. Namun, jika dibandingkan diantara ketiga bidang hukum, sebagian norma-norma hukum lingkungan termasuk kedalam wilayah hukum administrasi negara.45 Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kegiatan (policy planning) tentang lingkungan, yang urutanya sebagai berikut : 1) Perundang-undangan ( legislation, wet en regelgeving) 2) Penentuan standar (standard setting, norm setting) 3) Pemberian izin (licensing, verguning verlening) 4) Penerapan (implementation, uitvoering) 5) Penegakan hukum (law enforcement, rechtshandhaving)46 Dari mata rantai siklus pengaturan (regulatory) perencanaan kebijakan hukum lingkungan dapat dilihat bahwa dimanapun dan 45 46 Takdir Rahmadi, Op Cit, Hlm 207-208. Jur Andi Hamzah, Op Cit, Hlm 52. 44 terlebih-lebih di Indonesia, yang plaing lemah adalah penegakan hukum. 2. Pelanggaran yang Tidak Bisa di Selesaikan Hukum Administrasi dan Perdata Hukum pidana (modern) dapat mencapai sasaranya (dalam hukum lingkungan terhentinya pencemaran atau terpenuhi syaratsyarat izin yang ditentukan oleh pihak administrasi) tanpa dilanjutkanya penuntutan dan dan pejatuhan pidana. Memang dapat dikatakan, bahwa pos pertama dalam mempertahankan dan memelihara hukum lingkungan berada ditangan para pejabat administrasi, karena merekalah yang mengeluarkan izin dan dengan senidrinya mereka yang terlebih dahulu mengetahui jika tidak ada izin atau syarat-syarat dalam izin itu dilanggar. Namun, tidaklah berarti sanksi administratif didahulukan penerapanya terhadap pelanggaran hukum lingkungan. Bagaimana jika apejabat administrasi enggan bertindak atau pura-pura tidak tahu adanya pelanggaran, bahkan bagaimana jika ia terlibat atau mempunyai interest dalam perusahaan yang melanggar itu. Dalam hal semacam itu, instrumen hukum pidanalah yang sebaiknya diterapkan sebagai premum remedium. Pilihan jatuh pada hukum pidana jika suatu kerusakan tidak dapat diperbaiki atau dipulihkan, misalnya penebangan pohon, pembunuhan terhadap burung atau binatang yang dilindungi atau termasuk 45 irreparability.47 Perbaikan atau pemulohan kerusakan tersebut tidak dapat dilakukan secara fisik. Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali perbuatan yang tidak dapat diperbaiki atau dipulihkan, misalnya merokok padahal merokok tidak merupakan pelanggaran yang berat, atau tidak melaporkan kejahatan yang ia ketahui atau sebagainya. Penerapan instrumen administratif terutama dimaksudkan untuk pemulihan keadaan atau perbaikan kerusakan atau dengan kata lain ditujukan kepada perbuatanya. Adapun penerapan instrumen hukum pidana terutama ditujukan kepada orang atau pembuatnya.oranya itulah yang perlu diperbauki. Penerapan instrumen hukum pidana diharapkan tidak menjerakan orangyang melanggar itu saja, tetapi orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama jika tidak ingin dikenakan sanksi hukum pidana (generale preventie).48 Disamoing itu penerapan hukum pidana juga akan memeuaskan korban secara individual dan masyaakat sebagai korban kolektif. Lebih-lebih di Indonesia yang pada era reformasi ini masyarakat luas ingin melihat semua perkara pidana diajukan ke pengadilan. Dalam hal ranah perdata, menggugat berdasarkan pasal 1365 BW (onrechmatige daad) juga diisyaratkan adanya kerugian yang timbul dari adanya suatu perbuatan. Dengan sendirinya hal ini merupakan pertimbangan untuk menghindari pemakaian instrumen perdata di Indonesia. Sangat baik jika di Indonesia diperkenalkan juga proses perdata menempel pada 47 48 Polytechnic Ijselland, Environmental Law Enforcement, Modul 2. Ibid. 46 proses pidana sehingga memudahkan pemakaian instrumen perdata dalam perkara lingkungan.49 Di Indonesia belum diterapkan yang disebut acara singkat (kort geding), berbeda dengan Belanda yang mengenal dan menerapkan acara singkat dalam hukum perdata, sehingga di Indonesia menerapkan acara biasa juga terhadap gugatan dalam sengketa lingkungan. Oleh karena itu, proses perdata dalam hukum lingkungan sama halnya dalam perkara perdata umum yang prosesnya berlarutlarut. Pada umumnya para pihak yang kalah walaupun jelas memang seharusnya kalah, dengan mudah mempergunakan upaya banding dan selanjutnya jika bandingnya juga kalah akan mudah mempergunakan upaya kasasi sehingga suatu proses walaupun sifatnya kecil dalam arti kerugian, tetap berlarut-larut. Demikianlah di Indonesia walaupun jelas hanya merupakan kasus perdata, misalnya utang piutang, pihak yang dirugikan berusaha menyulapnya menjadi perkara pidana karena jaksa mempunyai wewenang daya paksa yang lebih luas, misalnya penahanan, penggeledahan, eksekusi yang lebih cepat dan seterusnya. Jelaslah sesuai dengan pertimbangan ini, instrumen hukum pidana lebih efektif dibandingkan dengan instrumen hukum perdata walaupun jaksa di Indonesia berwenang juga untuk mewakili, baik negara maupun masyarakat untuk menggugat perdata termasuk pelanggaran hukum lingkungan. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan dalam memakai kriteria instrumental adalah biaya 49 Jur Andi Hamzah, Op Cit, Hlm 67. 47 perkara yang cukup besar dalam memakai instrumen perdata., begitu pula keahlian dalam menyusun gugatan dan tangkisan sangat dibutuhkan, berbeda dengan tuntutan pidana karena memamng sudah menjadi makanan sehari-hari para jaksa dengan segala peralatnya yang ditanggung oleh negara. Kriteria oportunistis didasarkan pada instrumen yang lebih menguntungkan. Dalam hal suatu perbuatan pencemaran atau perusakan yang dirasakan oleh masyarakat luas atau individu sebagai perbuatan yang merugikan, tetapi jaksa atau tidak enggan bertindak, baik dalam mempergunakan wewenangnya untuk menuntut berdasarkan pidana maupun menggugat atas nama masyarakat (actio popularis), tentulah masyarakat baik secara kelompok (groepsactie) atau LSM atas nama masyarakat mauapun individu yang merasa dirugikan oleh perbuatan pelanggaran lingkungan itu dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Disini pilihan instrumen hukum perdata merupakan jalan terbaik.50 3. Konsep Pidana Lingkungan Pengaturan hukum pidana bidang lingkungan secara idiil dimaksudkan untuk dapat melakukan engineering), masih memerlukan rekayasa sosial (social penyempurnaan ditinjau dari keseluruhan permasalahan pokok hukum pidana, yaitu perumusan tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal 50 Ibid. 48 responstibility) dan sanksi (sanction) baik yang merupakan pidana (punishment) maupun tindakan tata tertib (treatment).51 Dalam proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipidana (kriminalisasi) Sudarto menyarankan agar mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Penggunaan hukum pidana harus memeperhatikan yujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil spiritual berdasarkan Pancasila.dengan hukum pidana ia berusaha untuk mencegah dilakukanya perbuatan yang tidak dikehendaki olehnya. Maka hukum pidana bertugas atau bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan juga pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri. 2. Yang diusahakan dicegah oleh hukum pidana adalah perbuatanperbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materil dan spiritual) atas warga masyarakat. Kerugian iyu berarti adanya korbanya. Perlu diingat korban dari perbuatan itu tidak hanya orang lain selain si pembuat, akan tetapi dapat pula si pembauat sendiri. Namun ada pula korban itu tidak tampak,kerugian tidak segera dirasakan, misalnya pencemaran lingkungan hidup. 51 Alvi Syahrin menggunakan istilah hukum lingkungan kepidanaan, Hartiwiningsih menggunakan istilah hukum pidana lingkungan, sedangkan Promovendus menggubnakan istilah hukum pidana bidang lingkungan, karena belum ada nomenklatur hukum pidana lingkungan, yang ada hukum pidana tentang perbankan, hukum pidana tentang kehutanan, dsbnya, dengan kata lain hukum lingkungan ynag terdiri dari hukum administrasi, hukum oerdata dan hukum pidana, dimana hukum pidana lingkungan merupakan bagian dari hukum pidana secara luas. 49 3. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, dengan sanksi yang negatif yang berupa pidana, perlu disertai perhitungan akan biaya yanng harus dikeluarkan dan hasil yang diharapkan, yang akan dicapai (cost and benefit principle). 4. Dalam perbuatan perturan hukum pidana perlu juga diperhatikan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai ada kelampauan beban tugas (over belasting), hal mana akan mengakibatkan efek dari peraturan menjadi kurang. Berkaitan dengan kriteria Sudarto tersebut diatas, Barry Stuart berpendapat bahwa tujuan pemberian hukum pidana dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah sebagai berikut: 1. Melindungi masyarakat 2. Pembalasan dan penghukuman 3. Pengubahan dan rehabilitasi 4. Penangkalan (deterrence) Pemberian pidana penjara atau denda kepada pelaku pencemaran, tidaklah dapat sepenuhnya memuaskan rasa keadilan masyarakat. Karena alam yang telah tercemar dan/atau rusak tidak dapat diselesaikan dengan memenjarakan pelaku. Upaya yang terbaik dilakukan secara optimal adalah upaya pencegahan atau penangkapan, hal ini dilakukan agar pelaku usaha tidak terlanjur berlarut-larut membuang limbahnya ke alam bebas, untuk itu hukum 50 administrasi harus diperkuat pernanya sebagai institusi pencegah atau penangkal. Sebagai lembaga pengawas aparat penegak hukum administrasi dapat secara terus-menerus melakukan pengawasan agar pelaku usaha tidak melakukan pelanggaran ketentuan perundang-undangan. Secepat diketahui ada pelanggaran maka secepat itu pula dilakuakn penindakan sekaligus upaya pemulihan lingkungan. Dengan optimalnya penegakan hukum administrasi ini maka pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dapat dikendalikan dan keruskan tidak semakin parah.52 Penggunaan hukum pidana harus dibatasi untuk hal-hal yang sangat penting sekali, khusus untuk penindakan terhadap delik formil (dimana alam belum mengalami kerusakan, masyarakat tidak resah, dan perbuatan pelaku relatif tidak berat)dalam UUPLH harus dikedepankan fungsi hukum administrasi.53 D. Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Penegakan hukum dapat dikaitkan deengan pengertian “law enforcement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materiil distilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga dibedakan antara konsepsi “cort of law” dalam arti pengadilan hukum dan “cuort of justice” atau pengadilan keadilan.54 Demikian pula menurut Barda Nawawi sekurang-kurangnya ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan oleh penegak hukum dalam melakukan penegakan hukumnya, yaitu : 52 Syahrul Machmud,Op Cit, Hlm 284. Ibid, Hlm 285. 54 Ibid, Hlm 212. 53 51 1. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Maka tujuan penegakan hukum adalah untuk penanggulangan kejahatan. 2. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahaya seseorang. Maka penegakan hukum ditujuakn untuk memperbaiaki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kebali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. 3. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan 55 sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada umunya. Penegakan hukum disini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenangwenang di luar hukum. 4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai ynag terganggu sebagai akibat dari adanya kejahatan. Penegakan hukum dimaksudkan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.56 Dari penegakan pidana aspek pertama tersebut, diharapkan sekaligus dapat memperbaiki pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakuny agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. Dan sekaligus upaya 56 Ibid. 52 menyeleseikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dengan demikian yang dimaksudkan penegakan hukum pidana bidang lingkungan yang represif (hukum pidana) adalah upaya menanggulangi kejahatan perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup dalam rangka memberikan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat (aspek pertama dari penegakan hukum Barda Nawawi) khususnya pelanggaran ketentuan delik formil UUPPLH dalam rangka menerapkan sanksi bagi pelaku perusak dan/atau pencemar lingkungan hidup. Keterkaitan dengan asas ultimum remedium di atas, maka sudah seharusnya fungsionalisasi hukum pidana dilakukan setelah upaya non penal didayagunakan secara optimal. Selanjutnya penegakan hukum ini dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagaimana yang ditentukan dalam perundang-undangan baik dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang dan UUPPLH.57 Sementara makna penegakan hukum atau law enforcement atau rechthandhaving khususnya terhadap penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam Seminar Hukum Nasional 1980 dinyatakan : “penegakan hukum pidana diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam 57 Ibid, Hlm 213. 53 masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku”. Handhaving menurut Notitie Handhaving Milieurecht, 1981 adalah pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan instrumen administrasi, kepidanaan atau keperdataan dicapailah penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individual. Dengan demikian istilah handhaving ini meliputi baik yang represif maupun preventif. Penyidikan dari penerapan sanksi administratif dan pidana merupakan bagian penutup penegakan hukum (handhaving).58 penegakan hukum lingkungan pada dasarnya dimulai dengan upaya pembinaan ketaatan terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku, kegiatan tersebut dapat berupa kegiatan penyuluhan, pembinaan teknis, pemberian penghargaan dan berbagai bentuk insentif, pengawasan, pemantauan, penindakan sampai kepada penjatuhan sanksi-sanksi hukum baik administrasi dan/atau pidana dan/atau perdata. Salah satu upaya pembinaan teknis, pemberian penghargaan dan pengawasan kepada perusahaan yang telah melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik sesuai undang-undang, dan juga sebagai langkah awal untuk mendeteksi perusahaan-perusahaan mana yang tidak taat undang-undang sehingga harus diberi sanksi pidana.59 58 CJ. Kleijs-Wijnnobel, HandhavingVAn Milleurecht, Hlm 398, dalam Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hlm 48-49. 59 Hartiwiningsih, Op Cit, Hlm 80. 54 Pola penegakan huku pidana lingkungan meliputi beberapa proses yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu : tahapan preemtiv, tahapan preventif, tahapan represif. Tahapan Pre-emtive yaitu, tindakan antisipasi yang menekankan secara lebih awal berbagai faktor korelasi kriminogen, yakni faktor-faktor yang memungkinkan kerusakan atau pencemaran lingkungan. Dengan deteksi atas faktor kriminogen ini dapat dilakukan pencegahan dan tidak terjadi ancaman faktual terhadap lingkungan. Tahapan preventif adalah serangkaian tindakan nyata yang bertujuan mencegah perusakan atau pencemaran lingkungan. Sedangkan tindakan represif adalah serangkaian tindakan yang dilakukan petugas hukum atau aparat penegak hukum dalam rangka menegakan ketentuan-ketentuan hukum pidana lingkungan.60 Pada dasarnya strategi penegakan hukum lingkungan nasional adalah upaya pencegahan atau preventif. Secara prevetif yang bersifat operasional adalah dilaksanakanya secara cermat, lengkap, jelas prosedur perizinanya dan tahap berikutnya adalah terlaksananya kegiatan pembinaan, pengawasan dan pemantauan secara konsisten, efisien dan efektif. Selanjutnya apabila hal tersebut tidak berjasil atau tidak mampu mencegah terjadinya pelanggaran, baru memasuki tahapan yang represif 61 . Upaya hukum preventif ini merupakan bagian dari penegakan hukum yang dilakukan oleh rezim hukum administrasi yaitu oleh pejabat atau 60 Ibid, 358. Gubernur Jatim, Penegakan Hukum Nasional, Makalah pasa Seminar Nasional, Makalah pasa Seminar Nasional 9 Desember 1995, Surabaya, Hlm 7. 61 55 aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Upaya ini dimulai dengan penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenagan yang sifatnya pengawasan berupa pengambilan sampel, penghentian mesin, dan sebagainya. Sementara itu pada UULH yang lalu, penegakan hukum lingkungan hidup hanya mengenal dua dimensi penegakan hukum lingkungan yaitu penegakan hukum perdata dan pidana. Berbeda dengan penegakan hukum lingkungan sebagaimana yang tercermin dalam pengaturan UUPLH maupun UUPPLH penegakan hukum administrasi diatur pada pasal 76-83 termasuk pasal 93, penegakan hukum perdata sebagaiman diatur dalam pasal 84-92, dan penegakan hukum pidana sebagaiman diatur dalam pasal 94-120. Ketentuan pidana yang termaktub dalam UUPPLH mencakup ketentuan delik materiil dan formil. Untuk beberapa hal ketentuan tersebut merupakan pengaturan tersendiri diluar ketentuan KUHAP maupun dalam KUHP. Ketetntauan pidana dalam UUPPLH lebih lengkap bila dibandingkan dengan UUPPLH apalagi UULH. Dalam upaya koordinasi penanganan terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup ini, telah terjadi kesepakatan antar 5 instansi pemerintah yang terkait yaitu Mneteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisisan. Hanya saja prosedur yang telah disepakati bersama ini pada praktek penegakan hukum selama ini kurang dimanfaatkan sehingga tidak 56 berjalan sebagaimana yang diharapkan. Yang terjadi adalah segala masalah lingkungan selalu dibawa keranah pidana atau dengan kata lain hukum pidana difungsikan sebagai primum remedium, walaupun untuk hal-hal yang ringan, korban belum ada dan lingkungan belum tercemar.62 E. Pentingnya Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia Kepentingan nasional adalah suatau cita-cita, sasaran yang bersifat umum dan abadi yang digunakan sebagai landasan suatu bangsa untuk bertindak. Dalam kaitan dengan pengelolaan lingkungan, maka kepentingan nasional tercantum dalam pasal 33 ayat (2) dan (3) UndangUndang 1945.63 Untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam pengelolaan cabang-cabang produksi, bumi, air, dan kekayaan alam oleh negara maka diperlukan strategi pengelolaan lingkungan tersebut agar tidak memberikan dampak terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup karena pentingnya kelestarian lingkungan hidup untuk kepentingan generasi saat ini dan masa depan. Kaitan dengan hukum pidana lingkungan dapat diartikan dari suatu kebijakan atau keinginan-keinginan negara yang di format dalam peraturan kebijakan maupun peraturan perundang-undangan sebagai kekeuatan negara untuk menghadapai kerusakan lingkungan hidup. Kebijakan 62 63 yang diinginkan Syahrul Machmud, Op Cit, Hlm 226-227. Siswanto Sunarso, Op Cit, Hlm 182. oleh negara dalam hal ini, ialah 57 pengembangan rencana penggunaan lahan dan tata ruang serta melakukan kebijakan perencanaan terhadap rehabilitasi kerusakan sumber daya alam, seperti kerusakan tanah, air, daerah aliran sungai (DAS), dan sebagainya.64 Pembangunan berkelanjutan yang menempatkan lingkungan hidup sebagai bagian integral dalam dinamika pembangunan nasional merupakan realitas kehidupan bernegara.65 Indonesia telah menjadikan Pembangunan berkelanjutan yang menjiwai kerangka hukum nasional. Beberapa, telah mengambil prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai dasar pengambilan putusan di pengadilan. Berarti dalam beberapa hal, nilai-nilai pembangunan berkelanjutan dapat berperan dalam aspek lingkungan. Nilai-nilai pembangunan berkelanjutan penting artinya dalam rangka pembentukan hukum, demikian pula dalam pembentukan hukum lingkungan. Di Indonesia, istilah pembangunan berkelanjutan secara resmi dimuat dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Walaupun masih menggunakan istilah “pembangunan berkesinambungan”, Pasal 3 menentukan “Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia”. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, secara menyebut istilah pembangunan berkelanjutan (Pasal 1 angka 3), yakni “pembangunan berkelanjutan yang 64 Siswanto Sunarso, Op Cit, Hlm 183. Emil Salim, Pembangunan Berkelanjutan (Strategi Alternatif dalam Pembangunan Dekade Sembilan Puluhan), Artikel, Prisma, Jakarta, LP3ES, 1991, Hlm 8. 65 58 berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, memadukan lingkungan hidup ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Terakhir Pasal 1 angka 3 UU-PPLH: “Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Otto Soemarwoto, pembangunan harus berkelanjutan secara ekologi, sosial, dan ekonomi (sustainable development must be ecologicalli, socialy, and economically sustainable)66. Emil Salim, menyatakan : “pembangunan berkelanjutan mengharuskan kita mengelola sumber alam serasional mungkin. Ini berarti bahwa sumber-sumber daya alam bisa diolah, asalkan secara rasional dan bijaksana. Untuk ini diperlukan pendekatan pembangunan dengan pengembangan lingkungan hidup, yaitu eco-development”.67 Dalam konsep pembangunan berkelanjutan di atas, dirumuskan atau diartikan sebagai paradigma pembangunan yang mengarahkan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan. Lingkungan hidup sebagai sumber daya, menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan pembangunan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan mutu hidup 66 67 Janine Ferretti, Common Future, Penerbit Pollution Probe, Toronto, Ontario, 1989, hlm. 6. Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3ES, Jakarta, 1993, hlm 184-185. 59 generasi masa kini dan masa depan bagi peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup generasi kini dan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan yang dianut Indonesia adalah pembangunan yang dapat memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat generasi saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan masyarakat generasi mendatang. Pemerintah berupaya mewujudkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan dalam berbagai pembentukan dan pelaksanaan hukum lingkungan. UU-PPLH yang disahkan pada tahun 2009 memuat prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Prinsip-prinsip dimaksud yakni: 1. Prinsip Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Equity) Prinsip keadilan antargenerasi ini didasari sumber daya alam yang ada di bumi ini adalah sebagai titipan (in trust) untuk dipergunakan generasi yang akan datang. Setiap generasi merupakan penjaga dari planet bumi ini untuk kemanfaatan generasi berikutnya dan sekaligus sebagai penerima manfaat dari generasi sebelumnya. 2. Prinsip Keadilan Dalam Satu Generasi Prinsip ini disebut pula keadilan intragenerasi. Prinsip ini menurut Prof. Ben Boer, menunjuk kepada gagasan bahwa masyarakat dan tuntutan kehidupan dalam satu generasi, memiliki hak dalam kemanfaatan sumber-sumber alam dan kenikmatan atas lingkungan yang bersih dan sehat.68 68 Dikutip dari NHT. Siahaan, op., cit., hlm. 74. 60 3. Prinsip Pencegahan Dini (Precautionary Principle) Prinsip pencegahan dini (precautionary principle) secara teoretis atau praktis mengandung makna bahwa apabila terdapat ancaman atau adanya ancaman kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, ketiadaan pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan tersebut.69 4. Prinsip Perlindungan Keragaman Hayati (Biodiversity Conservation). Prinsip perlindungan keragaman hayati (biodiversity conservation) merupakan prasyarat dari berhasil tidaknya pelaksanaan prinsip keadilan antargenerasi (intergenerational equity principle). Perlindungan keragaman hayati juga terkait dengan masalah pencegahan, sebab mencegah kepunahan jenis dari keragaman hayati diperlukan pencegahan dini70. Upaya perlindungan keragaman hayati dilakukan untuk membuktikan komitmen dan kesadaran pentingnya mencegah secara dini kepunahan keragaman hayati sekaligus melaksanakan prinsip keadilan baik antargenerasi maupun dalam satu generasi untuk mewujudkan karakteristik pembangunan berkelanjutan. 5. Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan Prinsip ini berangkat dari suatu keadaan, penggunaan sumber--sumber lingkungan hidup, merupakan kecenderungan dari dorongan pasar. 69 Syamsuhardi Bethan Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional: Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi, Alumni, Bandung, 2008., hlm. 95. 70 F.X. Aji Samekto, Keterkaitan Kapitalisme dengan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dan Implementasi Konvensi Keanekaragaman Hayati Dalam Studi Hukum Kritis, Disertasi, PPS, Undip, Semarang, 2004, hlm. 117. 61 Akibatnya, kepentingan yang selama ini tidak terwakili dalam komponen pengambilan keputusan dalam menentukan harga pasar tersebut diabaikan dan menimbulkan kerugian bagi mereka. Masyarakat yang menjadi korban dari kerusakan lingkungan, tidak memiliki suatu mekanisme untuk memaksa kelompok untuk membayar kerugian bagi kerusakan tersebut kecuali pengadilan.71 Suatu perusahaan menurut Daud Silalahi, bisa saja menganggap lingkungan hidup sebagai benda bebas yang dapat digunakan sepenuhnya untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, masyarakat sebagai keseluruhan akan melihat lingkungan hidup sebagai bagian dari kekayaan nyata yang tidak dapat lagi diperlakukan sebagai suatu benda bebas (rex nullius).72 Mengintegrasikan biaya lingkungan ke dalam proses pengambilan keputusan oleh pelaku ekonomi bukan sebagai himbauan, tetapi menjadi tuntutan realitas dan sangat realistis dalam dinamika pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, hukum lingkungan tidak hanya mengatur tentang pemanfaatannya (ekonomic value), juga mempertahankan keberadaan dan aspek pemanfaatan guna kesejahteraan semua orang di dalam masyarakat. Supaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat berkelanjutan dengan 71 Lihat, Mas Ahmad Santosa, Aktualisasi Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan Dalam Sistem dan Praktik Hukum Nasional, Artikel Jurnal Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, 1996, hlm. 13. Lihat pula Sums T. Djajadiningrat. Pengantar Ekonomi Lingkungan, Jakarta, LP3ES, 1997. him. 5. 72 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 17. Iihat juga M. Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan (Termasuk perlindungan) Sumber Daya Alam Yang Berbasasi Pembangunan Sosial dan Ekonomi, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN, Denpasar, 2003. 62 fungsi baik. Kerangka pembangunan berkelanjutan, hukum lingkungan, dalam pengertiannya yang luas adalah sebuah sarana esensial bagi mencapai keberlanjutan. Hukum lingkungan mempersyaratkan standar perilaku sosial dan memberikan ukuran kepastian pada kebijaksanaan. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi landasan negara termasuk Indonesia yang memiliki komitmen dan kesadaran untuk membangun tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan hidupnya. Bahkan, kelima prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut dapat dipandang memiliki nuansa positif untuk membangun Indonesia yang lebih menghargai kehidupan generasi sekarang dan mendatang, berkenaan dengan rasa keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Hukum Pidana merupakan ranah publik seperti dijelaskan diatas, sehingga apabila oarang yang melakukan tindak pidana lingkungan maka kerugian akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dari penjelasan diatas diartikan bahwa hukum pidana lingkungan sangat urgent bagi Indonesia serta hajat orang banyak.