Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan dalam Mewujudkan Kota Tropis 6 Agustus 2008, Gedung Prof Soedarto, SH Kampus UNDIP Tembalang Semarang BIOTOPE : Klinik Sosial dan Generator Arsitekur Kota Tropis. Studi Kasus : Kebun Binatang Surabaya Lilianny Sigit Arifin . I. ABSTRAK, Paper ini berusaha melihat arsitektur kota dengan dasar pendekatan eko psikologi . Akibat perkembangan teknologi dan globalisasi, perkembangan kota tropis tidak lagi mempunyai keunikan yang membedakan dengan kota empat musim. Perlombaan untuk menjadi kota metropolitan lebih populer daripada menjadi kota tropis. Sebagai dampaknya kota tropis yang tak ramah terhadap lingkungan dan warganya memunculkan masalah yang sudah tak asing lagi, polusi dan tingkat stress. Tingkat kenyamanan manusia sebagai warga kota perlahan digiring oleh para penguasa kota untuk masuk dalam bangunan. Sistim kapitalis yang otoriter, seperti penggusuran dan perubahan peruntukan lahan demi pembangunan kota metropolitan, menjauhkan manusia dari habitat ekosistimnya, bahwa manusia butuh udara, air, dan bau tanah (baca tanaman). Studi kasus yang diambil adalah keberadaan Kebun Binatang Surabaya bukan sekedar sebagai paru paru kota, tetapi juga sebagai klinik sosial dan generator arsitektur kota tropis. yang terbuka yang nyaris tak terkendali. Kompleksitas ini kadang ‘gagal’ dipahami oleh penentu kebijakan perkotaan” Dalam era modern, desain dianggap suatu kegiatan yang terpisah dari proses produksi, dan desain merupakan bagian dari suatu produk yang bernilai ekonomis. Desain semakin jauh dengan dunia seni dan ekspresi diri, karena dampak sistim kerja mesin dan produksi massal. Hal ini berbeda dengan konsep desain tradisional , dimana desain adalah bagian dari sebuah seni yang mempunyai dimensi sosial, desain adalah olah seni yang mengekspresikan jati diri dalam bentuk ornamen-ornamen yang mempunyai makna budaya yang kuat. John Ruskin dan William Moris di Eropa dan Mangunwijaya di Indonesia adalah pelopor akhir dari gerakan art and craft yang mengatakan industrialisasi dan modernisasi telah menurunkan mutu desain. Pertanyaannya apakah kita sadar bahwa dampak ganda kota metropolitan dari adanya revolusi industri dan revolusi informasi yang sedang melanda dengan hebat? Kecanggihan arus informasi yang tidak megenal batas ruang ini akhirya juga mengajak orang untuk lebih lama bermain-main dengan alat teknologi informasi dan semakin jauh dari ruang luar yang riil. Kata Kunci : Biotope, Klinik Sosial, Generator Arsitektur, Kebun Binatang Surabaya III. KOTA TROPIS DAN KUALITAS SOSIAL II. PENDAHULUAN Permasalahan pokok yang dialami warga kota adalah kehilangan pengertian konteks sosial budaya. Bahkan, seringkali dalam seminar seminar arsitekur bila kita membicarakan tentang kepedulian lingkungan, obyek diskusi kita terpaku pada kerusakan alam sebagai sebuah produk lingkungan di dekat kita. Namun sebenarnya kita lupa bahwa sebuah kota ada karena sekelompok manusia berkumpul, sehingga yang sering terjadi demi perbaikan lingkungan kita juga mengorbankan kelompok manusia yang menghuninya. Konteks pembangunan kota mengalami ketimpangan untuk dinikmati warganya yang sangat plural dengan karakter yang variatif. Dalam diskusi nasional yang diselenggarakan IAI, bulan September 2007 yang lalu, Eko Prawoto menuliskan bahwa , “….. kota merupakan sebuah entitas Lilianny Sigit Arifin, Pusat Studi Permukiman dan Perkotaan - Jurusan Arsitektur – Universitas Kristen Petra, Surabaya. Email : [email protected]. Karakteristik Kota Tropis Secara geografis karakteristik sebuah kota tentu mempunyai perbedaan yang mendasar. Bagi kota-kota di negara yang mempunyai empat musim mempunyai karakter kota yang dipenuhi dengan piaza dan plaza. Sejak awal abad 12, kehadiran sebuah piaza di Eropa memberikan sebuah status sosial bagi sebuah kota. Piazza Del Campo adalah sebuah piazza yang terlketak di tengah kota Siena, Italy, merupakan tempat untuk melakukan kegiatan tradisional di mana seluruh penduduk kota datang. Piazza ini terlihat gersang tanpa hadirnya tanaman dan selalu dikelilingi dengan bangunan bangunan penting, seperti balai kota, dan gereja , tak jarang juga disertai sebuah menara yang tinggi sekali sebagai lambang kekuasaan. Pada saat ada acara-acara , maka kalangan pejabat akan dapat menyaksikan dari balkon balkon bangunan balai kota. rumah tangga. Penelitian Kong (2005) mengusulkan eksplorasi hubungan segitiga antara tanaman, manusia dan iklim untuk diterapkan pada ‘high rise housing’, tetapi ditekankan bahwa aktor dari hubungan segitiga ini adalah manusia. Manusia memegang peran utama, bila penghuni mempunyai kemauan untuk melakukan aktivitas berkebun maka hubungan relasi manusia dan tanaman akan menimbulkan terjadinya kontak sosial sebuah komunitas. Sedangkan karakteristik beberapa kota tropis menujukkan pasar adalah jantung sebuah kota. Pasar adalah tempat di mana seluruh warga saling berjumpa dalam rupa kegiatan menjual dan membeli. Khususnya untuk beberapa kota tropis di Jawa, pada awal abad 14, kita akan mendapatkan beberapa sebutan pasar sesuai dengan pasaran perhitungan penanggalan Jawa, seperti pasar Kliwon, pasar Pon, Pasar wage dsb. Kegiatan pasar ini tidak terjadi pada sebuah tempat atau lapangan yang sengaja dibangun, tetapi merupakan bagian dari sebuah jalan yang besar , sehingga sifatnya linier bukan memusat seperti sebuah piazza. Kehadiran pasar berbaur dengan rindangnya pohon pohon dan bisingnya lalu lintas. Kenyaman an PEOPLE IKLIM Respon TAMAN Diagram 2. :Triangle Interrelationship (Kong,2005) Dengan menyadari perbedaan karakter kota kota di berbagai belahan dunia, elemen elemen arsitektur apa saja yang hadir, maka kita akan mampu untuk mencari jati diri sebuah kota tropis. Baik usulan dari E Howard, Bay dan Kong berusaha untuk menghadirkan tanaman (baca alam) sebagai sarana pertemuan antara penghuni. Di sini dapat dilihat bahwa mengelola ruang di luar hunian atau ruang di kota bukanlah sekedar membuatnya cantik dan sejuk. Tetapi ruang kota adalah sebuah ruang yang mempunyai nilai psikologis sosial. Nilai sebuah jalan , yang secara fisik fungsinya untuk sarana transportasi, dan secara ekonomis adalah membuka jaringan untuk melakukan transaksi. Sedang secara psikologis jalan adalah ruang sosialyang bersifat publik dan juga privat, contohnya sebuah jalan mampu membuat orang nyaman untuk melaluinya tetapi ada pula jalan yang orang enggan untuk melaluinya. Oleh sebab itu ruang-ruang luar kota harus ditata bukan sekedar hadir sebagai ruang sisa. Kualitas Sosial Sebuah Ruang Sejak Ebenezer Howard menawarkan konsepnya tentang ‘Garden City”, para arsitek, perencana kota dan sosiolog termotivasi untuk memakai konsep taman sebagai sebuah strategi untuk mencapai kehidupan yang lebih nyaman. Real estate juga berlomba menawarkan kawasan hunian yang menggunakan tema tema ‘green living’. Tahun 2008 ini di Surabaya juga mengusung sebuah motto “green and clean” yang diikuti dengan perlombaan kawasan hunian yang menghijau dan bersih. Dalam skala kota, kita harus melihat kota sebagai sebuah kumpulan jaring jaring yang membentuk sebuah lingkungan. Dengan semakin berkembangnya sebuah kota, maka jalur transpotasi menjadi elemen utama bagi majunya sebuah kota tetapi juga memberikan dampak negatif bagi jaring sosial dan lingkungan. Seharusnya dengan memakai diagram Kong kita mampu mengembalikan relasi manusia dengan alam. Walaupun Kong sudah menempatkan iklim sebagai bagian dari sebuah relasi, tetapi bila kita perhatikan tidak ada perbedaan desain antara kota di negara sub tropis dan tropis. Kota kota di negara tropis pun terpesona untuk mengikuti pola pola pengembangan yang sama. Nilai ekonomis lebih dominan dan seolah olah alam adalah elemen penunjang yang sekedar memberikan kecantikan dan kesegaran. Diagram 1. Garden City (Beyond Habitat,2006) Penelitian Bay (2005) pada apartment di Singapura membuktikan bahwa dengan semakin banyaknya tanaman di koridor apartment mendorong penghuni untuk mengenal tetangganya. Kenyataan yang sejenis dapat kita temukan pada kehidupan di beberapa kampung di Surabaya, saat sore hari di mana mereka menyapu halaman dan menyirami tanaman, bahkan sering terjadi mereka saling bertukar jenis tanaman. Namun kejadian serupa tidak akan kita jumpai pada kawasan hunian sebuah real estate, tetapi tetap akan kita jumpai terjadinya relasi kemanusiaan antar pembantu Bila kita melihat sebuah kota tropis dengan pemahaman baru, pendekatan eko psikologi , maka kita harus kembali pada karakter kata ‘tropis’ itu sendiri. Secara fisik, kota tropis menunjukkan kekayaan alam yang sangat subur, 2 secara eko psikologi kota tropis memberikan peluang kebebasan untuk menikmati alam terbuka, karena perilaku alam yang bersahabat. Sehingga ruang ruang luar dikota tropis seharusnya bukan sekedar ruang sisa lagi tetapi ruang yang direncanakan menajdi tempat kontak sosial. Selama ini perencaaan kota kota tropis telah banyak teracuni kota kota metropolitan di negara sub tropis ( baca: negara maju) yang lebih banyak mengumpulkan warganya untuk bersembunyi dibalik dinding dinding beton, yang secara psikologis memberikan kenyamanan yang jauh dari alam. Seolah olah alam adalah sekedar obyek yang tak menarik. dibandingkan dengan dunia yang berasal dari alam. Dalam era industrialisasi, para arsitek dan urban planner telah terkesima dengan metoda desain yang lebih mengotak atik kota sebagai papan catur bangunan bangunan tinggi. Teori teori urban desain yang holistik dari Hamid Shirvani atau Rofer Trancik, tidaklah digunakan secara tuntas, tetapi hanya diambil beberapa variabel yang hanya mengarah pada analisa terjadinya ‘solid-void’, konfigurasi massa bangunan semata demi kepentingan ekonomis sejengkal tanah. Sehingga seperti variabel ‘place theory’ dari Roger Trancik yang mampu memahami kebutuhan dasar manusia dan budayanya tidak tersentuh. Pemilihan material dan orientasi bangunan hanyalah semata digunakan untuk kepentingan kecantikan bangunan itu sendiri bukan lingkungan. Padahal kalau kita berbicara tentang perencanaan dan perancangan sebuah kota , maka konsentrasi kita sebenarnya bukan pada bangunanbangunannya tetapi ruang di mana warga mampu berinteraksi , karena kota yang hidup adalah kota yang mampu mengolah ruang antara di setiap sudut kota. Dengan pendekatan eko psikologi , manusia adalah bagian dari sebuah ekosistem. Bukan hanya tumbuhan dan hewan bagian dari ekosistem. Pada saat kita menyadari bahwa kita bagian alam, maka kehidupan keseharian kita tidak dapat dipisahkan dengan alam. Pemikiran ini amat beda saat kita melihat taman apalagi hewan hanyalah sebagai unsur penunjang dalam desain. Akibat kemajuan teknologi, selama ini kita telah menempatkan diri kita sebagai penguasa alam. Lingkungan alam bukanlah benda statis di mana manusia berada di luarnya, tetapi manusia dan makhluk hidup yang lain hidup bersama di planet bumi ini. Di dalam mewujudkan sebuah kota tropis, peran arsitek yang mengukir kota dengan dasar pemikiran era industrialisasi , haruslah sudah ditinggalkan. Kita tidak perlu menjadi terlalu romantis dengan selalu kembali pada masa lalu. Namun mempelajari dan memahami kearifan lokal akan membantu kita untuk mempunyai sikap yang arif terhadap kemajuan teknologi. Kita akan kembali pada tujuan yang hakiki dari arsitektur sebuah kota, yaitu menciptakan sebuah kota yang nyaman dihuni oleh warganya. Dalam tingkatan rumah tangga, arsitektur adalah wujud kebutuhan sosial untuk berhuni, sedang dalam tingkatan komunitas dan skala kota , arsitektur adalah wujud status sosial untuk mengekspresikan kemampuan ber “relasi” dengan komunitas atau warganya. Sesuai dengan hipotesa ‘Gaia’, bumi ini adalah sebuah kehidupan, maka manusia adalah bagian dari lingkaran ekosistem yang ada, manusia adalah bagain dari alam. Seperti telah diungkapkan di atas (diagram 3) bahwa kota adalah sebuah jaring jaring yang bukan saja membentuk ruang secara fisik tetapi juga secara sosial, di mana keberagaman makhluk hidup saling melakukan kontak dan memberikan keseimbangan pada bumi ini. Sampai saat ini bumi adalah satu satunya planet yang mampu memberikan sebuah kehidupan. Kehidupan ini dimungkinkan terjadi karena adanya lapisan ‘biosphere’, di mana arti kata ‘bios’ itu sendiri dalam bahasa Yunani adalah ‘kehidupan’. Di dalam biosphere inilah terjadi bermcam-macam ekosistem. Ekosistem yang terbesar di bumi ini disebut ‘biome’, kita mengenal adalah biome hutan tropis, biome tundra, biome laut, dll. Di dalam biome kita akan mengenal bermacam macam habitat yang terdiri sekumpulan komunitas, baik itu komunitas tumbuh-tumbuhan maupun species tertentu, yang saling berinteraksi membentuk keberlangsungan hidup yang berkelanjutan. Dari sinilah lalu kita mengenal ‘rantai makanan’ yang menjaga keseimbangan bumi. Diagram 3. Lingkaran Kota Dengan pemahaman ini kita dapat melihat sebuah kota sebagai sebuah jaringan dari bermacam-macam makhluk hidup , masalahnya bagaimana agar jaringan tersebut dapat merupakan tempat untuk saling berhubungan antara siapa dan bagaimana? Sehingga akhirnya kita mampu melihat kota sebagai kumpulan banyak ruang dengan kualitas sosial, bukan sekedar kualitas dan kuantitas bangunannya dengan tamannya. Tetapi bagaimana menghadirkan ruang di kota bukan sebagai ruang sisa tetapi ruang yang ikut mewarnai jaring jaringnya. IV. BIOTOPE SEBAGAI KLINIK SOSIAL DAN GENERATOR KOTA : STRATEGI DESAIN Di tengah maraknya issue tentang global warming, pengetahuan tentang ekosistem mulai merebak kembali. Seolah olah , alam adalah barang usang yang sudah kita lupakan. Dan sekarang dunia merasa membutuhkannya kembali? Sungguh suatu perilaku yang sangat dipengaruhi oleh dampak industrialisasi, sehingga dunia industri menjadi lebih baik, lebih modern, lebih berharga 3 Biotope sebagai klinik sosial dan generator kota, adalah sebuah perwujudan tempat terjadinya kontak dan pertemuan warga kota. Dalam hal ini, relevansinya bukan pada berapa jumlah warga yang berjumpa tetapi pada tingkat kebutuhan dari seorang manusia untuk melakukan kontak dengan yang lainnya. Kebutuhan ini dapat dibedakan secara jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek adalah kebutuhan dasar sehari sehari yang dibutuhkan secara instan, seperti kebutuhan makan (kontak dengan tumbuhan dan hewan), udara (kontak dengan matahari) dan kebutuhan kasih sayang (kontak sosial). Sedangkan dalam jangka panjang adalah kebutuhan untuk memahami sebuah pengetahuan atau gejala gejala yang timbul di sekitarnya, kebutuhan pendidikan (kontak sosial dan spiritual) kebutuhan kesehatan (kontak dengan alam, sosial dan spiritual) demi kesinambungan hidup. Diagram 4. Rantai Makanan Dalam masa industri ini, kota telah dibangun semata mata hanya untuk kepentingan salah satu habitat di dunia yaitu manusia. Sebagai seorang urban planner atau urban designer ktia sudah lupa bahwa bumi ini bukan;ah semata milik manusia. Apakah kita bisa membayangkan seandainya di dalam rantai makanan (diagram.4) tidak ada habitat yang lain yang ada hanyalah manusia, mampu hidupkah kita ? V. STUDI KASUS : PERAN KEBUN BINATANG SURABAYA Selama ini kehadiran Kebun Binatang Surabaya (KBS) hanyalah dianggap sebagai tempat rekreasi. Hal ini terlihat dari melonjaknya jumlah pengunjung pada hari libur sampai lima belas kali lipat. Keseharian KBS ini masih diminati 5000 – 6000 pengunjung yang ingin bersantai. Dari sini dapat kita lihat bahwa kehadiran KBS ini hanyalah sebagai salah satu tempat alternatif bagi warganya untuk rekreasi. KBS belum menjadi bagian dari pembangunan kota Surabaya. Bahkah dari hasil wawancara dengan Bapak Karta (2007), sejak tahun 2000 ketika banyak pusat perbelanjaan dibangun, jumlah pengunjung KBS menurun. Hal ini didukung dengan data pada tahun 2004 mencapai 1.642.904 pengunjung, kemudian tahun 2005 turun sekitar 25 persen jumlah pengunjung hanya 1.296.013. Oleh sebab itu, sudah saatnya setiap pembangunan kota kembali sadar pada prinsip keseimbangan bumi, pembangunan bukan semata untuk pembangunan ekonomi tetapi menjawab kebutuhan manusia, bukan melulu hanya untuk mendirikan bangunan, tetapi mengolah ruang luar. Oleh sebab itu dalam pembangunan kota dapat mengadopsi siklus ekosistem, atau menciptakan ekosistem dalam skala kecil yang disebut ‘biotope’. Biotope adalah sebuah lingkungan yang memungkinkan terjadinya kontak antar penghuninya dan menimbulkan sebuah keterikatan dan menghasilkan sebuah simbiose yang mutualis. Sehingga kata kunci dalam biotope adalah bagaimana relasi antar makhluk hiudp terjadi dalam sebuah ruang. Dalam skala kota, hubungan ini bisa terjadi antara manusia dan manusia, manusia dengan makhluk hidup yang lainnya termasuk binatang, tanaman dan media tanah, air serta udara yang menciptakan makhluk organik sebagai perantara sebagai penyeimbang. Diagram 5. Ekosistem pada lingkungan Rumah Sumber :Architecture for Sustainable future 4 Walikota dan Bupati agar melakukan pembinaan terhadap Kebun Binatang setelah instruksi yang pertama No.24/1985. Peraturan ini masih ditambah lagi pada tahun 1998, SK Mendagri No.479/Kept-II/1998, khusus tentang KBS sebagai tempat konservasi eksitu tumbuhan dan satwa liar dan memberi ijin perpanjangan untuk mengelola dalam jangka waktu 30 tahun sejak diputuskan. Dengan dasar legalitas di atas kita dapat melihat bahwa sebenarnya pemerintah sudah sadar akan kehadiran KBS bukan sekedar paru paru kota, tetapi sudah menjadi ‘generator’ kota Surabaya. KBS tidak cukup hanya menjadi Ikon kota Surabaya, tetapi harus juga menjadi ‘generator’, menjadi pusat kehidupan kota Surabaya. Untuk itu KBS harus mampu mengembangkan dirinya untuk menjadi pusat kegiatan sehingga menjadi ‘klinik sosial’ bagi kota Surabaya. Untuk menarik pengunjungnya KBS telah berusaha untuk menghadirkan bermacam-macam fasilitas rekreasi tambahan kecuali sekedar menonton binatang, seperti naik kereta yang ditarik Unta, naik Gajah, dan sebelumnya ada naik perahu (sedang rusak, 2007) KBS dapat menjadi contoh hadirnya sebuah biotope di kota Surabaya, dan memberikan perannya sebagai ‘klinik sosial dan generator, sebagai berikut : Sebagai klinik sosial, memberi kesempatan bagi warganya untuk membangun relasi dengan berbagai macam kelompok komunitas Surabaya. Sebagai klinik sosial, memberi kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan makhlukk hidup yang lain. Sebagai klinik sosial untuk menumbuhkan kepekaan rasa sayang dan kontak terhadap ciptaan Tuhan yang lain yaitu hewan dan tumbuhan. Sebagai klinik sosial, memberikan kesempatan untuk belajar dari alam dengan program kelas tak berdinding Sebagai generator, memberikan kehidupan yang lebih sehat dengan menyerap polusi melalui sumbangan Oksigen yang dihasilkan. Sebagai generator, memberikan kesempatan untuk meneliti perkembangan keragaman mahluk hidup. Sebagai generator, memberi warna pada kota Surabaya sebagai kota Tropis untuk beraktivitas di alam bebas, bukan di dalam bangunan VI. REFERENSI Arifin, Lilianny S, dkk (2007), Faktor Penentu Potensi Kebun Binatang Surabaya untuk Kota Surabaya, Jurusan Arsitektur, UK Petra, Surabaya. Bay, Joo Hwa, Na Wang, Qian Liang, Ping Kong (2006), SocioEnvironmental Dimensions in Tropical Semi-Open Spaces of High Rise Housing in Singapore” chapter 5 of Tropical Sustainable Architecture: Social and Environmental Dimensions”. Oxford, Elsivier, p 59-82. Kenyataannya di atas memberikan dua buah gejala yang harus diuji. Gejala pertama kehadiran pusat perbelanjaan lebih menarik manusia. Gejala kedua pemahaman manusia terhadap ekosistem masih rendah. Japan Architect Association, 2005, “Architecture for a Sustainable Future”, Institute for Building Environment and Energy Conservation (IBEC), Tokyo Dalam paper ini kita akan membahas gejala yang kedua, bila saja setiap Sekolah Dasar di Surabaya mempunyai program rutin kurikuler yang menjadikan KBS sebagai kelas tak berdinding, mungkin kesadaran warga kota bahwa Kebon Binatang bukan saja sebagai sarana rekreasi tetapi juga paru –paru kota akan tumbuh sejak dini. Sehingga tidak perlu lagi ada instruksi Menteri Dalam Negeri yang kedua No 35/ 1997 yang ditujukan kepada para Gubernur , Syariffudin, Amak (2006), 90 Tahun Perjalanan Kebun Binatang Surabaya, Perkumpulan Taman Flora dan Fauna Surabaya. ______, (2007), Laporan Data Inventaris KBS, Surabaya. Tzonis, Alexander, (2006), Rethinking Design Methodology For Sustainable Social Quality, chapter 2 of Tropical Sustainable Architecture: Social and Environmental Dimensions, Oxford, elsivier, p.17-27. 5