(Repaired)

advertisement
1
BAB III
PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA
A. Sejarah Perkembangan Hukum Lingkungan Indonesia
Pada tahun 19962 terbit buku “The Silent Spring” atau musim semi
yang sunyi karangan Rachel Carson1 yang mempunyai pengaruh besar
pada kesadaran orang terhadap lingkungan hidupnya. Dalam Bab I
bukunya Carson bercerita tentang hari depan, antara lain penyakit
misterius telah menyerang ayam, sapi dan domba, hewan-hewan tersebut
sakit dan mati. Dalam ceritanya itu dimana-mana terdapat bayangan
kematian, para petani berbicara tentang banyaknya penyakit dalam
keluarga mereka, demikian pula para dokter mengahadapi teka-teki
penyakit baru yang timbul diantaranya para pasienya. Kematian yang
sekonyong-konyong tidak dapat diterangkan penyebabnya, terjadi tidak
hanya terhadap orang-orang dewasa saja namun terjadi juga pada anakanak yang tiba-tiba menjadi sakit waktu bermain dan meninggal dalam
beberapa jam saja.
Ungkapan Rachel Carson2 antara lain mengemukakan hal berikut:
“it is our alarming that so primitive a science har armed it self with the
most modern and terribel weapons, and that in turning them against the
inseets it has also turned them against the earth”.
1
Otto Sumarwoto, Op Cit, Hlm 11.
Rachel Carson, Silent Spring, Fawceet Publication, Inc, Greenwich Conn, 1962, Hlm 261-262,
dalam siti sundarai Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Dalam Proses
Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, 1987, Hlm 30.
2
2
Walaupun pada awalnya cerita Carson ini mendapat tantangan terutama
dalam kalangan industriawan kimia, bahkan mereka mengeluarkan dana
cukup besar sebanyak $ 250.000 digunakan sebagai dana kampanye
untuk membuktikan bahwa Carson adalah seorang dungu yang histeris.
Namun ada pula pihak yang terinspirasi akibat cerita Carson tersebut.3
Tak lama setelah terbitnya buku tesebut dunia dikejutkan oleh suatau
penyakit misterius yang menjangkit masyarakat sekitar teluk Minamata di
Jepang, disusul dengan berjangkitnya penyakit mematikan yang disebut
dengan itai-itai.
Dengan munculnya penyakit yang aneh dan misterius di Jepang
tersebut, membuktikan bahwa tulisan Carson ini bukan sekedar fiktifimajinatif melainkan suatu kenyataan yang telah menimpa umat manusia
di berbagai belahan bumi.
Vittachi4 berpendapat bahwa peringatan Rachel Carson dalam Silent
Spring tersebut tentang bahaya penggunaan insectisida (An no birds
Sing) merupakan pemikiran yang pertama kali menyadarkan manusia
mengenai lingkungan.
Dan ini mejadi awal perhatian masalah lingkungan, sedangkan di
Indonesia berdasarkan pendapat Syahrul Macmud5, penegakan hukum
lingkungan dimulai sebelum Indonesia, sesungguhnya telah terdapat dua
ketentuan yang berkaitan dengan lingkungan yang dikeluarkan baik di
zaman Jepang, sebagaiman tercantum dalam Himpunan Peraturan
3
Sale, Kirkpatrick, Revolusi Hijau, Sebuah Tinjauan Historis Kritis Gerakan Lingkungan Hidup di
Amerika Serikat, Terjemahan dari The Green Revolution, The American Environmental Movement,
Yayasan Obor Indonesia , 1996, Hlm 2.
4
Syahrul Machmud, Op Cit, Hlm 28.
5
Ibid, Hlm 62.
3
Perundang-Undangan dibidang lingkungan hidup yang disusun oleh
Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah
dibidang
pengembangan Lingkungan Hidupyang diterbitkan pada 5 Juni1978, serta
dikumpulkan dari berbagai bahan lainya, antara lain :
1. Zaman Hindia Belanda
a. Ordonansi tentang perikanan mutiara dan perikanan bunga
karang, yaitu Parelvisscherij, Sponsenvisscherij Ordonantie Stb.
1916 No. 157, dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal
Idenburg pada tanggal 29 Januari 1916.
b. Natuurmonumenten Ordonantie (Ordonansi Cagar Alam) S. 1916
No. 278 yang bertujuan melindungi flora dan fauna. Ordonansi ini
kemudian
diganti
reservatenordonantie
dengan
Natuurminumenten
(Ordonansi
Cagar
Alam
en
dan
WldSuaka
Margasatwa) S. 1932 No. 17). Kemudian dicabut dengan
ordonansi yang mengatur tentang perlindungan alam, yaitu
Natuurbeschermingsordinantie
1941
(Stbl.
1941
No.
167).
O\rdonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar alam
dan
suaka
margasatwa,
yaitu
Natuurmonumenten
en
Wildreservaten ordonantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17). Dan terakhir
diganti dengan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus
1990.
c. Pada tanggal 26 Mei 1920 denagn penetapan Gubernur Jenderal
No. 86 telah diterbitkan Visscherrijordonantie (Stb. 1920 No. 396),
yaitu peraturan perikanan untuk melindungi keadaan ikan
4
termasuk telur ikan, benih ikan dan segala macam kerangkerangan.
Ordonansi
lain
tentang
ikan
adalah
Kustvisscherijordonantie (Stb. 1927 No. 144) berlaku sejak 1
September 1927. Ordonansi perikanan telah dicabut dengan UU
No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang diundangkan pada
tanggal 19 Juni 1985.
d. Reeden Reglement (Peraturan Bandar) S. 1925. Yang melarang
membuang barang-barang di bandar sepanjang pantai dan alur
pelayaran lainya (pasal 16).
e. Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah
ordonansi gangguan (Hinder Ordonantie), tanggal 13 Juni 1926
Stb. Tahun 1926 No. 226, mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus
1926 dirubah terakhir denagn Stb. Tahun 1940 No. 450.
f.
Monumentenordonantie S. 1931. No. 238 dalam pasal 12 jo 6 ayat
(2), melarang merusak atau mengubah bentuk atau tujuan semula
dari monumen tanpa izin.
g. Ordonansi
tentang
perlindungan
satwa
adalah
Dierenbeschermingsordonantie (Stbl. 1931 No. 134) yang mulai
berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia
Belanda (Indonesia).
h. Ordonansi tentang perburuan, yaitu Jachtordonantie 1931 (Stbl.
1931 No. 133) dan Jachtordonantie Java en Madoera 1940 (Stbl.
1940 No. 733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak tanggal
1 Juli 1940.
5
i.
Dalam
bidang
perusahaan
telah
pula
dikeluarkan
Bedrifsreglementteringsordonantie 1934 (Stbl. 1938 no. 86 Jo
Stbl. 1948 No. 224)
j.
Wegverskeersvordening (Peraturan Lalu Lintas Jalan) S. 1936 jo
PP No. 2 Tahun 1964, dalam pasal 11 sub 4a, dilaranag
meneluarkan suara keras, menyebarkan uap atau bahan-bahan
lain. Dalam pasal 24 ayat (1c) kendaraan harus dengana
alatperedam
suara.
Ketetentuan
tentang
lalu
lintas
telah
diperbaharui dengan UU No. 4 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan Raya.
k. Dalam hubunganya dengan pembentukan kota, telah dikeluarkan
Stadvormingsordonantie (Stbl. 1948 No. 168) disingkat SVOyang
mulai berlaku pada 23 Juli 1948. Pada tahun tersebut sebenarnya
Indonesia telah merdeka, namun SVO ditetapkan diwilayah yang
secara de facto masih diduduki Belanda.
Terdapat pula beberapa pasal dalam KUHP yang sampai
sekarang masih berlaku mengandung aspek lingkungan :
a. Pasal 187, yaitu sengaja membakar, menjadikan letusan atau
mengakibatkan kebanjiran.
b. Pasal 187 bis, yaitu membuat, menerima, berusaha untuk
mendapatkan, mempunyai, meyembunyikan, membawa atau
memasukan ke Indonesia bahan-bahan atau benda-benda yang
diketahuinya atau patut disangkanya dapat digunakan sebagai
bahan letusan yang dapat mendatangkan maut atau bahaya
umum bagi barang.
6
c. Pasal 188, yaitu menyebabkan kebakaran, peletusan atau banjir.
d. Pasal 191, yaitu menghancurkan dan sebagainya bangunan yang
diperuntukan menahan atau menyalurkan air.
e. Pasal 202,yaitu sengaja meracun mata air untuk kepentingan
umum.
f.
Pasal 203, yaitu karena kelapaanya mengakibatkan mata air
untuk kepentingan umum teracuni.
g. Pasal 497, yaitu menyalakan api dijalan umum yang dapat
menimbulkan bahaya kebakaran.
h. Pasal 500, yaitu membuat obat ledak tanpa izin.
i.
Pasal
501,
yaitu
menjual
dan
sebagainya
barang
makanan/minuman yang dipalsukan atau busuk atau dari ternak
sakit.
j.
Pasal 502, yaitu berburu tanpa izin.
k. Pasal 503, yaitu berbuat onar pada malam hari atau dekat tempat
ibadah atau pengadilan.
l.
Pasal 548-549, yaitu membiarkan unggas, ternak berkeliaran.
2. Zaman Jepang
Pada zaman Jepang terdapat peraturan tentang larangan
menebang kayuaghata, alba dan balsem tanpa izin, yaitu Osamu S.
Kanrei Nomor 6. Larangana tersebut berkaitan dengan kepentingan
Jepang
terhadap
ketiga
jenis
kayu
pembuatan pesawat peluncur (gliders).
tersebut
sebagai
bahan
7
3. Zaman Kemerdekaan
Pada
awal
keerdekaan
Republik
Indonesia,
sebelum
berlangsungnya Konferensi Stockholm tahun 1972 yang dianggap
sebagai tonggak perhatian dunia terhadap masalah lingkungan
tersebut, Indonesia telah memiliki beberapa perundangan yang
bernuansa lingkungan. Demikian pula selanjutnya secara bertahap
ditetapkan beberapa UU bernuansa lingkungan baik sebelum tahun
1972 maupun setelahnya, seperti:
a. UU No.5 Tahun 1960, tentang Undang-Undang Pokok Agraria.
b. UU No. 9 Tahun 1960, tetang Pokok Kesehatan.
c. UU No. 11 Tahun 1962, tentang Hygiene.
d. UU No. 5 Tahun 1967, tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
e. UU No. 11 Tahun 1967, tentang Pertambangan.
f.
UU No. 3 Tahun 1972, tentang Transimgrasi.
g. UU No. 4 Tahun 1982 (telah diganti dengan UU N0. 23 Tahun
1997),
tentang
Ketentuan-ketentuan
Pokok
Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan telah diterbitkan UU organik.
h. UU No. 5 Tahun 1983, tentang Zona Eksklusif, berkaitan dengan
pasal 2 dan 4 UULH.6
Dan masih banyak lagi UU dan perturan setingkat pertauran
pemerintah lainya.
Mencermati masalah lingkungan secara global, menurut Emil
salim7,
6
bahwa
secara
Syahrul Machmud, Op Cit. Hlm 65-66.
perorangan
beberapa
ilmuan
telah
8
mencetuskan masalah lingkungan, namun memperoleh perhatian
yang layak. Barulah pada permulaan tahun tujuh puluhan, para ilmuan
secara bersama-sama membahas masalah lingkungan hidup secara
terbuka dalam satu seminar ilmiah. Perkembangan ini tidak terlepas
dari bangkitnya minat pemikir dunia menanggapi masalah lingkungan
hidup secara global.
Kaidah dasar yang melandasi pembanguanan dan perlindungan
lingkugan hidup Indonesia terdapat dal Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 pada alinea ke-4 yang berbunyi;
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan
negara Indonesia yang melindungi segenap bangs Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaa, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu susunan Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indnesia,
kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
khidmat
kebijaksaan
dalam
permusyawratan perwakilan, serta dengan meweujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.8
Pembukaan UUD 45 tersebut menegaskan kewajiban negara dan
tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber alam
7
Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3ES, cetakan ketiga, April, 1990, Hlm ix.
Syahrul Machmud, Op Cit, Hlm 67.
8
9
Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap
umat manusia. Pemikran tersebut lebih dijabarkan lagi dalam pasal 33
ayat (3) sebagai berikut:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.9
Sejarah perkembangan peraturan masalah lingkungan Indonesia
berkembang seiring dengan perkembangan masalah lingkungan di
tingkat global tersebut. Sebagai sebuah negara anggota PBB,
Indonesia telah turut ambil bagian aktif dalam konferensi dan segala
dan segala kegiatan yang bernuansa lingkungan. Seperti dalam
konferensi Stockholm 1972, Indonesia bahkan turut menyumbangkan
pokok pemikiran tentang lingkungan berupa Indonesia’s Country
Report sebagai dokumen resmi yang pada awalnya disampaikan
pada forum ECAFE Seminar on Development and Enironmentdi
Bangkok pada tanggal 17-23 Agustus 1971. Laporan tersebut direvisi
untuk kemudian disajikan oleh delegsi Indonesia pada Konferensi
Stockholm tersebut dengan judul Nation Report of Indonesia
Environment Problems in Indonesia. Selanjutnya untuk ketiga kalinya
laopran tersebut disajikan pada The IX International Forum on
Industrialisation and Environment, yang dilangsungkan di Tokyo pada
25 November - 1 Desember 1973.dalam laopran tersebut antara lain
disebutkan:
9
Ibid, Hlm 67.
10
“This report has been prepared to present environmental problems in
Indonesia, and to describe what effort have been attempted by the
goverment of Indonesia to solve those problems. Three problems
areas have been identified in accordance with the main topics of
discussion for the 1972 United Nations Conference on the Human
Environment to be held ini Stockhlm, i.e. environmental problrms of
human
settlements,management
of
natural
resources
and
environmental pollution”.10
Selain itu, dalam negeri sendiri Indonesia telah aktif berupaya
mewujudkan satu undang-undang lingkungan menyesuaikan dengan
suasana global. Bukti bahwa didalam negeri sendiri Indonesia sangat
peduli dengan masalah lingkungan adalah telah diadakan seminar
Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan Pembangunan Nasional
di Bandung yang diprakarsai oleh Lembaga Ekologi UNPAD pada
tanggal 15-18 Mei 1972. Mochtar Kusumaamadja telah menulis
makalah berjudul Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup
Manusia: Beberapa Pikiran dan Saran. Mengingat bahwa sajian
tentang pembinaan hukum lingkungan baru pertama kalinya dibahas
di Indonesia, maka menurut Munadjat Danusaputro bahwa kita tidak
ragu untuk menyatakan di Indonesia yang pertama kali sebagai
peletak batu pertama untuk memperhatikan dan menangani hukum
lingkungan adalah Prof. Mochtar Kusumaatmadja.11
10
St. Munadjat Danusaputro, Environmental Leislation and Admnistration in Indonesia, Alumni,
Bandung 1978, Hlm 27 & 82.
11
St. Munadajt Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I, Op Cit, Hlm 39.
11
Pengaruh Konferensi Stockholm pada tahun 1972 serta seminar
yang telah dilaksanakan tersebut bagi Indonesia adalah, kegiatan
pengelolaan lingkungan mulai ditangani secara langsung oleh
pemerintah. Hal ini terlihat dari langkah-langkah tindak lanjut yang
dilakukan pemerintah Indonesia merupakan langkah yang tepat dan
konkret yaitu dengan membentuk Komite Nasional Lingungan Hidup
berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1972. Komite ini bertugas
merumuskan
konsep
pembangunan
yang
berkelanjutan
untuk
dituangkan dalam GBHN periode 1973-197612. Selain itu telah pula
diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 60 tahun 1972 tanggal 17
Oktober 1972 tentang Pembentukan Panitia Perumus dan Rencana
Kerja Bagi Pemerintah di Bidang pengembangan Lingkungan Hidup.
Panitia
tersebut
diketuai
oleh
oleh
Menteri
Negara
Urusan
Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara/Deputi Ketua
BAPPENAS Bidang Perencanaan Material dan Prasarana Dr. JB
Sumarlin. Tugas utama Panitia antar Departemen ini adalah
menyusun, membuat investarisasi dan rencana kerja bagi Pemerintah
dibidang pengembangan lingkungan hidup.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada
waktu itu memiliki peranan yang sentral dalam merumuskan kebijakan
dan hukum lingkungan melalui pembentukan komite, biro, serta
menyiapkan
rancangan UU
Lingkungan
melalui
Pembentukan
Kelompok Kerja Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber
Daya
12
Alam
dan
Lingkungan
Mas Achmad Santosa, Op Cit, Hlm 193-194.
Hidup.
Saat
itu
BAPPENAS
12
melaksanakan juga kebijakan analisis mengenai dampak lingkungan
secara ad hoc untuk pembangunan proyek-proyek besar tertentu.13
Selanjutnya hasil kerja Panitia tersebut dijabarkan lebih lanjut
dama TAP MPR No. IV/MPR/1973tentang GBHN, pada BAB III,
bagian b butir 10 dari pembukaan berbunyi sebagai berikut:
“Dalam
melaksanakan
pembangunan,
sumber-sumber
alam
Indonesia harus digunakan secara rasionil. Penggalian sumber
kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata
lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yag
menyeluruh dan dengan memperhitungkan kenutuhan generasi yanga
akan datang”.
Dengan demikian gagasan pemabangunan berkelanjutan di
Indonesia pada dasarnya telah dirumuskan sejak tahun 1973
tersebut.
Penjebaran lebih lanjut mengenai arah pembangun lingkungan ini
dituangkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 1974 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)II,
pada Bab 4 tentang pengelongaan sumber sumber alam dan
lingkungan hidup selain itu pokok pokok sumber sumber alam dan
lingkungan hidup. Selain itu pokok-pokok kebijakan pengelolaan
13
Syahrul Machmud, Op Cit, Hlm 69.
13
sumber-sumber alam dan lingkungan hidup, ditetapkan pula langkahlangkah pengelolaan dalam proses pelaksanaan pembangunan.14
Pada 17 Februari 1975 Kepala Negara telah mengeluarkan
Intruksi kepada Menteri Kehakiman untuk menangani tata peraturan
“Perlindungan Lingkungan Laut Nusantara” secara fundamental.
Selanjutnya pada 31 Maret 1975 Menteri Kehakiman membentuk “Tim
Teknis
Penyusunan
RUU
Pencegahan
dan
Penanggulangan
Pencemaran Laut, khusunya di Selat Malaka dan Selat Singapura”.
Hal ini merupakan awal permulaan Indonesia membebani hukum
lingkungan secara konsepsional.15
Dengan terjadinya kecelakaan kapal tanker raksasa Showa maru
benrbendera Jepang yang kandas dekat sebuah karang yang
bernama Buffalo Roeks di Philip Channel, kurang lebih 3 mil dari
pelabuhan Singapura pada 6 Januari 1975. Maka Kepala Negara
pada 17 Februari 1975 mengintruksikan Menteri Kehakiman agar
menangani tata pengaturan Perlindungan Lingkungan Laut Nusantara
secara fundamental. Atas intruksi Presiden tersebut dibentuklah
satuan-satuan
tugas
(task
porce)
di
tingkat
pusat
secara
interdepartemental ke arah 3 jurusan, yaitu:
a. Satuan tugas teknis-operasional, dikoordinasikan oleh Menteri
Perhubungan.
b. Satuan tugas penelitian
Menteri Riset.
14
Ibid, Hlm 39.
Ibid, Hlm 14.
15
dan penilaian, dikoordinasikan oleh
14
c. Satuan tugas hukum dna penuntutan ganti rugi, dikoordinasikan
oleh Menteri Kehakiman.16
Karena Indonesia belum meiliki Undnag-Undang Pencegahan
dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Laut dan belum
meratifikasi konvensi-konvensi internasional, maka Indonesia sangat
mengalami kesulitan dalam upaya penyelesaian hukum dan tuntutan
ganti rugi akibat pencemaran lingkungan laut oleh tanker Showa Maru
tersebut.
Barulah pada tanggal 31 Maret 1975 Menteri Kehakiman
membentuk
tim
teknis
penyusunan
RUU
Pencegahan
dan
Penaggulangan Pencemaran Laut, khususnya di selat Malaka dan
selat singapura. Hal ini merupakan langkah awal Indonesia
membentuk hukum lingkungan secara konsepsional.17
Selanjutnya sebagai tindak lanjut usaha Pemerintah menangani
maslah lingkungan ini, maka pada tanggal 25 Juni 1975 telah
dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
1975 tentang pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi
Kekayaan Alam (disebut Panitia Kekayaan alam) yang merupakan
wadah bagi penyelenggara koordinasi, sinkronisasi dan integrasi
untuk mempersiapkan kebijaksanaan umum Pemerintah di bidang
Inventarisasi,
evaluasi,
pengelolaan,
pengembangan
dan
pengamanan kekkayaan alam. Panitia Kekayaan alam diketuai oleh
Menteri Negara Riset.
16
Ibid, Hlm 205.
Ibid, Hlm 14.
17
15
Selain itu pada tanggal 25-27 Maret 1976 telah pula dilakukan
seminar segi-segi hukum dan pengelolaan lingkungan hidup yang
diselenggarakan bersama oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman Republik Indonesia dengan Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung, di Lembang. Pemikiran yang
berkembang pada seminar tersebut sangat berpengaruh terhadap
pembangunan hukum lingkungan nasional.
Demikian pula pada 5-6 Juni 1978 dalam rangka memperingati
hari lingkunga sedunia telah dilaksanakan pula seminar nasional
pengembangan lingkunga hidup. Yang kemudian dilanjutkan dengan
survey dan inventarisasi segala produk hukum bidang lingkungan
hidup.
Arah pembangunan lingkungan hidup lebih disempurnakan lagi
dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV Tahun 1978 tentang GBHN yang
khusus memuat butir 13 sumber daya alam dan ekonomi. Penjabaran
lebih rinci dituangkan dalam Keputusan Presiden Ri Nomor 7 Tahun
1979 tentang REPELITA III, Bab 7 Pengelolaan sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup, pembinaan hukum dan aparatur. Kebijakan
lingkungan dan penjabaranya dicantumkan dalam GBHN-GBHN dan
Repelita-Repelita selanjutnya yang senantiasa meningkat. Keppre No.
7 Tahun 1979 tersebut mengatur langkah-langkah pengelolaan
sumber-sumber
alam
dan
lingkungan
hidup
dalam
proses
pelaksanaan pembangunan yang lebih luas daripada dalam Keppres
Nomor 11 Tahun 1974 tentang REPELITA II.
16
Sejak pembentukan Kabinet Pembangunan III berdasarkan
Keputusan Presiden RI Nomor 59/M Tahun 1978 telah diangkat
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(PPLH) yang tugasnya diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 28
Tahun 1978 tentang Kedudukan, Tugas Poko, Fungsi, dan Tata Kerja
Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara
Riset dan Teknologi serta susunan Organisasi stafnya dan mulailah
lingkungan yang sumla hanya terkait dengan masalah ilmiah dan
perncanaan semata, bergeser masuk kedalam bidang kebijakan
(policies).Keputusan
Presiden
ini
kemudian
dirubah
dengan
Keputusan Presiden RI Nomor 35 Tahun 1978, terutama berisi
penyempurnaan terhadap ketentuan angka 2 Pasal 2 Keputusan
Presiden RI Nomor 28 Tahun 1978, khusus mengania fungsi Menteri
Negara
Pengawasan
Pembangunan
dan
Lingkungan
Hidup
ditetapkan sebagai berikut:
a. Mempersiapkan perumusan Kebijakan Pemerintah mengenai
segala sesuatu yang bersangkutan dengan tugas pelaksanaan
pengawasan pembagunan dan pengelolaan serta pengembangan
lingkungan hidup.
b. Merencanakan segala sesuatu secara teratur dan menyeluruh
dalam rangka perumusan kebijakan tersebut pada huruf a diatas.
c. Mengkoordinasikan segala kegiatan pelaksanaan pengawasan
dan pembangunan dari berbagai Instansi Pemerintah Pusat,
Instansi Pemerintah Daerah, dan Perusahaan mlik negara.
17
d. Mengkoordinasikan kegiatan Inspektur Jenderal Departemen dan
aparat pengawasn lainya dalam pelaksanaan pengawasan
pembangunan secara menyeluruh.
e. Menampung laporan dari instansi dan anggota masyarakat yang
bermanfaat bagi pelaksanaan pengawasan pembangunan.
f.
Menkoordiansikan dan menangani segala kebijakan penglolaan,
pengembangan, dan perlindungan lingkungan hdiup.
g. Menyampaikan laporan dan bahan keterangan serta saran-saran
dan pertimbangan dibidang tanggung jawabnya kepad Presiden.
Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan dalam
Kepurusan
Presiden
Nomor
35 Tahun
1978
tersebut,
telah
dikeluarkan Kpeutusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan
dan Lingkungan Hidup. Peran Menteri Negara PPLH beserta stafnya
dalam memajukan kesadaran lingkungan dan memeupuk peran seta
masyarakat sangat menonjol selama Pelita III.
Karena sampai tahun 1978 ini Indonesia belum memiliki undangundnag tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
yang sesuai dengan arah kebijakan yang ditetapkan oleh Ketetapan
MPR RI Nomor IV/MPR/1978 tantang GBHN, maka ditetapkanlah
Keputusan
Menteri
Negara
Pengawasan
Pembangunan
Lingkungan
Hidup
Nomor
KEP-006/MNPPLH/3/1979
dan
tentang
Pembentukan Kelompok Kerja Dalam Bidang Pembinaan Hukum dan
Aparatur Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkunga
Hidup (disingkat “kelompok kerja”) yang diketuai oleh St. Munadjat
Danusaputro, SH. Kelompok kerja ini bertugas menyusun rancangan
18
peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan-ketentuan
pokok tentang tata pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup. Menurut Munadjat Danusaputro, maka tahun 1979 merupakan
tahun penuh arti bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum
lingkungan Indinesia.18
Setelah pembentukan kelembagaan pengelolaan lingkungan
hidup di tingkat nasional (Kantor Menteri Negara PPLH) di tahun
1978, pekerjaan koordinasi perumusan kebijakan secara otomatis
beralih kepada Kantor Menteri Negara PPLH. Pada saat itu persiapan
UU Lingkungan Hidup (yang kemudian menjadi UU No. 4 Tahun
1982) dan Peraturan Pemerintah mengenai AMDAL (yang kemudian
menjadi PP. No. 29 Tahun 1986) dalam proses pelaksanaan
pembentukanya menjadi lebih terfokus dan lancar.
Pada bulan Maret 1981 Rancangan Undang-Undang tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dihasilkan oleh kelompok kerja,
dimatangkan kembali oleh sebuah Tim Kerja Kantor Menteri Negara
PPLH untuk selanjutnya diajukan ke forum antar Departemen guna
mendapat persetujuan para Menteri yang bersangkutan. Akhirnya
RUU tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkunga Hidup dapat
diajukan pada sidang DPR pada bualn Januari 1982, dan akhirnya
berhasil diundangkan pada 11 Maret 1982 menjadi Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
1982
tentang
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan demikian terbentuklah
lembaran baru bagi kebijakan lingkungan hidup di Indonesia menuju
18
Ibid, Hlm 8.
19
kepada pembangunan hukum lingkungan nasional berlandaskan
prinsip-prinsip hukum lingkungan modern yang diakui secara
internasional.
Sebelum diundangkan menjadi UU, telah diterbitkan surat
Keputusan
Menteri
Negara
Pengawasan
Pembangunan
dan
Lingkungan Hidup RI Nomor KEP-027/MNPPLH/11/1981 tentang
Pembentukan Kelompok Ketja Pembinaan Hukum dan Aparatur
Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup yang bertugas menyusun
kebijakan lingkungan hidup dari segi pembinaan hukum dan aparatur,
melakukan konsultasi dan koordinasi antar sesama unsur pemerintah
dan anatar unsur pemerintah dengan kalangan swasta yang
berkepentingan dengan pembinaan hukum dan aparatur dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian tugasnya diperbaharui
dengan Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup RI Nomor KEP-21/MNPPLH/11/1982 tentang
Pembentukan Kelompok Kerja Pembinaan Hukum dan Aparatur
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, yang
diketuai oleh Munadjat Danusaputro, tugas kelompok kerja ini adalah
sebagai berikut:
a. Menyusun tanggapan atau saran-saran dari badan atau pihak lain
yang berkepentingan dengan pembinaan hukum dan aparatur
dalam pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup.
b. Melaksanakan koordinasi lintas sektoral dalam penyusunan
peraturan pelaksanaan Undang-Undnag Nomor 4 Tahun 1982
20
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
c. Memonitor perkembangan pelaksanaan kebijakan dan rencana
kerja tersebut untuk penilaian dan penyempurnaan lebih lanjut.
d. Lain-lain
atas
petunjuk
Menteri
Negara
Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup.
Kelompok kerja tersebut telah beberapa kali menyampaikan
sumbangan pikiran yang berharga bagi konsep peraturan perundangundangan untuk menunjang pelaksnaan Undnag-Undang Lingkungan
Hidup (UULH), antara lain Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Masa kerja kelompok
kerja Hukum PPLH ini berakhir tanggal 31 Desember 1982.
Selanjutnya pada tahun 1983 telah dikeluarkan TAP MPR Nomor
II/MPR/1983 tentang GBHN, dimana isinya tidak jauh berbeda dengan
TAP MPR Tahun 1978. Hanya saja terdapat perubahan tentang
penjabaran lebih lanjut yang tertuang dalam Keputusan Presiden RI
Nomor 21 Tahun 1984 tentang REPELITA IV, Bab 8, Pengelolaan
sumber Alam dan Lingkungan Hidup. Perbedaan Keppres tersebut
dengan Keppres Nomor 9 Tahun 1979 tentang REPELITA III adalah
mengenai kebijakan dan langkah-langkah pengelolaan lingkungan
hidup.
Dengan telah diundangkanya UULH Nomor 4 Tahun 1982 sejak
tanggal 11 Maret 1982 tersebut, merupakan landasan hukum untuk
21
membangun hukum lingkungan nasional kearah suatu sistem yang
mengandung keterpaduan.19
B. Kebijakan Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Kesadaran lingkungan Indonesia tidak terlepas dari adanya pengaruh
kesadaran hukum lingkungan yang bersifat global atau intrenasional.
Kesadaran lingkungan bersifat global atau internasional tersebut
merupakan wujud kepedulian masyarakat terhadap beberapa kejadian
yang timbul dibeberapanegara, diantaranya Jepang dan Amerika Srrikat
itu sendiri.20
Sejak tahun 1950-an masalah lingkungan mendapatkan perhatian
tidak saja dari para ilmuwan, melainkan juga masyarakat umu dan para
politisi. Pemicu perhatian itu ialah terjadinya pencemaran pencemaran
oleh limbah industri dan pertambangan serta pestisida rentetan kejadian
tersebut membuat para polotisi dan masyarakat umum seakan tersentak
melihat kerusakan lingkungan yang mulai parah.21
Konferernsi yang dilaksanakan pada tahun 1968 tersebut merupakan
awal dari adanya perhatian masyarakat internasional terhadap kerusakan
lingkungan secara gobal, yang kemudian diikuti oleh Konferensi lainya.
1. Internasional
a. Kegiatan Sebelum Konferensi Stockholm
Kegiatan ini dimulai dari kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial
PBB (ECOSOC) pada waktu diadakanya peninjauan terhadap
hasil-hasil gerakan Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-
19
Siti Sundari Rangkuti, Op Cit, Hlm 57.
Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Hlm 53.
21
Ibid.
20
22
1970) guna merumuskan strategi Dasarwarsa Pembangunan
Dunia ke-2 (1970-1980)22. Gagasan untuk memberikan perhatian
besar terhadap masalah lingkungan hidup ini, pertama diajukan
oleh wakil dari negara Swedia pada tanggal 28 Mei 1968, dengan
mengajukan usulan kemungkinan diadakanya suatu konferensi
ineternasional mengenai lingkungan hidup manusia.
Saran tersebut disetujui dalam Sidang Umum PBB pada
sidangnya tanggal 3 Desember 1968 dengan Resolusi No.
2398/XXIII. Dalam tanggapanya Sekertaris Jenderal PBB yang
waktu itu dijabat oleh U-Thant pada tanggal 26 Mei 1969
menerbitkan laporanya berjudul “Man and His Environment,
Problems of the Human Environment” yang disajikan pada Rapat
ke-47 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Dlam pengantar
laporanya, U-Thant mulai mengajak masyarakat negara-negara
guna memberikan sikap dan tanggapan baru terhadap lingkungan
hidup. Laporan Sekjen PBB tersebut diajukan dalam sidang
Majelis Umum PBB Nomor 2581 (XXIV) pada tanggal 15
Desember 1969. Dalam resolusi tersebut diputuskan untuk
membentuk Panitia Persiapan bersama-sama dengan Sekjen PBB
Untuk meyebarluaskan informasi ini guna menarik perhataian
masyarakat
dunia
akan
ari
penting
dan
mendesaknya
penanganan masalah lingkungan hidup. Panitia persiapan ini
diketahui oleh F. Strong wakil Kanada yang telah memberikan
sahamnya yang luar biasa terhadap seluruh persiapan konferensi.
22
Koesnadi Hardjasoemantri, Op Cit, Hlm 6.
23
1) The Club of Roma
Selain itu terdapat lembaga tak resmi yaitu The Club of Rome
yang bermula dari pertemuan 30 orang terkemuka dari 10 negara
yang berkumpul di Roma pada bulan April 1968, atas inisiatif Dr.
Aurelio Pecei seorang pengusaha terpandang di Itali, untuk
membahas topik yang menonjol, yaitu “the present and future
predicament of man” yang cukup berperan dalam bidang
lingkungan, Meadows dan Meadows23 mengemukakan hasil:
a) If
the
presents
growth
trends
in
world
population,
industrializations, pollution food production, and resource
depletion continue unchanged, the limits to growth on this
planet will be reached sometime within the next one hundred
years. The most probable result willbe a rather sudden and
uncontrollable decline in both population and industrial
capacity.
b) It is possible to alter these growth trends and to estabilish a
condition of ecological and economic stability that is
sustainable far into the future. The state of global equalibrium
could be designed so that the basic material needs of each
person on earth are satisfied and each person has an equal
opportunity to realize his individual human potential.
c) If the world’s people decide to strive for this second outcome
rather than the first, the sooner they begin working to attain it,
the greter will be their chances of success.
23
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan, Nasional, Airlangga Press,
Hlm 35.
24
Kemudian pada tahun 1974 telah dilaporkan pula laporan kedua
kepada The Club of Rome dengan judul “Mankind at the turning point”
yang disusun oleh Measoronic dan Pestel. Laporan tersebut membahas
masalah kesenjangan manusia yang semakin melebar, yaitu the gap
between man and nature dan The gapbetween “North and South” rich and
poor. Dan untuk menutup kesenjangan tersebut diajukan alternatif
pemecahanya, yaitu :
1. An essential prerequisite in understanding the nature of the gap
between regions.
2. Since the change is to be brought about by men there must exist a
framework conducive to developmentin the desired direction.
3. Global anticipatory and adjustment procedures and mechanismsmust
be developed to deal with a stream of crises, which might well come in
increasingly short succession, as the results of our study indicate.
Crises now must be prevented rather than reacted to.24
b. Konferensi PBB Tentang Lingkungan Hidup Manusia
1)
Konferensi Stockholm
Bertepatan
dengan
diumumkanya
“Strategi
Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa Pembangunan
Dunia ke-2” (The Second UN-Development Decade), yang
dimulai pada tanggal 1 Juni 1970, Sidang Umum PBB
menyerukan
untuk
meningkatkan
usaha
dan
tindakan
nasional serta internasional guna menanggulangai proses
24
Syahrul Machmud, Op Cit, Hlm 32.
25
kemelorotan
kualitas
hidup
agar
dapat
diselamtkan
keseimbangan dan keserasian ekologis demi kelangsungan
nhidup manusia.
Setelah melalui persiapan yang matang, akhirnya
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang
lazim
disingkat
dengan
UNCHE
1972
(United
Nation
Conference on Human Environment) diselenggarakan di
Stockholm Swedia pada tanggal 5-16 Juni 1972, diikuti oleh
113 negara, 21 organisasi PBB, 16 organisasi antar
pemerintah, 258 LSM (NGOs) dari berbagai negara.
Konferensi ini membahas keprihatinan terhadap masalahmasalah lingkungan yang dirasakan semakin problematis
diberbagai belahan dunia. Di satu pihak terdapat sejumlah
manusia diberbagai negara yang menderita kemiskinan dn
keterbelakangan
sehingga
mempengaruhi
lingkungan
hidupnya, sementara dipihak lain negara-negara berpacu
mengejar pembangunan dan kemajuan, yang memaksa
lingkungan
hidup
menjadi
rusak
dengan
berbagai
dimensinya.25
Pada akhir sidang yaitu pada tanggal 16 Juni 1972
Konferensi mengesahkanhasil-hasil berupa Deklarasi tentang
Lingkungan Hidup Manusia terdiri dari:
25
NHT Siahaan, Op Cit, Hlm 143.
26
a)
Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia, terdiri atas
Preambule dan 26 asas atau prinsip yang lazim disebut
dengan Stockholm declaration.
b)
Selain itu juga dihasilkan actin plan (Rencana Aksi
Lingkungan) lingkungan hidup manusia terdiri dari 109
rekomendasi termasuk didalamnya 18 rekomendasi
tentang perencanaan dan pengelolaan pemukiman
manusia.
c)
Action Plan internasional yang terdiri atas 3 (tiga) bagian
kerangka:
1. A global asessment programme, dekenal sebagai
earthwatch.
2. Environmental management activities.
3. Supporting measures, education anad training,
public information and organization and financing
arrangements.
4. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan
yang menunjang, pelaksanaan rencana aksi, terdiri
dari Dewan Pengurus, Sekertariat, dana lingkungan
hidup, bahkan koordinasi lingkungan hidup.
Konferensi ini telah berhasil melahirkan deklarasi
yang
mewujudkan
kesepakatan
masyarakat
internasional dalam menangani maslah lingkungan
hidup, dan mengembangkan hukum lingkungan hidup
baik
pada
tingkat
nasional,
regional
maupun
27
intrenasional.
Deklarasi
ini
mengakui
hak
asasi
manusia, untuk menikmati lingkungan yang baik dan
sehat, serta membebankan kewajiban untuk memelihara
lingkungan hidup dan sumber kekayaan alam hingga
dapat dinikmati oleh generasi-generasi yang akan
datang,26
Dari konferensi tersebut kemudian muncullah satu
konsep
pembanguanan
(ecodevelopment)
dan
berwawasan
konsep
lingkungan
pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) kedua konsep
pembangunan tersebut menekankan pada pentingnya
keberlangsungan kelestarian antra manusia, sumber
daya dan lingkungan dalam pembangunan.27
2)
Kegiatan UNEP di Nairobi
Bersamaan dengan konferensi sebelumnya, konferensi
iru merekomendasikan pembentukan suatu Dewan Pengurus
Program
Lingkungan
Hidup
(Governing
Council
for
Environmental Programme). Akhirnya dalam sidang umum
PBB
ke-27
menyusun
pembentukan
United
Nation
Environmental Programme (UNEP). Atas usulan akhirny
disetujui Environment Secretariat berada atau bermarkas
dislah satu negara berkembang yaitu Nairobi, Kenya.28
26
Syahrul Macmud, Op Cit, Hlm 35
Ibid.
28
Ibid, Hlm 36.
27
28
Puncak
kegiatan
UNEP
dilaksanakan
pada
sidang
Governing Council pada tanggala 20 Mei – 2 Juni 1982 di
Nairobi yang telah menerima Deklarasi Nairobi yang terdiri
dari 10 butir pokok pikiran sebagai tindak lanjut dari
pertemuan-pertemuan sedunia untuk memperingati 10 tahun
Konferensi Stockholm, tanggal 10- 18 Mei 1082 di Nairobi.
Dalam memasuki The Second Environmental Decade (19821992, Deklarasi Nairobi mengemukakan tentang perlunya
intensifikasi upaya melindungi an memajukan lingkungan
hidup pada tahap global, regional dan nasional.
Dengan demikian cukup besar peranan UNEAP dalam
rangka mendorong dan memajukan upaya untuk mencegah
dan menanggulangi pencemaran lingkungan hidup di dunia,
termasuk pula melalui sarana hukum.
Selanjutnya
pada
tanggal
18-22
Maret
1985
diselenggarakan suatau pertemuan khusus di Wina yang
menghasilkan sebuah konvensi tentang oerlindungan ozon
(Vienna Convention for the Protection of Ozone Layer, 1985)
kemudian pertemuan ini dilanjutkan dengan pertemuan
Montreal
pada
tanggal
14-16
September
1987
yang
menghasilkan ketentuan tambahan untuk konvensi Wina
1985, yaitu Montreal Protocol on substances that Deplate the
Ozone Layer, 1987.
29
3)
Komisi WCED (The World Commission om Environment and
Development)
Menindaklanjuti hasil-hasil yang telah diputuskan dalam
Konvensi Stockholm 1972, pada tahun 1983 oleh PBB
dibentuklah suatu komisi yang diberi nama The World
Comission on Environment and Development (WCED) yang
dikenal dengan komisi Burtland, dalam rangka memenuhi
keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161.
WCED
suatu
komisi
yang
independen
dengan
tugas
melakukan investigai dan memberikan berbagai rekomendasi
terhadap masalah-masalah lingkungan global. Pada tahun
1987 WCED yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Bruntland
(Norwegia) dengan anggota mencakup pemuka-pemuka dari
Zimbabwe,
Jerman
Barat,
Hongaria,
Jepang,
Guyana,
Amerika serikat, RRC, India, Kanada, Kolumbia, Saudi Arabia,
Italia, Mexico, Brazilia, Aljazair, Nigeria, Yugoslavia, dan
Indonesia (Prof. Emil Salim). Sekertaris jenderal WCED
berkedudukan di Geneva. WCED mengeluarkan suatu
laporan yang diberi nama Our Common Future yang
merupakan hasil investasi terhadap aktifitas dan program
lingkungan trepadu berkenaan dengan masalah-masalah
pembangunan ekonomi pada tingkat internasional, regional
30
dan lokal. Dan memeberikan banyak rekomendasi khusus
untuk perubahan institusional dan perubahan hukum.29
4)
Konferensi Rio
Berkaitan dengan hasil laporan yang termuat didalam Our
Common
Future
tersebut,
WCED
juga
mengajukan
usulanuntuk melaksanakan suatu konferensi tingkat dunia
guna membicarakan masalah-masalah lingkungan global
dalam kaitanya dengan upaya pembangunan berkelanjutan
(sustainable Development).rekomendsi dan usulan ini diterima
oleh sidang Majelis Umum PBB denagn resolusi nomor
44/228.
Implementasi
diselenggarakanya
United
dari
resolusi
National
ini
adalah
Conference
on
Environment and Development (UNICED) The Framework
Convention on Climate Change30 di Rio de Janeiro, Brasil,
yang berlangsung pada tanggal 3-14 Juni 1992 yang
merupakan peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm 1972,
konferensi ini menghasilkan Rio Declaration. Konferensi ini
diadakan dalam rangka pelaksanaan resolusi Sidang Umum
PBB No. 45/211 tanggal 21 Desember 1990 dan keputusan
No. 46/468 tanggal 13 April 1992.
Konferensi ini merupakan Konferensi terbesar dalam
sejarah pertemuan tingkat dunia (Konferensi internasional)
29
Mas Achmad Santosa, Ecologically Sustainable Development in Indonesia Law, Indonesia
Joyrnal of Environmental Law, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Edition II, August
1997, Hlm 7. Lihat pula Koesnadi Hardjasoemantri, Op Cit, Hlm 6-15.
30
Telah diraftifikasi melalui UU No 6 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Konvensi Perubahan iklim.
31
terbesar yang pernah terjadi, dan menjadi tonggak bersejarah
bagi pengembangan kebijakan dan hukum lingkungan di
tingkat internasional, nasional, maupun lokal. Konferensi ini
bersejarah dan terbesar (unprecedent), karena jauh hari
sebelum
Konferensi
berlangsung
di
beberapa
negara
diselenggarakan dengar pendapat dengan warganya untuk
menyuarakan kepedulianya di Rio melalui wakil-wakilnya.
Konferensi
ini
dihadiri
oleh
177
Kepala Negara dan
pemerintahan di dunia, 15.000 ribu orang termasuk wakilwakil dari pemerintahan (dipimpin oleh Kepala Negara/
pemerintahan), diliputi oleh tidak kurang dari 9.500 wartawan
dan diikuti oleh 1200 LSM (NGOs)31. Dokumentasi penting
yang dihasilkan UNCED, antara lain :
1. Rio Declaration on Environmental and Development yang
menggariskan pinsip fundamental tentang lingkungan dan
pembangunan.
2. Agenda 21 (Agenda tentang Rencana Aksi untuk
melaksanakan prinsip-prinsip Rio).
3. The Convention on Biological Diversity.32
4. The Framework Convention on Climate Change.33
31
Menurut Mas Achmad Santosa , belum pernah terjadi sebelumnya sebuah Konferensi dihadiri
secaraq rinci oleh 116 (seratu enam belas) kepala pemerintahan, 172 (seratus tujuh puluh dua)
utusan negara-negara, 8.000 (delapan ribu) delegasi dan 3.000 (tiga ribu) perwakilan organisasi
non pemerintah yang terakreditasi, serta disaksikan dan diliput oleh 9.000 (sembilan ribu)
wartaawan media cetak maupun elektronika. Dokumen Agenda 21 internasional terdiri dari 40
(empat puluh) bab yang terbagi kedalam 4 (empat) bidang: dimensi sosial ekonomi, konservasi
dan pengelolaan sumber daya untuk pembangunan, Penguatan peran kelompok-kelompok
utama dalam masyarakat (major group) dari perangkat pelaksana. Op Cit. Hlm 202.
32
Telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1994 Tenetang ratifikasi Konvensi Keanekaragaman
Hayati.
32
5. The Statement of Principle for a Global Consensus on the
Management,Conservation and Sustainabe Dvelopment of
all Types for Forest (the Statement of Forest Principles).34
Selanjutnya dari 5 (lima) dokumen tersebut, maka dalam
kaitanya
dengan
pembangunan
berkelanjutan
dan
berwawasan lingkungan UNCED telah mengahsilkan 5
(prinsip) utama atau pokok pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan, yaitu :
1. Keaadilan antar generasi (intergenerational equity).
2. Keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity).
3. Prinsip pencegahan diri ( precautionary principle).
4. Perlindungan keanekaragaman hayati (conservation of
biological diversity).
5. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif
(Internalization
of
environment
cost
and
incentif
mechanism).
Rio bukanlah semata-mata sebuah Konferensi negaranegara.,
akan
bersamaan
tetapi
dengan
juga
Konferensi
Konferensi
resmi
rakyat.
Karena
diadakan
pula
pertemuan yang disebut the ’92 Global Forum di Flamengo
Park
berdekatan
dengana
tempat
pertemuan
resmi,
pertemuan ini dihadiri kurang lebih 10.000 oarang yang
33
34
Telah diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim.
Mas Achmad Santosa, Op Cit, Hlm 160.
33
mewakili 9.000 organisasi dam telah menarik sebanyak
20.000 pengunjung.
KTT Rio ini dimaksudkan untuk menjawab masalahmasalah lingkungan yang semakin menjadi serius, wlaupun
telah dilangsungkan Konferensi Stocholm 1972. KTT Rio
dalam
preambulnya
menegaskan
kembali
Deklarasi
Stockholm dengan program kemitraan global yang baru dan
adil (a new and equitabke global partnership) dalam pergaulan
masyarakat dan bangsa-bangsa dalam upaya meliindungi
integritas sistem lingkungan dan pembangunan global.
Dengan penegasan demikian berarti nilai-nilai Deklarasi
Stockholm masih tetap relevan, namun perlu didukung oleh
komitmen baru dengan mewujudkan kemitraan global baru
dan adil sebagaimana dihasilkan KTT Rio.35
Pada KTT Rio ini masalah yang krusial dibicarakan
adalah prinsip oembangunan berkelanjutan (sustainable
development).
Yang
bermakna
pembangunan
yang
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi
kemampuan generasi sekarang tanpa menyrangi kemampuan
generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhanya
atau
35
if
NHT. Siahaan, Op Cit, Hlm 146.
it
meets
the
needs
of
the
present
without
34
compromissing the ability of future generation to meet yheir
own needs.36
Dokumen Agenda 21 internasional ini dipersiapkan sejak
tahun 1990 oleh Komite Persiapan (Preparatory Comittee)
KTT Bumi (Earth Summith) yang dibentuk oleh PBB, melalui
proses negosiasi yang sangat alot. Agenda 21 merupakan
kebijakan dan strategi bagi upaya mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang telah disepakati dalam Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janerio. Dalam Agenda 21 itu
dicakup sejumlah aspek, diantaranya adalah dimensi sosial
dan ekonomi dengan disemangati oleh kemitraan global
(global parnership). Dalam dimensi itu dibahas kerja sama
internasionaluntuk mempercepat pembangunan berkelanjutan
dinegara-negara berkembang serta kebijakan domestiknya,
memerangi kemiskinan, pengembangan pemukiman yang
berkelanjutan serta integrasi lingkungan dan pembangunan
dalam pengambilan keputusan.
Akhirnya untuk menjamin pelaksanaan dokumen KTT
Bumi, khususnya Deklaraasi Rio dan Agenda 21, PBB
menetapkan 3 (tiga) reolusi penting sebagai upaya menjamin
pelaksanaan Deklarasi rio maupun agenda 21 :
1. Resolution 47/190 Endorsing Agenda 21.
36
Ibid. Hlm 147.
35
Resolusi ini menyatakan dukungan terhadap seluruh
dokumen yang dihasilkan di KTT Bumi, dan mendesak
kepada negara-negara dan kelembagaan dibawah sistem
PBB serta lembaga-lembaga non pemerintah untuk
melakukan
seefektif
langkah-langkah
mungkin
dokumen
nyata
KTT
menindaklanjuti
Bumi,
khusunya
Deklarasi Rio dan Agenda 21.
2. Resolution 27/191 Follow-up Agenda 21.
Resolusi ini meminta Ecosoc (Economic and Social
Council) membentuk high level Comission on sustainable
development (CSD) yang berfungsi sebagai focal point
untuk menindaklanjuti hasil KTT Bumi melalui upaya
peningkatan krjasama Internasional, dan aspek lainya
untuk
merealisasikan
pembangunan
berkelanjutan
disemua negara di dunia. Sehubungan dengan resolusi
ini, UN Ecosoc pada tanggal 19 Februari 1993 membentuk
Comission
on
Sustainable
Development
sekaligus
menetapkan kerangka program (Keputusan UN Ecosoc
No. E.CN.17/1993/2, tertanggal 19 Februari 1993).
3. Resolution 47/194 UNDP’s Capacity 21.
Resolusi ini meminta Governing Council UNDP dan CSD
melaksanakan
melaksanakan
program-program
rekomendasi
Agenda
nyata
untuk
21
tentang
36
pengembangan kapasitas (capacity buiding) terutama
dinegara-negara sedang berkembang.37
Prinsip-prinsip permbangunan berkelanjutan atau kemudian
dikenal dengan prinsip-prinsip Rio antara lain disebutkan:
keaadilan antar generasi, keadilan dalam satu (sesama) generasi,
partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputussan dan
akses rakyat terhadap informasi, internalisasi biaya lingkungan
dan pengembangan instrumen ekonomi, kerjasama internasional
dalam
pengembangan kapasitas,
serta dalam
pencegahan
relokasi industri kotor, prinsip pencegahan dini, peran penting
perempuan
dan
pemuda
dalam
pengelolaan
lingkungan,
pengakuan hak massyarakat asli, pengembangan pengetahuan
dan
praktek
masyarakat
tradisional
dalam
pengelolaan
lengkungan, keterkaitan erat antar perdamaian, pemabnguann
dan perlindungan lingkungan.38
c. Konferensi KTT Bumi Rio de Janeiro
Deklarasi Rio yang berisikan 27 (dua puluh tujuh) prinsip,
merupakan pengembangan dari prinsip-prinsip Stockholm yang
mengadobsi berbagai prinsip dalam melaksanakan pembangunan
berkelanjutan.
Precautionary,
intergenerational
equity
,
intragenerational equity, peran serta masyarakat lokal, permpuan,
pemuda serta lembaga-lembaga pemerintah dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan, merupakan prinsip-prinsip penting
37
38
Mas Achmad Santosa, Op Cit, Hlm 202.
Ibid, Hlm 204.
37
dalam deklarsai tersebut. Sedangkan agenda 21 (Earth’s Action
Plan) memeuat kebijakan, rencana, program dan pedoman aksi
bagi pemerintah di tingkat
nasional dalam
melaksanakan
Deklarasi Rio39. Konferensi ini telah berupaya mencapai tingakt
pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang konsep dan
prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development),
serta bagaimana menterjemahkanya kedalam tindakan nyata
sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Rio dan Agenda 21.
d. Konferensi Johannesburg
KTT Johannesburg ini menghasilkan dokumen Rencana
Pelkasanaan (Plan of implementation) sebanyak 153 paragraf,
yang secara komprehensif menyangkut semua segi kehidupan.
Ada 3 (tiga) hal pokok yang diagendakan WSSD, yaitu :
1) Pemberantasan kemiskinan.
2)
Perubahan pola konsumsi dan produksi.
3) Pengelolaan sumber daya alam.40
Ketiga hal tersebut menjadi dasar dari sepuluh action plan
yang harus dilaksanakan oleh setiap negara.
Upaya
pemberantasan
meningkatkan
pendapatan,
kemiskinan
dilakukan
pemberantasan
dengan
kelaparan,
penyediaan air bersih, pembukaan akses terhadap sumber daya
produktif,
39
40
Ibid, Hlm 160.
NHT. Siahaan, Ibid, Hlm 150..
kredit
dan
kesempatan
kerja
yang
melibatkan
38
perempuan dan masyarakat tradisional, perluasan akses energi,
serta perbaikan kesehatan.
Hasil-hasil
yang
dicapai
WSSD,
antara
lain
dapat
dasar
untuk
dikemukakan sebagai berikut :
1) Mengadopsi
target
baru
dalam
sanitasi
mengurangi jumlah penduduk yang tidak memiliki akses pada
sanitasi sampai separuhnya pada tahun 2015.
2) Pengakuan
pengelolaan
sumber
daya
alam
berbasis
masyarakat. Disini disepakati komitmen, yang didalamnya juga
tercakup
hak-hak
masyarakat
adat
paling
sedikit
12
penjabaran, termasuk posisi masyarakat sebagai stakeholder
dan akses perempuan pada hak atas tanah dan sumber daya
lainya.
3) Masuknya prinsip-prinsip Rio, dalam corporate accountability
dan
respontybility
terlepas
dari
tuntutan
NGO
untuk
merundingkan konvensi yang mengikat (binding convention)
mengenai isu corporate accountability dan respontybility.
4) Komitmen pemerintah untuk menjamin akses ke informasi
lingkungan, hukum dan cara kerjanya dalam pengelolaan
lingkungan, termasuk partisipasi publik dalam pengambilan
keputusan.
5) Pengakuan akan pentingnya etika dalam pembangunan
berkelanjutan. Dalam hal ini menguatkan keyakinan bahwa isu
pembangunan dan lingkungan tidak bisa diimplementasikan
secara
seimbang
kecuali
pemerintah,
masyarakat
dan
39
komunitas memahami serta meyakini peran kritis dan norma
etika dalam proses pengambilan keputusan.41
Setelah itu berkembang berbagai perjanjian internasional
tentang kerjasama lingkungan hidup, seperti Protokol Kyoto,
Protokol Cartagena, dan lain-lainya.
2. Nasional
a. Kementrian Lingkungan Hidup
Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1978tanggal 2 September
1978 telah menetapkan Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan
Tata
Kerja
dari
tiga
Menteri
Negara,
yaitu
Menteri
NegaraPenertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan
Teknologi. Pasal 1 ayat 3 menyebutkan tugas pokok Menteri
Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(MENPPLH), yaitu mengendalikan pengawasan pelaksanaan
pembangunan dan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
pengembangan lingkungan hidup.
Dalam Kabinet Pembangunan IV, MENPPLH telah diubah
menjadi
Menteri
Kependudukan
dan
Lingkungan
Hidup
(MENKLH). Dalam keputusan presiden No. 25 Tahun 1983 telah
ditetapkan Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja
Menteri Negara serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara.
Pasal 1 ayat (4) Keputusan Presiden menyebutkan bahwa Menteri
Negara
41
Ibid, Hlm 150-151.
adalah
Pembantu
Presiden
dengan
tugas
pokok
40
menangani hal-hal yang berhubungan dengan kependudukan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kabinet pembangunan VI,
perangkat kelembagaan setingkat menteri diubah dari Men KLH
menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (seterusnya disingkat
dengan sebutan Men LH). Penamaan Men LH ini tetap
dipertahankan dalam Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid.
Selain Kementrian Lingkunagn Hidup, di tingkat nasional juga
pernah ada lembaga lainya yaitu: Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (BAPEDAL) namun pada masa Presiden Megawati,
BAPEDAL diadakan sedangkan fungsi BAPEDAL diintegrasikan
ke dalam Kementrian Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 2 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
Keputusan Presiden Nomor 101 tentang kedudukan Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri
Negara. Meskipun saat ini BAPEDAL telah tiada, sekedar untuk
pemahaman dinamika perkembangan kelembagaan pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia, keberadaan BAPEDAL perlu
diuraikan. BAPEDAL di bentuk berdasarkan Keputusan Presiden
No.
23 Tahun
1990.
Pertimbangan yang
melatarbelakngi
pembentukan BAPEDAL dapat dilihat dari konsiderans Keputusan
Presiden itu, yang berbunyi sebagai berikut :
1) Bahwa
pembangunan
yang
semakin
meningkat
akan
menimbulkan dampak yang semakin besar dan memerlukan
pengendalian sehingga pembangunan dapat dilaksanakan
secara berkelanjutan;
41
2) Bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu
membentuk badan yang melaksanakan secara operasional
pengendalian dampak lingkungan hidup.
Dari bunyi konsiderans itu dapat diketahui perbedaan diantara
MENKLH dan BAPEDAL dalam hal tugas dan fungsinya. Jika
MENKLH
menjalankan
tugas
dalam
mengkoordinasikan
pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dan merumuskan
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hdiup pada umunya, maka
BAPEDAL menjalankan tugas operasionalnya pengendalian
dampak lingkungan hidup. BAPEDAL berkedudukan dibawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan pimpin oleh
seorang kepala. Tugas pokok BAPEDAL adalah membantu
Presiden dalam melaksanakan pengendalian dampak lingkungan
yang meliputi upaya pencegahan kerusakan, penanggulangan
dampak serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Keppres
No. 23 Tahun 1990).42
b. Kelembagaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota
Ketentuan tentang kewenangan dan kelmbagaan di daerah
dapat diketahui dari rumusan pasal 12 ayat (1) UULH 1997.
Ketentuan pasal 12 ayat (1) a mengandung asas dekosentrasi,
sedangkan pasal 12 ayat (1) b mengandung asas pemabntuan.
Pasal 13 ayat (1) UULH 1997 berbunyi sebagai berikut:” dalam
rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
42
Takdir Rahmadi, Op Cit, Hlm 77-79.
42
dapat meyerahkan sebagian urusan kepada pemerintah daerah
menjadi urusan rumah tangganya.”ketentuan ini mengandung
asas desentralisasi urusan pengelolaan lingkungan hidup.
Perkembangan penting tentang kelembagaan di darah terjadi
dengan keluarnya Keppres No. 77 Tahun 1994, Pemerintah
Provinsi, Kabupaten dan Kota dapat membentuk BAPEDAL
Daerah
(disingkat
BAPEDALDA).
BAPEDALDA
merupakan
perangkat kelembagaan pemerintah daerah dan tidak berada di
bawah BAPEDAL. Sebelum pembentukan BAPEDALDA Provinsi,
maka kelembagaan yanga ada hanyalah Biro Bina Lingkungan
Hidup.43
C. Pandangan Umum Hukum Pidana Lingkungan
1. Penegakan Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum
yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen disebut sebagai bidang
hukum
fungsional
(finctioneel
rechtsgebeid),
yaitu
didalamnya
terdapat unsur-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum
perdata.44 Oleh sebab itu, penegakan hukum lingkungan dapat
dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan instrumen-instrumen
dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana
dan hukum perdata dengan tujuan memaksa subjek hukum yang
menjadi
43
sasaran
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
Ibid, Hlm 82.
Th. G. Drupsteen (1983), Ontwikkelingen in het Milieurecht gedurendu de jaren zaventig”
dalam H. Th. F van Maarseven et al., Recente Rechtssontwikkelingen (1970-1980), Tjeen Wilink,
Zwolle, Hlm 99.
44
43
lingkungan hidup.
Penggunaan instrumen dan sanksi hukum
administrasi dilakukan oleh instansi pemerintah dan juga oleh warga
atau badan hukum perdata. Gugatan Tata Usaha Negara merupakan
sarana hukum administrasi negara yang dapat digunakan oleh warga
atau badan huku perdata terhadap instansi atau pejabat pemerintah
yang menerbitkan keputusan tata usaha negara yang secara formal
atau materiil bertentangan eraturan perundang-undangan lingkungan.
Penggunaan sanksi-sanksi hukum pidana hanya dapat dilakukan oleh
instansi-instansi pemerintah. Penggunaan instrumen hukum perdata,
yaitu gugatan perdata, dapat dilakukan oleh warga, badan hukum
perdata dan juga instansi pemerintah. Namun, jika dibandingkan
diantara ketiga bidang hukum, sebagian norma-norma hukum
lingkungan termasuk kedalam wilayah hukum administrasi negara.45
Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam
siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kegiatan (policy
planning) tentang lingkungan, yang urutanya sebagai berikut :
1) Perundang-undangan ( legislation, wet en regelgeving)
2) Penentuan standar (standard setting, norm setting)
3) Pemberian izin (licensing, verguning verlening)
4) Penerapan (implementation, uitvoering)
5) Penegakan hukum (law enforcement, rechtshandhaving)46
Dari mata rantai siklus pengaturan (regulatory) perencanaan
kebijakan hukum lingkungan dapat dilihat bahwa dimanapun dan
45
46
Takdir Rahmadi, Op Cit, Hlm 207-208.
Jur Andi Hamzah, Op Cit, Hlm 52.
44
terlebih-lebih di Indonesia, yang plaing lemah adalah penegakan
hukum.
2. Pelanggaran yang Tidak Bisa di Selesaikan Hukum Administrasi dan
Perdata
Hukum pidana (modern) dapat mencapai sasaranya (dalam
hukum lingkungan terhentinya pencemaran atau terpenuhi syaratsyarat
izin
yang
ditentukan
oleh
pihak
administrasi)
tanpa
dilanjutkanya penuntutan dan dan pejatuhan pidana. Memang dapat
dikatakan,
bahwa
pos
pertama
dalam
mempertahankan
dan
memelihara hukum lingkungan berada ditangan para pejabat
administrasi, karena merekalah yang mengeluarkan izin dan dengan
senidrinya mereka yang terlebih dahulu mengetahui jika tidak ada izin
atau syarat-syarat dalam izin itu dilanggar.
Namun, tidaklah berarti
sanksi administratif didahulukan
penerapanya terhadap pelanggaran hukum lingkungan. Bagaimana
jika apejabat administrasi enggan bertindak atau pura-pura tidak tahu
adanya pelanggaran, bahkan bagaimana jika ia terlibat atau
mempunyai interest dalam perusahaan yang melanggar itu. Dalam hal
semacam itu, instrumen hukum pidanalah yang sebaiknya diterapkan
sebagai premum remedium.
Pilihan jatuh pada hukum pidana jika suatu kerusakan tidak dapat
diperbaiki atau dipulihkan, misalnya penebangan pohon, pembunuhan
terhadap burung atau binatang yang dilindungi atau termasuk
45
irreparability.47 Perbaikan atau pemulohan kerusakan tersebut tidak
dapat dilakukan secara fisik.
Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali perbuatan yang tidak
dapat diperbaiki atau dipulihkan, misalnya merokok padahal merokok
tidak merupakan pelanggaran yang berat, atau tidak melaporkan
kejahatan yang ia ketahui atau sebagainya.
Penerapan instrumen administratif terutama dimaksudkan untuk
pemulihan keadaan atau perbaikan kerusakan atau dengan kata lain
ditujukan kepada perbuatanya. Adapun penerapan instrumen hukum
pidana terutama ditujukan kepada orang atau pembuatnya.oranya
itulah yang perlu diperbauki. Penerapan instrumen hukum pidana
diharapkan tidak menjerakan orangyang melanggar itu saja, tetapi
orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama jika tidak ingin
dikenakan sanksi hukum pidana (generale preventie).48 Disamoing itu
penerapan hukum pidana juga akan memeuaskan korban secara
individual dan masyaakat sebagai korban kolektif. Lebih-lebih di
Indonesia yang pada era reformasi ini masyarakat luas ingin melihat
semua perkara pidana diajukan ke pengadilan.
Dalam hal ranah perdata, menggugat berdasarkan pasal 1365
BW (onrechmatige daad) juga diisyaratkan adanya kerugian yang
timbul dari adanya suatu perbuatan.
Dengan sendirinya hal ini merupakan pertimbangan untuk
menghindari pemakaian instrumen perdata di Indonesia. Sangat baik
jika di Indonesia diperkenalkan juga proses perdata menempel pada
47
48
Polytechnic Ijselland, Environmental Law Enforcement, Modul 2.
Ibid.
46
proses pidana sehingga memudahkan pemakaian instrumen perdata
dalam perkara lingkungan.49
Di Indonesia belum diterapkan yang disebut acara singkat (kort
geding), berbeda dengan Belanda yang mengenal dan menerapkan
acara singkat dalam hukum perdata, sehingga
di Indonesia
menerapkan acara biasa juga terhadap gugatan dalam sengketa
lingkungan. Oleh karena itu, proses perdata dalam hukum lingkungan
sama halnya dalam perkara perdata umum yang prosesnya berlarutlarut. Pada umumnya para pihak yang kalah walaupun jelas memang
seharusnya kalah, dengan mudah mempergunakan upaya banding
dan
selanjutnya
jika
bandingnya
juga
kalah
akan
mudah
mempergunakan upaya kasasi sehingga suatu proses walaupun
sifatnya kecil dalam arti kerugian, tetap berlarut-larut. Demikianlah di
Indonesia walaupun jelas hanya merupakan kasus perdata, misalnya
utang piutang, pihak yang dirugikan berusaha menyulapnya menjadi
perkara pidana karena jaksa mempunyai wewenang daya paksa yang
lebih luas, misalnya penahanan, penggeledahan, eksekusi yang lebih
cepat dan seterusnya.
Jelaslah sesuai dengan pertimbangan ini, instrumen hukum
pidana lebih efektif dibandingkan dengan instrumen hukum perdata
walaupun jaksa di Indonesia berwenang juga untuk mewakili, baik
negara maupun masyarakat untuk menggugat perdata termasuk
pelanggaran
hukum
lingkungan.
Hal
lain
yang
juga
perlu
dipertimbangkan dalam memakai kriteria instrumental adalah biaya
49
Jur Andi Hamzah, Op Cit, Hlm 67.
47
perkara yang cukup besar dalam memakai instrumen perdata., begitu
pula keahlian dalam menyusun gugatan dan tangkisan sangat
dibutuhkan, berbeda dengan tuntutan pidana karena memamng
sudah menjadi makanan sehari-hari para jaksa dengan segala
peralatnya yang ditanggung oleh negara.
Kriteria oportunistis didasarkan pada instrumen yang lebih
menguntungkan. Dalam hal suatu perbuatan pencemaran atau
perusakan yang dirasakan oleh masyarakat luas atau individu sebagai
perbuatan yang merugikan, tetapi jaksa atau tidak enggan bertindak,
baik
dalam
mempergunakan
wewenangnya
untuk
menuntut
berdasarkan pidana maupun menggugat atas nama masyarakat (actio
popularis), tentulah masyarakat baik secara kelompok (groepsactie)
atau LSM atas nama masyarakat mauapun individu yang merasa
dirugikan
oleh
perbuatan
pelanggaran
lingkungan
itu
dapat
mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Disini pilihan instrumen
hukum perdata merupakan jalan terbaik.50
3. Konsep Pidana Lingkungan
Pengaturan hukum pidana bidang lingkungan secara idiil
dimaksudkan untuk dapat melakukan
engineering),
masih
memerlukan
rekayasa sosial (social
penyempurnaan
ditinjau
dari
keseluruhan permasalahan pokok hukum pidana, yaitu perumusan
tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal
50
Ibid.
48
responstibility) dan sanksi (sanction) baik yang merupakan pidana
(punishment) maupun tindakan tata tertib (treatment).51
Dalam proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang
dapat
dipidana
(kriminalisasi)
Sudarto
menyarankan
agar
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Penggunaan hukum pidana harus memeperhatikan yujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur
yang
merata
materil
spiritual
berdasarkan
Pancasila.dengan hukum pidana ia berusaha untuk mencegah
dilakukanya perbuatan yang tidak dikehendaki olehnya. Maka
hukum pidana bertugas atau bertujuan untuk menanggulangi
kejahatan
dan
juga
pengugeran
terhadap
tindakan
penanggulangan itu sendiri.
2. Yang diusahakan dicegah oleh hukum pidana adalah perbuatanperbuatan
yang
tidak
dikehendaki,
yaitu
perbuatan
yang
mendatangkan kerugian (materil dan spiritual) atas warga
masyarakat. Kerugian iyu berarti adanya korbanya. Perlu diingat
korban dari perbuatan itu tidak hanya orang lain selain si pembuat,
akan tetapi dapat pula si pembauat sendiri. Namun ada pula
korban itu tidak tampak,kerugian tidak segera dirasakan, misalnya
pencemaran lingkungan hidup.
51
Alvi Syahrin menggunakan istilah hukum lingkungan kepidanaan, Hartiwiningsih menggunakan
istilah hukum pidana lingkungan, sedangkan Promovendus menggubnakan istilah hukum pidana
bidang lingkungan, karena belum ada nomenklatur hukum pidana lingkungan, yang ada hukum
pidana tentang perbankan, hukum pidana tentang kehutanan, dsbnya, dengan kata lain hukum
lingkungan ynag terdiri dari hukum administrasi, hukum oerdata dan hukum pidana, dimana
hukum pidana lingkungan merupakan bagian dari hukum pidana secara luas.
49
3. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan
sarana hukum pidana, dengan sanksi yang negatif yang berupa
pidana, perlu disertai perhitungan akan biaya yanng harus
dikeluarkan dan hasil yang diharapkan, yang akan dicapai (cost
and benefit principle).
4. Dalam perbuatan perturan hukum pidana perlu juga diperhatikan
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (over belasting), hal mana
akan mengakibatkan efek dari peraturan menjadi kurang.
Berkaitan dengan kriteria Sudarto tersebut diatas, Barry Stuart
berpendapat bahwa tujuan pemberian hukum pidana dalam kasus
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah sebagai
berikut:
1. Melindungi masyarakat
2. Pembalasan dan penghukuman
3. Pengubahan dan rehabilitasi
4. Penangkalan (deterrence)
Pemberian
pidana
penjara
atau
denda
kepada
pelaku
pencemaran, tidaklah dapat sepenuhnya memuaskan rasa keadilan
masyarakat. Karena alam yang telah tercemar dan/atau rusak tidak
dapat diselesaikan dengan memenjarakan pelaku. Upaya yang
terbaik dilakukan secara optimal adalah upaya pencegahan atau
penangkapan, hal ini dilakukan agar pelaku usaha tidak terlanjur
berlarut-larut membuang limbahnya ke alam bebas, untuk itu hukum
50
administrasi harus diperkuat pernanya sebagai institusi pencegah
atau penangkal. Sebagai lembaga pengawas aparat penegak hukum
administrasi dapat secara terus-menerus melakukan pengawasan
agar
pelaku
usaha
tidak
melakukan
pelanggaran
ketentuan
perundang-undangan. Secepat diketahui ada pelanggaran maka
secepat itu pula dilakuakn penindakan sekaligus upaya pemulihan
lingkungan. Dengan optimalnya penegakan hukum administrasi ini
maka pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dapat dikendalikan
dan keruskan tidak semakin parah.52
Penggunaan hukum pidana harus dibatasi untuk hal-hal yang
sangat penting sekali, khusus untuk penindakan terhadap delik formil
(dimana alam belum mengalami kerusakan, masyarakat tidak resah,
dan perbuatan pelaku relatif tidak berat)dalam UUPLH harus
dikedepankan fungsi hukum administrasi.53
D. Penegakan Hukum Pidana Lingkungan
Penegakan
hukum
dapat
dikaitkan
deengan
pengertian
“law
enforcement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti
hukum materiil distilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa
Inggris juga dibedakan antara konsepsi “cort of law” dalam arti pengadilan
hukum dan “cuort of justice” atau pengadilan keadilan.54
Demikian pula menurut Barda Nawawi sekurang-kurangnya ada 4
(empat) hal yang harus diperhatikan oleh penegak hukum dalam
melakukan penegakan hukumnya, yaitu :
52
Syahrul Machmud,Op Cit, Hlm 284.
Ibid, Hlm 285.
54
Ibid, Hlm 212.
53
51
1. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial
yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Maka tujuan
penegakan hukum adalah untuk penanggulangan kejahatan.
2. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahaya
seseorang. Maka penegakan hukum ditujuakn untuk memperbaiaki si
pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi
tingkah lakunya agar kebali patuh pada hukum dan menjadi warga
masyarakat yang baik dan berguna.
3. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan
55
sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari warga
masyarakat pada umunya. Penegakan hukum disini dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenangwenang di luar hukum.
4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau
keselarasan berbagai kepentingan dan nilai ynag terganggu sebagai
akibat dari adanya kejahatan. Penegakan hukum dimaksudkan
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.56
Dari penegakan pidana aspek pertama tersebut, diharapkan
sekaligus dapat memperbaiki pelaku kejahatan atau berusaha mengubah
dan mempengaruhi tingkah lakuny agar kembali patuh pada hukum dan
menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. Dan sekaligus upaya
56
Ibid.
52
menyeleseikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
Dengan demikian yang dimaksudkan penegakan hukum pidana
bidang
lingkungan
yang
represif
(hukum
pidana)
adalah
upaya
menanggulangi kejahatan perusakan dan/atau pencemaran lingkungan
hidup dalam rangka memberikan perlindungan terhadap perbuatan anti
sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat (aspek pertama
dari penegakan hukum Barda Nawawi) khususnya pelanggaran ketentuan
delik formil UUPPLH dalam rangka menerapkan sanksi bagi pelaku
perusak dan/atau pencemar lingkungan hidup. Keterkaitan dengan asas
ultimum remedium di atas, maka sudah seharusnya fungsionalisasi
hukum pidana dilakukan setelah upaya non penal didayagunakan secara
optimal. Selanjutnya penegakan hukum ini dilakukan oleh aparat penegak
hukum sebagaimana yang ditentukan dalam perundang-undangan baik
dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang dan UUPPLH.57
Sementara makna penegakan hukum atau law enforcement atau
rechthandhaving
khususnya
terhadap
penegakan
hukum
pidana
sebagaimana yang dirumuskan dalam Seminar Hukum Nasional 1980
dinyatakan :
“penegakan hukum pidana diarahkan kepada perlindungan masyarakat
dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam
57
Ibid, Hlm 213.
53
masyarakat
dengan
memperhatikan
kepentingan-kepentingan
masyarakat/negara, korban dan pelaku”.
Handhaving menurut Notitie Handhaving Milieurecht, 1981 adalah
pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan
instrumen
administrasi,
kepidanaan
atau
keperdataan
dicapailah
penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan
individual. Dengan demikian istilah handhaving
ini meliputi baik yang
represif maupun preventif. Penyidikan dari penerapan sanksi administratif
dan
pidana
merupakan
bagian
penutup
penegakan
hukum
(handhaving).58
penegakan hukum lingkungan pada dasarnya dimulai dengan upaya
pembinaan ketaatan terhadap ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, kegiatan tersebut dapat berupa kegiatan penyuluhan, pembinaan
teknis,
pemberian
penghargaan
dan
berbagai
bentuk
insentif,
pengawasan, pemantauan, penindakan sampai kepada penjatuhan
sanksi-sanksi hukum baik administrasi dan/atau pidana dan/atau perdata.
Salah satu upaya pembinaan teknis, pemberian penghargaan dan
pengawasan kepada perusahaan yang telah melakukan pengelolaan
lingkungan dengan baik sesuai undang-undang, dan juga sebagai
langkah awal untuk mendeteksi perusahaan-perusahaan mana yang tidak
taat undang-undang sehingga harus diberi sanksi pidana.59
58
CJ. Kleijs-Wijnnobel, HandhavingVAn Milleurecht, Hlm 398, dalam Andi Hamzah, Penegakan
Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hlm 48-49.
59
Hartiwiningsih, Op Cit, Hlm 80.
54
Pola penegakan huku pidana lingkungan meliputi beberapa proses
yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu : tahapan preemtiv,
tahapan preventif, tahapan represif.
Tahapan Pre-emtive yaitu, tindakan antisipasi yang menekankan
secara lebih awal berbagai faktor korelasi kriminogen, yakni faktor-faktor
yang memungkinkan kerusakan atau pencemaran lingkungan. Dengan
deteksi atas faktor kriminogen ini dapat dilakukan pencegahan dan tidak
terjadi ancaman faktual terhadap lingkungan.
Tahapan preventif adalah serangkaian tindakan nyata yang bertujuan
mencegah perusakan atau pencemaran lingkungan. Sedangkan tindakan
represif adalah serangkaian tindakan yang dilakukan petugas hukum atau
aparat penegak hukum dalam rangka menegakan ketentuan-ketentuan
hukum pidana lingkungan.60
Pada dasarnya strategi penegakan hukum lingkungan nasional
adalah upaya pencegahan atau preventif. Secara prevetif yang bersifat
operasional adalah dilaksanakanya secara cermat, lengkap, jelas
prosedur perizinanya dan tahap berikutnya adalah terlaksananya kegiatan
pembinaan, pengawasan dan pemantauan secara konsisten, efisien dan
efektif. Selanjutnya apabila hal tersebut tidak berjasil atau tidak mampu
mencegah terjadinya pelanggaran, baru memasuki tahapan yang represif
61
. Upaya hukum preventif ini merupakan bagian dari penegakan hukum
yang dilakukan oleh rezim hukum administrasi yaitu oleh pejabat atau
60
Ibid, 358.
Gubernur Jatim, Penegakan Hukum Nasional, Makalah pasa Seminar Nasional, Makalah pasa
Seminar Nasional 9 Desember 1995, Surabaya, Hlm 7.
61
55
aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah
terjadinya pencemaran lingkungan. Upaya ini dimulai dengan penyuluhan,
pemantauan dan penggunaan kewenagan yang sifatnya pengawasan
berupa pengambilan sampel, penghentian mesin, dan sebagainya.
Sementara itu pada UULH yang lalu, penegakan hukum lingkungan
hidup hanya mengenal dua dimensi penegakan hukum lingkungan yaitu
penegakan hukum perdata dan pidana. Berbeda dengan penegakan
hukum lingkungan sebagaimana yang tercermin dalam pengaturan
UUPLH maupun UUPPLH penegakan hukum administrasi diatur pada
pasal 76-83 termasuk pasal 93, penegakan hukum perdata sebagaiman
diatur dalam pasal 84-92, dan penegakan hukum pidana sebagaiman
diatur dalam pasal 94-120.
Ketentuan pidana yang termaktub
dalam UUPPLH mencakup
ketentuan delik materiil dan formil. Untuk beberapa hal ketentuan tersebut
merupakan pengaturan tersendiri diluar ketentuan KUHAP maupun dalam
KUHP.
Ketetntauan
pidana
dalam
UUPPLH
lebih
lengkap
bila
dibandingkan dengan UUPPLH apalagi UULH.
Dalam upaya koordinasi penanganan terhadap pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup ini, telah terjadi kesepakatan antar 5 instansi
pemerintah yang terkait yaitu Mneteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman,
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jaksa Agung dan
Kepala Kepolisisan.
Hanya saja prosedur yang telah disepakati bersama ini pada praktek
penegakan hukum selama ini kurang dimanfaatkan sehingga tidak
56
berjalan sebagaimana yang diharapkan. Yang terjadi adalah segala
masalah lingkungan selalu dibawa keranah pidana atau dengan kata lain
hukum pidana difungsikan sebagai primum remedium, walaupun untuk
hal-hal yang ringan, korban belum ada dan lingkungan belum tercemar.62
E. Pentingnya Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia
Kepentingan nasional adalah suatau cita-cita, sasaran yang bersifat
umum dan abadi yang digunakan sebagai landasan suatu bangsa untuk
bertindak.
Dalam
kaitan
dengan
pengelolaan
lingkungan,
maka
kepentingan nasional tercantum dalam pasal 33 ayat (2) dan (3) UndangUndang 1945.63
Untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam
pengelolaan cabang-cabang produksi, bumi, air, dan kekayaan alam oleh
negara maka diperlukan strategi pengelolaan lingkungan tersebut agar
tidak memberikan dampak terjadinya kerusakan dan pencemaran
lingkungan hidup karena pentingnya kelestarian lingkungan hidup untuk
kepentingan generasi saat ini dan masa depan.
Kaitan dengan hukum pidana lingkungan dapat diartikan dari suatu
kebijakan atau keinginan-keinginan negara yang di format dalam
peraturan kebijakan maupun peraturan perundang-undangan sebagai
kekeuatan negara untuk menghadapai kerusakan lingkungan hidup.
Kebijakan
62
63
yang
diinginkan
Syahrul Machmud, Op Cit, Hlm 226-227.
Siswanto Sunarso, Op Cit, Hlm 182.
oleh
negara
dalam
hal
ini,
ialah
57
pengembangan rencana penggunaan lahan dan tata ruang serta
melakukan kebijakan perencanaan terhadap rehabilitasi kerusakan
sumber daya alam, seperti kerusakan tanah, air, daerah aliran sungai
(DAS), dan sebagainya.64
Pembangunan berkelanjutan yang menempatkan lingkungan hidup
sebagai
bagian
integral
dalam
dinamika
pembangunan
nasional
merupakan realitas kehidupan bernegara.65 Indonesia telah menjadikan
Pembangunan berkelanjutan yang menjiwai kerangka hukum nasional.
Beberapa, telah mengambil prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
sebagai dasar pengambilan putusan di pengadilan. Berarti dalam
beberapa hal, nilai-nilai pembangunan berkelanjutan dapat berperan
dalam aspek lingkungan. Nilai-nilai pembangunan berkelanjutan penting
artinya dalam rangka pembentukan hukum, demikian pula dalam
pembentukan hukum lingkungan.
Di Indonesia, istilah pembangunan berkelanjutan secara resmi
dimuat dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Walaupun masih menggunakan istilah “pembangunan
berkesinambungan”, Pasal 3 menentukan “Pengelolaan lingkungan hidup
berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan
seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi
peningkatan kesejahteraan manusia”. UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, secara menyebut istilah pembangunan
berkelanjutan (Pasal 1 angka 3), yakni “pembangunan berkelanjutan yang
64
Siswanto Sunarso, Op Cit, Hlm 183.
Emil Salim, Pembangunan Berkelanjutan (Strategi Alternatif dalam Pembangunan Dekade
Sembilan Puluhan), Artikel, Prisma, Jakarta, LP3ES, 1991, Hlm 8.
65
58
berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana,
memadukan lingkungan hidup ke dalam proses pembangunan untuk
menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan”. Terakhir Pasal 1 angka 3 UU-PPLH:
“Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi
masa kini dan generasi masa depan”.
Otto Soemarwoto, pembangunan harus berkelanjutan secara ekologi,
sosial, dan ekonomi (sustainable development must be ecologicalli,
socialy, and economically sustainable)66. Emil Salim, menyatakan :
“pembangunan berkelanjutan mengharuskan kita mengelola sumber alam
serasional mungkin. Ini berarti bahwa sumber-sumber daya alam bisa
diolah, asalkan secara rasional dan bijaksana. Untuk ini diperlukan
pendekatan pembangunan dengan pengembangan lingkungan hidup,
yaitu eco-development”.67
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan di atas, dirumuskan atau
diartikan
sebagai
paradigma
pembangunan
yang
mengarahkan
lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan. Lingkungan hidup sebagai
sumber
daya,
menjadi
sarana
untuk
mencapai
keberlanjutan
pembangunan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan mutu hidup
66
67
Janine Ferretti, Common Future, Penerbit Pollution Probe, Toronto, Ontario, 1989, hlm. 6.
Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3ES, Jakarta, 1993, hlm 184-185.
59
generasi masa kini dan masa depan bagi peningkatan kesejahteraan dan
mutu hidup generasi kini dan generasi masa depan.
Pembangunan
berkelanjutan
yang
dianut
Indonesia
adalah
pembangunan yang dapat memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat
generasi saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan
kebutuhan masyarakat generasi mendatang. Pemerintah berupaya
mewujudkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan dalam berbagai
pembentukan dan pelaksanaan hukum lingkungan. UU-PPLH yang
disahkan pada tahun 2009 memuat prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan
sebagai
instrumen
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia. Prinsip-prinsip dimaksud yakni:
1. Prinsip Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Equity)
Prinsip keadilan antargenerasi ini didasari sumber daya alam yang ada di
bumi ini adalah sebagai titipan (in trust) untuk dipergunakan generasi
yang akan datang. Setiap generasi merupakan penjaga dari planet bumi
ini untuk kemanfaatan generasi berikutnya dan sekaligus sebagai
penerima manfaat dari generasi sebelumnya.
2. Prinsip Keadilan Dalam Satu Generasi
Prinsip ini disebut pula keadilan intragenerasi. Prinsip ini menurut Prof.
Ben Boer, menunjuk kepada gagasan bahwa masyarakat dan tuntutan
kehidupan dalam satu generasi, memiliki hak dalam kemanfaatan
sumber-sumber alam dan kenikmatan atas lingkungan yang bersih dan
sehat.68
68
Dikutip dari NHT. Siahaan, op., cit., hlm. 74.
60
3. Prinsip Pencegahan Dini (Precautionary Principle)
Prinsip pencegahan dini (precautionary principle) secara teoretis atau
praktis mengandung makna bahwa apabila terdapat ancaman atau
adanya ancaman kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan,
ketiadaan pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti, tidak dapat
dijadikan alasan menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan tersebut.69
4. Prinsip Perlindungan Keragaman Hayati (Biodiversity Conservation).
Prinsip perlindungan keragaman hayati
(biodiversity
conservation)
merupakan prasyarat dari berhasil tidaknya pelaksanaan prinsip keadilan
antargenerasi
(intergenerational
equity
principle).
Perlindungan
keragaman hayati juga terkait dengan masalah pencegahan, sebab
mencegah
kepunahan
jenis
dari
keragaman
hayati
diperlukan
pencegahan dini70. Upaya perlindungan keragaman hayati dilakukan
untuk membuktikan komitmen dan kesadaran pentingnya mencegah
secara dini kepunahan keragaman hayati sekaligus melaksanakan prinsip
keadilan baik antargenerasi maupun dalam satu generasi untuk
mewujudkan karakteristik pembangunan berkelanjutan.
5. Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan
Prinsip ini berangkat dari suatu keadaan, penggunaan sumber--sumber
lingkungan hidup, merupakan kecenderungan dari dorongan pasar.
69
Syamsuhardi Bethan Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
Dalam Aktivitas Industri Nasional: Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan
Kehidupan Antar Generasi, Alumni, Bandung, 2008., hlm. 95.
70
F.X. Aji Samekto, Keterkaitan Kapitalisme dengan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dan
Implementasi Konvensi Keanekaragaman Hayati Dalam Studi Hukum Kritis, Disertasi, PPS, Undip,
Semarang, 2004, hlm. 117.
61
Akibatnya, kepentingan yang selama ini tidak terwakili dalam komponen
pengambilan keputusan dalam menentukan harga pasar tersebut
diabaikan dan menimbulkan kerugian bagi mereka. Masyarakat yang
menjadi korban dari kerusakan lingkungan, tidak memiliki suatu
mekanisme untuk memaksa kelompok untuk membayar kerugian bagi
kerusakan tersebut kecuali pengadilan.71
Suatu perusahaan menurut Daud Silalahi, bisa saja menganggap
lingkungan hidup sebagai benda bebas yang dapat digunakan sepenuhnya
untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, masyarakat
sebagai keseluruhan akan melihat lingkungan hidup sebagai bagian dari
kekayaan nyata yang tidak dapat lagi diperlakukan sebagai suatu benda
bebas (rex nullius).72 Mengintegrasikan biaya lingkungan ke dalam proses
pengambilan keputusan oleh pelaku ekonomi bukan sebagai himbauan,
tetapi menjadi tuntutan realitas dan sangat realistis dalam dinamika
pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas,
hukum lingkungan tidak hanya mengatur tentang pemanfaatannya
(ekonomic
value),
juga
mempertahankan
keberadaan
dan
aspek
pemanfaatan guna kesejahteraan semua orang di dalam masyarakat. Supaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat berkelanjutan dengan
71
Lihat, Mas Ahmad Santosa, Aktualisasi Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan Dalam
Sistem dan Praktik Hukum Nasional, Artikel Jurnal Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, 1996, hlm.
13. Lihat pula Sums T. Djajadiningrat. Pengantar Ekonomi Lingkungan, Jakarta, LP3ES, 1997. him.
5.
72
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
Alumni, Bandung, 2001, hlm. 17. Iihat juga M. Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam
Rangka Pengelolaan (Termasuk perlindungan) Sumber Daya Alam Yang Berbasasi Pembangunan
Sosial dan Ekonomi, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN, Denpasar,
2003.
62
fungsi baik. Kerangka pembangunan berkelanjutan, hukum lingkungan,
dalam pengertiannya yang luas adalah sebuah sarana esensial bagi mencapai
keberlanjutan. Hukum lingkungan mempersyaratkan standar perilaku sosial
dan memberikan ukuran kepastian pada kebijaksanaan. Prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi landasan
negara termasuk Indonesia yang memiliki komitmen dan kesadaran untuk
membangun tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan hidupnya. Bahkan,
kelima prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut dapat dipandang
memiliki nuansa positif untuk membangun Indonesia yang lebih menghargai
kehidupan generasi sekarang dan mendatang, berkenaan dengan rasa
keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Hukum Pidana merupakan ranah publik seperti dijelaskan diatas,
sehingga apabila oarang yang melakukan tindak pidana lingkungan maka
kerugian akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dari
penjelasan diatas diartikan bahwa hukum pidana lingkungan sangat urgent
bagi Indonesia serta hajat orang banyak.
Download