makalah sejarah perdebatan aspek lngkungan ss

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah bertahun-tahun sejak revolusi industri pertengahan abad ke-18,
baru pada pertengahan abad ke-20 dunia mengalami kejutan yang merangsang
kepedulian akan gawatnya masalah lingkungan yang kita hadapi. Akhirnya atas
usul Pemerintah Swedia diselenggarakanlah
Konferensi Internasional PBB
tentang Lingkungan Hidup Manusia ( United Nations Conference on the Human
Environment ) di Stockholm, Swedia tahun 1972, adalah konferensi yang sangat
bersejarah,
karena
merupakan
konferensi
pertama
tentang
lingkungan
hidup.Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan
lingkungan hidup secara global.
Konferensi diselenggarakan dengan harapan untuk melindungi dan
mengembangkan kepentingan dan aspirasi negara berkembang. Pertemuan yang
digagas PBB ini menghasilkan Deklarasi Stockholm berupa Rencana Kerja,
khususnya tentang perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia serta
rekomendasi kelembagaan United Nations Environmental Programme (UNEP),
yang
markas besarnya ditetapkan di Nairobi, Kenya. Dalam konferensi ini
Indonesia menyampaikan laporan / pandangan tentang lingkungan hidup dan
pembangunan. Laporan ini merupakan hasil Seminar Nasional Lingkungan dan
Pembangunan di Universitas Padjadjaran, Mei 1972 yang diselenggarakan atas
prakarsa Prof. Soemarwoto ( Soerjani,1997 ).
Konferensi tingkat tinggi Lingkungan Hidup pertama di dunia yang di
ikuti oleh wakil dari 114 negara, dan menghasilkan deklarasi lingkungan hidup :
Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (actionplan) dan Rekomendasi tentang
kelembagaan dan keuangan yang mendukung rencana aksi tersebut. Dalam
konferensi Stockholm inilah menyepakati pentingnya pemeliharaan lingkungan
hidup melalui kesadaran dengan motto “Hanya Ada Satu Bumi” (The Only One
Earth ) untuk semua manusia, yang terdiri dari 109 rekomendasi dan deklarai
mengenai 26 prinsip-prinsip lingkungan. Diperkenalkannya motto itu sekaligus
menjadi mottokonferensi.Selain itu konferensi Stockholm, menetapkan tanggal 5
Juni
sebagai
Hari
Lingkungan
Hidup
seduniaWorld
Environmental
Day.(http://pin_impala.brawijaya.ac.id//earth summit.htm )
Setelah Konferensi Stockholm, problematika lingkungan hidup tidaklah
surut, bahkan semakin parah, ternyata banyak negara yang masih belum
menjalankan kesepakatan, walaupun ikut menandatangani.Masalah lingkungan
hidup terjadi karena perilaku manusia selama ini telah mengubah keteraturan
alam.Alam tidak lagi sepenuhnya dapat berkompromi dengan kebutuhan manusia
dalam melangsungkan kehidupannya, maka kenestapaan manusia dengan mudah
dapat ditemui di banyak sudut muka bumi. Pengkajian yang dilaksanakan 10
tahun kemudian pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya, justru menunjukkan bahwa
kerusakan lingkungan hidup semakin meningkat. Isu yang mengemuka dalam
dekade ini mencakup hujan asam, penipisan lapisan ozon, pemanasan global
(perubahan iklim), perusakan hutan, pengguguran, pelestarian keanekaragaman
hayati, perdagangan internasional bahan-bahan berbahaya dan beracun
serta
limbah, serta permasalahan mengenai perlindungan lingkungan pada saat konflik
bersenjata ( Sdede, Androniko, 1993 dalam Koesdiyo, Purwanto, 2007).
Menginat kompleksitas permasalahan yang dihadapi maka beberapa
perjanjian internasional pada periode ini lebih mengarah kepada tercapainya
consensus global, yang mencakup “Viena Convention for the Protection of the
Ozone Layer, Viena 1985“ dan “Montreal Protocol on Substances that Deplete
the Ozone Layer, Montreal 1987“, yang bertujuan mereduksi dan mensubsitusi
bahan-bahan perusak ozon dengan bahan lain serta ketentuan yang mengikat
khususnya mengenai produksi dan penggunaan lima macam bahan kimia, CFC
(Chloro Fluoro Carbon). “The United Nations Convention on the Law og the Sea
(UNCLOS) tahun 1982”,menetapkan pengaturan yang luas mengenai kelautan
termasuk ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan laut. Selain itu
disepakati pula “Basel Convention on the Control of Transboundary Movements
of Hozardous Wastes and Disposal, Basel 1989, “The United Nations Framework
Convention
on
Climate
Change
(UNICEF)
1992”,
dan
“
Konvensi
Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity /CBD) 1992”,
tentang pelesterian keanekaragaman hayati.
Menyadari semakin kompleksnya masalah lingkungan, perkembangan
penting lain pada periode ini adalah pembentukan lembaga independen oleh
Majelis Umum PBB pada tahun 1983 membentukWorld Commission on
Environment and Development (WCED), Komisi Dunia untuk Lingkungan dan
Pembangunan,
yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland, Perdana Menteri
Norwegia. Komisi ini menyelesaikan tugasnya pada 1987 dengan menerbitkan
laporan “Our Common Future” yang dikenal dengan Laporan Brundtland.Tema
laporan ini adalah Sustainable Development(pembengunan berkelanjutan).Komisi
ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya yang
mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.Konsep ini menekankan
pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang
tinggi. Inilah underlying concept pembangunan berkelanjutan yang hingga saat
ini terus berkembang mengikuti dinamika perubahan.
Dua puluh tahun setelah Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, atau
lima tahun setelah terbitnya Laporan Brundtland, PBB menyelenggarakan United
Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi
Khusus tentang Masalah lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal
dengan KTT Bumi (Earth Summit) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.
Jargon “Think globally,act locally“, yang menjadi tema KTT Bumi menjadi
popular
untuk
lingkungan.KTT
mengekspresikan
Bumi
menekankan
kehendak
berlaku
pentingnya
ramah
semangat
terhadap
kebersamaan
(multilaterisme) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh
benturan antara upaya-upaya melasanakaqn pembangunan (oleh developmentalist)
dan upaya-upaya melestarikan lingkungan (oleh environmentalist).
Dari uraian di atas, maka dalam makalah ini mencoba untuk mengkaji
dari Konferensi Stockholm menuju ke pelaksanaan KTT Bumi Rio de Jeneiro ,
yang berhubungan dengan isu-isu lingkungan global dan hasil-hasil KTT Bumi,
serta pelaksanaannya di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut maka dapat ditarik
sebuah rumusan masalah sebagai berikut
1. Bagaimana gambaran sejarah permasalahan lingkungan hidup global dan
lingkungan setelah konferensi Stockholm?
2. Bagaimana pelaksanaan Konferensi Rio de Janeiro beserta hasilnya?
3. Apa
hasil
dari
Konferensi
Konferensi
Rio
de
Janeiro
dalam
pelaksanaannya di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1. Menjelaskan gambaran sejarah masalah lingkungan hidup global, serta
permasalahan lingkungan setelah Konferensi Stockholm;
2. Menggambarkan pelaksanaan Konferensi Rio de Janeiro beserta hasilnya;
3. Mengkaji hasil-hasil Konferensi Rio de Janeiro dalam pelaksanaannya di
Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
Pandangan
terhadap
sisi
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development) muncul pada saat isu tentang lingkungan hidup menjadi sangat
populer. Munculnya isu tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa
pembangunan yang dilaksanakan secara terus menerus tidak akan menguntungkan
bagi siapa saja apabila sistem biologis alam yang mendukung pertumbuhan
ekonomi tidak dicermati dengan baik.
Brown
(1981),
menunjukkan
penilaian
terhadap
pembangunan
berkelanjutan dari beberapa sudut pandang seperti tertinggalnya transisi energi,
memburuknya sistem biologis utama (perikanan laut, padang rumput, hutan, lahan
pertanian) ancaman perubahan iklim (polusi, dampak rumah kaca), dan kurangnya
bahan pangan (lihat Kuncoro, 1997:13). Para pendukung konsep pembangunan
berkelanjutan menyatakan pentingnya strategi ecodevelopment yang intinya
menyatakan bahwa masyarakat dan ekosistem di suatu daerah harus berkembang
secara bersama– sama untuk mencapai produktivitas dan pemenuhan kebutuhan
yang lebih tinggi namun tetap pada strategi pembangunan yang berkelanjutan,
baik dari sisi ekologi maupun sosial.
Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya alam yang dimiliki berupa
tanah, air, mineral, flora maupun fauna harus dimanfaatkan dan dikelola secara
berhati–hati dan dengan perhitungan, sehingga dapat memberi manfat bagi
kesejahteraan masyarakat.Penyelamatan lingkungan sebagai implementasi dari
pembangunan berkelanjutan berfungsi sebagai penyanggah perikehidupan
manusia, sehingga pengelolaan dan pengembangan sumber daya diarahkan untuk
mempertahankan keberadaan dan keseimbangannya melalui berbagai usaha
perlindungan dan rehabilitasi secara terus menerus.
Martono (1995:2), menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang didasari oleh pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan
dan mempunyai ciri–ciri :
1. proses pembangunan berlangsung secara berkelanjutan dan didukung oleh
sumber dengan kualitas lingkungan dan manusia yang semakin
berkembang;
2. sumber daya alam terutama udara, air, dan tanah memiliki ambang batas,
sehingga pemanfaatan secara berlebihan dapat mengurangi kualitas dan
kuantitas sumber daya alam sehingga mengurangi kemampuannya dalam
menopang pembangunan berkelanjutan dan menimbulkan gangguan pada
keserasian hubungan manusia dengan alam dan lingkungannya;
3. kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup, semakin
baik mutu lingkungan semakin positif pengaruhnya pada kualitas hidup,
turunnya tingkat kematian, dan lain–lain;
4. pola pembangunan sumber alam tidak menutup kemungkinan memilih
peluang lain pada masa depan dalam menggunakan sumber alam;
5. pembangunan ini memungkinkan generasi sekarang meningkatkan
kesejahteraannya tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa
depan meningkatkan kesejahteraannya.
Konsep pembangunan berkelanjutan memberikan implikasi adanya batas
yang bukan batas absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat
masyarakat dan organisasi sosial mengenai sumber daya alam serta kemampuan
biosfir menyerap berbagai pengaruh dari berbagai aktivitas manusia. Teknologi
dan sumber daya manusia dapat ditingkatkan kemampuannya guna memberi jalan
bagi era baru pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
menggunakan prosedur yang memperhatikan kelestarian, kemampuan, dan fungsi
komponen lingkungan alam dalam ekosistem untuk mendukung pembangunan
saat ini dan masa yang akan datang.
2.2 Sejarah Sustainable Development
Di Eropa, ide pembangunan berkelanjutan pertama kali dikembangkan di
bidang kehutanan. Pada awal abad ke-13, beberapa aturan tentang kesinambungn
penggunaan kayu (Hukum kehutanan Nuremberg dari 1294). Masalah
penebangan bersih (clear cut) tanpa memperhatikan penghutanan kembali
didiskusikan oleh Carlowitz, seorang bangsawan dari Saxony dalam papernya:
“Sylvicultura Oeconomica-instruksi untuk penanaman alamiah dari pohon liar”
(1713). Calrowitz meminta untuk mempelajari “world’s book of nature”.
Berdasarkan ide-ide ini Georg Ludwig Hartig mempublikasikan sebuah
paper pada tahun 1795 yang berjudul, “Instructions for the taxation and
characterization of forests”, untuk menggunakan kayu seefektif mungkin, tetapi
juga mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang. Ide mengenai
pembangunan berkelanjutan telah lahir.Akan tetapi, tujuan ini sebenarnya lebih
cenderung kepada ekonomi dan sosial alamiah.Prinsip-prinsip awal mengenai
pembangunan berkelanjutan hanya dibatasi pada bidang kehutanan dan belum
pada bidang lainnya.
Pesimisme reflektif Carson tampaknya sangat menggugah kepedulian
umat manusia terhadap keselamatan bumi dari malapetaka dan kehancuran,
karena bertambah parahnya kerusakan lingkungan oleh ulah manusia yang tidak
terkendali. Tidak terkecuali, bahkan menjadi harapan seluruh umat manusia,
bahwa karya Carson turut mengilhami munculnya kesadaran akan kelestarian
lingkungan hidup di kalangan PBB. Maka, pada 5 Juni 1972, para pemimpin
dunia menghadiri Konferensi PBB mengenai lingkungan hidup di Stockholm,
Swedia dan ikut menandatangani kesepakatan untuk memperhatikan segi-segi
lingkungan
dalam
pembangunan.Selain
itu,
salah
satu
penyebab
diselenggarakannya Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm adalah tekanan
negara maju yang khawatir pada masalah lingkungan hidup, khususnya
pencemaran.
Selain hal itu, Only one Earth (ada satu bumi) untuk semua manusia,
diperkenalkan. Motto itu sekaligus menjadi motto konferensi.Selain itu,
konferensi Stockholm menetapkan tanggal 5 Juni sebagai hari lingkungan hidup
se-dunia (World environment day), dan saat itu dilahirkan pula resolusi
pembentukan UNEP (United Nations Environmental Program). Selanjutnya,
UNEP merupakan motor pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup dan
telah melahirkan gagasan besar pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development).
Ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 tentang GBHN terutama Bab III butir
10 merupakan kebijakan awal lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan
agar sumber-sumber alam Indonesia diusahakan secara rasional.Hal ini
mnegisyaratkan penggalian sumkber kekayaan alam harus diusahakan dengan
kebijaksanaan yang menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi
mendatang.Kebijakan dalam GBHN itu memaksa Pemerintah untuk membentuk
Lembaga Pemerintah yang menangani lingkungan dan membantu Presiden dalam
merumuskan langkah konkrit dibidang lingkungan hidup.Lembaga tersebut adalah
Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(PPLH).
Aspek ekonomi ditambahkan pada aspek ekologi dan sosial terdahulu,
seperti dinyatakan oleh the Brundtland Report pada 1987. Pembangunan
berkelanjutan pertama kali didefinisikan tahun 1987 oleh Komisi Dunia pada
Lingkunan dan Pembangunan, ketuai oleh Gro Harlem Bruntland, yang
merupakan perdana menteri Norwegia pada saat itu.
Dengan kata lain, pembangunan adalah esensial untuk pemenuhan
kebutuhan manusia dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Pada saat
yang sama pembangunan harus berlandaskan pada efisiensi dan penggunaan
lingkungan yang bertangungjawab dari seluruh sumberdaya masyarakat yang
langka: alam, manusia, dan sumberdaya ekonomi.
Beberapa kegiatan penting setelah Konferensi PBB di Stockholm tentang
Lingkungan Hidup 1972:
1. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) atau
Konvensi PBB mengenai perdagangan Internasional Jenis-Jenis Flora dan
Fauna Terancam Punah merupakan tanggapan terhadap tindak lanjut dari
rekomendasi Konferensi Stockholm Nomor 99.3. CITES ditetapkan pada
suatu konferensi diplomatik di Washington, D.C. pada 3 Maret 1973 dan
mulai diterapkan pada 1 Juli 1975. Misi dan tujuan CITES adalah untuk
menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam
melalui sistem pengendalian jenis-jenis tumbuhan dan satwa, serta produkproduknya secara internasional.
2. Setelah Konferensi Stockholm, problematika lingkungan hidup tidaklah surut,
bahkan semakin parah. Masalah lingkungan hidup terjadi karena perilaku
manusia selama ini telah mengubah keteraturan alam. Alam tidak lagi
sepenuhnya
dapat
berkompromi
dengan
kebutuhan
manusia
dalam
melangsungkan kehidupannya. Maka, kenestapaan manusia dengan mudah
dapat ditemui di banyak sudut muka bumi.
3. Tidak satu negarapun di muka bumi yang luput dari masalah lingkungan,
kendati dengan kadar dan magnitude yang berbeda. Pemanasan global,
kepunahan jenis tumbuhan dan satwa, degradasi lahan dan deforestasi,
meluasnya wabah penyakit, kekeringan dan banjir adalah wujud penolakan
alam terhadap tindakan destruktif manusia.
4. Masyarakat negara industri maupun negara yang sedang bergerak ke arah
industrialisasi terbelenggu dengan pola hidup konsumtif terhadap sumber
bahan baku tak terbarui. Misalnya penggunaan sumber energi yang berasal
dari fosil secara boros. Industrialisasi telah meningkatkan indeks pencemaran
di banyak tempat yang dampaknya luber melintasi batas negara. Sementara,
negara miskin lebih sering tidak mempunyai pilihan selain memeras sumber
daya alamnya untuk membayar utang luar negerinya.
5. Menyadari eskalasi masalah lingkungan, pada 1983 PBB membentuk World
Commission on Environment and Development (Komisi Dunia untuk
Lingkungan dan Pembangunan) yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland,
Perdana Menteri Norwegia. Komisi ini menyelesaikan tugasnya pada 1987
dengan menerbitkan laporan “Our Common Future” yang dikenal dengan
Laporan Brundtland. Tema laporan ini adalah sustainable development
(pembangunan berkelanjutan). Komisi ini mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan sebagai suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan
generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan
ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. Inilah
underlying concept pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini terus
berkembang mengikuti dinamika perubahan.
6. Awal 1980-an, keberadaan hutan tropis mulai diagendakan dalam dialog
global. Suatu proses negosiasi yang panjang telah berlangsung di bawah
naungan UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development).
Hasilnya: International Tropical Timber Agreement (ITTA) atau Perjanjian
Kayu Tropis Internasional. ITTA merupakan perjanjian multilateral tentang
komoditas yang diadopsi pada 18 November 1983 di Geneva dan mulai
diberlakukan pada 1 April 1985. ITTA melandasi pembentukan Organisasi
Internasional Kayu Tropis (International Tropical Timber Organization/ITTO)
pada 1986. Saat ini ITTO beranggotakan 58 negara, yang terdiri dari 33
negara produsen dan 25 negara konsumen. Indonesia termasuk tiga negara
dengan vote terbesar (146) bersama Brazil (159) dan Malaysia (103).
Besarnya vote ini, antara lain ditentukan oleh luas hutan dan volume ekspor
negara anggota.
7. Fokus kegiatan ITTO adalah pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable
Forest Management /SFM). ITTO merupakan forum dialog multilateral untuk
menciptakan harmonisasi kebijakan dan panduan guna melestarikan
persediaan kayu tropis di pasaran internasional, melalui pelestarian sumber
daya hutan tropis. Kegiatan ITTO selama periode 2002-2006 difokuskan pada
enam sasaran sebagaimana tercantum dalam ITTO Yokohama Action Plan
yaitu: 1) Meningkatkan transparansi pasar kayu internasional; 2) Promosi
kayu tropis dari hutan yang dikelola secara lestari; 3) Mendukung kegiatan
untuk pengamanan sumber kayu tropis; 4) Meningkatkan pengelolaan hutan
berkelanjutan; 5) Meningkatkan pengelolaan kayu tropis dari sumber yang
lestari; dan 6) Meningkatkan efisiensi industri pengolahan dan pemanfaatan
kayu tropis secara lestari.
8. ITTO telah menerbitkan sejumlah panduan (policy documents) untuk
meningkatkan pengelolaan hutan tropis dan konservasi hutan, serta
memberikan kegiatan kepada negara anggotanya untuk menerapkan panduan
tersebut dalam bentuk bantuan proyek. Dana pelaksanaan proyek berasal dari
negara-negara konsumen.
9. Pentingnya keberadaan organisasi ini tercermin dari adanya proses
perpanjangan ITTA 1983 menjadi ITTA 1994. Selanjutnya, ITTA 1994 yang
masa berlakunya akan berakhir pada 31 Desember 1996, kini sedang dalam
tahap perundingan untuk diperbarui. Proses perpanjangan ITTA 1994 telah
dilakukan melalui beberapa pertemuan pendahuluan, dimulai dari Sidang
Preparatory Committee/ PrepCom I (Panama, Mei 2003), Sidang PrepCom II
(Yokohama, November 2003), dan Pertemuan Friends of the Chair on the
Negotiations of a Successor Agreement to the ITTA, 1994” (Interlaken, April
2004).
Pertemuan
Interlaken
perundingan berikutnya.
diharapkan
dapat
memuluskan
proses
10. Hasil Pertemuan Interlaken mengindikasikan adanya tiga masalah utama yang
akan menjadi perdebatan dalam proses perundingan berikutnya, yaitu Sidang
UNCTAD for the Negotiation of a Successor Agreement to the ITTA, 1994
(Geneva, Juli 2004). Ketiga masalah tersebut adalah: 1) ruang lingkup ITTO;
2) struktur organisasi; dan 3) masalah keuangan. Banyak negara anggota,
khususnya kelompok konsumen yang menghendaki agar ruang lingkup ITTO
diperluas. Kelompok konsumen menghendaki agar ITTO tidak hanya
menangani kayu tropis, melainkan mencakup pula produk-produk non-kayu
hutan tropis serta jasa lingkungan. Dalam struktur organisasi, masalah yang
akan menjadi perdebatan adalah pembentukan executive board, yang disinyalir
dapat mengurangi transparansi pengambilan keputusan (dapat berarti
mengambil alih tugas Dewan ITTO). Sedangkan dalam hal keuangan,
menyangkut penetapan mekanisme kontribusi sukarela yang akan menjadi
perdebatan di antara kelompok produsen dan konsumen. Kondisi keuangan
ITTO yang sangat bergantung pada kontribusi sukarela, selama ini sebagian
besar (90%) berasal dari Jepang, Swiss dan Amerika Serikat.
11. Setelah Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Stockholm, tepatnya dua
dasawarsa kemudian, 3-14 Juni 1992, Program Lingkungan Hidup PBB
(UNEF) menyelenggarakan KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro,
Brasil, diikuti ribuan peserta termasuk sekitar 100 kepala negara. Dengan Care
and Share, peduli dan berbagi, sebagai semboyan abad 21. Konferensi itu
berakhir dengan ditandatanganinya Piagam Bumi (Earth Charter) oleh lebih
dari 100 kepala negara.
Dengan adanya KTT Rio de Janeiro masyarakat dunia hendaknya semakin
menyadari pentingnya lingkungan hidup yang memiliki nilai strategis, baik bagi
negara maju maupun negara berkembang.Bahwa kita semua memiliki hanya satu
bumi dan karena itu, semua berkepentingan dan bertanggung jawab atas
keselamatan bumi yang satu ini.Artinya, lingkungan sudah menjadi masalah
global, bukan lagi persoalan negara sedang berkembang saja atau negara maju
saja, atau Negara Utara saja atau Negara Selatan saja. Itu tercemin dari sejak KTT
di Rio de Janeiro dengan tema sentralnya pada waktu itu, yakni untuk
menyelamatkan lingkungan dan bumi, memecahkan persoalan dan untuk masa
depan bersama, selalu dilakukan secara kemitraan. Atau, secara prinsipnya,
setidaknya ada empat masalah lingkungan global dalam KTT Rio de Janeiro
ketika itu, yakni prinsip dasar pembangunan berkelanjutan, transfer teknologi,
dana tambahan pengelolaan lingkungan global dan kelembagaan.
BAB III
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Sejarah Dari Stockholm Menuju ke Rio De Janeiro
1. Konferensi Nairobi dan WCED (World Commission on Environment and
Development)
Setelah sepuluh tahun Konferensi Stockholm berselang, PBB kembali
menggelar konferensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi,
Kenya.Pertemuan ini merupakan pertemuan wakil-wakil pemerintah dalam
Government Council UNEP, pertemuan tersebut mengusulkan pembentukan suatu
komisi yang bertujuan melakukan kajian tentang arah pembangunan di dunia.
Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa ke sidang
umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED/World Commission on
Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan
Pembangunan ) yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland, dan ditugaskan untuk
mencari dan merumuskan permasalahan global lingkungan dan pembangunan.
Komisi inilah yang melakukan pertemuan diberbagai tempat di belahan dunia,
serta berdialog dengan berbagai kalangan . Komisi ini menyelesaikan tugasnya
pada tahun 1987 dengan menerbitkan laporan “Our Common Future” yang
dikenal dengan Laporan Brundtland (The Brundtland Report). Tema laporan ini
adalah sustainable development (pembangunan berkelanjutan).Komisi ini
mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya yang mendorong
tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.Konsep ini menekankan pentingnya
pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang tinggi.Inilah
underlying concept pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini terus
berkembang mengikuti dinamika perubahan.
Dua puluh tahun setelah Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, atau
lima tahun setelah terbitnya Laporan Brundtland, PBB menyelenggarakan United
Nations Conference on Environment and Devwelopment (UNCED) atau
Konferensi Khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan atau lebih
dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit).
2. KTT Bumi Rio de Janeiro
Dalam pandangan dan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Deklarasi
Stockholm 1972, anata lain ditegaskan bahwa sebagian besar problema
lingkungan di negara berkembang disebabkan oleh kemiskinan. Sedangkan di
negara-negara maju justru disebabkan oleh industrialisasi dan kemajuan
teknologi.Pemanfaatan lingkungan hidup tetap diperlukan dalam memenuhi
kebutuhan fisik manusia dan sekaligus untuk berkembangnya nilai-nilai
intelektual, moral, sosial dan spiritual. Seluruh masyarakat dunia, baik di negara
maju maupun di negara berkembang, semua unsur pemerintah dan masyarakat
termasuk dunia usaha, mempunyai kepentingan dan tanggung jawab yang sama
untuk menjaga dan memelihara lingkungan bagi generasi sekarang sampai
generasi mendatang, dengan mempertahankan tujuan mendasar dari perdamaian
dan pembangunan ekonomi global. Topik yang diangkat dalan konferensi ini
adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, penggunaan
dan pengelolaan sumber daya air dan lautan, meluasnya penggundulan hutan,
penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta berkurangnya
keanekaragaman hayati.
KTT Bumi berupaya manyatukan perhatian dunia tentang masalah
lingkungan yang terjadi.Masalah tersebut sangat berkaitan erat de3ngan kondisi
ekonomi dan masalah keadilan sosial.Kon ferensi ini juga mendeklarasikan bahwa
jika rakyat miskin dan ekonomi nasionalnya lemah, maka lingkungannya yang
menderita. Jika lingkungan hidup disalah gunakan dan sumber daya-nya
dikonsumsi
secara
berlebihan,
akibatnya
perekonomian-pun akan morat-marit.
rakyat
akan
menderita
dan
Tujuan utama KTT Bumi ini adalah untuk menghasilkan agenda lanjutan,
sebagai sebuah perencanaan bagi gerakan internasional dalam menghadapi isu-isu
lingkungan hidup dan pemb angunan. Perencanaan tersebut akan membantu
memberi arahan bagi suatu kerja sama internasional serta pembuatan kebujakan
pembangunan ke depan.
2.2 Pelaksanaan Konferensi Rio de Janeiro dan Hasilnya
Konferensi Rio kemudian menyepakati bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan merupakan tujuan dari setiap manusia. Bagaimanapun, menyatukan
dan menyeimbangkan perhatian di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan
membutuhkan cara pandang baru. Baik mengenai bagaimana kita menghasilkan
dan memakai sumberdaya, bagaimana kita hidup, bagaimana kits bekerja,
bagaimana kita bergaul dengan orang lain, atau bagaimana cara kita membuat
keputusan.
Konsep
ini
menjadi
perdebatan
panjang,
baik
dikalangan
pemerintahan, juga antara pemerintah dan masyarakatnya tentang bagaimana
mencapai keberlanjutan tersebut.Konferensi Rio de Janeiro menghasilkan lima
dokumen, yaitu :
1. Deklarasi Rio de Janeiro
Tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (The Rio de Janeiro
Declaration on Environment and Development ) juga dikenal dengan “Earth
Chapter” terdiri atas 27 prinsip yang memacu dan memprakarsai kerja sama
internasional, perlunya pembangunan dilanjutkan dengan prinsip perlindungan
lingkungan, dan perlu adanya analisis mengenai dampak lingkungan.
Deklarasi ini juga mengakui pentingnya peran serta masyarakat yang tidak
hanya dikonsultasi mengenai rencana pembangunan, tetapi juga ikut serta
dalam pengambilan keputusan, serta aktif dalam proses pelaksanaan dan ikut
menikmati hasil pembangunan itu.
Berikut ini adalah Prinsip Pembangunan Berkelanjutan pilihan dari Deklarasi
Rio (UNCED,1992 dalam Mitchel Bruce,dkk,2007) :
Prinsip 1 :Manusia menjadi pusat perhatian dari pembangunan berkelanjutan.
Mereka hidup secara sehat dan produktif, selaras dengan alam.
Prinsip 2:Negara mempunyai, dalam hubungannya dengan the Charter of the
United Nations dan prinsip hukum internasional, hak penguasa untuk
mengeksploitasi
sumberdaya
mereka
yang
sesuai
dengan
kebijakan
lingkungan dan pembangunan mereka.
Prinsip 3: Hak untuk melakukan pembangunan harus diisi guna memenuhi
kebutuhan pembangunan dan lingkungan yang sama dari generasi sekarang
dan yang akan dating.
Prinsip 4 :Dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan, perlindungan
lingkungan seharusnya menjadi bagian yang integral dari proses pembangunan
dan tidak dapat dianggap sebagai bagian terpisah dari proses tersebut.
Prinsip 5 : Semua nagara dan masyarakat harus bekerja sama memerangi
kemiskinan yang merupakan hambatan mencapai pembangunan berkelanjutan.
Prinsip 6 : Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan kualitas
kehidupan masyarakat yang lebih baik, negara harus menurunkan atau
mengurangi pola konsumsi dan produksi, serta mempromosikan kebijakan
demografi yang sesuai.
Prinsip 7 : Negara harus memperkuat kapasitas yang dimiliki untuk
pembangunan berlanjut melalui peningkatan pemahaman secara keilmuan
dengan
pertukaran
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
serta
dengan
meningkatkan pembangunan, adaptasi, alih teknologi, termasuk teknologi baru
dan inovasi teknologi.
Prinsip 8 : Penanganan terbaik isu-isu lingkungan adalah dengan partisipasi
seluruh masyarakat yang tanggap terhadap lingkungan dari berbagai tingkatan.
Di tingkat nasional, masing-masing individu harus mempunyai akses terhadap
informasi tentang lingkungan, termasuk informasi tentang material dan
kegiatan berbahaya dalam lingkungan masyarakat, serta kesempatan untuk
berpartisipasi
dalam
proses
pengambilan
keputusan.
Negara
harus
memfasilitasi dan mendorong masyarakat untuk tanggap dan partisipasi
melalui pembuatan informasi yang dapat diketahui secara luas.
Prinsip 9 : Dalam rangka mempertahankan lingkungan, pendekatan
pencegahan harus diterapkan secara menyeluruh oleh negara sesuai dengan
kemampuannya. Apabila terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tak
dapat dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan seharusnya tidak dipakai
sebagai alasan penundaan pengukuran biaya untuk mencegah penurunan
kualitas lingkungan.
Prinsip 10 : Penilaian dampak lingkungan sebagai instrument nasional harus
dilakukan
untuk
kegiatan-kegiatan
yang
diusulkan,
yang
mungkin
mempunysai dampak langsung terhadap lingkungan yang memerlukan
keputusan di tingkat nasional.
Prinsip 11 : Wanita mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan
pembangunan lingkungan. Partisipasi penuh mereka perlu untuk mencapai
pembangunan berlanjut.
Prinsip 12 : Penduduk asli dan setempat mempunyai peran penting dalam
pengelolaan
dan
pembangunan
lingkungan
karena
pemahaman
dan
pengetahuan tradisional mereka. Negara harus mengenal dan mendorong
sepenuhnya identitas, budaya dan keinginan mereka serta menguatkan
partisipasi mereka secara efektif dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.
2. Konvensi Perubahan Iklim
Konvensi Perubahan Iklim /“The Framework Convention on Climate
Change (FCCC)” :Yang memuat kesediaan negara-negara maju untuk
membatasi emisi gas rumah kaca dan melaporkan secara terbuka mengenai
kemajuan yang diperolehnya dalam hubungan tersebut. Negara-negara maju
juga sepakat untuk membantu negara-negara berkembang dengan sumber daya
dan teknologi dalam upaya negara-negara berkembang untuk memenuhi
kewajiban sebagaimana tercantum dalam konvensi.Kesepakatan Hukum yang
telah mengikat telah ditandatangani oleh 152 pemerintah pada saat konferensi
berlangsung. Tujuan pokok Konvensi ini adalah “Stabilisasi konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang telah mencegah terjadinya
intervensi yang membahayakan oleh manusia terhadap sistem iklim, yang
mengharuskan pengurangan sumber emisi gas seperti CO2, emisi pabrik,
transportasi dan penggunaan energy fosil pada umumnya”. Dalam Pasal 3
Konvensi dicantumkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1). Para pihak harus melindungi sistem iklim untuk kepentingan kehidupan
generasi kini dan yang akan datang, atas dasar keadilan dan sesuai dengan
tanggung jawab bersama yang berbeda-beda dan sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Sesuai dengan itu, pihak negara maju harus mengambil
peranan penting dalam menanggulangi perubahan iklim dan kerugian yang
diakibatkan.
2). Kebutuhan tertentu dan keadaan khusus dari pihak negara berkembang,
terutama yang rawan terhadap akibat perubahan iklim yang merugikan, dan
bagi para pihak, teutama pihak negara berkembang yang harus memikul
ketidak seimbangan atau beban tidak wajar berdasarkan konvensi ini, harus
diberikan pertimbangan penuh.
3). Para pihak harus mengambil tindakan pencegahan untuk mengantisipasi,
mencegah atau mengurangi penyebab dari perubahan iklim dan meringankan
akibat yang merugikan. Apabila ada ancaman serius atau kerusakan yang tidak
dapat dipuilihkan, ketiadaan kepastian ilmiah yang lengkap tidak boleh
dijadikan alas an untuk menunda tindakan demikian itu, dengan pertimbangan
bahwa kebijaksanaan dan tindakan yang berkaitan dengan perubahan iklim
harus berdasarkan efektifitas biaya untuk terjaminnya manfaat secara global
berdasarkan biaya serendah mungkin.Untuk mencapai ini, kebijaksanaan dan
tindakan demikian harus mempertimbangkan konteks sosio-ekonomi yang
berbeda, harus komprehensif, mencakup semua sumber yang relevan, bak cuci
dan tempat penyimpan gas rumah kaca serta penyesuaian dan mencakup
semua sector ekonomi.Upaya-upaya untuk menghadapi perubahan iklim dapat
dilakukan secara kerjasama dengan berbagai pihak yang berkepentingan.
4). Semua pihak mempunyai hak untuk dan harys memajukan pembangunan
berkelanjutan. Kebijaksanaan dan tindakan untuk melindungi sistem iklim
terhadap perubahan akibat campur tangan manusia harus memadai bagi
keadaan khusus setiap pihak dan harus diintegrasikan dengan program
pembangunan nasional, dengan memperhitungkan bahwa pembangunan
ekonomi adalah essensial bagi dilakukannya tindakan-tindakan untuk
menghadapi perubahan iklim.
5). Semua pihak harus bekerjasama untuk mengembangkan sistem ekonomi
internasional
yang
menunjang
dan
bersifat
terbuka
menuju
pada
pwertumbuhan ekonomi dan permbangunan bagi semua pihak, khususnya
pihak negara berkembang, sehingga memungkinkan mereka untuk secara
lebih baik menghadapi perubahan iklim. Tindakan yang harus dilakukan untuk
menanggulangi perubahan iklim, termasuk tindakan unilateral, tidak boleh
menjadi
sarana
bagi
bertanggungjawab
atau
diskriminasi
pembatasan
sewenang-wenang
perdagangan
dan
internasional
tidak
yang
terselubung.
Pasal 23 ayat 1 menyatakan, bahwa Konvensi akan berlaku pada hari ke90 setelah hari/tanggal deposit instrument ke-50 ratifikasi, penerimaan,
persetujuan atau akses.Pasal 23 ayat 2 menyatakan, bahwa untuk setiap negara
atau organisasi integrasi ekonomi regional yang meratifikasi, menerima atau
menyetujui atau ikut serta setelah deposit instrument ke-50 ratifikasi,
penerimaan, persetujuan atau akses. Konvensi diberlakukan pada hari ke-90
setelah tanggal deposit negara itu atau organisasi integrasi ekonomi regional
dari instrument ratifikasi, penerimaan, persetujuian atau akses.Pasal 23 ayat 3
menyatakan bahwa untuk maksud dari ayat 1 dan 2 di atas, setiap instrument
yang didepositokan oleh sesuatu organisasi integrasi ekonomi regional tidak
dihitung sebagai tambahan pada yang didepositokan oleh anggota-anggota
negara dari organisasi tersebut. Konvensi ini dibuat di New York pada tanggal
9 Mei 1992.
3. Konvensi Keanekaragaman Hayati
Konvensi Keanekaragaman Hayati / “The Convention on Biological
Diversity “: yang memberikan landasan untuk kerjasama internasional dalam
rangka konservasi spesies dan habitat. Kesepakatan Hukum yang mengikat
telah ditandatangani sejauh ini oleh 168 Negara.Menguraikan langkah-langkah
kedepan dalam pelestarian keragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan
komponen – kompennya, serta pembagian keuntungan yang adil dan pantas
dari penggunaan sumber daya genetic. Konvensi keanekaragaman hayati ini
menyatakan dalam Pasal 1 tentang tujuannya, yaitu melestarikan dan
mendayagunakan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan berbagai
keuntungan secara adil dan merata dari hasil pemanfaatan sumber genetika
melalui akses terhadap sumber genetika tersebut, alih teknologi yang relevan,
serta pembiayaan yang cukup dan memadai. Asas dalam Pasal 3 menyatakan,
bahwa Negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber alamnya
sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan dan lingkungannya, serta
mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatannya itu tidak
akan merusak lingkungan baik di dalam maupun di luar wilayah negaranya.
Konvensi ini dibuat di Rio de Janeiro pada tanggal 5 Juni 1992.Pada waktu
Konferensi Rio berakhir.Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan
Undang-Undang No.5 Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994.
4. Pernyataan Prinsip-prinsip Kehutanan
Pernyataan Prinsip-Prinsip Kehutanan : Prinsip – prinsip yang telah
mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan.
Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya hutan global secara berkelanjutan yang bermakna ekonomi dan
keselamatan berbagai jenis biotanya.Prinsip-prinsip ini seharusnya mewakili
konsesi pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari
berbagai jenis hutan.Prinsip tentang hutan ini mencakup tentang semua jenis
hutan, yaitu hutan boreal, hutan iklim, hutan tropic dan hutan austral. Dalam
prinsip ini diakui fungsi ganda hutan yaitu untuk memenuhi kebutuhan sosial
ekonomi, ekologi, cultural dan spiritual generasi akan datang. Dengan
demikian diakui hak setiap negara untuk menggunakan hutan sebagai sumber
daya untuk pembangunan. Namun pembangunan harus dilakukan dengan
berkelanjutan dengan mengingat kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam
prinsip ini hutan diakui perlunya alih teknologi dengan persyaratan yang
menguntungkan. Prinsip lain adalah perlunya dikembangkan ekonomi dan
perdagangan internasional yang terbuka dan dilarangnya tindakan unilateral
dengan dalih lingkungan. Berdasarkan prinsip ini tidaklah dibenarkan untuk
hanya memperhatikan hutan tropic saja, baik yang berkaitan dengan
pemanasan global maupun kepunahan jenis, melainkan haruslah semua hutan (
Soemarwoto, Otto, 2004 ).
5. Agenda 21
Agenda 21 atau Komisi Pembangunan Berkelanjutan/Commission on
Sustanable Development ( CSD ) : Komisi ini di bentuk pada bulan Desember
1992. Tujuan CSD adalah untuk memastikan keefektifan tindak lanjut KTT
Bumi.Mengawasi serta melaporkan pelaksanaan kesepakatan Konferensi
Bumi baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. CSD adalah
komisi Fungsional Dewan Ekonomi dan Sosial PBB/ Economic and Social
Commssion(ECOSOC) yang beranggotakan 53 negara. Agenda 21, sebuah
rancangan tentang cara mengupayakan pembangunan yang berkelanjutan dari
segi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Telah disepakati bahwa tinjauan
lima tahunan majelis Umum PBB tentang Konferensi Bumi dan Agenda 21
harus dibuat pada bulan Juni 1997, dalam sidang istimewa rapat Earth Summit
+ 5, atau Rio + 5 di New York.
Salah satu hasil KTT Bumi lainnya adalah Agenda 21, yang merupakan
sebuah program luas mengenai gerakan yang mengupayakan cara-cara baru
dalam
berinvestasi
di
masa
depan
untuk
mencapai
pembangunan
berkelanjutan di abad 21. Rekomendasi – rekomendasi Agenda 21 ini meliputi
cara – cara baru dalam mendidik, memelihara sumberdaya alam, dan
berpartisipasi untuk merancang sebuah ekonomi yang berkelanjutan. Tujuan
keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk menciptakan keselamatan, keamanan
dan hidup yang bermartabat. Agenda 21 merupakan “action plan “ di abad 21,
yang walaupun tidak mengikat secara resmi, tetapi memberi arah strategi dan
integritas program pembangunan dengan penyelamatan kualitas lingkungan.
Agenda 21 ini disepakati untuk disusun oleh dan untuk masing-masing negara
peserta.
Pokok – pokok cakupan Agenda 21 yang merupakan program aksi
pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut :
a). Social and Economic Dimension yang meliputi : (1) Kerjasama
internasional
untuk
mempercepat
pembangunan
berkelanjutan
negara
berkembang serta kebijakan domestiknya. (2) Memerangi kemiskinan. (3)
Merubah pola konsumsi. (4) Dinamika demografi dan sustainibilitasi. (5)
Proteksi dan peningkatan kesehatan manusia. (6) Promosi pembangunan
pemukiman
manusia
berkelanjutan.
(7)
Integrasi
lingkungan
dan
pembangunan dalam pengambilan keputusan.
b). Conservation and Manajement of Resources for Development
meliputi : (8) Proteksi atmosfer. (9)
yang
Pendekatan terintegrasi dealam
perencanaan dan manajemen sumber daya lahan. (10) Memerangi deforestasi.
(11) Pengelolaan ekosistem yang rawan, memerangi desertifikasi dan
kekeringan.
(12)
Pengelolaan
ekosistem
yang
rawan,
pembangunan
pegunungan
berkelanjutan.
(13)
Mempromosikan
pertanian
yang
berkelanjutan dan pembangunan pedesaan. (14) Konservasi keanekaragaman
hayati. (15) Pengelolaan bioteknologi berwawasan lingkungan. (16)Proteksi
samudera, keanekaragaman kelautan, termasuk lautan dan semi tertutup,
kawasan pesisir serta proteksi dan penngunaan secara rasional berikut
pengembangan sumber alam hayati. (17) Proteksi kualitas dan supply air. (18)
Pengelolaan kimia toksik dan bahaya. (19) Pengelolaan limbah beracun
dengan wawasan lingkungan, termasuk pencegahan llintas internasional secara
illegal dalam limbah beracun dan berbahaya. (20) Pengelolaan limbah padat
dan limbah cair berwawasan lingkungan. (21) Pengelolaan yang aman dan
berwawasan lingkungan dari limbah radio aktif.
c). Strengthening the Role of major Group yang meliputi : (22) Aksi global
bagi perempuan mengembangkan oembangunan yang berkelanjutan dan
berkeadilan. (23) Anak dan Pemuda dalam pembangunan berkelanjutan. (24)
Mengakui dan memberdayakan peranan organisasi non-pemerintah, mitra
dalam pembangunan berkelanjutan. (26) Prakarsa otoritas lokal menunjang
Agenda 21. (27) Memberdayakan peranan buruh serta serikat buruhnya. (28)
Memberdayakan peranan bisnis dan industry. (29) Komunitas ilmuwan dan
teknologi. (30) Memberdayakan peranan petani.
d). Means Of Implementation yang meliputi : (31) Sumber keuangan dan
mekanismenya. (32) Pengalihan teknologi berwawasan lingkungan, kerjasama
serta pengembangan kapasitas. (33) Ilmu pengetahuan bagi pembangunan
berkelanjutan. (34) Mempromosikan pendidikan, kesadaran public dan latihan.
(35) Mekanisme nasional dan kerja sama internasional untuk mengembangkan
kapasitas
dalam
negara
berkembang.
(36)
Pengaturan
kelembagaan
internasional, instrumental hukum dan mekanisme internasional. (37)
Informasi bagi pengambilan keputusan.
Pencapaian utama konferensi yang diadakan di Rio de Janeiro, adalah
Konvensi Kerja PBB untuk Perubahan Iklim: United Nations Framework
Convention on Climate Change(UNFCCC). Konvensi ini menjadi dasar
pembahasan perubahan iklim ke depan dan menjadi dasar penyusunan Protokol
Kyoto. Protokol yang merupakan tindak lanjut dari Konvensi Perubahan Iklim ini
merupakan rezim global pertama yang menjadikan pemanasan global sebagai isi
utamanya.Tujuan dari protocol ini adalah membatasi emisi karbon tiap-tiap negara
yang masuk dalam daftar negara Annex 1. Negara – negara ini setidaknya harus
mengurangi emisi karbonnya sampai 5 persen dari emisi tahun 1990 . Protokol ini
mulai dibuka penandatanganannya di Kyoto, Jepang, pada 11 Desember 1997 dan
dinyatakan berlaku mulai 16 Februari 2005. Namun sayang protocol ini dinilai
tidak efektif karena mundurnya beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan
Australia dan kemunculan negara industri baru, seperti China dan India, yang
tidak masuk dalam daftar negara Annex 1.
Bahan bakar fosil seperti minyak, batu bara dan gas sebagai penyumbang
terbesar polusi planet bumi sekaligus menyebabkan pemanasan global.
Karbondioksida yang merupakan gas buangan dari pembakaran bahan bakar fosil
menyumbang 75 persen penyebab pemanasan global.Efek gas rumah kaca itu
memicu perubahan iklim, badai, banjir dan meningkatnya ketinggian permukaan
laut.Sejumlah negara telah menandatangani Protokol Kyoto, kecuali Amerika
Serikat yang memilih untuk menolak fakta itu.Washington mempunyai argument
bahwa Protokol Kyoto terlalu mahal ongkosnya dan secara tidak langsung
menghindarkan Cina dan India sebagai penyumbang polusi harena percepatan
pembangunannya. Menurut Presiden Afsel, Cina dan AS sama-sama sebagai
pengkonsumsi energy terbanyak di dunia. Diprediksikan konsumsi minyak Cina
malonjak hingga 80 juta barel per hari atau 6 juta barel lebih banyak ketimbang
produksi minyak dunia yang Cuma 74 juta barel.
Pada tahun 1994 Dewan Bumi (Earth Council ) dibentuk atas inisiatif
Maurice Strong, Sekretaris Jenderal Konferensi Rio dan Mikhail Gorbachev
Presiden Green Cross International. Hal ini merupakan kelanjutan atau produk
KTT Bumi di Rio tahun 1992 untuk memprakarsai perumusan kembali makna
konservasi lingkungan. Di samping itu juga untuk merumuskan kembali
sustainable development serta berupaya mambangun kesadaran bersama tentang
makna kehidupan di Bumi ini. Komisi Piagam Bumi yang dibentuk tahun 1997,
telah merumuskan etika ekologi sebagai landasan pembangunan berkelanjutan
dalam sebuah Piagam Bumi (Earth Charter ). Pada tahun 2000 piagam ini
dideklarasikan dan disebarluaskan ke berbagai penjuru Dunia.
Indonesia dengan beraneka ragam budaya dan latar belakang lingkungan
yang berbeda, menurut Piagam Bumi perlu menerima kenyataan bahwa kita
adalah bagian dari “keluarga manusia” dari “masyarakat bumi” yang mempunyai
tujuan (destiny ) yang sama. Dalam Komisi Piagam Bumi ini duduk sebagai wakil
Indonesia adalah Ir. Erna Witular Msi, sedang di Kepedulian dan Etika
Lingkungan (LENTING) yang dipimpin oleh Dr. Sony Keraf, salah seorang
mantan Menteri Lingkungan Hidup.
Pada tahun 2002 diselenggarakan konferensi Puncak Rio+10 di
Johannesburg yang dihadiri oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri.Untuk
kesekian kali yang diperbincangkan adalah konsep dan pelaksanaan sustainable
development yang dinilai belum berhasil baik untuk membebaskan kemiskinan
dan keterbelakangan, ketimpangan dalam ketenagakerjaan, kinerja yang belum
cukup produktif, dan kesetaraan antara konsumsi dasar dengan tingkat
produktivitas yang mendukungnya.Hal ini belum cukup terlaksana karena belum
terbina kelembagaan yang mendukung dan dinikmati hasilnya oleh seluruh
anggota masyarakat Bumi.
2.3 Hasil Konferensi Dalam Pelaksanaannya di Indonesia
Indonesia pada prinsipnya terbuka untuk kemitraan global dengan negara
maju yang antara lain terkait dengan konsep alih teknologi drngan tetap
memperhatikan pengembangan teknologi yang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Isu lingkungan kemudian makin bergulir dan melahirkan kesepakatankesepakatan,
kerjasama bilateral, regional, multilateral. Sampai pada isu
pemanasan global yang sudah dianggap pada taraf serius mengancam kondisi
bumi.Protokol Kyoto 1997 yang disepakati 159 negara dimaksud untuk menahan
pemanasan global melalui pengurangan konsumsi bahan bakar minyak bumi atau
energy yang berasal dari fosil.
Dengan adanya KTT Bumi, Pemerintah Indonesia dengan cepat telah
menyusun suatu rancangan guna memenuhi persyaratan umum dari peinsipprinsip perjanjian lingkungan serta tujuan umum dari KTT Bumi dalam
melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Indonesia dalam dokumen Agenda
21 nasional diselesaikan akhir tahun 1996, dokumen itu dicapai lewat proyek yang
dibiayai oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan dilaksanakan
oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, proyek ini diberi nama Post
UNCED Planning and Capacity Building Activities Project, dan produk utama
dari proyek ini adalah dokumen Agenda 21 Indonesia. Pada bulan-bulan awal,
pelaksanaan proyek Agenda 21-Indonesia difokuskan pada penetapan lingkup dan
tujuan proyek yang mencerminkan isu penting serta perubahan yang terjadi sejak
KTT Bumi pada 1992 serta arah pembangunan di masa mendatang.
Identifikasi isu penting tentang pembangunan dan lingkungan dilakukan
melalui survai ke-27 propinsi di Indonesia dengan mewancarai semua pihak
terkait.Dengan menggunakan metode Analisis Hirarki Proses (AHP), data survai
diolah yang kemudian disebarkan kepada konsultan penyusunan Agenda 21
sebagai bahan masukan.Dengan bantuan badan-badan PBB lainnya, jumlah
konsultan penyusun Agenda 21-Indonesia menjadi 22 konsultan nasional yang
terlibat dalam proyek ini.Konsultan penyusun Agenda-21 dibagi ke dalam 18
prioritas bidang dan mengorganisasi kelompok kerja yang terdiri dari berbagai
pihak terkait. Dalam kelompok kerja ini peserta terdiri dari wakil berbagai
lembaga, antara lain pegawai pemerintah, ORNOP, Akademisi, dan wakil
masyarakat umum. Laporan yang dihasilkan dibahas antar anggota kelompok
guna memperoleh suatu kesepakatan tentang prioritas program, tujuan, kegiatan
yang duisulkan, serta sarana pelaksanaannya. Para konsultan dibantu oleh empat
coordinator dengan pembagian sebagai berikut : (1) Pelayanan Masyarakat; (2)
Pengelolaan Limbah; (3) Pengelolaan Sumber Daya Lahan; dan (4) Pengelolaan
Sumber Daya Alam.
Dalam rangka memperoleh hasil yang optimal, pendekatan broadbasedparticipation dilakukan melalui berbagai seminar dan lokakarya yang melibatkan
para pakar di bidang pembangunan dan lingkungan baik dari kalangan pemerintah
( Bappenas, Departemen Teknik, dll), maupun dari kalangan bisnis, dan
masyarakat luas lainnya. Konsultan aktif secara terus menerus dilakukan dengan
lembaga pemerintah dan non-pemerintah serta dengan Kepala Biro Perencanaan
Departemen terkait sedemikian rupa sehingga publikasi awal Agenda 21Indonesia dapat diterbitkan.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan, maka integrasi pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan
merupakan syarat yang harus dianut oleh semua sektor pembangunan
terkait.Kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan ini adalah dilaksanakannya
kemitraan nasional oleh seluruh sector yang berkaitan dengan pembangunan dan
lingkungan, yang merupakan inti dari tujuan baik Agenda 21 Global maupun
Agenda 21-Indonesia. Agenda 21-Indonesia memberikan serangkaian pandangan
dan inspirasi yang dapat dimasukkan ke dalam proses perencanaan pada setiap
tingkatan pembangunan di Indonesia, sedemikian rupa sehingga lembaga-lembaga
pemerintah, swasta dan masyarakat luas lainnya dapat memanfaatkan dokumen ini
sebagai referensi bagi penyusunan perencanaan dan program-program jangka
pendek dan panjang dalam menghadapi pasar bebas di masa mendatang dan
dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang diidam-idamkan. Agenda
21-Indonesia juga memberikan seperangkat saran dan rekomendasi bagi kegiatankegiatan dan strategi pelaksanaannya untuk penyusunan GBHN, Repelita VII dan
berikutnya. Dokumen ini secara komprehensif dan rinci mengungkapkan kaitan
antara pembangunan ekonomi dan sosial, serta perlindungan terhadap lingkungan
dan sumber daya alam, serta memberikan “paradigma baru” bagi pencapaian
pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Sebagai kesimpulan, Agenda 21-Indonesia dapat dijadikan sebagai suatu
advisory document yang mencakup aspek kebijakan, pengembangan program dan
strategi yang meliputi hampir seluruh perencanaan pembangunan bidang sosial,
ekonomi dan lingkungan.Dokumen berisi rekomendasi untuk pembangunan
berkelanjutan sampai tahun 2020 untuk setiap sektor pembangunan, termasuk
pelayanan masyarakat dan partisipasi masyarakat.
Cakupan Agenda 21 Nasional yang dikembangkan di Indonesia adalah :
1. Pelayanan Masyarakat : (1) Pengentasan kemiskinan; (2) Perubahan pola
konsumsi; (3) Dinamika penelitian; (4) Pengelolaan dan peningkatan
kesehatan; (5) Pembangunan perumahan dan pemukiman; (6) Instrumen
Ekonomi serta neraca ekonomi dan lingkungan terpadu.
2. Pengelolaan Limbah : (7) Perlindungan Atmosfer; (8) Pengelolaan Limbah
Bahan Beracun dan Berbahaya ; (9) Pengelolaan bahan kimia beracun;
(10) Pengelolaan limbah radioaktif; (11) Pengelolaan limnah padat dan
cair.
3. Pengelolaan Sumber Daya Tanah : (12) Penataan sumber daya tanah; (13)
Pengelolaan hutan; (14) Pengembangan pertanian; (15) Pengembangan
pedesaan; (16) Pengelolaan sumber daya air.
4. Pengelolaan Sumber Daya Alam : (17) Konservasi keanekaragaman
hayati; (18) Pengembangan bioteknologi; (19) Pengelolaan terpadu
wilayah pesisir dan lautan.
Dalam masalah pengentasan kemiskinan yang masih menjadi isu sentral di
Indonesia, meskipun kemiskinan pernah menurun pada kurun waktu 1976 – 1996,
dari 40,1% menjadi 11,3%, dari total jumlah penduduk Indonesia. Jumlah orang
miskin kembali meningkat pada periode 1996 – 1999, akibat dari krisis
multidimensial yang menerpa Indonesia. Jumlah penduduk miskin pada periode
1996 – 1998 meningkat tajam dari 22,5 juta jiwa ( 11,3% ) menjadi 49,5 juta jiwa
( 24,2% ), atau bertambah sebanyak 27 juta jiwa ( BPS,1999 dalam Huraera, Abu,
2007 ).
Hasil pendataan BPS pada tahun 2004, penduduk miskin di Indonesia
sebanyak 36,1 juta jiwa atau setara dengan 9 juta rumah tangga miskin. BPS
memperkirakan rumah tangga miskin secara nasional pada tahun 2005 mencapai
15,5 juta rumah tangga miskin, atau sama dengan 62 juta jiwa penduduk miskin (
17 September 2005 ).
Dalam upaya mengatasi kemiskinan tersebut maka telah dilakukan
berbagai program, misalnya, program Inpres Desa Tertinggal ( IDT ), No.5/1993,
tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Pada saat terjadinya krisi
ekonomi yang kemudian berlanjut menjadi krisis multidimensional, diluncurkan
Program Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE), yang
kemudian dilanjutkan dengan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (
P2KP ).
Dalam UU No. 5 tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations
Convention On Biological Diversity ( Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Keaneka ragaman Hayati ) dijelaskan bahwa dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menggariskan agar Pemerintah Negara
Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang – Undang Dasar 1945 menggariskan
bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat “,
selain itu juga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor II/MPR/1993 tentang Garis – Garis Besar Haluan Negara, khususnya
tentang Lingkungan Hidup dan Hubungan Luar Negeri, antara lain menegaskan
sebagai berikut :
1. Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari
ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan seluruh makhluk
hidup di muka bumi diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi
lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis
dengan perkembangan kependudukan agar dapat menjamin pembangunan
nasional yang berkelanjutan. Pembangunan lingkungan hidup bertujuan
meningkatkan
mutu,
memanfaatkan
sumber
daya
alam
secara
berkelanjutan, merehabilitasi kerusakan lingkungan, mengendalikan
pencemaran, dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
2. Sumber daya alam di darat, di laut maupun di udara , dikelola dan
dimanfaatkan dengan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
agar dapat mengembangkan daya dukung dan daya tamping lingkungan
yang
memadai
untuk
memberikan
manfaat
bagi
sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik bagi generasi masa kini maupun bagi generasi
masa depan. Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peranan
lingkungan hidup dalam kehidupan manusia terus ditumbuhkembangkan
melalui penerangan dan pendidikan dalam dan luar sekolah, pemberian
rangsangan, penegakan hukum, dan disertai dengan dorongan peran aktif
masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam setiap
kegiatan ekonomi sosial.
3. Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta
keunikan alam terus ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman
plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem. Penelitian dan pengembangan
potensi manfaat hutan bagi kepentingan kesejahteraan bangsa, terutama
bagi pengembangan pertanian, industry, dan kesehatan terus ditingkatkan.
Inventarisasi, pemantauan dan perhitungan nilai sumber daya alam dan
lingkungan hidup terus dikembangkan untuk menjaga keberlanjutan
pemanfaatannya.
4. Kerja sama regional dan internasional mengenai pemeliharaan dan
perlindungan lingkungan hidup, dan peran serta dalam pengembangan
kebijaksanaan internasional serta kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tentang lingkungan perlu terus ditingkatkan bagi kepentingan
pembangunan berkelanjutan.
5. Hubungan luar negeri merupakan kegiatan antar bangsa baik regional
maupun global melalui berbagai forum bilateral dan multilateral yang
diabadikan pada kepentingan basional, dilandasi prinsip politik luar negeri
bebas aktif dan diarahkan untuk turut mewujudkan tatanan dunia baru
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial serta
ditujukan untuk lebih meningkatkan kerjasama internasional, dengan lebih
memantapkan dan meningkatkan peranan Gerakan Nonblok.
6. Peranan Indonesia di dunia internasional dalam membina dan mempererat
persahabatan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara bangsabangsa terus diperluas dan ditingkatkan. Perjuangan bangsa Indonesia di
dunia internasional yang menyangkut kepentingan nasional, seperti upaya
lebih memantapkan dasar pemikiran kenusantaraan, memerlukan ekspor
dan penanaman modal dari luar negeri serta kerja sama ilmu pengetahuan
dan teknologi, perlu terus ditingkatkan.
7. Langkah bersama antar negara berkembang untuk
mempercepat
terwujudnya perjanjian perdagangan internasional dan meniadakan
hambatan serta pembatasan yang dilakukan oleh negara industry terhadap
eksport negara berkembang, dan untuk meningkatkan kerjasdama teknik
antar negara berkembang, terus dilanjutkan dalam rangka mewujudkan
tata ekonomi serta tata informasi dan komunikasi dunia baru.
Peranan aktif pemerintah RI disesuiakan dengan amanat yang digariskan
baik GBHN maupun program yang digariskan pemerintah dalam kaitannya
dengan pelaksanaan pembangunan nasional melalui pengelolaan sumber daya
alam dan pemeliharaan daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi. Pengakuan masyarakat
internasional kepada Indonesia menjadi ketua Preparatory Committee WSSD
(World Summit on Sustainable Development ) dan menjadi tuan rumah sidang
persiapan terakhir pada tingkat Menteri WSSD membuka kesempatan sebesarbesarnya bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memperoleh manfaat
sebesar-besarnya dari pelaksanaan WSSD. Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang yang mengeluarkan Agenda 21- In donesia mengenai strategi
pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal dan nasional pada tahun 1997 serta
memiliki Agenda 21 Sektoral yang dapat dijadikan dasar di dalam meningkatkan
pelaksanaan agenda pembangunan berkelanjutan. Indonesia meratifikasi seluruh
konvensi hasil UNCED 1992 ( UNFCCC, UNCBD, dan UNCCD ) dan memiliki
perangkat normative penunjang pelaksanaan agenda pembangunan berkelanjutan
seperti Undang-Undang Lingkungan Hidup serta beberapa ketentuan dalam
bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan
Keputusan Menteri.
Sebelum tahun 1982 peraturan hukum mengenai lingkungan tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Masing-masing peraturan
perundang-undangan tersebut berdiri sendiri, tidak ada ikatan antara satu dengan
yang lainnya sehingga efektifitasnya sudah banyak yang berkurang (
Abdurachman, 1983). Karena itu dibutuhkan peraturan perundangan lingkungan
yang menyeluruh, integral dan komprehensif. Keinginan tersebut terwujud pada
tanggal 11 Maret tahun 1982 yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UULH) oleh Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang ini menjadi landasan
hukum seluruh kebijakan dan penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia selama 15 tahun yaitu dari tahun 1982 sampai tahun 1997. Pada tanggal
19 eptember 1997 Presiden Republik Indonesia telah mensahkan berlakunya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH) sebagai pengganti UULH.
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Topik yang diangkat
dalam KTT Bumi Rio de Janeiro adalah
permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, penggunaan dan
pengelolaan sumber daya air dan lautan, meluasnya
penggundulan hutan,
penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta berkurangnya
keanekaragaman hayati.
Dalam KTT Rio de Janeiro, dihasilkan lima dokumen meliputi : (a)
Deklarasi Rio juga dikenal dengan “Earth Chapter” (b)Pernyataan Prinsip-Prinsip
Kehutanan (c) Konvensi tentang perubahan iklim (d) Konvensi Keanekaragaman
Hayati (e) Agenda-21 merupakan “action plan” yaitu merupakan aksi
pembangunan bewrkelanjutan. Untuk mengawasi dan melaporkan pelaksanaan
keefektifan tindak lanjut dari KTT Bumi maka dibentuklah Komisi Pembangunan
Berkelanjutan /Commission on Sustainable Development (CSD) pada bulan
Desember 1997.
Agenda-21 di tingkat nasional diselesaikan tahun 1996, dokumen itu
dicapai lewat proyek yang dibiayai oleh UNDP dan dilaksanakan oleh Kantor
Menteri Nergara Lingkungan Hidup. Cakupan Agenda 21-Nasional meliputi :
1. Pelayanan Masyarakat : (1) Pengentasan Kemiskinan; (2) Perubahan Pola
Konsumsi ; (3) Dinamika Penelitian ; (4) Pengelolaan dan Peningkatan
Kesehatan; (5) Pengembangan perumahan dan pemukiman; (6) Instrumen
Ekonomi serta neraca ekonomi dan lingkungan terpadu.
2. Pengelolaan Limbah : (7) Perlindungan Atmosfer ; (8) Pwengelolaan limbah
bahan beracun dan berbahaya ; (9) Pengelolaan bahan kimia beracun ; (10)
Pengelolaan limbah radioaktif ; (11) Pengelolaan limbah padat dan cair.
3. Pengelolaan sumber daya tanah : (12) Penataan Sumber daya tanah ; (13)
Pengelolaan hutan ; (14) Pengembangan Pertanian ; (15) Pengembangan
Pedesaan ; (16) Pengelolaan sumber daya air.
4. Pengelolaan Sumber Daya Alam : (17) Konservasi keaneka ragaman hayati ;
(18) Pengembangan Bioteknologi; (19) Pengelolaan terpadu wilayah pesisir
dan lautan.
5. Agenda 21-Indonesia dapat dijadikan sebagai suatu “advisory document”
yang mencakup aspek kebijakan, pengembangan program dan strategi yang
meliputi hampir seluruh perencanaan pembangunan bidang sosial, ekonomi
dan lingkungan. Dokumen berisi rekomendasi untuk pembangunan
berkelanjutan sampai tahun 2020 untuk setiap sector pembangunan,
termasuk pelayanan masyarakat dan partisipasi masyarakat.
6. Indonesia meratifikasi seluruh konvensi hasil UNCED 1992 dan memiliki
perangkat pelaksanaan agenda pembangunan berkelanjutan seperti UndangUndang Lingkungan Hidup serta beberapa ketentuan dalam bentuk UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri.
3.2 Saran
Sebagai akhir dari penulisan makalah tentang Rio de Janeiro ini adalah
sebuah harapan dan tantangan akan kesadaran bagi kita semua sebagai
manusia khususnya, dan sebagai masyarakat Indonesia maupun dunia pada
umumnya, dalam melihat dan berpartisipasi aktif keikutsertaannya menjaga
dan memelihara lingkungan hidup, demi untuk keberlanjutan bumi yang kita
tempati.
DAFTAR PUSTAKA
http://pin-impala.brawijaya.ac.id//earth summit.htm
Koesnadi Hardjosoemantri , 2006, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
Mitchel Bruce, Setiawan, Dwita, 2007, Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Supriadi, 2008 , Hukum Lingkungan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Soerjani, Arief, Dedi, 2006, Lingkungan Hidup Pendidikan, Pengelolaan
Lingkungan Dan Pembangunan Berkelanjutan, Yayasan ainstitut Pendidikan Dan
Pengembangan Lingkungan (IPPL), Jakarta.
Soemarwoto, Otto, 2008, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan,
Djambatan, Jakarta.
Download