Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 1, Nomor 1, Februari 2014 Model Manajemen Konflik dalam Pengelolaan Kebun Binatang Surabaya Moh. Afif1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga Abstract Nowadays, the internal conflict which occurred in Surabaya Zoo has already turned into the external conflict and has involved many parties. Up to now, this conflict is still ongoing and it gives bad effects to the management and also the image of Surabaya Zoo itself. However, Surabaya Zoo has been showing the better condition since it is taken over by the local government and managed by the regional company of Wildlife park “KBS”. The result of this study is that the background of the conflict which occurs in Surabaya Zoo is the concerns of the actor that involve in the conflict, such as the economic and political motive. Generally, that conflict gives the dysfunctional impact. Because of that on going conflict, the permit of KBS conservation institution is revoked by the ministry of forestry, so KBS can not implement the policies crucially yet. While for the resolution of the conflict, the parties that involve in this conflict tend to use the competition model (win and lose solution), where self-regulation style is applied in its process, as well as the intervention of the third-party through the courts and the legislative approaches. Key words: Conflicts, Conflict Management, Surabaya Zoo Pendahuluan Keberadaan konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindarkan, dengan kata lain bahwa konflik selalu hadir dan tidak dapat dielakkan. Istilah konflik memiliki berbagai pengertian, setiap ahli mengemukakan definisi yang berbeda. Akan tetapi dari beberapa pendapat tentang konflik terdapat dua hal yang esensial, yaitu: (1) adanya perbedaan, (2) ketidaksesuaian. Perbedaan-perbedaan dan ketidaksesuaian dapat terjadi karena adanya perbedaan pandangan, hasrat (keinginan, persepsi, nilai, maupun tujuan, baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. konflik dapat didefinisikan sebagai suatu interaksi yang dimanifestasikan dalam ketidakcocokan pendapat atau adanya perbedaan sesuatu diantara dua kesatuan sosial yang terdiri dari individu-individu, kelompok atau organisasi (Hanson 1991 dalam Pasolong 2008:172). Konflik dalam konteks kebijakan, penerapan sebuah kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah memiliki dimensi yang sangat kompleks. Pengalaman menunjukan bahwa penerapan kebijakan cenderung melibatkan berbagai aktor yang memiliki kepentingan dengan target group atau penerima keputusan. Karenanya tidak mudah menerapkan kebijakan yang sarat dengan kepentingan. Ada konflik yang potensial yang mengemuka dari serangkaian tindakan para aktor pelaksana bila kepentingan itu tidak tercapai. Sebaliknya kebijakan yang memiliki derajat kepentingan yang rendah oleh masing-masing aktor lebih mudah untuk diterapkan. Parson (2005:247) mendefenisikan pengambilan kebijakan (decision making) berada di antara perumusan kebijakan dan implementasi, akan tetapi kedua hal tersebut saling terkait satu sama lain. Implementasi tahap awal akan mempengaruhi tahap pembuatan kebijakan selanjutnya yang pada gilirannya akan mempengaruhi implementasi berikutnya. Lebih lanjut Parson mendefenisikan pembuatan kebijakan sebagi proses penentuan pilihan atau pemilihan opsiopsi, maka gagasan tentang kebijakan akan menyangkut satu poin atau serangkaian poin dalam ruang dan waktu ketika pembuat kebijakan mengalokasikan nilai-nilai (values). Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa setiap kebijakan itu bertolak dari beberapa kemungkinan atau alternatif untuk dipilih. Setiap alternatif membawa konsekuensikonsekuensi. Apabila memperhatikan konsekuensikonsekuensi yang muncul sebagai akibat dari suatu kebijakan, hampir dapat dikatakan bahwa tidak akan ada satu pun kebijakan yang akan menyenangkan setiap orang. Satu kebijakan hanya bisa memuaskan sekelompok atau sebagian besar orang. Selalu ada saja kelompok atau pihak yang merasa dirugikan dengan kebijakan itu, sehingga ini akan menimbulkan konflik dalam implementasinya. Ini berarti sejumlah alternatif itu berbeda satu dengan yang lain mengingat perbedaan dari konsekuensi-konsekuensi yang akan ditimbulkannya. Pilihan yang dijatuhkan pada alternatif itu harus dapat memberikan kepuasan karena kepuasan merupakan salah satu aspek paling penting dalam kebijakan. Terjadinya konflik dalam organisasi atau birokrasi tidak terjadi secara otomatis, tetapi disebabkan oleh berbagai jenis kondisi yang terdapat dalam organisasi sebagai sumber konflik. Kondisikondisi ini merupakan suatu kondisi yang didalamnya berisi rangkaian kemungkinan yang menjadi kondisi 1 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 1, Nomor 1, Februari 2014 pemula (antecedent conditions) terjadinya konflik. Berbagai kemungkinan tersebut yaitu: (1) ketidakpuasan, (2) adanya tujuan dan berbagai sistem nilai yang berbeda-beda, (3) berbagai hambatan komunikasi, (4) manusia dan perilakunya, (5) struktur organisasi dan tugas pokok dan fungsi. Sumber-sumber konflik organisasi akan sangat bervariasi, hal ini sangat tergantung dari karakteristik internal dan eksternal organisasi (Wahjosumidjo 1987 dalam Pasolong 2008:173). Tindakan penanganan yang cepat dan tepat oleh pemimpin sangat dibutuhkan mengingat keberadaan dan pengaruh konflik dalam organisasi, agar tidak mengganggu atau berpengaruh lebih jauh terhadap kinerja yang dimiliki pegawai. Tindakan yang mengarah pada tindakan-tindakan efektif dan efisien yang perlu diambil oleh seorang pimpinan untuk menyelesaikan konflik sebelum mempengaruhi produktivitas organisasi. Pengambilan tindakan ini disebut manajemen konflik. Di Indonesia masalah manajemen konflik umum terjadi di organisasi publik maupun organisasi privat. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap kelancaran pengelolaan organisasi, sehingga produktivitas organisasipun akan menurun jika tidak di tangani dengan benar. Salah satu masalah manajemen konflik yang akan dicermati peneliti, yaitu di Kebun Binatang Surabaya. Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 19 Tahun 2012 menyatakan bahwa Kebun Binatang Surabaya yang berdiri sejak tahun 1916 merupakan wahana konservasi tumbuhan maupun satwa, sarana pendidikan, penelitian dan rekreasi serta sebagai salah satu icon Kota Surabaya, sehingga keberadaan Kebun Binatang Surabaya perlu dipertahankan dan dijaga kelestariannya serta dikelola secara profesional. Untuk itu, agar pengelolaan Kebun Binatang Surabaya dapat dilakukan secara profesional, maka sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2007, perlu dibentuk Badan Usaha Milik Daerah yang khusus mengelolanya. Beberapa hal yang diharapkan dari Perda tersebut, yaitu Badan Usaha yang mengelola Kebun Binatang Surabaya (KBS), dapat menjalankan fungsi utama KBS yaitu sebagai wahana konservasi tumbuhan maupun satwa, dan sebagai taman satwa yang meliputi sarana pendidikan, penelitian dan rekreasi. Di mana dalam Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 19 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 5-7, menyatakan bahwa: 1. Taman Satwa adalah Kebun Binatang yang melakukan upaya perawatan dan pengembangbiakan terhadap jenis satwa yang dipelihara berdasarkan etika dan kaidah kesejahteraan satwa sebagai sarana perlindungn dan pelestarian jenis dan dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan 2 dan teknologi, serta sarana rekreasi yang sehat. 2. Konservasi adalah upaya pelestarian lingkungan, dengan tetap memperhatikan manfaat yang dapat di peroleh pada saat itu tetapi tetap mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatan masa depan. 3. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ) yang berfungsi untuk pengembangbiakan dan/atau penyelamatan tumbuhan dan/atau satwa dengan tetap menjaga kemurnian jenis guna menjamin kelestarian keberadaan dan pemanfatannya. Akan tetapi, konflik kepengurusan yang di alami KBS menyebabkan KBS dianggap banyak pihak tidak mampu lagi berjalan sesuai dengan fungsinya. Hal itu dikarenakan banyaknya kasus hewan yang mati, kandang satwa yang tidak terawat, menurunnya jumlah pengunjung, hingga kasus kepegawaian yaitu pemecatan karyawan. Konflik di Kebun Binatang Surabaya(KBS) telah berkembang dari konflik internal antar pengurus yayasan KBS yaitu kubu Stany Soebakir dan kubu Basuki Rekso Wibowo, yang akhirnya menimbulkan perpecahan antara dua kubu menjadi konflik terbuka diruang publik ketika masyarakat Surabaya mulai bereaksi atas ketidakberesan di dalam KBS, serta adanya intervensi pemerintah pusat melalui Kementrian Kehutanan dan BKSDA yang mencabut ijin konservasi KBS karena konflik yang tidak kunjung selesai, dan keinginan dari Pemkot Surabaya sendiri untuk mengelola KBS serta menjadikannya bentuk BUMD. Akibat dari konflik–konflik yang tak kunjung selesai, kemungkinan dampak yang ditimbulkan yaitu citra yang kemudian timbul di masyarakat ialah bahwa KBS sudah tidak bagus lagi dan tidak terurus. Mulai dari kepengurusan yang tidak jelas hingga hewanhewan yang mati, maupun kondisi kandang satwa yang kurang layak huni. Sehingga hal tersebut di khawatirkan akan menurunkan minat masyarakat untuk mengunjungi KBS. Untuk dapat menganalisis tingkat minat masayarakat terhadap wisata KBS, bisa dilihat dari jumlah pengunjung di KBS. Berikut ini peneliti memberikan sajian data pengunjung tahunan, dari tahun 2008-2012. Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 1, Nomor 1, Februari 2014 Tabel I Jumlah Pengunjung di Kebun Binatang Surabaya tahun 2008 - 2012 Jumlah Persentase Tahun naik/turun jumlah Pengunjung pengunjung per tahun. 2008 1.322.614 - 2009 1.586.483 + 19,95% 2010 1.282.694 - 19,15% 2011 1.105.223 - 13,84% 2012 924.595 - 16,34% Sumber : Kebun Binatang Surabaya 2013 Dilihat dari tabel I. pada tahun 2008 pengunjung KBS sekitar 1.322.614 mengalami kenaikan pada tahun 2009 sebesar 19,95%. Akan tetapi pada kurun waktu 3 tahun terakhir (tahun 2010-2012), pengunjung KBS terus menurun dimana pada tahun 2010 yang mengalami penurunan pengunjung tertinggi di antara 5 tahun tersebut yaitu turun mencapai 19,15% dari total pengunjung tahun 2009 sebesar 1.586.483 menjadi 1.282.694 pengunjung ditahun 2010, dimana antara tahun 2009-2010 merupakan puncak konflik KBS, hingga akhirnya KBS mulai dikelola Tim Manajemen Sementara yang mulai diserahi wewenang secara resmi oleh kemenhut pada tanggal 20 Agustus 2010. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah tentang sumber konflik dan bagaimana dampak konflik terhadap pengelolaan Kebun Binatang Surabaya, serta bagaimana manajemen konflik yang digunakan pihak-pihak yang terlibat konflik. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan sumber dan dampak konflik serta resolusi dari konflik tersebut. Studi terdahulu telah dilakukan oleh Haryo Arditya Ambarala pada tahun 2012 dengan judul “Dinamika Konflik Kepengurusan Kebun Binatang Surabaya Di Kota Surabaya (Studi Konflik Simon Fisher Pada Kasus Konflik Kepengurusan Kebun Binatang Surabaya)”. Peneliti menggambarkan dinamika konflik yang ada, mulai dari peta konflik (conflict maping), akar penyebab dan pemicu konflik, serta resolusi dinamika konflik berdasarkan studi konflik Simon Fisher. Hasil penelitiannya menunjukkan jika konflik horizontal bisa saja muncul karena gagalnya bentuk negosiasi antar individu atau kelompok yang berkonflik. Dinamika Konflik yang muncul dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa penanganan konflik horizontal harus diupayakan melalui strategi khusus. Yang artinya didalam menyelesaikan konflik, haruslah terdapat sebuah resolusi konflik yang diarahkan melalui pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan, sehingga konflik yang muncul dapat diredam dan diakhiri melalui jalan damai. Untuk menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Penentuan informan dilakukan secara purposive sampling dan selanjutnya berkembang dengan menggunakan teknik snowball. Data diperoleh melalui proses observasi dan wawancara mendalam, serta memanfaatkan sumber data dokumen dan penelusuran online. Keabsahan data diuji melalui triangulasi sumber data, sehingga data yang disajikan merupakan data yang absah. Analisis dan interpretasi data dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia baik yang diperoleh melalui wawancara mendalam maupun pemanfaatan sumber data dokumen, kemudian dipilah-pilah, dikombinasikan dan dikelompokkan serta menetapkan keterkaitan data tersebut. Manajemen Konflik Organisasi Istilah konflik memiliki berbagai pengertian, setiap ahli mengemukakan definisi yang berbeda. Akan tetapi, dari beberapa pendapat tentang konflik terdapat dua hal yang esensial, yaitu (1) adanya perbedaan, dan (2) adanya ketidaksesuaian. Konflik dapat didefinisikan sebagai suatu interaksi yang dimanifestasikan dalam ketidakcocokan pendapat atau adanya perbedaan sesuatu diantara dua kesatuan sosial yang terdiri dari individu-individu, kelompok atau organisasi (Hanson 1991 dalam Pasolong 2008:172). Terjadinya konflik dalam organisasi atau birokrasi tidak terjadi secara otomatis, tetapi disebabkan oleh berbagai jenis kondisi yang terdapat dalam organisasi sebagai sumber konflik. Kondisikondisi ini merupakan suatu kondisi yang didalamnya berisi rangkaian kemungkinan yang menjadi kondisi pemula (antecedent conditions) terjadinya konflik. Berbagai kemungkinan tersebut yaitu: (1) ketidakpuasan, (2) adanya tujuan dan berbagai sistem nilai yang berbeda-beda, (3) berbagai hambatan komunikasi, (4) manusia dan perilakunya, (5) struktur organisasi dan tugas pokok dan fungsi. Sumber-sumber konflik organisasi akan sangat bervariasi, hal ini sangat tergantung dari karakteristik internal dan eksternal organisasi(Wahjosumidjo 1987 dalam Pasolong 2008:173). Penyebab konflik secara khusus dikarenakan adanya tindakan yang bertentangan dengan hati nuraninya, ketidakpastian mengenai kebutuhan yang harus dipenuhi, konflik perasaan, konflik kepribadian, dan konflik tugas diluar kemampuannya. Berikut beberapa sumber konflik dan penyebabnya (Husaini Usman 2010:467): (1) Konflik diri sendiri dengan seseorang dapat terjadi karena perbedaan peranan (atasan dengan bawahan), kepribadian dan kebutuhan (konflik vertikal). (2) Konflik diri sendiri dengan kelompok dapat terjadi karena individu tersebut mendapat 3 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 1, Nomor 1, Februari 2014 tekanan dari kelompoknya atau individu bersangkutan telah melanggar norma-norma kelompok sehingga dimusuhi atau dikucilkan oleh kelompoknya. Berubahnya visi, misi, tujuan, sasaran, policy, strategi dan aksi organisasi. (3) Kelompok dengan kelompok dalam sebuah organisasi dapat terjadi karena ambisi salah satu atau kedua kelompok untuk lebih berkuasa. Ada kelompok yang menindas, ada kelompok-kelompok yang melanggar normanorma budaya kelompok lainnya, ketidakadilan kelompok lainnya, dan keserakahan kelompok lainnya (konflik primordial). (4) Konflik antarorganisasi dapat terjadi karena perebuatan kekuasaan, baik ekonomi maupun politik (konflik horizontal dan konflik elite politik). Dilihat dari dampaknya konflik dibagi menjadi dua, yaitu: a. Konflik Fungsional Sebuah konflik fungsional (functional conflict) adalah konfrontasi antarkelompok yang dapat meningkatkan dan menguntungkan kinerja organisasi. b. Konflik Disfungsional Sebuah konflik disfungsional (dysfunctional conflict) adalah setiap konfrontasi atau interaksi antar kelompok yang membahayakan organisasi atau menghambat organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. Resolusi konflik (conflict resolution) adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan menggunakan metode resolusi konflik. Metode resolusi konflik adalah proses manajemen konflik yang digunakan untuk menghasilkan keluaran konflik. Metode resolusi konflik bisa dikelompokkan menjadi pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik (self regulation) atau melalui intervensi pihak ketiga (third party intervention). Resolusi konflik melalui pengaturan sendiri terjadi jika para pihak yang terlibat konflik berupaya menyelesaiakan sendiri konflik mereka. Intervensi pihak ketiga terdiri atas (1) resolusi konflik melalui pengadilan, (2) proses administratif, dan (3) resolusi perselisihan alternatif (alternative dispute resolution).(Wirawan 2009:140). Dalam model pengaturan sendiri, manajemen konflik berdasarkan dua dimensi (Thomas & Kilmann 1974 dalam Wirawan 2009:140-142) yaitu : a. Kerja sama (cooperativeness) pada sumbu horizontal. b. Keasertifan (assertiveness) pada sumbu vertikal Berdasarkan dua dimensi ini, Thomas dan Kilmann mengemukakan lima jenis strategi dalam manajemen konflik. Kompetisi (competing), gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, dimana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan konflik terhadap 4 lawannya. Kolaborasi (collaborating), gaya ini melakukan upaya bernegoisasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. Kompromi (compromising), gaya manajemen konflik ini berada ditengah antara gaya kolaborasi dan kompromi. Dalam keadaan tertentu, kompromi dapat berarti membagi perbedaan diantara dua posisi dan memberikan konsesi untuk mencari titik tengah. Menghindar (Avoiding), bentuk menghindar tersebut bisa berupa menjauhkan diri dari pokok masalah, menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan. Mengakomodasi (accommodating), gaya ini mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan lawan konfliknya. sedangkan model Intervensi pihak ketiga dibagi menjadi empat antara lain: a. Resolusi konflik melalui proses pengadilan Dalam resolusi konflik melalui peradilan perdata, salah satu pihak atau kedua belah pihak yang terlibat konflik menyerahkan solusi konfliknya pada pengadian perdata di pengadilan negeri melalui gugatan kepada tergugat. Pihak lainnya yang memiliki hubungan dengan obyek sengketa, bisa juga mengintervensi proses pengadilan. Proses pengadilan umumnya didahului dengan permintaan hakim agar kedua belah pihak berdamai terlebih dahulu. Jika perdamaian tidak tercapai, hakim akan memeriksa kasusnya dan mengambil keputusan. Keputusan hakim bisa berupa win & lose solution, dimana salah satu pihak dikalahkan, atau win & win solution, dimana solusi kolaborasi atau kompromi terjadi. b. Resolusi konflik melalui proses atau pendekatan legislasi Resolusi konflik melelui pendekatan legislatif adalah penyelesaian konflik melalui perundangundangan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif. Konflik yang diselesaikan dengan cara ini adalah konflik yang besar dan meliputi populasi yang besar, tetapi mempunyai pengaruh terhadap individu anggota populasi. Penyelesaian konflik melalui pendekatan legislatif memerlukan waktu terutama di Indonesia. Proses legislasi memerlukan penyusunan naskah akademik, penyusunan draf undang-undang, dan pembahasan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah pembuatan undang-undang, peraturan pemerintah diperlukan untuk melaksanakannya. c. Resolusi konflik melalui proses administrasi Resolusi konflik melalui proses administrasi adalah resolusi konflik melalui pihak ketiga yang dilakukan oleh lembaga negara (bukan lembaga yudikatif), yang menurut undang-undang atau peraturan pemerintah diberi hak untuk menyelesaikan perselsihan atau konflik dalam bidang tertentu. Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 1, Nomor 1, Februari 2014 d. Resolusi perselisihan alternatif Resolusi perselisihan alternatif (alternative dispute resolution-ADR), adalah resolusi konflik melalui pihak ketiga yang bukan pengadilan dan proses administrasi yang diselenggarakan oleh lembaga yudikatif dan eksekutif. ADR terdiri atas arbitrasi dan mediasi. 1. 2. Arbitrasi Merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. Mediasi Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat. Model Manajemen Konflik yang Digunakan PihakPihak yang Terlibat Konflik Kebun Binatang Surabaya Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, dilihat dari kronologi serta aktor-aktor yang terlibat konflik. Konflik yang terjadi di Kebun Binatang Surabaya dapat di rangkum dalam empat proses, antara lain: 1. Konflik antara Pihak Stany Soebakir dengan Pihak Basuki Rekso Wibowo 2. Konflik antara Pihak Stany Soebakir dengan Kementerian Kehutanan, BBKSDA, dan Tim Pengelola Sementara (TPS) KBS 3. Proses masuknya Tim Pengelola Sementara (TPS) KBS. 4. Proses masuknya Pemerintah Kota Surabaya ke KBS dengan membentuk PDTS Di lihat dari kronologi dan aktor-aktor yang terlibat dalam konflik. Konflik Kebun Binatang Surabaya tergolong dalam jenis Konflik interpersonal dimana bentuknya adalah Konflik antara organisasi dan pihak luar organisasi atau menurut Fred Luthans adalah bentuk konflik antarkelompok. Dimana sumber konfliknya, adalah dilatarbelakangi oleh kepentingan masing-masing pihak (Conflict of interest) untuk dapat menguasai dan mengelola KBS secara mandiri. Hal itu disebabkan oleh adanya perbedaan dan ketidaksesuaian nilai-nilai serta tujuan masing-masing pihak, serta ketidakpuasan satu pihak dengan keputusan pihak lainnya yang berdampak pada semakin meluasnya konflik. Secara umum Konflik Kebun Binatang Surabaya menghasilkan dampak yang disfungsional terhadap kinerja KBS. Hal ini dikarenakan dari konflik yang berkepanjangan tersebut menyebabkan ijin Lembaga Konservasi (LK) KBS dicabut. Tanpa adanya ijin LK, KBS seolah lumpuh, karena tidak bisa menerapkan kebijakan-kebijakan krusial untuk kemajuan KBS. Sehingga hal tersebut berdampak juga pada aspek kepegawaian, dimana karyawan menjadi jenuh dan bosan karena ketidakjelasan nasib mereka. Selain itu tingginya nuansa politis dalam konflik yang terjadi di KBS, menyebabkan satwa seakan menjadi korban dari kebijakan manajemen. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya kejanggalan dari kasus kematian hewan. Dan yang terakhir, dengan konflik tersebut pihak manajemen pengelola KBS kesulitan menjalankan amanat dari SK Kemenhut untuk berkoordinasi dengan BBKSDA dan TPS. Meskipun demikian konflik KBS juga ada dampak positifnya seperti: Membawa pokok pemasalahan yang sebelumnya terpendam ke permukaan, seperti kasus hewan mati yang tidak wajar, dan masalah kepegawaian. Sehingga dapat menyelamatkan KBS agar tidak semakin terpuruk. Meningkatkan upaya untuk lebih baik, lebih kompetitif, dan lebih teliti. Manajemen KBS berupaya membuat kebijakan yang dapat segera mengatasi konflik, akan tetapi juga lebih teliti dalam pengelolaan sumber daya ( dana APBD) Karena masih dalam tahap transisi dan belum ada ijin Lembaga Konservasi (LK). Sedangkan Model manajemen konflik yang digunakan aktor-aktor yang terlibat konflik pada Kebun Binatang Surabaya. Dapat dilihat satu-persatu, sebagai berikut: Konflik antara Pihak Stany Soebakir dengan Pihak Basuki Rekso Wibowo. Awalnya diselesaikan dengan model kompetisi secara internal organisasi, kemudian berlanjut ke intervensi pihak ketiga yaitu pengadilan. Konflik antara Pihak Stany Soebakir dengan Kementerian Kehutanan, BBKSDA, dan Tim pengelola Sementara (TPS) KBS. Diselesaikan melalui intervensi pihak ketiga yaitu pengadilan (MA). Proses masuknya TPS cenderung melalui proses atau pendekatan legislasi Proses masuknya Pemerintah Kota Surabaya ke KBS dengan membentuk PDTS cenderung menggunakan pendekatan Legislasi. Dalam prosesnya 5 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 1, Nomor 1, Februari 2014 juga menggunakan pendekatan kompetisi (win & lose solution). Hasibuan, Malayu S.P. 2009, Manajemen, Dasar, Pengertian, dan Masalah, Bumi Aksara, Jakarta. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan data di lapangan yang telah disajikan dan dianalisis sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Konflik yang terjadi pada Kebun Binatang Surabaya tersebut masih belum bisa dikatakan usai. Seluruh pihak yang terlibat konflik terutama yang sampai saat ini memiliki kepentingan dalam pengelolaan KBS yaitu dari pihak Stany Soebakir, Pihak Basuki Rekso dan Pemerintah Kota Surabaya. Dalam proses manajemen konfliknya cenderung menggunakan model kompetisi (win & lose solution) untuk memenangkan sebagai pihak yang sah pengelola KBS. Sehingga menimbulkan dampak yang disfungsional terhadap pengelolaan KBS, terutama sejak Ijin Lembaga Konservasi dicabut. Di mana menyebabkan KBS belum bisa melakukan kebijakankebijakan secara krusial. Ivanchevich, John.M. dkk. 2007, Perilaku dan Manajemen Organisasi jilid 2, Erlangga, Jakarta. Daftar Pustaka Pasolong, Harbani. 2008, Kepemimpinan Birokrasi. Alfabeta, Bandung. Aliyah, Himmatul. 2012, Konflik dalam Pelaksanaan Kerjasama antara Pemerintah Kota Surabaya dengan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam Pengelolaan Terminal Purabaya, Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya. Ambarala, Haryo Arditya. 2012, Dinamika Konflik Kepengurusan Kebun Binatang Surabaya di Kota Surabaya (Studi Konflik Simon Fisher pada Kasus Konflik Kepengurusan Kebun Binatang Surabaya), Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya. Andani, Verdina Devi. 2012, Tata kelola konflik pembebasan lahan (Studi kasus: pembebasan lahan yang dilakukan perusahaan minyak (J) di Desa Campurejo, Kecamatan Bojonegoro, Kabupaten Bojonegoro), Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya. Luthans, Fred. 2006, Perilaku Organisasi, ANDI, Yogyakarta. Mahrudin. 2010, Konflik Kebijakan Pertambangan Antara Pemerintah dan Masyarakat Di Kabupaten Buton, Jurnal Studi Pemerintahan, vol. 1, no. 1. Moleong, Lexy J. 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosadakarya, Bandung. Parsons, Wayne. 2005, Public Polic: Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan, Kencana, Jakarta. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 19 Tahun 2012, Tentang Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.31/Menhut-II/2012 Tentang Lembaga Konservasi Pendidikan & Litbang KBS. 2006, Buku Informasi Kebun Binatang Surabaya, KBS, Surabaya Pruitt, Dean G. & Jeffrey Z. Rubin. 2009, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Rais, Soenyoto. 1994, Pengelolaan Organisasi, Airlangga University Press, Surabaya. Robbins, Stephen. 2003, Perilaku Organisasi edisi Kesembilan, PT Indeks kelompok Gramedia, Jakarta. Anonim. 2011, Pengertian Pengelolaan Menurut Beberapa Ahli, diakses tanggal 22 April 2013, tersedia di http://www.lepank.com/2012/07/pengertianpengelolaan-menurut-beberapa.html Siagian, Sondang P. 1999, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta. Anonim. 2013, Definisi Pengelolaan, diakses tanggal 15 September 2013, tersedia di http://kamusbahasaindonesia.org/pengelolaan/mi rip Stoner, James A.F., dkk. 1996, Manajemen (edisi Bahasa Indonesia), PT Prenhalindo, Jakarta. Bangun, Wilson. 2008, Intisari Manajemen, Refika Aditama, Bandung. Bungin, Burhan. 2010, Analisis Data Penelitian Kualitatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 6 Soebakir, Stany. 2006, 90 Tahun Perjalanan Kebun Binatang Surabaya, PTFFS, Surabaya. Sugiyono. 2010, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung. Surbakti, Ramlan. 1992, Memahami Ilmu Politik, PT.Gramedia Widiasara, Jakarta. Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 1, Nomor 1, Februari 2014 Susan, Novri. 2010, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Susetiawan.2000, Konflik Sosial (Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia), Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Tampubolon, Manahan P. 2004, Perilaku Keorganisaian (Organization Behavior), Ghalia Indonesia, Jakarta. Usman, Husaini. 2010, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta. Wibawa, Samodra. 1994, Kebijakan Publik, Proses dan Analisa, Intermedia, Jakarta. Winardi. 2003, Teori Organisasi & Pengorganisasian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wirartha, I made. 2006, Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi, ANDI,Yogyakarta. Wirawan. 2009, Konflik Dan Manajemen Konflik:Teori ,Aplikasi, dan Penelitian, Salemba humanika, Jakarta. 7