isi Buku.pmd - ansor

advertisement
BAB I
PARTAI POLITIK:
POLITIK ALIRAN DAN
KONDISI ELECTORAL
1
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
KOMPETENSI
Dalam bab ini mahasiswa diharapkan dapat menggambarkan dan memahami konteks
sosial, budaya, dan politik masyarakat di tingkat lokal. Dalam konteks sosial, mahasiswa
diharapkan mampu menggambarkan dan memahami realitas sosial baik dari sisi
pendidikan, ekonomi maupun relasi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Lebih jauh
mahasiswa diharapkan dapat memahi peran masyarakat sesuai dengan kondisi sosial
masing-masing. Dalam konteks budaya, mahasiswa diharapkan dapat menggambarkan dan memahami norma, adat, dan kebiasaan masyarakat di tingkat lokal.
Selanjutnya, dengan memahami budaya masyarakat, mahasiswa mampu memahami
dinamika kehidupan khas masyarakat di tingkat lokal. Dalam konteks politik,
mahasiswa dihapkan dapat menggambarkan dan memahami realitas politik di tingkat
lokal baik itu pola afiliasi maupun perilaku politik yang terjadi dalam setiap pemilu.
2
BAB I
PARTAI POLITIK:
POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELECTORAL
PETA politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok
Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya
merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada
1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang
ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif
mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi
sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai
nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan
suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai
yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan
organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar
belakang Islam modernis.
A. Politik Aliran
Politik aliran merupakan istilah umum yang dipakai ketika
merujuk pada term “political cleavages”, walau sebenarnya agak
kurang tepat namun karena ketiadaan padanan kata yang serupa,
politik aliran dipakai untuk memberi arti pada term political cleavages
tersebut. Sejak pertama kali konsep politik aliran ini dikemukakan
oleh penemunya yaitu Cliford Geertz, walau dengan beragam kritik,
sampai sekarang politik aliran terus menjadi alat utama dalam studi
politik Indonesia. Dalam rangka menjelaskan kesinambungan politik
aliran ini, hal pertama yang menjadi persoalan adalah bagaimana
kita mendefinisikan dan menjelaskan politik aliran secara jernih.
Geertz memberi pemahaman secara inplisit pada pola politik aliran
3
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
sebagai bentuk pentranlasian pembilahan socio-religy yaitu: santri—
abangan—priyayi kedalam bentuk institusi politik berupa partai politik
Islam dan Nasionalis. Oleh karena itu juga menjadi penting bagaimana
kita menjelaskan karakter partai Islam dan partai Nasionalis: asal
usulnya ideologi, isu-isu apa yang diperjuangkannya serta siapa basis
kelompoknya.
Sejak pemilu demokratis pertama yang dilaksanakan tahun 1955
para ilmuan menganggap bahwa politik aliran tetap menjadi faktor
utama yang mempengaruhi perilaku politik pemilih, dan berlangsung
sampai pada pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 dibawah
rezim represif Orde Baru. Melangkah ke paruh ketiga politik Indonesia
(Orde Reformasi) kekuatan politik aliran masih dianggap punya
pengaruh terhadap perilaku politik di Indonesia, namun sudah mulai
terjadi polemik antara mereka yang mendukung dan yang membantah.
Sebagai contoh kasus, kutub yang tetap mendukung politik aliran
direpresentasikan Dwight King (2003), dalam bukunya, “Half-Hearted
Reform, Electoral Institutions and th Struggle fo Democracy in Indonesia,
dan Anis Baswedan (2004), dalam tulisannya yang berjudul “Sirkulasi
Suara Dalam Pemilu 2004”. Sementara kutub yang berlawanan
direpsentasikan William Liddle dan Saiful Mujani dalam karyanya
“Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia”.
King (2003) menyajikan sebuah diskusi yang menarik, dengan
menggunakan analisis statistik berupa teknik analisis bivariate dan
multiple regression untuk membandingkan hasil pemilu 1955 dan
pemilu 1999. Data yang digunakan adalah data agregat nasional hasil
pemilu, dan data geografis yang diuji dengan indikator-indikator
seperti urbanisasi, akitivitas pemerintah, keislaman, angka melek hurup,
faktor ketidak merataan (inequality), dan program pembangunan.
Kesimpulan yang dihasilkan adalah “adanya keberlanjutan politik
aliran seperti fenomena pemilu 1955 Orde Lama ke pemilu 1999 Orde
Reformasi.” Begitu juga dengan Baswedan (2004), dengan mengadopsi metodanya King berusaha membandingkan pola dukungan
pemilih pada pemilu 1999 dan 2004. Baswedan menemukan adanya
korelasi signifikan antara dukungan untuk partai Islam di setiap Kota
dan Kabupaten selama dua pemilu. Secara sama, partai Nasionalis
dan Kristen mendapat dukungkan kuat di daerah daerah yang
merupakan basis dukungan PDI-P. Kesimpulan yang dikemukakan
4
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
adalah “pada tingkat masyarakat masih ditemukan pola politik
berbasis aliran, perubahan politik lintas aliran tidak ditemukan dalam
pemilu 2004.”
Hasil yang berbeda dengan apa yang ditemukan King dan
Baswedan, Liddle dan Mujani justru menemukan bahwa pengaruh
orienasi keberagamaan atau aliran (pelaksanaan keberagamaan
seorang muslim), pada suara hasil pemilu tahun 1999 dan 2004 sangat
terbatas. Justru Liddle dan Mujani menemukan bahwa faktor kepemimpinan menjadi faktor signifikan yang mempengaruhi perilaku
politik pemilih. Hal ini dijelaskan oleh Liddle dan Mujani sebagai
dampak dari berkembangnya media massa khususnya televisi sampai
ke pelosok-pelosok daerah. Temuan ini berusaha mematahkan pandangan umum yang selama ini berkembang dalam mengkaji Indonesia
dari mulai Geertz 1950an sampai dengan King dan Baswedan.
Apakah temuan Liddle dan Mujani ini akan menjadi sebuah paradigma baru dalam menjelaskan perilaku politik Indonesia, akan sangat
bergantung pada seberapa besar dukungan dari masyarakat, khususnya masyarakat akademis sebagaimana yang dikemukakan Khun.
1. Aliran Geertz
Jika partai politik menginginkan dirinya relevan secara sosial,
dan secara demikian bisa membangun basis sosialnya, maka partai
harus mengaitkan dirinya dengan cleavages yang ada. Secara umum
cleavages bisa bersumber dari agama, etnik, bahasa, budaya, maupun
geografis. Di Indonesia, tidak seperti di negara Barat, dimana cleavage
berdasar kelas tidak begitu berpengaruh, justru cleavage agamalah
(aliran) yang paling dominan dibanding dengan cleavages yang lain.1
1
Kajian mengenai hubungan anatra cleavage dan partai politik banyak dilakukan oleh para
ilmuwan politik, seperti Seymour Lipset dan Stein Rokkan, Bartolini, dan Sartori. Seymour
Lipset dan Stein Rokkan meyakini bahwa partai politik memainkan peran signifikan dalam
terbentuknya political cleavages. Karena mereka menganggap bahwa perbedaan struktur sosial
tidak serta merta ditranslasi menjadi perbedaan politik yang signifikan. Mobilisasi oleh partaipartai politik justru merupakan bagian yang amat penting dalam transformasi struktur sosial
yang berbeda menjadi mengeras dan mendorong terbentuknya political cleavages. Studi Bartolini
yang lebih kontemporer, misalnya, menunjukkan bahwa ketika sebuah cleavage (kelas, agama,
atau etnik misalnya) menjadi terorganisasi, maka cleavage ini akan menjelma menjadi kekuatan
politik yang otonom dan berpengaruh. Studi klasik Sartori juga menunjukkan bahwa partai
politik (kiri) bukanlah ‘akibat’ dari eksistensi kelas ekonomi. Sebaliknya, partai politik lah yang
mengeraskan perbedaan kelas, melalui proses sosialisasi politik yang membentuk kesadaran kelas.
5
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Pengaruh kelas terhadap perilaku politik tidak signifikan karena di
Indonesia tidak mengenal stratifikasi kelas berdasarkan pada status
sosial ekonomi, dan persepsi kelas secara subjektif tidak dikenal dalam
masyarakat desa, khususnya dalam istilah Marxis. Jika dipahami,
konteks kelas dalam masyarakat Jawa, mungkin dapat dijelaskan
dalam kerangka birokrasi, bukan dalam kontek Marxis.2 Orang-orang
hanya mengenal dua pembeda mengenai individu dalam masyarakat
yaitu wong cilik (orang kecil) dan wong gedhe (orang besar), yaitu orangorang yang berkerja di birokrasi atau priyayi. Oleh karena itu, istilah
seperti “kiri,” “liberal,” tidak dipahami dalam istilah tata bahasa di
Indonesia.3
Melalui pendekatan Budaya, Clifford Geertz (1960) dalam penelitiannya di Mojokuto Jawa Timur, menyusun kategorisasi masyarakat
kedalam trikotomi yaitu Santri, Priyayi, dan Abangan. Penelitian jenis
antropologi yang dilakukan Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953
sampai September 19544 ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang
sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya
di Indonesia. Trikotomi Agama Jawa itulah yang sampai sekarang terus
disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia
dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di
belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz
mengungkap fenomena Agama Jawa adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang
dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh
atas ketiga varian tersebut.
2
Lihat Afan Gaffar, Javanese Voters, A Case Study of Election Under s Hegemonic Party
System, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. Hlm. 9.
3
Hilang nya istilah kiri bisa ditelusuri kebelakang ketika massa Soekarno dan Soeharto. Partai
Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai ‘kiri’ hilang di Indonesia setelah dihancurkannya pada
tahun 1965. Juga dengan ditekannya Partai Sosialis Indonesia (PSI) oleh Sukarno dan juga
Suharto. Dampak dari hilangnya elemen kiri ini, partai dengan ideologi yang programatik menjadi
tidak ada Karena itu, attachment agama atau attachment yang bersifat primordial lain menjadi
lebih dominan. Literatur mengenai sistem politik yang mapan, terutama di Eropa, selalu
menampakan spektrum ideologis partai-partai politik yang konsisten: kiri-tengah-kanan. ‘Kiri’
berarti mendukung peran negara yang dominan dalam ekonomi dan kesejahteraan (bersifat
sosialistik, belum tentu sinonim dengan komunis), ‘tengah’ adalah moderat, dan ‘kanan’ adalah
kelompok liberal yang berusaha mengeliminir peran negara (singkatnya tidak setuju subsidi dan
pajak yang tinggi misalnya) dan berusaha mengembalikan kapital lewat aktifitas masyarakat (pasar).
4
Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan
penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi
6
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
Hasil perenungan Geertz sampai pada kesimpulan bahwa santri
adalah kelompok muslim yang taat dalam menjalankan perintah
agama. Bagi santri pada tahun 1950-an, taat terhadap agama berarti
mengupayakan agar Islam menjadi landasan atau asas bagi pengelompokan politik, seperti parpol dan negara. Karena itu, mereka mendirikan parpol berasas Islam, dan pada tahun 1950-an mereka juga
mengupayakan agar Indonesia berasaskan Islam. Sebaliknya, Abangan
adalah kelompok Muslim yang tidak taat menjalankan kewajiban
agama Islam, apalagi memperjuangkan agar negara berasaskan Islam.
Bagi Kelompok Abangan, Islam tidak penting dalam kehidupan sosialpolitik. Dengan demikian tidak heran apabila kemudian kelompok
Abangan lebih terbuka terhadap ideologi politik lain yang dominan
di dunia pada waktu itu, yakni komunisme. Sementara Priyayi adalah
kelompok Muslim yang secara kultural dekat dengan Abangan, namun
yang membedakan mereka adalah dari cara berperilaku yang lebih
halus dan datang dari pegawai pemerintah.
Dikotomi yang terjadi antara Santri (tradisional) dan Abangan,
dalam prakteknya keseharian tidaklah ekstrim, karena ada titik temu
etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan
birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: Abangan, Santri dan Priyayi.
Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil—
yang penuh dengan tradisi animisme seperti upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk
halus, tradisi pengobatan, sihir dan magis menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan Abangan.
Sementara pasar terlepas dari penguasaan etnis Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz—
diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi
historis dan sosial di mana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan, dan kenyataan
yang menguasai ekonomi Mojokuto. Mereka itulah yang memunculkan subvarian keagamaan
Santri. Terakhir adalah subvarian Priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan
dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis),
maka Priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan
mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk
mengisi birokrasi pemerintahannya. Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan
data-data selama penelitiannya di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur, adalah penguasaan
bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas dengan tim peneliti lain,
pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik.
Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif. Prinsip kerjanya
berdasarkan proposisi bahwa ahli etnografi itu mampu mencari jalan keluar dari datanya, untuk
membuat dirinya sendiri jelas agar para pembaca dapat melihat sendiri bagaimana tampaknya
fakta-fakta itu, dan dengan demikian bisa menilai kesimpulan dan generalisasi ahli etnografi itu
sesuai dengan persepsi aktualnya sendiri (hal. 9). Meskipun Jawa adalah Jawa yang stereotip
penunjukannya jelas, namun perhatian Geertz mengungkap adanya varian agama Jawa lebih
kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa.
7
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
diantara kedua kutub tersebut. Baik Santri maupun Abangan, keduaduanya adalah Islam, sehingga dalam kehidupan praktis keagamaan
ada momen dan aktivitas yang mempersatukan mereka terutama pada
kelompok Santri Islam Tradisional (warga Nahdliyin).5
=====================================================
Ortodoks
Ortodoks
Modern
Tradisional
Sinkretis
____________________________________________________________
Santri
Abangan
Sumber: Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, Dan
Pemberontakan, Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1990.
Lebih Jauh Karl D. Jacktion (1978) menempatkan varian Santri
kedalam dikotomi Modernis dan Tradisionalis ortodok, dan varian
lainnya ditempatkan sebagai sinkretis. Dalam hal ini kelompok
Modernis secara politik direpresentasikan oleh Masyumi, PMI (Partai
Muslimin Indonesia), dan Muhammadiyah, sementara Tradisionalis
ortodok direpresentasikan oleh Nahdatul Ulama.6
Format politik aliran sebagai mana dikemukakan Geertz, bisa
ditelusuri ketika ia mendiskusikan hubungan antara agama dan politik
dengan santri jawa di mojokuto sebagai berikut:
5
Peneliti melakukan observasi kedalam masyarakat yang merepresentasikan dari kelompok
Abangan dan Santri. Dari hasil observasi menunjukkan bahwa baik mereka yang Abangan
maupun yang Santri pada acara ritual keagamaan seperi acara tahlilan, yasinan, kajatan, acara
kematian mereka bersatu. Apalagi dalam acara kematian, baik yang Abangan maupun yang
Santri melakukan kerja sama dan sebenarnya masyarakat Abangan secara tidak langsung dalam
acara-acara seperti kematian dan perkawinan mau tidak mau harus bekerja sama dengan yang
Santri untuk mengurus upacaranya. Yang membedakan mereka adalah pada pelaksanaan ajaran
Islam seperti shalat, puasa atau naik haji. Bagi yang Abangan, umumnya mereka tidak menjalankan
shalat dan puasa dalam bulan Ramadhan, apalagi melakukan ibadah Haji. NU mampu
menciptakan mekanisme inklusi sosial yang smooth. Orang Abangan masuk dalam komunitas
Santri secara halus tanpa harus melepas identitasnya semula. Sebab pada praktiknya di desadesa, mereka hampir tidak pernah mempermasalahkan secara vulgar apakah sholat lima waktu
atau tidak; puasa penuh di bulan ramadhan atau tidak. Meski hampir selalu ada ceramah agama
di dalam forum tahlilan, namun tidak dalam seruan yang keras.
6
Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, Dan Pemberontakan, Kasus Darul Islam
Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
8
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
He went on to talk about the ideology and said that Islam
means slamet (well being). Thus Islam means to wish in the
heart intensely so as to reach slamet. He said (the Islamic Leader):
‘if we want a slamet life we must go by the Islamic ideology
which is based on the Koran and Hadist. To do this.... we
struggle in three arenas in the home, in society, and in politics.
Politics concerns with how we will be able to group the state.
This must be done both by revolt by election. And if be done not
by revolt but by election. And if the state police, the civil service,
the national radio, the national news paper...and obviously this
will be much faster than merely struggling in the home. The
change one person can make in twenty years of effort in the
home can be made one year through politics”.7
Dengan demikian sangat dipahami apabila orang santri melihat
hubungan antara agama dan politik bagaikan hubungan manis dan
gula seperti Kyai Besar Isya Anshari kemukakan.8 Alasan bahwa Islam
merupakan petunjuk yang lengkap bagi dunia modern; ini meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia. Bagi seorang santri untuk menjalankan Islam secara lengkap mereka harus juga mendukung organisasi
sosial politik yang dapat mendukung nilai-nilai Islam dalam masyarakat.
Dalam pandangan tersebut diatas kita dapat melihat bahwa
faktor relogio-kultural dapat menjadi dasar identifikasi untuk
seseorang dengan partai politik tertentu. Santri akan mengidentifikasi
mereka dengan partai politik yang merefleksikan nilai-nilai ajaran
agama, atau paling tidak dengan sebuah partai yang memperjuangkan
pelaksanaan nilai-nilai keislaman dalam masyarakat, sementara
abangan akan cenderung mengidentifikasikan diri dengan partai
politik yang punya pandangan sekuler dan paling tidak menunjukkan
budaya abangan atau merefleksikan non-Islam/orientasi politik nonsantri.
7
Clifford Geertz, The Religion of Java ( Glencoe, Illiones: The Free Press,1960), p. 368.
Alan Samson, Religious Beleifs and Political Action in Indonesia Islamic Modernism, in R.
William Liddle, ed., Political Participation in Modern Indonesia (Yale University Southeast
Asia Studies, Monograph Series, 1973).
8
9
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
2. Potret Aliran Di Tengah Masyarakat Malang
Di tinjau dari segi keberagamaan, khususnya pemeluk Islam,
masyarakat Kota dan Kabupaten Malang terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu kelompok masyarakat yang tingkat keberagamaannya
minimal (Abangan), dan masyarakat dengan tingkat keberagamaan
yang taat (Santri). Lebih jauh, dalam kelompok masyarakat Santri
terbagi lagi ke dalam dua kelompok yaitu Santri Modernis dan Santri
Tradisional. Santri Modernis9 biasanya diidentikan dengan Muhammadiyah, sementara Santri Tradisional diidentikan dengan NU.
Sebagaimana umumnya Daerah di wilayah Provinsi Jawa
Timur, Malang memiliki banyak pondok pesantren, mulai dari yang
tradisional sampai pesantren modern.10 Pesantren tidak hanya tempat
untuk melakukan transfer ilmu keagamaan, namun juga sekaligus
mewariskan kultur kepada Santri dan masyarakat dilingkungan
pesantren itu. Dalam kultur pesantren, kyai merupakan tokoh sentral
sekaligus figure kharismatik yang segala perkataan dan perbuatan
menjadi contoh dan panutan masyarakat. Legitimasi religius yang
dimiliki oleh sosok kyai, secara sosial sangat penting dalam menjamin
ketertiban dalam masyarakat, namun karena sifat kepemimpinannya
yang patron-client sangat sulit untuk menumbuhkan kehidupan
demokratik yang menjamin adanya independensi dari Pemilih.
Walaupun kultur masyarakat Santri kelihatan semarak, namun
sisi lain masyarakat Kota dan Kabupaten Malang masih banyak sekali
perilaku abangan. Bahkan dalam realitasnya, antara mereka yang
tergolong Santri dibanding dengan Abangan, secara kuantitatif masih
sedikit lebih banyak masyarakat yang teridentifikasi sebagai abangan.
9
Terkait dengan Santri Modernis di Kota dan Kabupaten Malang, yang paling menojol adalah
Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Hijbutahrir, sementara Persis tidak begitu menonojol. Namun
dalam aktivitas politik Hijbutahrir tidak berperan aktif. Hijbutahrir berpendapat bahwa politik
sekarang tidak cocok dengan syariat Islam, karena bagi mereka konsep khilafah paling sesuai
dengan Islam. Hasil wawancara dengan salah satu anggota Hijbutahrir pada bulan Desember
2008, di rumahnya di Taman Embong Anyar I Kabupaten Malang.
10
Yang dimaksud dengan pesantren tradisional adalah pesantren yang dalam pengelolaannya
sangat sederhana baik dari segi bangunan fisik maupun teknik pengajarannya. Umumnya
pesantren tradisional ini sangat mengandalkan pada kyai dalam pengelolaan pesantren, sementara
pesantren modern sudah baik dalam sarana dan prasarana maupun dalam sistem pengajaran,
akan tetapi kultur pesantren masih melekat. Sebagai contoh Pesantren modern Al-hikam yang
ada di Jengger Ayam Lowok Kota Malang yang didirikan oleh Ketua Umum PB NU, KH.
Hasyim Mujadi.
10
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
Bukti nyata dari besarnya kaum Abangan ini, ketika pemilu, mayoritas
dari masyarakat memilih partai Nasionalis, khususnya PDIP dalam
pemilu 1999 maupun 2004. Sementara, kalau dilihat dari sisi kultur,
Santri yang banyak di temui di Kota dan Kabupaten Malang adalah
Santri Tradisional yang umumnya berafiliasi dengan partai-partai
yang punya kedekatan secara sosiologis maupun historis dengan
organisasi Islam Tradisional yaitu NU. 11
Selain punya banyak varian dalam perilaku keberagamaan,
masyarakat Kota dan Kabupaten Malang juga punya keragamaan
dalam etnis, seperti Arab, Cina, Madura, Sunda, Bugis Makasar, termasuk etnis utamanya yaitu Jawa. Walaupun pluralitas etnis di Kota
dan Kabupaten Malang tergolong tinggi, namun konflik horizontal
yang melibatkan etnis boleh dibilang jarang terjadi.12 Walaupun
demikian, masih terdapat sekat-sekat yang membatasi komunikasi
sosial dan politik antar etnis ini, sehingga perlu adanya pengembangan
wacana multi-kulturalisme di Kota dan Kabupaten Malang.13
Disamping mempunyai tingkat keragaman sosial, ekonomi,
budaya, suku/ras, dan agama yang tinggi, Malang juga mempunyai
letak geografis yang upayas bagi pertahanan dan keamanan serta
faktor historis politis yang penting khususnya masa Orde Lama. Oleh
11
Pada pemilu 1999 dan 2004 umumnya kelompok Santri Tradisional di Kota dan Kabupaten
Malang berafiliasi dengan Partai Kebangkitab Bangsa. Hal ini bisa dibuktikan dari kemenangan
signifikan PKB dibanding dengan partai-partai lain yang punya kedekatan dengan NU.
12
Menurut hasil observasi penulis, selama tinggal di Malang, etnis pendatang yang paling
dominan adalah etnis Madura. Kelompok etnis ini tidak hanya berhasil masuk dan sukses di
dunia perdagangan, namun juga di bidang politik, birokrasi, dan pendidikan. Di bidang pendidikan
misalnya di Unibraw, pimpinan tertingginya, hampir tidak pernah diganti oleh orang selain dari
etnis madura, di birokrasi pemerintahan, pada tahun 2002 sampai dengan 2008, dan di Kabupaten
Malang Wakil Bupati peride 2005-2010 yang sekaligus sebangai Ketua DPD Golkar termasuk
etnis Madura. Menurut saya, yang menjadikan etnis Madura bisa diterima di Kota dan
Kabupaten Malang, walaupun ada resistensi secara laten akibat perilaku yang sedikit agresif,
dikarenakan adanya kesamaan agama dan kesamaan kultur yaitu kultur pesantren yang sangat
menghargai kyai.
13
Wacana multikulturalisme, khsusunya mulai pasca reformasi sebenarnya sudah banyak
dilakukan baik oleh generasi muda NU maupun Muhammadiyah. Generasi NU dalam
pengembangan Multikulturalisme ini dilakukan dengan membuat sekolah demokrasi, sementara
generasi muda Muhammadiyah banyak dilakukan di Kampus-kampus dengan menyelenggarakan
berbagai seminar dan diskusi yang melibatkan berbagai tokoh dari beragam agama. Hasil observasi
terhadap generasi muda NU yang dimotori aktivis PMI dan pemuda Muhammadiyah di Kota
dan Kabupaten Malang.
11
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
karena itu Kota dan Kabupaten Malang menjadi tolak ukur keamanan
dan ketertiban baik di tingkat regional Jawa Timur maupun Nasional.
Kondisi tersebut membawa Malang menjadi tempat bagi lokasi
penempatan kekuatan militer dan pemusatan latihan.14
3. Fondasi Sosial Budaya Yang Menopang Berkembangnya Politik
Aliran di Malang
Kota dan Kabupaten Malang merupakan bagian dari wilayah
provinsi Jawa Timur. Berdasarkan karakter budaya yang dimilikinya,
provinsi Jawa Timur dapat dibagi menjadi 10 wilayah kebudayaan,
yaitu tlatah kebudayaan besar ada empat; Jawa Mataraman, Arek,
Madura kepulauan, Pandalungan. Sementara tlatah yang kecil terdiri
atas Jawa Ponoragan, Samin (sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using),
dan Madura Kangenan (Ayu Sutarto, 2004).15 Masing-masing kelompok
etnik tersebut memiliki identitas masing-masing, disamping keunggulan atau kelebihan baik yang terkait dengan produk maupun kinerja
kulturalnya.
Tlatah kebudayaan Jawa Mataraman berada di sebelah barat.
Wilayahnya paling luas, membentang dari perbatasan Provinsi Jawa
Tengah hingga kabupaten Kediri. Wilayah ini mendapat pengaruh
kuat dari kerajaan Mataram, baik pada masa Hindu-Budha maupun
era kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Yogyakarta dan
Surakarta. Karena itu wilayah ini mempunyai kemiripan dengan
budaya masyarakat Yogyakarta dan Surakarta. Wilayah Budaya
Mataraman dibagi lagi menjadi Mataraman Kulon, Mataraman
Wetan, dan Mataraman Pesisir. Pembagian ini didasarkan pada jejak
sejarah dan budaya lokal yang berkembang. Ciri yang paling mudah
untuk mengenali ketiga wilayah Mataraman ini bisa dikenali melalui
bahasa yang dipergunakan. Dari segi kedekatan budaya dengan Jawa
14
Beberapa instalasi militer yang ada di Kota dan Kabupaten Malang, antara lain Korem 083
Baladhika Jaya, Kodim Kota, Kodim Kabupaten, Ajudan Jenderal Kodam, Resimen Induk
Milliter Kodam V Brawijaya, Hukum Kodam Brawijaya, Dodik Bela Negara Kodam Brawijaya,
Bataliyon Pembekalan dan Angkutan Divisi 2 Kostrad, Bataliyon Infanteri 512/QY, Perhubungan
Kodam V Brawijaya, Bataliyon Altileri Medan I, Divisi Infanteri 2 Kostrad. Bataliyon Kavaleri
Serbu, Bataliyon Infanteri 502 Kostrad, Brgadir Infanteri 18 Kostrad. Hasil Observasi selama
penelitian ini dilaksanakan di Kota dan Kabupaten Malang.
15
Untuk lebih lengkapnya lihat Ayu Sutarto, Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan, http//
catalogue.nla.gov.au
12
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
Tengah, Mataraman Kulon lebih kuat. Bahasa jawa yang dipergunakan lebih halus jika dibanding dengan bahasa Jawa Mataraman
Wetan, yang wilayahnya bekas Keresidenan Madiun.
Samping Timur Mataraman merupakan tlatah budaya Arek.
Sisi Timur Kali Brantas menjadi batas antara wilayah Mataraman
dan Arek. Tlatah budaya Arek membentang dari utara ke Selatan,
dari Surabaya hingga Malang. Setelah industrialisasi masuk, menjadi
tempat tujuan bagi pendatang yang menjadikannya daerah ini sebagai
tempat peleburan budaya di Jatim. Meski luas wilayahnya hanya 17%
dari keseluruhan luas Jatim, hampir 49% aktivitas ekonomi Jatim ada
di wilayah arek. Dengan demikian budaya Arek ini merupakan sentuhan
dari aneka kultur baik lokal maupun asing, dan membentuklah
komunitas Arek. Masyarakat yang berkultur Arek ini terkenal dengan
semangat juang tinggi, mempunyai solidaritas kuat, terbuka terhadap
perubahan, mau mendengarkan saran orang lain, dan mempunyai
tekad dalam menyelesaikan segala persoalan melalui cara yok opo
enake, ( baca: solusi agar sama-sama senang).
Komunitas budaya terbesar ke tiga adalah Madura.16 Wilayahnya adalah Madura. Karakteristik kultur warganya pun berbeda
dengan masyarakat di tlatah Mataraman. Menurut Kuntowijoyo
(2002), keunikan Madura adalah bentukan ekologis tegal yang khas,
yang berbeda dari ekologis sawah di Jawa. Pola pemukiman terpencar,
tidak memiliki solidaritas desa, sehingga membentuk ciri hubungan
sosial terpusat pada individual, dengan keluarga inti sebagai dasarnya.
Karakteristik lingkungan dan budaya inilah yang membuat banyak
orang madura berimigrasi ke daerah lain, terutama Jawa Timur
bagian Timur. Oleh karena itu dari Jawa Timur bagian timur ini bisa
dikatakan sebagai tanah tumpah darah kedua orang Madura Pulau.
Lingkungan bermukim orang Madura yang berdampingan dengan
orang Jawa, kawasannya disebut Pandalungan. Menurut Prawiroatmojo
(1985), kata pandalungan berasal dari kata dasar “dhalung” artinya
periuk besar. Wadah bertemunya budaya sawah dengan budaya tegal
atau budaya Jawa dengan budaya Madura, yang membentuk budaya
16
Orang-orang Madura dikenal sebagai pekerja keras, tekun, dan ulet sehingga menarik perhatian
Pemerintah Kolonial Belanda (Sutjipto, 1983; Kusnadi, 2001) dalam Ayu Sutarto, Sekilas
Tentang Masyarakat Pandalungan, http//catalogue.nla.gov.au
13
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Pandalungan. Hasilnya, masyarakat yang berciri agraris-egaliter,
bekerja keras, agresif, ekspansif, dan memiliki solidaritas yang tinggi,
tetapi masih menempatkan pemimpin agama Islam sebagai tokoh
sentral. Daerahnya meliputi Pasuruan, Probolinggo, Situbondo,
Bondowoso, Lumajang, dan Jember.17
Sementara wilayah di ujung Timur, yaitu Banyuwangi. Daerah
ini merupakan pertemuan tiga budaya yaitu Jawa, Madura, dan Osing.
Budaya Osing merupakan warisan kebudayaan Kerajaan Blambangan
(abad ke-12) merupakan sentuhan dari budaya Jawa Kuno dan Bali.
Orang-orang Osing dikenal sebagai petani rajin dan seniman andal.
Tari Gandrung merupakan simbol dari budaya Osing. Komunitas
budaya lainnya adalah Tengger dan Samin. Orang Tengger tinggal
di dataran tinggi Tengger dekat gunung Bromo. Mereka mepertahankan adat istiadat Hindunya, sedangkan orang samin tinggal di daerah
Bojonegoro yang berbatasan dengan Jawa Tengah.
Dalam peta budaya masyarakat Malang masuk dalam wilayah
“Mataraman” akan tetapi secara kultural lebih banyak dan dekat
dengan budaya “Arek”. Menurut sejarah kerajaan, Malang masuk
dalam daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. 18 Oleh karena itu
17
Dalam konsteks geopolitik dan geokultural, masyarakat pandalungan merupakan bagian dari
masyarakat tapal kuda. Masyarakat tapal kuda adalah masyarakat yang bertempat tinggal di
daerah tapal kuda, yakni suatu kawasan di Provinsi Jawa Timur yang membentuk lekukan
mirip ladam atau kasut besi kaki kuda. Kawasan ini memiliki karakteristik tertentu dan telah
lama menjadi kantong pendukung Islam kultural dan kaum abangan. Pendukung Islam kultural
dimotori oleh para kyai dan ulama, sementara kaum abangan dimotori oleh tokoh-tokoh politik
dan tokoh-tokoh yang tegabung dalam aliran kepercayaan. Secara garis besar ciri-ciri masyarakat
pandalungan adalah sebagai berikut: 1). Sebagian besar agraris tradisional, berada dipertengahan
jalan antara masyarakat tradisional dan masyarakat industri; dan tradisi dan mitos mengambil
tempat yang dominan dalam kesehariannya. 2). Sebagian besar masih terkungkung tradisi lisan
tahap pertama (primary orality) dengan ciri-ciri suka mengobrol, ngerasani (membicarakan aib
orang lain), takut menyimpang dari pikiran dan pendapat yang berlaku umum. 3). Terbuka
terhadap perubahan dan mudah beradaptasi. 4). Ekspresif, transparan, tidak suka memendam
perasaan atau berbasa basi. 5). Paternalistik: keputusan bertindaknya mengikuti keputusan
yang diambil oleh para tokoh yang dijadikan panutan. 6). Ikatan keluarga sangat solid sehingga
penyelesaian masalah seringkali dilakukan dengan cara keroyokan. 7). Sedikit keras dan
temparamental. Lihat Ayu Sutarto, Ibid.
18
Oleh karena itu ketika membicarakan budaya arek tidak lepas dari kebudayaan mataraman,
karena kerajaan Mataram juga memberikan kontribusi. Di antaranya, munculnya ragam bahasa
bertingkat karena munculnya raja-raja baru yang mendorong posisi mereka yang berbeda dari
rakyat jelata -terlepas dari dampak baik atau buruk. Hal itulah yang memunculkan perdebatan
sekaligus ambiguitas berbahasa dalam wilayah budaya Arek. Mataram berhasil menaklukkan
Surabaya pada 1625 Masehi, setelah 30.000 orang Surabaya dihadapkan kepada 70.000 tentara
14
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
masyarakat Malang memiliki produk kebudayaan yang tidak jauh
berbeda dari komunitas Jawa yang tinggal di Surakarta dan Yogyakarta
yang juga merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. Masyarakat Jawa Mataraman ini pada umumnya masyarakat yang tinggal
di wilayah Kabupaten Ngawi, Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten
Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten
Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten dan Kota Blitar,
Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, dan
Kabupaten Bojonegoro.
Dilihat dari pola kehidupan sehari-harinya masyarakat Malang
mempunyai sebagaimana pola kehidupan seperti orang Jawa pada
umumnya. Pola bahasa Jawa yang digunakan, meskipun tidak sehalus
masyarakat Surakarta dan Yogyakarta, mendekati kehalusan dengan
masyarakat Jawa yang terpengaruh kerajaan Mataram di Yogyakarta.
Begitu pula pola cocok tanam dan sistem sosial yang dianut sebagaimana pola masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Pola cocok tanam
dan pola hidup di pedalaman Jawa Timur, di sebagian besar, memberi
warna budaya Mataraman tersendiri bagi masyarakat ini. Sedangkan
selera berkesenian masyarakat ini sama dengan selera berkesenian
masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam masyarakat Jawa Mataraman
ini banyak jenis kesenian seperti ketoprak, wayang purwa, campur
sari, tayub, wayang orang, dan berbagai tari yang berkait dengan
keraton seperti tari Bedoyo Keraton. Sementara, sebagai masyarakat
yang mempunyai kultur areknya, masyarakat Malang dikenal mempunyai semangat juang tinggi, terbuka terhadap perubahan, dan
mudah beradaptasi. Komunitas Arek juga dikenal sebagai komunitas
yang berperilaku bandha nekat.19 Malang juga merupakan kota tujuan
Mataram. Di situlah awal hegemoni Kerajaan Mataran dengan segala konsekuensi budayanya
dimulai. Pembukaan lahan untuk permukiman maupun untuk penanaman pohon yang bisa
diperdagangkan merupakan awal terbentuknya kampung. Pada era kolonialis Belanda, kampung
terbentuk sebagai manifestasi segregasi kelompok etnik agar mudah dikendalikan. Untuk lebih
jelasnya lihat Autur Abdillah, Perjalanan Panjang Budaya Arek, Jawa Pos, Selasa, 30 Oktober 2007.
19
Perilaku bandha nekat ini disatu sisi bisa mendorong munculnya perilaku patriotik, tetapi di
sisi lain juga menimbulkan sikap destruktif. Semenjak adanya kompetisi sepak bila Nasional
(Liga Indonesia), perilaku bonek sangat bisa ditemui pada saat laga sepak bola yang melibatkan
kesebelasan AREMA. Para suporter Arema dalam mendukung tim kesayangannya sangat tinggi,
namun juga kerap menimbulkan masalah karena sering terjadi tawuran bahkan tindakan destruktif.
Hasil observasi pada pendukung kesebelasan Arema, ketika melakukan pertandingan di stadion
Gajayana Kota Malang, pada tahun 2004-2007.
15
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
dari daerah lain seperti Gresik, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo, Blitar,
Probolinggo, Jember, dan sebagainya.
Melihat kenyataan tersebut di atas, Kerajaan Majapahit dan
Mataram menjadi penting dalam membicarakan masyarakat Malang
yang mempunyai kultur “arek”. Kerajaan Majapahit memberikan
kontribusi pada tiga hal: Pertama, bahasa tunggal yang tidak memiliki
tingkatan dalam berbahasa yang digunakan dalam wilayah budaya
Arek. Kedua, pola kekuasaan yang dipimpin atau diserahkan pada
warga lokal. Ketiga, wilayah budaya Arek merupakan jangkar bagi
Majapahit untuk menguasai wilayah lainnya di Jawa Timur dan
sekitarnya. Kerajaan Mataram juga memberikan kontribusi, seperti
munculnya ragam bahasa bertingkat karena munculnya raja-raja baru
yang mendorong posisi mereka yang berbeda dari rakyat jelata,
terlepas dari dampak baik atau buruk.20
Dalam peta wilayah budaya Jawa Timur, budaya Arek terletak
di sisi timur Kali Brantas. Dengan demikian, budaya Arek meliputi
Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Jombang, Malang, termasuk
Kediri dan Blitar yang dibatasi oleh Pare ke timur. Meski tidak bersifat
matematis, kedelapan wilayah tersebut—aliran Kali Brantas ke
timur— menentukan lahirnya budaya Arek. Surabaya dan Malang
dianggap sebagai pusat pusat budaya Arek, kedua wilayah tersebut
memiliki beberapa kesamaan. Pada masa pemerintahan kolonial,
Belanda memperlakukan konstruksi arsitekturnya secara sama dalam
beberapa hal, misalnya bentuk-bentuk bangunan dan nama daerah.21
Posisi Kota dan Kabupaten Malang menjadi pintu gerbang bagi
arus informasi, pendidikan, perdagangan dari luar Malang, hal ini
menyebabkan masyarakat Kota dan Kabupaten Malang relatif terbuka
dan heterogen. Yang menarik komunitas Arek ini dengan sikap
keterbukaaannya itu bisa menerima berbagai model dan jenis kesenian
apa pun yang masuk ke wilayah ini. Berbagai kesenian Tradisional
hingga modern cepat berkembang di wilayah ini. Kesenian Tradisional
(rakyat) yang banyak berkembang di sini adalah Ludruk, Srimulat,
wayang purwa Jawa Timuran (Wayang Jek Dong), wayang Potehi
(pengaruh kesenian Cina), Tayub, tari jaranan, dan berbagai kesenian
20
21
Kompas, 21 Juli 2008.
Ayu Sutarto, Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan, http//catalogue.nla.gov.au
16
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
bercoral Islam seperti dibaan, terbangan, dan sebagainya. Sementara
kesenian modern berbagai gaya, corak, dan paradigma berkembang
pesat di Kota dan Kabupaten Malang. Seni rupa bergaya realisme,
naturalisme, surialisme, ekspresionisme, pointilisme, dadaisme, dan
instalasi berkembang pesat di wilayah ini. Begitu pula model teater,
tari, musik, dan sastra kontemporer sangat pesat perkembangannya
di wilayah Arek ini. Sikap keterbukaan, egalitarian,22 dan solidaritas
tinggi itu mendorong berbagai kesenian macam apa pun bisa
berkembang di Kota dan Kabupaten Malang sebagai wadah budaya
Arek.23
Di sisi lain, agama Islam menjadi nilai dasar sosial yang penting
di Kota dan Kabupaten Malang. Dimana dalam struktur sosial
masyarakat Kota dan Kabupaten Malang, kyai ditempatkan menjadi
aktor penting sekali dalam kehidupan masyarakat. Sistem pendidikan
pesantren dan tradisi pendidikan pesantren, seperti sorogan dalam
pelajaran di pesantren menempatkan kyai menjadi agen penting dari
kehidupan sosial sosio-ekonomi masyarakat Kota dan Kabupaten
Malang. Oleh karena itu tidak heran apabila kesenian yang berkembang di wilayah Kota dan Kabupaten Malang banyak diwarnai nilainilai Islam. Mulai dari tari Zafin, Sandur, Dibaan, dan sebagainya.
Karena kyai dan pesantren ditempatkan sebagai posisi upayas
dalam sistem sosial masyarakat Kota dan Kabupaten Malang, maka
kyai dan pesantren seringkali menjadi agen penting dalam masyarakat. Bahkan dalam banyak hal kyai dan pesantrennya, secara kultural,
bisa pula sebagai agen pembaharuan dalam masyarakat Kota dan
Kabupaten Malang. Oleh karena itu banyak sastra modern yang
dipengaruhi sastra Timur Tengah berkembang di sekitar pesantren
dan kyai ini. Para penyair modern dan sajak-sajak modernnya
berkembang di sekitar komunitas Santri ini.
22
Ketika ditelusuri lebih jauh, budaya arek yang melatar belakangi budaya di kawasan Kota dan
Kabupaten Malang lahir dari perpaduan berbagai aliran budaya: Hindu, Budha, Islam,
Mataraman, Kristen, dan Kolonial. Perpaduan budaya tersebut, menurut Ratna Indraswati
Ibrahim, cerpenis Malang, membuat orang Malang lebih egaliter, terbuka, toleransi, dan memiliki
rasa percaya diri yang tinggi. Keterbukaan sikap masyarakat arek semakin terlihat setelah Kota
Malang berkembang menjadi kota pendidikan, pariwisata, peristirahatan, dan militer.
www.siwah.com
23
Kompas, 21 Juli 2008.
17
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila pola
hubungan sosial politik masyarakat Malang mempunyai corak yang
dilandasi magis-religius, hal ini menjadikan wajah politik di wilayah
Kota dan Kabupaten Malang secara keseluruhan dapat di identikan
dengan langgam kekuasaan yang cenderung Tradisional, meskipun
terjadi transformasi kekuasaan yang berulang akan tetapi mentalitas
kultur kekuasaan masih dalam frame kekuasaan hamba–kawula.
Kekuasaan yang seharusnya dilihat sebagai relasi antar manusia selalu
dipandang sebagai hak/nasib adi kodrati sehingga memunculkan
banyak paradoks kekuasaan yang banyak mengadopsi struktur pemerintahan modern, yang oleh Weber dilukiskan sebagai neo-patrimonial.24
Banyak fenomena pemimpin yang mengklaim memiliki hubungan
genetis dengan raja – raja kuno, pemakaian gelar – gelar kuno juga
banyak di lakukan untuk mendapatkan legitimasi kosmologis. Meskipun
tidak sekental masyarakat “tapal kuda “ masyarakat Kota dan Kabupaten Malang juga meletakkan para pemimpin agama dan tokoh
sebagai pemilik kekuasaan sosial secara informal.
Mayoritas penduduk Kota dan Kabupaten Malang secara riil
beragama Islam. Ke-Islaman mereka terbagi ke dalam dua kelompok,
pertama adalah kelompok Islam nominal dan kedua Islam yang taat,
atau meminjam istilah Geertz (1960) sebagai Islam Abangan dan Islam
Santri. Walau kedua kelompok ini sama-sama Islam namun dikarena
kultur keberagamaannya berbeda maka dalam afiliasi politiknya pun
tidak sama. Kelompok Islam Santri memilih partai Islam, sementara
kelompok Islam Abangan memilih partai Nasionalis. Dengan kata
lain, realitas aktualisasi aspirasi politik umat Islam Malang pada tataran
empirik memperlihatkan sosok fenomena keberagaman kultur.
24
Konsep neo-patriomonial merujuk pada realitas politik sebuah negara yang telah mengalami
tansformasi dalam bidang infra-struktur politik dari yang tradisional ke modern. Perkembangan
innfra struktur politik modern yang dipergunakan dalam kehidupan politik belum diikuti dengan
lunturnya budaya politik tradisional yang melingkupinya. Antara infra struktur politik modern
yang dipakai (seperti partai politik, birokrasi) dan budaya politik tradisional berjalan seiring.
Unsur yang menonjol dari beberapa rezim otoriter yang mampu mempertahankan stabilitas
adalah bertahannya unsur-unsur tradisional yang tampak diwarisi dari masyarakat politik massa
penjajahan. Proses modernisasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik telah membawa perubahan
mendasar dalam masyarakat tradisional. Akan tetapi, diakui secara luas bahwa unsur-unsur
modern dari masyarakat yang sedang berkembang tidak selalu menggantikan elemen-elemen
tradisional, dan memang gaya pikir dan perilaku tradisional tetap mempengaruhi bekerjanya
institusi-institusi sistem tersebut.
18
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
Sepanjang perjalanan sejarah perkembangan partai-partai politik dan
pengalaman pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), realitas ekspresi
penyaluran aspirasi politik umat Islam tidak terkosentrasi ke dalam
satu wadah tunggal partai Islam, akan tetapi menyebar secara bervariasi
ke berbagai saluran partai politik yang ada di panggung arena politik
nasional.
Dilihat dari segi pendidikan, masyarakat Kota dan Kabupaten
Malang yang berpendidikan dan yang kurang berpendidikan prosentasenya kurang berimbang. Masyarakat yang terdidik adalah masyarakat
yang berada di kawasan sekitar Kota Malang, sedangkan masyarakat yang berada di pinggiran umumnya kurang mengetahui tentang
apa tujuan serta visi dan misi partai yang dipilihnya terkesan seperti
mereka sekedar ikut- ikutan. Kyai dan tokoh masyarakat masih menjadi
simpul pengendali terhadap pilihan politik masyarakat. Kondisi ini
merupakan bagian dari ciri khas dari kultur masyarakat Jawa yang
patrimonial dengan pola sosial patron-clien.25 Maraknya kultur patrimonial
dalam masyarakat Malang telah berimplikasi pada kehidupan politik
yang cenderung sentralistik karena kurang ada ruang dari masyarakat
untuk mengekspresikan politiknya secara bebas.
Kyai atau ulama-ulama sebagai Patron yang dihormati dan
sekaligus menjadi panutan dalam kehidupan spiritualnya, merupakan
bentuk pengejawantahan nilai-nilai penting dalam kehidupan pesantren.
Hal ini secara tidak langsung diwariskan secara turun temurun, dari
generasi ke generasi yang terus diperkuat oleh berbagai macam ritual
yang sekaligus sebagai pembeda dari kelompok lain. Mulai dari acara
tahlilan, yasinan, dibaan, maupun acara khusus seperti wali-wali (ziarah
ke makam wali-wali), istighosa dan khususiya (doa bersama), ataupun
kunjungan tetap tiap bulannya ke pesantren tertentu sekedar sowan
(baca : bertamu) pada kyai-nya menjadi tradisi yang melembaga dari
kerajaan kyai. Dilihat dari sisi politik, kondisi ini merupakan lahan yang
25
Hubungan patron-client yang banyak terdapat di beberapa Negara Asia lainnya dan Amerika
Latin yang sangat menitik beratkan aspek material. Sebab dalam sistem bapakisme ini pada
prinsipnya “bapak” atau “patron” menanggung pemenuhan kebutuhan sosial, material, spiritual,
dan pelepasan pemenuhan kebutuhan emosional untuk para “anak buah” atau client. Faktor
utama yang menentukan dalam “bapakisme” adalah hutang budi yang menimbulkan sikap
hormat yang begitu tinggi dari “anak buah” kepada “bapak”. Dalam hubungan seperti ini maka
“anak buah” tidak akan pernah mau menentang “bapak” sekalipun jelas diketahui bahwa “bapak”
tidak benar.
19
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
potensial bagi partai politik untuk menjadikannya sebagai basis
pendukung partai. Oleh karena itu sering kali menjadikan kyai dan para
ulama dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk
menggiring massanya ke partai politik tertentu.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pola afiliasi
politik seperti apa yang di kemukakan Geertz, dimana pemilih Santri
memilih partai Islam, pemilih Abangan memilih partai Nasionalis, dan
pemilih priyayi memilih Golkar masih tampak. Golongan masyarakat
Abangan di Malang cukup banyak, walaupun Malang ini terkenal
dengan masyarakat yang Islamnya cukup besar. PDI-P memiliki
pendukung yang cukup banyak yang dibuktikan dengan suara PDIP
hasil pemilu 1999 dan 2004 yang signifikan dan hampir merata di setiap
daerah (Kabupaten Malang, Kota Malang). Di Daerah Kabupaten
Malang PDI-P meraih 510.450 suara (38,47%) pada pemilu 1999 dan
357.008 suara (28,97%) pada pemilu 2004.26
Dengan demikian, walau kultur pesantren cukup kuat
mempengaruhi kehidupan masyarakat Malang, namun tidak serta merta
menjadikan Malang sebagai basis partai Islam. Karakteristik Masyarakat
Malang yang heterogen dengan kultur arek yang keras dan egalitarian
telah menjadi tembok tebal bagi sebagian warga Malang dalam menahan
pengaruh politik Islam yang datang dari kultur pesantren.27 Oleh karena
itu, walaupun mereka dalam kehidupan kesehariannya mereka bersatu
padu dalam menjalankan ritual yang bercirikan Islam Tradisional seperti
tahlilan, yasinan ataupun yang lainnya, namun dalam hal aspirasi politik
26
Hasil pemilu 2004, walaupun PDIP tetap menempati posisi pertama dalam perolehan
suara, namun mengalami penurunan yang cukup besar. Data KPUD Kota dan Kabupaten
Malang hasil Pemilu 2004, dan data hasil pemilu 1999.
27
Oleh karena itu menurut Hotman Siahaan, di wilayah budaya arek, kekuatan lebih egalitarian.
Ia menunjuk kenyataan menarik hasil pemilu di Jatim dalam lima pemilu sejak tahun 1971.
Hasil yang diperoleh PPP dan Golkar naik turun, tapi PDI menunjukkan garis turun tapi
menunjukkan garis terus naik. Pada pemilu 1971, PDI hanya memperoleh 5,83% dan turun
menjadi 5,11% pada pemilu 1977, kemudian naik menjadi 6,58% (1982), dan 7,99% (1987)
lalu melejit menjadi 15,97 persen (1992). Hasil yang diperoleh PPP pada pemilu 1971 sebanyak
39,25%, kemudian turun menjadi 36,05 persen (1977), lalu naik sedikit menjad 36,64 persen
(1982), lalu turun drastis hanya meraih 20,56 persen (1987) karena ada penggembosan oleh
NU. Kemudian naik lagi menjadi 25,21 persen (1992). Golkar meraih kemenangan besar pada
pemilu 1987 sebesar 71,45 persen, tapi turun drastis pada pemilu 1992 menjadi 58,82 persen.
Hasil pada pemilu sebelumnya adalah 54,92 persen (pemilu 1971), 58,84 persen (1977),
56,78 persen (1982). www.hamline.edu.
20
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
mereka berbeda. Dalam sisi ritualitas keagamaan, masyarakat Kota dan
Kabupaten Malang, dipermukaan memperlihatkan ciri-ciri masyarakat
Islam, khususnya Islam Tradisional. Akan tetapi, dalam realitas politik
mereka cenderung mengidentifikasikan dirinya ke partai Nasionalis,
khususnya pada pemilu 1999 dan 2004 mereka berafiliasi ke PDIP. 28
Dalam lingkup yang lebih luas, kondisi tersebut dapat dijelaskan
bahwa perilaku pemilih di Indonesia masih belum berubah dari pola
yang berkembang sejak Pemilu 1955. Masyarakat tetap menyalurkan
aspirasi politiknya dengan basis ideologi, sedangkan kelompok masyarakat yang rasional hanya hanya sedikit. Kondisi tersebut menyebabkan berbagai konsep, visi, dan platform yang ditawarkan menjadi
tidak punya arti. Pada pemilu legislatif 5 April 2004, sejumlah partai
memperebutkan suara dari kelompok masyarakat pemilih yang sama,
seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai
Golkar yang memperebutkan kaum Nasionalis, Partai Amanat
Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PK Sejahtera) mencari
suara kaum Islam modern, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperebutkan suara
kelompok Islam Tradisional. Hal ini dikuatkan oleh pandangan
Ichlasul Amal (2004), bahwa hasil pemilu legislatif menunjukkan
dengan jelas asal-muasal suara yang diperoleh empat besar partai
pemenang pemilu, Golkar, PDI-P, PKB, dan PPP. Keempat partai itu
mendulang suara dari kelompok Islam dan Nasionalis. Masyarakat
masih mencoblos partai berdasarkan aliran, budaya, dan agama.
Di Jawa Timur, termasuk wilayah Kota dan Kabupaten Malang,
ciri sosial dan budaya berpengaruh terhadap pola afiliasi politik.
Masyarakat Tlatah Mataraman dari sejak 1955 hingga 2004 selalu
loyal kepada partai yang Nasionalis. Orang Mataraman tidak suka
yang mencolok, misalnya Islam yang terlalu Islam, karena mereka
anggap tidak Nasionalis. (Kompas, 21 Juli 2008). Sebaliknya, mayoritas
tlatah Madura dan Pandalungan lebih loyal kepada partai yang
berbasis massa Islam Tradisional, NU (Orla), PPP (Orba), Partai
Kebangkitan Bangsa (Orde Reformasi). Daerah dengan kultur Madura
dan Pandalungan menempatkan Ulama dan Kyai dalam stratifikasi
28
Kenyataan seperti ini tidak salah apabila Malang dikatakan sebagai daerah “semangka”, yaitu
daerah yang dipermukaannya hijau (Islam), namun di dalamnya merah (Nasionalis).
21
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
sosial tertinggi dan masih sekaligus menjadi panutan yang pengaruhnya ikut merembes ranah politik. Dalam pemilu 1999 dimenangi oleh
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang “merah”, dan
lima tahun kemudian, dalam pemilu 2004 PKB yang “hijau” unggul.29
B. Profil Umum Partai Politik Yang Lolos Treshold
Pada pemilu 1999 ada sekita 48 partai politik yang ikut berkompetisi
dalam pemilu, namun hanya ada enam partai yang lolos electoral
threshold 2,5% yaitu PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Pada
Pemilu 2004, jumlah partai yang ikut pemilu menurun drastris menjadi setengahnya (24 partai), dari keenam partai incumbent hanya
PBB yang tidak bisa lolos threshold 3% namun ada 2 partai yang
baru masuk yaitu PKS dan Demokrat. Pada pemilu 2009, partai politik
mengalami peningkatan kembali menjadi 38 partai politik yang ikut
kompetisi. Dari ke 38 partai ini, ada 9 partai politik yang lolos
parliamentary threshold 2,5%, 7 partai incumbent dan 2 partai baru
yaitu Gerindra dan Hanura.
1. Partai Demokrat
Demokrat merupakan partai baru dalam perpolitikan Indonesia.
Partai ini didirikan pada tahun 2001 oleh Soesilo Bambang Yudhoyono
untuk memfasilitasi pencalonannya sebagai presiden. Sebagaimana
aturan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum, bahwa untuk
menjadi calon presiden harus didukung oleh partai politik, oleh karena
itu SBY mendirikan partai politik sendiri, dari pada masuk dalam
partai politik yang sudah ada. SBY merupakan figure militer yang
dikenal reformis yang mendorong diakhirinya keterlibatan militer
dalam politik. Pada masa pemerintahan Megawati, SBY diangkat
menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, dan pada masa Pemerintahan Gusdur menjadi Menteri Politik dan Keamanan (1999-2001).
SBY termasuk seorang nasionalis, baik dalam karir politik maupun militer, oleh karena itu Demokrat juga secara umum merupakan
partai yang tidak berbasis agama. Namun dalam hal pandangan
ideologi, Demokrat nampaknya ingin memberi ruang bagi semua
golongan agar bisa diakomodir. Oleh karena itu, Demokrat memper29
Lebih jelasnya lihat hasil rekapitulasi pemilu 1999 dan 2004 Provinsi Jatim, www.kpu.go.id
22
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
kenalkan ideologinya dengan label “nasionalis-religius”. Walaupun
SBY berasal dan punya kultur Jawa, namun dukungan terhadap
Demokrat menyebar hampir diseluruh provinsi. Banyak dari kader
dan aktifis Demokrat yang berasal dari Golkar. Kinerja electoral
Demokrat sejak didirikan dan ikut pemilu pertama kali 2004 sampai
pada pemilu 2009 menunjukkan tren yang meningkat. Pada pemilu
2004 perolehan suara Demokrat sebesar 7,4% dan pada pemilu 2009
meningkat menjadi 20,8%.
2. Partai Golkar
Golkar merupakan mesin politik rezim Orde Baru, sebagai
saluran komunikasi dan kontrol antara pemerintah dan rakyat, dan
juga sebagai sarana distribusi patronase dan pengembangan sumber
daya. Golkar menjadi partai politik yang perolehan suaranya selalu
menjadi mayoritas tertinggi dalam setiap lima tahun pemilu yang
dilaksanakan pada masa pemerintahan Soeharto. Jatuhnya rezim
Seoharto pada tahun 1998 menimbulkan krisis dalam internal Golkar.
Banyak pemimpin teras partai keluar dari Golkar dan mendirikan
partai sendiri seperti Hartono (Partai Karya Peduli Bangsa, PKPB),
Edi Sudrajat (Partai Keadilan dan Persatuan, PKP), dan Golkar harus
menerima kenyataan perolehan suaranya pada pemilu 1999 dan 2004
hanya se-pertiga dari perolehan suara ketika masa rezim Orde Baru.
Walaupun demikian, hal ini merupakan prestasi, mengingat gugatan
dan tantangan yang besar melanda partai ini menjelang reformasi.
Hal yang menjadi keuntungan dari Golkar untuk tetap bertahan adalah
kekuatan jaringan organisasinya yang besar dan dengan reputasi
sebagai partai yang dapat memberikan keuntungan kongkrit bagi
rakyat.
Golkar merupakan partai Nasionalis, dalam artian bahwa partai
ini tidak mendasarkan diri pada agama tertentu. Akan tetapi sejumlah
elemen Islam nampak sangat menonjol terutama dikalangan elitnya
yang berlatar belakang HMI. Beberapa pimpinan Golkar merupakan
tokoh yang berlatar belakang pensiunan militer dan partai ini menekankan dukungannya pada tolerasi agama dan inklusif. Secara ideologis Golkar dapat dikatakan sebagai partai yang berideologi pembangunan, menekankan pada kesuksesan pembangunan sosial dan
ekonomi. Golkar mendapat dukungan yang tersebar diseluruh
23
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
provinsi, namun yang paling banyak pendukunganya datang dari
provinsi luar Jawa, terutama wilayah timur. Beberapa tokohnya seperti
Jusuf Kalla yang merupakan wakil Presiden periode 2004-2009 dan
Agung Laksono Mantan Ketua DPR merupakan tokoh populer di
Golkar yang berlatar luar Jawa bagian Timur.
3. PDIP
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), merupakan
partai yang punya akar historis panjang. Partai ini punya ikatan
dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno,
Presiden pertama Republik Indonesia. Selama pemerintahan Soeharto,
PDI mulai dari tahun 1970an sampai pertengahan 1990an partai ini
menjadi salah satu pilar demokrasi yang selalu ikut pemilu dengan
dua partai lainnya Golkar dan PPP, sebagai partai yang dilegalkan
untuk ikut pemilu. Namun ketika kepemimpinan PDI dipegang oleh
Megawati yang merupakan anak pertama dari Soekarno, pemerintah
mulai resisten dengan PDI, dan pada tahun 1996, Megawati
diberhentikan dengan paksa dari Ketua Umum PDI melalui kudeta,
yang terkenal dengan “kuda tuli”.
Seiring dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto, Pendukung
Megawati mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
dan pada pemilu 1999 menjadi partai terbesar dengan memenangan
33,7% suara. Perolehan suara terbesar yang diperoleh PDIP tidak bisa
menghantarkan Megawati sebagai Presiden, dan baru bisa menjadi
Presiden setelah Gusdur di impeach akibat kasus korupsi. Namun
kinerja pemerintahan Megawati tidak menunjukkan progress yang
baik, berbagai kebijakannya dianggap bertolak belakang dengan
kepentingan wong cilik, oleh karena itu pada pemilu 2004 performa
partai ini mengalami penurunan dan harus menelan kekalahan
dengan perolehan suara 19% dikalahkan oleh Golkar dengan 21%.
Dan pada pemilu 2009 PDIP turun lagi perolehan suaranya menjadi
16,03%.
PDIP merupakan kelanjutan dari PNI yang didirikan oleh
Soekarno yang merupakan partai dengan basis ideologi nasionalis.
Pandangan politik PDIP menekankan pada tiga hal: menjaga
persatuan dan integritas Indonesia dari ancaman dalam dan luar
negeri; toleransi beragama dan kultur yang terbuka; berupaya
24
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
memperjuangkan kepentingan masyarakat umum. Namun demikian,
semua itu tidak secara jelas ditunjukkan dalam berbagai kebijakan,
akan tetapi hanya bisa dilihat dari berbagai respon terhadap isu
sensitif yang muncul dari waktu ke waktu. Salah satu kebijakan
kontroversial yaitu Undang-Undang anti pronografi, yang dikeluarkan
tahuan 2008, dalam posisi ini PDIP menentang.
PDIP menerima dukungan dari hampir semua provinsi, akan
tetapi paling populer berada di Jawa dan Bali. Kekuatan utama PDIP
ada di figur Megawati, oleh karena itu dalam pemilihan Ketua Umum
selalu terpilih, walau menjelang pemilu 2009 sudah ada faksi yang
menghendaki adanya perubahan kepemimpinan. Setelah SBY,
mungkin Megawati merupakan tokoh yang paling populer dalam
perpolitikan Indonesia, namun track record ketika Megawati menjadi
Presiden dan lemahnya gagasan dan kemampuan intelegensi serta
kurangnya generasi muda yang dipersiapkan untuk menjadi
pemimpin teras PDIP telah mereduksi performa partai. Oleh karena
itu berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan citra PDIP,
namun dengan tetap mempertahankan Megawati sebagai Ketua
Umum.
4. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai Islam yang telah
banyak menarik perhatian karena peningkatan spektakuler dalam
perolehan suara. Pada pemilu 1999, partai ini maju dengan nama
Partai Keadilan (PK), namun partai ini hanya mendapatkan 1,7%
suara, namun pada pemilu berikutnya (2004) bisa meningkatkan
perolehan suaranya hampir 4 kali lipat menjadi 7,3%, dan pada
pemilu 2009 menjadi 7,9%. Partai ini dipimpin oleh kader-kader yang
penuh semangat dan berlatar berpendidikan tinggi yang berasal dari
kader-kader organisasi mahasiswa Islam. Partai ini sukses mempergunakan organisasi dan teknik kampanye yang diperkenalkan demokrasi Barat. Hal ini mendorong partai Islam lain untuk melakukan
upaya serupa dengan merubah upaya kampanye yang lebih modern.
Banyak yang memprediksikan bahwa partai ini akan menjadi salah
satu kekuatan partai Islam di Indonesia.
Walaupun dengan berbagai upaya pembaruan dari PKS, namun
partai ini tetap merupakan Partai Islam seperti partai yang telah lahir
25
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
sebelum pemerintahan Soeharto. PKS diidentikan dengan partai Islam
Modernis yang merupakan citra dari partai Masyumi yang lahir pada
tahun 1950an. Akan tetapi PKS juga telah berupaya untuk melakukan
perbaikan citra sebagai partai Islam. Sedikit banyak kesuksesan yang
diraih pada pemilu 2004 berasal dari kampanye untuk memenangkan
pemilih terdidik perkotaan dengan melontarkan isu korupsi dan
pemerintahan bersih. PKS banyak mendapat serangan dari lawan
politiknya, yang dianggap punya agenda tersembunyi, untuk menerapkan syariat Islam dibalik citra toleran dan partai inklusif. Besarnya
tantangan yang dihadapi dalam menggalang pemilih Islam, PKS
berusaha untuk mengembangkan basis konstituennya. Oleh karena
itu, pada pemilu 2009, partai ini tidak lagi kelihatan sangat hijau
karena mengendorkan kampanye yang berbasis kepentingan Islam,
bahkan dalam beberapa kasus tertentu menjadikan caleg dari agama
lain seperti di Papua. Menjelang pemilu 2009, PKS juga membuat isu
kontroversial dengan mendukung mantan Presiden Soeharto sebagai
pahlawan Nasional.
Pimpinan teras PKS tidak ada yang popoler sebagai mana partaipartai papan tengah atas lain, partai ini sangat menekankan pada
kinerja organisasi sebagai kekuatan dengan sistem kaderisasi yang
baik dan solid. Satu tokoh paling populuer adalah Hidayat Nurwahid,
karena pernah menjadi Ketua MPR.
5. Partai Amanat Nasional (PAN)
Partai Amanat Nasional didirikan oleh Amin Rais, seorang
tokoh reformasi dan paling berjasa dalam melakukan perubahan
kepemimpinan Orde Baru 1998. Amin Rais merupakan akademisi,
dosen jurusan Hubungan Internasional UGM, dan juga mantan Ketua
Umum PP Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam terbesar kedua
setelah NU di Indonesia. Walaupun Amin Rais berlatar belakang Islam
Modernis, namun partai ini tidak di design untuk menjadi partai Islam.
PAN berusaha menjangkau seluruh elemen masyarakat, khususnya
kelompok menengah perkotaan. PAN pada pemilu 1999, kinerja
electoralnya cukup menjanjikan dengan perolehan suara 7,1%.
Pada pemilu 2004 kinerja electoral PAN terus mengalami
penurunan, walaupun dari sisi perolehan kursi bertambah. Pada masa
kepemimpinan Soetrisno Bachir, PAN berusaha menghapus citra PAN
26
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
sebagai partainya Muhammadiyah. Oleh karena itu banyak dari
kalangan kader yang berlatar belakang Muhammadiyah merasa
kecewa dan mendirikan partai baru yang bernama Partai Matahari
Bangsa (PMB). Menjelang pencalon presiden 2009, terjadi polemik
diinternal PAN, yang berakibat pada pergantian kepemimpinan dari
Soetrisno ke Hatta Rajasa yang sekarang menjadi Menko
Perekonomian.
6. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Partai Kebangkitan Bangsa didirikan oleh mantan Presiden
Abdurahman Wahid (yang lebih dikenal dengan Gusdur) tahun 1998.
Walau didirikan setelah kejatuhan Soeharto, partai ini sebenarnya
punya ikatan historis dan sosiologis dengan partai yang didirikan
tahun 1950an yaitu Partai Nahdhotul Ulama sebagai representasi dari
kelompok Islam tradisional. Basis pendukung utama PKB merupakan
kelanjutan pendukung NU yang tersebar diseluruh Jawa Timur,
utamanya di wilayah tapal kuda. Walaupun punya pendukung dari
kelompok Islam, PKB cenderung lebih di design sebagai partai non
Islam dengan asas Pancasila. Sebagaimana pendirinya yang sangat
konsen dengan pluralisme beragama, partai ini pun menekankan
pentingnya keragaman budaya dan agama.
Walaupun PKB punya dukungan kuat di Jawa dan berhasil
mendapatkan suara yang mengesankan pada pemilu 1999, namun
partai ini terus mengalami penurunan kinerja electoralnya akibat
konflik internal partai yang melibatkan Gusdur sebagai pendiri partai
dengan para ketua umumnya, dan terus berlanjut sampai menjelang
wafatnya Gusdur. Perpecahan terjadi mulai dari diberhentikannya
Matori Abdul Jalil, Alwi Sihab, Saefullah Yusuf, sampai Muhaimin
Iskandar yang merupakan keponakan Gusdur sendiri. Konflik Gusdur
dengan Muhaimin sampai berlanjut di pengadilan, dan Gusdur
dinyatakan kalah. Pada pemilu 2009 terjadi penggembosan oleh
Gusdur dan putrinya Yeni Wahid yang mengakibatkan PKB kehilangan suara signifikan dengan perolehan suara 4,6%.
7. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai Persatuan Pembangunan didirikan pada tahun 1973,
setelah Orde Baru membuat kebijakan fusi partai. Pada pemerintahan
27
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Orde Baru dibawah Soeharto, hanya ada tiga partai yang boleh ikut
pemilu yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Sebagian pemimpinnya berlatar
belakang Islam Tradisional NU, dan yang lain berasal Islam Modernis
Muhammadiyah. Setelah Orde Baru bubar, sebagian konstituennya
banyak yang beralih ke partai lain, utamanya partai yang punya
hubungan historis dengan NU seperti PKB. PPP berusaha menunjukkan karakter sebagai partai Islam dengan mempertahankan simbol
ka’bah sebagai lambang partai, mendorong dan mendukung diberlakukannya piagam Jakarta. Partai ini pada pemilu 1999 cukup populer
dengan posisi ke tiga dalam perolehan suara dan menjadikan Hamzah
Haz sebagai wakil Presiden mendampingi Megawati. Namun kinerja
partai ini terus mengalami kemunduran pada pemilu-pemilu berikutnya.
Setelah Hamzah Haz, kepemimpinan PPP di pegang oleh Suryadarma
Ali, yang menjadi menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
8. Partai Bulan Bintang (PBB)
Partai Bulan Bintang merupakan partai Islam Modernis lain
selain PKS dan PAN. Partai ini punya hubungan historis dengan Partai
Masyumi, hal ini bisa dilacak dari para pendiri partai yang merupakan
keturunan dari para tokoh Masyumi seperti Ahmad Sumargono,
Yusril Ihza Mahendra. Oleh karena itu basis pendukungan PBB banyak
datang dari pemilih di luar Jawa sebagaimana Masyumi tahun 1955.
Pada pemilu 1999 PBB menjadi salah satu partai yang lolos
electoral threshold 2,5%, namun pada pemilu 2004 partai ini dinyatakan tidak lolos karena tidak memenuhi perolehan suara minimum
3% sebagaimana ketentuan baru threshold walau suaranya mengalami
peningkatan. PBB sangat kental dengan ideologi Islam, sebagaimana
yang terbaca dalam platformnya yang menjadikan Islam sebagai asas
partai.
9. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
Partai Gerindra didirikan oleh Prabowo tahun 2008 sebagai
sarana pencalonannya menjadi Presiden. Parbowo merupakan figur
yang terkenal dan kuat ketika Orde Baru, sebagai mantan Danjen
Kopasus dan menantu dari Penguasa Orde Baru Soeharto. Namun
demikian, Prabowo banyak dikaitkan dengan berbagai kasus HAM
yang membuatnya tidak popoler dalam pemilihan Presiden, ketika
28
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
mendampingi Megawati pada pemilu 2009. Kinerja electoral Gerindra
tidak se bagus pendahulunya Demokrat, partai ini pada pemilu 2009
hanya memperoleh suara 3,0%. Menjelang pemilu 2009, Gerindra
sangat banyak melakukan kampanye lewat media televisi dengan
mengusung isu kemandirian ekonomi yang banyak menyerang
kebijakan SBY yang dianggap terlalu liberal dalam visi ekonominya.
10. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
Partai Hati Nurani Rakyat merupakan partai lain yang didirkan
oleh mantan jenderal semasa Orde Baru. Partai ini didirikan oleh
Wiranto yang juga didirikan dalam rangka mendukung pencalonan
sebagai presiden. Wiranto pernah menjabat sebagai Panglima ABRI,
dan Menteri Pertahanan semasa Presiden Soeharto dan Gusdur,
Wiranto merupakan rival dari Prabowo ketika menjelang berakhirnya
pemerintahan Soeharto, dan juga punya bayang-bayang kasus HAM.
Wiranto tidak punya dukungan finansial kuat sebagaimana Prabowo,
akan tetapi mempunyai jaringan luas serta koneksi dengan para
pensiunan dan para petinggi TNI. Dalam kampanyenya lebih mengutamakan pemakaian caleg lokal yang potensial dari pada mempergunakan media massa. Oleh karena itu, dalam pemilu 2009 partai ini,
walaupun lolos Parliamentary Threshold, namun kinerja electoralnya
paling buncit dengan perolehan suara 3,8%.
C. Pembilahan Politik Berbasis Aliran dan Kondisi Electoral
1. Fragmentasi Politik Berbasis Aliran
Guna memetakan fragmentasi politik aliran, pertama-tama
perlu dikemukakan beberapa pemikiran yang telah dikemukakan oleh
para tokoh politik maupun akademisi mengenai kategorisasi politik
di Indonesia. Dari kalangan politisi, Soekarno (1964) memetakan
ideologi partai politik ke dalam Nasionalis-Agama-Komunis
(Nasakom), dimana kelompok Nasionalis diwakili oleh PNI, Agama
oleh Masyumi dan NU sedangkan Komunis direpresentasi oleh PKI.
Dari kalangan akademisi, Feith dan Castles (1970) menyodorkan
pembagian yang lebih kompleks untuk Sungai Budaya tahun 1950an, yaitu, Nasionalisme radikal (PNI), Tradisionalisme Jawa (PNI-PKINU), Islam (NU, Masyumi), sosialisme demokratis (PNI-Masyumi) dan
komunisme (PKI). Mencoba mengikuti Feith dan Castles, Dhakidae
29
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
(1999) membagi masyarakat ke dalam empat kelompok, yaitu
kelompok Nasionalis (PDI-P), Pembangunan (Golkar), Agama (PBB)
dan Sosialisme (PRD). Sedangkan Suryadinata (2002) mengkristalkan
kembali pemikiran dan aliran politik yang ada ke dalam dua kategori
besar, yaitu, Pancasila dan Islam Politik (Political Islam).
Formulasi Feith (1970) yang mengungkap lima kutub aliran.
Yaitu, Islam, Nasionalisme radikal, sosialisme, komunisme, dan
Tradisionalisme Jawa. Tumbuhnya kelima aliran itu dipengaruhi oleh
dua sumber utama, yakni: khasanah Barat (modern) dan domestik
(Hindu-Buddha dan Islam). Dari situlah mengejawantah heterogenitas partai. Feith melihat kelima aliran itu saling terkait (cross-cutting).
Nasionalisme radikal dengan representasi PNI terkait dengan NU;
Islam dengan representasi Masyumi bersama NU; Tradisionalisme
Jawa dengan representasi Partindo terkait PNI dan NU; sedangkan
sosialisme demokrat dengan representasi PSI terkait Masyumi dan
PNI. Kecuali aliran komunisme yang diwakili PKI menjadi kutub
terpisah sendiri. Pola penggolongan Feith tersebut tampaknya mendobrak kesemerawutan pandangan ideologi yang kaku.30
Sebenarnya kategorisasi politik berbasis aliran seperti model
Geertz, Feith, dan Soekarno itu sudah banyak mendapatkan kritik
karena dianggap hanya mewakili potret masyarakat Jawa dan sejak
keruntuhan Orde Baru, model itu dianggap sudah tertinggal dari
perkembangan politik kontemporer. Meski demikian, teori politik
aliran bagaimanapun masih tetap dipakai sebagai kerangka perspektif
dalam memahami basis pembilahan orientasi politik atau pengelompokan religio-sosial, serta hubungan sistem kepercayaan dan realitas
politik. Begitupun dalam pembahasan disini, penulis akan mempergunakan penglompokan politik model Geertz yaitu Islam vs Nasionalis
sebagai alat analisis.
30
Feith membagi tipologi parpol di Indonesia atas dasar ideologi politik. Paling kiri dianut
Partai Komunis Indonesia, agak ke tengah (komunis Nasionalis) Partai Murba, ke kanan (sosial
demokrat) Partai Sosialis Indonesia (PSI), di tengah ada Nasionalisme kerakyatan Partai Nasional
Indonesia (PNI), agak ke kanan ada partai-partai Islam modern (Masyumi dan Persis), Tradisional
(NU), dan yang bertipe solidarity maker bercampur traders (PSII). Ada juga partai-partai
Nasionalis kecil, seperti PIR (Partai Persatuan Indonesia Raya), Parindra (Partai Indonesia
Raya), PNI-Merdeka, SKI (Sarekat Kerakyatan Indonesia), Partai Buruh dan lainnya. Dua
partai beraliran Kristen, Parkindo dan Partai Katholik, tidak dikategorikan partai agama, karena
Kristianitas dan Nasionalisme berbaur hanya untuk menunjukkan eksistensi kaum minoritas.
30
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
1.1. Partai Politik Islam31: Asal Usul, Isu, dan Basis Kelompok
Pemilih
Kalau kita menengok ke belakang, sejarah berdirinya partai
politik Islam di inspirasi oleh adanya keinginan untuk membentuk
wadah politik tunggal untuk perjuangan ummat Islam pasca kemerdekaan 1945. Sesuai dengan manifestasi politik pemerintah yang
ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta bulan November
1945 semua golongan ummat Islam sepakat untuk membentuk suatu
wadah politik tunggal yang bernama MASYUMI (Moh. Sjafaat
Mintaredja, 1971).
Partai Politik Masyumi ini didukungan oleh organisasi-organisasi Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PSII. Akan tetapi
kebersamaan ketiga ormas Islam ini mengalami perpecahan dalam
mendukung Masyumi pada tahun 1948 dengan dibentuknya kembali
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dibawah pimpinan Arudji
Kartawinata, Abikoesno Tjokrosoejoso dan lain-lain. Kemudian pada
tahun 1953 disusul dengan keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) dan
menjadi partai politik sendiri. Sampai pemilu 1955 praktis basis kelompok
pendukung Masyumi yang secara formal mendukung adalah
Muhammadiyah. Walapun pada akhirnya, Muhammadiyah harus
menyatakan diri mundur dari keanggotaan istimewa Masyumi
sebelum partai ini dibubarkan pada tahun 1960.32
Isu yang muncul dari partai Islam sering berhubungan dengan
upaya pembentukan negara Islam dan pelaksanaan syariat. Dalam
periode pasca pemilu 1955, pertarungan ideologis di arena pemilu
juga terjadi di arena parlemen ketika bersidang untuk menentukan
dasar Negara. Kelompok Islam mengajukan Islam sebagai Dasar
Negara, sementara Kelompok Nasionalis mengajukan Pancasila
sebagai Dasar Negara. Guna menunjukkan kedekatan ideologis
dengan kelompok Muslim, partai-partai Islam mendesain lambang
partai dengan simbol-simbol yang mencirikan nilai-nilai keislaman.
Dalam Pemilu 1955, secara Nasional, Partai Masyumi (Majelis
31
Yang dimaksud dengan parpol Islam dalam penelitian ini adalah parpol yang secara formal
mencantumkan Islam sebagai asas partai dan parpol yang secara sosiologis punya kaitan dengan
Islam seperti PAN dan PKB.
32
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat, Moh. Sjfaat Mintaredja, Masyarakat Islam dan Politik di
Indonesia, Jakarta, Permata Jakarta, 1971.
31
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Syuro Muslimin Indonesia) menempati peringkat kedua dalam
perolehan suara pemilih (20,9%) dan NU (Nahdatul Ulama) menduduki urutan ketiga dengan perolehan suara pemilih (16,68%). Kedua
partai ini dikenal sebagai partai politik berbasis Islam yang menonjol
diantara partai-partai Islam yang ada di panggung politik nasional
pada masanya. Partai-partai berbasis Islam lainnya seperti PSII (Partai
Syarikat Islam Indonesia), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah),
AKUI (Aksi Kemenangan Umat Islam) dan PPTI (Partai Persatuan
Tharekat Indonesia) jauh terpuruk dipapan bawah dan meraih suara
sangat sedikit. Keempat partai Islam tersebut adalah partai-partai
kecil yang dalam percaturan politik dipentas nasional tidak memiliki
peranan dan suara yang signifikan dan posisi mereka berada diarena
pinggiran saja.
Masa Demokrasi Terpimpin, kekuatan politik Islam mengalami
kemunduran yang salah satunya disebabkan karena dibubarkannya
Partai Masyumi akibat menolak mendungkan ideologi Nasakom.
Dengan memudarnya kekuatan politik Islam, menyebabkan partaipartai Islam menjadi terpinggirkan dari arena kekuasaan. Setelah
masa demokrasi terpimpin berakhir, dan Orde Baru tampil memegang
kendali kekuasaan, umat Islam mempunyai harapan besar kembali
Masyumi. Harapan itu berubah menjadi kekecewaan karena “Rezim
Orde Baru tidak memperbolehkan Masyumi tampil kembali sebagai
partai politik. Sebagai gantinya, rezim Orde Baru mengizinkan berdirinya Parmusi”. Itu pun dengan catatan, tokoh-tokoh eks-Masyumi
dilarang terlibat dalam kepengurusan partai. Hal itu menunjukkan
adanya niat awal untuk memarginalkan peran politik Islam.
Ternyata proses marginalisasi yang dilakukan rezim Orde Baru
terhadap Islam politik terus berlanjut, yaitu dengan mengeluarkan
deideologisasi. Dalam kebijaksanaan ini, partai-partai politik tidak
diperbolehkan menggunakan asas lain selain asas Pancasila. Akibat
kebijaksanaan itu maka partai-partai politik tidak mempunyai pilihan
lain. PPP terpaksa menanggalkan asas Islam dan menggantinya
dengan asas Pancasila. Pemerintah Orde Baru mengiring Islam untuk
menjadi agama yang hanya mengurusi ibadah dan soal-soal
kemasyarakatan dan menanggalkah yang bersifat politik praktis. Hal
ini ditunjukan dengan besarnya dukungan rezim Orde Baru dalam
kegiatan umat Islam yang berhubungan dengan masalah ibadah dan
32
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
kemasyarakatan, tetapi yang berkaitan dengan politik rezmim Orde
Baru membatasinya, bahkan melarangnya.
Memasuki era reformasi sistem kenegaraan Indonesia mengalami perubahan yang mendasar, yaitu dari sistem politik otoriter
dengan supremasi militer menjadi sistem politik demokrasi. Salah satu
ciri dari sistem politik demokrasi adalah kebebasan untuk membentuk
partai politik. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pasca
Orde Baru partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan, tidak
hanya partai-partai yang berbasi Islam, tetapi juga partai-partai
berbasis Nasionalis. Dengan beragamnya partai politik yang muncul
dan berkembang di era reformasi, ada kecenderungan partai-partai
tersebut menghadirkan ruh politik yang berkembang pada massa Orde
Lama yaitu politik aliran.
Walaupun demikian, diantara elit-elit partai yang tergiur untuk
mengembalikan romantisme politik masa lalu, masih ada sebagian
elit yang tidak merasa perlu untuk menghadirkan politik aliran
sebagaimana pernah ada. Di antara elit-elit tersebut, sebutlah Amin
Rais dan Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Amin Rais membidani
lahirnya Partai Amanat Nasional, sementara Gus Dur mendorong
lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa. Kedua partai ini walaupun
secara riil kekuatan massa pendukung ada dalam segmen pemilih
Islam namun keduanya tidak mencantum kan Islam sebagai dasar
Partai, melainkan Pancasila. Dan pada kenyaataannya terbukti
bahwa pada pemilu 1999 maupun 2004 baik PAN maupun PKB
sebagian besar suaranya diperoleh dari basis sosiologis masing-masing.
PAN dari kelompok Islam Modernis, seperti Muhammadiyah dan
Ormas Islam Modernis lainnya, sementara PKB berasal Kelompok
Islam Tradisional yaitu NU.
Karena banyaknya partai politik yang mengatasnamakan Islam,
atau pun partai politik yang berebut massa Islam. Pada akhrinya partai
politik Islam tidak ada satu pun yang mempunyai suara signifikan
pada pemilu 1999, termasuk PAN dan PKB. Bahkan pada pemilu
2004 kedua partai politik ini mengalami kemunduran dalam hal
jumlah suara. Hal yang menarik dalam pemilu 2004 ini adalah munculnya Partai Keadilan Sejahtera yang pada pemilu 1999 bernama Partai
Keadilan. PKS mengalami peningkatan suara yang signifikan. PKS,
berbeda dengan PAN dan PKB yang menyatakan dirinya sebagai partai
33
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
terbuka, dengan tidak menjadikan Islam sebagai dasar ideologi partai,
PKS secara formal jelas mencantumkan Islam sebagai dasar ideologi partai.
Partai Islam yang ikut pemilu 1999 terdiri dari partai yang secara
eksplisit dan formal menyatakan diri sebagai partai Islam atau partai
yang didasarkan atas asas Islam, termasuk juga di sini adalah partai
politik yang mempunyai akar sosiologis berdirinya partai. Dalam
pemilu 1999, yang secara formal menyatakan diri sebagai partai Islam
adalah PPP, PBB, PK, PUI, PSII, PSII 1905, PNU, PKU, Partai Politik
Islam Masyumi, Partai Masyumi Baru, KAMI, PP, dan yang secara
sosiologis masuk kedam partai Islam adalah PAN dan PKB.
Sementara partai-partai Islam yang secara sosiologis berakar dalam
organisasi sosial keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah
adalah PKB dan PAN. PKB adalah partai yang didirikan oleh para
elite NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Walaupun
secara formal NU tidak menyatakan PKB sebagai partai NU, namun
di bawah kepengu-rusan Gus Dur, sebagian besar elite dan pengurus
NU mendukung dan duduk dalam kepengurusan PKB. Pada pemilu
2004 partai Islam, terdiri dari Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan
Pembangunan, partai Keadilan Sejahtera, dan partai Bintang
Reformasi, PAN dan PKB.
Sementara itu PAN didirikan oleh sejumlah aktivis dan intelektual dengan latar belakang keagamaan lebih beragam. Karena itu
sejak awal partai ini mengklaim dirinya sebagai partai terbuka yang
punya komitmen terhadap pluralisme keagamaan. Tapi kepemimpinan Amien Rais dan sejumlah figur di jajaran elite PAN membuat
partai ini secara sosiologis cukup mudah diidentikan dengan umat
Islam yang berafiliasi dengan ormas Islam terbesar kedua, yakni
Muhammadiyah. Karena itu cukup beralasan kalau partai ini secara
sosiologis juga dimasukkan ke dalam kategori partai Islam.
Partai Islam yang ikut kontes dalam pemilu 2004 berjumlah 7
partai, terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional,
Partai Bintang Reformasi, Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera,
Partai Bulan Bintang.
Memasuki pemilu 2004, terjadi semacam restorasi, di mana
partai-partai yang semula dikenal “hijau” mulai mencoba untuk
menampilkan wajah Nasionalis dengan mereduksi isu-isu penegakan
34
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
Syariat Islam dan Negara Islam dalam kampanyenya, sebagaimana
dilakukan PKS. Ketika masih bernama Partai Keadilan (PK), dengan
mengusung isu Islam partai ini tidak mendapatkan suara yang
signifikan dalam pemilu 1999. Di Parlemen hanya memperoleh 7 kursi.
Namun setelah melakukan pembenahan Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) di mana isu yang diluncurkan lebih riil dan menjadi dambaan
masyarakat, seperti penegakan keadilan dan pemberantasan korupsi
dengan semboyan “bersih dan peduli”, PKS yang pada pemilu 1999
hanya menadapat 7 kursi, pada pemilu 2004 menjadi 45 kursi.
Hasil Pemilu Legislatif 2004, dari 24 partai yang ikut menjadi
kontestan pemilu, sebanyak 17 partai politik mendapat kursi di DPR
RI. Dari tujuh partai Islam yang berlaga pada pemilu kali ini, tiga
partai mengalami penurunan dukungan suara (PPP, PKB dan PAN)
dan dari tiga partai politik lainnya meningkat, yakni PKS, PBB, dan
partai persatuan Nahdatul Ummah Indonesia (PPNUI). Satu partai
lagi adalah pendatang baru, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR).
Pada pemilu 2004, partai Islam Modernis diwakili oleh PAN
yang inklusif, sementara yang Konservatif diwakili oleh PBB yang
eksklusif. Di sisi lain partai Islam Tradisionalis diwakili oleh PKB yang
inklusif dan PNU yang eksklusif. Perkembangan selanjutnya, nampak
ada kecenderungan partai-partai Islam membuka diri ke segmen
massa yang lebih lebih luas, sebagai contoh PKS yang sudah membuka
diri kepada luar yang bukan dari kalangan Santri.
Pada pemilu 2009, yang dapat terdeteksi sebagai partai Islam
umumnya merupakan partai yang sudah pernah ikut dan berganti
nama, atau partai Islam yang lulus threshold. Diantara partai-partai
Islam yang ikut pemilu 2009 antra lain PBB, PKS, PAN, dan partai
baru PMB merupakan partai berbasis Islam modernis, sementara yang
mewakili partai Islam tradisional adalah PKB, PPP, dan PKNU yang
merupakan partai lama dengan baju baru ( the old wine in the new bottle).
1.2. Partai Nasionalis: Asal Usul, Isu, dan Basis Kelompok Pemilih
Partai politik berbasis ideologi Nasionalis, pada masa Orde Baru
identik dengan PNI. Sementara PNI pada masa Orde Lama merupakan representasi dari kelompok priyayi, sementara PKI menjadi
representasi kelompok abangan. PNI atau Partai Nasional Indonesia
merupa-kan partai politik tertua di Indonesia. Partai ini didirikan
35
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia
dengan ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo,
Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Bung Karno
merupakan simbol dari partai Nasionalis ini.
Dalam perjalanan politiknya Soekarno banyak mengalami
benturan – benturan dengan kalangan Islam, dimana polemik yang
paling tajam adalah seputar dasar negara dengan tokoh paling terkemuka kalangan Islam saat itu, Mr. Mohammad Natsir. Partai Nasionalis
Indonesia (PNI) cukup mendapat sambutan, hal ini dibuktikan dengan
hasil pemilu 1955 yang meraih suara signifikan dibanding dengan
partai-partai lainnya. Dari empat besar perolehan suara pada pemilu
1955 PNI mendapatkan 22,3% suara, Masyumi 20,9% suara, NU
18,4% suara, dan PKI mendapat 16,4% suara. Dengan melihat kekuatan empat besar partai pemenang pemilu menunjukkan adanya
kekuatan yang seimbang antara partai Islam berbanding dengan partai
Nasionalis plus Komunis, dengan rasio 39,3% berbanding 38,7%,
dengan selisih hanya 0,6%. Sementara peroleh kursi di Parlemen, PNI
mendapat 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI mendapat
39 kursi.
Memasuki periode Orde Baru, pemerintah berusaha menyederhanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya, banyaknya
Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan
dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah
ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan
tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dalam pengelompokan ini ada partai yang merasa tidak pas
masuk kedalam kelompok spiritual yaitu Partai katolik dan Parkindo,
akhirnya mereka memutuskan untuk bergabung dengan kelompok
Nasionalis.33 Akhirnya pada tanggal 4 Maret 1970 terbentuk kelompok
33
Situasi pada saat itu tidak memberikan pilihan lain bagi parpol kecuali mempusikan diri.
Kelompok Nasionalis yang disebut kelompok Demokrasi Pembangunan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia pada tanggal 10 januari 1973. Sedangkan kelompok persatuan menjadi
Partai Persatuan Pembangunan. Sejak saat itu Indonesia mempunyai sistem tiga partai, yaitu:
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan partai Golongan Karya.
Walaupun dalam komunikasi politiknya Golkar tidak mau menyebutkan dirinya sebagai partai
politik, dalam setiap pemilu yang dilaksanakan pada masa Orde Baru selalu mencantumkan
dirinya hanya Golkar tanpa di embel-embeli dengan partai.
36
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI, IPKI, Murba,
Parkindo, dan Partai katolik. Selanjutnya pada tanggal 14 Maret
Tahun 1970 terbentuk kelompok spiritual yang terdiri dari NU,
Parmusi, PSII, dan Perti. Penyederhanaan (baca: penciutan) baru
tuntas pada tahun 1972. Partai-partai Islam seperti NU, Parmusi, Perti,
dan PSII dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sedangkan Partai Katolik, Parkindo, IPKI, PNI, dan Murba menjadi
Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian, organisasi politik
yang mengikuti pemilu tahun 1977 tinggal tiga. Bersamaan dengan
itu, akar partai di tingkat desa dan kecamatan diputus, dan hanya
diizinkan sampai daerah tingkat Kota atau Kabupaten (floating mass).
Pada pemilu 2004, partai Nasionalis berjumlah 16 partai yang
terdiri dari Partai Sarikat Indonesia, Partai Golkar, Partai Karya Peduli
Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Patriot
Pancasila, Partai Demokrat, Partai Persatuan Daerah, Partai Merdeka,
Partai Indonesia Baru, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan. PDIP, PNBK, Partai Pelopor, PNI Marhaenisme, Partai Penegak Demokrasi
Indonesia, Partai Buruh Sosial Demokrat.
Partai-partai tersebut berorientasi Nasionalis lintas agama, dan
masing-masing berasas Pancasila. Dilihat dari sosiologi elite partaipartai ini sangat pluralistik dilihat dari kategori Islam versus nonIslam. Secara historis, PDI-P adalah pelanjut Partai Nasional Indonesia
(PNI) yang hampir identik dengan figur Bung Karno. Sementara itu,
Partai Golkar dan PKP adalah partai yang hadir dari elite Orde Baru,
terutama kelompok militer dan birokrasi, yang pada masa Orde Baru
telah berhasil membebaskan partai-partai politik dari afiliasinya
dengan kelompok keagamaan tertentu, setidaknya secara formal.
Dengan demikian sebanarnya kalau kita kaji genologi dari
partai-partai yang tumbuh dan berkembang di era multipartai
sekarang ini, kebanyakan merupakan turunan dari partai-partai
sebelumnya (era Orde Baru). Baik partai Golkar, maupun, sebagai
partai Nasionalis yang pada masa Orde Baru merupakan fusi dari
beberapa partai politik, pada akhirnya harus terjadi pembelahan sel
politik dan berkembang menjadi partai baru. Adapun Golkar
walaupun bukan merupakan gabungan dari beberapa partai, namun
karena berdiri atas dukungan banyak ormas kekaryaan, maka tidak
bisa dihindari terjadinya disintegrasi politik dalam partai.
37
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Partai politik yang berideologi Nasionalis, dalam pemilu 2009
menunjukkan adanya perkembangan. Selain PDIP, Golkar, dan Partai
Demokrat, ada dua partai Nasionalis baru yang cukup mendapat
apresiasi dari pemilih yaitu partai Hanura dan Partai Gerindra. Partai
Hanura merupakan partai yang didirikan oleh Wiranto seorang
pensiunan jenderal yang pernah jadi Menkopolkam era pemerintahan
Gus Dur. Di sisi lain Partai Gerindra didirikan oleh Prabowo Subianto,
yang juga seorang pensiunan jenderal.
2. Kondisi Umum Electoral dan Politik Aliran
Dari 48 partai politik pada pemilu 1999, tercatat ada 10 partai
politik yang secara formal berasaskan Islam.34 Sementara yang lainnya
berasaskan Pancasila dan dua partai yang berasaskan gabungan
antara Pancasila dan Islam. Pada Pemilu 2004 hanya diikuti oleh 24
partai politik, 9 partai yang terkategorikan partai Islam, 14 partai
Nasionalis, dan 1 partai Kristen (PDS)
Kategorisasi ideologis, khususnya Islam, yang didasarkan pada
asas partai yang secara formal tercantum dalam AD/ART tidak akan
mampu mendalami secara substantif dari partai politik yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa walaupun ada
partai yang secara formal mencantumkan asas selain Islam, namun
dalam praktiknya basis massa mereka adalah pemilih Islam. Di sisi
lain, figur-figur elit partai dilihat dari latar belakang keagamaannya
termasuk tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi keberpihakannya
terhadap Islam. Sebagai contoh PAN yang didirikan oleh Amin Rais
yang punya latar belakang sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
termasuk PKB, ada Gus Dur yang merupakan tokoh Islam mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Nahdlotul Ulama. Begitupun ada
beberapa partai yang dibangun, walaupun tidak mengatasnamakan
partai Islam, tapi konstituen yang dibidiknya adalah konstituen Islam.
Kalau dianalisis dari asal usul partai serta basis pemilih, yang
mendukung partai-partai peserta pemilu 1999, 2004, 2009 masih
sejalan dengan politik aliran,35 sebagaimana yang berkembang pada
34
Secara formal berasas Islam artinya partai tersebut mencantumkan Islam secara formal sebagai
asas partai dalam AD dan ART nya.
35
Konsep politik berdasarkan pola aliran menjadi menonjol, tatkala kehidupan politik dalam
masyarakat bukan didasarkan pada ideologi politik belaka, melainkan antar hubungan organisasi-
38
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
pemilu 1955.36 PDIP yang merupakan representasi dari pemilih
Abangan sebagai kelanjutan dari PNI, PKB dan PPP kelanjutan dari
partai tradisionalis NU yang merupakan representasi dari pemilih
Santri Tradisional, PAN, PBB dan PK kelanjutan dari partai mordernis
Masyumi representasi dari pemilih santri Modernis, sementara Partai
Golkar merupakan representasi dari pemilih Priyayi.37 Pada pemilu
1955 priyayi merupakan kelompok pemilih yang mendukung PNI.
Jika kita bandingkan dengan partai-partai peserta pemilu 1955,
dimana PNI dan PKI mewakili kelompok Nasionalis dengan basis
pemilih Abangan. PNI mendapat dukungan terbesar dari Abangan
kelas menengah atas dan birokrat (priyayi), sementara PKI kelompok
Abangan kelas bawah. Di sisi lain Masyumi dan NU yang mewakili
kelompok partai Islam, Masyumi merupakan basis bagi pemilih Santri
Modernis dan NU merupakan basis pemilih Santri Tradisional. Dengan
demikian tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa partai politik pada
pemilu 1999, 2004, 2009 pasca reformasi ada ada keterkaitan dengan
partai politik pemilu 1955.
Namun demikian, ada perbedaan dalam persaingan politik yang
dirasakan cukup penting untuk dikemukakan. Pada pemilu 1955
Masyumi dan NU sebagai partai pemenang empat besar yang mewakili
segmen pemilih Santri. Di tingkat legislatif (DPR dan Konstituante)
kedua partai ini berjuang untuk menggolkan syariat Islam atau negara
organisasi sosial dengan kehidupan dari suatu sistem sosial yang kompleks (dari suatu infrastruktur
sosial dan kebudayaan di pedesaan dan perkotaan). Karena itu terbentuk suatu aliran politik
yang terformulasikan melalui istilah-istilah yang lebih bersifat ideologis. Sebenarnya perumusan
tentang aliran politik di Indonesia telah dinyatakan di dalam pemikiran Soekarno tentang rumpun
ideologi utama di Indonesia (Nasionalisme, Islam, dan marksisme). Namun klasifikasi tiga
kelompok itu dianggap masih mengandung banyak kesulitan. Sebab tiap-tiap kategori sifatnya
masih terlalu heterogen. Contohnya, perbedaan yang tajam antara kaum komunis dengan kaum
sosialis, kelompok-kelompok yang radikal dan keningratan di kalangan Nasionalis, di samping
pengaruh dari kehidupan subkultur terhadap kehidupan politik di kalangan Islam.
36
Perbandingan pemilu 1955 dan pemilu 1999 dibahas oleh King (2003). Dalam pembahasan
tersebut King berkesimpulan bahwa pemilu 1999 dan 1955 mempunyai kemiripan, dimana
partai-partai politik yang ikut pentas pada pemilu 1999 masih bercorak aliran karena masih
merepresentasikan cleavages agama sama dengan pemilu 1955. untuk lebih jelasnya lihat Dwight
Y. King, 124-126.
37
Patut disampaikan, walaupun PKB dan PAN dalam paltform partai tidak mencantumkan
asas Islam, namun dari kacamata sosiologis dan historis kedua partai ini bisa dikategorikan
partai Islam karena mempunyai kedekatan dengan pemilih Islam. PKB didirikan oleh Gus Dur
yang merupakan mantan Ketua Umum PB NU dan sekaligus cucu pendiri NU yaitu KH.
Hasyim Asyari, sementara Amin Rais merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.
39
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Islam, dan mereka setuju dengan Piagam Jakarta. Di sisi lain PNI
dan PKI yang merupakan representasi dari kaum Abangan yang
Nasionalis, dan ditingkat legislatif tidak berkehendak untuk menjadikan negara Islam, dan berjuang agar Pancasila dipertahankan sebagai
Dasar negara.38 Pada pemilu 1999, 2004, 2009 pertarungan politik
yang berpusat pada pembentukan jati diri negara dalam hal ideologi
tidaklah menjadi tema persaingan partai politik. Persaingan antara
partai Islam dan Nasionalis lebih fokus pada bagaimana mengisi
negara Republik Indonesia ini dari perspektif ideologisnya masingmasing. Partai Islam berusaha agar Syariat Islam itu dapat teraktualisasi dalam kehidupan atau dalam hukum formal, seperti hukum
waris atau ekonomi Islam.39 Lebih jauh, pada pemilu 1955 spektrum
ideologi kiri dan kanan masih jelas. Kutub terkiri dari garis idologi
partai ditempati oleh PKI. Sementara pada pemilu pasca reformasi
kutub kiri menghilang, yang ada hanya partai-partai yang berideologi
tengah kanan.
Lebih jauh, sistem kepartaian yang dihasilkan dari pemilu yang
dilaksanakan di Indonesia bisa dilacak sebagai berikut: Pada tahun
1955, Indonesia mempunyai model sistem kepartaian yang
terpolarisasi dari hasil pemilu demokratis pertama sejak Indonesia
memproklamirkan diri sebagai negara merdeka Tahun 1945. Sistem
kepartaian selanjutnya adalah sistem tiga partai yang dihasilkan dari
pemilu yang dilaksanakan secara berturut-turut Tahun 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, 1997, dengan suasana kehidupan demokrasi yang
sedikit banyak terkurangi akibat intervensi dari rezim otoriter Orde
Baru. Setelah terjadi reformasi politik 1988, sistem kepartaian yang
dihasilkan kembali terfragmentasi walau tidak menunjukkan adanya
polarisasi ideologis yang akut sebagaiman hasil pemilu 1955. Pemilu
demokratis pasca Orde Baru dilaksanakan Tahun 1999, 2004 dan
2009. Kembalinya pemilu demokratis, sedikit banyak punya dampak
38
Pertarungan ideology di tingkat legislative pasca pemilu 1955 lihat Herbert Feith, The Decline
of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca London: Cornell Univeristy Press, 1962.
39
Argument ini saya kemukakan karena pada pemilu 1999, walaupun partai-partai memberi
label sebagai Nasionalis atau Islam, namun secara ril isu-isu yang dimunculkan tidaklah terlalu
ekstrim. Walaupun demikian, lompatan ideology terjadi pada PPP yang lebih mengarah ke
kanan, sementara PKS lebih mengarah ke tengah. Lihat, Kuskridho Ambardhi, Mengungkap
Politik Kartel, Jakarta: PT Gramedia, 2009. hal 239.
40
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
pada sistem kepartaian, dan sistem politik secara keseluruhan. Pemilu
yang dilaksanakan secara reguler, bagi negara yang tengah menjalani
pendalaman kehidupan demokrasi, punya pemahaman yang sangat
besar tidak hanya suksesnya penyelengggaraan pemilu namun juga
seberapa besar pemilu tersebut dapat meningkatkan kinerja sistem
politik secara keseluruhan.
Proporsi suara yang diperoleh masing-masing partai politik
dalam setiap pemilu yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Pemilu 1955, secara nasional partai yang meraih suara signifikan
dibanding dengan partai-partai lainnya adalah PNI dengan 22,3%
suara, Masyumi 20,9% suara, NU 18,4% suara, dan PKI mendapat
16,4% suara. Dengan melihat kekuatan empat besar partai pemenang
pemilu menunjukkan adanya kekuatan yang seimbang antara partai
Islam berbanding dengan partai Nasionalis plus Komunis, dengan
rasio 39,3% berbanding 38,7%, dengan selisih hanya 0,6%. Sementara
peroleh kursi di Parlemen, PNI mendapat 57 kursi, Masyumi 57 kursi,
NU 45 kursi, dan PKI mendapat 39 kursi.
Dari komposisi politik di Parlemen yang terpolarisi secara
ideologis berakibat pada pola kerja Parlemen yang tidak sehat akibat
ekstrimnya perbedaan perspektif untuk menentukan dan menggolkan
satu keputusan. Hal yang paling menonjol adalah perdebatan dan
perselisihan yang menjurus pada dua blok yang sama-sama kuat yaitu
blok Nasionalis plus Komunis dengan blok Islam. Sumber utama
perdebatan dan perselisihan diantara kedua blok itu berkaitan dengan
penentuan dasar negara. Kubu Islam menghendaki agar Islam menjadi dasar negara, sementara kubu Nasionalis tidak menghendakinya. Kenyataan ini berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden
pada tanggal 5 Juli 1959,40 untuk kembali ke UUD’45 dan membubarkan Parlemen dan Konstituante.
Sementara hasil pemilu 1955 di Jatim menunjukkan konfigurasi
kekuatan politik sebagai berikut: dari enam wilayah keresidenan di
Jatim (sementara data hasil pemilu di Karesidenan Malang tidak ada),
40
Dekrit Presiden dikeluarkan atas dukungan TNI yang tidak senang dengan keadaan di Parlemen
yang terlalu banyak perselisihan dan pertentangan Ideolgi. Hal-hal yang terkait dengan persoalan
peran TNI pada masa kemerdekaan, bisa dilihat dalam bukunya Harold Crouch, Army and
Pilitic in Indonesia.
41
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
partai Nasionalis unggul dibanding dengan partai Islam. Di
Karesidenan Basuki, Partai NU mendapat dukungan suara 699.000
suara, Masyumi 150.000, PNI 380.000, dan PKI 232.000. Di
Karesidenan Madura, Partai NU mendapatkan dukungan suara
59.000, Masyumi 134.000, PNI 88.000, dan PKI 3.000. Di Karesidenan
Surabaya, Partai NU mendapat dukungan suara 431.000, Masyumi
117.000, PNI 265.000, dan PKI 231.000. Di Karesidenan Kediri, Partai
NU mendapat dukungan suara 366.000 suara, Masyumi 155.000, PNI
455.000, dan PKI 457.000. Kemudian di karesidenan Madiun, Partai
NU mendapat dukungan suara 92.000, Masyumi 137.000, PNI 254.000,
dan PKI 447.000. Di Karesidenan Bojonegoro, Partai NU mendapat
dukungan suara 131.000, Masyumi 300.000, PNI 155.000, PNI 455.000,
dan PKI 289.000.
Hasil pemilu 1955 di Jawa Timur menunjukkan bahwa: di
wilayah Karesidenan Kediri dan Madiun, PKI unggul dibanding
dengan ketiga partai lainnya. Sementara Partai NU unggul mutlak
di karesidenan Basuki, dan partai Islam Modernis Masyumi hanya
unggul di Karesidenan Bojonegoro. Walaupun demikian selisih suara
antara Masyumi dan PKI tidak terlalu jauh dengan perbandingan
300.000 suara untuk Masyumi dan 289.000 suara untuk PKI. Total
suara pada pemilu 1955 di Jatim sebesar 9.030.960, dengan akumulasi
suara yang diperoleh Partai NU dan Masyumi adalah 4.480.289 suara
atau 49,61 persen. Sementara gabungan suara PNI dan PKI yaitu
4.550.671 suara atau 50,39 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pemilu di Jatim Partai Nasionalis unggul tipis dibanding dengan
Partai Islam dengan selisih suara 0,39 persen.
Kondisi umum hasil perolehan suara baik tingkat Nasional
maupun Jawa timur tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di
Karesidenan Malang, khususnya untuk Kabupaten Malang. Pemenang
pemilu di Kabupaten Malang adalah PNI, yang menang dengan
perolehan suara cukup signifikan yaitu 20,6 persen. Namun berbeda
dengan perolehan yang berskala Nasional di mana peringkat kedua
pemenang pemilu 1955 diduduki oleh Masyumi dan peringkat ketiga
adalah NU, di Kabupaten Malang peringkat kedua diduduki oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memperoleh suara 19,8 persen.,
dan NU berada diperingkat ketiga dengan perolehan suara 12,7
persen, sementara partai Islam Masyumi hanya berada di posisi ke
42
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
empat dengan perolehan suara 6,8 persen.41
Hasil pemilu-pemilu berikutnya, sistem kepartaian di negeri
kita baik 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, menunjukkan adanya
kestabilan, namun kualitas demokrasinya banyak dipertanyakan
karena pelaksanaan pemilu tidak berjalan dengan jujur dan adil.
Pemerintah Orde Baru tidak memberikan ruang gerak bagi partai
politik (PPP dan PDI) untuk meraih dukungan pemilih, sebaliknya
Golkar yang merupakan partai pendukung pemerintah mendapat
berbagai kemudahan dan fasilitas. Oleh karena itu pemilu di bawah
rezim Orde Baru yang authoritarian,42 telah menempatkan Golkar
sebagai pemenang mayoritas. Sementara dua partai lainnya (PPP dan
PDI) hanya sebagai partai pendamping yang tidak boleh besar namun
juga tidak boleh mati. Kemenangan Golkar dalam setiap pemilu masa
Orde Baru tidak lepas dari proses rekayasa pemerintah untuk mengekploitasi suara pada setiap pemilu seperti dilakukannya fusi partai,
membuat massa mengambang (floating mass), dan penetapan azas
tunggal Pancasila (monolitik). Disamping itu trauma politik (peristiwa
G.30.S/PKI) pada tahun 1965, juga dijadikan senjata oleh rezim Orde
Baru untuk melakukan intimidasi kepada masyarakat sehingga
banyak masyarakat khususnya di pedesaan memilih Golkar karena
takut dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI.43
Sementara dua partai lain (PPP dan PDI) tidak diberi kebebasan
untuk melakukan manuver politik, karena gerak langkahnya selalu
diawasi dan dikendalikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, bagi PPP
41
Soewignyo, 1962, dalam Asfar, 2005
Sejalan dengan pergerakan politik Indonesia pasca tahun 1957 ke arah otoritarianisme, banyak
para sarjana mencoba untuk membuat model bangunan sistem politik Soekarno maupun Soeharto.
Fokus perhatian mereka diarahkan pada konflik elit dan budaya politik. Berbagai istilah yang
dipergunakan oleh mereka, namun semuanya punya makna sama yang menerangkan sebuah
fenomena otoritarian. Mareka memberikan karakter pada rezim Soeharto, dan sebagian lagi
pada rezim Soekarno, sebagai “Neo-Patrimonial Regime” (Wilner, 1966; Anderson, 1972; Crouch,
1979); “Repressive-Developmentalist Regime” (Feith, 1979); “Bureucratic Polity” (Jackson,
1978); “Personal Rule” (Liddle, 1985); “Tecnocratic State” (Dougall, 1989); “Beamtenstaat”
(Benda, 1966; McVey, 1982); “State Corporatism” (Mas’oed, 1989).
43
Dwingt Y. King, menyebut demokrasi era Orde Baru sebagai “semidemocracy” atau “pseusedo
democracy”, yaitu sebuah demokrasi yang mempunyai banyak partai, pemilu, dan institusi
demokrasi lain, akan tetapi dalam kenyataannya partai penguasa menentukan keikutsertaaan
partai dan pemilu. Lebih jelasnya lihat, Dwight Y. King, Half-Hearted Reform, Electoral Institution
And The Struggle For Democracy In Indonesia, USA: Praeger Publisher, 2003.
42
43
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
agar bisa survive hanya bisa mengandalkan sentimen keagamaan
(khususnya pemilih Islam), karena PPP merupakan satu-satunya partai
Islam. Begitu pun PDI tidak lebih hanya mengandalkan kharisma
Bung Karno sebagai pendiri PNI, itu pun selalu direkayasa agar
keluarga Soekarno tidak terlibat dalam pimpinan PDI. Dengan
demikian partai ini (PDI) menjadi partai yang paling “tertindas” di
masa Orde Baru, dan ini menjadi berkah tertunda (blessing indisguise)
karena masyarakat yang merasa tertindas oleh kebijakan Orde Baru
menjadi pendukung bagi PDI-P pada pemilu 1999.44
Bagi PPP yang cenderung berharap dari pemilih Islam, khususnya kalangan Islam tradisional (waga NU) mengalami kesulitan, karena
Pemerintah dan Golkar juga melakukan ekspansi besar-besaran ke
dalam pemilih Islam dengan berbagai cara. Pemerintah berupaya
memisahkan PPP dari basis pemilihnya dengan cara mengintervensi
setiap pergantian pucuk pimpinan PPP adalah orang yang kooperatif
dan tidak punya legitimasi kuat di kalangan NU.45
3. Kondisi Electoral Dalam Kultur Politik Aliran Pasca Orde Baru
3.1. Kabupaten Malang: Potret Politik Aliran Berbasis
Masyarakat Agraris
Kabupaten Malang merupakan Daerah dengan luas wilayah
terbesar di Kota dan Kabupaten Malang, dengan jumlah Kecamatan
44
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pasca reformasi, dan menjadi pemilu paling
demokratis kedua stelah pemilu 1955. Menurut Data KPU, PDIP merupakan partai tertinggi
dalam peroleh suara yaitu sebesar 33,7%, diikuti Partai Golkar sebesar 22,4%, PKB sebesar
12,6%, PPP sebesar 10,7%, dan PAN sebesar 7,1%. Kalau dibandingkan dengan perolehan
suara hasil tahun 1997 era Orde Baru, mendapatkan suara paling kecil yaitu sebesar 3,1%, PPP
sebesar 22,4%, dan Golkar sebesar 76,5%. Sumber: Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dalam
Dwight Y. King, Half-Hearted Reform, Electoral Institution And The Struggle For Democracy
In Indonesia, USA: Praeger Publisher, 2003, hal. 32 tabel 2.3.
45
Pucuk pimpinan PPP dalam beberapa periode dipimpin oleh Idham Chalid yang merupakan
pimpinan puncak NU, namun secara geografis dia bukanlah kelahiran Jawa karena dia lahir di
Setui, Kalimantan Selatan pada tahun 1921. Setelah itu PPP dipimpin oleh Jaelani Naro, Hasan
Materium yang keduanya orang Sumatra. Sampai pada akhirnya terjadi upaya penggembosan
kepada PPP yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU, khususnya pada tahun 1987. Menurut
Bruinessen, pengaruh penggembosan NU atas perolehan suara PPP dalam pemilu ternyata
dramatis. Pada tiga pemilu sebelumnya, suara PPP tetap kurang lebih stabil. Pada pemilu 1971
keempat Partai Islam memperoleh 27,1% (dua pertiga di antaranya untuk NU), pada tahun
1977 pun ada pertambahan tipis menjadi 27,8%, dan pada tahun 1982 turun sedikit. Akan
tetapi, pada tahun 1987, perolehan suara PPP menurun menjadi 16%. Martin van Bruinessen,
NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana baru. Yogyakarta : LKIS, 1994.
44
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
sebanyak 33 Kecamatan. Dengan demikian untuk menyesuaikan
jumlah pemilih dengan jumlah anggota Dewan Perwakilah Daerah
Kabupaten Malang, maka KPUD menetapkan dapil-dapil dengan
penggabungan beberapa Kecamatan dalam satu dapil, dengan
keseluruhan berjumlah 7 Daerah Pemilihan. 46
Berdasarkan ketetapan KPUD Provinsi Jatim, untuk Kabupaten
Malang, Daerah Pemilihan Malang (dapil) 1 meliputi: Kecamatan
Bululawang, Gondanglegi, Pagelaran, Tajinan dan Kepanjen. Daerah
Pemilihan Malang 2 meliputi: Kecamatan Lawang, Pakis dan Singosari.
Daerah Pemilihan 3 meliputi: Kecamatan Jabung, Poncokusumo,
Tumpang dan Wajak. Daerah Pemlihan 4 meliputi: Kecamatan
Ampelgading, Dampit, Tirtoyudo dan Turen. Daerah Pemilihan 5
meliputi: Kecamatan Bantur, Donomulyo, Gedangan, Pagak dan
Sumbermanjing Wetan. Daerah Pemilihan 6 meliputi: Kecamatan
Kalipere, Kromengan, Ngajum, Pakisaji, Sumberpucung dan Wonosari.
Daerah Pemilihan 7 meliputi: Kecamatan Dau, Karangploso,
Kesambon, Pujon, Ngantang dan Wagir.47
3.1.1. Kinerja Electoral Partai Politik
Dari hasil perolehan suara yang dikeluarkan KPU Kabupaten
Malang, Dapil 4 merupakan hasil perolehan suara PDIP terbesar, hal
ini menujukan adanya dukungan kuat dari pemilih terhadap PDIP.
Dapil 4 terdiri dari Kecamatan Ampelgading, Dampit, Tirtoyudo dan
Turen. Secara keseluruhan dari keempat wilayah tersebut PDIP mendapatkan suara sebanyak 81.364 pemilih. Perolehan suara terbesar PDIP
berikutnya ada di dapil enam yang meliputi Kecamatan Kalipere,
Kromengan, Ngajum, Pakisaji, Sumberpucung dan Wonosari dengan
jumlah suara sebesar 69.226 pemilih. Sementara dapil satu, dua, tiga,
lima dan tujuh perolehan suara PDIP relatif tidak jauh berbeda di
antara kisaran 4 ribu dan lima ribuan suara. Walaupun demikian,
perolehan suara di kelima dapil tersebut masih di atas rata-rata
perolehan suara partai lain kecuali PKB yang menguasai dapil satu,
46
Jumlah Daerah Pemilihan (DP) yang ada di Kabupaten Malang berdasarkan Rakernis yang
diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Provonsi Jawa Timur pada hari rabu tangggal 1
oktober 2003 sebanyak 7 daerah pemilihan dengan alokasi kursi 6 (enam) hingga 7 (tujuh)
setiap Daerah Pemilihan (DP).
47
Sumber: KPUD Kabupaten Malang
45
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
dua dan tiga.48
Peringkat kedua peroleh suara terbesar di Kabupaten Malang
pada Pemilu 2004 ditempati oleh Partai Kebangkitan Bangsa. Selisih
suara antara PDIP dan PKB hanya sekitar 35.626 atau sikitar 2,6%
dari total suara pemilih yang sah. Kantung-kantung suara PKB ada
di lima dapil yaitu dapil satu, dua, tiga, empat dan lima. Perolehan
suara di kelima dapil tersebut hampir merata, kecuali di dapil enam
dan tujuh yaitu masing-masing 36.182 dan 31.225 suara pemilih.
Alasan kenapa di kedua dapil tersebut PKB lemah, karena dalam
dapil enam merupakan wilayah agak maju dan masyarakatnya pun
banyak yang secara ekonomi mapan, sehingga pemilih sedikit punya
rasionalitas dan independensi dalam menentukan pilihan politiknya.
Dapil 6 terdiri dari Kecamatan Kalipare, Kromengan, Ngajum, Pakisaji,
Sumberpucung dan Wonosari dengan jumlah suara sebesar 69.226
pemilih. Dari data yang ada menunjukkan bahwa dapil enam merupakan wilayah abu-abu yang pilihan politiknya tersebar ke hampir
semua partai politik. Sementara rendahnya suara yang diperoleh PKB
di dapil tujuh, karena dapil ini merupakan basis massa yang terbesar
dari PDIP. Dapil tujuh terdiri dari Kecamatan Dau, Karangploso,
Kesambon, Pujon, Ngantang dan Wagir, wilayah ini merupakan wilayah
paling pinggir di Kabupaten Malang dan secara ekonomi tergolong
menengah ke bawah.49
Secara nasional pada pemilu 2004 partai Golkar mengalami
kenaikan, namun kasus di wilayah Kabupaten Malang justru partai
Golkar mengalami penurunan dari 18,32% pada pemilu 1999 menjadi
16, 84% pada pemilu 2004. Dengan demikian ada sekitar 1,48% Golkar
kehilangan suaranya. Basis suara Golkar ada di wilayah dapil tujuh
dan empat, dan paling tinggi ada di dapil tujuh yang meliputi Kecamatan Dau, Karangploso, Kesambon, Pujon, Ngantang dan Wagir.
Di wilayah ini Partai Golkar mendapatkan suara sebesar 45.685 pemilih.
Daerah ini merupakan daerah yang secara ekonomi maju akibat
kebijakan Orde Baru yang mendorong untuk pengembangan budi
daya sapi perah dengan dibentuknya koperasi susu yang sangat
membantu perekonomian warga didaerah tersebut. Sementara dapil
48
49
Data hasil rekapitulasi pemilu KPUD Kabupaten Malang tahun 2004.
Ibid.
46
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
empat yang meliputi Kecamatan Ampelgading, Dampit, Tirtoyudo
dan Turen perolehan suara Partai Golkar sebesar 37.562 pemilih.50
Sementara Demokrat yang merupakan pendatang baru, justru
mengalahkan partai-partai lama yang lulus electoral threshold seperti
PPP dan PAN. Partai Demokrat memperoleh total suara dalam pemilu
2004 di Kabupaten Malang sebesar 7,8%. Untuk dapil tertentu seperti
dapil dua yang terdiri dari wilayah Kecamatan Lawang, Pakis dan
Singosari Partai Demokrat mendapatkan 29.184 suara pemilih.
Sementara dapil satu, tiga, empat, enam dan tujuh perolehan suara
Partai Demokrat relatif hampir sama yaitu sekitar 14 dan 15 ribuan.
Paling rendah Partai Demokrat memperoleh suara di wilayah dapil
lima yaitu wilayah Kecamatan Bantur, Donomulyo, Gedangan, Pagak
dan Sumbermanjing Wetan. Perolehan suara Partai Demokrat di
wilayah ini hanya sekitar 6.246 suara pemilih.51
Partai Islam atau yang punya basis pemilih kalangan Islam, di
wilayah Kabupaten Malang, selain PKB, hanya PPP yang cukup
mendapatkan apresiasi dari pemilihnya. Partai ini mendapatkan suara
sekitar 59.748 suara pemilih atau sekitar 4,5% dari total suara sah
pemilu 2004 di Kabupaten Malang. Perolehan suara ini mengalahkan
dua partai Islam lainnya seperti PKS dan PAN. Bahkan di Kabupaten
Malang karena suara PAN sangat kecil, partai ini tidak mendapat
wakil satu pun yang duduk di DPRD. Bahkan PAN harus tertinggal
dari PKS dalam perolehan suara, padahal dalam pemilu 1999 suara
PAN jauh melebihi suara PKS (yang masih bernama Partai Keadilan)
yaitu 38.891 (PAN) dan 5.261 (PK). Dengan demikian bisa diasumsikan bahwa banyak pemilih PAN pada pemilu 1999 yang yang berpindah
ke PKS pada pemilu 2004.
Perpindahan pilihan politik dari PAN ke PKS sangat cair, hal
ini dikarenakan basis massa di kedua partai ini sama, yaitu masa
pemilih Islam Modernis. Walaupun demikian, kedua partai ini dalam
AD/ART-nya punya asas yang berbeda, PKS mencantumkan asas
Islam dan PAN asas Pancasila. Perbedaan ini juga yang menyebabkan
sebagian kalangan pemilih Islam dari PAN, khususnya yang
50
51
Ibid.
Ibid.
47
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
konservatif, menyebrang ke PKS.52
3.1.2. Pola Partisipasi Dalam Pemilu
Dari jumlah penduduk Kabupaten Malang sebanyak 2.338.689
jiwa, jumlah orang yang mempunyai hak pilih dalam pemilihan umum
legislatif yang diselenggarakan pada tanggal 5 April 2004 lalu sebanyak
1.693.181 jiwa. Jumlah pemilih tersebut tersebar dalam 33 Kecamatan.
Dilihat dari segi jumlah penduduk, Kecamatan Singosari merupakan wilayah yang paling padat penduduknya dengan jumlah
pemilih sebesar 10.330, disusul Kecamatan Dampit 84.387 pemilih,
dan Pakisaji 81.008 pemilih. Adapun jumlah pemilih yang paling kecil
ada di Kecamatan Pagak dengan 33.153 pemilih, Kecamatan Kromengan
dengan 28.860 pemilih, dan Kasembon dengan 21.193 pemilih.53
Besarnya jumlah pemilih yang ada di masing-masing Kecamatan akan
menentukan jumlah kursi yang diperebutkan di masing-masing
daerah pemilih. Adapun Dapil merupakan gabungan dari beberapa
Kecamatan yang ada di Kabupaten Malang.
Dari hasil data yang diperoleh dari KPUD, angka non partisipan
Kabupaten Malang lebih rendah dari Kota Malang. Jumlah angka
non partisipan 334.189 pemilih yang diperoleh dari Jumlah pemilih
dikurangi dengan jumlah pemilih yang mempergunakan hak suara
yaitu 1.693.181 dikurangi 1.358.992, maka jumlah non partisipan yang
ada di Kabupaten Malang kalau diprosentasekan yaitu sekitar 27,34
persen.54 Dari seluruh Kecamatan yang ada, angka nonpartisipan tertinggi
ada di Kecamatan Donomulyo yaitu 28,70%.
Sementara yang terendah adalah 11,93 yang ada di Kecamatan
Wagir. Patut di ketahui, jumlah nonpartisan yang ada di Kabupaten
52
Pada pemilu 1999, perolehan suara PAN di Kota dan Kabupaten Malang lebih besar dari PK,
namun pada pemilu 2004 yang terjadi sebaliknya, dimana suara PKS lebih besar dari pada PAN.
Ada beberapa alasan kenapa konstituen PAN beralih ke PKS: pertama, PKS dianggap lebih
jelas secara ideologis dibanding dengan PAN; kedua, kader PKS lebih dapat dipercaya ketimbang
kader PAN. Dengan simbol bersih dan peduli, dan sedikitnya kasus korupsi yang melibatkan
kader PKS telah menjadi nilai tambah sendiri dari pemilih. Ketiga, dalam strategi untuk meraih
simpati pemilih, PKS lebih bisa diterima lewat program sosial yang dilaksanakan sepanjang
tahun, tidak hanya mendekati pemilu saja. Hasil observasi di Kota dan Kabupaten Malang, dan
hasil wawancara dengan beberapa aktivis PAN pada bulan Agustus 2008.
53
Sumber: KPUD Kabupaten Malang periode 2004-2009
54
Hasil rekapitulasi pemilu 2004 KPUD Kabupaten Malang.
48
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
Malang, tidak hanya disebabkan oleh ketidakhadiran mereka dalam
pencoblosan, namun juga akibat dari kesalahan teknis yang dilakukan
oleh pemilih sendiri. Banyak dari mereka yang pada saat pemilu 2004
terjadi kesalahan atau kekeliruan akibat pemilih mencoblos partai
dengan caleg yang tidak sama (antara partai dan caleg yang dicoblos
berbeda).55
Rendahnya angka nonpartisan yang ada di Kabupaten Malang,
lebih diakibatkan oleh pemahaman sebagian besar pemilih terhadap
Pemilu. Umumnya mereka menganggap pemilu sebagai sebuah
kewajiban, sehingga harus datang ke TPS. Di samping itu, dorongan
mereka untuk mendatangi TPS, karena adanya faktor sosial, terutama
himbauan kyai yang kadang mendukung partai tertentu.56
3. 2. Kota Malang: Potret Politik Aliran Masyarakat Urban
Kota Malang merupakan Kota kedua terbesar di Kota dan
Kabupaten Malang dengan jumlah pemilih mencapai 603,29. Wilayah
ini terbagi dalam 5 Kecalamtan, yaitu Kecamatan Kedung Kandang,
Klojen, Sukun, Blimbing, dan Lowokwaru. Karena wilayah kecamatan
hanya ada 5, maka pembagian dapil didasarkan pada wilayah
sehingga jumlah kecamatan sama dengan jumlah dapil.
3.2.1. Kinerja Electoral Partai Politik
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPUD Kota Malang, delapan
besar peringkat perolehan suara tertinggi pada pemilu 2004 di Kota
Malang secara berturut-turut PDIP, PKB, Partai Golkar, Partai
Demokrat, PKS, PAN, PPP, PDS, dan PBB. Dilihat dari sisi geopolitik,
yang merupakan basis pemilih dari PDIP dengan perolehan suara di
atas 20 ribu berada di Kecamatan Sukun dengan total suara sebesar
32.072 pemilih, disusul Kecamantan Blimbing dengan suara 22.983
pemilih, dan Kecamatan Lowokwaru dengan suara 21.5633 pemilih.
Bagi PKB yang menempati peringkat kedua, basis massanya ada
55
Hasil observasi penulis di beberapa TPS, khusunya di wilayah Dusun Caru Desa Pendem,
Kecamatan Junrejo, pada saat penghitungan suara di TPS.
56
Selain tersebut di atas, hasil wawancara dengan Tono, 45 tahun, di Ampel Dento Kabupaten
Malang, rendahnya angka non partisan karena masyarakat masih menganggap bahwa pemilu itu
merupakan kewajiban. Oleh karena itu banyak masyarakat yang datang ke TPS untuk
menyalurkan aspirasinya.
49
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
disekitar Kecamatan Kedungkandang dengan suara sebesar 21.268
pemilih, disusul oleh Kecamatan Sukun dan Kecamatan Blimbing
yang memperoleh suara masing-masing sebesar suara 15.178 pemilih
dan 14.14.527 pemilih.57
Sementara wilayah yang merupakan basis pemilih Partai Golkar
berada di Kecamatan Sukun dengan peroleh suara sebesar 12.597
pemilih disusul oleh Kecamatan Kedungkandang sebesar 10.722
suara pemilih dan Kecamatan Lowokwaru dengan perolehan suara
sebesar 9.442 pemilih. Untuk peringkat keempat perolehan suara
terbesar partai politik di Kota Malang ditempati oleh Partai Demokrat.
Partai ini merupakan partai pendatang baru yang mengubah peta
politik secara Nasional. Para pendukung Partai Demokrat berada
disekitar Kecamatan Blimbing dengan total perolehan suara sebesar
16.843 pemilih, disusul Kecamatan Lowokwaru dengan total suara
sebesar 13.194 pemilih dan Kecamatan Sukun sebesar 12.269 pemilih.58
Peringkat ke lima dan keenam yaitu PKS dan PAN dukungan
pemilih pada kedua partai ini cukup berimbang disetiap Kecamatan,
kecuali dukungan pemilih yang ada di Kecamatan Lowokwaru
dimana pemilih pendukung PKS lebih besar dibanding dengan PAN.
Dari hasil peroleh suara KPUD Kota Malang menunjukkan bahwa
perolehan suara untuk PKS sebesar 10.300 pemilih, sementara untuk
PAN sebesar 7.156 suara pemilih. Dengan demikian ada selisih sekitar
3.144 suara pemilih.59
Perolehan suara PKS dan PAN untuk wilayah-wilayah lainnya,
baik itu Kecamatan Kedungkandang, Sukun, Klojen, maupun
Blimbing jumlah perolehan suara kedua partai itu relatif seimbang,
walaupun ada selisih namun tidak melebihi jumlah ribuan. Hal ini
menunjukkan bahwa kedua partai ini mempunyai pendukung yang
relatif seimbang.
3.2.2. Pola Partisipasi Dalam Pemilu
Dari data yang ada tingkat partisipasi politik masyarakat dalam
pemilu legislatif tahun 2004 di empat kecamatan bisa diketahui
57
Hasil rekapitulasi pemilu 2004 KPUD Kota Malang.
Ibid.
59
Ibid.
58
50
PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL
sebagai berikut: Kecamatan Lowokwaru 86.349 dari total 141.727
pemilih (60,93%), Sukun 95.062 dari total 127.080 pemilih (74,80%),
Kedungkandang 87.541 dari total 117.608 pemilih (74,43%), Blimbing
91.750 dari total 123.488 pemilih (74,29%) dan Klojen 63.733 dari
total 93.129 pemilih (68,44%). Secara keseluruhan, rata-rata
partisipasi dalam pemilu di Kota Malang adalah 424.435 dari total
pemilih 603.029 pemilih (70,38%).60
Sebaliknya, jika diketahui tentang data tingkat partisipasi dalam
voting masyarakat kota pada pemilu legislatif tahun 2004 maka data
tentang non-voting juga bisa diketahui, berikut ini tingkat pemilih
golput di Kota Malang : Kecamatan Kedungkandang sebesar 25,57%,
kecamatan Sukun 25,20%, Kecamatan Blimbing 25,71%, kecamatan
klojen 31,56% dan Kecamatan Lowokwaru 39,07%. Secara akumulatif
non-voting di Kota Malang sebesar 29,62%.61
Surat suara yang rusak atau tidak dicoblos saat pemilu di Kota
Malang sangat besar. Wilayah yang mempunyai pemilih dengan
tingkat pendidikan yang cukup besar ini menunjukkan punya potensi
non partisipan dalam pemilu cukup besar. Salah satu alasan mereka
tidak mau ikut dalam aktivitas pemilu adalah ketidak percayaan
mereka kepada partai. Hal ini bisa dipahami karena mereka relatif lebih
banyak menerima informasi dan sangat sadar akan pilihan yang mereka
lakukan. Dengan kinerja partai politik yang tidak memuaskan termasuk
para anggota dewan telah melegitimasi mereka untuk tidak memilih.62
Berbagai kebijakan kontroversial ini terjadi pada masa sebelum
pemilu 2004. Oleh karena itu pada pemilu 2004, Kota Malang menunjukkan adanya trend naiknya angka nonpartisipan pemilih dalam
pemilu. Dari data yang ada di KPUD Kota Malang, tercatat 29,62
persen surat suara yang rusak termasuk golput di Kota Malang. Data
itu didapat dari jumlah pemilih di Kota Malang dikurangi jumlah
60
Ibid.
Ibid.
62
Patut diketahui, di Kota Malang banyak sekali kebijakan-kebijkan yang dalam pandangan
pemilih kurang populer, seperti melanggar RUTRW Kota Malang yang dianggap hanya untuk
memenuhi kepentingan pemilik modal sehingga merusak dan menghabiskan lahan yang
diperuntukan konservasi hutan kota. Salah satu kebijakan yang cukup mendapat atensi
masyarakat adalah dibangunnya MATOS (Malang Town Square) yang menurut para pemerhati
lingkungan lahan yang dipakai merupakan area pendidikan.
61
51
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
pencoblos partai yaitu 603.029 dikurangi 424.435, maka jumlah orang
yang golput adalah 178.594 pemilih.63 Dari data statistik, 5 daerah
pemilhan, mulai dari DP 1 sampai DP 5 sama-sama menyumbang secara
rata jumlah pemilih yang surat suaranya tidak sah atau pun golput.
DP Kedungkandang menjadi basis pemilih Tradisional menempati
urutan terendah dalam hal golput yaitu sebanyak 30.067 orang.
Sementara pemilih yang golput paling tinggi berada di DP Lowok
Waru yang berjumlah 55.375 orang, daerah pemilihan ini banyak
orang-orang terpelajar dan paham politik.64
Tingginya angka Golput pada pemilu 2004 yang mencapai 29,62
persen atau 178.594 dari total suara pemilih, di Kota Malang itu
disebabkan pemilih tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Ada sebagian masyarakat yang merasa tidak mempunyai manfaat
secara langsung yang mereka rasakan, mereka lebih memilih tinggal
di rumah dari pada pergi ke TPS untuk mencoblos. Kondisi ini
dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kepercayaan
masyarakat pada partai politik. Sebagaimana juga hasil kajian Asfar
(2004), mengenai non-voting menunjukkan bahwa di negara kita
perilaku tidak memilih ini merupakan sikap protes terhadap pemerintah, partai yang sedang berkuasa atau partai politik dan lembagalembaga demokrasi lainnya. 65
Semakin berkurangnya kepercayaan publik pada partai menjadi
titik balik dari euforia demokrasi tahun 1998. Terbukanya keran
kebebasan politik setelah rezim Soeharto berganti, reformasi membuka
kebebasan politik rakyat untuk menyatakan pendapat, antara lain
dengan mendirikan parpol. Pemilu 1999, 2004, dan 2009 yang diikuti
banyak partai, 48, 24, dan 38 parpol, menunjukkan kebebasan politik
itu sudah diraih rakyat.
63
Hasil rekapitulasi pemilu 2004 KPUD Kota Malang.
Daerah Lowok Waru umumnya banyak dihuni oleh masyarakat yang menengah ke atas,
dengan pekerjaan sebagai PNS, yang berada di area pemukiman perumahan. Mereka yang tidak
mendatangi pemilu umumnya di TPS yang berada di sekitar perumahan dan sekitar kos-kosan.
Hasil observasi, dan data hasil rekapitulasi, ibid.
65
Perilaku tidak memilih di Kota dan Kabupaten Malang juga menunjukkan pada dua bentuk,
antara lain: Pertama, orang tidak menghadiri tempat memilih; kedua, pemilih menghadiri tempat
suara tapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, seperti merusak kartu suara. Menipisnya
kepercayaan masyarakat terhadap kiprah partai politik menjadi kecenderungan yang mengarah
pada delegitimasi parpol. Tidak hanya pemerintah, publik pun menyetujui dikuranginya peran
parpol dalam pemilu, meskipun disertai sejumlah kekhawatiran.
64
52
BAB II
SISTEM KEPARTAIAN
DAN SISTEM PEMILU
53
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
KOMPETENSI
Dalam bab ini pertama, mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep dan definisi
sistem kepartaian dan pemilu di Indonesia. Setelah memahami konsep dan definisi
tersebut, lantas mahasiswa diharapkan dapat memahami hubungan kausalitas antara
sistem pemilu dan sistem kepartaian yang terjadi. Kedua, mahasiswa diharapkan
memahami bekerjanya sistem pemilu baik itu closed list mapun open list dan
dampaknya pada perolehan suara partai. Selain itu, mahasiswa diharapkan dapat
memahami bekerjanya partai politik dalam merespon realitas masyarakat dan kondisi
hasil pemilu yang terjadi baik itu dalam tataran platform maupun program, baik
sebelum maupun saat kampanye pemilu
54
BAB II
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
DALAM rangka memperbaiki sistem demokrasi pasca reformasi, partai
dan pemilu sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1999 tentang pemilu dan partai politik dilakukan penataan
ulang. Menghadapi pemilu tahun 2004, maka diberlakukan undangundang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 tentang
Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 2002 disebutkan bahwa: (1)
Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah
berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. (2) Akta notaris
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memuat anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan tingkat nasional.
(3) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat:
a. memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan peraturan perundang-undangan lainnya;
b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh
persen) dari jumlah propinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah
kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan, dan 25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap
kabupaten/kota yang bersangkutan;
c. memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan nama,
55
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
lambang, dan tanda gambar partai politik lain; dan
d. mempunyai kantor tetap.
Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa pendirian partai
politik harus memperhatikan kepentingan masyarakat luas, dan
keberadaannya harus sesuai dengan prosedur hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu partai politik
yang dibentuk harus mempunyai visi dan misi yang jelas, demi untuk
kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU No.12
Tahun 2003 disebutkan bahwa:
(1) Partai politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi
syarat:
a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2002 tentang Partai Politik;
b. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua
pertiga) dari seluruh jumlah propinsi;
c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua
pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di propinsi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b;
d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau
sekurang-kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk
pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud
dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota
partai politik;
e. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c
harus mempunyai kantor tetap;
f. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada
KPU.
(2) Partai politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menjadi
peserta Pemilu.
(3) KPU menetapkan tata cara penelitian dan melaksanakan penelitian
keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Penetapan tata cara penelitian, pelaksanaan penelitian, dan
penetapan keabsahan kelengkapan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU dan bersifat final.
Selanjutnya, dalam hal sisten pemilu, pemilu tahun 1999 yang
menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, telah
56
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
memperlihatkan semangat yang kuat untuk meningkatkan kualitas
kadar keterwakilan rakyat dalam rekrutmen keanggotaan lembaga
legislatif dan upaya menciptakan hubungan yang kukuh antara
daerah yang diwakili dengan wakilnya dalam lembaga legislatif (Pasal
41 ayat 5 dan ayat 6 a). Dalam perspektif parlementologi, rumusan
tersebut merupakan proses adopsi elemen-elemen positif sistem distrik
ke dalam sistem pemilu yang dianut Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1999 yakni sistem proporsional berimbang berdasarkan stelsel daftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (7) undang-undang
tersebut (Ganjar Rasuna, 2001)
Sementara pemilu tahun 2004 sistem yang dipilih adalah sistem
proporsional terbuka, sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 6
UU No.12 Tahun 2003, yaitu:
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional
dengan daftar calon terbuka.
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem
distrik berwakil banyak
Menghadapi pemilu 2009, pemerintah ((Eksekutif dan Legislatif)
mengeluarkan aturan main baru yaitu Undang-undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Undang-undang Nomor 42
Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden, dan Undang-undang Nomor
22 Tahun 2007 tantang Penyelenggaraan Pemilu. Salah satu pasal
krusial terkait UU No. 10 / 2008 adalah adanya pemberlakuan
Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) 30 %. Selanjutnya terkait dengan
BPP 30 % ini dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.
Berkenaan dengan realitas kepartaian Malang Raya di era
multipartai, baik dari sisi tipologi maupun sistem kepartaian, maka
dapat kita kategorikan sebagai berikut: dilihat dari sistem kepartaian,
partai politik Indonesia baik pada pemilu 1999, 2004, maupun 2009
dengan jumlah partai politik yang memperoleh kursi signifikan ada
enam, maka sistem kepartaiannya tergolong moderate pluralism; secara
tipologis, partai-partai yang berkembang baik pemilu 1999 maupun
2004 kalau dilihat dari sisi sumber dukungannya, maka umumnya
partai didukung oleh pemilih dengan basis ideologi, dimana agama,
khususnya pemilih Islam, menjadi menjadi basis material dalam
57
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
dukungan partai. Oleh karena itu, partai-partai di era multipartai
dapat dikatakan tergolong ke dalam tipe atau jenis partai sektarian.
Setelah melihat aturan main yang berlaku baik terkait sistem
kepartaian maupun sistem pemilu, perlu kiranya dieksplorasi bagaimana realitas sistem kepartaian dan sistem pemilu serta dampaknya
terhadap upaya dan pola hubungan partai dan pemilih di Malang
Raya. Tujuan dikemukakan pembahasan ini adalah memberi gambaran tentang kondisi kepartaian yang berkembang di era multipartai.
Hal ini penting dikemukakan untuk bisa memberi penjelasan dan
pemahaman atas situasi dan kondisi kepartaian yang terjadi saat ini
di Malang Raya. Berhubungan dengan tujuan tersebut, pembahasan
ini diawali dengan sistem kepartaian dan sistem pemilu di Malang
Raya, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai sitem
kepartaian, sistem pemilu dan upaya partai.
A. Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu
1. Sistem Kepartaian
Konfigurasi perolehan suara partai-partai politik pemilu 1999
di Malang Raya menunjukkan suatu pluralisme moderat. Partai-partai
6 besar seperti PDI Perjuangan, PKB, Golkar, PAN, PPP, dan PK kalau
dipilah-pilah ternyata masih memiliki visi yang hampir tidak jauh
berbeda. Golkar dan PDI Perjuangan, walaupun di tingkat grassroot
sering terjadi gesekan, namun sesungguhnya kedua partai tersebut
dalam hal platform memiliki banyak persamaan. Begitu juga dengan
PKB, PAN, PPP, PK yang sama-sama mempunyai dukungan pemilih
berbasiskan Islam, sehingga relatif bisa saling mendekat. Walau
demikian jurang pemisah selalu ada terutama antara partai berbasis
pemilih Islam Modernis dengan partai berbasis pemilih Islam
Tradisional. Dengan demikian, koalisi antara ke-6 partai tersebut
sering dilakukan baik untuk kepentingan pilkada maupun dalam
memutuskan kebijakan di dewan.1
1
Di Malang Raya, koalisi untuk kepentingan pilkada sampai tahun 2008 sering dilakukan
diantara tiga partai besar pemenang pemilu sperti PDIP, PKB, dan Golkar. Dalam prakteknya
koalisi terjadi antara PDIP dan PKB, PDIP dan Golkar, namun jarang terjadi koalisi antara
Golkar dan PKB. Dalam rangka memenangkan perebutan kekuasaan di eksekutif, mau tidak mau
haru melibatkan PDIP karena konsistensi dukungan pemilihnya cukup tinggi disamping secara
kuantitas merupakan pemilih mayoritas. Oleh karena itu sampai penelitian ini dilakukan, semua
58
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
Hasil pemilu 1999 di Malang Raya menunjukkan politik aliran
tetap pegang peranan. Kemenangan partai yang secara historis dan
sosiologis punya kedekatan dengan Islam seperti PKB, PAN, serta
Partai Nasionalis seperti PDIP dan Golkar bisa menjadi bukti kuat
akan keberadaan politik aliran ini. Walau demikian, partai politik
pada pemilu 1999 yang dibangun dengan format sistem kepartaian
yang plural, namun dalam hal ideologi menunjukkan kecenderungan
moderat2. Perolehan kursi di tingkat dewan, masih menunjukan
adanya dominasi dari tiga aliran pokok, seperti PDIP mewakili Abangan,
PKB dan PPP mewakili Islam Tradisional, PAN dan PK mewakili Islam
Modernis, sementara Golkar mewakili Priyayi. Persentase suara
masing-masing partai di Dewan hasil pemilu 1999, PDI Perjuangan,
menjadi pemenang mayoritas dengan menguasai 36 % suara di tingkat
Dewan, sementara PKB partai berbasis kelompok tradisional Islam
menempati peringkat 2 dengan menguasai 27 % suara. Golkar, menguasai
18 %, dan PAN partai yang berbasiskan modernis Islam menguasai 6
% suara. PPP partai berbasis Islam kelanjutan era Orde Baru menguasai
2,2 % dan suara. Partai Keadilan, partai Islam modernis baru dan memiliki
tipikal kelompok Ikhwanul Muslimin memperoleh suara 1,1 %.
Partai-partai yang tergolong besar adalah PDI Perjuangan, Golkar,
PKB, dan dan memiliki garis ideologi yang cukup “moderat”. Di sisi
lain PPP, PKB, PAN dan PK, yang punya kedekatan secara historis
dan sosiologis dengan pemilih Islam. Dengan demikian, kalau dilihat
dari konsteks ideologi sesama partai Islam akan sangat mudah untuk
berkoalisi, namun karena perbedaan kultur terutama PPP, PKB yang
tradisional dan PAN, PK yang Modernis dalam kenyataannya agak
sulit, sebagai contoh koalisi untuk pemenangan pilkada. Bagi PDI
Perjuangan dan Golkar, memiliki platform ideologi yang tidak terlalu
berbeda, sehingga kendala koalisi keduanya hanyalah “permusuhan”
historis selama era Orde Baru.
Perolehan suara pemilu 2004 tidak jauh berbeda dengan hasil
pemilu 1999, namun sudah menunjukan adanya pengkaburan dalam
Kepala Daera baik itu Kota Malang, Kabupaten Malang, maupun Kota Batu merupakan Kepala
Daerah yang diusung oleh PDIP.
2
Berkenaan dengan ideology partai-partai politik secara lengkap bisa dilihat dalam “PartaiPartai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004-2009”, Kompas, PT Media Kompas
Nusantara, 2004.
59
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
politik aliran yang dibuktikan dari banyak pemilih yang melakukan
swing votes, terutama pemilih PDIP dan PKB. Oleh karena itu jumlah
kursi yang diperoleh PDIP dan PKB di Malang Raya mengalami
penurunan yang cukup drastis walaupun masih tetap menjadi
mayoritas. Pemilu 2004 di Malang Raya memperebutkan 115 kursi di
Dewan, dengan perincian Kabupaten Malang 45 kursi, Kota Malang
45 kursi, dan Kota Batu 25 kursi. Di Malang Raya PDIP keluar sebagai
pemenang dengan mengantungi perolehan 101.732 suara atau 25,84
% total suara pemilih dengan menguasai 12 kursi atau 26 % di Dewan
di Kota Malang, 357.008 atau 28,97 % dengan menguasai 17 kursi atau
37,7 % di Dewan Kabupaten Malang, 3.299 atau 16 % dengan
menguasai 5 kursi atau 20 % di Dewan Kota Batu. PKB keluar sebagai
pemenang kedua dengan mengantungi perolehan 68.321 suara atau
17,36 % total suara pemilih dengan menguasai 8 kursi atau 20 % di
Dewan di Kota Malang, 316.665 atau 25,72 % dengan menguasai 13
kursi atau 32,5 % di Dewan Kabupaten Malang, 4.209 atau 12,6 %
dengan menguasai 4 kursi atau 16 % di Dewan Kota Batu.
Golkar keluar sebagai pemenang ketiga dengan mengantungi
perolehan 48.612 suara atau 12,35 % total suara pemilih dengan
menguasai 5 kursi atau 11,11 % di Dewan di Kota Malang, 205.505
atau 16,68 % dengan menguasai 7 kursi atau 15,55 % di Dewan Kabupaten Malang, 7.70 atau 23,4 % dengan menguasai 5 kursi atau 20 %
di Dewan Kota Batu. Sementara Partai Demokrat keluar sebagai
pemenang keempat dengan mengantungi perolehan 57.278 suara atau
14,55 % total suara pemilih dengan menguasai 7 kursi atau 15,15 %
di Dewan di Kota Malang, 95.670 atau 7,76 % dengan menguasai 6
kursi atau 13,33 % di Dewan Kabupaten Malang, 4.517 atau 13,8 %
dengan menguasai 4 kursi atau 16% di Dewan Kota Batu.
Pada Pemilu 2004 hampir semua partai besar mengalami penuruan suara dari pemilu 1999. Golkar, PDI Perjuangan, PKB mengalami
penurunan perolehan suara. Oleh karena itu, secara otomatis mengalami penuruan kursi, kecuali PKB walau mengalami penurunan suara
namun mengalami kenaikan kursi dari 12 kursi pada pemilu 1999
menjadi 13 kursi pada pemilu 2004 di Kabupaten Malang.
Partai Demokrat, partai yang mengandalkan figur Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono langsung memperoleh 14,55 % suara
dengan total perolehan 7 kursi di Dewan Kota Malang, 7,76 % dengan
60
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
perolehan 6 kursi di Dewan Kabupten Malang, dan 13,8 % dengan
perolehan 4 kursi di Dewan Kota Batu. PKS (dulu PK) mengalami
mengalami kenaikan jumlah suara yang cukup signifikan dari 0,79
% menjadi 7,16% di Kota Malang. Pada pemilu 1999 PKS hanya
memperoleh 1 kursi, pada pemilu 2004 bertambah empat kursi
menjadi 5 kursi. Di sisi lain, PAN di Kota Malang mengalami
penurunan jumlah suara, dari 10,53 % di pemilu 1999 menjadi 6,77%
di pemilu 2004. Meskipun demikian, kursi PAN di Dewan mereka
bertambah dari 4 di pemilu sebelumnya menjadi 5 di pemilu 2004.
Pola sistem kepartaian yang terjadi pada pemilu 2004 masih
menyerupai Pluralisme Moderat layaknya seperti tampak di pemilu
1999. Partai-partai relatif besar seperti Golkar, PDI Perjuanan, PKB,
dan PAN ditambah Partai Demokrat dan PKS masih menguasai kursi
yang cukup besar di parlemen. Tidak ada partai yang mampu menjadi
mayoritas secara mudah. Mereka harus saling berkoalisi. Partai yang
menjadi partner pertama didasarkan kedekatan garis ideologis, baru
kemudian faktor-faktor pragmatis seperti kemenangan suara untuk,
pencalonan dalam pilkada, kebijakan tertentu dan lain sebagainya.
Pada pemilu 2009, peta politik agak berubah menjadi lebih
terpolarisasi. Dari data menunjukan bahwa perolehan kursi partai
di Dewan tidak lagi terkonsentrasi pada beberapa partai saja, melainkan sudah menunjukan ada penyebaran. PDIP, PKB, dan Golkar yang
merupakan simbolisasi dari politik aliran tidak lagi menjadi partai
dengan perolehan kursi terbesar, pada pemilu 2009 dominasi ketiga
partai ini tidak terjadi. Beberapa partai muncul ke permukaan seperti
Partai Demokrat, PKS, PAN dan beberapa partai lain seperti Partai
Gerinda dan Partai Hanura, bahkan Partai Demokrat bisa menghentikan dominasi PDIP di Kota Malang yang pada pemilu 1999 dan 2004
menjadi pemenang pemilu di Malang Raya. Partai Demokrat di Kota
Malang yang pada pemilu 2004 memperoleh kursi 7 kursi kalah 5
kursi dari PDIP yang memperoleh 12 kursi, pada pemilu 2009 Demokrat
memperoleh 12 kursi sementara PDIP 9 kursi.
Dengan demikian, pola komunikasi dan pola koalisi di Dewan
periode 2009-2012 di Malang Raya relatif lebih banyak ketimbang
pada pemilu 1999 dan 2004. Walaupun hasil kursi di Dewan masih
menunjukkan kesamaan dengan hasil pemilu sebelumnya yaitu
pluralisme moderat dengan empat sampai enam partai dominan.
61
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
2. Sistem Pemilu
Setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998, Indonesia sudah
menjalankan tiga kali pemilihan umum, yakni: Pemilu 1999, Pemilu
2004, Pemilu 2009. Pada Pemilu 1999, puluhan partai politik bermunculan meskipun hanya 48 partai politik yang dapat ikut pemilu.
Dimana sistem yang dipergunakan pada seluruh pemilu masa Orde
Baru sampai Pemilu 1999 adalah sistem proporsional dengan daftar
tertutup (PR Closed List). Persoalan yang paling menonjol di lapangan
terkait dengan sistem pemilu closed list ini adalah konflik dalam
penentuan calon dan stambus accord (suara sisa).
Pemilu 2004, berdasarkan UU No. 12 / 2003 menggunakan
sistem proporsional dengan daftar terbuka (PR Open List). Akan
tetapi, karena penetapan calon terpilih masih dibatasi dengan perolehan suara sebesar Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), maka dalam
kenyataannya di Malang Raya, sistem ini hampir sama dengan daftar
tertutup karena tidak ada yang memperoleh suara memenuhi BPP
sekalipun calon dari partai besar. Seluruh anggota DPRD Malang Raya
yang terpilih, lolos karena posisinya pada nomor urut atas (nomor
jadi) dalam daftar calon. Data KPU (2004), secara Nasional calon
anggota Dewan Pusat yang memperoleh suara memenuhi BPP adalah
calon dari PKS, Hidayat Nur Wahid dengan perolehan suara 262.019
dari dapil DKI II dan calon dari Partai Golkar, Saleh Djasit dengan
perolehan suara 195.348 dari dapil Riau.
Dalam Pemilu 2004 yang diikuti 24 partai politik, banyak hal
baru yang diperkenalkan selain pemilihan anggota legislatif (DPR/
DPRD), yaitu sistem pemilihan presiden langsung dan pemilihan
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam pemilu legislatif
DPR/DPRD digunakan sistem proportional list atau open list system
dimana pemilih wajib mencoblos tanda gambar partai atau tanda
gambar dan nama calon legislatif.3 Sistem pemilu yang digunakan
untuk memilih anggota DPD adalah simple majority dengan multimember
constituency (berwakil banyak).
3
Walaupun dalam pemilu 2004 sistem pemilu menggunakan proporsional daftar terbuka, namun
caleg yang lolos menjadi anggota Dewan secara langsung harus melampaui Bilangan Pembagi
Pemilih (BPP). Sementara apabila caleg tidak sampai pada BPP, maka yang akan lolos menjadi
anggota Dewan adalah calon yang berada pada nomor urut di atasnya.
62
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
Pemilihan presiden dalam Pemilu 2004 dilakukan secara langsung.
Sistem pemilu yang digunakan adalah two round system, dimana
putaran pertama menggunakan sistem plurality-majority dan putaran
kedua menggunakan sistem run-off majority. Sistem yang serupa juga
digunakan dalam pemilihan kepala daerah, yang membedakan
adalah putaran kedua dilaksanakan jika tidak pasangan calon yang
menang lebih dari 25 persen. Sementara itu, penyelenggara Pemilu
2004 tidak lagi dilakukan oleh KPU yang beranggotakan wakil-wakil
partai politik seperti yang dilakukan pada pemilu 1999 melainkan
oleh KPU yang beranggotakan individu nonpartisan yang dipilih oleh
DPR.
Berkaca pada kinerja sistem pemilu dan tipe pemilihan yang
digunakan pada Pemilu 2004, ternyata masih banyak permasalahan
yang perlu direspon agar misi dari pemilu menjadi sempurna. Untuk
melakukan variasi-variasi ini tentunya perlu ada pemahaman yang
komprehensif tentang sistem pemilu dan tipe-tipe pemilihan, mana
yang sesuai dengan kondisi sosial dan georgrafis Indonesia dan mana
yang tidak.
Memasuki pemilu 2009, banyak kritikan dan masukan yang
terkait dengan persoalan BPP. Banyak calon yang keberatan karena
dianggap menghianati amanat dari pemilih bagi calon yang mereka
dukung. Lebih jauh, bagi caleg yang ingin jadi memalui mekanisme
BPP dianggap sebagai hal yang tidak mungkin. Sistem proporsional
daftar terbuka hanya realistis di atas kertas atau aturan main, namun
di lapangan dengan adanya mekanisme BPP menjadi hal yang tidak
realistis. Atas dasar pertimbangan di lapangan, banyak dorongan dan
masukan untuk menjadikan atau menjalankan sistem proporsional
dengan daftar terbuka murni (majority) pada pemilu 2009. Namun
perdebatan di Parlemen sangat alot antara mereka yang setuju dengan
yang tidak setuju, namun pada intinya bermuara pada eksistensi partai
politik. Hasil keputusan di Parlemen, untuk pemilu 2009 disepakati
dengan BPP 30%.
Terkait dengan persoalan BPP 30 %, kalangan yang merasa
dirugikan, khususnya para caleg yang ditempatkan pada nomor urut
bawah, mengajukan permohonan peninjauan ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Atas pengajuan permohonan caleg PDIP (yang merasa dirugikan
oleh nomor urut) ke MK terkait BPP 30 % dalam sistem proporsional
63
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
daftar terbuka ini, maka menjelang pemilu, MK mengabulkan gugatan tersebut. Maka pada pemilu 2009 diberlakukan sistem pemilu
proporsional dengan daftar terbuka secara penuh.4
Dibalik dikabulkannya guguatan ke MK mengenai BPP, ada
nuansa kekhawatiran dari partai-partai politik yang menganggap ada
partai lain yang sudah secara tidak langsung menerapkan sistem suara
terbanyak. Dalam hal ini, jauh sebelum pemilu 2009 dilaksa-nakan,
ada sinyalemen bahwa PAN sebenarnya telah menerapkan aturan
open list secara penuh. Kondisi ini teresonansi ke partai-partai lain untuk
memberlakukan hal serupa, karena dianggap kalau tidak menjalan
upaya seperti PAN, maka akan mempengaruhi semangat calon dalam
partainya mengendur. Sebagaima diketahui, caleg PAN menjadi lebih
heterogen karena banyak tokoh populer baik dari kalangan politisi,
akademisi, bisnismen, maupun artis.
B. Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu, dan Upaya Partai
1. Sistem Kepartaian dan Upaya Partai
Pada awal reformasi, semua partai belum punya keberanian
politik untuk membangun partai yang keluar dari pakem ideologis.
Oleh karena itu mereka berlomba-lomba memanfaatkan basis material
pemilih yang sejalan dengan politik aliran yaitu Islam dan Nasionalis.
Dengan demikian, partai-partai yang ada hampir dipastikan
mengembangkan tipe partai Massa. Dalam bersaing di pemilu, partaipartai berusaha mengemas ideologi dengan sebaik-baiknya. Walaupun
Partai Golkar sebagai partai kader yang dalam aliran Gerrtz, pemilihnya masuk dalam kategori priyayi, namun secara kultur priyayi itu
lebih condong ke Nasionalis.5
4
Akibat putusan MK yang mengubah system pemilu dari closed list proportional representation
menjadi open list proportional representation, menurut Bayu Dardias mengakibatkan beberapa
hal: Pertama berubahnya perilaku politik caleg dari yang semula berkmapanye untuk partai
menjadi berkampanye untuk diri sendiri. Kedua, lemahnya control partai terhadap kadernya.
Anggota DPR akan lebih memperhatikan aspirasi konstituen yang memilihnya daripada instruksi
partai sehingga fungsi fraksi di DPR melemah. Ketiga, munculnya free rider dalam politik
Indonesia yang bisa dilihat dari banyaknya public figures terpilih tampa melalui kaderisasi
partai yang ketat. Keempat, makin menyebarnya veto politik, sehingga semakin sulit untuk
melakukan reformasi akibat harus bernegosiasi dengan semua pemegang veto. Kelima,
terancamnya desain representasi perempuan. Bayu Dardias, Pemilu dan Putusan Hukum,
Kadaulatan Rakyat, 30 Juli 2009.
5
Perbedaan antara Abangan dan Priyayi hanyalah terletak pada etiket Jawa. Priyayi tegolong
64
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
Realitas hasil pemilihan umum baik 1999 maupun 2004 telah
menyadarkan para elit politik bahwa membangun partai berbasis
ideologi tidak serta-merta mendapat dukungan pemilih karena harus
bersaing keras di antara sesama partai baik itu yang Islam maupun
yang Nasionalis. Bagi partai-partai yang sudah lama dan mengakar
pada masyarakat, dilihat dari tokoh maupun historis partai, maka
partai tersebut tidak mengalami hambatan yang berarti dalam bersaing
di pemilu, seperti PDIP yang merupakan kelanjutan PDI (masa Orba)
dengan figur Megawatinya, Golkar yang merupakan simbol kekuasaan Orde Baru, PPP bagian dari historis partai Islam. Kalau pun
ada partai yang berbasis ideologi Islam yang bisa survive seperti PKB
dan PAN, tidak lain karena partai ini ditopang oleh dua kekuatan
ormas keagamaan yang besar. PKB oleh ormas NU yang disimbolisasi
oleh adanya Gus Dur, sementara PAN oleh ormas Muhammadiyah
yang dapat dengan dilihat dari keberadaannya Amin Rais.
Guna mensiasati kerasnya persaingan di era multipartai, banyak
partai yang berusaha mendesain partainya ke arah yang lebih moderat
dilihat dari sisi ideologi. Partai berusaha untuk segere melepas sedikit
demi sedikit label ideologis yang menempelnya. Pada akhirnya mereka
menuju kepada partai catchall, dengan cara mengambil semua segmen
pemilih, tidak dibatasi oleh hambatan ideologis, tujuan utamanya
untuk memenangkan pemilu dan meraih kekuasaan. Lebih jauh, guna
melengkapi perubahan baju partai dari yang pekat ke arah yang abuabu, partai-partai politik berusaha untuk bersikap realistis dalam
perjuangan mempertahankan eksistensi partai dengan cara melakukan upaya yang praktis pragmatis baik dalam pendekatan kepada
masyarakat maupun dalam melakukan koalisi dalam parlemen.
1.1. Sistem Kepartaian dan Kemasan Ideologi Partai
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa partai-partai berusaha
untuk tetap survive dengan melakukan langkah baik itu melalui
perubahan desain ideologi, perluasan segmen pemilih, maupun
punya kultur berbahasa yang stratified berdasarkan stratifikasi social, sementara Abangan tidak.
Namun baik Abangan maupun Priyayi dalam hal beragama hampir mirip, dimana keduanya
beragama secara minimal dan punya kepercayaan yang bersumber dari ajaran Hindu seperti
animisme dan dinamisme.
65
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
langkah praktis pragmatis. Dalam pemilu 1999 dan 2004, partai politik
belum punya pengalaman riil dalam berhubungan dengan pemilih.
Oleh karena itu, salah satu langkah bijak yang diambil adalah dengan
mendasarkan diri pada realitas politik yang pernah ada. Ideologi
menjadi salah satu komponen utama dalam upaya menggaet simpatisan pemilih dalam pemilu. Hal ini juga diakibatkan karena basis
material yang lain seperti kelas, belum berkembang di negara kita.
Oleh karena itu basis material yang bersumber dari primordialisme
lebih nyata dan lebih realitis untuk dijadikan sebagai pondasi pembangunan partai politik.
Oleh karena itu tidak salah apabila kebangkitan partai-partai
politik pasca reformasi sering disebut kalangan pengamat tertentu
sebagai bangkitnya “politik aliran”, yang tentunya terkait dengan
tipologi Santri, Abangan, priyayi dalam masyarakat Jawa sebagai
mana dirumuskan Clifford Geertz pada tahun 1950-an. Meningkatnya ketegangan antara parpol-parpol Islam ditambah lagi dengan
seruan MUI dan ormas-ormas Islam untuk tidak memilih parpol lain
(PDI-P) yang banyak menampilkan caleg non-Muslim seakan-akan
memperkuat asumsi tentang kembalinya politik aliran ke kancah
politik Nasional (Azymardi Azra, 2002).
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), PKNU, Partai Damai
Sejahtera (PDS) adalah beberapa contoh partai yang sangat berkaitan
erat dengan Agama. PPP, PKS mereka nyata-nyata memproklamirkan bahwa mereka adalah partai agama. Dengan tujuan meyedot
massa dari golongan yang fanatik agama, atau dengan kata lain orang
yang lebih sreg atau cocok dengan segala sesuatu yang berbau agama.
Dengan harapan orang tersebut akan memililih partai yang ada
embel-embel atau simbol agama, karena dianggap mewakili kepentingan mereka yang beragama, khususnya Islam.
Dari 48 partai politik pada pemilu 1999 tercatat ada 10 partai
politik yang secara formal berasaskan Islam. Sementara yang lainnya
berasaskan Pancasila dan dua partai yang berasaskan gabungan
antara Pancasila dan Islam. Kategorisasi ideologis yang didasarkan
pada asas partai yang secara formal tercantum dalam AD/ART tidak
akan mampu mendalami secara substantif dari partai politik yang
bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa walaupun
66
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
ada partai yang secara formal mencantumkan asas selain Islam,
namun dalam praktiknya basis massa mereka adalah pemilih Islam.
Di sisi lain, figur-figur elit partai dilihat dari latar belakang keagamaannya termasuk tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi keberpihakannya terhadap Islam. Sebagai contoh PAN yang didirikan oleh Amin
Rais yang punya latar belakang sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
termasuk PKB, ada Gus Dur yang merupakan tokoh Islam mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Nahdlotul Ulama. Begitupun ada beberapa partai yang dibangun, walaupun tidak mengatasnamakan partai
Islam, tapi konstituen yang dibidiknya adalah konstituen Islam.
Di sisi lain, Komaruddin Hidayat dan M. Yudhie Haryono (2004)
mencatat pembilahan ideologi partai politik ke dalam enam kelompok,
yaitu Islam Tradisionalis, Islam Modern, Nasionalis, Sosial Demokrat,
Marhaenisme, dan Kristen. Apa yang dikemukakan oleh Hidayat dan
Haryono merupakan gambaran ideologi partai politik sebagaimana
yang dipaparkan dalam visi, misi, serta platform partai politik.
Walaupun demikian apa yang dikemukakan dalam platform partai
tidak selamanya merupakan cerminan dan ideologi partai politik.
Banyak partai politik yang tidak selaras antara asas partai dengan
realitas pemilih dan platform serta program-program partai. Lebih jauh,
tingkah laku elit politik, kadang tidak mencerminkan ideologi dari
partai yang diusungnya.
Sementara penulis mengkategorisasikan basis ideologi partai
sebagai berikut: Islam, Nasionalis Sekuler, Nasionalis Religius, dan
Kristen. Secara umum basis massa partai berhaluan Islam berasal dari
pemilih Santri baik modernis maupun tradisional, basis massa partai
berhaluan Nasionalis berasal dari pemilih Abangan, basis massa
pemilu partai berhaluan Nasionalis Religius berasal dari pemilih santri,
Abangan, kristiani dan lain-lain, sementara partai yang berhaluan
Kristen berasal dari pemilih Kristen.
Pemilu Tahun 2004 yang diikuti oleh 24 partai, berdasarkan
orientasi politik dan ideologi, partai politik yang dapat dikategorikan
sebagai partai Islam yaitu Partai Bintang Reformasi, Partai Persatuan
Pembangunan, 6 Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai
6
Keputusan PPP untuk kembali kepada Islam sebagai asas partai pada tahun 1998 lalu,
merupakan titik balik bagi partai ini dalam mengapresiasikan diri sebagai partai politik Islam.
67
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Keadilan Sejahtera,7 Partai Bulan Bintang, Partai Sarikat Indonesia.
Bagi pemilih Santri sangat tidak mungkin untuk memilih Partai yang
berhaluan Nasionalis Sekuler. Hal ini didasarkan pada bedanya
orientasi politik mereka, dan dalam kehidupan keseharian baik pemilih
Abangan maupun Santri yang walaupun ada partautan secara kultural,
khususnya dalam ritual, namun masing-masing sudah membangun
identifikasi politiknya sendiri.
Partai Nasionalis Sekuler yaitu, PDI-P, PNBK, Partai Pelopor,
PNI Marhaenisme. Basis pemilih Partai tersebut banyak datang dari
akalangan Abangan. Walaupun PDIP berusaha untuk menggaet
pemilih Santri dengan memunculkan wadah bagi berkumpulnya
pemilih Islam seperti Jamah Muslimin (Jamus) dan sekarang Baitul
Muslimin (Bamus), namun upaya ini tidak banyak mendapatkan hasil
karena para pemilih santri punya hambatan spikologis untuk memilih
Langkah ini diambil setelah sepuluh tahun lebih rezim Orde Baru melucuti atribut ke Islamanya
melalui penerapan asas tunggal Pancasila kepada seluruh partai politik. Kembalinya PPP ke
khittah 1973 menandai tekad partai berlambang Ka’bah ini melepaskan diri dari dilema ideologi.
Menghadapi pemilihan umum 2004 lalu PPP tetap mengedepankan prinsip istiqomah dalam
melakukan tugasnya sebagai partai politik yang berasaskan Islam.
7
Partai Keadilan Sejahtera yang singkat PK Sejahtera merupakan partai berasaskan Islam yang
pendiriannya terkait dengan pertumbuhan aktifitas dakwah Islam semenjak awal tahun delapan
puluhan. Partai dengan lambing dua bulan sabit ini juga merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan
yang didirikan pada 20 Juli 1998. Awal tahun delapan puluhan gerakan-gerakan keislaman yang
mengambil masjid-masjid sebagai basis operasional dan strukturnya, terutama masjid kampus,
mulai bersemi. Gerakan dakwah ini merebak dari tahun ke tahun mewarnai suasana keislaman di
kampus-kampus dan masyarakat umum. Bahkan, menjalar pula kekalangan pelajar dan mahasiswa
di luar negeri, baik Eropa, Amerika maupun Timur Tengah. Gejolaknya muncul dalam bentuk
pemikiran keislaman dalam berbagai bidang dan juga praktik pengalaman sehari-hari. Persaudaraan
(ukhuah) yang dibangun di antara mereka menjadi sebuah alternatif cara hidup di tengah-tengah
masyarakat yang cenderung semakin individualistik. Gerakan dakwah ini semakin membesar
dan mengental, dan jaringan mereka pun semakin luas. Mereka juga berupaya membangun ruh
ke-Islaman melalui media tabligh, seminar, aktivitas sosial, ekonomi dan juga pendidikan,
meskipun saat itu berada dalam bayang-bayang kekuasaan Orde Baru yang demikian ketat
mengawasi aktivitas keagamaan. Lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 dirasakan membuka
iklim kebebasan yang semakin luas. Musyawarah kemudian dilakukan oleh para aktivitas dakwah
Islam, yang melahirkan kesimpulan perlunya iklim yang berkembang untuk dimanfaatkan
semaksimal mungkin bagi upaya peralihan cita-cita mereka, yaitu apa yang mereka maksudkan
sebagai upaya mewujudkan bangsa negara Indonesia yang diridhoi oleh Allah SWT. Pendirian
partai politik yang berorientasi pada ajaran Islam perlu dilakukan guna mencapai tujuan dakwah
Islam dengan cara-cara demokratis yang bisa diterima banyak orang. Maka mereka pun sepakat
untuk membentuk sebuah partai politik. Atas dasar beberapa hal yang melatar belakangi sejarah
berdirinya Partai Keadilan, maka dipandang wajar jika para fungsionaris partai ini adalah mereka
yang tergolong muda dan kalangan intelektual kampus. Partai Keadilan secara resmi didirikan
68
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
PDIP yang nota bene banyak dihuni oleh kelompok Abangan.
Partai Nasionalis Religius yaitu Partai Kebangkitan Bangsa,
Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, 8 Partai Penegak Demokrasi
Indonesia, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia, Partai Patriot Pancasila, Partai Demokrat, Partai Persatuan
Daerah, Partai Merdeka. Partai Indonesia Baru, Partai Buruh Sosial
Demokrat, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan. Bagi partai yang
berhaluan Nasionalis Religius, segmen pemilihnya datang dari
berbagai elemen. Baik kalangan Santri, Abangan, maupun kelompok
beragama lain dapat masuk menjadi bagian dari pemilih Partai
Nasionalis Religius. Khususnya Partai Golkar yang dalam pemiliu 2004
menjadi pemenang, basis dukungan pemilihnya banyak yang datang
dari kalangan Santri maupun Abangan.
Partai Kristen yaitu Partai Damai Sejahtera. Basis dukungan
partai Kristen sangat eksklusif, yaitu hanya pemilih yang berlatar
keagamaan Kristen. Dapat dipastikan bahwa mereka yang Islam tidak
akan memilih partai yang memang berasal dari kalangan Kristiani.
Bahkan mereka yang abangan pun, kalau harus memilih sangat sukar
bagi mereka untuk menjadi bagian dari pendukung partai berhaluan
Kristen, karena walaupun mereka abangan tapi mereka masih menyebut dirinya sebagai orang Islam. Oleh karena itu maka, Kristen menjadi
bagian ideologi tersendiri dari pentas politik kepartaian di Indonesia.
Sementara agama-agama lain, tidak membangun identitas politik
sendiri karena secara kuantitas pemeluk tidaklah signifikan. Banyak
pemilih dari pemeluk agama selain Islam dan Kristen menjadi
pendukung partai yang bersifat Nasionalis Religius. Keberadaan
pada tanggal 20 Juli 1998. Islam menjadi asas dari partai baru ini. Tercatat lebih dari 50 pendiri
partai ini, di antaranya adalah Hidayat Nur Wahid, Lutfi Hasan Ishaaq, Salim Segaf Aljufri, Nur
Mahmudi Ismail yang kemudian menjadi menjadi Presiden Partai Keadilan, sedangkan Hidayat
Nur Wahid menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Partai ini dideklarasikan pada tanggal 9
Agustus 1998 di Masjid AL-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, dengan dihadiri sekitar 50.000
massa. Menurut beberapa sumber, partai ini merupakan partai yang punya jaringan internasional,
khususnya dengan partai Ikhwanul Muslimin yang ada di Mesir.
8
Partai Golkar merupakan kelanjutan dari Golkar yang pada era Orde Baru selalu mendominasi
kursi legeslatif. Setelah rezim Orde Baru tumbang, berbagai tekanan dari berbagai kelompok
masyarakat yang anti Orde Baru terus menimpa Golkar, dari aksi demonstrasi sampai gugatan
di pengadilan. Akan tetapi partai ini ternyata mampu meraih suara 22,44 persen atau menduduki
urutan kedua pada pemilu 1999. Bahkan, di provinsi-provinsi di luar Jawa, partai ini mampu
meraih suara terabanyak
69
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
pemilih selain Islam dan Kristen sangat sulit dideteksi kemana pilihan
politiknya berlabuh, akan tetapi yang jelas mereka sangat sulit untuk
memilih partai Islam atau pun partai Kristen seperti PDS.
Berdasar kenyataan tersebut, penulis berupaya untuk mengelompokan ideologi partai politik, khususnya partai politik perserta
pemilu 2004, ke dalam empat kategori, yaitu partai yang berideologi
Islam, Partai yang berideologi Nasionalis Sekuler, Partai yang
berideologi Nasionalis Religius, serta partai yang berideologi Kristen.
Walau pada pemilu 1999 dan 2004, partai-partai Islam berupaya
keras berjualan dengan berbagai iklan yang menjanjikan seperti
Syariat Islam, namun fakta hasil pemilu menunjukan bahwa masyarakat sudah tidak lagi begitu terpengaruh dengan ide Syariat Islam.
Hal ini dibuktikan dari hasil perolehan suara dalam pemilu untuk
partai-partai Islam yang getol meng-isu-kan Syariat Islam, seperti PPP,
yang tidak mendapat suara besar. PKB yang nota bene sebagai partai
yang berasas Nasionalis (Pancasila) dan tidak meng-gunakan isu
Syariat Islam justru banyak didukung oleh pemilih Islam, khususnya
Santri Tradisionalis yang cenderung umumnya sering terpengaruh
oleh isu Syariat Islam.
Data Lapangan menunjukan bahwa perolehan hasil suara
pemilu 2004, Partai Nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) menempati posisi teratas perolehan suara di
Malang Raya dengan perincian sebagai berikut: Kota Malang 101.732,
Kabupaten Malang 357.008, dan Kota Batu 3.299. Sementara partai
agama, khususnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menempati
posisi ke dua, dengan perincian Kota Malang 68.321, Kabupaten
Malang 316.665, dan Kota Batu 4.209.
Di Malang Raya PDI-P pada pemilu 1999 dengan mengemas
isu “perjuangan wong cilik” memperoleh suara hampir 40 % dengan
perincian: 41,22% di Kota Malang, 38,47% di Kabupaten Malang.9
Oleh karena itu tidak salah apabila ada pendapat yang mengatakan
9
Dengan realitas seperti itu, tampaknya sulit bagi partai Islam untuk mendapatkan popular
support. Jika mereka memasang isu-isu umum, maka kekuatan politik Nasionalis akan
menggilasnya. Tetapi jika mereka menggemakan isu-isu parokial seperti penerapan Syari’at
Islam, dukungan politiknya menjadi sempit. Pendeknya, perjalanan partai-partai Islam akan
selalu berada pada situasi dilematis tersebut.
70
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
bahwa Islamnya masyarakat ternyata tidak berhubungan lurus
dengan kemenangan Islam sebagai gerakan politik (Islam Politik).
Sejauh ini tampaknya rakyat lebih merasa tenteram dipayungi oleh
gerakan politik Nasionalis daripada Islam. Oleh karena itu, menurut
wakil ketua PPP, Chozin (Jawa Pos, 2007),
“Partai-partai Islam saat ini dituntut untuk lebih nyata
berbuat dengan program pemberdayaan masyarakat, dengan
hanya mengedepankan ayat-ayat Alqur’an dan simbolisasi
Islam tidak memadai lagi dike depankan parpol-parpol berasas
Islam.” lebih lanjut ia mengatakan bahwa Otoritas negara tidak
bisa dihadapkan dengan keyakinan masyarakat. Sebab, relasi
agama dan negara telah selesai dengan menempatkan NKRI
sebagai kesepakatan nasional, bukan negara agama. NKRI juga
bukan negara sekuler, tapi negara yang berketuhanan yang Maha
Esa.”
Walau demikian karena masyarakat Malang Raya sangat lekat
dengan nuansa keislamanya, khususnya Islam Tradisional, ditambah
lagi karakteristik masyarakat Malang Raya yang beragam karena
banyaknya pendatang dari kawasan timur jawa seperti jember,
madura, serta kawasan timur Indonesia yang secara sosial sangat
mematuhi perkataan dan perilaku pemimpin dalam hal ini pemimpin
agama (kyai). Maka, kekuatan politik Islam masih tampak. Hal ini
bisa dibuktikan dengan perolehan suara PKB sebagai partai yang
dilahirkan dari rumah NU. PKB mendapatkan suara sebesar 19,60 %
di Kota Malang, 20,36 % di Kabupaten Malang.
1.2. Sistem Kepartaian dan Upaya Membangun Partai Catchall
Dengan banyaknya partai politik yang bersaing, baik dalam
pemilu 1999 (48 papol), pemilu 2004 (24 parpol), maupun pemilu
2009 (38 parpol) partai politik kesulitan untuk mendapatkan suara
yang hanya mengandalkan segmen massa politik yang terbatas.
Banyak partai politik pada pemilu 1999 harus gulung tikar akibat
kurangnya dukungan untuk memenuhi electoral threshold. Begitupun
nasib partai politik yang lulus electoral threshold, dengan segmen
pemilih yang sempit, mengalami penurunan jumlah dukungan pemilih
akibat ketidakmampuannya dalam meraih dan mempertahankan
71
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
simpati pemilih. Kondisi ini telah mendorong partai-partai untuk
memperluas segmen massa pemilihnya baik secara langsung maupun
tidak langsung. Demi memperoleh suara yang lebih besar dalam pemilu,
ada kecenderungan partai-partai melakukan pencairan basis ideologi
mereka, dengan cara merubah sifat organisasi yang ekslusif menjadi inklusif.
Partai Nasionalis maupun Partai Islam, terus berusaha melakukan pembenahan agar dapat tetap survive. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah dengan membenahi platform ideologisnya mereka
masing-masing. PDIP sangat relevan sebagai partai massa karena
banyak pendukung setia (Marhaenis, Soekarnois, Nasionalis, dan
mungkin kelompok populis), dan secara teoritik sudah berada pada
jalur partai massa sejak berdirinya. Namun kenyataan pemilu 2004
telah mendorong elit-elit partai PDIP untuk mengaburkan partai
massa (I Ketut Putra Erawan, 2008).
Di sisi lain, kelompok Islam Tradisionalis melakukan sohpistikasi
dalam pendekatan dengan kelompok Abangan. Partai-partai yang
semula dikenal “hijau” mulai mencoba untuk menampilkan wajah
Nasionalis dengan mereduksi isu-isu penegakan Syariat Islam dan
Negara Islam dalam kampanyenya, sebagaimana dilakukan oleh PPP
dan PKS. Ketika masih bernama Partai Keadilan (PK), dengan
mengusung isu Islam partai ini tidak mendapatkan suara yang
signifikan dalam pemilu 1999, di Parlemen hanya memperoleh 7 kursi.
Namun setelah melakukan pembenahan Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) di mana isu yang diluncurkan lebih riil dan menjadi dambaan
masyarakat, seperti penegakan keadilan dan pemberantasan korupsi
dengan semboyan “bersih dan peduli”, PKS yang pada pemilu 1999
hanya mendapat 7 kursi, pada pemilu 2004 menjadi 45 kursi. Namun
sebaliknya dengan PPP, meskipun sudah memperbaharui isu syariat
Islam dan Negara Islam dan menggantinya dengan “mendukung”
Pancasila, tetap saja stagnan dengan 58 kursi. PBB yang tetap ngotot
dengan Syariat Islam juga melorot, dari 13 kursi dalam pemilu 1999
menjadi 11 kursi dalam pemilu 2004. PDI-P yang unggul dengan 153
kursi dalam pemilu 1999, juga melorot hanya memperoleh 109 kursi
di pemilu 2004.
Perubahan ini menurut Riswanda Imawan (2004), membuka
kemungkinan bagi partai untuk melakukan reposisi dan redefinisi
fungsi mereka yang semakin jelas dan efektif dalam dinamika politik.
72
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
Partai tidak sekedar befungsi sebagai pencari legitimasi (perspektif
partai elit) atau menyalurkan aspirasi massa (perspektif partai massa).
Perubahan ini terjadi karena masuknya perspektif perilaku rasional
ke dalam wacana perdebatan ilmiah mengenai peran dan fungsi
partai politik.
Murni Ideologi:
Berbagai Isme—
Komunisme,
Lebiralisme,
Sosialisme
Diktator
Massa
Catchall
Kader
Murni
Kepentingan:
Kekuasaan,
Keamanan,
Pendapatan,
Kehor matan,
dll.
Proto
Sumber: Mark N. Hagovian, Regimes, Movements, and Ideologies,
A Comparative Introduction To Political Science, New York and
London, Logman Inc., 1978.
Dalam pandangan Riswanda, terbentuknya catchall party di era
multipartai, merupakan kelanjutan politik era Orde Baru yang
menolak ideologi kiri-kanan, sehingga kedua spektrum ideologi harus
hilang. Hilangnya ideologi ini menurutnya justru akan menghancurkan negara seperti yang terjadi di negara-negara sosialis. Untuk
melukiskan kondisi tersebut, Riswanda mengutif pernyataan Bell,
‘bahwa bangkrutnya negara-negara sosialis adalah akibat kosongnya
pemahaman dikotomi “kiri-kanan” dalam perspektif ideologi politik.
Ia berpendapat bahwa bila kubu tengah terbentuk karena penolakan
terhadap kubu “kiri atau kanan”, maka format catch-all party itu
sendiri merupakan refleksi dari kehadiran satu ideologi baru.
Tanpa ideologi terbuka kemungkinan politik mengarah kepada
pragmatisme dan oportunisme yang sangat akut. Logika produsenkonsumen yang merupakan pondasi pasar ekonomi menjadi dasar
dalam kebijakan partai, yang menurut Riswanda logika ini mengandaikan bahwa segala pergulatan politik bergantung pada kreatifitas
elit dalam mengiring massa politik untuk larut ke dalam jualan politik
yang ditawarkan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa bila kalkulasi
elitis ini terjadi dalam sitem politik di mana personifikasi institusi masih
73
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
berlaku, maka format catch-all party berpotensi melahirkan oligarki
dalam tubuh partai itu sendiri. Dan ini bertentangan dengan jati diri
dari partai politik sebagai pilar demokrasi.10
Kenyataan tersebut di atas dipengaruhi oleh adanya perkembangan aspirasi politik masyarakat yang membangun kesadaran dari
para pelaku politik untuk berpikir bagaimana bisa merangkul berbagai
kepentingan yang ada. Apalagi hal ini didukung oleh keyataan bahwa
kegagalan partai politik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang berkembang merupakan penyebab utama matinya sebuah partai politik.
Dengan demikian banyak partai yang aktif dalam menjaring
aspirasi yang berkembang, dan hal ini telah melahirkan format baru
dalam partai politik yang dikenal dengan catch-all party.11 Posisinya
berada di antara kutub dikotomi partai elit dan partai massa. Menurut
Riswanda, format ini mengagungkan pragmatisme dan rasionalitas
sebagai pilar penyangga sistem politik yang demokratis. Dengan
prinsip pragmatisme dan rasionalitas ini dimungkinkan bagi masyarakat untuk berpikir tentang “politik tanpa alur” (politics without cliches),
tidak menjadi tawanan ideologi, sehingga masyarakat mampu menyikapi berbagai masalah tanpa prakonsepsi, tanpa distorsi idologis, dan
tanpa kekakuan bersikap partisan.
Dalam rangka merealisasikan ambisi parpol membangun partai
catchall, beragam cara dilakukan, tidak hanya oleh partai yang punya
segmentasi pemilih Santri (Islam) namun juga partai yang punya
segmentasi pemilih Abangan (Nasionalis). Untuk merambah massa
berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan Nasionalis mencoba
mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk
10
Untuk lebih jelasnya lihat, Riswanda Imawan, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan Setengah
Hati Mencari Jati Diri, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Politik pada Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 4 September 2004.
11
Dasar pertimbangan utama kenapa partai politik tergoda untuk membangun catchall party
adalah keinginan untuk memenangkan pemilu. Baik catchall party yang berbasis partai massa
maupun partai kader sama-sama punya pandangan bahwa untuk memenangkan pemilu harus
menangkap semua atau berbagai kelompok kepentingan. Hal ini dilakukan dengan cara
memperlunak ideologi mereka agar dapat masuk ke dalam berbagai kelompok. Semua catchall
party menjanjikan kondisi yang lebih baik bagi pengusaha, upah dan jaminan sosial yang lebih
baik bagi pekerja, harga terjangkau dan dukungan pada petani, jaminan hari tua, bantuan terhadap
pengusaha kecil, pedidikan dan lapangan kerja yang lebih baik bagi pemuda, dan sebagainya.
Lebih jelasnya, lihat Mark N. Hagopian, Regimes, Movements, and Ideologies, A Comparative
Introduction to Political Science, New York and London, Logman Inc., 1978.
74
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah
Nasionalis, sementara PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Begitu
pun PPP dan PKS berupaya melunakan isu syariat Islam-nya, dan
hanya PBB yang secara konsisten mengampanyekan Syariat Islam.
Semua pergeseran itu akan membawa konsekuensi politik para
pendukung Tradisionalnya. Hal ini didukung oleh hasil temuan
lapangan, dimana segmentasi pemilih pada pemilu 2009 sudah
mengalami perluasan, karena hampir semua partai telah keluar dari
basis tradisionalnya baik secara terang-terangan maupun tersembunyi.
1.3. Sistem Kepartaian dan Pragmatisme Partai
Banyaknya partai pada setiap pemilu membawa dampak tidak
baik pada perilaku partai politik. Akibat sudahnya partai politik baru
untuk bersaing dengan partai mapan, partai baru berusaha dengan
segala cara untuk mendapatkan simpati dari pemilih, termasuk dengan
cara praktis pragmatis berupa pembelian suara. Kondisi ini mendorong partai mapan untuk mengimbangi cara yang dilakukan partai
baru agar konstituennya tidak lari ke partai lain. Perilaku praktis
pragmatis tidak hanya ketika pemilu, juga terjadi pasca pemilu,
terutama dalam memperebutkan kekuasaan.
Sebagaimana kita pahami bahwa sistem kepartaian yang terpolarisasi ekstrim susah untuk terjadi koalisi di antara partai politik
(marginal turnover) dalam membangun pemerintahan, khususnya
dalam sistem parlementer. Sementara dalam sistem Pluralisme
Moderat, proses koalisi agak mudah karena tidak terlalu banyak partai
yang bermain sehingga peta koalisi bisa diminamilisir. Dalam sistem
presidensial, kepala pemerintahan atau presiden, tidak ditentukan
lewat koalisi langsung oleh anggota parlemen terpilih, dimana pemegang suara mayoritas umumnya berhak untuk mendapat jatah
Perdana Menteri. Kepala negara atau presiden, dalam sistem presidensial
harus melewati pemilihan langsung. Oleh karena itu, koalisi yang
dibuat, sebangun dengan sistem parlementer namun dengan hasil
akhir ada di tangan pemilih (rakyat).
Hasil pemilu baik 1999, 2004, maupun 2009 menunjukan bahwa
perwakilan di Parlemen masih tergolong pluralisme moderat, dimana
PDIP, Golkar, dan PKB (hasil pemilu 1999 dan 2004) merupakan partai
dominan dan dapat dengan mudah untuk mendorong kader masing75
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
masing dalam persaingan pilkada, namun mereka lebih memilih aman
dengan cara berbagi kekuasaan di antara mereka. Walau pada awal
koalisi (untuk mengusung calon Presiden maupun Kepala Daerah)
dasar pertimbangan awal adalah kedekatan ideologi, namun dasar
utama lebih banyak pada sisi pragmatis. Adakalanya partai yang
sangat berseberangan secara ideologis, karena kepentingan untuk
mengusung calon (kasus pilkada), bisa berkoalisi dan bekerja sama
dalam mengusung calon kepala Daerah.12
Dampak koalisi yang dibangun atas dasar pragmatisme,
pemerintahan yang terbangun menjadi tidak jelas dalam arah
kebijakannya. Bahkan kesulitan yang sering terjadi dalam mengelola
pemerintahan bisa dilihat baik di pusat maupun di Daerah. Di Pusat,
Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono begitu pun Bupati maupun
Wali Kota di Daerah Malang Raya sering mengalami kesulitan dalam
mencapai kata mufakat dalam masalah penyelesaian berbagai
persoalan. Koalisi yang dibangun hanya dalam kontek berbagi kekuasaan, namun tidak linier dengan dukungan partai dalam persoalan
arah kebijakan politik pemerintah yang akan di jalankan. Lebih lanjut,
dampak dari koalisi pragmatis ini, di tingkat parlemen banyak
melahirkan lobi dan transaksi yang cenderung bersifat material dalam
menggolkan satu kebijakan. Hal ini telah mendorong lahirnya genetik
parlemen lama yang penuh dengan perilaku korup. Walaupun
demikian, akibat sitem pemerintahan Presidensil yang tidak punya
ruang untuk melakukan mosi tidak percaya pada pemerintah, maka
posisi pemerintah, seberapa parahpun hancurnya bangunan koalisi
tidak punya dampak serius pada posisinya sebagai Kepala Pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah.
Dilihat dari spektrum ideologis yang ada di DPRD Malang Raya
sekarang ini, maka partai-partai yang punya potensi tinggi untuk
membangun koalisi adalah partai politik yang berideologi Nasionalis
Religius. Sebagai catatan, pembuktian apakah partai ini Nasionalis
Sekuler atau Nasionalis Religius, kalau dilihat dari platform partai
12
Kasus dalam pilkada Jatim, dalam mengusung calon gubernur pasangan calon KhopipahMujiono, untuk memenuhi syarat minimal pencalonan harus menyatukan koalisi yang secara
ideologis berseberangan yaitu PPP dan PDS. Dimana PPP secara ideologis menyatakan diri
sebagai partai Islam seperti yang dicantumkan dalam asas partai, sementara PDS merupakan
partai yang lahir dari kalangan Nasrani walaupun secara asas menggunakan Pancasila.
76
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
sangat sulit. Namun partai Nasionalis Religius bisa dilihat dari
komposisi dukungan atau basis pemilih yang dibidiknya dan tentu
dengan sosiologis dan historis dari partai tersebut. Melihat dari
konfigurasi ideologis yang ada, maka partai yang termasuk berideologi
Nasionalis Religius dengan dukungan pemilih yang cukup signifikan
adalah Partai Golkar, Partai Demokrat, dan termasuk juga PAN dan
PKB yang punya kedekatan secara historis dan sosiologis dengan
Islam. Sementara dua kutub yang ekstrim, yang secara ideologis tidak
mungkin dipertemukan, walaupun secara pragmatis bisa ketemu,
adalah PDIP dengan ideologi Nasionalisnya pada satu kutub, PKS,
PPP, dan PBB yang berideologi Islam pada kutub lainnya.
Dalam berkoalisi, partai tidak mau berisiko dengan mencalonkan sendiri Bupati atau Wakil Bupati. Bagi mereka yang penting dapat
masuk dalam pemerintahan. Upayanya yaitu dengan memasang
kader di masing-masing calon (Golkar), dan berkoalisi dengan calon
yang bisa dipastikan menang. Padahal dengan hanya batas minimal
20 % suara suara sah atau kursi di parlemen, minimal ada empat
calon yang bisa maju dalam setiap pilkada. Baik PDIP, PKB, maupun
Golkar sebenarnya bisa mengusung calon Bupati atau Wali Kota
sendiri, namun karena pertimbangan kekuasaan, mereka rela untuk
bekerja sama. Dengan demikian kalau dilihat dari peta kolasisi, maka
pemerintahan di Malang Raya hanya di kuasai oleh tiga partai saja
yaitu PDIP, PKB, dan Golkar.
2. Sistem Pemilu dan Upaya Partai
Perubahan sistem pemilu yang terjadi tidak hanya berdampak
pada sistem internal partai politik, namun juga berdampak pada pola
upaya partai dalam meraih simpati pemilih untuk memenangkan
pemilu. Dari pemilu ke pemilu menunjukan adanya perubahan
dinamis upaya partai seiring dengan sistem pemilu yang diberlakukan.
Hal yang paling mencolok perubahan upaya partai berkenaan dengan
adanya perubahan sistem pemilu ini terkait sekitar pola rekrutmen
calon anggota legislative (caleg), penempatan caleg dalam daerah
pemilihan (dapil), serta basis massa yang dibidik.
2.1. Sistem Pemilu dan Rekruitmen calon
Pola rekrutmen yang terjadi pada awal pemilu yang berlang77
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
sung tahun 1999 menunjukan adanya peran dominan dari pimpinan
teras partai, baik di pusat atau pun di daerah, dalam menentukan
calon anggota legislative. Dalam pemilu dengan sistem proporsional
daftar tertutup (proportional closed list), saham suara dari pemilu
mutlak menjadi hak prerogratif partai kepada siapa suara pemilih
itu akan diberikan. Kondisi ini melahirkan adanya penyakit kekuasaan
berupa oligarkisme di tubuh partai, dimana pengambilan keputusan
terpusat hanya pada segelintir elit partai dan akan berusaha terus
menerus untuk dipertahankannya. Dalam kondisi seperti itu banyak
dari kader partai yang menunjukan kesetiaannya, khususnya pada
pimpinan partai, agar bisa menjadi nominasi dalam pencalegan atau
pun hanya sekedar menjadi pengurus partai.
Lebih jauh, karena berharganya kekuasaan struktural partai,
maka perebutan kekuasaan di tubuh partai sangat kompetitif, kalau
tidak dikatakan kasar. Kasus perebuatan kuasaan di tubuh partai,
hampir tejadi pada semua kepengurusan partai di Malang Raya. Kasus
yang paling menonjol adalah perebutan pimpinan partai di tubuh
PAN Kota Malang yang melahirkan dualisme kepemimpimpinan
yaitu antara kepemimpinan Darul Komar dan Kepemimpinan Prof,
Kaprawi, SH., dan tidak bisa secara cepat diselesaikan walaupun
sudah ada campur tangan dari pengurus pusat PAN.
Hasil focus group discussion dengan beberapa pengurus partai,
terungkap bahwa dalam penentuan calon anggota legislatif, unsur
kedekatan dengan pimpinan partai menjadi dominan. Lebih jauh,
bagi kader yang ingin dicalonkan akan selalu memberikan konstribusi
sejumlah uang kepada partai dengan alasan untuk pemenangan pemilu.
Dapil-dapil yang menjadi lumbung suara partai, menjadi perebutan
dan sekaligus menjadi dapil dengan harga yang besar untuk menjadi caleg.
Pada pemilu 2004, kondisi tersebut tidak banyak berubah,
walaupun sudah ada perubahan dalam sistem pemilu yaitu proposional daftar daftar tetutup (propotional closed list) menuju proposional
daftar terbuka (proportional open list). Pemilih boleh mencoblos partai,
caleg, atau kedua-duanya, dengan ketentuan suara partai akan
menjadi suara nomor urut tertinggi. Sistem ini tidak serta merta para
caleg memberikan garansi untuk dapat lolos menjadi anggota legislatif,
karena caleg harus bisa memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).
Hal ini sangat sulit mengingat peran partai masih dominan dalam
78
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
kampanye, disamping masih diperbolehkannya mencoblos partai
yang justru banyak disuarakan oleh partai saat kampanye. Kasus di
Malang Raya tidak ada satupun dari para caleg yang bisa lolos lewat
BPP. Bahkan untuk tingkat pusat, hanya calon dari PKS yaitu Hidayat
Nurwahid dan calon dari Partai Golkar yaitu Saleh Djasit yang bisa
lolos dengan melewati BPP. Oleh karena itu, dalam pemilu 2004 para
caleg yang terdaftar di masing-masing partai, nomor urut paling atas
hampir pasti diisi oleh pimpinan teras partai.
Memasuki pemilu 2009, sistem pemilu berubah lagi menjadi
sistem proporsional daftar terbuka (proportional open list) murni (tanpa
BPP). Sistem ini telah mendorong terjadinya perubahan upaya partai
dalam memenangkan pemilu. Partai tidak lagi dominan dalam baik
dalam penentuan caleg, maupun dalam pemenangan pemilu. Sistem
kompetisi terbuka antar caleg di dalam internal partai, mendorong
gairah caleg untuk berjuang dengan segala cara agar dapat memperoleh suara tertinggi di dalam partai agar lolos menjadi anggota
legislatif. Kondisi ini mendorong persaingan keras di antara para caleg
internal partai, tidak lagi dengan calon di luar partainya.
Dengan sistem baru, partai tidak hanya memasangkan calegcaleg yang punya kualifikasi kepopuleran, jaringan, dan sumber daya
keuangan dari internal partai. Akan tetapi partai berusaha mencari
tokoh-tokoh populer yang punya tingkat akseptabilitas dan electabilitas
tinggi dari eksternal partai untuk di pasang dalam nomor urut caleg.
Keadaan ini telah melahirkan perilaku pragmatis dari kader partai,
maupun partai dalam memperebutkan kekuasaan. Para kader yang
kecewa dengan partainya, mereka dengan enteng masuk ke partai
lain tanpa ada beban historis, sosiologis, maupun spikologis.
Di Malang Raya seperti yang penulis temukan, banyak kader
Golkar maupun kader PDIP yang pindah haluan ke Partai Demokrat,
begitupan sebaliknya dari Partai Demokrat banyak juga pindah ke
partai lain. Sebagai contoh, Subur Triono anggota Dewan Kota
Malang yang pada pemilu 2004 di usung oleh Partai Demokrat, karena
kasus Pilakada dia diberhentikan, dan dengan mudah diterima
menjadi caleg dari PAN. Termasuk juga Ishom dan Andre Prana,
Ishom yang merupakan anggota Dewan Kota Batu peride 2004-2009
dari PSI, meloncat ke PAN, sementara Andre Prana Anggota Dewan
dari Partai Demokrat pindah ke Partai Barisan Nasional (Barnas).
79
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Kasus lain yang terjadi di Kota Batu, tokoh-tokoh lokal yang
dianggap punya massa menjadi bidikan utama partai politik untuk
menjadi caleg dari partai tertentu. Hasil observasi penulis menunjukan
bahwa banyak dari keluarga perangkat desa, ataupun pemerintah
yang menjadi calon dari partai politik tertentu. Dari dapil Junrejo
Kota Batu, caleg yang berasal dari keluarga perangkat desa adalah
Siti Nurjanah yang merupakan istri dari Kepala Desa Pendem, dia
dicalonkan dalam nomor urut satu dari PNBK, Nurjayanti Istri
sekretaris desa yang dicalonkan Partai Hanura pada nomor urut dua.
Dari kedua calon tersebut, salah satu calon berhasil mendapatkan
suara yang cukup signifikan, untuk ukuran BPP Kota Batu dengan
jumlah pemilih sekitar 130.000 pemilih, karena mendapatkan suara,
dengan perkiraan BPP sebesar 3000-an suara. Sementara calon yang
merupakan anggota keluarga dari birokrasi, juga berhasil lolos
menjadi anggota Dewan yaitu Syaodah Isteri Mantan Camat Junrejo
melalui Partai Indonesia Baru (PIB) dan Endang Istri Mantan Wali
Kota Batu Alm. Imam Kabul dari PDIP dari dapil Batu.
Pada umumnya partai politik peserta pemilu 2009 di Malang
Raya menerima pendaftaran untuk caleg dari kader non partai, akan
tetapi untuk masuk menjadi caleg dari partai-partai besar seperti
PDIP, P. Golkar, maupun P. Demokrat sangat susah. Partai-partai
yang paling banyak menerima caleg dari luar kader partai sendiri
adalah partai-partai baru dan partai-partai yang pada pemilu 2004
kurang mendapatkan suara signifikan dan tidak mempunyai basis
pengkaderan serta basis massa yang jelas.
Sebagaimana hasil dari Focus Group Discussion yang penulis
lakukan dengan beberapa pengurus partai politik ditemukan bahwa
pada pemilu 2009, sebagian partai politik sudah secara terbuka
membuka ruang bagi calon dari luar kader untuk menjadi caleg dari
partai mereka. Dengan demikian, sistem pemilu proporsional daftar
terbuka secara murni telah merubah peta politik di Malang Raya
secara keseluruhan. Banyak caleg yang direkrut oleh partai yang
bukan dari kadernya dengan pertimbangan caleg tersebut akan
menguntung partai bersangkutan. Beberapa pertimbangan kenapa
seseorang dapat direkrut, walaupun bukan kader partai, yaitu pertama
karena punya modal sosial; dan kedua karena punya modal ekonomi.
Modal sosial terkait dengan banyaknya pengikut yang seseorang
80
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
miliki karena posisinya, baik sebagai tokoh agama, tokoh politik,
maupun tokoh masyarakat lainnya. Modal ekonomi terkait dengan
kekayaan yang dia miliki, biasanya mereka adalah seorang pengusaha
atau orang yang punya kekayaan cukup untuk mendanai kampanye
pemenangan pemilu.
2.2. Sistem Pemilu dan Penentuan Dapil Caleg
Sudah menjadi semacam peraturan tidak tertulis dalam partai
bahwa daerah-daerah yang menjadi lumbung partai, para calegnya
selalu diisi oleh pimpinan teras partai. Bahkan banyak pemilih yang
tidak mengenal sama sekali calon yang akan mewakilinya. Kondisi
marak dan jamak terjadi pada pemilu 1999 dan 2004 yang menempatkan partai dalam posisi dominan dalam pemenangan pemilu maupun
penentuan caleg. Keadaan ini membuat banyak Pimpinan Daerah
atau Cabang partai yang kecewa karena tidak punya kesempatan
untuk menjadi caleg dengan nomor urut jadi. Hal ini berdampak pada
kurang bergairahnya Daerah atau Cabang partai dalam memenangkan pemilu. Akan tetapi, karena tingkat persaingan dalam internal
partai rendah dan perolehan kursi bersifat urut kacang (kalau tidak
ada yang mendapat BPP), maka calon-calon yang berada pada nomor
urut jadi banyak bekerjasama dan membantu secara finansial calon
dengan nomor urut di bawahnya. Hal ini diasumsikan bahwa semakin
banyak caleg yang mendapatkan suara, maka kepastian caleg untuk
lolos menjadi anggota Dewan semakin tinggi.
Lain pemilu 1999 dan 2004, lain lagi pemilu 2009. Dengan sistem
proporsional daftar terbuka (proportional open list) para pejabat teras
partai harus berjuang keras untuk bisa bersaing dengan caleg lainnya
dalam satu partai. Oleh karena itu bagi partai-partai menengah ke
bawah, penempatan calon menjadi sangat krusial karena terkait
dengan tingkat akseptabilitas calon di daerah pemilihan. Bagi caleg
Kabupaten dan Kota, hampir dipastikan akan menempati dapil sesuai
dengan asas domisili karena dianggap lebih dikenal dengan calon lain.
Mengingat persaingan yang cukup keras di dapil masingmasing, partai politik tidak sembarangan dalam menurunkan caleg
di dapil tertentu kalau memang caleg tersebut tidak dikenal oleh
masyarakat setempat. Dengan demikian, banyak calon-calon dari
partai yang di tempatkan dalam dapil yang berdomisili dari dipil caleg
81
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
yang bersangkutan. Walaupun demikian, ada juga caleg yang keluar
dari dapil dimana mereka berada, dengan pertimbangan tingkat
persaingannya lebih rendah, seperti tidak ada calon incumbent, atau
terjadi konflik atau ada dua atau lebih calon yang sama dalam satu
daerah sehingga di pindah ke dapil lain.
Sementara bagi caleg yang datang dari luar partai biasanya
ditempatkan di dapil yang dalam pemilu sebelumnya tidak mendapatkan kursi dan biasanya ditempatkan dalam urutan bawah. Heterogennya calon yang berada dalam satu partai telah berdampak pada
pilihan segmen massa. Baik partai Nasionalis maupun partai Islam
sudah tidak lagi membedakan basis konstituen mereka, karena yang
jadi pertimbangan dalam pileg 2009 adalah latar belakang dari calon
yang bersangkutan.
Pencalon yang tidak mempertimbangkan asas domisili, lebih
menonjol untuk caleg Provinsi dan Pusat. Sebagai contoh, caleg DPR
RI dari PDIP, Prof. Dr. Gayus Lumbuun menjadi caleg di dapil Malang
Raya yang bukan berasal dari Malang Raya. Dalam hasil pemilu
menunjukan bahwa kekuatan Gayus Lumbuun, dengan kapasitas
pribadi dan kepopulerannya tidak begitu banyak berperan. Hal ini
berbeda dengan Sri Rahayu, yang merupakan tokoh lokal Malang
Raya yang relatif tidak begitu populer di pentas Nasional mampu
meraup suara yang signifikan. Kasus pencalegan yang relatif tidak
mempertimbakan asas domisili ini lebih banyak dari caleg PDIP dan
PKS, hal ini disebabkan karena pemilih PDIP dan PKS lebih fanatis
dan lebih ideologis ketimbang partai partai lain.
Calon dari partai-partai besar yang bukan berasal dari kader
lebih banyak berasal dari segmen pengusaha. Sebagai contoh caleg
dari PDIP yang berada dapil Kedungkandang merupakan caleg yang
berlatar belakang pengusaha, jelasnya pengusaha rokok. Alasan
utama yang terungkap dari hasil FGD dengan beberapa pengurus
partai adalah kemampuan ekonomi caleg. Dari data di lapangan
menunjukan bahwa caleg PDIP yang bernama Drs. H. Nurrudin
Huda (Soleh) yang berlatar belakang pengusaha ini menjadi caleg
dengan prosentase perolehan suara paling besar dan mendekati
Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yaitu sekitar 80% dari BPP. Dalam
rangka meng-cross-check kebenaran data, penulis mencari informan
yang dianggap mengetahui yaitu anggota KPUD Kabupaten dan salah
82
SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
seorang caleg, informasi yang diperoleh menunjukan bahwa caleg
PDIP dari pengusaha dapat memperoleh suara sangat signifikan tidak
hanya karena alasan ekonomi, melainkan juga jaringan usaha juga.
Perusahaan rokok kretek yang dimiliki Soleh itu ternyata melibatkan
tenaga kerja ribuan orang, belum termasuk pengecer-pengecernya.
Dengan demikian, bagi partai politik yang besar seperti PDIP, kalau
tidak punya modal ekonomi dan sosial yang besar akan sangat sudah
menjadi caleg kalau tidak lewat kaderisasi.
2.3. Sistem Pemilu dan Segmen Pemilih Yang Dibidik
Pada awal masa reformasi, euporia politik yang begitu besar
telah membangun kesadaran politik para elit untuk segera membentuk
partai politik. Basis massa yang paling realistis ditengah ketiadaan
basis material baru adalah digunakannya perangkat primordialisme
sehingga menyerupai situasi perpolitikan pada era menjelang pemilu
1955. Spektrum politik aliran di antara partai politik yang dibangun
sangat pekat terasa. Oleh karena itu setiap ormas yang bersinggungan
terkait ideologi tertentu mengalami dampak luar biasa dalam
dinamika internalnya terkait dengan keterlibatannya dalam politik
praktis. Dalam ormas keagamaan ada dua ormas yang sangat terguncang dengan munculnya politik aliran ini, yaitu Muhammadiyah dan
NU. Muhammadiyah menjadi penyokong utama basis massa pemilih
PAN, sementara NU menjadi basis utama pemilih PKB.
Kasus yang terjadi di Malang Raya, tidak bisa dinafikan akan
keberadaan politik aliran, khususnya di tingkat elit partai, menjadi
modal utama dalam upaya menggarap basis ideologis untuk pemenangan pemilu 1999. Kentalnya nuansa politik aliran bisa tercermin
dalam kepengurusan partai, caleg yang diusung, serta segmen pemilih
yang digarap baik partai yang mengatasnamakan diri sebagai partai
Islam maupun partai yang mengatasnamakan diri sebagai partai
Nasionalis. PKB berjuang mengamankan basis pemilih NU yang
merupakan basis pemilih Santri Tradisional, PAN berjuang mengamankan pemilih Muhammadiyah yang dianggap mewakili Santri
Mordenis, PDIP berjuang mengamankan basis pemilih Abangan yang
merupakan representasi pemilih Nasionalis yang pro wong cilik.
Sementara Golkar yang merupakan representasi dari pemilih Priyayi
berupaya mengamankan pemilih keluarga PNS yang menjadi basis
83
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
pemilih utama Golkar pada masa Orde Baru.
Memasuki pemilu 2004, sedikit terjadi perubahan dalam peta
basis masa pemilih. Pengalaman pemilu 1999 dijadikan sebagai barometer
dalam membangun upaya bagi pemenangan pemilu 2004. Partai-partai
Islam yang pada pemilu 1999 cenderung fanatik dengan basis pemilih
tradisionalnya, mulai mengembangkan basis massa di luar segmen
pemilih tradisionalnya. Salah satu barometer yang bisa dijadikan
indikator adalah isyu politik yang dibangun masing-masing partai.
Pada pemilu 1999, PPP, PBB, PKS, sangat getol menyuarakan
syariat Islam dalam rangka meraih simpati pemilih. Pada pemilu 1999,
hasilnya bagi PKB cukup memuaskan karena menjadi terbanyak kedua
setelah PDIP, dan yang ketiga dipegang Golkar. Artinya dalam pemilu
1999, di Malang Raya pemilu 1999 masih mencermikan situasi politik
aliran seperti yang dikemukakan Geertz (1960) yaitu Santri-AbanganPriyayi. Dalam pemilu 2004 walaupun politik aliran masih mewarnai,
namun terjadi pergeseran yang tampak dari penururan suara PDIP,
PKB, PAN maupun Golkar sebagai representasi politik aliran. Munculnya partai papan tengah baru sepeti PKS dan Partai Demokrat menjadi
indikasi adanya kecenderungan sebagian pemilih sudah meninggalkan identifikasi dirinya bedasarkan varian keagamaan.
Gejala semakin ditinggalkannya basis aliran politik oleh partai,
lebih terang dalam pemilu 2009. Partai lebih mengedepankan pendekatan ekonomi daripada ideologis ketika memutuskan untuk meraih
simpati pemilih. Partai lebih berpikir praktis pragmatis dalam
membangun upayanya, dimana program jangka pendek yang bersifat
karikatif dan berbiaya tinggi lebih menonjol ketimbang pendekatan
yang bersifat ideologis. Oleh karena itu, basis massa yang digarap
menjadi lebih lebar karena tidak ada hambatan ideologis. Program
karikatif seperti batuan sosial seperti kesehatan, pembangunan sarana
ibadah, dan lingkungan, bisa diterima oleh semua kalangan. Oleh
karena itu, PKS yang merupakan partai Islam modernis, segmen massa
yang di bidik pada pemilu 2009 tidak melulu kelompok massa Santri
Modernis namun juga melebar ke segmen pemilih Satri Tradisional
dan Abangan dengan lewat berbagai program sosialnya. Dan hasilnya
pada pemilu 2009 PKS mengalami kenaikan signifikan dibanding
dengan partai-partai Islam lainnya.
84
BAB III
MEMAHAMI ARTI PENTING
PARTAI BAGI PEMILIH
85
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
KOMPETENSI
Dalam bab ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan apa makna pilihan partai
bagi masyarakat baik dari sisi ideologis, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi.
Selanjutnya mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan bagaimana respon partai
terkait dengan pemaknaan masyarakat terhadap pilihan partai politik tersebut. Lebih
jauh, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan bagaiama dampak yang terjadi dari
pemahaman masyarakat terhadap partai politik terhadap kinerja partai politik.
Terakhir, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang pola hubungan partai
dan pemilih yang didasarkan pada pemaknaan pemilih pada partai politik.
86
BAB III
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI
BAGI PEMILIH
PEMAHAMAN adalah gambaran dan pemahaman seseorang tentang
sesuatu yang bersifat subjektif. Karena bersifat subjektif, maka
gambaran atau pemahaman seseorang mengenai sesuatu tersebut
akan berbeda satu sama lain bergantung kepada pengetahuan,
pengalaman, keyakinan serta kondisi sosial budaya masing-masing.
Kalau dikaitkan dengan “pemahaman partai”, maka dapat diartikan
sebagai gambaran dan pemahaman seseorang mengenai partai sesuai
dengan pengetahuan, pengalaman, keyakinan serta kondisi sosial
budaya dimana orang tersebut berada. Terkait dengan penelitian yang
dilakukan, pembahasan dalam bab ini akan menjawab pertanyaan
“apa pemahaman partai bagi pemilih?’.
Guna menjawab pertanyaan penelitian di atas, maka perlu
terlebih dahulu memahami dan mengetahui kondisi sosial ekonomi,
bahasa, kebiasaan, budaya, keyakinan sosial-religi, serta perilaku
keberagamaan seseorang, kelompok, atau warga setempat. Dengan
memahami kondisi sosial ekonomi serta budaya warga setempat akan
sangat berguna untuk memahami pandangan dan pemahaman
subjektif tentang partai, walaupun orang yang bersangkutan tidak
menyatakannya secara langsung. Sebagai contoh, perilaku pendukung
PKB yang rela untuk datang ke tempat kampanye walau dengan
biaya sendiri dan bahkan berani mati untuk membela PKB, bukan
berarti partai yang baik sehingga diperhatikan konstituennya. Namun
bisa dipahami sebagai ketaatan beragama. Bagi kalangan Nahdhilyin
87
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
PKB diidentikan dengan Islam, dan Islam dalam kelompok Santri
Tradisional adalah NU. Dalam kelompok masyarakat santri Tradisional,
stratifikasi serta status sosial sangat ditentukan oleh perilaku keberagamaan. Kalau dikaitkan dengan dukungan kepada PKB yang sangat
besar bisa jadi merupakan sebuah kebanggaan karena sudah mendukung NU yang berarti mendukung Islam. Dengan demikian perilaku
membela PKB dianggap sebagai perilaku membela agama. Hal ini
menjadi kebanggaan bagi kalangan Santri Tradisional karena akan
mendapatkan penghargaan serta meningkatkan status sosial di mata
kelompoknya.
Selengkapnya dalam bab ini akan diuraikan beberapa pemahaman subyektif dari pemilih mengenai partai politik baik itu terkait
dengan pemahaman ideologis yang bersumber dari politik aliran,
pemahaman sosial kemasyarakatan, dan pemahaman ekonomi. Pembahasan berikutnya mengenai pemahaman partai dan keterkaitannya
dengan hubungan partai dan pemilih dari pemilu ke pemilu (pemilu
1999, 2004, 2009). Selanjutnya penting juga untuk dibahas mengenai
dampak dari Pemahamanan partai pada kinerja partai. Terakhir
dibahas keterkaitan pemahaman partai dengan upaya yang dijalankan oleh partai dalam meraih simpati massa untuk pemenangan setiap
pemilu.
A. Cara Pemilih Memahami Partai
Banyak hal yang bisa ditangkap dari hasil penelitian yang
penulis lakukan menyangkut pemahamanan pemilih pada partai
politik, namun secara garis besar ada beberapa fenomena yang ada
dapat diambil sebagai benang merah terkait dengan Pemahamanan
partai ini. Beberapa fenomena yang muncul di lapangan, penulis
mengelompokan ke dalam tiga bagian, yaitu pemahaman ideologis,
pemahaman sosial kemasyarakatan, dan pemahaman ekonomi.
Pemahaman ideologis partai adalah pemahaman yang muncul dari
sebuah keyakinan seseorang mengenai partai yang berbasis perilaku
beberagamaan seperti yang dikemukakan Geertz yaitu Santri
Modernis, Santri Tradisional, dan Abangan. Varian pemahaman ideologi
yang ada dalam masyarakat pemilih terbagi ke dalam empat hal
Pemahamanan partai, yaitu Perjuangan Islam, Pengejawantahan Keislaman,
Pembelaan Wong cilik, dan Perlawanan Pada Ideologi Penguasa.
88
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
Pemahaman sosial kemasyarakatan partai adalah pemahaman
partai yang tumbuh dari hasil interaksi sehari-hari di antara sesama
dalam satu komunitas yang dilandasi oleh norma, adat dan kebiasaan.
Varian dari pemahaman Sosial Kemasyarakatan terdiri dari solidaritas
sosial, Kepatuhan kepada Pemimpin, dan Budaya. Sementara varian
pemahaman ekonomi partai adalah pemahaman yang berkembang
akibat kondisi sosial, ekonomi, geografi, dan demografi yang tidak
baik. Varian dari pemahaman ekonomi partai ini terdiri dari bantuan
pembangunan, dan pemberian uang tunai.
1. Partai Sebagai Simbolisasi Ideologi
Ideologi politik merupakan sebuah himpunan ide dan prinsip
yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan
menawarkan ketertiban (order) masyarakat tertentu, termasuk menawarkan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya
dilaksanakan. Sebagai mana yang dikemukakan oleh Anthony Downs
(1957), “Political ideology is a believe system that explains and justifies a
preferred political order for society, either existing or proposed, and offer a
strategy (processes, institutional arrangements, programs) for it attainment.
It is a ‘verbal image of the good society and the chief means of constructing
such society’.” Kalau dikaitkan dengan Pemahamanan seseorang
terhadap partai politik, pemahaman ideology dari partai bisa berarti
bahwa partai politik harus punya gagasan yang dituangkan dalam
visi, misi, dan platform serta ditunjukan dari perilaku elitnya untuk
memperjuangkan dan merealisasikan gagasan tersebut dalam kenyataan.
Dalam khasanah perpolitikan di Indonesia, ideologi politik yang
bersumber dari politik aliran, sudah cukup lama mempengaruhi kehidupan politik kepartaian. Sebagaimana yang dikemukakan Geertz,
pola aliran politik (social cleavages) yang berkembang di Indonesia
meliputi Santri-Abangan-Priyayi. Dalam politik, pola aliran itu telah
melahirkan dua kutub ideologis yaitu Islam dan Nasionalis. Kedua
kutub ideologis ini punya pendukung sangat luas dalam masyarakat
Indonesia, terutama di Jawa. Dalam kaitannya dengan pemahaman
ideologis partai di Indonesia, maka partai politik harus punya gagasan
yang dituangkan dalam visi, misi, dan platform serta ditunjukan dari
perilaku elitnya untuk memperjuangkan dan merealisasikan “Islam”,
“Nasionalis” dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
89
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
1.1. Upaya Memperjuangkan Islam
Di kalangan Santri Modernis berkembang pemahaman akan
pentingnya partai. Partai politik diperlukan sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan, dengan alasan bahwa agama dalam perkembangannya tidak lepas dari pengaruh orang-orang berkuasa. Di sisi lain
mereka berpandangan bahwa dengan kekuasaan yang dimiliki atau
didukung oleh penguasa, perkembangan agama akan mengalami
kemajuan karena kekuasaan ikut membentengi dan menyokong perkembangan agama. Anggapan tersebut tidak lepas dari pengaruh perkembangan Islam pada jaman Nabi Muhammad, dimana pada jaman
Rasulullah dan para sahabat, perkembangan Islam tidak lepas dari
pengaruh kekuasaan. Islam dan kekuasaan sejalan dan seiring dalam
sejarah perkembangan Islam, bahkan naik turunnya perkembangannya Islam pun tidak lepas dari akibat perebutan pengaruh dan
kekuasaan dikalangan intern umat Islam sendiri, dan hal ini mendorong terjadinya polarisasi dalam Islam seperti adanya Sunni dan Syiah.
Menurut beberapa aktivis Muhammadiyah Kabupaten Malang,
pengaruh kekuasaan dalam perkembangan agama tidak hanya dalam
Islam, akan tetapi terjadi juga dikalangan pemeluk Kristen. Pada saat
kekaisaran Romawi Kristen yang mengembangkan ajaran Trinitas
bisa berkembang pesat karena didukung oleh penguasa Romawi pada
saat itu. Sedang konsep Kristen yang mengembangkan ajaran ketuhanan
yang bersifat tunggal tidak bisa berkembang karena mendapat hambatan dari penguasa.
Adanya partai politik yang berbasis Islam di Indonesia bagi
kalangan Santri Modernis sangat dibutuhkan dalam rangka membentengi Islam dari pengaruh serta serangan yang akan menghancurkan
Islam dari luar (non Islam). Mereka meyakini dengan adanya partai
politik Islam, maka Islam akan punya kekuatan karena didukung oleh
mereka yang duduk dipemerintahan. Oleh karena itu, menurut pandangan pemilih Islam, partai harus mampu menjadi garda terdepan
dalam memperjuangkan Islam di negeri ini. Agar dapat memperjuangkan Islam, maka orang-orang yang duduk di Dewan yang merupakan wakil dari partai Islam harus memahami dan menghayati nilainilai keislaman yang dituangkan dalam perilaku kesehariannya.
Karena punya padangan positif mengenai keberadaan partai
Islam, dan merasa perlu adanya partai Islam, umumnya pemilih dari
90
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
kalangan Santri Modernis ini sangat aktif berpartisipasi dalam
kegiatan politik. Minimal mereka akan mendatangi bilik suara untuk
memberikan suaranya kepada partai yang menurut mereka bisa
memperjuangkan Islam. Oleh karena sikap aktifnya dalam politik,
pemilih kalangan Santri Modernis ini sangat kritis terhadap partai
maupun wakil rakyat yang duduk di Dewan apabila tidak sejalan
dengan apa yang menjadi pandangannya. Apabila ada partai Islam
yang dalam perjalanannya tidak bisa diharapkan dalam memperjuangkan Islam, umumnya pemilih Santri Modernis (terutama yang
Konservatif) mengalihkan suaranya kepartai lain yang lebih getol
memperjuangkan Islam. Dalam kasus yang terjadi di Malang Raya,
banyak pemilih Santri Modernis mengalihkan pilihan politiknya dari
PAN ke PKS karena PKS lebih bisa diharapkan dalam memperjuangkan Islam ketimbang PAN. Dan dalam hal ini PKS yang menyebutkan
dirinya sebagai partai da’wah mencantum Islam sebagai asas partai.
Hal ini berbeda dengan PAN yang tidak mencantumkan Islam sebagai
dasar partai, yaitu Pancasila.
PKS sebagai partai Islam dan mencatumkan Islam secara formal
bisa dipahami karena PKS lahir dari kelompok massa keagamaan
yang bergerak dalam bidang da’wah yang dikenal dengan “Tarbiyah”.
Di sisi lain PAN yang dimotori Amin Rais, berdiri atas keinginan
untuk memperbaiki kondisi bangsa yang hancur akibat krisis ekonomi
dan membangun sistem politik yang telah rusak oleh penguasa Orde
Baru. Oleh karena itu, PAN dan Amin Rais dalam setiap kampanye
selalu membawa isu reformasi. Dengan latar belakangan tersebut,
PAN menganggap kurang pas apabila hanya membidik segmen
pemilih Islam saja, karena PAN ingin berkiprah untuk kepentingan
bangsa, maka PAN harus menjadi partai plural yang mampu
menjembatani semua kepentingan masyarakat.
Hal yang menarik dari pandangan kelompok Santri Modernis
adalah sikapnya terhadap negara Islam. Bagi mereka, apa yang
diperjuangkan partai Islam tidak selalu harus mengusung isu negara
Islam, namun yang lebih penting adalah bagaimana syariat Islam
bisa berkembang dan dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, Muhammadiyah yang merupakan representasi dari kelompok Islam Modernis tidak mendukung untuk
mencantumkan Piagam Jakarta dalam Pancasila. Salah satu alasan
91
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
kenapa tidak harus secara formal mencantumkan syariat Islam dalam
Dasar Negara, penulis mengutif dari hasil wawancara dengan salah
satu mantan Pimpinan Daerah Muhammadiyah di Kabupaten
Malang sebagai berikut:
“.... Islam harus dipatuhi dan diakui oleh seluruh warga
negara yang tidak hanya Islam. Karena pada jaman Rasulullah,
mereka yang beragama non Islam, seperti Yahudi juga apabila
melanggar hukum seperti mencuri, maka mereka diperlakukan
dan dihukum berdasarkan Islam. Kalau Piagam Jakarta dicantumkan dalam Pancasila, dimana syariat Islam hanya diperuntukan bagi orang-orang Islam dihawatirkan akan merugikan
perjuangan dakwah Islam sendiri. Sebagai contoh, apabila ada
orang Islam yang mencuri, karena tahu kalau mencuri itu
hukumannya dalam Islam itu dipotong tangan, maka mereka
akan mengaku bukan Islam agar hukumannya tidak potong
tangan.”
Oleh karena itu menurut kalangan Santri Modernis, kalau partai
yang berbasis Islam ingin mendapat perhatian serta dukungan dari
kalangan umat Islam, maka partai Islam harus sungguh-sungguh
memperjuangkan Islam. Menurut mereka partai-partai Islam yang
ada sekarang tidak sunggung-sungguh memperjuankan Islam karena
hanya melulu mengejar kekuasaan. Hal ini dilihat dari kinerja partai
yang mengatas namakan partai Islam yang cenderung hanya sebagai
merek dagang atau label saja. Kenyataannya memang pada saat ini
partai Islam hanya namanya saja, karena tidak ada yang bisa membedakan secara kongkrit dimata masyarakat. Partai Islam dan non Islam
hampir sama saja, dalam keadaan tertentu partai sekuler lebih banyak
perhatian pada masyarakat Islam, sementara di sisi lain partai yang
mengatasnamakan Islam tidak atau jarang memperjuangkan kepentingan orang-orang Islam.
Bahkan gagasan dari PDIP yang notabene sebagai partainya
orang Abangan ketika menggagas dibentuknya Baitul Muslimin
sebagian kalangan kelompok pemilih Santri Modernis yang Liberal
cukup apresiatif. Dengan pertimbangan bahwa partai hanya sebagai
alat perjuangan Islam, maka dengan didirikannya Baitul Muslimin
ini sebagian kelompok Santri Modernis menyambutnya dengan turut
92
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
terlibat dalam kepengurusan. Walaupun demikian, dikarenakan
Baitul Muslimin ini lahir di rumah kelompok Abangan, ada sebagian
dari Santri Modernis, terutama yang Konservatif bersikap skeptis dan
bahkan menjadi perdebatan di kalangan Santri Modernis. Sehingga
dalam kalangan Santri Modernis terbentuk dua kutub atara mereka
yang cenderung mendukung dan mereka yang tidak mendukung,
termasuk ada juga yang Moderat. Sebagai contoh, Santri Modernis
yang ada di Lowokwaru dengan Kedungkandang, kalau Lowokwaru
bisa lebih menerima baitul Muslimin, yang juga rasional dalam rangka
menjalankan dakwah. Di sisi lain Kedungkandang yang cenderung
melakukan pendekatan emosional tidak bisa menerimanya, sehingga
dua tempat itu komunitas punya karakteristik Santri Modernis berbeda.
Perbedaan pandangan terhadap Baitul Muslimin ini didasari
perbedaan latar belakang status sosial dan ekonomi Santri tersebut.
Santri yang ada di daerah Lowokwaru itu adalah birokrat, akademisi
yang hidupnya sudah tertata dengan baik. Kehidupan mereka selama
satu bulan sudah tertata dengan baik. Disamping itu kalau dilihat
dari segi pendidikan, Santri di wilayah ini mempunyai tingkat
pendidi-kan yang cukup tinggi. Sementara Kedungkandang mereka
umumnya bermata pencaharian sebagai pedagang karena mereka
tinggal dekat pasar, kehidupan mereka cukup dinamis dengan
mobilitas cukup tinggi terkait dengan aktivitas di bidang perdangan,
namun untuk urusan agama mereka cenderung lebih fanatik.
1.2. Implementasi Ajaran Keislaman
Kehidupan kalangan Santri Tradisional di Malang Raya sangat
disiplin menjalankan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan
ritual keagamaan. Kegiatan keagamaan tersebut melekat dengan
kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan yang berimpitan
dengan nilai budaya lokal, khususnya budaya Jawa. Bagi Santri
Tradisional, apa yang mereka lakukan disadarinya sebagai bagian
dari implementasi keberagamaan mereka termasuk dalam berpolitik
atau memilih partai. Mereka lebih paham sesuatu yang tersurat dari
pada yang tersirat, lebih senang dengan hal yang kongkrit/permukaan daripada substansi. Dengan demikian bagi kalangan Santri
Tradisionalis, lambang, simbol menjadi hal yang sangat penting dalam
kehidupan Santri Tradisional. Seorang Santri Tradisional akan sangat
93
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
mudah dibedakan dengan mereka yang bukan Santri. Cara berpakaian Santri Tradisional sangat khas, dimana sarung, baju koko, peci,
sorban menjadi ciri khas dari Santri Tradisional. Namun hal yang
paling umum, mereka yang tergolong Santri Tradisional, adalah
pemakaian sarung dalam kehidupan keseharian mereka.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa orang memilih PPP
masa Orba karena merupakan partai Islam dan ada gambar ka’bah
yang menjadi simbolnya. Oleh karena itu banyak pemilih Tradisional
memilih PPP walaupun banyak tekanan dari aparat maupun pemerintah. Banyak dari masyarakat yang rela dan setia untuk mendukung
PPP karena mereka menganggap dengan memilih PPP berarti sudah
bisa menjalankan dan membela Islam. Apalagi dalam gambar PPP
ada ka’bah nya yang merupakan simbolisasi dari Islam. Melihat kenyataan ini pemerintah Orba merasa perlu untuk melakukan rekayasa,
sehingga pemerintah meminta lambang ka’bah diganti.1
Pada pemilu 1999 dan 2004, walaupun PPP masih ada, namun
para pemilih di Malang Raya yang berbasis Islam Tradisional mengalihkan pilihan politiknya ke PKB. Alasan yang muncul kenapa mereka
tidak memilih PPP dikarenakan pimpinan PKB merupakan tokoh dan
sekaligus pimpinan teras NU yang mempunyai garis keturunan
langsung dari K.H. Hasyim Ashari yaitu Abdurahman Wahid atau yang
di kenal dengan Gus Dur. Padahal PKB yang dideklarasikan oleh
Gus Dur ini bukan merupakan partai Islam, karena dalam AD ART
nya tidak mencantum Islam sebagai asas tapi Pancasila. Namun bagi
pemilih Santri Tradisional itu tidak penting, karena yang mereka lihat
bukan substansi dari partai itu melainkan siapa yang duduk dalam
kepengurusan partai itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
1
Ketika jaman Orde Baru banyak pemilih Santri Tradisional memilih PPP dengan alasan bahwa
partai ini merupakan satu-satunya partai Islam. Apalagi ketika PPP di pimpin oleh Idham
Cholid yang nota bene sebagai pemimpin ormas Islam Tradisional Nahdlatul Ulama (NU).
Banyak para kader NU yang berjuang habis-habisan untuk mengkampanyekan dan memenangkan
PPP dalam setiap pemilu yang dilaksanakan. Dorongan kuat dari pemilih Tradisional untuk
membela PPP didasarkan pada keyakinan bahwa membela PPP sama dengan membela Islam,
karena PPP merupakan partai Islam yang disimbolisasikan dari pemimpin teras partai yang
merupakan tokoh-tokoh Islam khususnya NU. Dalam memperjuangkan PPP mereka tanpa
pamrih, setiap kegiatan yang mereka lakukan untuk mengkampanyekan PPP tanpa bantuan
apapun mereka jalan, bahkan untuk mendukung dan memenangkan PPP banyak pendukungnya
yang rela urunan sendiri, bahkan mereka berani mati untuk membela PPP.
94
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
dikalangan pemilih Santri Tradisional, tolak ukur untuk menentukan
pilihan politik partai tidak pada platform partai melainkan pada siapa
tokoh yang duduk di partai itu. Hal ini merupakan bagian dari tradisi
di kalangan NU yang menjadikan pemimpin agama (dalam hal ini
ulama/kyai) sebagai panutan, tidak hanya untuk urusan keagamaan
dan kehidupan sosial, namun juga untuk urusan politik ulama menjadi
referensi dalam menentukan pilihan politik mereka.
Hasil wawancara yang dilakukan dengan salah seorang Santri
Tradisional, Muslimin seorang partisan PKB dan aktivis NU,
menuturkan sebagai berikut:
“Saya dulu ketika jaman pak Harto milih PPP, saya sering
ikut kampanye. Jaman dulu sekitar tahun 1977 PPP dan Golkar
kan rame, saya waktu itu berani berjuang untuk PPP, istilahnya
berani mati lah. Setelah selesai jaman Pak Harto, muncul PKB,
saya sekarang milih PKB. Walaupun di PKB tidak pernah ada
bantuan apapun, untuk kepentingan PKB kami sama temanteman rela mengeluarkan biaya sendiri. Ketika kampanye PKB,
saya datang secara sukarela tanpa dibayar atau uang bensin
sekalipun.
Saya kan NU, keluarga saya juga sama. Jadi untuk warga
NU, kalau untuk membela agama walaupun nyawa sekalipun
akan dikorbankan. Oleh karena itu karena PKB itu didirikan
oleh NU, maka saya rela berkorban untuk PKB. Di PKB kan
pimpinannya orang NU, seperti Gusdur. Jadi kami sebagai
orang NU harus mendukung PKB, karena orang NU itu kan
harus patuh sama pimpinan. Jadi tidak ada masalah walaupun
harus berkorban untuk PKB, karena PKB adalah NU dan NU
adalah PKB.
Kampanye PKB biasanya dilakukan dengan cara pengajian, kami datang sama teman-teman bukan untuk melihat
kampanye tapi ikut pengajian itu. Pokonya orang NU itu kalau
untuk kepentingan agama tidak perhitungan. Ya...tadi…
matipun rela, sehingga kalau ada yang berani menjelek-jelekan
agama...pasti semua akan membela.”
Dari apa yang dikemukakan di atas terlihat jelas bahwa tingkat
fanatisme mereka pada partai sangat tinggi. Karena dalam pandangan
95
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
mereka memilih partai adalah juga pengejawantahan Keislaman,
maka hal ini berpengaruh pada kondisi spikologis mereka yang tidak
bisa menerima partai lain dengan tingkat kecurigaan yang tinggi pada
pemilih lain. Kondisi ini menyimpan potensi konflik yang tinggi
dengan pemilih lain ketika terjadi benturan antara sesama masyarakat
yang berbeda, terutama ketika saat kampanye terbuka. Bahkan
banyak dari pemilih Tradisional menganggap bahwa mereka yang
tidak memilih partai yang sama dengan mereka tidak baik keislamannya, sehingga cenderung dijauhi oleh kelompoknya.
Di sisi lain, banyak pemilih Santri Tradisional enggan meninggalkan partai pilihannya karena alasan merasa tidak tenang. Mereka
merasa apabila tidak memilih partai yang sesuai dengan kelompoknya, keislaman dia menjadi berkurang. Oleh karena itu mereka akan
sangat bangga apabila memiliki kaos yang berlambangkan partai,
khususnya partai PKB yang logonya mirip dengan logo Nahdatul
Ulama dengan bintang sembilannya. Implikasi dari kebanggaan akan
keislaman mereka yang ditranslasikan dalam pimilihan partai. Para
pemilih dan pendukung PKB di Malang Raya sebagai mana penulis
teliti, ada sikap-sikap heroik yang muncul dari para pendukung PKB.
Bahkan anggapan mereka membela PKB disamakan dengan membela
agama. Dengan demikian mereka akan rela datang ke tempat-tempat
kampanye yang diadakan PKB sejauh apapun dan dengan biaya sendiri.
1.3. Membela Kelompok Terpinggirkan
Pemilih Abangan memandang bahwa PDIP merupakan partai
pembela wong cilik, sementara simbol wong cilik yang mereka lihat
adalah Megawati sebagai pimpinan partai. Kenapa Megawati yang
dijadikan simbol, menurut salah seorang pemilih simpatisan PDIP,
alasannya karena “Megawati sudah lama terjun di politik dan sudah
lama berjuang untuk PDI.” Sebagian pemilih menyatakan bahwa
Megawati menjadi figure di PDIP sekarang sangat diperuhi oleh
kharisma Bung Karno, Megawati yang merupakan putri Bung Karno
dianggap mewarisi ajaran dari ayahnya. Ajaran Bung Karno, mengenai
Marhaenisme, merupakan cita-cita politik yang harus diperjuangkan.
Sementara marhaenisme sendiri merupakan simbol politik yang
merujuk pada sebuah masyarakat kelas bawah atau apa yang disebut
dengan “wong cilik”. Oleh karena itu Bung Karno dengan partainya
96
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
yaitu PNI pada masa Orla dianggap sebagai partainya wong cilik.
Pada saat Orde Baru, PDI, walaupun tidak selamanya Megawati jadi
pimpinan di partai namun keluarga Soekarno tetap dipakai sebagai
vote getter karena pimpinan teras PDI pada saat itu menyadari betul
bahwa ruh partai ini adalah keluarga Soekarno.
Aguk, salah satu simpatisan PDIP menyampaikan kepada
penulis terkait dengan pilihan masyarakat terhadap partai berlambang kepala banteng sebagai berikut: “Para pemilih yang mencoblos
PDI-P lebih banyak dipengaruhi oleh figur Pak Karno, sedangkan
Megawati sendiri tidak begitu dijadikan figure, dia diterima karena
sudah berjuang cukup lama. Oleh karena itu ketika Megawati menjadi
presiden dianggap tidak menjalankan komitmennya untuk memperbaiki wong cilik, maka pada saat pemilu presiden banyak dari pemilih
PDIP tidak mencoblos Megawati.“
Sementara banteng yang menjadi gambar dalam partai PDIP,
bagi kalangan pemilih Abangan dianggap sebagai simbol perjuangan
dari kalangan orang kecil. Oleh karena itu, simbol banteng ini tidak
hanya dijadikan simbol partai tetapi juga dipakai dalam setiap
kegiatan yang pada intinya menunjukan identitas kelompok marginal.
Dalam bidang kesenian yang berasal dari kalangan Abangan, salah
satu acara yang sering ditampilkan dalam setiap acara tujuh belas
agustusan adalah bantengan.2 Karena para pemilih Abangan memahamani partai sebagai pembela wong cilik, maka partai yang menjadi
representasi dari mereka apabila mendapat perlakukan tidak adil dari
penguasa akan segera mendapat reaksi dengan membangun ikatan
solidaritas yang lebih kuat untuk mendukung partainya. Hal ini
terbukti dengan menang mutlaknya PDIP pada pemilu 1999, karena
pada saat Orde Baru, Megawati yang menjadi pemimpin partai di
“kuyo-kuyo” oleh pemerintah.
2
Dari hasil pengamatan penulis ketika menyaksikan acara tujuh belasan, tradisi kesenian bantengan
ini menjadi suguhan utama dari kalangan masyarakat Abangan yang umumnya kelompok marginal.
Dalam iring-iringan karnaval, barisan terdepan diisi oleh orang-orang yang membawa prototife
kerbau yang terdiri dari kepala kerbau yang terbuat dari kerdus dengan kain hitam dibagian
badannya dan dibelakangnya ada semacam ekor. Setelah itu dibelakang orang-orang yang
berpakaian dan berdandan layaknya petani, buruh, atau apapun yang menurut mereka
merepresentasikan kaum marginal.
97
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Lebih lanjut, karena partai dipemahamani sebagai pembelaan
kelompok kelas yang dimarginalkan, hal ini berujung pada tingkat
fanatisme yang sangat besar dari para simpatisan partai, khususnya
PDIP. Mereka merasa bahwa membela partai sama dengan membela
nasibnya dan membela kelompoknya yang sama-sama wong cilik.
Citra PDIP sebagai partainya orang kecil, dan orang kecil itu selalu
identik dengan petani, buruh kasar, pedagang kaki lima yang umumnya hanya mengandalkan tenaga, maka dalam setiap kampanye yang
melibatkan massa, sebagian masyarakat merasa takut. Perilaku massa
PDIP apabila berkampanye, khususnya ketika ada kompoi, dari mereka
menunjukan adanya ekspresi yang tidak terkendali. Seolah-olah
mereka ingin melampiaskan segala tekanan yang mereka rasakan
akibat berbagai persoalan hidup.
Berkenaan dengan latar belakang spikologis pemilih Abangan
yang umumnya kelompok marginal, ekspresi kekecewaan maupun
ekspresi dukungan selalu diwujudkan dalam bentuk dan tidakan
cenderung destruktif dan anarkis, jauh dari sikap dan tindakan santun
dan bersahabat. Pembakaran kaos dan atribut partai, perusakan
gedung dan simbol partai, ataupun bentuk dukungan cap jempol
darah merupakan bagian dari ekspresi umum yang dipertontonkan
oleh kalangan Abangan. Oleh karena itu bagi mereka, visi-misi serta
platform partai sama sekali tidak hirau, kalau tidak dikatakan tidak
paham. Bagi mereka tindakan rill yang bersifat praktis-pragamatis
lebih bisa diterima. Orasi pimpinan partai yang berkualitas tidak
mereka butuhkan, yang mereka butuhkan pidato bersemangat yang
penuh propaganda, dan tidak kalah pentingnya adalah hiburan rakyat
seperti dangdutan lebih mereka senangi.
Hasil temuan dilapangan, yang menarik adalah proses identifikasi diri mereka sebagai wong cilik tidak hanya dalam kontek pekerjaan atau pun keadaan sosial ekonomi, namun juga dari tingkat keberagamaan mereka. Bagi kelompok Abangan yang dinamakan wong cilik
disamping bekerja sebagai buruh kasar atau secara ekonomi tergolong
bawah, namun yang paling penting perilaku kesehariannya yang
cenderung menjauh dari Langgar atau Mesjid, dan tidak taat dalam
menjalankan syariat Islam. Walaupun mereka sama-sama secara
ekonomi termasuk miskin, namun apabila taat beragama tidak mereka
masukan dalam kelompok Abangan. Pada umumnya mereka yang
98
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
masuk dalam kelompok Abangan ini adalah wong cilik yang
berprofesi sebagai buruh, baik itu buruh pabrik, baruh bangunan,
buruh tani yang relatif tidak mempunyai waktu cukup untuk menjalankan shalat, dan karena pekerjaannya yang berat mereka tidak bisa
berpuasa. Ketakberdayaan dalam menjalankan keagamaan inilah
yang sebenarnya memicu tumbuhnya perilaku keberagamaan yang
minimal dari kelompok Abangan. Perilaku keberagamaan minimal
yang awalnya disebabkan karena ketakberdayaan, berubah menjadi
kebiasaan dan pada akhirnya menjadi budaya dan identitas atau
karakter dari kelompok masyarakat tersebut.
Sementara di sisi lain ada sebagian wong cilik, seperti buruh
tani atau petani dan pedagang kecil mengidentikan diri sebagai wong
cilik tidak dalam konotasi kelompok Abangan. Mereka lebih cenderung masuk dalam kelompok Santri, karena perilaku keberagamaan
yang lebih baik. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa
keberadaan wong cilik ini terbagi ke dalam dua kelompok yaitu ada
wong cilik Abangan dan ada wong cilik Santri.
1.4. Perlawanan Pada Ideologi penguasa
Ideologi marhaenis merupakan varian dari ideologi sosialis. Ruh
yang terbangun dalam kelompok sosialis ini adalah pembebasan dan
perlawanan pada penindasan, maka ciri khas dari partai-partai yang
dibangun atas pondasi ideologis sosialis ini cenderung punya semangat
atau spirit kepartaian yang tinggi dari para kader-kadernya. Sebagaimana halnya yang terjadi di negara kita, PDIP yang merupakan partai
sosialis dengan ideologi “marhaenisme”-nya para kader dan pengikutnya sangat militan dengan spirit kepartaian yang tinggi. Bagi pemilih
dan simpatisan PDIP, partai ini merupakan simbol perjuangan dan
perlawan mereka pada kemapanan yang telah menempatkan mereka
pada posisi marginal. Oleh karena itu, banyak kaum buruh memilih
PDIP karena merasa ada justifikasi sebagai kelompok marginal untuk
melawan pengusaha atau pemerintah, khususnya perjuangan
mereka dalam mendapatkan upah buruh yang layak.
Karena PDIP menjadi simbol perlawanan wong cilik pada
penguasa, maka pada saat Orde Baru banyak buruh, petani, maupun
pedagang kaki lima yang menjadi korban dari penertiban aparat
keamanan. Di sisi lain PDI pada saat itu, ketika dipimpin oleh
99
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Megawati, selalu mendapat tekanan dari penguasa. Bahkan sempat
menjadi drama politik ketika Soeryadi mengambil alih kepemimpin
dan terjadi dualisme kepemimpinan. Peristiwa pengambilalihan
kantor PDI secara paksa ini terkenal dengan peristiwa “kudatuli”
(Kudeta Satu Juli). Setelah lepas dari cengkraman rezim Orde Baru,
banyak dari pemilih yang merasa nasibnya sama, serta merta mendukung PDIP sebagai simbol kemenangan dalam perjuangan melawan
penguasa Orde Baru, dan akhirnya mengantarkan PDIP sebagai
pemenang pemilu 1999 dengan kemenangan mutlak.
Bagi sebagian kalangan pemilih PDIP, menganggap bahwa
pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat berbaur dengan
masyarakat dan tidak membuat kebijakan yang merugikan mereka.
Kasus di Kota Malang, dukungan kelompok Abangan pada Peni
Soeparto yang menjabat sebagai Wali Kota Malang sangat besar. Hal
ini terbukti ketika Peni maju lagi sebagai calon dalam pilkada di Kota
Malang pada bulan Juni 2008, dimana Peni memenangkan pilkada
dengan perolehan suara mutlak yaitu sekitar 40%. Dilihat dari karakteristik pribadi peni memang menurut beberapa sumber sangat dekat
dengan kelompok Abangan, terutama pemudanya.
Dari hasil wawancara dengan simpatisan PDIP, khususnya
terkait dengan pelayanan pemerintah yang diberikan, mereka menunjukkan sikap yang apati dan cenderung menunjukan sikap sinis pada
pemerintah. Satu hal yang bisa ditangkap dari apa yang dikemukakan
oleh para simpatisan PDIP ini adalah kesusahan yang mereka rasakan
sekarang ini akibat ulah pemerintah. Ukuran bagi mereka, adalah
harga kebutuhan pokok yang langsung mereka bisa rasakan. Yang
mereka persalahkan tidak hanya pemerintah, namun juga pada
anggota dewan yang mereka anggap tidak peduli. Dengan demikian,
persoalan mereka mendukung partai bukan karena mereka akan
mendorong seseorang untuk duduk di dewan, tapi lebih karena
dukungan mereka kepada partai sebagai simbol persatuan di antara
mereka dalam memperjuangkan nasib.
Oleh karena itu, umumnya para simpatisan PDIP jarang yang
kenal dengan anggota dewannya, yang mereka tahu adalah partai
dan pengurus partai, sehingga mereka sering berhubungan dengan
pengurus partai yang biasanya sebagi pinpinan Ranting, atau
pimpinan Cabang partai. Adapun mereka yang datang mau minta
100
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
dukungan, secara pribadi untuk menjadi anggota dewan, mereka
sangat transaksional. Bagi mereka mendukung orang, berarti orang
itu akan dinaikan derajatnya. Oleh karena itu, karena akan menaikan
derajatnya, orang itu harus membayar atau memberi konpensasi
kepada yang mendukungnya. Sikap ini tidak hanya ditunjukan pada
partai diluar PDIP, tapi juga kepada semua calon yang dari partai
manapun yang minta dukungan, termasuk dari PDIP.
2. Pemahaman Sosial Kemasyarakatan
2.1. Wujud Solidaritas Sosial
Kehidupan sosial di Malang Raya, unsur kekerabatan masih
cukup menonjol. Sikap guyub dan rukun cukup kental mewarnai
kehidupan sehari-hari masyarakat. Perilaku kehidupan masyarakat,
khususnya di pedesaan, jarang ditandai dengan adanya kejutankejutan. Pola kehidupan mereka sepertinya sudah teratur dengan
konsep sosial yang mereka pahami dan tetap dipertahankan dari
generasi ke generasi. Ketika ada kajatan besar baik itu yang berkaitan
upacara keagamaan maupun upacara nasional, mereka bersatu padu
satu sama lain dengan pembagian peran yang permanen. Hal yang
paling menonjol dari semua yang dilakukan oleh masyarakat adalah
kesadaran akan kebersamaan yang dilandasi oleh stratifikasi sosial
yang sudah terlembagakan.
Dalam kegiatan lima tahunan (Pemilu), yang oleh masyarakat
sering dinamakan sebagai kajatan besar nasional, nampak jelas
masing-masing bagian dari masyarakat berperan aktif sesuai dengan
porsi masing-masing. Sebelum pemilu dilaksanakan, biasanya
masyarakat sudah punya patokan dalam menentukan pilihan partai
politik yang akan mereka pilih. Kekeluargaan, pertemanan, maupun
hubungan sosial kemasyarakatan biasanya menjadi penentu pilihan
partai politik yang mereka pilih. Sehingga ada kecenderungan bahwa
pilihan masyarakat pada partai politik dalam setiap pemilu seperti
perilaku “ikut-ikutan” dengan pilihan sodara, teman atau lingkungan
masyarakat lain karena takut dianggap bukan merupakan bagian
dari kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Salah seorang warga di Kota Batu, Muslim (30), menyampaikan
bahwa dalam pemilu 1999 dan 2004 masyarakat tidak mempertimbangkan siapa yang menjadi wakil-wakil mereka yang akan duduk
101
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
di DPR. Mereka memilih partai Islam tidak lebih karena takut tidak
disebut seorang Muslim atau takut dikucilkan oleh kelompoknya.
Dengan demikian, pilihan partai politik Islam tidak menjamin mereka
sadar bahwa hal itu merupakan konsekuensi dari pemahaman
keberagamaan mereka.
Pemilih yang pada pemilu baik 1999 maupun 2004 mencoblos
partai Islam cenderung ikut ikutan saja, takut mereka tidak disebut
Islam atau dikucilkan oleh kelompok. Para pemilih tidak bisa membedakan mana wakil-wakil yang duduk di DPR itu yang merupakan
wakil Partai Islam atau bukan, karena mereka sama sama suka korupsi.
Padalah dalam ajaran Islam sangat memperhatikan sikap dan
perilaku amanah, tidak boleh berbuat merugikan orang lain.
Faktor keluarga dalam pilihan partai juga sangat kental. Sebagai
mana penuturan salah seoarang warga yang menjadi pemilih PDIP
pada pemilu 2004, - Saya memilih PDI-P karena disini umumnya PDIP, “sodara saya Sony sebagai kader PDI yang mengkoordinir agar
mencoblos PDI. Kalau ada acara kampanye orang-orang yang akan
ikut diberi uang transport dan mereka yang punya sepeda motor
dikasih uang bensin.”
Begitupun juga kasus pemilih Partai Golkar. Mereka yang
memilih Golkar disebabkan pengaruh keluarga, walaupun sekarang
mereka sudah tidak menjadi pegawai negeri sipil, namun banyak
keluarga yang sudah tersosialisasi cukup lama dengan Golkar pada
akhirnya semua keturunannya banyak yang memilih Golkar dalam
pemilu. Kita ketahui bahwa pada jaman Orde Baru mereka yang
punya jabatan di pemerintahan secara inplisit diwajibkan untuk
memenangkan Golkar, bahkan banyak tekanan dari aparat kepada
masyarakat pada saat itu untuk mencoblos Golkar. Disamping itu
ABRI di desa dengan memelalui babinsa, juga melakukan tekanan
tekanan sehingga babinsa menjadi alat pressure pada masyarakat.
Lebih jauh dapat dikemukakan bahwa sebagian masyarakat
sangat concern akan pentingnya kebersamaan dalam lingkungan
mereka. Mereka sadar bahwa kebersamaan merupakan bagian dari
pengamanan sosial bagi mereka, ketakberdayaan secara individu
dalam melangsungkan kehidupan mereka telah menjadi bagian yang
diyakini dalam alam bawah sadar mereka. Oleh karena itu, mereka
cenderung akan mengikuti pola umum dalam masyarakat karena
102
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
mereka sangat bergantung dengan masyarakat yang lain. Dengan
demikian, banyak dari anggota masyarakat berupaya mendapatkan
peran dilingkungannya dalam membina dan membangun lingkungannya. Biasanya mereka yang punya peran menonjol dalam
masyarakat, secara langsung maupun tidak masyarakat akan patuh
pada mereka yang telah punya andil dalam membangun lingkungannya.
Dalam hal aktivitas dalam bidang lingkungan dan kemasyarakatan, baik kelompok Santri maupun Abangan tidak terpisahkan.
Bahkan dalam hal ritual keagamaan yang sering dilakukan oleh
kelompok Santri Tradisional, sebagian Abangan juga ikut serta.
Perbedaan antara Abangan dan Santri dalam kehidupan masyarakat
hanya akan dapat dilihat dalam kaitannya dengan urusan pelaksanaan rukun Islam, terutama puasa di bulan Ramadhan dan Shalat
lima waktu. Kelompok Abangan jarang atau tidak pernah menjalankan Shalat lima waktu, dan tidak berpuasa ketika bulan Ramadhan
tiba. Sementara kelompok Santri sangat khusu dalam menjalankan
Shalat maupun puasa di bulan Ramadhan.
Berkaitan dengan aktivitas kemasyarakatan, banyak dari tokoh
masyarakat yang sudah dikenal menjadi kepanjangan tangan dari
elit politik dari partai tertentu, walaupun mereka secara pribadi jarang
yang aktif dalam partai. Hal yang penting adalah manfaat yang akan
diterima oleh masyarakat dari apa yang mereka lakukan sebagai bagian
dari pengabdian mereka kepada masyarakat dan lingkungannya.
Oleh karena itu, setiap warga yang menjadi aktivis atau pun kepanjangan dari partai politik tertentu, tidak lebih peran mereka hanya
mencari sesuatu yang bisa diberikan kepada masyarakat. Tidak jarang
mereka yang punya hubungan dengan partai tertentu menjadi media
bagi partai untuk membagikan kaos, uang bensin pada saat kampanye,
ataupun yang berkaitan dengan bantuan bagi pemba-ngunan
lingkungan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebersamaan, tidak
mau berbeda dengan yang lain, merupakan jaminan sosial bagi lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, partai politik yang ingin
mendapatkan simpati dari masyarakat, mau tidak mau, harus melakukan interaksi langsung ke dalam masyarakat. Sugiono, seorang
warga menyatakan, “pentingnya tokoh partai politik untuk turun
103
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
dalam kegiatan kemasyarakatan kalau ingin terpilih, di daerah sini
ada calon dari Golkar tapi tidak dipilih karena jarang ikut dalam
kegiatan masyarakat.” Secara sama juga dikemukakan oleh Wahid,
“Yang penting bagi partai adalah melakukan pendekatan
kepada masyarakat secara langsung, bisa dengan kunjungan,
ikut kegiatan warga atau sekedar membantu pada yang dibutuhkan oleh warga kampung. Kegiatan itu lebih efektif dibanding
dengan kampanye yang dilakukan di lapangan dengan berbagai
janji-janji atau pun membacakan visi misi. Bagi warga visi misi
tidak dibutuhkan, karena warga membutuhkan yang kongkritkongkrit aja. Kalau pengurus parpol sudah turun kemasyarakat
tidak perlu berkampanye.”
2. 2. Kepatuhan Pada Pemimpin
Dalam masyarakat Desa Jawa, tipe kepemimpinan dimiliki baik
oleh pemimpin yang mempunyai posisi dalam birokrasi formal sebagai
kepala desa, dan pemipimpin diluar birokrasi, khususnya pemimpin
spritual. Dalam kasus ini, Sartono Kartodidjo berpendapat bahwa,
“diluar pejabat pemerintahan terdapat juga pemimpin alami yang
berkuasa seperti kyai3 lokal, haji, guru, dukun (Sartono Kartodirdjo
1972). Para pemimpin tersebut mempunyai atribut tertentu seperti
jimat yang memberikan perlindungan dari bahaya, mempunyai ilmu
kedigjayaan, ilmu pengetahuan, ilmu keselamatan, yang memberi
kekuasaan sebagai manusia lebih. Tipe kepemimpinan ini dapat
membentuk perilaku politik dalam negara berkembang seperti Indonesia.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, petunjuk yang datang
dari tokoh atau kyai punya pengaruh kuat untuk menggiring masyarakat memilih partai tertentu. Kenyataan ini disadari betul oleh banyak
tokoh politik. Oleh karena itu ketika menjelang pemilu banyak tokoh
Parpol melakukan kunjungan kepesantren-pesantren untuk mendapatkan dukungan dari kyai. Namun menurut salah seorang warga,
kedatangan para tokoh politik ke pesantren-pesantren itu tidak akan
3
Anderson menyebutkan bahwa dalam komunitas Islam, orang yang mempunyai status tertinggi
adalah mereka yang berpengetahuan tinggi mengenai hukum agama dan mereka yang mengajarkan
ajaran Islama. Lihat Benedict R. O’G. Anderson Culture and Politics in Indonesia (Ithaca and
London: Cornell University Press, 1990) terutama Hlm. 61.
104
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
efektif kalau dilakukan hanya pas menjelang pemilu. Begitu juga
dengan nada yang sama, rohim mengatakan, “memberi dana tapi
hanya ketika pemilu, partai seharusnya melakukan silaturohim kekyai harus kontinue tidak sebatas pada pemilu. Kalau ini dilakukan
akan mengutungkan partai itu dalam masa mendatang.”
Dalam satu kesempatan penulis mencoba ikut salah satu tokoh
politik pergi ke pesantren untuk menemui sang kyai yang ada di Kota
Batu. Kebetulan pada saat itu ada acara pengajian yang dihadiri oleh
banyak jamaah. Dari hasil pantauan penulis, jumlah jamaah yang
datang ada ratusan orang. Setelah sekian lama, acara pengajian itu
selesai dan dilanjutkan dengan acara makan bersama. Giliran pulang,
kyai itu menunggu di pintu keluar, dan para jamaah itu pamitan
pada kyai satu persatu sambil menciumi tangan sang kyai bolak balik.
Dari fenomena itu, penulis bisa menyimpulkan bahwa para jamaah
tersebut mempunyai tingkat kepatuhan yang tinggi pada kyai itu.
Dari hasil pemilu 2004, menunjukan bahwa daerah itu sangat fanatik
dengan partai Islam khususnya PKB.
2.3. Personifikasi Budaya
Berkaitan dengan pilihan politik seseorang dalam masyarakat,
tampaknya pilihan politik itu dalam Masyarakat Malang Raya sudah
menjadi bagian dari perilaku masyarakat. Artinya, partai politik tertentu
akan dipilih secara bersama-sama oleh semua anggota masyarakat
yang mempunyai norma dan kebudayaan yang sama. Oleh karena
itu dalam kalangan Santri Tradisional, yang mempunyai tradisi
keagamaan sendiri, setiap anggotanya akan memilih partai yang sama.
Anggota masyarakat yang suka tahlilan, yasinan dan kegiatan
keagamaan lain banyak yang memilih PKB. Akan tetapi kalau PDI-P
dan Golkar berupaya untuk meraih simpati dengan cara memberi
bantuan sumbangan bisa saja mereka memilih Golkar atau PDI,
kecuali PAN para pemilih PKB agak sulit karena PAN oleh masyarakat
yang umumnya Nahdilyin menganggap PAN identik dengan
Muhammadiyah yang mempunyai tradisi atau norma-norma yang
berbeda.
Norma-norma yang berkembang dalam satu kelompok masyarakat, juga difungsikan sebagai filter terhadap norma-norma lain yang
dianggap berbeda atau bertentangan. Dalam hal ini kelompok
105
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Nahdilyin yang mempunyai norma-norma berbeda akan menolak
pengaruh yang datang dari kelompok masyarakat Muhammadiyah.
Makanya tidaklah mengherankan apabila warga Nahdilyin di tingkat
grassroot menganggap Muhammadiyah sebagai “agama baru”, atau
“Islam murni” yang secara praktik keagamaan banyak yang tidak
bisa diterima oleh warga NU di tingkat grassroot. Warga NU sering
melakukan tahlilan, kajatan dan berbagai ritual lain yang umumnya
melibatkan tokoh agama lokal yaitu Kyai. Sementara orang Muhammadiyah tidak mengenal tahlilan, yasinan, dan berbagai kajatan
lainnya, padahal dalam kontek masyarakat NU kegiatan-kegiatan
itu tidak melulu urusan keagamaan tetapi juga sudah menjadi bagian
dari kehidupan sosial, dimana kyai sebagai pemimpinnya. Dan
umumnya para kyai yang menjadi tokoh agama di tingkat grassroot
adalah mereka yang mempunyai kedekatan dengan tokoh-tokoh PKB
atau sekaligus mereka juga menjadi pengurus PKB pimpinan Gus Dur.
Salah seorang warga yang penulis wawancarai menuturkan
bahwa PAN sulit untuk mendapat simpati dari anggota masyarakat.
Hal ini dikarenakan PAN dianggap sebagai partainya Muhammadiyah
yang tidak ada tahlilan seperti di NU. Kalau partai lain menurutnya
masih bisa seperti PDI atau Golkar, karena menurut mereka orang
PDI dan orang Golkar masih suka ikut kegiatan sosial keagamaan.
3. Pemahaman Ekonomi
3.1. Pemberian Uang Tunai
Salah satu simpatisan PDIP, Sony, menyampaikan pada menulis
bahwa umumnya mereka yang sudah didukung untuk menjadi
anggota dewan, mereka lupa janji-janjinya sebelum jadi. Oleh karena
itu menurut dia, sekarang masyarakat sudah pintar, mereka tidak
akan memilih kalau tidak ada uangnya. Lanjutnya, hal yang penting
bahwa pembagian itu harus rata, tidak boleh ada yang tidak kebagian.
“Coba aja mas, saya ini dari dulu ya gini-gini aja. Ada pemilu
ataupun tidak ada pemilu nasib saya tetap tidak berubah. Kalau
gitu...ya...mendingan apa yang bisa didapatkan sekarang, ke depan
kan kita tidak tahu...paling...mereka yang kita dukung lupa.”
Disisi lain, sebagian pemilih yang kelihatan Santri dan
pendukung dari partai-partai Islam, menyampaikan kepada penulis
“bahwa partai itu identik dengan figur seseorang, dimana partai itu
106
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
dianggap baik apa bila sering memberi bantuan.” Pandangan ini
sejalan dengan apa yang sering disosialisasikan dalam setiap pengajian
ataupun khotbah jum’at dilingkungan komunitas Islam Tradisional
bahwa seorang Muslim harus sering bersodakoh. Dalam Islam juga
diajarkan bahwa kita sebagai pemeluk Islam harus memperhatikan
masyarakat miskin. Karena setelah menjalankan ibadah, sholat
mendoakan fakir miskin ajaran Islam itu sangat berpihak pada
masyarakat bawah seperti kelompok duafa, mustadafin. Karena
seringnya disosialisasikan kepada masyarakat, nilai-nilai ini juga
menjadi bagian dari barometer masyarakat untuk menilai baik
buruknya seorang calon atau partai politik.
Karena pandangan mereka yang sudah jelek pada partai politik,
sebagian pemilih cenderung menjadi apatis dan sinis pada partai.
Sikap sinis dan apatis ini, secara tidak sadar telah menumbuhkan
perilaku parktis-pragmatis, karena banyaknya calon dan partai yang
meminta jasa dukungan pada pemilih. Sebagaimana diungkapkan
salah seorang warga kepada penulis, berikut:
“Saya tidak peduli dengan partai, karena partai sendiri
tidak akan memperhatikan saya. Partai hanya akan mencari
suara saja agar calon yang berasal dari partai tersebut bisa jadi.
Oleh karena itu saya tidak mau milih kalau tidak ada imbalannya.
Umumnya setelah pemilu, mereka yang terpilih lupa dengan
warga yang memilihnya, makanya sebelumnya kita harus
mendapat manfaat dulu. Soal nanti lain lagi. Pokoknya untung
dulu.. Pokok..e.. ono duwite..milih...”
Kenyataannya, justru banyak wakil-wakil dari partai Islam
yang melakukan korupsi, memperkaya diri sendiri dan melupakan
masyarakat yang memilihnya. Dengan demikian walaupun money
politics kenyataannya berkembang dalam masyarakat, dimana
pemberian itu tidak hanya uang tetapi sembako, biaya pembangunan
dan lain-lain. Walaupun demikian ada sebagian pemilih yang walaupun mereka diberi uang belum tentu memilih calon atau partai yang
memberi uang.
Masyarakat miskin memang tidak menganggap politik uang
sebagai hal buruk. Justru mereka memang menantikan jatah uang
itu, bahkan ada yang tidak mau memilih kalau tidak mendapatkan
107
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
uang. Memang demokrasinya menjadi seperti pasar, ada yang
membayar, maka akan diberi suara. Sebagian elite juga menganggap
pemberian uang dalam politik juga sebagai hal yang biasa, bahkan
seperti keharusan yang wajar dilakukan. Memang ini bertentangan
dengan ide demokrasi di Barat.
3.2. Bantuan Pembangunan
Dalam rangka membina dan menjaga konstituennya agar tidak
lari ke partai lain, para kader partai selalu berusaha melakukan
pendekatan-pendekatan yang continue dengan konstituen mereka.
Termasuk memberikan sumbangan untuk kepentingan warga dan
lingkungan dimana basis partai itu berada. Oleh karena itu banyak
partai yang berusaha membantu kebutuhan warga, baik bantuan
untuk pembangunan maupun untuk kegiatan. Setiap bantuan ke
warga selalu diberikan lewat kader yang sudah punya hubungan
dengan anggota dewan dari partai tersebut.
Walaupun demikian, menurut hasil temuan lapangan, tidak
semua partai yang suka memberikan bantuan kepada warga maupun
bantuan untuk lingkungan. Seperti warga yang memilih PKB ataupun
PPP umumnya mereka tidak banyak perhatian dari partainya.
Sebagai contoh kasus, daerah Caru, Pendem, Kota Batu, menurut
informasi yang penulis dapatkan dari masyarakat, warga disekitar
itu umumnya pendukung kuat PKB. Ketika penulis tanyakan apa
ada perhatian dari partai untuk kepentingan lingkungan atau
pembangunan lain, umumnya mereka menjawab tidak ada. Lantas
saya tanyakan bagaimana untuk kepentingan pembangunan pesantren,
atau Mesjid? Mereka hanya menjawab, kurang paham, tapi mereka
menyatakan sering melihat banyak mobil yang mengunjungi ke
pondok. Kenyataan tersebut juga terjadi ditempat lain, tepatnya di
Daerah Lowokwaru, Kota Malang, ketika penulis melakukan
wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat yang kebetulan
menjadi Ketua RT di sana, Supriyanto, menyampaikan bahwa yang
getol memberi bantuan untuk kepentingan lingkungan di sini ada
PDIP, Golkar, P Demokrat, sementara PKB maupun PPP jarang sekali.
“Jarang sekali menerima bantuan dari para wakil mereka
yang duduk di dewan tidak seperti warga lain yang yang memilih
partai PDI-P, Golkar, PAN, Demokrat maupun partai lain.
108
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
Umumnya partai dari PKB-PPP lebih memperhatikan tokoh
agamanya dari pada warganya. Bantuan yang diberikan biasanya
hanya diperuntukan untuk kepentingan pembangunan pesantren, sekolah, Mesjid, maupun organisasi yang sifatnya mendukung bagi pengembangan keagamaan. Bantuan yang diberikan
Golkar, PDI-P, Demokrat, maupun PAN umumnya langsung
bisa dirasakan oleh warga. Sebagai contoh perwakilan PAN
dari dapil sisni H. Fujianto melakukan bantuan berupa Votisasi
(tempat sampah) kesemua warga yang ada di pinggir jalan.”
Selain memberi bantuan langsung bagi kepentingan warga,
banyak para wakil di wilayah Lowokwaru ini memperjuangkan
kepentingan warganya dengan cara menyalurkannya lewat APBD.
Bahkan sepertinya para anggota Dewan bersaing agar mereka
mendapatkan tempat di hati masyarakat dengan cara memperjuangkan berbagai program pembangunan yang ada di masyarakat agar
bisa mendapat simpati dari warga yang diperjuangkan.
Kenyataan tersebut di atas, secara tidak sadar merubah pandangan subyektif dari warga terhadap partai. Partai yang sering memberi
bantuan dianggap partai yang baik, sementara partai yang jarang
memberi bantuan dianggap partai yang jelek. Partai selalu dipemahami dengan sumber bantuan untuk pembangunan, dan hal ini sangat
terasa dalam kehidupan politik sekarang, khususnya yang terjadi di
akar rumput. Menurut, warga yang sempat penulis wawancarai, agar
para pemilih tetap memilih partai tersebut, maka partai dan pemilih
itu harus ada ikatan bathin. Ikatan batin itu diwujudkan dalam bentuk
bantuan kongkrit kepada masyarakat seperti pembangunan Mushola,
Gorong-gorong, saluran air agar masyarakat tahu dan ingat bahwa
partai ini telah menyumbang ini dan itu pada lingkungan.
B. Pemahaman Partai dan Kinerja Partai Politik
Realitas yang terjadi pada tingkatan pemilih secara langsung
maupun tidak langsung berdampak pada kinerja partai politik
maupun anggota Dewan. Hasil temuan di Malang Raya, apa yang
terjadi di tingkatan partai politik (pengurs partai maupun anggota
Dewan), memperlihatkan adanya kesenjangan antara idealitas yang
seharusnya dilakukan oleh partai dengan kenyataan di lapangan.
109
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Pemaham dan pemahamanan ideologi oleh pemilih bukannya ditindaklanjuti dengan melakukan pendidikan politik, namun lebih banyak
direspon dengan doktrinasi politik yang kadang menimbulkan sikap
fanatisme besar kepada partai, utamanya dari kalangan partai yang
berbasis Islam. Sementara pemahaman sosial kemasyarakat dan
ekonomi, lebih banyak ditindak lanjuti dengan berbagai program yang
sifatnya karikatif dan berbiaya tinggi.
Kenyataan tersebut di atas tidak lepas dari kenyataan bahwa
bekerjanya partai politik dalam sistem politik yang belum banyak
beranjak dari fungsi praktis jangka pendek sebagai alat meraih
kekuasaan. Kondisi ini sebagaimana dikemukakan mantan Ketua
Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung terhadap Partai Golkar
era kepemimpinan Jusuf Kalla pada saat Ujian Terbuka Program
Doktor UGM, awal September 2007. Menurut Akbar Tandjung,
“Terpilihnya Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai ketua umum pada
tahun 2004 menunjukkan, Partai Golkar masih dipenuhi orang yang
sangat berorientasi pada kekuasaan”. Fenomena yang dikemukakan
Akbar Tandjung bisa mewakili watak parpol Indonesia secara umum.
Lebih jauh, partai menjadi alat negosiasi dengan penguasa untuk
mencapai kompensasi politik ketimbang benar-benar memperjuangkan aspirasi konstituen. Di sisi lain, fungsi mendasar sebuah parpol,
sebagai sarana artikulasi, agregasi, lebih-lebih sarana pendidikan
politik yang sehat bagi masyarakat sepertinya kian jauh dari harapan.
Ketidakmampuan parpol dalam mengorganisasikan diri, meredam
konflik internal, dan menumbuhkan militansi positif, pada saat yang
sama agaknya telah menumpulkan kemampuan mereka dalam
menerjemahkan kehendak politik publik dan memberi pendidikan
politik yang sehat kepada masyarakat. Wadah organisasi yang demokratis, sehat, dan bersih belum banyak tercermin pada partai politik
yang mapan maupun beberapa partai yang baru. Ketidakmampuan
menyerap aspirasi publik itu rupanya terus berlanjut saat parpol
menjalankan fungsi agregasi politik mereka sebagai wakil rakyat di
lembaga legislatif. Disamping itu konflik internal, perekrutan
keanggotaan dan kaderisasi yang tidak lancar serta ketergantungan
pada sosok elit partai menghiasi intenal partai.
110
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
1. Pemahaman Partai dan Pendidikan Politik
Salah satu peran dari partai politik yang banyak dilupakan
adalah pendidikan politik. Kebanyakan partai-partai yang ada lebih
menekankan pada solidaritas serta konsistensi dari pemilih terhadap
partai mereka masing-masing, tanpa menyentuh sisi pencerahan bagi
konstituen. Hal ini sebagai wujud dari upaya partai politik dalam
mengamankan basis konstituennya agar tidak lari ke partai lain.
Ketakutan dari partai politik untuk melakukan pendidikan politik
pada masyarakat disebabkan oleh karena partai yang dibangun adalah
partai yang tumbuh dalam pondasi sektarian. Partai politik di negara
kita cenderung memupuk dan memperkuat identitas konstituen
mereka masing-masing baik mereka yang berhaluan Nasionalis
maupun Islam.
Memasuki pemilu 2009, banyak partai politik yang sudah
berusaha memberikan pendidikan politik pada masyarakat dengan
cara memberikan gambaran tentang peran dan fungsi partai politik.
Hal ini dilakukan oleh partai politik yang umunya partai politik yang
merasa tidak punya basis massa yang jelas, dan ketakutan dengan
realitas pemilih yang sudah sangat transaksional dalam berhubungan
dengan partai politik. Adapun partai-partai besar lebih banyak
disibukkan dengan program-program yang menggambarkan kepedulian kepada basis mereka dengan cara yang jauh dari mendidik.
Partai yang berbasis Islam banyak melakukan program yang lebih
berorientasi pada aktivitas atau kegiatan yang relevan dengan kelompok keagamaan seperti pengajian, tahlilan, istigosahan, yang banyak
dilakukan oleh kalangan Santri Tradisional.
Di sisi lain, partai politik yang berbasis Nasionalis untuk mendekatkan diri dengan konstituennya lebih condong untuk membuat
program yang sifatnya menghibur dengan dalih untuk menyenangkan masyarakat yang menurut mereka lebih banyak dari kalangan
wong cilik. Kesadaran akan hak dan kewajiban warga maupun partai
politik tidak banyak disentuh. Menurut hasil wawan-cara dengan
salah seorang ketua RT yang di lingkungannya banyak konstituen
dari PDIP menyatakan bahwa kegiatan partai yang sering dilakukan
hanyalah kegiatan hiburan terutama pada saat merayakan hari besar
Nasional seperti peringatan kemerdakaan tanggal 17 Agustus.
111
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Kondisi tersebut tidak lepas dari realitas pemilih yang masih
berbasis primordialitas dan juga partai juga dibangun dalam pondasi
sektarian. Dalam kondisi seperti ini sangat sulit melakukan komunikasi
politik pada konstituennya dengan bersandar pada platform partai
yang lebih rasional dan kongkrit sebagai wujud dari tanggung jawab
partai terhadap masyarakat. Komunikasi yang dibangun oleh partai
politik, dari hasil temuan dilapangan menunjukan sebagai berikut:
Pertama, para tokoh partai politik yang bernaung dalam partai berhaluan Nasionalis jarang bekomunikasi langsung dengan konstiuennya
dalam bahasa verbal. Mereka lebih banyak menyatu dan melebur
dengan konstituennya sambil mendukung pola perilaku dan budaya
yang merupakan ciri khas dari kelompok Abangan yang selalu identik
dengan pesta rakyat. Pesta rakyat ini biasanya diisi dengan berbagai
kegiatan dan atraksi yang merupakan ciri khas kelompok Nasionalis
(Abangan) yang umumnya berasal dari kalangan masyarakat kecil
(wong cilik). Kedua, bagi partai Islam atau partai yang punya kedekatan dengan pemilih Islam, logika dan bahasa agama lebih banyak
ditonjolkan oleh partai politik. Begitu pun media yang dipergunakan
tidak jarang mengunakan simbol-simbol agama seperti Masjid,
Langgar maupun kegiatan ritual keagamaan dari mulai tahlilan,
pengajian, maupun khajatan dan lain-lain. Komunikasi yang dibangun
pun hanya komunikasi satu arah, karena tujuan komunikasi yang
mereka lakukan bukan untuk pendidikan politik tapi untuk memperjelas identitas politik serta memperkokoh kekuasaan elit politik
yang umumnya merangkap sebagai tokoh agama.
Partai Politik yang seharusnya melakukan apa yang idealnya
dikerjakan sebuah partai yang sehat, yaitu pendidikan politik bagi
para kadernya untuk menyiapkan dan mencetak calon pemimpin
partai serta bermanfaat bagi masyarakat. Apabila hal ini terus terjadi,
politisi yang dihasilkan parpol adalah mereka yang tidak memberikan
empati kepada masyarakat. Sebenarnya keberhasilan partai politik
terletak pada konsistensi dan komitmen Parpol terhadap mekanisme
pendidikan politik. Melalui pendidikan politik yang sehat diharapkan
terbentuk loyalitas serta militansi kader calon figur pemimpin
eksekutif, legislatif dan diimbangi oleh loyalitas kepada visi, misi dan
program partai sesuai dengan aturan dan mekanisme yang
demokratis. Parpol harus sesuai mekanisme kaderisasi internal partai
112
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
dengan apa yang menjadi harapan masyarakat.
Sukar dinafikan rendahnya kesadaran partai politik melakukan
pendidikan politik ini telah mempengaruhi kualitas demokrasi yang
dihasilkan. Banyaknya konflik dalam pemilu baik secara vertikal
maupun horizaontal yang disertai dengan tindakan anarkisme adalah
bukti masih rendahnya pendidikan politik masyarakat kita. Bahkan
rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat ini sengaja dibiarkan, agar elite partai mudah memobilisasi dukungan untuk kepentingannya.
2. Pemahaman Partai dan Agregasi Kepentingan
Selama ini agregasi politik banyak diwakili langsung oleh para
anggota legislatif, mereka bertindak sebagai “wali” bukan “delegasi”.
Praktik demikian akan baik apabila para anggota dewan benar-benar
tahu dan merasakan apa yang dinginkan masyarakat. Namun pada
kenyataannya banyak anggota dewan yang mengatasnakaman
rakyat, akan tetapi kebijakannya justru lebih condong untuk kepentingannya sendiri atau lebih jauh untuk kepentingan partainya. Sebagai
contoh. PDI-P yang banyak disebut sebagai partai Nasionalis, dalam
prakteknya tidak diterjemahkan dalam wujud kongkrit seperti
Nasionalisme ekonomi, politik, dan budaya. Demikian pula partai
Islam dan partai modern seperti Partai Golkar.
Sebagai organisasi politik, partai merepresentasikan berbagai
aspirasi, kepentingan, dan ideologi yang ada dalam masyarakat.
Melalui partai, semua aspirasi, kepentingan, dan ideologi diagregasikan menjadi sebuah kebijakan publik. Ketidakjelasan sikap parpol
terhadap pemerintah barangkali merefleksikan ketidakkonsistenan
partai menjaga haluan perjuangannya. Semangat perjuangan yang
biasanya lekat dengan ideologi yang dibawa bisa saja berubah,
tergantung kepentingan yang ditawarkan. Sebagian besar responden
yang diwawancarai menganggap parpol telah berpaling dari ideologi
dan konstituennya.
Tingkat kekritisan parpol, khususnya di Malang Raya, dalam
mengevaluasi kebijakan-kebijakan pemerintah melemah, terbukti dari
lolosnya proyek pembangunan Malang Town Square Garden (Matos)
yang menjadi konstroversi dalam masyarakat Kota Malang karena
menempati lahan hijau (area resapan air hujan). Hal ini menunjukan
113
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
bahwa sikap partai-partai besar—terutama yang terkooptasi oleh
pemerintah—yang lebih banyak mengambil posisi sebagai mitra
pemerintah. Perjalanan parpol di Malang Raya yang lebih banyak
diwarnai dengan persaingan untuk mendapatkan kekuasaan. Masih
sedikit—bahkan hampir tak ada—partai yang mau menempatkan
dirinya sebagai agregator kepentingan masyarakat. Partai-partai
politik tampaknya berdiri hanya dengan satu tujuan, yaitu “kekuasaan”.
Kegairahan dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat nyaris
tak tampak.
Implikasi lebih jauh dari kondisi tersebut, para kader politik baik
yang ada di legislatif maupun yang ada di eksekutif banyak yang
terlibat korupsi. Dewan Perwakilan Rakyat berperilaku korup. Para
anggota Dewan seperti berlomba untuk menguras keuangan negara,
sementara rakyat hanya jadi penonton dan kadang berlaku sinis
karena mereka berlaku mewah sementara rakyat harus hidup melarat.
3. Pemahaman partai dan Rekruitmen Politik
Ichlasul Amal (1988), ideologi dan kepentingan merupakan
basis sosiologis yang selalu menggerakkan parpol pada usaha-usaha
untuk memperoleh kekuasaan. Pemanfaatan partai politik (parpol)
sebagai kendaraan untuk mencapai kekuasaan sebenarnya merupakan hal wajar dalam kehidupan politik. Parpol dan kekuasaan seolah
identik satu sama lain karena melalui partai politik suksesi kepemimpinan politik yang absah dilakukan. Di sisi lain, Mark N Hagopian
(1978), menyebutkan bahwa parpol merupakan suatu kelompok yang
mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat
sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan
pemerintah.
Oleh karena itu, salah satu proses politik yang penting bagi
partai politik adalah rekruitmen politik. Proses ini sangat menentukan
bagi kelangsungan aktivitas partai politik dan kualitas demokrasi.
Proses rekrutmen yang dilakukan partai politik menjadi titik
permulaan yang harus dilakukan partai politik terutama dalam proses
pengkaderan anggotanya maupun promosi elite politik baru. Namun
bagi sebagian besar partai politik di Indonesia, termasuk juga di
Malang Raya, masalah tersebut tidaklah begitu diperhatikan.
Kebanyakan partai politik hanya berorientasi bagaimana mendapat
114
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
kekuasaan secara cepat dengan biaya murah sehingga mengabaikan
rekrutmen politik ini. Rekrutmen politik adalah sebagai fungsi
mengambil individu dalam masyarakat untuk dididik, dilatih sehingga
memiliki keahlian dan peran khusus dalam sistem politik. Diharapkan
dari proses rekrutmen ini individu yang dididik dan dilatih tersebut
memiliki pengetahuan, nilai, harapan dan kepedulian politik yang
berguna bagi konsolidasi demokrasi.
Sebenarnya rekrutmen politik ini sudah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari aktifitas partai politik di manapun berada. Sayangnya hasil temuan di lapangan, fungsi ini baru dapat berjalan ketika
pemilu akan diadakan. Lemahnya fungsi rekrutmen politik ini
sebenarnya sudah dapat dijumpai terutama sejak verifikasi partai
politik dilakukan oleh KPU. Rekrutmen politik yang baik seharusnya
dimulai dengan pendidikan politik yang dilakukan secara berkesinambungan oleh partai politik. Namun banyak partai politik tidak melakukannya karena berbagai kendala. Misalnya masalah keuangan yang
memang menjadi masalah besar dalam perkembangan partai politik
di Indonesia. Selain itu, tidak jelasnya ideologi partai politik berdampak pula pada visi, misi dan program yang partai politik tersebut.
Sukar dinafikan bahwa partai politik yang ada belum memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakatnya berpolitik. Bahkan
partai politik tidak dapat melaksanakan rencana upayasnya seperti
rekruitmen anggota secara berkesinambungan, pembinaan kader
secara konsisten serta pengembangan kader ke tahap pembentukan
elite politik. Ini semua merupakan bukti belum maksimalnya fungsi
partai politik di negeri ini.
Rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat juga dapat
dilihat dari kesulitan partai politik menyusun daftar calon keanggotaan legislatif yang diajukan setiap pemilu. Tidak berjalannya pendidikan politik berdampak pada kualitas wakil rakyat yang diajukan partai
politik. Paling tidak dari tiga pemilu sebelumnya dapat diambil pelajaran siapa yang dipilih dan bagaimana mekanisme mereka dipilih
untuk duduk sebagai wakil rakyat di parlemen masih belum jelas.
Kurangnya kader partai dan menguatnya politik kekerabatan berdampak pada proses penentuan calon anggota legislatif ini. Celakanya,
dengan munculnya partai baru dalam setiap pemilu membawa
dampak pada kualitas wakil rakyat yang akan diajukan partai politik,
115
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
karena banyak calon yang diajukan tidak punya treck record yang jelas.
Penjaringan calon-calon yang akan diajukan dalam pemilu jauh
dari demokrasi karena penjaringan dilakukan di dalam mekanisme
formal internal partai. Penjaringan di internal partai ini sarat dengan
intervensi kepentingan personal dan kelompok sehingga sangat
bergantung pada kedekatan personal dan hubungan baik dengan
pimpinan teras parpol. Banyak calon yang terdaftar dalam urutan
jadi (pada pemilu 1999 dan 2004) merupakan orang-orang yang
punya hubungan dengan petinggi partai politik, atau merupakan
orang yang didesakan dari kelompok organisasi tertentu yang dianggap basis konstituen mereka, termasuk juga adanya unsur uang dalam
pencalonan. Walaupun dalam lingkungan internal masing-masing
partai ada aturan main untuk menseleksi calon dengan berbagai
kriteria, namun dalam kenyataannya aturan tersebut kadang diabaikan atau dimanipulasi. Sebagai kekecualian, rekrutmen calon yang
ada di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), proses pencalegan sangat ketat
karena penjaringannya dimulai dari tingkat bawah dengan aturan
yang ketat.
Kondisi tersebut merupakan bias dari perilaku elit partai politik
yang terjadi masa Orde Baru yang sarat dengan nepotisme. Masa
Orde Baru, proses rekruitmen sarat dengan restu, surat sakti,
nepotisme dan intervensi pemerintah. Partai politik bukan untuk
menjaring kandidat anggota legislatif yang dapat menyuarakan
aspirasi rakyat, namun hanya akan dijadikan sebagai legitimator bagi
kebijakan rezim. Dengan demikian tidak dibutuhkan orang-orang
yang punya idealis dan kemampuan yang baik, cukup dengan hanya
sikap kooperatif dengan penguasa saja. Di sisi lain, ada hal yang cukup
penting untuk dijadikan argumen dari rendahnya kinerja partai politik
pasca Orde Baru adalah tingginya ketergantungan pada tokoh partai.
Sebagai contoh, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ada
Megawati, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ada Gus Dur, Partai
Amanat Nasional (PAN) ada Amin Rais, dan Partai Demokrat ada
Soesilo Bambang Yudhoyono.
Berdasar hasil temuan di lapangan, kemandegan proses kaderisasi di dalam partai politik ini telah menimbulkan kekecewaan dalam
masyarakat. Kekecewaan ini diwujudkan dengan banyak kader
partai yang beralih ke partai lain karena dalam partainya merasa
116
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
tidak ada kejelasan dalam proses karderisasi yang dijalankan. Oleh
karena itu banyak harapan yang muncul dari masyarakat, agar ada
kejelasan dalam proses kaderisasi agar tidak terjadi konflik internal
yang sering terjadi dalam proses pencalegan maupun dalam nominasi
untuk menjadi calon kepala daerah dari partai. Keberhasilan partai
politik dalam melakukan proses rekrutmen politik yang bisa menghasilkan kader-kader muda yang handal akan dengan sendirinya
menghapuskan kekecewaan publik. Selanjutnya, wajah-wajah baru
akan muncul dan siap untuk menggantikan posisi generasi lama.
C. Pemahaman Partai Dan Upaya Partai Politik
1. Pemahaman Partai dan Upaya Partai Islam
Ideologi yang sempit, figur politik, program karikatif lebih
mengena dan dapat diterima ketimbang platform, program serta
orientasi parpol yang sifatnya substansial. Oleh karena itu partai politik
yang punya saham ideologis di masyarakat, punya figur yang kuat,
serta kemampuan ekonomi yang memadai akan dapat tetap eksis
dalam setiap pemilu. Sebaliknya, partai politik yang hanya mengandalkan jaringan organisasi, tanpa didukung massa ideologis yang jelas,
figur yang kharismatis, dan dukungan dana yang cukup akan cepat
hilang dari peredaran.
Menyadari pentingnya ideologi dalam membangun partai
politik di negara kita, maka dengan adanya kelonggaran asas pada
organisasi politik, maka banyak partai politik yang mendeklarasikan
diri sebagai partai yang berasas Islam. Pada pemilu 1999 tercatat ada
sekitar 114 partai yang secara tegas mencantumkan Islam sebagai
asas maupun yang secara sosiologis termasuk partai Islam yaitu PAN
dan PKB yang berasas Pancasila. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai
wujud dari euphoria politik di kalangan umat Islam, yang telah
kurang lebih 32 tahun merasa ditekan oleh sebuah rezim otoriter di
bawah Orde Baru dengan Soeharto sebagai penguasanya. Dari 114
partai Islam yang terdaftar, hanya ada 14 partai yang jadi peserta
Pemilu 1999, baik berasas maupun historis-sosiologis Islam. Hasil
pemilu menunjukan hanya ada empat partai Islam yang dapat
memenuhi batas minimal perolehan suara (electoral treshold) sehingga
dapat mendudukkan wakilnya di DPR Pusat yaitu PPP, PBB, PAN,
117
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
dan PKB. Sementara partai-partai Islam lainnya tidak bisa memenuhi
batas minimal perolehan suara.4
Memasuki Pemilu 2004, ada 8 partai Islam atau Partai Islam
yang akan turut bertanding dengan partai-partai non-Islam, baik secara
asas maupun secara konstituen. Ketidak mampuan partai Islam untuk
survive ini, salah satunya karena lemahnya upaya yang dilakukan
dalam meraih simpati massa, mereka cenderung hanya mengandalkan sentimen ideologis tanpa melakukan rekayasa politik yang
lebih fleksibel. Dalam tataran pemilih, sebagian besar pemilih Islam
sudah tidak lagi otomatis aspek ideologis (politik aliran) menjadi
penentu afiliasi politik mereka tanpa adanya nilai plus partai berupa
ketokohan figur dan kekuatan ekonomi partai.
Upaya umum yang dipakai partai Islam dalam pemilu 1999
maupun 2004, hanyal mengoptimalkan basis tradisional mereka
dengan membidik pemilih berbasis Islam. Mereka secara langsung
maupun tidak langsung mempergunakan atribut Islam dalam desain
partai, pola kampanye, pola rekruitmen, maupun dalam melakukan
transaksi politik pada pemilihnya.5 Namun hasil yang diperoleh partaipartai Islam jauh dari harapan, karena ternyata tidak ada satupun
Partai Islam yang mendapatkan suara signifikan seperti Masyumi dan
NU pada pemilu 1955. Bahkan pada pemilu 2004 partai-partai Islam
yang lulus electoral threshold mengalami penurunan suara.
Pada pemilu 2004 partai yang secara sosiologis maupun historis
punya kedekatan dengan Islam yaitu PAN dan PKB, kedua partai
4
Kalau kita menengok ke belakang, sejarah berdirinya partai politik Islam di inspirasi oleh
adanya keinginan untuk membentuk wadah politik tunggal untuk perjuangan ummat Islam
pasca kemerdekaan 1945. Sesuai dengan manifestasi politik pemerintah yang ditandatangani
oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta bulan November 1945 semua golongan ummat Islam
sepakat untuk membentuk suatu wadah politik tunggal yang bernama MASYUMI (Moh.
Sjafaat Mintaredja, 1971). Partai Politik Masyumi ini didukungan oleh organisasi-organisasi
Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PSII. Akan tetapi kebersamaan ketiga ormas
Islam ini mengalami perpecahan dalam mendukung Masyumi pada tahun 1948 dengan
dibentuknya kembali Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dibawah pimpinan Arudji
Kartawinata, Abikoesno Tjokrosoejoso dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1953 disusul dengan
keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) dan menjadi partai politik sendiri. Dan akhirnya, sebagai
benteng terakhir, Muhammadiyah menyatakan diri untuk tidak lagi menjadi anggota istimewa
dari Masyumi sebelum partai ini dibubarkan pada tahun 1960.
5
Fenomena terseretnya gerbong agama dalam politik adalah fenomena Islam seacara umum.
Dengan doktrin agama dan negara, gagasan Islam politik mendapatkan legitimasi teologis dan
historis.
118
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
politik ini mengalami kemunduran dalam hal jumlah suara. Hal yang
menarik dalam pemilu 2004 ini adalah munculnya Partai Keadilan
Sejahtera yang pada pemilu 1999 bernama Partai Keadilan. PKS
mengalami peningkatan suara yang signifikan. PKS, berbeda dengan
PAN dan PKB yang menyatakan dirinya sebagai partai terbuka,
dengan tidak menjadikan Islam sebagai dasar ideologi partai, PKS
secara formal jelas mencantumkan Islam sebagai dasar ideologi partai.
Kemunculan PKS sebagai partai papan tengah baru tidak lepas dari
turunnya suara PAN pada pemilu 2004. Banyak pemilih yang pada
pemilu 1999 mencoblos PAN, mengalihkan pilihan politiknya pada
PKS karena dianggap lebih menjanjikan dalam perjuangan nilai-nilai
keislaman.
Hal yang patut di perhitungkan adalah kemenangan PKS sebagai
Partai yang mencantukam secara tegas Islam sebagai asas partai yang
dalam pemilu 2004 mengalami perolehan suara. Walaupun PKS tetap
teguh dengan asas Islam dan menjadikannya sebagai partai da’wah,
namun upaya yang dikembangkan tidak hanya mengandalkan sisi
ideologis. PKS yang didukung oleh kaum muda kampus yang militan,
disamping mengadakan kaderisasi dan rekruitmen secara massif dari
kampus ke kampus, dan dari mesjid ke mesjid dengan media pendidikan agama, juga melakukan berbagai upaya yang simpatik berupa
program sosial. Secara tidak langsung, apa yang dilakukan oleh PKS
dengan upaya pendekatan sosial, juga telah merespon pemahaman
yang berkembang pada partai politik dari pemilih yang tidak hanya
pada aspek ideologis. Pemahaman sosial kemasyarakan dan pemahaman ekonomi yang ada pada masyarakat telah tertangkap oleh PKS,
dengan demikian tidaklah mengherankan apabila PKS pada pemilu
2004 mendapatkan suara yang signifikan yaitu sebesar 7,5 %. Walaupun demikian, perolehan suara PKS sebagai representasi dari Islam
Modernis masih kalah dari PKB yang mendapat suara 10,57 % dan
PPP 8,15 %, yang merupakan representasi dari Islam Tradisional.
Sementara partai lain, seperti PKB, maupun PPP, pada umumnya
jarang mengadakan program sosial, yang ada adalah pengajian yang
mendatangkan tokoh atau penceramah dari luar daerah yang sudah
terkenal. Namun ada, satu dua orang warga yang menyampaikan
bahwa PKB pernah mengadakan acara dangdutan, khususnya pada
ada kampanye terbuka. Mereka menyebutkan bahwa dia juga pernah
119
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
datang ke acara kampanye itu dengan menyewa mobil, namun kedatangan saya ke sana bukan untuk melihat dangdutan namun untuk
mendengarkan ceramah, karena di sana hanya ada dangdutan, kami
beserta rombongan pulang lagi. Lantas saya tanyakan apa dapat
bantuan dana untuk bensin?, mereka menyampaikan bahwa untuk
datang ke acara kampanye PKB tidak ada dana dari partai, kami
semua biayai sendiri. Lantas dia menyebutkan dengan nada rendah,
“Yang saya tahu Golkar dan PDI sangat loyal dengan kegiatan dan
dana, beda dengan PKB dimana kalau ada kegiatan kampanye jarang
ada bantuan dana, ini juga atas himbauan kyai sehingga kami mau
pergi secara sukarela mengikuti kampanye walau pake dana sendiri.”
Dengan melihat kenyataan tersebut di atas, dapat dikatakan
bahwa upaya politik yang dilakukan partai berbasis Islam tidak layak
lagi kalau hanya dengan mengadalkan kekuatan ideologis. Hal ini
dapat dibuktikan dengan penurunan suara partai Islam jika dibanding
dengan kekuatan Islam pada masa Orde lama. Disamping itu juga
menjadi petujuk bahwa apa yang dilakukan oleh Orde Baru, dengan
berbagai regulasinya, telah berdampak pada keberadaan politik Islam
sekarang ini. Hal ini diperkuat oleh pernyataan R. William Liddle
yang yang menyatakan bahwa dengan berkembangnya gerakan Islam
kultural pada masa Orde Baru, kekuatan Islam politik tidak akan
muncul lagi. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kelompok skripturalisme
(kelompok Islam formalistic) tidak akan berkembang, hal ini karena
ada tiga hambatan yang akan dihadapi, yaitu : (1) komunitas
Abangan, yang meski semakin sedikit namun masih tetap; (2) Santri
Tradisionalis yang tetap akomadisionis, dan (3) kalangan Modernis
sendiri. Oleh karena itu banyak partai Islam pada pemilu 2009 merubah stateginya dengan cara lebih moderat dalam perjuangan ideologi,
disamping itu dikembangkan upaya lain terutama pendekatan sosial
ekonomi dalam bentuk program yang lebih kongkrit dan dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat seperti bakti sosial, bantuan
pembangunan lingkungan dan lain-lain.
3. Pemahaman Partai dan Upaya Partai Nasionalis
Partai Nasionalis di era multipartai baik 1999 maupun 2004,
terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu partai Nasionalis Sekuler dan
Partai Nasionalis Religius. Pada pemilu 2004 yang termasuk Partai
120
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
Nasionalis Sekuler yaitu, PDI-P, PNBK, Partai Pelopor, PNI Marhaenisme,
Partai Buruh Sosial Demokrat. Sementara yang termasuk Partai
Nasionalis Religius yaitu Partai Golkar, Partai Penegak Demokrasi
Indonesia, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia, Partai Patriot Pancasila, Partai Demokrat, Partai Persatuan
Daerah, Partai Merdeka, Partai Indonesia Baru, Partai Sarikat
Indonesia, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan.
Dalam pemilu pasca reformasi, upaya politik yang dilakukan
pada pemilu 1999 dan 2004 oleh partai Nasionalis masih berkutat
pada ideologis yang dibuktikan dari masih dominannya tampilan
sosok Megawati dan Soekarno dalam kampanye PDIP di setiap pemilu.
Sementara partai Nasionalis lainnya, tidak lepas juga dengan
menonjolkan ajaran marhaenisme dari Soekarno seperti dalam partai
PNI Marhaen dan partai Pelopor. Akan tetapi, walaupun Partai
Nasionalis cenderung mempertahankan upaya yang bernuansa
ideologis, namun apa yang terjadi dilapangan tidak hanya semata
mengandalkan ideologis. Sudah jamak bahwa partai Nasionalis,
termasuk PDIP, sebagai representasi dari kelompok marginal dalam
meraih simpati pemilih juga mempergunakan pendekatan sosial
ekonomi.
Dalam rangka meraih simpati dari kelompok Abangan, yang
umumnya berasal dari kalangan masyarakat kecil (wong cilik),
kegiatan hiburan rakyat menjadi salah satu daya tarik tersendiri.
Bahkan hampir di setiap tempat di Malang Raya, pada saat menjelang
pemilu, berdasar hasil pengamatan penulis sering diadakan hiburan
rakyat. Panggung hiburan rakyat yang diadakan, selalu dijubeli oleh
pengunjung baik itu laki maupun perempuan, namun umumnya
kalangan kaum muda. Panggung hiburan itu bukan hanya untuk
represing atau melepas kejenuhan bekerja, namun bagi muda-mudi
sering dijadikan ajang untuk mencari dan mendapatkan pasangan.
Memahami kondisi dari konstituennya yang haus akan hiburan,
maka PDIP sebagai partai yang banyak pendukung dan simpatisannya di Malang Raya, acara hiburan rakyat sepertinya menjadi program
pokok dalam setiap kampanye yang harus dilaksanakan oleh PDIP.
Menurut penuturuan salah seorang warga yang sempat penulis
wawancarai, mengungkap, “..disini hampir satu kelurahan banyak
yang mencoblos PDI-P karena partai ini royal dalam memberikan
121
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
bantuan kepada masyarakat. Dan mereka yang mencoblos PDI-P
umumnya berasal dari kalangan wong cilik. Setiap ada kegiatan di
sini PDI-P, terutama yang terkait dengan hiburan warga, selalu
berusaha dilalukan dengan meriah untuk menyenangkan warga.”
Dalam mendapatkan simpati dari warganya, PDI-P cenderung
melakukan kegiatan hiburan yang sifatnya hura-hura seperti
mengadakan kegiatan dangdutan. Tujuan utamanya untuk menyenangkan warga yang umumnya berasal dari kelompok marginal.
Maka tidaklah heran apabila pada saat acara-acara rakyat tersebut
banyak penonton yang mabuk-mabukan, karena memang sudah jadi
kebiasaan khususnya bagi komunitas pendukung PDI-P. Bahkan hasil
penuturan salah seorang warga menyebutkan bahwa “untuk menyenangkan pendukungnya, dibelakang panggung itu sudah disediakan
minuman keras. Kalau bapak tidak percaya...nanti kalau ada kegiatan
dangdutan akan saya undang biar tahu sendiri..”
Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila pada pemilu
1999 dan 2004, PDIP masih menjadi mayoritas dalam perolehan suara
di Malang Raya, walaupun PDIP pada pemilu 2004 mengalami
kehilangan suara yang cukup besar.
Pada pemilu 2009, berbagai regulasi membatasi kreatifitas PDIP
untuk menggalang suara pemilih yang telah terbukti fanatis.
Perubahan sistem pemilu dari proposinal tertutu ke proporsinal
terbuka, aturan yang tidak memperbolehkan kampanye “konvoi”,
serta dibatasinya kampanye diruang terbuka telah sedikit mengikis
rasa fanatisme pemilih kepada PDIP. Oleh karena itu, hasil suara
pada pemilu 2009 menunjukan bahwa dominasi PDIP sudah terhenti.
Khusus di Kota Malang PDIP kalah dalam perolehan suara dan kursi
dari Partai Demokrat.
D. Pemahaman Partai Dan Pola Hubungan Partai dan Pemilih
1. Pemahaman Partai dan Aliran
Pemilu tahun 1999 pemahaman ideologis cukup kental mempengaruhi perilaku politik masyarakat. Politik aliran menunjukkan
indikasi masih berjalan dalam menentukan pilihah partai, pemilih
Abangan memberikan suaranya ke partai Nasionalis dan Santri ke
partai Islam. Secara sosiologis mereka yang masuk dalam kelompok
Abangan adalah Petani dan buruh. Pada pemilu 1999 di Malang Raya
122
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
kedua segmen pemilih lebih dekat dengan PDI Perjuangan ketimbang
PRD atau PBN (Partai Buruh Nasional), sehingga langgam perpolitikan Tanah Air masih didominasi warna politik aliran ala Clifford
Geertz. Kaum petani dan buruh lebih mengindentifikasi dirinya
sebagai abangan (vis-à-vis priyayi dan/atau santri) ketimbang
memakai kesadaran kelas sebagai kaum tertindas seperti yang
diperjuangkan PRD.
Lebih jauh pada pemilu 1999 variabel sociological cleavages
berupa latar belakang etnisitas, agama, ras, pendidikan, stratifikasi
sosial dan bahasa, juga lebih dominan daripada variabel rational choice
yang menunjuk pada kritisisme pemilih dalam menimbang programprogram partai. Seperti kemenangan Megawati dan PDI perjuangan
kecenderungan terletak pada variabel sosiologis. Kalau kita bandingkan dengan Partai Amanat Nasional sendiri yang lebih menjual program
(rational choice), walaupun sudah diperkuat dengan keberadaan Amin
Rais sebagai tokoh reformasi, tidak mendapat sam-butan pemilih
dengan baik, karena secara sosiologis dalam masyarakat pemahaman
ideologis lebih menonjol ketimbang preferensi yang bersifat rasional.
Karena pola afiliasi politik yang terjadi pada massa Orde baru
hanya bersifat artifisial, maka ketika muncul perubahan politik, pola
afiliasi politik yang bersifat laten berupa politik aliran yang menjadi
pemahaman subjektif pemilih secara instrinsik menunjukan mereka
yang Santri tetap memilih partai Islam, sementara mereka yang
Abangan tetap memilih partai Nasionalis. Namun demikian, bagi
sebagian kalangan pemilih yang berasal dari keluarga yang telah
menikmati kebijakan Orde Baru tetap setia memilih Golkar, khususnya
dari keluarga PNS, TNI dan sebagaian masyarakat umum yang
diuntungkan oleh kebijakan Orde Baru. Walaupun demikian, akibat
terjadinya rekayasa politik rezim Orde Baru, ada sedikit pergeseran
dari pemilih terkait dengan Pemahamanan mereka pada partai politik.
Ketika pemilih mepemahamani partai Islam tidak hanya dilihat dari
asas atau Platform partai, tetapi juga dari tokoh dan sejarah berdirinya
partai tersebut. Sebagai contoh, Partai Amanat Nasional (PAN) dan
Partai Kebangkitan Bangsa, walaupun keduanya tidak berasaskan
Islam, yakni berasas Pancasila, namun tetap basis massanya adalah
dari Islam Santri. Dimana pemilih PKB merupakan pemilih dari
kalangan Santri Tradisional, sementara PAN berasal dari pemilih
123
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Santri yang tergolong Modernis. Artinya, ada perubahan cara
pandang pemilih dalam melihat partai Islam. Mereka melihat partai
Islam tidak hanya pada platform partai politik, namun lebih pada
simbolisme seperti kader atau pemimpin yang duduk di partai
termasuk historis pembentukan partai tersebut.
Pada pemilu di era multipartai Tahun 1999 secara nasional
sebagian besar pemilih memberikan suaranya pada PDI Perjuangan,
sehingga PDIP mendominasi perolehan suara dengan jumlah
35.689.073 suara (33,74 persen) dari 48 peserta partai pemilu. Partai
Golkar yang pada saat Orde Baru selalu menjadi pilihan politik pemilih
hanya mampu meraup suara sekitar 22,46 %. Sementara partai-partai
Islam atau yang punya hubungannya dengan pemilih Islam Santri
kalau digabungkan semuanya mendapat sekitar 40 % lebih suara.
Pada pemilu 1955, Masyumi dan NU yang pada saat itu merupakan
partai Islam memperoleh sekitar 40 % suara. Dengan demikian asumsi
yang mengatakan bahwa pemilu 1999 merupakan kelanjutan dari
pemilu 1955 bisa dibenarkan.6 Sebagaimana dikemu-kakan Baswedan
(2004) dalam artikelnya yang berjudul “Political Islam in Indonesia:
present and future trajectory” dalam jurnal Asian Survey (vol. 44/5,
2004). Menurut Anies dalam pemilu 1955, partai-partai Islam (Masyumi,
Nahdlatul Ulama dan lain-lain) menguasai 40 persen suara, sementara
pada pemilu 1999, partai-partai Islam (Anies menyebutnya sebagai
Islam-friendly) secara total menguasai 50 persen suara.
Dengan demikian, menurut hemat penulis, pemilu 1999 dan
2004 pasca orde baru yang terjadi bukan signifikansi politik aliran
melemah seperti yang banyak dibicarakan oleh sebagian pengamat
6
Pada Tahun 1955 dan pemilu Tahun1999 ada perbedaan komposisi partai politik, dimana
pada pemilu 1955 ada partai “kiri” yang mapan seperti PKI dan PSI, sementara pada pemilu
1999, partai ‘kiri’ yang mapan boleh dibilang absen sama sekali, setelah dihancurkannya Partai
Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 dan juga dengan ditekannya Partai Sosialis Indonesia
(PSI) oleh Sukarno dan juga Suharto. Lantas kemanakah larinya suara dari partai yang berhaluan
“kiri” ini? Kalau dilihat dari hasil perolehan suara, jelas bahwa larinya suara dari partai yang
berhaluan kiri ini sebagian besar ke PDIP dan sebagian lagi ke Golkar dan partai lainnya. PDIP
yang merupakan kelanjutan sejarah PNI pada pemilu 1955, dimana PNI dalam pemilu 1955
memperoleh suara 22,32 %. Kalau melihat hasil perolehan suara PNI pada pemilu 1955, maka
sejatinya perolehan suara PDIP itu berada pada kisaran 20 %. Artinya dalam PDIP ada limpahan
suara yang oleh Riwandan (2004) dikatan sebagai Swing Votes, dengan demikian suara PDIP
dalam pemilu 1999 bukan merupakan suara riil.
124
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
politik Indonesia, melainkan karena terjadi perubahan orientasi cara
pandang terhadap apa yang dinamakan partai politik.
Dalam pemilu 1999, Malang Raya dari beberapa partai Islam
atau yang mempunyai hubungannya dengan pemilih Islam, yaitu
PKB, PPP, PAN, PK, PBB, dan yang lainnya, PKB mempunyai dukungan
pemilih paling besar. Partai Kebangkitan Bangsa menempati urutan
kedua tersebesar setelah PDIP yaitu 29, 57 % untuk Kabupaten
Malang, 19,60 % untuk Kota Malang, padahal secara nasional jumlah
pemilih yang memberikan suaranya ke PKB ini pada tahun 1999
hanya 12,62 %. Hal ini bisa dipahami karena wilayah Jawa Timur,
khususnya Malang Raya merupakan basis dari Partai NU yang pada
pemilu 1955 merupakan pemenang kedua setelah Masyumi.
Sementara dukungan pemilih pada partai Islam lainnya tidaklah
signifikan, kecuali untuk PAN yang punya basis pemilih golongan
Islam Modernis mendapat 10, 53 % di Kota Malang.
2. Pemahaman Partai dan Identifikasi Politik
Identifikasi diri seseorang terhadap kelompok, organisasi, atau
partai bukan terjadi secara tiba-tiba. Proses identifikasi terjadi secara
kontinyu dan membutuhkan waktu yang panjang lewat sosialisasi
yang terus menerus. Seberapa besar tingkat identifikasi seseorang
terhadap kelompok, organisasi, atau partai sangat bergantung kepada
berapa lama seseorang terlibat atau berada di dalamnya, serta berapa
intens komunikasi yang terjalin. Oleh karena itu bagi mereka yang
sudah tua, karena sudah lama mengalami proses sosialisasi, maka
tingkat identifikasi dirinya akan tinggi dibanding dengan mereka yang
masih muda. Dengan demikian, orang-orang muda akan relatif lebih
mudah keluar atau pindah dan bergabung dengan kelompok, organisasi,
atau partai baru ketimbang orang yang sudah tua.
Hasil temuan di lapangan, banyak partai politik baik yang
berorientasi Islam maupun Nasionalis, terutama partai baru, yang
merekrut pemuda untuk menjadi kader atau hanya sekedar untuk
kepentingan kampanye. Lebih jauh di Malang Raya, keberadaan
Partai Golkar yang masih survive, berdasar hasil wawancara dengan
tokoh masyarakat di Dusu Caru, Desa Pendem, Kecamatan Junrejo
Kota Batu, dan juga diperkuat dengan hasil FGD dengan beberapa
tokoh masyarakat, menunjukan bahwa Partai Golkar tetap bertahan
125
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
karena banyak didukung oleh golongan tua. Sebaliknya Partai
Demokrat banyak di dukung oleh kalangan orang-orang muda dan
juga ibu-ibu.
2.1.1. Identifikasi Politik Kelompok Santri
Pola Identifikasi dari kelompok Santri, dalam hal ini kelompok
Santri Tradisional, umumnya berafiliasi dengan partai-partai yang
punya ikatan historis dengan NU. Sementara kelompok Santri
Modernis umumnya memilih partai politik Islam yang punyai ikatan
historis dengan ormas Modernis, seperti Muhammadiyah. Namun
demikian, dari hasil pengamatan di lapangan, kategori partai Islam
bagi pemilih tidak hanya berdasar pada platform partai. Para pemilih
mengkategorikan apakah itu partai Islam atau bukan juga ditentukan
oleh tokoh yang ada di dalam partai tersebut.
Dalam kasus kemenangan relatif PAN pada pemilu 1999,
terhadap partai-partai Muslim Modernis lain seperti PBB, PK, Partai
Masyumi, sebagian besar dapat dijelaskan dengan kehadiran Amien
Rais sebagai tokoh nasional di pucuk kepemimpinan partai tersebut
yang merupakan tokoh Islam Modernis. Begitupun keunggulan
pengumpulan suara oleh PKB dibanding partai-partai NU yang lain
seperti PNU, dan Partai Suni, dan bahkan PPP sendiri, merupakan
hasil dari ketokohan Gus Dur di partai tersebut. Walaupun PAN dan
PKB keduanya tidak mencantumkan Islam sebagai asas tetap menjadi
partai pilihan kaum Modernis dan Tradisional. Oleh karena itu
tidaklah heran apabila PKB yang dianggap sebagai partainya NU
banyak mendapat dukungan di wilayah Malang Raya, begitu juga
dengan PAN dianggap sebagai partainya warga Muhammadiyah.
Secara teoritis hal ini bisa dijelaskan dengan peran group benefit
dalam identifikasi diri seseorang terhadap partai tertentu. Keterwakilan kelompok dalam partai politik bisa dilihat dari platform partai
atau figur dalam partai yang berasal dari kelompok mereka. Merujuk
pada apa yang dikemukakan Geertz (1960), gorup benefit yang ada
di Indonesia selalu bersumber pada tiga aliran yaitu Santri-AbanganPriyayi. Dalam kontek politik Santri identik dengan partai Islam,
sementara Abangan dan priyai identik dengan partai Nasionalis. Dalam
pemilu pasca reformasi, kalau dipetakan, maka Partai Islam diwakili
oleh PKB dan PPP yang Tradisional, PAN, PBB, PKS yang Modernis.
126
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
Di sisi lain PDIP , P. Demokrat dan P. Golkar mewakili partai yang
berbasis Nasionalis.
Pada tahun 1999 dan 2004, pemahaman ideologis terhadap
partai cukup tinggi. Dengan demikian partai-partai yang punya
hubungan yang jelas secara ideologis aliran organisasi, maka tingkat
identifikasi diri dengan partai tersebut cukup tinggi. Hal ini bisa
dibuktikan dari peroleh suara partai di Malang Raya yang tidak lepas
dari adanya keterikatan dengan tiga belahan kelompok yaitu PDIP
representasi Pemilih Abangan, PKB representasi pemilih Santri
Tradisional, PAN representasi pemilih Santri Modernis, dan P. Golkar
serta P. Demokrat yang merupakan representasi dari pemilih Priyayi.
Proses identifikasi politik di kalangan pemilih Santri sangat
dipengaruhi dengan identifikasi dengan kelompoknya. Hasil temuan
dilapangan, pemilih Santri Tradisional sangat tinggi resistensinya
terhadap PAN yang dianggap punya hubungan dengan kelompok
Santri Modernis, dalam hal ini Muhammadiyah. Kondisi ini telah
berjalan lama karena proses sosialisasi dari kalangan elit Santri
tradisional bahwa Islam yang benar adalah Islam Ahlu Sunnah Wal
Jamaah. Dan menurut mereka satu-satunya yang menjalankan sunnah
adalah mereka yang di asosiasikan dengan berbagai ritual keagaman,
seperti selamatan kematian, istigoshan, yasinan, dan lain-lain. Sementara Muhammadiyah yang tidak menjalankannya dianggap bukan
kelompok Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Bahkan di kalangan grassroot
Nadhilyin, Muhammadiyah dianggap sebagai Agama baru.
Dengan demikian, image Muhammadiyah dikalangan warga
Nahdilyin, terutama yang tinggal di pedesaan tidak baik, karena mereka
menganggap Muhammadiyah sebagai agama baru tersebut. Oleh
karena itu, jangankan masuk menjadi anggota PAN yang dianggap
sebagai partai Muhammadiyah, ada orang ataupun warga yang
dianggap simpatisan Muhammadiyah saja mereka sangat antipati
sehingga tidak jarang simpatisan Muhammadiyah yang diisolir dalam
kehidupan sosial di lingkungannya. Bahkan sering terjadi benturan
di tingkat grassroot antara warga Muhammadiyah dan warga NU.
Perbedaan atau khilafiah sering menjadi penyulut ketegangan antara
NU dan Muhammadiyah, seperti khunut dalam shalat, tahlilan bagi
yang meninggal, ataupun ritual lain telah menjadi barometer dari
perbedaan warga Muhammadiyah dengan NU di tingkat grassroot.
127
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Di sisi lain bagi partai politik yang dilahirkan oleh NU, berbagai ritual
keagamaan yang dilakukan oleh warga dijadikan sebagai sarana
untuk melakukan sosialisasi dan sekaligus jastifikasi bahwa partai
politiknya merupakan bagian integral dari NU.
Hasil proses sosialisasi yang dilakukan baik oleh tokoh struktural
maupun kultural NU telah melahirkan sikap antipati dari warga
Nahdilyin terhadap Muhammadiyah dan sekaligus kepada PAN yang
dianggap partainya Muhammadiyah. Hasil dari FGD yang dilakukan,
diperoleh satu kesimpulan bahwa bagi Warga Nahdilyin, dari pada
harus memilih PAN mereka lebih baik memilih PDIP atau pun Golkar.
Mereka menganggap dengan memilih Golkar maupun PDIP tidak
mempunyai konsekuensi sosial dalam masyarakat ketimbang harus
memilih PAN.
Sementara di sisi lain, PAN yang diharapkan mendapat dukungan dari warga Muhammadiyah tidaklah gampang. Banyak warga
Muhammadiyah yang garis keras tidak menyukai PAN karena dianggap
tidak jelas ideologinya. PAN yang berasas Pancasila tidak melabelkan
partai Islami yang menjadi idaman sebagian warga Muhammadiyah
yang konservatif. Oleh karena itu banyak dari warga Muhammadiyah
yang memilih partai yang secara jelas berasaskan Islam seperti PKS,
PBB, Partai Masyumi. Disamping itu animo yang berkembang dikalangan warga Muhammadiyah sendiri, bahwa warga Muhammadiyah
yang terlibat di PAN itu lebih banyak mewakili perorangan. Mereka
yang duduk di legislatif yang diharapkan mampu membawa aspirasi
Muhammadiyah ternyata tidak begitu memberikan banyak pengaruh
terhadap perkembangan Muhammadiyah.
Lebih jauh, warga Muhammadiyah, khususnya perorangan
yang ada di Legislatif dalam perjalanannya mereka menjadi wakil
rakyat terkesan tidak punya citra positif di kalangan warga Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan warga Muhammadiyah yang
menjadi wakil dari PKS. Dari hasil wawancara dengan salah seorang
warga Muhammadiyah yang aktif dalam kepemudaan menuturkan,
sebagai berikut:
Secara organisasi waktu itu secara tertulis pimpinan PKS
yang berasal dari Muhammadiyah membuat surat pernyataan
pengunduran diri dari organisasi kepengurusan kepemudaan
Muhammadiyah tetapi dalam beberapa item kepemudaan
128
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
Muhammadiyah lebih banyak terikat di bandingkan dengan
pimpinan pemuda yang sekarang menjabat tapi aktif di PAN
yang tidak mau menandatangani surat pernyataan pengunduran diri tetapi tidak aktif. Sehingga terkesan komando sampai
akhir periode tidak ada kegiatan kemudian beberapa kali
diminta untuk mengadakan kegiatan juga jarang muncul.
2.1.2. Identifikasi Politik Kelompok Abangan
Pembelahan sosial yang dikemukakan oleh Geertz yaitu Santri,
Abangan menjadi dasar masyarakat dalam mengidentifikasikan
dirinya dengan partai politik tertentu. Kelompok Abangan mengidentifikasikan dirinya dengan partai-partai yang berhaluan Nasionalis,
sementara kelompok Santri mengidentifikasikan dirinya dengan
partai-partai yang berhaluan Islam. Kelompok Abangan pola pengidentifikasian dirinya mengarah pada PDIP, terutama dalam pemilu
1999 dan 2004. Walau demikian, ada sebagian dari mereka yang dalam
perilakunya menunjukan ciri dari Abangan namun dalam afiliasi
politiknya tidak ke PDIP, namun dia lebih memilih partai Nasionalis
lainnya seperti Golkar dan Demokrat.
Tingkat identifikasi politik masyarakat Abangan di Malang
Raya terhadap PDIP yang cukup besar, hal ini bisa ditunjukan dari
besarnya perolehan suara PDIP baik pada pemilu 1999 maupun 2004.
Jika dibandingkan antara golongan pemilih Abangan dengan pemilih
Santri, secara kuantitatif pemilih Abangan lebih besar, walaupun
Malang ini terkenal juga dengan masyarakat Islami. Karena besarnya
masyarakat Abangan ini, maka PDI-P Malang Raya memiliki pendukung cukup banyak yang dibuktikan dengan pilihan politik pemilih
pada PDIP ketika pemilu 1999 dan 2004. Kemenangan PDIP di
Malang Raya hampir merata di setiap daerah (Kabupaten Malang,
Kota Malang, dan Kota Batu).
Sementara tingkat identifikasi politik masyarakat Malang Raya
ke partai Nasionalis lainnya tidak begitu besar. Partai-partai yang
tidak memperoleh apresiasi umumnya partai tersebut tidak punya
legitimasi yang jelas untuk menjustifikasikan diri sebagai partainya
kelompok Abangan sesuai pakem politik aliran, disampaing lemahnya
upaya yang dijalankan dalam meraih simpati pemilih.
129
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Pada pemilu 2009, pola identifikasi politik pemilih kepada PDIP
mengalami perubahan signifikan. Peroleh suara partai-partai pada
pemilu 1999 dan 2004 yang menempatkan tiga besar perolehan suara
di Malang Raya, yaitu PDIP, PKB, dan Golkar, dengan suara mayoritas ada di tangan PDIP. Pada pemilu 2009 PDIP mengalami penurunan suara seiring dengan bertambahnya partai politik yang mendapat
suara signifikan dan bahkan Partai Demokrat mengalahkan perolehan
suara PDIP di Kota Malang.
3. Pemahaman Partai dan Rasional Ekonomi Pemilih
Dalam pemilu 1999, pola hubungan partai dan pemilih lebih
menunjukan pada upaya partai melihat realitas masyarakat yang
sudah mulai ada pergeseran pemahaman partai dari ideologis ke
pemahaman ekonomi. Dalam kenyataan di lapangan, masyarakat
miskin tidak menganggap politik uang sebagai hal buruk. Mereka
memang menantikan jatah uang itu, bahkan ada yang tidak mau
memilih kalau tidak mendapatkan uang. Sebagian elite juga menganggap pemberian uang dalam politik juga sebagai hal yang biasa,
bahkan seperti keharusan yang wajar dilakukan.
Oleh karena itu dalam rangka memenangkan pemilu, disamping
partai-patai menjaga konstituennya agar tidak lari ke partai lain, juga
melakukan pendekatan ke basis massa lain. Para kader partai berusaha
melakukan pendekatan yang continue dengan konstituen mereka,
disamping melakukan pendekatan pada basis massa lain agar bisa
mendukung pencalonan mereka. Cara yang jamak dilakukan dalam
pemilu 2004 adalah memberikan sumbangan untuk kepentingan
warga dan lingkungan. Oleh karena itu banyak partai yang berusaha
membantu kebutuhan warga, baik bantuan untuk pembangunan
maupun untuk kegiatan. Kalau pada pemilu sebelumnya, bantuan
ke warga diberikan lewat partai kepada kader, namun pada pemilu
2009 bantuan banyak berasal dari caleg sendiri atau lewat tim sukses
caleg tersebut yang sudah punya ikatan dengan caleg dari partai
tersebut.
Bagi caleg incumbent, selain memberi bantuan langsung bagi
kepentingan warga pada saat pemilu, juga telah lama melakukan
bantuan untuk kepentingan warganya dengan cara menyalurkannya
lewat APBD. Sebagai contoh anggota Dewan di wilayah Lowokwaru
130
MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH
Kota Malang, para anggota Dewan bersaing agar mereka mendapatkan tempat di hati masyarakat dengan cara memperjuangkan
berbagai program pembangunan yang ada di masyarakat agar bisa
mendapat simpati dari warga yang diperjuangkan. Dalam kenyataannya, partai yang sering memberikan bantuan, seperti Fujianto caleg
dari PAN terpilih kembali pada pemilu 2009.
Kenyataan tersebut di atas, secara langsung menunjukan bahwa
pandangan subyektif dari warga terhadap partai. Partai yang sering
memberi bantuan dianggap partai yang baik, sementara partai yang
jarang memberi bantuan dianggap partai yang jelek. Partai selalu
dipemahamani dengan bantuan yang bersifat material, dan hal ini
sangat terasa dalam kehidupan politik sekarang, khususnya yang
terjadi di akar rumput. Kondisi tersebut juga didorong oleh perubahan
sistem pemilu dari proporsional daftar tertutup dengan BPP (2004)
menjadi proporsional daftar murni (2009). Persaingan di antara caleg
menjadi semakin keras, dengan demikian berbagai cara dilakukan
oleh caleg untuk memenangkan kompetisi dalam pemilu, termasuk
mempergunakan celah dalam masyarakat yang cenderung menonjolkan pemahaman ekonomi terhadap partai dengan melakukan
transaksi politik atau pembelian suara lewat berbagai bantuan atau
pemberian uang tunai.
Rasionalitas ekonomi yang berkembang pada pemilih di Malang
Raya bukannya rasionalitas seperti yang ada di negara maju. Di negara
maju rasionalitas dimaksudkan untuk menunjukan pada pemilih yang
dalam menentukan pilihan politiknya didasarkan pada preferensi
kebijkan partai, dan mereka akan memilih partai yang dianggap akan
lebih menguntungkan mereka atau sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dengan demikian, pemilu dianggap sebagap pasar, dan partai politik
dianggap sebagai pedagang yang menjajakan produknya berupa
rencana-rencana yang akan dijalankan kalau terpilih. Di Malang
Raya, rasionalitas ekonomi lebih berorientasi pada kepentingan
ekonomi jangka pendek dan bisa dirasakan secara langsung oleh
masyarakat dari partai atau caleg. Dengan demikian, kalau di negara
maju hak pilih dibelanjakan kepada partai untuk membeli rencanarencana yang sesuai dengan pemilih, sementara di Malang Raya
partai membeli hak pilih dengan sejumlah uang, bantuan sosial dan
pembangunan lingkungan.
131
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
132
BAB IV
UPAYA PARTAI POLITIK
DALAM PEMENANGAN
PEMILU
133
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
KOMPETENSI
Dalam bab ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan strategi partai politik dalam
merespom realitas politik masyarakat baik itu dari sisi ideologi maupun sosial
kemasyarakatan. Selanjutnya mahasiswa diaharapkan dapat menjelaskan terkait
peran figur yang ada dalam partai politik. Kita ketahui bahwa dalam masyarakat di
tingkat lokal, budaya partron-client sangat kental dan mempengaruhi pola afiliasi
politik masyarakat pada partai politik. Lebih jauh mahasiswa diharapkan dapat
menjelaskan mengenai strategi partai politik yang diterapkan dengan pola hubungan
yang terjadi dalam setiap pemilu di tingkat lokal.
134
BAB IV
UPAYA PARTAI POLITIK
DALAM MEMENANGKAN PEMILU
TERKAIT dengan adanya perubahan dalam pemahamanan partai
politik oleh pemilih, dalam bab ini mengkaji persoalan yang berhubungan dengan upaya partai politik dalam meraih simpati pemilih
agar mendukung atau memilih partai ketika pemilu dilaksanakan.
Pertanyaan yang akan dijawab dalam bab ini adalah “bagaimana
upaya partai politik dalam meraih simpati di tengah perubahan
Pemahamanan partai oleh pemilih?”.
Berhubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini penulis menguraikan bagaimana upaya partai di tengah Pemahamanan partai
politik yang ada, dan perubahan dalam sistem pemilu di era multipartai. Sub pokok bahasan pertama terkait dengan upaya dari partai
politik dalam meraih simpati massa, apakah upaya yang dilakukan
sejalan dengan Pemahamanan partai oleh pemilih. Selanjutanya,
dibahas mengenai peran figur dan hubungannya dengan stategi
partai. Terakhir dibahas mengenai pola hubungan pemilih dalam
kaitannya dengan adanya perubahan dalam sistem pemilu di era multi
partai.
A. Upaya Partai Politik
Upaya merupakan pola keputusan atau tindakan yang melibatkan lebih dari sekedar perencanaan seperangkat tindakan, juga melibatkan kesadaran bahwa upaya yang berhasil justru muncul dari dalam
organisasi. Namun dalam praktiknya, upaya pada kebanyakan organisasi merupakan kombinasi dari apa yang direncanakan dan apa
yang terjadi. Oleh karena itu tidak semua rencana upaya dapat
135
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
diimplementasikan, karena adakalanya upaya yang dikehendaki
(intended strategy tidak dapat dijalankan sepenuhnya (unrealized
strategy) (Mintzberg, 1985). Berkenaan dengan upaya partai dalam
memenangkan pemilu, hal yang perlu diperhitungkan dan diantisipasi
ketika menyusun rencana upaya adalah kondisi yang terjadi dalam
lingkungan masyarakat, termasuk Pemahamanan subjektif mengenai
partai politik.
Kondisi yang terjadi di negara dunia ketiga berbeda dengan di
negara maju dalam berdemokrasi. Sebagai contoh dalam berpartisipasi politik, di negara dunia ketiga, patron-client merupakan instrumen
utama partisipasi politik, khususnya yang membawa masyarakat
untuk melakukan kontak dengan pejabat politik. Dalam hal ini lebih
merupakan sebuah hubungan tanggung jawab dan pelayanan antara
atasan dan bawahan. Kurangnya sumberdaya yang mereka miliki,
dimana bawahan (client) memberikan kesetiaan sebaliknya atasan
(patron) memberikan perlindungan dan keamanan. Patron biasanya
seorang tuan tanah, pemimpin etnis, pengusaha, atau politisi.
Lebih jauh, pemilu di dalam negara berkembang yang menggunakan sistem kompetisi, objek kompetisi bukanlah program dan
platform partai yang berbasis ideologi, namun umumnya berupa
“pemberian tertentu” (specfic reward) (Hague, dkk., 1992). Suara
ditukar dengan sejumlah keuntungan tertentu yang diberikan kepada
individu, kelompok masyarakat atau komunitas (ibid). Di sisi lain ada
sebuah problem, seperti yang dikemukakan Erich Fromm (dalam Engel
dan Waltzer, 1971), dalam karyanya “Escape from Freedom”, “bahwa
masyarakat banyak yang kelihatannya dewasa, namun dalam berpolitik bersifat ke kanak-kanakan dalam arti mundur dari pilihan yang
berat dan tanggung jawab sebagai konsekuensi dari kebebasan yang
dimilikinya. Oleh karena itu mereka akan mencari perlindungan
kepada seorang figur kharismatis yang dapat memberi arahan kepada
kehidupan mereka, dan menyelamatkan dari kesusahan dan ketidak
menentuan yang mereka rasakan.”
1. Penguatan Ideologi Partai
Ideologi dan nilai-nilai merupakan pondasi hubungan partai
politik dengan konstituen. Disamping itu ada tiga pilar yang dapat
membangun partai, yaitu sumber daya manusia, prosedur dan
136
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
mekanisme internal partai, dan sumber daya finansial. Partai harus
membangun ideologi sebagai landasan pemikiran dan program partai.
Kalau ada ideologi dan nilai-nilai yang jelas, partai dapat mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kurang lebih satu
kesamaan dengan ideologi yang mau dikembangkan partai, kemudian
pengembangan program dapat dijalankan. Ideologi dan nilai-nilai
dihadapkan pada semua masalah untuk mengembangkan tawaran
solusi atas masalah-masalah, baik masalah ekonomi, sosial, budaya,
dan politik.
Berbagai program dan kegiatan yang akan direalisasikan perlu
direncanakan dan dipersiapkan dengan baik agar tidak terjadi
kekacauan dalam pelaksanaannya. Hal ini merujuk pada apa yang
sering dikemukakan oleh para elit politik, dimana secara konseptual
apa yang mereka kemukakan sangat bagus, namun dalam tahap
implementasi tidak sebaik gagasan dan konsep yang dikemukakan.
Kelemahan yang terjadi, banyak pada tataran implementasi di
lapangan, yang menyebabkan banyak masyarakat kecewa karena
menganggap tidak sesuai dengan janji yang disampaikan.
Pengelolaan hubungan dengan masyarakat menjadi penting
bagi keberlangsungan dan survival partai politik. Oleh karena itu
dibutuhkan hubungan dan komunikasi dengan masyarakat yang
konsisten dan dua arah, sebab pemilih akan merasa lebih akrab dan
terikat pada partai dan akan memberikan kontribusi kepadanya.
Maka dari itu, partai politik harus berusaha membangun hubungan
dengan konstituen yang stabil dan berjangka panjang. Hubungan
jangka panjang dengan konstituen dapat dicapai dan dikelola dengan
cara mengembangkan pemahaman ideologi dan nilai-nilai dasar
partai, termasuk membangun (infra-) struktur partai.
Perkembangan aspirasi politik masyarakat telah membangun
kesadaran dari para pelaku politik untuk berpikir bagaimana bisa
merangkul berbagai kepentingan yang ada. Menurut LaPalombara
dan Weiner (1966), kegagalan partai politik dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang berkembang merupakan penyebab utama
matinya sebuah partai politik. Oleh karena itu partai harus aktif dalam
menjaring aspirasi yang berkembang, dan hal ini telah melahirkan
format baru dalam partai politik yang dikenal dengan catch-all party.
Posisinya berada di antara kutub dikotomi partai elit dan partai massa.
137
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Menurut Riswanda, format ini meng-agung-kan pragmatisme dan
rasionalitas sebagai pilar penyangga sistem politik yang demokratis.
Dengan prinsip pragmatisme dan rasionalitas ini dimungkinkan bagi
masyarakat untuk berpikir tentang “politik tanpa alur” (politics without
cliches), tidak menjadi tawanan ideologi, sehingga masyarakat mampu
menyikapi berbagai masalah tanpa prakonsepsi, tanpa distorsi
idologis, dan tanpa kekakuan bersikap partisan.
Dalam kenyataannya juga, parpol lebih tertarik untuk melakukan pembangunan partai lewat jalan instan dengan perhitungan
praktis pragmatis yaitu dengan cara merekrut kader dari figur-figur
yang populer di kalangan masyarakat, ketimbang membangun ideologis partai. Hal ini dianggap obat mujarab bagi partai meraih suara
dibanding dengan melakukan pembangunan partai lewat pengokohan ideologi sebagai brading dari partai tersebut. Padahal dalam jangka
panjang memperkuat ideologi partai sebenarnya lebih menguntungkan jika dibanding dengan merekrut figur-figur terkenal yang sifatnya
short term. Walau demikian, perilaku partai politik yang melakukan
pengrekrutan kader-kader populer sangat bisa dipahami. Partai politik
dituntut dengan cepat membesarkan partai agar dapat melewati
threshold yang menjadi momok partai-partai baru yang belum punya
akar kuat dalam masyarakat. Selain itu, mengembangkan partai
dengan memperkuat ideologi partai walaupun dalam jangka panjang
menguntungkan, namun hal ini memerlukan waktu yang lama.
Temuan dilapangan menunjukan bahwa partai politik berusaha
untuk meraih suara pemilih dengan cara merekrut tokoh-tokoh
masyarakat yang dianggap memiliki massa. Tokoh agama, tokoh
partai, maupun tokoh masyarakat menjadi bahan rebutan partai
politik untuk bisa menjadi bagian dari parpol mereka. Sebagai contoh,
banyak calon anggota legislatif dari partai-partai pada pemilu 2004
yang awalnya merupakan kader dari partai politik lain, khususnya
dari Partai Demokrat yang banyak berasal dari tokoh Golkar dan
PDIP. Begitupun calon dari partai-partai Islam, khususnya PKB
banyak tokoh agama yang menjadi calon anggota legislatif ataupun
menjabat sebagai pimpinan teras partai.
Dengan adanya partai baru memang mempengaruhi
partai politik yang ada, khususnya partai Golkar. Hal ini dikarenakan rekruitmen kader-kader dari partai yang baru mengambil
138
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
kader yang ada yang sudah jadi. Saya kira yang membuat partai
baru itu adalah orang-orang pintar sebab yang direkrut adalah
orang-orang yang sudah jadi, yang jadi andalan dari partaipartai seperti Golkar, PDI-P dan lain-lain. Dari fakta itu ada
kecenderungan berkurangnya jumlah kader maupun maupun
pemilih. Akan tetapi pemilih-pemilih, kader-kader yang tidak
konsisten itu sifatnya hanya sementara, ketika mereka dihadapkan pada pemilu berikutya mereka akan terpanggil kembali
untuk mendukung partai Golkar. (Hasil wawancara dengan
tokoh Golkar).
Padahal penguatan ideologi partai politik (ideologisasi) itu
penting, menurut Eep Saefulloh Fatah (Kompas, 2008), penguatan
ideologi partai merupakan upaya dari partai politik dalam menanamkan dan memperkuat identitas partai. Hal ini mengandung pengertian
sebagai berikut: pertama, identitas partai yang pada mulanya masih
rapuh diperkuat dengan mematangkan orientasi politik dan platform
kebijakan. Kedua, pemahaman identitas partai (ideologi, pemahaman
identitas, atau platform) yang pada mulanya hanya menjadi gejala
di kalangan elite partai diperluas sebagai gejala pada anggota,
pendukung, dan simpatisan. Ketiga, partai menegaskan pemosisian
(positioning), diferensiasi (pembeda pokok yang dimiliki vis a vis partai
lain) dan branding (penegasan merek atau simbolisasi partai).
Terkait dengan program yang berhubungan dengan penguatan
ideologi, secara umum partai-partai politik masih tidak beranjak dari
pendidikan dan latihan kader. Lebih lanjut Eep mengungkapkan
bahwa ideologisasi partai dapat dilakukan antara lain melalui pembakuan mekanisme perekrutan politik serta kaderisasi dan regenerasi
kepemimpinan. Berkaitan dengan penentuan calon anggota legislatif,
ideologisasi ditandai dengan mengemukanya nama politisi partai
yang membina diri dari bawah bersama partai serta membentuk
kualifikasinya di tengah calon konstituen mereka. Dalam membangun
partai lewat ideologisasi partai, dibutuhkan ketekunan partai dan
politisi dalam memupuk dan menyuburkan modal politik mereka dari
waktu ke waktu. Disamping itu perlu membangun hubungan pertukaran jangka panjang dan bukan sekedar transaksi jangka pendek
dengan konstituen.
139
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Secara teknis, upaya membangun hubungan pertukaran jangka
panjang ini, juga telah dilakukan oleh partai-partai di Jepang khususnya kader-kader LDP (Liberal Democratic Party). Hampir setiap anggota
legislatif atau calon anggota legislatif di Jepang mempunyai “koenkai”
sebagai basis dukungan yang sifatnya sangat personal, dan ini sangat
efektif dengan model sistem pemilu distrik yang diterapkan di Jepang.
Koenkai secara harfiah dapat dikatakan sebagai kelompok pendukung.
Tidak ada aturan tertulis baik dalam konstitusi Jepang maupun
peraturan-peraturan dalam sistem kepartaian di Jepang yang
menjelaskan tentang keberadaan Koenkai. Organisasi tersebut timbul
karena kebutuhan setiap masyarakat Jepang pada umumnya,
khususnya di desa-desa terlihat dalam kegiatan Koenkai.
Koenkai merupakan suatu organisasi dimana dalam organisasi
ini mempunyai ketua, sekretaris, bendahara dan seksi-seksi lainnya.
Orang-orang yang ditunjuk dalam kepengurusan ini biasanya adalah
orang-orang kepercayaan para caleg. Fungsi Koenkai merupakan
organisasi yang bertujuan untuk memenangkan caleg dalam pemilu
di Jepang. Untuk itu para pengurus Koenkai berusaha mencari
anggota baru secara berantai dengan cara pendekatan yang halus.
Dengan berbagai macam upaya pengurus Koenkai berusaha mencari
simpati para anggotanya, misalnya dengan memperhatikan kebutuhan para anggotanya. Tugas Koenkai selain mencari masa baru
dengan berbagai cara, juga berusaha mengumpulkan dana untuk
kepentingan Koenkai maupun untuk kepentingan dalam kampanye
pemilu. Para pengurus Koenkai berusaha mengetahui kebutuhan para
anggotanya, dan kebutuhan tersebut harus dilaporkan pada anggota
legislatif yang menjadi pemilik koenkai tersebut.
Dari hasil temuan di lapangan juga ditemukan adanya keinginan
dari pemilih untuk memperkuat dan memperjelas basis ideologi partai.
Kejelasan ideologi partai politik dianggap memberikan kepastian bagi
pemilih, terutama bagi oleh pemilih Santri Modernis. Selama ini ada
kegamangan dari partai-partai yang cenderung menuju ke pusat/
tengah dalam ranah ideologi dengan alasan untuk dapat menjangkau
konstituen yang lebih luas dan fleksibel. Akan tetapi bagi sebagian
pemilih hal ini dirasakan membingungkan, karena pemilih tidak
mempunyai keyakinan dan ketenangan ketika memutuskan partai
apa yang harus menjadi pilihannya. Sebagai contoh adalah konstituen
140
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
yang berlatar belakang Muhammadiyah, di satu sisi PAN merupakan
partai bentukan tokoh-tokoh Muhammadiyah, namun di sisi lain partai
ini tidak mencantumkan Islam sebagai dasar ideologis partai. Oleh
karena itu, sebagian warga Muhammadiyah menjadi gamang,
terutama mereka yang Fundamental, dalam menen-tukan pilihan
politik kepada PAN. Hal ini dibuktikan dengan ada sebagian kelompok
pemilih dari warga Muhammadiyah yang merasa lebih pas dengan
PKS atau PBB karena dianggap secara ideologi lebih jelas, dimana
PKS maupun PBB Islam secara formal menjadi dasar ideologi partai.
Sebagaimana dikemukakan Sekretaris DPC PAN Kota Malang.
“.... sebagian besar warga Muhammadiyah itu menginginkan partai yang eksklusif dengan nilai-nilai Islam dan butuh
waktu panjang untuk memahamkan bahwa partai pluralis yang
mengakomodasi berbagai komponen masyarakat seperti orang
Kristen dan lain-lain itu butuh waktu yang banyak, contoh
kongkrit di Kota Malang. Ada mainstream dalam kemuhammadiyahan bahwa warga Muhammadiyah itu pada suatu titik
bagaimana nilai-nilai Islam itu terpatri dalam diri. Sehingga
dalam menyalurkan aspirasi politik bagi warga Muhammadiyah
yang tidak masuk ke kancah politik sepertinya ada kecocokan
dengan PKS, terdapat nilai-nilai yang melekat dalam visi dan
misi partai itulah yang membuat orang-orang Muhammadiyah
itu dekat dengan PKS.”
Berkenaan dengan upaya penguatan ideologi hampir semua
partai politik tidak punya agenda yang jelas, kecuali PKS yang memang
melakukan pengkaderan dari bawah lewat aktivitas keagamaan yang
dinamakan “tarbiah”. Hal ini berkaitan dengan keinginan partai
politik untuk menjangkau massa konstituen yang lebih luas.
Berkenaan dengan hal ini, Abdurohim sebagai Pimpinan Daerah
Muhammadiyah Kota Batu menyampaikan sebagai berikut:
Dalam perkembangannya partai politik kita sudah
mengalami degradasi moral, tidak berani mengusun visi dan
misi. Kalau partai yang berbasis Islam ingin maju dan mendapat
perhatian serta dukungan dari kalangan umat Islam, maka
partai Islam harus sungguh-sungguh memper-juangkan Islam.
Partai Islam yang ada sekarang hanya partai Islam yang melulu
mengejar kekuasaan.
141
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Akan tetapi menurut Abdurohim, partai juga tidak boleh
terjebak dengan ideologi. Artinya partai tidak hanya jualan ideologi
saja kepada masyarakat tanpa ada upaya kongkrit untuk menyelesaikan persoalan riil yang dihadapi masyarakat. Pandangan umum
dalam masyarakat Malang Raya menunjukan bahwa walaupun
penguatan ideologi itu penting terutama berkaitan dengan proses
kaderisasi partai, namun ada hal yang mereka tidak setuju dengan
praktek yang dijalankan partai sekarang ini yang berkaitan dengan
penggunaan agama sebagai justifikasi partai politik. Sebagian besar
responden yang diwawancarai menganggap partai Islam sekarang
ini cuma formalitas saja karena dalam prakteknya antara partai Islam
dan partai non-Islam sama saja.
Partai Islam yang bagus tidak hanya menjual ideologi –
justru harus memperjuangkan kepentingan riil kebutuhan
masyarakat, karena masyarakat tidak memikirkan ideologi.
Pada saai ini para pemilih melihat partai Islam hanya namanya
saja, karena tidak ada yang bisa membedakan secara kongkrit
dimata masyarakat. Partai Islam dan non Islam hampir sama
saja, baik visi maupun misi tidak bisa secara tegas dibedakan,
dalam keadaan tertentu partai sekuler lebih banyak perhatian
pada masyarakat Islam, sementara di sisi lain partai yang
mengatasnamakan Islam tidak atau jarang memperjuangkan
kepentingan orang-orang Islam. (Hasil wawancara dengan
fungsionaris Muhammadiyah).
Apalagi dalam kenyataannya, justru banyak wakil wakil dari
partai Islam yang melakukan korupsi, memperkaya diri sendiri dan
melupakan masyarakat yang memilihnya. Hal ini menjadi ironis bagi
sebagian masyarakat golongan menengah ke atas yang selalu disuguhi
oleh ayat-ayat yang menyerukan kebaikan dan kebenaran, namun
disisi lain di media cetak maupun elektronik banyak disuguhi dengan
perilaku yang bertolak belakang dengan apa yang sering mereka
dengar disetiap pertemuan-pertemuan yang mendatangkan tokohtokoh yang sering berbicara kebaikan moral. Menurut Abdurohim
(Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Batu), salah seorang tokoh
agama menyampaikan bahwa “dalam Islam juga diajarkan kepada
kita, sebagai pemeluk Islam harus memperhatikan masyarakat miskin.
142
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
Karena setelah menjalankan ibadah, sholat mendoakan fakir miskin
ajaran Islam itu sangat berpihak pada masyarakat bawah seperti
kelompok duafa, mustadafin. Namun dalam prakteknya banyak
kalangan umat Islam, termasuk mereka yang duduk di legislatif,
kurang peduli dengan hal itu.”
Walaupun demikian ada sebagian masyarakat yang kurang
peduli dengan pemberitaan mengenai citra negatif dari anggota
legislatif dari partai mereka, karena yang penting bagi mereka bukan
kinerja dalam menjalankan peran dan fungsi partai yang dipentingkan. Bagi mereka calon anggota dewan atau anggota dewan yang
penting punya kedekatan dengan mereka dan mereka punya
karakteristik perilaku sosial yang sama dengan mereka. Tidak bisa
berbuat apa-apa ketika duduk jadi anggota dewan bukan kesalahan
dimata masyarakat kecil, yang menjadi masalah apabila mereka tidak
bisa menjadi bagian dari mereka. Oleh karena itu bagi masyarakat
Abangan, calon yang akan duduk di legislatif harus punya budaya
Abangan, begitu pun calon dari partai Islam harus mempunyai
karakteristik keislaman, atau kepekaan sosio-religiusitas.
Hal yang paling menarik, masyarakat Malang Raya punya
identifikasi kuat terhadap partai yang mereka pilih. Garis idologis
yang dikemukakan Geertz (1960) yang jelas kelihatan dalam alur
kehidupan politik masyarakat. Walaupun mereka banyak yang juga
tahu dan tidak senang dengan perilaku anggota dewan yang suka
melupakan janji-janjinya, namun mereka tetap berpegang pada partai
yang telah dipilihnya. Begitupun dalam soal berkomunikasi dengan
anggota dewan dari parpol lain, menurut hasil pengamatan penulis,
mereka tidak merasa sreg kalau yang diajak komunikasinya itu adalah
mereka yang berlatar belakang berbeda. Hal ini sejalan dengan hasil
pelitian perilaku pemilih di pedesaan Jawa oleh Afan Gaffar (1992),
orientasi sosio-religious mempunyai korelasi terhadap perilaku pemilih
PPP, Golkar dan PDI. Santri cenderung memilih partai Islam dan
kaum Abangan memilih partai yang tidak membela dan memajukan
Islam.
Keberhasilan partai dalam mempertahankan massa lewat
pendekatan ideologi bisa dibuktikan dari tetap bertahannya para
pemilih mendukung partai politik mereka baik yang berasal dari
segmen pemilih Santri, Abangan, maupun Piyayi. Konsistensi pemilih
143
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
terhadap partai politik yang punya basis massa jelas banyak dikemukakan oleh para pimpinan politik terutama pada pemilu 1999 dan
2004, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suhadi, mantan Pimpinan
Daerah Golkar Kabupaten Malang.
“Tingkat konsistensi pemilih Golkar relatif stabil, hal ini
dikarenakan sistem kaderisasi yang ada di Golkar. Sebagai
contoh ada kader tingkat madya kita tingkatkan. Jadi orangorang yang jadi kader Golkar itu ada kelebihannya, setelah
masuk Golkar orang tidak tambah “goblok” tapi tambah pintar.
Kalau pengusaha diakan akan lebih meningkat dalam usahanya,
sebagai contoh kalau dulu punya sepeda motor satu setelah di
Golkar meningkat jadi dua atau tiga dan sebagainya. Karena
di Golkar dalam doktrin-doktrin yang juga berpikir ekonomi,
ada yang berpikir masa depan, ada yang berpikir bertaqwa
kepada Tuhan YME, sampai ada yang mengatur bagaimana
perjalanan umroh dan lain sebagainya. Disamping itu, kita
melakukan urunan untuk bangunan sekolah, urunan untuk
mesjid dan lain-lain. Itulah yang menyebabkan adanya militasi
dari pemilih Golkar, bahkan di luar jawa luar biasa (2006). “
Dalam rangka penguatan ideologi partai, partai-partai politik
di Malang Raya berusaha membuat program-program yang terkait
dengan ideologi. Partai politik berusahan menguatkan ideologi partai
dari mulai tingkat kader, simpatisan, sampai partisan. Pada tingkatan
kader partai politik melakukannya dengan program kaderisasi, pada
tingkatan simpatisan dilakukan dengan pelatihan, dan pada tingkat
simpatisan dilakukan dengan sosialisasi.
2. Pendekatan Sosial dan Ekonomi
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, aspek sosial ekonomi
dan kemasyarakatan menjadi bagian terpenting dalam komunitas
masyarakat di pendesaan. Tidak hanya dalam kehidupan keseharian
dalam berkomunikasi dan berinteraksi antara sesama mereka, namun
juga telah menjadi indikator serta tolak ukur bagi kehidupan politik.
Komunitas masyarakat yang ada di Malang Raya yang terkenal dengan
budaya arek juga telah menjadi ciri khas karakteristik masyarakat.
Kehidupan rutin yang mewarnai aktivitas masyarakat pedesaan tidak
144
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
lepas dari aktivitas ritual keagamaan seperti pengajian, tahlilan,
khajatan, yasinan dan lain-lain bagi kelompok Santri, sementara bagi
sebagian kelompok Abangan khajatan menjadi ciri khas mereka,
ditambah dengan berbagai aktivitas kesenian yang merupakan ciri
khas Abangan seperti jaranan (kuda lumping) dan Bantengan.
Namun di sisi lain, karena masyarakat pedesaan di Malang Raya
secara ekonomi kurang, maka dorongan untuk mendapatkan sesuatu
yang bernilai ekonomi juga menjadi daya tarik bagi mereka. Walaupun
dalam masyarakat di Malang Raya kerukunan, kebersamaan masih
menjadi bagian dari tata nilai yang mereka anggap baik, namun
dalam prakteknya aspek ekonomi sedikit demi sedikit telah mengikisnya. Dalam acara-acara ataupun kegiatan-kegiatan yang sifatnya
sosial, khususnya tentang kegiatan pembangunan di lingkungan yang
membutuhkan kerja bersama (gotong royong), tidak semuanya sadar
untuk ikut karena dianggap tidak ada uangnya. Akan tetapi kalau
ada kegiatan yang sifatnya mendapatkan imbalan, masyarakat
banyak yang rebutan dan bahkan menjadi bahan pertentangan di
antara mereka. Kondisi ini saya lihat lebih banyak berasal dari
kelompok masyarakat Abangan, khususnya kaum muda Abangan.
Sementara dalam kalangan Santri, aktivitas yang mereka
lakukan sering berkaitan dengan Mesjid atau Langgar. Kelompok
Santri ini, apabila sudah menjadi bagian dari komununitas yang
bergelut dalam bidang keagamaan, seperti pengajian rutin, maupun
acara-acara lain seperti mendoa’kan arwah leluhur yang sering
dibacakan setiap kamis dan jum’at pagi, menunjukan ada keengganan
untuk terjun ke dalam kegiatan yang terkait dengan lingkungan
seperti kerja bakti. Menurut hasil pengamatan, aktivitas keagamaan
yang mereka lakukan, juga tidak lepas dari aspek-aspek ekonomi.
Dalam acara pengajian rutin yang dilaksanakan setiap jum’at, warga
sekitar Mesjid atau Langgar selalu memberikan makanan dan
minuman “jajanan” untuk mereka yang mengaji. Dan acara
mendoa’kan arwah leluhur, ternyata setiap keluarga yang akan minta
dibacakan ditarik sejumlah uang. Untuk satu orang yang telah
meninggal dipungut dua ribu rupiah dan selebihnya seribu rupiah.
Artinya, apa yang dilakukan oleh masyarakat sebenarnya baik sosial
maupun agama selalu ada motif ekonomi dibalik apa yang mereka
kerjakan.
145
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Kondisi di atas berimplikasi pada aktivitas di luar yaitu politik.
Setiap kegiatan yang akan melibatkan warga, maka jangan harap
akan berhasil atau didukung apabila tidak ada nilai ekonominya. Baik
itu kegiatan kampanye, maupun pemilu masyarakat memandang
tidak ada gunanya jika tidak ada reward ekonomi bagi mereka. Oleh
karena itu jangan harap ada calon yang akan dipilih apabila calon
itu tidak dikenal secara dekat oleh masyarakat walaupun calon itu
punya kapabilitas dan kredibilitas baik tanpa adanya pendekatan
sosial dan ekonomi kepada masyarakat. Disamping itu, jangan harap
ada calon yang dipilih oleh kelompok yang secara ideologis berbeda.
Bagi masyarakat Abangan sangat sulit untuk menerima seorang Santri
menjadi calon dari partai Abangan. Begitupun bagi kalangan Santri
sangat sulit menerima calon dari kelompok Abangan untuk menjadi
calon dari partai Islam.
Kenyataan pada pemilu 1999 dan 2004 masih adanya calon
yang punya kapabilatas dan kredibilitas baik dan secara kultur
berbeda dengan kultur partainya, tidak lain dan tidak bukan karena
masih dipakainya nomor urut dalam sistem pemilu. Manyarakat tidak
melihat orang yang akan duduk di parlemen atau calon anggota
legislatifnya, namun hanya melihat pada partai yang akan mereka
coblos. Pada pemilu 1999 dan 2004 banyak calon yang sebenarnya
tidak jelas asal-usul serta treck record-nya namun karena euporia
masyarakat akan perubahan, lantas masih adanya keyakinan bahwa
pemilu itu diwajibkan seperti jaman Orde baru, maka partisipasi
masyarakat dalam pemilu cukup tinggi. Namun ke depan, apabila
partai politik tidak melakukan pendekatan khusus berupa penguatan
ideologis, maupun pendekatan bersifat sosial ekonomi jangan harap
partai tersebut akan mendapatkan suara yang signifikan. Begitupun
partisipasi pemilih, apabila partai tidak mampu meyakinkan
konstituennya, walupun mereka tetap mengidentifikasikan dirinya
sebagai partai tersebut, tapi dukungan yang mereka berikan belum
tentu menjadi suara karena bisa saja mereka akan menghanguskan
suaranya dengan cara tidak mendatangi bilik suara.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, partai-partai yang
sukses meraih suara yang signifikan tidak lepas dari konsekuensi
ideologis dan sosial ekonomi. Walaupun ada hal lain yang menurut
hemat penulis, keluar dari alur itu berkenaan dengan partai yang
146
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
memperoleh suara karena figur, seperti Partai Demokrat dengan figur
Soesilo Bambang Yudhoyono yang sekarang jadi Presiden. Walaupun
sebenarnya di antara masing-masing partai yang besar selalu ada
figurnya seperti Gus Dur di PKB, Amin Rais di PAN, Megawati di
PDIP, namun itu semua berkaitan dengan simbol personal ideologis
yang diusung dan masyarakat menjadikannya dia sebagai representasi
/simbolisasi dari ideologi atau kelompok mereka.
Partai Keadilan Sejahtera yang pada pemilu 2004 telah
mengejutkan kontelasi politik nasional, ternyata keberhasilan mereka
tidak lepas dari dijalankannya kedua hal tersebut yaitu penguatan
ideologis dan pendekatan sosial ekonomi. PKS yang didukung
kalangan intelektual muda di kampus-kampus, khususnya di kampus
negeri seperti Unibraw, Universitas Negeri Malang, STAIN Malang
tidak putus melakukan kaderisasi dengan Tarbiyahnya sebagai dasar
penguatan ideologi. Disamping itu, kegiatan-kegiatan lain yang
sifatnya sosial dan ekonomi juga mereka jalankan. Banyak kaderkader PKS turun ke desa-desa hanya untuk memberikan bantuan
berupa pengobatan gratis ataupun bantuan sembako. Banyak
masyarakat yang terkesan kepada PKS karena aktivitas sosialnya
yang dilakukan oleh kader-kadernya. Tidak jarang, jika terjadi
bencana di suatu desa, para kader PKS menjadi kelompok yang
pertama dalam memberikan bantuan tanpa memakai atribut partai.
Ketika mereka tahu bahwa yang melakukan pengobatan gratis, yang
melakukan bantuan sembako adalah kader-kader dari PKS, warga
yang dibantu serta merta dalam pemilu memberikan dukungannya
kepada PKS.
Salah seorang aktivis politik dari PAN, menuturkan kepada
penulis berkenaan dengan alasan kenapa PKS banyak mendapat
simpati dan dukungan.
Secara intensif mereka memang terus mengadakan
kegiatan-kegiatan baik yang bersifat formal ataupun informal,
beberapa kali juga didatangi oleh teman teman PKS untuk
mengadakan kegiatan pengobatan massal di tempat saya.
Mereka juga tahu betul tentang saya meskipun sudah tidak
menjabat kepengurusan PAN dan DPC tetapi beberapa kali
datang ke rumah diminta untuk dijadikan tempat pembagian
sembako, pengobatan gratis dan itu pun dilakukan setelah
147
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
pemilu dilaksanakan. Justru sebelum pemilu mereka menjaga
jarak. Dalam arti bagi mereka yang aktif di partai mungkin
hanya pendekatan-pendekatan secara struktural dan aktif
intensif pada pertemuan-pertemuan saja.
Bagi yang memilih Golkar, banyak di antara mereka yang telah
menikamti keuntungan dari Golkar seperti pembangunan infrastruktur jalan, listrik, air minum, koperasi dan lain lain. Oleh karena
itu untuk wilayah-wilayah yang secara ekonomi berkembang seperti
di daerah Pujon yang mempunyai koperasi untuk petani, khususnya
koperasi susu sapi sangat fanatik mendukung Golkar. Disamping itu
memang para anggota dewan dan petinggi partai di Golkar
mempunyai kelebihan sumber daya manusianya. Hal ini telah menjadi
kelebihan dari Golkar untuk mendapatkan suara cukup signifikan
dalam setiap pemilu. Di sisi lain, akibat monopolitisasi partai politik
yang mengharuskan PNS memilih Golkar juga telah berdampak pada
dukungan pemilih pasca Orde baru. Sebagian besar keturunan dari
orang tua yang bekerja sebagai PNS, dalam setiap pemilu pasca
reformasi memberikan pilihan politiknya pada Golkar. Dengan upaya
sekasur, sedapur, sesumur sangat efektif menggalang massa di akar
rumput untuk kesuksesan Golkar dalam memenangkan pemilu.
Salah satu petikan hasil wawancara penulis dengan warga di
Kota Batu mengenai alasan-alasan kenapa masyarakat memilih partai
politik, sebagai berikut:
Saya secara pribadi tidak memilih Golkar. Mereka yang
memilih Golkar disebabkan pengaruh keluarga, walaupun
sekarang mereka tidak menjabat pegawai negeri sipil, namun
banyak keluarga yang sudah tersosialisasi cukup lama dengan
Golkar pada akhirnya semua keuturunannya banyak yang
memilih Golkar dalam pemilu. Kita ketahui bahwa pada jaman
Orde Baru mereka yang punya jabatan di pemerintahan secara
eksplisit diwajibkan untuk memenangkan Golkar, bahkan
banyak tekanan-tekanan dari aparat kepada masyarakat pada
saat itu untuk mencoblos Golkar. Disamping itu ABRI didesa
dengan memelalui babinsa, juga melakukan tekanan tekanan
sehingga babinsa menjadi alat pressure pada masyarakat.
148
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
Orang memilih PPP masa Orba karena merupakan partai
Islam dan ada gambar ka’bah yang menjadi simbolnya. Oleh
karena itu banyak pemilih Tradisional memilih PPP walaupun
banyak tekanan dari aparat maupun pemerintah. Banyak dari
masyarakat yang rela dan setia untuk mendukung PPP karena
mereka menganggap dengan memilih PPP berarti sudah bisa
menjalankan dan membela Islam. Apalagi dalam gambar PPP
ada ka’bah nya yang merupakan simbolisasi dari Islam. Melihat
kenyataan ini pemerintah merasa perlu untuk melakukan
rekayasa, sehingga pemerintah meminta diganti, dan berhasil
karena PPP bisa di acak-acak.
Keuntungan Golkar punya sumber daya manusia yang
bagus, dari etika orang Golkar beda dengan orang-orang PDI.
Konsep Golkar adalah sumur dapur, kasur yang sampai
sekarang masih ada. Untuk PNS yang milih Golkar umumnya
orang-orang lama, PNS baru tidak lagi terikat oleh Golkar dan
bebas memilih partai-partai lain.
Kemenangan Golkar pada pemilu 2004 tidak hanya disebabkan
oleh warisan Golkar pada masa Orde baru, akan tetapi juga dikarenakan Golkar melakukan berbagai langkah agar partai berlambang
pohon beringin ini tetap eksis dalam masyarakat. Disamping
melakukan kaderisasi rutin dalam rangka penguatan ideologi partai
bagi para kadernya, juga melakukan pendekan sosial dan ekonomi
pada masyarakat. Kegiatan ini menurut salah seorang mantan ketua
DPD Golkar yang sekarang ini menjabat sebagai Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Daera Kota Batu, Mashuri dilakukan secara rutin
oleh setiap anggota dewan di masing-masing daerah pemilihannya.
Dalam melakukan kegiatan sosial tersebut didanai oleh individuindividu anggota dewan dari dapil masing-masing, termasuk dia
sendiri melakukan hal tersebut untuk dapilnya yang ada di Bumiaji.
Mashuri kegiatan membantu lingkungan seperti pembangunan
Langgar, Mesjid, perbaikan jalan, gorong-gorong atau pun yang
lainnya, Mashuri menamakannya sebagai “shodakoh sosial”. Secara
lengkap penulis mengutif hasil petikan wawancara dengan mantan
Ketua DPD Golkar, sebagai berikut:
149
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Manusia sebagai kader politik Golkar agar sesuai dengan
yang kita harapkan ada cara atau model yang dilakukan agar
masyarakat tetap mendukung partai yaitu salah satunya melalui
kontrak politik untuk memperjuangkan mengenai hal-hal yang
diinginkan warga. Sebagai contoh bagi masyarakat yang
kampungnya kumuh, partai berjuang untuk menjadikan kampung
itu lebih baik agar masyarakat disekitar itu mempunyai semangat untuk mendukung partai. Disamping itu, partai Golkar
melakukan sosialisasi doktrin-doktrin politik lewat dialog agar
mereka mempunyai pandangan yang sama dalam negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), agar menjadi masyarakat
yang punya moral kader bangsa, yang titik beratnya membela
bangsa dan negara, UUD’45.
Program-program Golkar yang dilakukan kepada masyarakat selama ini, antara lain: Melakukan pendidikan dan latihan
kepada masyarakat; melakukan pendekatan-pendekatan secara
manusiawi; pendekatan-pendekatan dengan memper-juangkan
pembangunan kepada komunitas yang mereka tempati; memberikan bantuan, khususnya bantuan finansial kepada mereka.
Sebagai contoh kami telah memberikan bantuan kepada komunitas yang ada di wilayah pak Kirun (orang yang sering mendapat
bantuan untuk warga), berupa bantuan semen, pasir, batu
merah sebagai perangsang agar mereka mau melaksanakan
pembangunan di kampung-kampung.
Dana untuk memberikan bantuan langsung kepada warga
didapat dari fraksi-fraksi, dimana wakil-wakil yang duduk di
fraksi harus memberikan sebagian rizkinya untuk kepentingan
lingkungan atau yang lebih halusnya uang yang mereka dapat
sebagian dishodakohkan kepada dapil-dapil mereka masingmasing. Seperti saya pribadi, sebagai kader partai banyak
membantu kampung-kampung, daerah-daerah yang merupakan dapil saya. Sebagai contoh di Desa Torongrejo ada pak Kirun
yang merupakan kader Golkar, saya melalui dia banyak membantu baik berupa semen, pasir, batu merah, dan lain-lain untuk
kepentingan kampung, RT-RT, RW-RW, yang sifatnya kecil-kecil
seperti 10 sampai 20 sak semen dan dimana-mana ada.
150
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
Selain melalui kegiatan yang bersifat fisik, kader Golkar
juga melakukan komunikasi sosial kepada seluruh elemen
masyarakat. Partai Golkar secara nasional punya ikrar “manabakti”
yang salah satu ikrarnya adalah kasih sayang berwatak setia
kawan. Oleh karena itu Partai Golkar tidak mau menghujat
pihak lawan maupun kawan. Karena punya sifat setia kawan,
apa itu orang sini ataupun orang bukan sini kalau perlu dibantu
kita akan bantu.
Disini ada 25 wakil saya kira semua sama, semua ingin
memperjuangkan dapil masing-masing. Bagi Golkar tidak hanya
memperjuangkan dapil-dapil wakil Golkar tapi menyeluruh.
Cuma tulang punggungnya adalah kader-kader Golkar yang
ada di daerah tersebut. Dalam masyarakat masih ada kelompokkelompok yang membina hubungan dengan wakil-wakilnya,
karena masing-masing partai tidak mau kehilangan konstituennya. Mereka tetap membina hubungan dengan konstieuennya.
Berkurangnya suara partai, selain adanya partai baru, juga
karena adanya pemilih yang tidak konsisten akibat dari kesalahan kader-kader partai yang tidak mau memperhatikan dapildapilnya, atau mereka tidak mau memberikan sodakohnya
kepada dapil mereka.
Berbeda dengan kasus PKS dan Golkar, PKB pada pemilu 2004
mengalami penurunan jumlah suara yang cukup besar. Menurut
hemat penulis, disamping PKB yang sering dilanda konflik, menurunnya suara PKB diakibatkan oleh perilaku elit partai yang hanya
mengutamakan pendekatan keagamaan, sementara lalai dalam
memberikan kontribusi sosial ekonomi pada konstituennya. Hasil
temuan lapangan menunjukan bahwa PKB lebih sering berhubungan
dengan tokoh agama secara langsung ketimbang turun kepada
masyarakat. Para tokoh agama seperti kyai, Ulama, maupun ustadz
banyak yang menjadi mendiator antara tokoh politik dengan
masyarakat, atau menjadi juru kampanye bagi PKB. Tampaknya
sudah menjadi kewajiban moral bagi sebagian tokoh agama untuk
mendukung PKB, walau ada juga nilai ekonomi yang didapatkan
dari para tokoh politik atau partai. Umumnya para tokoh politik
datang ke pondok pesantren untuk bersilaturahmi dengan pimpinan
151
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
pondok, mereka datang tidak dengan tangan hampa. Biasanya tokoh
partai politik datang minimum memberikan amplop kepada kyai
dengan alasan untuk membantu aktivitas pondok. Akan tetapi tidak
jarang, juga berbagai pondok ataupun madrasah yang umumnya
dipunyai oleh kyai, ulama atau ustadz mendapatkan bantuan pembangunan dari pemerintah karena perjuangan dari anggota dewan yang
didukungnya.
Dengan demikian, para tokoh politik yang ingin berhubungan
dengan masyarakat, khususnya kalangan Santri Tradisional, selalu
melalui kyai-nya. Dan apabila tokoh politik itu tidak dapat memberikan konstribusi yang bersifat ekonomi, walaupun kedatangan mereka
diterima, namun tidak menjadi dukungan rill dalam pemilu.
Sementara di sisi lain masyarakat tidak pernah merasakan kebaikan
yang diberikan oleh para anggota dewan dari PKB, dan di sisi lain
mereka tahu bahwa para tokoh agama itu mendapatkan sesuatu dari
para calon, maka pada akhirnya sedikit demi sedikit banyak dari
pemilih kalangan Santri itu melakukan perlawanan dengan tidak
datang ke bilik suara atau memilih banyak partai, dan paling ekstrim
mereka mengalihkan pilihan politiknya ke partai lain. Tidak sedikit
dari kalangan Santri Tradisional ini dalam pemilu 2004 memilih partai
Islam selain PKB, yaitu ke PKS, Golkar, atau bahkan Demokrat.
Hal yang paling sulit bagi kalangan Santri Tradisional untuk
mengalihkan pilihan politiknya ke PAN. Berdasarkan hasil temuan
lapangan alasan utama sulitnya pemilih Santri Tradisional mendukung PAN adalah dikotomisasi kelompok keagamaan antara NU dan
Muhammadiyah, disamping secara sosial dan kultural berbeda dalam
kehidupan keseharian di masyarakat. Pertentangan antara NU dan
Muhammadiyah di tingkat grass root juga dipelihara oleh elit Santri
Tradisional untuk memperkokoh solidaritas dan kekompakan
kelompok. Pengaruh yang datang dari kelompok Santri Modernis
dianggap akan mengancam eksistensi tokoh agama khususnya kyai
di masyarakat. Selama ini, tetap berdirinya wibawa kyai di mata
masyarakat karena masih adanya ritual keagamaan yang menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat, dan akan selalu melibatkan kyai.
Dengan demikian, mau tidak mau, masyarakat akan membutuhkan
kyai dari mulai kelahiran, perkawianan, sampai kematian. Oleh
karena itu, eksistensi ritual keagamaan ini telah melembaga dan
152
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
sekaligus menjadi indikator sosial bagi masyarakat untuk menentukan
status sosial ekonomi. Banyak yang mereka tidak mampu untuk
melakukan khajatan dalam memperingati hari kematian keluarganya,
terpaksa mereka mengada-ada dengan cara pinjam tetangga karena
takut dikatakan tidak mampu. Mereka sebenarnya tidak mengerti
betul bahwa apa yang dilakukan oleh mereka adalah bagian dari
kewajiban Islam. Satu jawaban yang sempat terlintas dari warga yang
penulis wawancarai, malu kalau tidak melakukan khajatan, takut
dikatakan tidakmampu.
Bagi PDIP yang pada pemilu 2004 mengalai penurunan suara
yang sangat tajam, pada dasarnya hampir sama aktivitasnya dalam
melakukan pendekatan sosial ekonomi kepada masyarakat. Bahkan
PDIP dalam setiap pemilu cukup royal dalam “menjamu” pemilihnya
dalam setiap kesempatan kampanye. Berbagai bantuan kepada warga
juga diberikan, termasuk untuk kepentingan-kepentingan sosial
seperti bantuan perbaikan jalan, jembatan, gorong-gorong seperti
yang ada di dusun caru Kota Batu. Di dusun ampeldento Kecamatan
Karangploso Kabupaten Malang yang sempat penulis survey, PDIP
memberikan bantuan berupa pembuatan sumur bor untuk keperluan
warga yang membutuhkan air bersih.
Sementara kegagalan PDIP mempertahankan hasil pemilu 1999,
menurut salah seorang warga, Aguk yang berprofesi sebagai tukang
ojek, yang juga merupakan simpatisan PDIP menyatakan bahwa
kekalahan PDIP pada pemilu 2004 akibat dari kebijakan Megawati
yang ketika menjabat sebagai presiden tidak memperhatikan wong
cilik. Pada saat Megawati menjadi Presiden, di kota-kota, khususnya
di Jakarta banyak terjadi penggusuran lahan maupun penertiban
pedagang kaki lima yang nota bene adalah kebanyakan pendukung
PDIP. Pada akhirnya, sebagian pemilih yang mencoblos PDIP pada
Pemilu 1999 mengalihkan suaranya ke partai lain, terutama partai
baru yang menurut mereka punya harapan untuk perubahan. Hasil
survey di Malang Raya yang pernah dilakukan dilakukan penulis
sebelum tulisan ini dibuat, pemilih dari PDIP banyak mengalihkan
suaranya ke Partai Demokrat dan sebagian lagi ke partai lain.
Walaupun demikian, sebenarnya suara PDIP menurut banyak
pemerhati politik, suara pada pemilu 2004 itu merupakan suara rill
dari PDIP. Sementara suara pada pemilu 1999 merupakan suara yang
153
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
datang dari pemilih yang melakukan Swing Votes. Dan pada pemilu
2004 pemilih Swing Votes PDIP itu kembali lagi ke partainya semula
atau mengalihkan pilihan politiknya ke partai lain.
Kalau dilihat dari data yang ada, pada saat ini konstituen PDIP
masih yang terbanyak. Pada pemilu 2004, Kabupaten Malang dan
Kota Malang tetap masih dikuasi oleh PDIP. Sementara Kota Batu,
selisih suara antara Golkar yang memenangkan pemilu tidak jauh
selisihnya dengan PDIP. Keberhasilan PDIP mendominasi suara pada
setiap pemilu di Malang Raya tidak lepas dari kuatnya kelompok
Abangan di Malang Raya. Walaupun Malang Raya terkenal dengan
masyarakat religius, karena banyaknya pesantren dan pendidikan
agama, namun sebenarnya sebagian besar masyarakatnya punya
kedekatan secara historis dengan Abangan. Oleh karena itu, sebagian
masyarakat Malang Raya walaupun mereka ikut aktivitas ritual
keagamaan yang sering dilakukan oleh kelompok Santri Tradisional,
namun pilihan politiknya tetap pada partai politik Abangan yaitu
PDIP. Tidak mengherankan apabila di Jawa Timur banyak Kepala
Daerah yang (Bupati/Walikota) yang berasal dari partai PDIP.
Walaupun demikian, ada ciri khas yang secara gari besar membedakan setiap wilayah yang ada di Malang Raya yang membedakan
antara satu daerah dengan daerah lainya. Sebagai contoh Kecamatan
Lawang, Singosari dan Pakis. Lawang mayoritas masyarakatnya
mempunyai rasa Nasionalisme yang tinggi, dan pendidikan mereka
cukup. Singosari, masyarakatnya religius, umat Muslimnya sangat
besar, jadi untuk wilayah ini banyak pondok-pondok pesantren,
sekolah atau madrasah Islam dan kegiatannya pun banyak terkait
dengan keagamaan seperti pengajian. Sedangkan untuk Pakis,
masyarakatnya religius dan Nasionalis, namun masyarakatnya
mudah terpecah belah.
Di luar alur identifikasi kepartaian dari kelompok Abangan
terhadap PDIP, keberhasilan PDIP mendominasi suara dalam Pemilu,
juga karena dilakukannya pendekatan pada masyarakat. Salah
seorang tokoh PDIP, yang juga mantan Ketua DPRD Kota Malang
menyebutkan bahwa PDIP punya concern yang besar dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Walaupun demikian
ia mengakui bahwa tidak semua program kepada masyarakat itu
154
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
dapat direalisasikan dengan baik. Beberapa program kerja yang jadi
prioritas PDIP, Sri Rahayu mengungkapkan sebagai berikut:
“Meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya
masyarakat miskin melalui perbaikan di sektor ekonomi dengan
mendirikan koperasi, memberdayakan pedagang kecil dan
usaha-usaha lain yang diinginkan oleh masyarakat. Disamping
itu kami juga punya misi lain yaitu: Memberantas korupsi,
memperbaiki pendidikan khususnya di wilayah Kota Malang,
menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan dan profesional, pemerataan pembangunan di segala bidang, melakukan
survey pada masyarakat, memberikan bantuan di bidang
kesehatan, ekonomi, sosial, dan keamanan.”
Selanjutanya menurut, Sri Rahayu, kegagalan PDIP pada pemilu
2004 banyak diakibatkan oleh tidak ditepatinya janji-jani partai yang
disampaikan saat kampanye 1999. Oleh karena itu, menurutnya,
sekarang PDIP sudah mulai menyusun agenda bagi peningkatan kehidupan ekonomi, khususnya masyarakat miskin. Beberapa agenda
yang dibuat PDIP merupakan hasil serapan dari aspirasi masyarakat
dan akan diupayakan lewat berbagai keputusan dan kebijakan yang
ada dalam mekanisme di dewan agar sinergi dengan kebijakan eksekutif.
Untuk Partai Demokrat, walaupun selama ini dikenal dengan
partainya SBY, karena menjadi daya tarik utama dalam partai ini,
akan tetapi menurut penuturan Eko Budi Prasetyo, sebagai anggota
Dewan Kabupaten Malang dari partai Demokrat, juga telah melakukan berbagai pendekatan pada masyarakat. Menyadari bahwa partai
Demokrat belum mempunyai basis massa yang jelas, partai ini
berusaha untuk meraih semua segmen masyarakat baik yang Abangan
maupun Santri. Oleh karena itu partai demokrat menyebutkan dirinya
sebagai partai “Nasionalis-Religius”. berupaya untuk mengidentifikasi
kondisi sosial masyarakat yang memang sudah dilakukan oleh partaipartai lain. Termasuk
Pada saat seorang wakil rakyat duduk di dewan, mereka
harus lentur dan fleksibel, termasuk saya boleh bicara fanatic
tapi hanya boleh di kelompok, tapi kalau kita sudah keluar ke
masyarakat harus lentur, harus bisa diterima oleh kawan-kawan
politik. Misalnya kalau kita bicara dengan tukang ojek, tidak
155
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
pantes kalau kita ngomong masalah isu politik sekarang, yang
pasti terjun ke masyarakat. Tunjukan bukti ke masyarakat ditanya
apapun harus tau, jangan menghindar. Saya juga mencoba
fleksibel tidak membeda-bedakan warna baju, warna kulit, kita
harus bisa memberikan bantuan, solusi, ada pemikiranpemikiran yang bisa memecahkan masalah, tidak hanya materi
yang diandalkan. Karena masyarakat tidak butuh kader yang
mementingkan materi, percuma kalau banyak uang tapi tidak
bisa mengerti permasalahm yang terjadi, karena disitulah yang
bisa tergali yang sebenarnya, dan pada saat sekarang terus saya
terapkan.
B. Upaya Dan Peran Figur
Kedekatan secara emosional terhadap pemimpin, tokoh, atau
figur nasional dari partai politik tertentu dalam pemilu era multipartai
pasca reformasi cukup menonjol dalam kesuksesan partai meraih
suara. Tokoh-tokoh nasional yang relatif dikenal luas secara nasional
adalah variabel yang relatif independen untuk menarik massa agar
memilih partai di mana sang tokoh merupakan pimpinan di partai
tersebut. Orang memilih Golkar, PDI-P, PKB, PAN, PPP, PBB, dan
lain-lain bukan karena daya tarik partai-partai itu sendiri, tapi lebih
karena ada tokoh-tokoh nasional terlibat di pucuk kepemimpinan
partai.
Pada pemilu 1999, Habibie yang merupakan putra Sulawesi
telah medorong perolehan suara Golkar di Sulawesi dibanding dari
daerah- daerah lain, termasuk dari Jawa. Keunggulan PDI-P atas
partai-partai lain yang punya kesamaan historis dan sosiologis seperti
PDI Budi Hardjono, PNI Supeni, PNI Marhaen, dan lain-lain juga
karena karena ketokohan Megawati sebagai Putri Soekarno. Selain
itu, ia merupakan tokoh yang sangat tidak diuntungkan sepanjang
sejarah politik Orde Baru yang secara nasional mendapat ekspos
cukup besar dari media massa. Kemenangan PAN relatif terhadap
partai-partai Muslim modernis lain seperti PBB, PK, Partai Masyumi,
sebagian besar dapat dijelaskan dengan kehadiran Amien Rais sebagai
tokoh nasional di pucuk kepemimpinan partai tersebut.
Keunggulan pengumpulan suara PKB dibanding partai-partai
NU yang lain seperti PNU, PKU, dan Partai Suni, dan bahkan PPP
156
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
sendiri, merupakan hasil dari ketokohan Gus Dur di partai tersebut,
bukan karena faktor ke-NU-an itu sendiri. Sebab kalau ke-NU-an itu
sendiri yang dominan, maka partai-partai NU yang lain juga akan
mendapat suara yang cukup hingga PKB tidak keluar sebagai partai
NU yang besarnya mencolok dibanding partai-partai NU yang lain.
Kasus pemilu 2004, besarnya perolehan suara Partai Demokrat
juga berkat dari figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebagai figur
yang berlatar belakang militer dan juga punya hubungan dengan
Sarwo Edi sebagai mertua, yang pernah berjasa dalam penumpasan
gerakan 30.S/PKI. Bahkan dengan perolehan suara 7 % telah
menghantarkan SBY menjadi Presiden terpilih langsung pertama pada
pilpres 2004.
Karena Partai Demokrat sangat diwarnai oleh popularitas SBY,
maka citra Partai Demokrat, naik dan turunnya sejalan dengan naiknya citra SBY. Hal ini sangat disadari oleh para kader Partai Demokrat
di Malang Raya, dimana saat tahun 2004 orang terbius oleh yang
namanya SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Untuk mempertahankan suara yang diperolehnya, para kader Partai Demokrat berusaha
mensosialisasikan siapa itu SBY, dan keberhasilan-keberhasilan
pemerintah yang merupakan nilai positif bagi Presiden SBY, dengan
harapan punya imbasan pada citra Partai Demokrat.
Isu yang pertama karena itu ditahun 2004 SBY adalah
capres sehingga dari kader saya punya kewajiban untuk
mensosialisasikan siapa itu SBY yang penting adalah SBY orang
jawa timur asli dari pacitan, dan suatu kebanggaan tentu jika
pemimpin kita berasal dari Jawa Timur. Kemudian alasan yang
kedua SBY adalah berasal dari unsur ABRI, seorang TNI adalah
seorang ksatria. Saya berusaha menjaga image citra masyarakat,
saya berusaha mengkritisi karena saya yakin masyarakat tidak
berharap janji-janji tapi butuh realita, walaupun kecil tapi
terwujud, itu yang merupakan kebanggaan bagi masyarakat
(Subur Triono, 2004).
Mengingat besarnya peranan figur populaer dalam meningkatkan perolehan suara partai, maka pada pemilu selanjutanya (2009),
banyak partai yang juga mengandalkan figur populer untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Banyak figur-figur terkenal baik dari
kalangan akademisi, artis, olahragawan direkrut oleh partai menjadi
157
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
anggota dan bahkan menjadi caleg dari partai bersangkutan. Di PDIP
ada Diyah Pitaloka, dari kalangan artis; Miing tokoh komedi. Di Partai
Demokrat ada Komar yang berasal dari tokoh komedian, Aji Massa’id
dan Agnelia Sondah dari kalangan artis. Di Golkar ada Indra J. Piliang
dari akademisi; Icuk Sugiarto dari kalangan olahragawan; Tantowi
Yahya dari kalangan presenter. Di PAN ada Wanda Hamidah, Primus,
dan Ikang Fauji dari kalangan artis; Eko Patrio, Mandra dari kalangan
komedian dan lain lain. Bahkan PAN karena banyaknya caleg dari
kalangan artis, maka PAN singkatannya di plesetkan dengan partai
artis nasional.
Realitas di lapangan, caleg-caleg yang ikut dalam pemilu 2009
cukup mendapat apresiasi dari pemilih. Bahkan dengan adanya caleg
artis dalam satu partai, dapil dimana mereka di tempatkan dapat
mengangkat perolehan suara di dapil tersebut yang otomatis
mengangkat caleg Provinsi dan caleg Kota / Kabupaten. Contoh kasus
daerah pemilihn Madiun, Nganjuk, Ponorogo, dan Magetan yang
merupakan dapil caleg pusat Eko Patrio dapat mengangkat caleg Kota
/ Kabupaten yang pada pemilu lalu tidak ada yang lolos. Oleh karena
itu, di tengah persaingan yang ketat dalam pemilu 2009, PAN masih
bisa bersaing di papan tengah dengan perolehan suara sekitar 6 %
secara Nasional.
Di tingkat provinsi, figur-figur populer umumnya berasal dari
kelompok sektarian. Khusus di Provinsi Jawa Timur, banyak calegcaleg yang populer dari kalangan agamawan dicalonkan menjadi
caleg, khususnya dari kelompok Santri Tradisional. Tokoh struktural
maupun tokoh kulutural NU banyak yang direkrut untuk menjadi
caleg partai, utamanya partai yang punya kesamaan secara sosiologis
dengan NU seperti PKB, PPP, PKNU.
Sementara untuk tingkat Kota dan Kabupaten, khususnya di
Malang Raya, figur-figur yang jadi andalan dalam perolehan suara
disamping figur populer dari segmen masyarakat, juga figur
pengusaha yang dianggap punya modal ekonomi. Tokoh-tokoh
masyarakat dari kalangan kyai, mantan Kepala Desa, istri perangkat
Desa, keluarga dari birokrat seperti Camat banyak yang mencalonkan
diri sebagai caleg, dan terbukti banyak yang berhasil lolos menjadi
anggota Dewan. Caleg-caleg berasal dari tokoh masyarakat, umumnya mereka menjadi caleg dari partai-partai baru atau dibarukan yang
158
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
ikut pemilu 2009 seperti PIB, PKNU, Hanura, Gerinda dan lain-lain.
Sebagai contoh di Kota Batu, Saudah istri mantan Camat Junrejo lolos
menjadi anggota Dewan dari Partai Indonesia Baru (PIB), Nur Jayanti
istri Carik Desa Pendem lolos menjadi anggota Dewan dari Partai
Hanura.
Pola kepemimpinan kharismatik, serta budaya paternalis di
kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, bisa menjelaskan
variasi ketokohan tersebut. Dalam konteks politik di Tanah Air sejarah
tokoh pada umumnya ternyata lebih panjang dari pada sejarah partai
itu sendiri.
Kekuatan partai politik di Tanah Air kemudian akan banyak
ditentukan sejauh mana partai-partai tersebut mampu melakukan
rekrutmen terhadap tokoh-tokoh yang populer di mata massa pemilih.
Kemampuan elite partai untuk membangun citra yang positif
terhadap tokoh partai dan kemampuan untuk mensosialisasikan citra
yang positif ini secara massif lewat media massa merupakan poin
krusial bagi perkembangan dan kekuatan partai di masa yang akan
datang. Dari sini partai politik akan semakin terlembaga, yang pada
gilirannya akan menjadi kekuatan yang relatif otonom untuk menarik
masa pemilih. Akan tetapi secara umum penulis memperkirakan
ketokohan tetap merupakan faktor krusial, dan setidaknya dalam
jangka pendek dan menengah ketokohan akan menjadi tulang
punggung untuk menarik massa pemilih di Malang Raya, khususnya
bagi partai yang tidak basis pemilih tradisional yang jelas.
C. Upaya Partai Politik Dan Pola Hubungan
1. Upaya Partai Politik dan Pilihan Basis Massa
Upaya yang dikembangkan partai politik dengan menekankan
pada Ideologis telah melahirkan pola hubungan yang bersumber pada
basis massa masing-masing, Partai Islam menjalin hubungan dengan
Kelompok Santri dan Partai Nasionalis berhubungan dengan
Kelompok Abangan. Pola hubungan berbasis massa pemilih dicirikan
dengan adanya ikatan yang kuat antara partai dengan konstituennya.
Bahkan karena kedekatan partai dengan konstituennya yang sangat
kuat, maka pilihan politik mereka sangat fanatik. Pada saat kampanye,
bentuk fanatisme pemilih terhadap partai telah mengakibatkan
banyak terjadi bentrokan antara pendukung partai. Tidak jarang di
159
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
antara para pendukung partai berkelahi hanya karena saling ejek di
antara sesama pendukung partai seperti yang terjadi pada pemilu
1999 dan 2004.
Dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan dukungan
terhadap partai, banyak cara yang dilakukan baik yang dilakukan
oleh Partai Nasionalis maupun Partai Islam. Partai Islam, dalam
rangka memperkuat dukungan pemilihnya, cara yang sering
dilakukan adalah dengan menanamkan donktrin-doktrin partai yang
berasal dari ayat-ayat suci. Bahkan dalam kampanyenya pun, partai
Islam seperti PKB, PPP, maupun yang lain di setting seperti acara
pengajian. Para pendukung yang datang pun banyak berasal dari
kalangan yang secara sosiologis sama, artinya kalau yang melakukan
kampanye PKB atau PPP, maka partisipan kampanye yang datang
adalah mereka yang berasal dari kelompok santri Tradisional atau
NU.
Salah satu bukti bahwa tingkat fanatisme dari pemilih Santri
Tradisional tinggi adalah kerelaan mereka untuk mengikuti setiap
acara kampanye yang dilakukan oleh partai yang punya hubungan
historis dan sosiologis dengan NU, terutama PKB. Biasanya pemilih
tradisional PKB bersedia datang ke tempat kampanye dengan biaya
sendiri, salah satu alasan mengapa dia mau datang adalah untuk
mendengarkan ceramah agama. Dalam tradisi di kalangan partai
yang berbasis pemilih Santri Tradisional, kampanye biasanya di seting
sesuai dengan kultur mereka. Acara pengajian, Istighosah, tahlilan,
maupun kegiatan ritual keagamaan kadang dijadikan sebagai media
kampanye. Khusus pada acara kampanye akbar biasanya mendatangkan juru kampanye dari tingkat Nasional, dan Gus Dur menjadi
“ikon” sekaligus daya tarik bagi jamaah NU. Kedatangan Gus Dur
menjadi ajang dari pertemuan para pengikut setia dari kelompok
Nahdilyin. Kedatangan mereka ke acara kampanye juga biasanya
atas instruksi dari kyai lokal yang membina kehidupan sosial-religi
yang sangat instens di lakukan.
Di sisi lain, bagi Partai Nasionalis, kampanye yang dilakukan
pada pemilu 1999 banyak melakukan kampanye terbuka dengan
mendatangkan juru kampanye yang punya ikatan keluarga dengan
mantan Presiden Soekarno. Lepas dari banyaknya partai yang
mengatasnamakan pelanjut dari ideologi marhaen yang jadi ikon
160
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
ideologis dari Partai Nasionalis, PDIP menjadi satu-satunya partai
yang paling banyak mendapatkan saham politik dari PNI (parpol
peserta pemilu 1955). Megawati yang merupakan anak sulung dari
Soekarno, dan menjadi Ketua Umum PDIP, tidak bisa dipungkiri telah
menjadi representasi dari PDIP sebagai penerus ideologi marhaen yang
banyak mendapat dukungan dari kalangan wong cilik.
Dalam rangka mempertegas akan keberpihakan pada wong
cilik, PDIP selalu mencitrakan diri sebagai pembela wong cilik,
terutama pada massa Orde Baru. Sebagai konsekuensi dari
keberpihakannya pada wong cilik ini, PDI massa Orde Baru, dalam
kepemimpin selalu menjadi target pemerintah untuk dilemahkan.
Oleh karena itu kejatuhan pemerintahan Orde Baru menjadi
momentum baru bagi PDIP sebagai partai yang mengatasnamakan
diri sebagai partainya wong cilik dalam rangka meneguhkan jati
dirinya sebagai partai Nasionalis.
Dengan mengemas ideologi dalam upaya pemenangan pemilu
pada pemilu 1999, telah menempatkan PDIP sebagai partai yang
paling besar mendapatkan simpati dari pemilih. Di Malang Raya,
PDIP mendominasi perolehan suara dengan jumlah 162.818 suara
(41,22 persen) di Kota Malang, 510.450 suara (38,47 %) di Kabupaten
Malang. Partai Golkar yang pada saat Orde Baru selalu menjadi
pilihan politik pemilih hanya mampu meraup suara sekitar 16,04 %
di Kota Malang dan 18,32 % di Kabupaten Malang. Dengan perolehan
suara tersebut, PDIP menempatkan diri sebagai peringkat pertama
di Malang Raya.
Di sisi lain, Partai Kebangkitan Bangsa yang merupakan partai
yang berbasis pemilih Santri menempati urutan kedua tersebesar
setelah PDIP yaitu 19,60 % untuk Kota Malang dan 29, 57 % untuk
Kabupaten Malang, padahal secara nasional jumlah pemilih yang
memberikan suaranya ke PKB ini pada tahun 1999 hanya 12,62 %.
Hal ini bisa dipahami karena wilayah Jawa Timur, khususnya Malang
Raya merupakan basis dari Partai NU yang pada pemilu 1955
merupakan pemenang kedua setelah Masyumi. Sementara dukungan
pemilih pada partai Islam lainnya tidaklah signifikan, kecuali untuk
PAN yang punya basis pemilih golongan Islam Modernis mendapat
10, 53 % di Kota Malang.
161
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Sebagaimana hasil temuan dilapangan yang menunjukan
adanya alur yang sama dengan aliran politiknya Geertz, dimana
pemilih Santri memilih partai Islam, pemilih Abangan memilih partai
Nasionalis. Masyarakat Abangan di Malang Raya yang cukup besar
menunjukan identitas dirinya dengan memilih partai PDIP, begitupun
mereka yang Santri menunjukan identitas ke-Santrian dengan memilih
partai Islam. Jika dibandingkan antara golongan pemilih Abangan
dengan pemilih Santri, secara kuantitatif pemilih Abangan lebih besar,
walaupun Malang ini terkenal juga dengan masyarakat Islami. Karena
besarnya masyarakat Abangan ini, maka PDI-P Malang Raya memiliki
pendukung cukup banyak yang dibuktikan dengan pilihan politik
pemilih pada PDIP ketika pemilu 1999. Kemenangan PDIP di Malang
Raya hampir merata di setiap daerah (Kabupaten Malang, Kota
Malang, dan Kota Batu).
Dengan demikian, akibat dalam pemilu 1999 lebih menekankan
pada ideologi, maka pilihan basis massa masing-masing sejalan
dengan politik aliran. Partai Nasionalis, seperti PDIP, menggarap
pemilih Abangan, dan Golkar menggarap pemilih Priyayi. Sementara
Partai Islam, atau yang punya hubungan sosiologis dan historis dengan
pemilih Islam menggarap pemilih Santri. PKB, PPP menggarap pemilih
Santri Tradisional, dan PAN, PBB menggarap Santri Modernis.
2. Upaya Partai Politik dan Program Partai
Pemilu 2004 adalah pemilu kedua dalam masa transisi demokrasi.
Pada pemilu ini partai politik masih mengikuti alur budaya politik
aliran, begitupun para pemilihnya masih terjebak pada dasar pilihan
yang bersifat sektarian. Akan tetapi, stategi pemenangan pemilu yang
menekankan pada ideologis dari partai politik telah mengalami sedikit
pengembangan dengan dilakukannya stategi melalui pendekatan
yang berpola transaksional. Walau pemilu legislatif 2004 ini perilaku
politik masyarakat masih tidak berubah dan tetap sektarian, namun
ikatan mereka sudah berkembang yaitu tidak hanya ideologis namun
juga sudah ada transaksi politik.
Pola hubungan ideologis pada pemilu 2004 masih terlihat dalam
kampanye partai yang masih mengusung simbol-simbol partai
terutama figur historis partai yang berideologi Nasionalis. Dalam
pemenangan pemilu, elit partai dan caleg berusaha merebut segmen
162
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
pemilih masyarakat bawah dengan pendekatan perilaku Abangan
yang menjadi ciri khas sebagai besar masyarakat Malang Raya. Acara
hiburan atau panggung rakyat yang diadakan selalu menampilkan
citra kelas bawah seperti kesenian kuda lumping bantengan, atau
mengadakan dangdutan. Walaupun demikian, pada aras pusat,
starategi perluasan segmen pemilih juga dilakukan, yaitu dengan
melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh santri tradisionalis yang
cukup berpengaruh. Kondisi ini diharapkan terjadinya pelunakan
gap ideologis antara Santri dan Abangan di tingkat grassroot, agar
Santri tingkat identifikasi kesantriannya lemah dapat bergabung secar
politik ke PDIP yang Nasionalis.
Pola hubungan transaksional pada pemilu 2004 berlanjut pada
pemilu 2009, dan bahkan lebih massif. Hal ini bisa dilihat dari
banyaknya bantuan partai kepada masyarakat baik itu untuk pembangunan prasarana sosial, keagamaan maupun lingkungan. Hasil
observasi penulis, PDIP banyak sekali memberikan bantuan kepada
masyarakat seperti pembuatan sumur bor untuk kepentingan air bersih
masyarakat, bantuan untuk plengsengan saluran air dan lain-lain.
PKB banyak memberikan bantuan untuk sarana dan prasarana keagamaan seperti bantuan pembangunan mesjid, langgar, pesantren.
Golkar dan PKS lebih terpolarisasi dalam memberikan bantuan, mereka
disamping memberikan bantuan berupa sarana dan prasarana sosial
dan lingkungan, juga prasarana keagamaan. Khusus bagi PKS,
pemberian atau bantuan sosial juga direalisasikan dalam bentuak
pengobatan gratis dan bantuan sosial lainnya seperti bantuan penanggulangan bencana alam yang sering terjadi Malang Raya baik itu
berupa longsong, banjir dan lain sebagainya.
Hasil lapangan menunjukan bahwa pemilih Abangan tetap
mendominasi. Dalam pemilu 2004, walaupun terjadi pergeseran
pilihan politik pemilih dimana PDIP yang pada pemilu 1999
mendapatkan dukungan pemilih sebesar 33,76 % secara nasional,
turun menjadi 19,58 %, tetapi secara keseluruhan masih menunjukan
dominasinya di Malang Raya. Untuk wilayah Malang Raya, PDIP
memperoleh 28,97% untuk Kabupaten Malang, 25,84 % Kota Malang,
dan 19,88 % untuk Kota Batu. Sementara urutan kedua diduduki
oleh PKB dengan perolah suara 25,72 % untuk Kabupaten Malang,
17,36 % Kota Malang, dan 13,19 % untuk Kota Batu. Sementara
163
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Golkar yang banyak disebut mendapat dukungan dari golongan aliran
budaya ketiga yang oleh Geertz disebut priyayi, di Malang Raya
menempati posisi ketiga untuk perolehan suara Kabupaten dan Kota
Malang dengan dengan dukungan pemilih sebesar 16,68 % dan 17,36
%. Akan tetapi, Golkar mampu menjadi nomor satu untuk wilayah
Kota Batu yang notabene sebagai daerah baru hasil pecahan dari
Kabupaten Malang. Di Kota Batu, Golkar mendapat dukungan
pemilih sebesar 20,62 %, diikuti oleh PDIP dan PKB yaitu 19,88 %
dan 13,19 %.
3. Upaya Partai Politik dan Voting
Dalam rangka meraih simpati pemilih masing-masing partai
politik berusaha membuat upaya yang diharapkan dapat memperoleh
suara yang signifikan dalam setiap pemilu. Dari pemilu ke pemilu
upaya partai-partai menunjukan kesamaan yaitu melalui tiga pendekatan, yaitu ideologi, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi. Akan tetapi
dari pemilu ke pemilu penekanan dari ketiga pendekatan tersebut
berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi baik yang terikait
aturan pemilu maupun Pemahamanan partai yang berkembang
dalam masyarakat. Lebih jauh, intensitas pendekatan yang dilakukan
serta bentuk dan jenis program juga berbeda-beda sesuai dengan
keadaan dan kemampuan partai politik. Oleh karena hubungan sosial
kemasyarakatan seperti yang dilakukan PDIP, PKB, dan Golkar.
Dengan mengutamakan pendekatan Ideologi dan sosial kemasyarakatan, baik PDIP maupun PKB mampun memperoleh suara yang
besar karena didukung oleh basis massa yang jelas. PDIP sebagai partai
yang merepresentasikan kelompok abangan banyak didukung oleh
kelompok masyarakat marginal yang mengatasnamakan wong cilik.
PKB sebagai representasi dari pemilih Santri Tradisional banyak
mendapatkan dukungannya dari kaum nahdilyin. Sementara Partai
Golkar, sebagai partai warisan Orde Baru menjadi repserentasi dari
pemilih priyayi yang didukung oleh kelompok birokrat atau Pegawai
Negeri Sipil.
Di sisi lain Partai Amanat Nasional (PAN), yang merupakan
representasi dari kelompok Santri Modernis banyak mendapat dukungan dari warga Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan kelompok
ormas keagamaan modernis lainnya. Salah satu daya tarik utama
164
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
dari adalah sosok Amin Rais yang dikenal sebagai tokoh reformis
dan dikenal luas di kalangan mahasiswa dan akademisi. Dengan
demikian pada saat pemilu 1999, PAN ini juga banyak didukung oleh
kalangan pemilih muda, terutama mahasiswa yang pada saat itu
bersama-sama menggulingkan pemerintahan Orde Baru. Hampir
segaris dengan PAN, PBB yang juga menjadi representasi dari pemilih
modernis banyak didukung oleh kalangan masyarakat yang punya
hubungan historis dengan Masyumi. Di Malang Raya PBB tidak
banyak pendukungnya, karena memang wilayah ini bukan basis dari
Santri Modernis, dan walaupun ada sudah habis diambil oleh PAN.
Sementara PPP yang merupakan partai Islam hasil fusi masa Orde
Baru, walaupun mengatasnamakan partai yang merepresentasikan
Santri Tradisional, namun di Malang Raya pendukungnya sangat
sedikit. Sementara partai-partai lainnya, tidak mendapatkan banyak
suara yang dihasilkan dari warisan ideologis. Mereka umumnya
banyak mendapatkan suara karena hasil kerja melalui pendekatan
sosial kemasyarakatan maupun pendekatan ekonomi.
Pemilu 2004 merupakan pemilu ke 2 pasca reformasi. Berbagai
pengalaman dan pengetahuan yang didapat dari pemilu 1999 telah
menjadi pelajaran bagi partai-partai berikutnya pada pemilu 2004.
Bagi partai-partai yang memperoleh dukungan cukup besar, menatap
pemilu 2004 dengan penuh percaya diri, sehingga banyak elit politik
dari partai yang lupa kewajiban kepada konstituennya. Dengan hanya
menekankan pendekatan yang pernah dilakukan seperti pada masa
pemilu 1999 seperti yang dilakukan oleh partai PDIP, PKB, maka
pada pemilu 2004 di Malang Raya kedua partai tersebut kehilangan
suara yang signifikan terutama PDIP. Hampir semua partai politik
yang lulus electoral threshold mengalami penurunan suara dengan
kadar yang berbeda-beda, dan hanya partai Partai Golkar bertahan,
bahkan secara Nasional meningkat walaupun tidak signifikan.
Kemenangan Partai Golkar tidak lepas dari kerja keras dalam
konsolidasi partai yang dimotori oleh Akbar Tanjung.
Pada saat partai-partai lain yang lulus electoral threshold terlena
dengan kemenangan, justru Partai Golkar berjuang keras dengan
menggunakan pendekatan yang tidak hanya menekankan pada
idelogi namun sudah mengunakan pendekatan sosial kemayarakat
dan ekonomi. Dengan pengalaman selama Orde Baru, bagi Partai
165
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Golkar tidaklah sulit untuk melakukan berbagai pendekatan kepada
masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan Ketua DPRD Kota Batu,
Mantan Ketua DPD Golkar, bahwa Partai Golkar untuk memenangkan pemilu 2004 melakukan berbagai pendekatan seperti memperjuangkan pembangunan pada komunitas yang mereka tempati;
memberikan bantuan, khususnya bantuan finansial, bantuan semen,
pasir, batu merah sebagai perangsang agar mereka mau melaksanakan pembangunan di kampung-kampung. Sementara dana yang
dipergunakan untuk membina konstituen didapat dari dari fraksifraksi, karena menurut Mashuri, di Partai Golkar ada semacam
konvensi bahwa wakil-wakil yang duduk di fraksi harus memberikan
sebagian rizkinya untuk kepentingan lingkungan atau dishodakohkan
kepada dapil-dapil mereka masing-masing.
Keberhasilan yang cukup spektakuler pada pemilu 2004
diperoleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. PKS
pada pemilu 1999 masih bernama Partai Keadilan (PK), PK pada
pemilu 1999 tidak lolos electoral threshold sehingga harus berganti nama.
Kemenangan PKS pada pemilu 2004 tidak lepas dari upaya partai
yang dijalankan. PKS disamping terus melakukan kaderisasi lewat
tabiyah, yang banyak bergerak dikalangan muda kampus, juga dengan
atraktif melakukan berbagai pendekatan sosial kepada masyarakat
yang dikemas dalam bentuk bakti sosial (baksos). Gerakan konsisten
yang dilakukan kader PKS, lama kelamaan mendapatkan simpati,
tidak hanya dari kalangan pemilih modernis, namun juga banyak
dari kalangan tradisional dan Abangan yang tersentuh oleh pendekatan sosialnya.
Sementara kemampuan Partai Demokrat menyedot simpati
pemilih tidak lepas dari peran SBY sebagai pendiri partai yang
merupaka figur sentral. Latar belakang SBY datang dari kalangan
tentara ditambah dengan sosok penampilan dan kepribadian yang
dianggap santun telah menarik perhatian pemilih dan memberikan
pilihannya pada Partai Demokrat pada pemilu 2004. Sementara
partai-partai lain tidak begitu menonjol, disamping tidak punya basis
massa yang jelas serta figur partai, juga tidak banyak mempunyai
sumberdaya finansial maupun sumber daya manusia.
Dari data yang ada menunjukan bahwa hasil pemilu 2004 telah
terjadi perubahan komposisi kekuatan politik di Dewan, dimana yang
166
UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU
pada pemilu 1999 dikuasai oleh hanya tiga partai yaitu PDIP, PKB,
dan Golkar. Komposisi partai di Dewan hasil pemilu 2004 telah
melahirkan dua kekuatan baru yaitu PKS dan Partai Demokrat,
sehingga pola sistem kepartaian yang pluralisme sederhana dengan
tiga kekuatan partai berubah menjadi pluralisme moderat dengan
lima kekuatan partai.
Pemilu yang paling menarik di era pasca reformasi adalah
pemilu 2009. Dengan sistem pemilu baru yang menerapkan rejim
suara terbanyak bagi calon yang lolos ke Dewan telah mempengaruhi
upaya dalam meraih simpati pemilih. Pada pemilu 2009, peran partai
menjadi minimal, dan peran caleg menjadi menonjol, oleh karena itu
pendekatan ideologi mengalami kekaburan dengan adanya caleg-celeg
yang berasal dari luar basis pendukung partai. Pendekatan yang
dilakukan para caleg lebih menintikberatkan pada pendekatan
ekonomi dan sosial kemasyarakan. Hal ini didorong oleh tingginya
kompetisi yang terjadi antara sesama caleg di tingkat partai. Masingmasing caleg dengan menggunakan jaringan sosial masing-masing
menyalurkan berbagai bantuan baik untuk pembangunan jalan,
Mushala, Masjid, bantuan sembako, dan bahkan uang tunai.
Hasil pemilu yang terjadi menunjukan bahwa sebaran perolehan suara sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Bahkan partaipartai yang punya basis massa yang jelas seperti PDIP, dan PKB harus
menerima kenyataan bahwa mereka telah banyak ditinggalkan oleh
kosntituennya. Bahkan perolehan suara PKB di Kota Batu mengalami
penurunan yang sangat tajam, sehingga PKB yang pada pemilu 2004
mendapatkan 4 kursi, pada pemilu 2009 tidak dapat satu kursi pun.
Perolehan suara di Kota Malang pada pemilu 2009, Partai
Demokrat memenangkan persaingan dalam pemilu dengan perolehan
suara 83.065, dan disusul oleh PDIP dengan perolehan suara 71.370.
Pada pemilu 2004, wilayah Kota Malang ini menjadi basis utama
dari PDIP, dan mengantarkan kadernya menjadi Walikota dalam
pilkada 2008. Menurut salah seorang informan, yang pernah
menuturkan kepada penulis, kemenangan Partai Demokrat tidak
hanya melulu karena faktor figur SBY yang menjadi Presiden, namun
juga adanya intervensi dari partai. Di Kota Malang banyak Ketua RT
yang dijanjikan bantuan 500.000,- per Kepala Keluarga dengan alasan
untuk perayaan 17 Agustus. Namun bantuan itu akan dicairkan
167
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
setelah pemilu dan menjelang akan dilaksanakan perayaan tujuh
belasan, dan itu berarti akan ada implikasi pada pemenangan pilpres
dari calon Partai Demokrat. Sementara transaksi yang dilakukan dari
caleg partai lain, banyak dilakukan dengan pemberian bantuan
pembangunan yang umumnya sudah berjalan lama terutama yang
dilakukan oleh calon incumbent. Paling menonjol, transaksi yang
dilakukan berupa pemberian uang.
Berbeda dengan di Kota Malang, Kabupaten Malang yang
merupakan bagian penduduk terbesar di Malang Raya masih banyak
yang setia pilihan politiknya dengan PDIP. Masyarakat di Kabupaten
Malang umumnya adalah petani dan dengan tingkat pendidikan yang
umumnya relatif lebih rendah dibanding dengan Kota.
168
BAB V
POLA HUBUNGAN PARTAI
DAN PEMILIH
169
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
KOMPETENSI
Dalam bab ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan kondisi sosial budaya
masyarakat dan pemaknaan partai pada partai politik serta bagaimana pola hubungan
partai dan pemilih yang terjadi. Selanjutnya mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan
kaitan antara sistem kepartaian, pemilu, strategi partai, serta pola hubungan antara
pemilih dan partai politik yang berkembang. Selanjutnya mehasiswa diharapkan
dapat memahami basis massa masing-masing partai politik baik itu partai Islam
maupun Nasionalis. Apakah partai-partai tersebut masih setia dengan basis massanya
masing-masing atau sudah mengalami perubahan. Lebih jauh, mahasiwa diharapkan
dapat menjelaskan apakah terjadi perubahan pola hubungan yang terjadi dari pemilu
ke pemilu.
170
BAB V
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
DALAM perspektif rasional, mekanisme hubungan partai politik
dengan masyarakat merupakan hubungan yang bersifat simbiosis
mutualisme, dimana partai politik membutuhkan suara pemilih dalam
pemilu dan sebaliknya pemilih membutuhkan partai guna memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan mereka. Maka dari itu,
partai politik terpaksa harus memperhatikan keinginan para pemilih
sebelum mengambil keputusan mengenai program dan kebijakan
partai, sebaliknya pemilih harus dapat menentukan partai mana yang
mempunyai platform jelas dan sekaligus dapat memperjuangkannya.
Dengan demikian, politisi harus mencari informasi tentang kesulitan
dan masalah yang sedang dihadapi masyarakat serta kepentingan
dan preferensi pemilih. Kemudian partai dapat menawarkan suatu
program politik yang menjadi isu dalam masyarakat. Oleh karena
itu dalam kompetisi multi-partai, dibutuhkan partai politik yang
responsive terhadap apa yang menjadi agenda masyarakat di tingkat
grassroot. Dengan demikian, hubungan partai dan pemilih di era multi
partai perlu membangun hubungan eksklusif agar partai dapat
memaksimalkan hasil di dalam pemilu.
Pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam bab ini adalah
“bagaimana hubungan partai dan pemilih di Malang Raya?”. Guna
keperluan tersebut, penulis akan menguraikan bagaimana hubungan
partai dan pemilih yang terjadi baik pada pemilu 1999, 2004, maupun
2009. Selanjutnya dibahas mengenai “faktor sosial budaya,
Pemahamanan, dan pola hubungan”, serta “sitem kepartaian dan
pemilu, upaya partai, dan pola hubungan.”
171
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
A. Hubungan Partai dan Pemilih
Setiap kali bangsa Indonesia melaksanakan pemilu, termasuk
pemilu pasca reformasi, aliran selalu mewarnai pola hubungan partai
dan pemilih. Sebagaimana halnya pemilu multipartai 1955, pemilu
1999 juga punya warna ideologis yang berbasis aliran. Hasil pemilu
pertama pasca reformasi, tampak jelas bagaimana aliran menjadi
benang merah afiliasi politik masyarakat kepada partai politik.
Memasuki pemilu 2004, akibat adanya perubahan dalam sistem
kepartaian dan pemilu, dan perluasan Pemahamanan partai oleh
pemilih, pola hubungan yang berbasis aliran sedikit mengalami
perubahan. Hasil pemilu 1999 yang cukup kental dengan warna
ideologis, pada pemilu 2004 hasil pemilu agak mencair sebagaimana
dibuktikan dari penurunan perolehan suara partai-partai yang
merepresentasikan ideologi seperti PDIP, PKB, PAN. Pada pemilu
2009, sistem pemilu dengan daftar terbuka murni lebih mendorong
partai untuk melupakan label ideologis karena peran caleg lebih
dominan dalam upaya meraih suara. Hasil perolehan suara pemilu
2009 menunjukan adanya perubahan yang cukup signifikan terkait
pola hubungan yang berbasis aliran.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada pemilu 1999
pola hubungan berbasis aliran masih terkonstruksi, sementara pada
pemilu 2004 konstruksi politik politik aliran mengalami penurunan.
Berbeda dengan pemilu 1999 dan 2004, pada pemilu 2009, konstruksi
pola hubungan partai dan pemilih berbasis aliran sudah sangat
melemah, kalau tidak dikatakan hilang.
1. Konstruksi Politik Aliran Masih Jelas
Setelah UU no.2 Tahun 1999 disahkan maka mulailah kancah
baru dalam dunia politik di Indonesia. Reformasi politik pasca Orde
Baru memberikan kesempatan bagi lahir dan tumbuhnya 148 Partai
politik, ternyata hanya 48 partai politik yang berhak ikut pemilihan
umum (Pemilu) 7 Juni 1999. Dari 48 partai politik yang ikut pemilu
di Kota Malang dan Kabupaten Malang ternyata hanya ada beberapa
partai yang mempunyai hak representatif di DPRD.
Pada pemilu 1999 menunjukan bahwa PDI-P meraih 162.818
suara atau 41,32 % dengan perolehan kursi 15 kursi. PKB dengan
77.429 suara atau 19,65 %, mendapatkan 12 kursi. Golkar memperoleh
172
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
suara 63.363 atau 16.08 % sehingga mendapatkan 7 kursi. PPP
dengan 11.080 suara atau 2.81 % mendapatkan 3 kursi. PAN meraih
41.582 suara atau 10,55 %, mendapatkan 2 kursi. Sementara di
Kabupaten Malang, PDI-P meraih 510.450 suara atau 38,46 % dengan
perolehan kursi 17 kursi. PKB dengan 392.472 suara atau 29,57 %,
mendapatkan 12 kursi. Golkar memperoleh suara 243.110 atau 18,32
% sehingga mendapatkan 9 kursi. PPP dengan 45.939 suara atau 3,46
% mendapatkan 1 kursi. PAN meraih 38.891 suara atau 2,931 %,
mendapatkan 1 kursi.
Dari data tersebut menujukan bahwa perolehan suara partai
yang signifikan masih sejalan dengan politik aliran. PDIP yang
merupakan representasi dari pemilih Abangan, PKB dan PPP yang
merupakan representasi dari pemilih Santri Tradisional, PAN dan
PK representasi dari pemilih santri Modernis, sementara Golkar
merupakan representasi dari pemilih Priyayi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pada pemilu 1999 nuansa ideologis masih kental
mewarnai perpolitikan di Malang Raya, sebagaimana halnya dalam
pemilu 1955. Patut disampaikan, walaupun PKB dan PAN dalam
paltform partai tidak mencantumkan asas Islam, namun dari
kacamata sosiologis dan historis kedua partai ini bisa dikategorikan
partai Islam karena mempunyai kedekatan dengan pemilih Islam.
PKB didirikan oleh Gus Dur yang merupakan mantan Ketua Umum
PP NU dan sekaligus cucu pendiri NU yaitu KH. Hasyim Asyari,
sementara Amin Rais merupakan mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah.
Hal yang menarik, walaupun Malang terkenal dengan kehidupan masyarakat yang Islami, namun dalam afiliasi politik masyarakatnya lebih banyak ke partai Nasionalis. Sebagaimana hasil perolehan
suara dalam pemilu, PDIP yang merupakan representasi dari partai
Nasionalis mendapatkan 41,32 % di Kota Malang dan 38,46 % di
Kabupaten Malang, sementara PKB yang merupakan representasi
dari partai Islam mendapatkan 19,65 % di Kota Malang dan 29,57 %
di Kabupaten Malang. Kedua partai ini, pada pemilu 1999 merupakan
partai yang mempunyai pemilih dengan tingkat fanatisme yang tinggi.
Pemilih di akar rumput, khususnya yang menamakan diri sebagai
wong cilik, tingkat identifikasi dirinya kepada PDIP sangat tinggi.
Simbol-simbol partai seperti gambar Bung Karno, Megawati menjadi
173
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
hiasan di rumah-rumah mereka. Begitu pula dengan gambar kepala
banteng dengan moncong putih, pada saat menjelang dan sesudah
pemilu 1999, hampir jamak bagi mereka yang mengatasnamakan wong
cilik memakai kaos bergambar kepala banteng dengan moncong putih.
Bagi pemilih PKB yang umumnya merupakan kelompok santri
tradisional, memilih partai ini seakan-akan sudah menjadi kewajiban,
Oleh karena itu banyak di antara mereka yang rela untuk menghadiri
acara-acara kampanye yang diadakan oleh PKB dengan biaya sendiri.
Simbol-simbol yang menjadi ciri khas dari organisasi NU yaitu bola
dunia yang dikelilingi bintang sembilan menjadi menu wajib warga
Nahdiliyin dalam menghiasi rumahnya, baik dalam bentuk kalender
maupun poster. Begitupun dalam setiap acara keagamaan yang
dilakukan, selalu menjadi ajang sosialisasi dari para elit PKB untuk
menegaskan bahwa apabila mengaku NU harus memilih PKB. Hampir
semua kekuatan NU, baik itu kyai dengan pesantren nya, guru agama
dengan sekolahnya banyak yang terlibat dalam mensosialisasikan dan
sekaligus mengkampanyekan untuk kemenangan PKB. Dengan
demikian tidak lah mengherankan apabila PKB dalam pemilu 1999
mendapat suara yang signifikan, walaupun ada partai lain yang juga
lahir dari rahim NU seperti PNU dan PKU.
Secara mengejutkan, Partai Golkar yang merupakan reinkarnasi
dari Golkar masa Orde Baru, masih tetap mendapatkan suara yang
signifikan yaitu 63,363 suara atau 16.08 % untuk Kota Malang dan
243.110 atau 18,32 % untuk Kabupaten Malang. Dukungan terhadap
Golkar yang cukup konsisten datang dari keluarga Pegawai Negeri
Sipil (PNS) atau dari masyarakat yang secara ekonomi maju karena
perhatian pemerintah pada massa Orde Baru. Dalam perspektif aliran,
pemilih Golkar ini merupakan kelompok priyayi, walaupun dalam
realitasnya tidak semua pemilih Golkar itu datang dari keluarga yang
berlatar belakang PNS. Kalau melihat perolehan suara yang kurang
dari 20 % di Malang Raya, jelas ada penurunan yang signifikan dibanding dengan suara masa pemilu Orde Baru yang rata-rata di atas 60 %.
2. Konstruksi Politik Aliran Mengalami Kekaburan
Pada pemilu 2004 politik aliran masih mewarnai perilaku politik
di Malang Raya. Sebagaimana dikemukan Pratikno (2004),” perilaku
pemilih di Indonesia masih belum berubah dari pola yang berkembang
174
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
sejak Pemilu 1955. Masyarakat tetap menyalurkan aspirasi politiknya
dengan basis ideologi, sedangkan kelompok masyarakat yang rasional
hanya sekitar 20 persen.” Dalam situasi tersebut, berbagai konsep,
visi, dan platform yang ditawarkan partai menjadi tidak begitu dihiraukan. Masyarakat lebih menghargai asal-usul partai dan berbagai
program kongkrit yang bersifat karikatif yang dilakukan seperti
bantuan sosial dan pembangunan atau pun pemberian uang.
Kondisi di lapangan menunjukan bahwa partai politik dan
pemilih tidak lagi semata-mata mengandalkan identitas ideologis,
partai sudah berusaha bergeser ke arah yang lebih tengah. Partai Islam
berusaha menghaluskan isu-isu ideologisnya dengan cara tidak telalu
lagi getol menyuarakan syariat Islam, sementara partai Nasionalis
sudah berusaha mendekat kepada segmen-segmen pemilih Islam. Di
sisi lain pemilih sudah berusaha melepaskan diri dari keterikatan
dengan partai (civic disangegament) dan sudah berusaha realistis dalam
menjalin komunikasi dengan partai. Dampak dari kondisi tersebut
adalah pola hubungan partai dan pemilih tidak lagi sepenuhnya
menggambarkan aliran politik (partially constructed).
Dari hasil perolehan suara pada pemilu 2004, menunjukan
bahwa politik aliran sudah mulai mengalami pemudaran. Warna
ideologis yang berkembang baik itu Nasionalis yang merah, maupun
Islam yang hijau tidak lagi sepekat pemilu 1999. Hal ini bisa
dibuktikan dari penurunan suara yang dialami oleh PDIP, PKB, PAN
maupun Golkar di Kabupaten dan Kota Malang. Penurunan suara
partai berimplikasi pada penurunan kursi di DPRD dari pemilu 1999
ke pemilu 2004. Hasil pemilu 2004 di Kota Malang menunjukan
sebagai berikut: PDIP dari 15 kursi turun dua menjadi 12 pada, PKB
dari 12 kursi turun empat menjadi 8 dan Golkar dari 7 kursi turun
dua menjadi 5. Sementara di Kabupaten Malang, PDIP dari 17 kursi
turun 2 menjadi 15, Golkar dari 9 turun dua menjadi 7. Seiring dengan
penurunan suara yang dialami PDIP, PKB, dan Golkar, ada partai
yang memperoleh suara pantastis pada pemilu 2004 yaitu PKS dan
Partai Demokrat. Parta Demokrat yang baru ikut pemilu tahun 2004
langsung menempati urutan keempat dengan perolehan suara 14,55
% dan 7,76 % untuk Kota dan Kabupaten Malang, sementara PKS
mendapatkan suara sebesar 7,16 % dan 3,05 % untuk Kota dan
Kabupaten.
175
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Memudarnya politik aliran bisa dilihat dari tingginya swing votes
yang ada di Malang Raya. Swing votes yang paling besar berasal dari
PDIP yaitu sebesar 15,38 % dan 9,50 % suara dari Kota dan Kabupaten
Malang. Menurunnya suara PDIP, menurut hasil Focus Group
Discussion, akibat dari kebijakan pemerintahan Megawati yang tidak
pro wong cilik, dan hal ini telah menurunkan tingkat identifikasi
pemilihnya pada PDIP. Selanjutnya tingkat swing votes, PKB dengan
2,24 % dan 3,85 %, Golkar 1,49 % dan 1,64%, PAN 3,76 dan 0,32 %
untuk Kota dan Kabupaten Malang. Swing votes dari PDIP dan Golkar
banyak yang masuk ke Partai Demokrat yang memperoleh suara
12,35 % Kota Malang dan 7,76 % Kabupaten Malang. Hal ini dikarenakan Partai Demokrat merupakan partai yang pluralis berasas
Nasionalis Religius. Sementara swing votes dari PKB dan PAN banyak
masuk ke PKS sebagai partai yang berasas Islam dengan tingkat
militansi kader yang tinggi dan didukung dengan program partai
yang sangat menyentuh kehidupan masyarakat berupa program
bantuan sosial.
Terkait dengan pemilu legislatif 5 April 2004, Pratikno menyatakan bahwa sejumlah partai memperebutkan suara dari kelompok
masyarakat pemilih yang sama, seperti Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar yang memperebutkan kaum
Nasionalis, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan
Sejahtera (PK Sejahtera) mencari suara kaum Islam modernis, Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
memperebutkan suara kelompok Islam tradisional. Sejalan dengan
Pratikno, Ichlasul Amal menyampaikan bahwa hasil pemilu legislatif
menunjukkan dengan jelas asal-muasal suara yang diperoleh empat
besar partai pemenang pemilu, Golkar, PDI-P, PKB, dan PPP. Keempat
partai itu mendulang suara dari kelompok Islam dan Nasionalis.
Masyarakat masih mencoblos partai berdasarkan aliran, budaya, dan
agama.
3. Konstruksi Politik Aliran Berubah
Pengembangan pemahaman partai dan perubahan dalam
sistem pemilu telah menggeser konstruksi politik aliran yang sudah
sekian lama mewarnai perpolitikan di negara kita. Perubahan dari
memilih partai menjadi memilih calon pada pemilu legislatif 2009
176
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
sedikit banyak telah menegasikan keberadaan aliran politik. Para
kader partai bisa pindah ke partai manapun yang dia suka dan bisa
menerimanya menjadi caleg, tanpa hirau dengan identitas ideologis
dan historis. Begitupun partai bisa menerima setiap orang yang akan
menjadi caleg dari partai yang bersangkutan, senyampang dianggap
punya potensi baik ekonomi maupun politik, tidak menghiraukan
latar belakang caleg yang akan diterima. Pada tingkatan pemilih, pada
pemilu 2009 dasar pertimbangan latar belakang atau ideologi partai
tidak lagi menonjol, justru yang dominan adalah, apakah calon itu
mempunyai kedekatan secara sosial atau pribadi!, dan apakan calon
itu bisa memberikan konstribusi secara ekonomi kepada mereka!.
Dengan demikian tingkat identifikasi diri kepada partai pada pemilu
2009 sudah sangat rendah dibanding dengan pemilu 1999 dan 2004.
Kondisi tersebut telah menyebabkan konstruksi politik aliran dalam
pola hubungan partai dan pemilih berbasis aliran semakin mengalami
kekaburan.1
Dari data menunjukan bahwa perolehan kursi partai di DPRD
tidak lagi terkonsentrasi pada beberapa partai saja, melainkan sudah
menunjukan ada penyebaran. PDIP, PKB, dan Golkar yang merupakan sibolisasi dari politik aliran tidak lagi menjadi partai dengan
perolehan kursi terbesar, pada pemilu 2009 dominasi ketiga partai
ini tidak terjadi. Beberapa partai muncul ke permukaan seperti Partai
Demokrat, PKS, PAN dan beberapa partai lain, bahkan Partai Demokrat bisa menghentikan dominasi PDIP di Kota Malang yang pada
pemilu 1999 dan 2004 menjadi pemenangan pemilu di Malang Raya.
Partai Demokrat di Kota Malang yang pada pemilu 2004 memperoleh
kursi 7 kursi kalah 5 kursi dari PDIP yang memperoleh 12 kursi, pada
pemilu 2009 Demokrat memperoleh 12 kursi sementara PDIP 9 kursi.
Kondisi hasil perolehan suara partai yang tidak konsisten dari
satu pemilu ke pemilu atau yang disebut dengan ketidakstabilan
electoral merupakan petunjuk menurunnya identifikasi pemilih
terhadap partai, yang secara otomatis meningkatnya swing votes.
1
Yang dimaksud dengan kekaburan politik aliran adalah perubahan peta afiliasi politik masyarakat
yang diakibatkan oleh bergesernya basis pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihan partai
politik. Pada pemilu 1955 dan pemilu 1999, dasar pertimbangan pemilih dalam menentukan
pilihan partai politik adalah ideology, pada pemilu 2004 sedikit bergeser kea rah transaksional,
dan pada pemilu 2009 semakin transaksional.
177
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Dalam pemilu 1999 di Malang Raya perolehan suara partai-partai
papan tengah ke atas seperti PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN, PBB dalam
pemilu 2004 mengalami penurunan dan memunculkan partai baru
yang masuk ke papan tengah yaitu PKS dan Demokrat, dan bahkan
pada pemilu 2009 Partai Demokrat menjadi partai papan atas mengalahkan PDIP, khususnya di Kota Malang.2
Penurunan tingkat identifikasi pemilih kepada partai tertentu
di Malang Raya bisa diindikasikan oleh menurunnya kebanggaan
pemilih pada simbol-simbol partai. Kalau dalam pemilu 1999 dan
2004 banyak pemilih yang memakai kaos merah dengan gambar
partai seperti gambar banteng sebagai simbol PDIP, atau baju hijau
dengan gambar bola dunia yang dikelilingi sembilan bintang yang
merupakan simbol PKB. Mereka sangat fanatik dengan kaos bergambar partai PDIP dan PKB tersebut, dan tidak akan berani secara terangterangan memakai kaos bergambar partai lain. Menjelang pemilu
2009, fenomena pemakaian kaos bergambar partai tertentu secara
fanatik sudah tidak nampak. Pemilih tidak lagi sungkan atau raguragu untuk memakai kaos yang bergambar lain partai yang tidak
sealiran baik dari kalangan Abangan maupun kalangan Santri
Tradisionalis. Sebagai contoh dari hasil temuan di lapangan, banyak
pemilih yang berasal dari kelompok Abangan maupun Santri tradisional yang dalam keadaan tertentu memakai kaos PAN.
B. Faktor Sosial Budaya, Pemahamanan, dan Pola Hubungan
Pola hubungan partai dan pemilih sangat berkaitan dengan
situasi dan kondisi masyarakat dimana partai dan pemilih itu berada.
Kondisi masyarakat Indonesia yang secara kultural terbelah ke dalam
2
Kemenangan Partai Demokrat di Malang Raya tidak lepas dari popularitas SBY, serta kebijakan
popular Pemerintahnya pada saat-saat menjelang pemilu. Kebijakan Bantuan Langsng Tunai
(BLT) bagi masyarakat miskin, pemberian beras bagi masyarakat miskin, penurunan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi daya dorong kuat bagi pemilih kalangan menengah ke
bawah untuk memilih Partai Demokrat. Sementara kebijakan peningkatan kesejahteraan Pegawai
Negeri Sipil, seperti menaikan gaji bulanan, dan pemberian gaji ke 13 telah menodorong sebagian
PNS Sipil maupun militer (akitif maupun pensiunan) mengalihkan dukungannya ke Partai
Demokrat. Khusus untuk kalangan Guru, daya tarik ke partai Demokrat lebih banyak dikarenakan
oleh kebijakan sertifikasi. Dukungan pemilih ke Partai Demokrat sangat ditentukan oleh faktor
SBY dan kebijakan yang pro rakyat, oleh karena itu dukungan ini sangat cair dan bisa berubah
seiring dengan perubahan popularitas SBY dan kebijakan pemerintah.
178
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
santri, abangan dan priyayi, maka partai politik berusaha merespon
keberadaan sosio kultural masyarakat dengan cara mengembangkan
partai yang bernuansa ideologis yaitu Santri dan partai Islam,
Abangan dan Partai Nasionalis. Sementara kehidupan umum di
negara ketiga, dengan sistem sosial yang diwarnai oleh kekerabatan
dan pola hubungan sosial yang bersifat paguyuban, maka jaringan
partai politik lebih banyak dititik beratkan pada jaringan sosial seperti
keluarga dan komunitas sektarian bukan pada program-program
yang rasional. Lebih jauh, himpitan ekonomi akibat krisis telah
melahirkan kemiskinan yang masif ditengah masyarakat. Kondisi ini
mendorong partai untuk memanfaatkan keberadaan masyarakat
guna kepentingan partai politiknya dengan cara memberikan bantuan
kepada masyarakat yang bersifat material.
1. Pemahamanan dan Pola Hubungan dalam Dimensi Ideologis
Karl D. Jackson (1978) yang menempatkan varian Santri ke
dalam dikotomi Modernis dan Tradisionalis ortodok, dan varian
lainnya ditempatkan sebagai sinkretis. Dengan mendasarkan
analisisinya pada hasil pemilu 1955, Jackson menunjukan bahwa
kelompok Modernis direpresentasikan oleh Masyumi, PMI (Partai
Muslimin Indonesia), dan Muhammadiyah, sementara Tradisionalis
ortodok direpresentasikan oleh Nahdatul Ulama (Jackson dan Lucian
W. Pye, 1978). Guna mempertegas hasil temuannya, ia menggambarkan aliran ini dalam bentuk hubungan antara varian keagamaan dan
afiliasi politik pemilih.
Muhammadiyah
Masyumi
Ortodoks
PSII
Ortodoks
Modern
Tradisional
Santri
NU
PNI
PKI
Kaum Sinkretis
Abangan
Sumber: Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, Dan
Pemberontakan, Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1990.
179
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Hasil observasi yang dilakukan menunjukan bahwa komitmen
pemilih abangan dalam memilih partai Nasionalis dan pemilih Santri
dalam memilih partai Islam makin menunjukan ketidakkonsistenan.
Hal ini juga didukung oleh hasil survey3 yang dilakukan penulis terhadap 241 (dua ratus empat puluh satu) orang pemilih, dengan 112
orang pemilih Santri dan dan 129 orang pemilih abangan menunjukan
bahwa baik pemilih abangan maupun pemilih Santri dalam memilih
sudah mengalami pergeseran. Santri tidak punya lagi kecenderungan
kuat memilih Partai Islam, begitu pun Abangan tidak lagi punya
kecenderungan kuat memilih Partai Nasionalis.
Walaupun ada kecenderungan politik aliran masih berjalan
dimana pemilih Santri akan memilih Partai Islam dan pemilih Abangan
akan memilih partai Nasionalis, namun tampak kecenderungan ini
semakin memudar. Pemilih Santri cenderung sudah sangat cair dalam
pilihan politiknya, terutama di kalangan Santri Modernis. Santri
Modernis pilihan politik antara partai Islam dan Nasionalis, perbandingannya adalah 56:44, sementara Santri Tradisionalis pilihan politik
antara Partai Islam dan Nasionalis 58:42. Di sisi lain pemilih Abangan,
cenderung agak lebih konsisten pilihan politiknya terhadap partai
Nasionalis, dengan perbandingan 79:21. Oleh karena itu bisa dipahami
bahwa di Malang Raya, kekuatan partai politik Nasionalis, khususnya
PDIP paling besar pada pemilu 1999 dan 2004 dibanding dengan
partai-partai lainnya.
Dalam pemilu 1999, sebagai justifikasi masih adanya warna
politik aliran, bisa dikemukakan bahwa organisasi massa solidaritas
yang dikemukakan Geertz menunjukan afiliasinya pada partai politik
tertentu. Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang
modernis walaupun secara formal tidak menjadi bagian pendukung
3
Dalam menentukan responden, untuk menentukan bahwa mereka adalah betul-betul pemilih
Santri maupun pemilih Abangan, dilakukan dengan cara menentukan karakteristik Santri dan
Abangan, dan dilakukan secara acak. Pemilih Santri merupakan kelompok Islam yang taat
sehingga responden yang dipilih adalah mereka yang baru keluar dari Mesjid setelah menjalankan
Shalat. Sementara bagi responden Abangan yang merupakan pemeluk Islam nominal, dipilih
dari mereka yang tengah bekerja pada saat di survey atau mereka yang a da di pinggir jalan yang
menunjukan ciri-ciri kelompok Abangan. Para supir, tukan becak, atau pun orang-orang yang
bertato menjadi target dalam survey yang dilakukan terhadap kelompok Abangan. Dengan
pertanyaan, pada pemilu 2004 Bapak/Ibu/ Saudara memilih partai Islam atau Partai Nasionalis?
180
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
partai (PAN), namun kelahiran PAN mau tidak mau akan selalu
dikaitkan dengan Muhammadiyah dikarenakan Amin Rais sebagai
pendiri PAN merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Apa lagi di tingkat kepengurusan baik Wilayah maupun Daerah,
sebagian besar mereka adalah orang-orang yang merupakan aktivis
Muhammadiyah. Artinya ada benang merah yang menghubungankan antara Muhammadiyah sebagai organisasi massa keagamaan
yang Modernis dengan PAN sebagai partai politik.
Di sisi lain, Nahdlotul Ulama (NU) yang menjadi representasi
dari organisasi massa keagamaan Tradisional, harus merelakan diri
apabila diklaim sebagai ormas pendorong lahirnya partai politik,
dalam hal ini PKB. Kelahiran PKB sebagai partai politik tidak lepas
dari karyanya Gus Dur atau Abdurahman Wahid sebagai cucu pendiri
NU yang sekaligus mantan Ketua Umum PB NU, dan juga sebagai
mantan Presiden. Dengan adanya Gus Dur, PKB sepertinya dianggap
sah mempergunakan basis pemilih NU yang cukup besar khsusunya
di Jawa Timur. Oleh karena itu mau tidak mau, suka tidak suka, baik
PAN atau pun PKB, walaupun tidak secara formal mencantumkan
Islam sebagai asas partai, keduanya baik secara sosiologis maupun
historis merupakan partai Islam. Alasan sosiologis yang sangat jelas
tergambar dari para elit partai maupun konstituennya, serta historis
dari kelahiran partai-partai itu.
Lebih jauh, bagi kelompok yang disebut dengan Abangan,
walaupun dalam hal organisasi tidak bisa di lihat secara jelas sebagaimana pada kelompok Santri baik yang Tradisional maupun Modern,
namun kelompok masyarakat yang dibedakan dari perilaku keberagamaannya yang minimalis (Islam Nominal) mempunyai hubungan
yang kuat dengan partai Nasionalis. Pada pemilu 1999 dan 2004 pemilih
abangan ini sebagian besar afiliasi politiknya masih pada PDIP yang
merupakan partai politik yang berhaluan Nasionalis. Dengan demikian,
sesuai dengan kerja dari politik aliran bahwa kelompok santri yang
taat beragama akan mengidentifikasi dengan partai politik yang sama
yaitu Islam, sementara abangan akan mengidentifikasi dengan partai
yang bukan agama yaitu Nasionalis. Pada pemilu 2009, bangunan
politik aliran ini sudah mengalami perubahan yang besar seiring
dengan terjadinya perluasaan Pemahamanan partai oleh pemilih.
Pemahaman ideologis yang mewarnai Pemahamanan oleh pemilih
181
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
telah terkalahkan oleh pemahaman lain, yaitu pemahaman ekonomi.
Dalam pemilu 1999 dan 2004 para pemilih Santri masih setia
kepada partai-partai Islam atau yang secara sosiologis dan historis
dengan Islam seperti PKB, PPP, PAN, PKS dan PBB, walaupun ada
sebagian yang memilih Partai Nasionalis Religius, seperti Golkar dan
Demokrat. Secara khusus PKB, PPP, PPNU merupakan partai politik
yang menjadi afiliasi bagi kalangan Santri Tradisional, dan PAN, PKS
dan PBB merupakan partai politik yang menjadi afiliasi bagi kalangan
Santri Modernis. Sementara Partai Golkar dan Partai Demokrat
merupakan partai tempat penyaluran aspirasi dari sebagian kalangan
Muslim baik yang Tradisional maupun Modernis.
Sebagai mana telah dikemukakan, afiliasi politik pemilih
Abangan punya kecenderungan besar pemilu 1999 dan 2004 tertuju
pada PDIP, di samping Partai Nasionalis yang lain seperti Golkar,
Demokrat, dan partai lain. Dalam kelompok pemilih Abangan PDIP
merupakan pilihan politik yang mayoritas, sehingga di Malang Raya
pada pemilu 1999 dan 2004 PDIP menjadi partai politik yang mempunyai suara signifikan. Bahkan dalam pemilu 1999, PDIP di Malang
Raya melebihi perolehan PDIP secara Nasional. Secara nasional PDIP
mendapat 33,76%sementara di Malang Raya berdasar wilayah
berturut-turut mendapat 39,66% di Kabupaten Malang, dan 41,22%
di Kota Malang.
Konsfigurasi politik pada pemilu 1999 dan 2004 di Malang Raya
menunjukan bahwa politik aliran yang dikemukakan Clifford Geertz
(1960) tetap eksis, sekalipun dengan pelbagai variasinya dan perkembangan yang baru. Kenyataan ini bisa dilihat dari besarnya dukungan
masyarakat pada partai-partai berlabel keagamaan Islam dan partaipartai berlabel Nasionalis, termasuk menjelang Pemilu 2009.
Walaupun pada pemilu 1999, tidak semua partai-partai berlabel Islam
mendapat banyak suara, kecuali empat partai saja, yakni PBB, PAN
yang mewakili pilihan Santri Modernis dan PKB PPP, yang mewakili
pilihan Santri Tradisional. Dan di sisi lain partai politik berhaluan
Nasionalis yang di wakili PDIP menjadi pilihan politik bagi kalangan
Abangan, dan Partai Golkar mewakili pemilih Priyayi.
Partai Golkar sebagai partai Nasionalis berwajah catchall party,
sehingga sedikit banyak menanggalkan ideologinya, sehingga banyak
konstituennya datang dari kalangan Santri dan Abangan. Dengan
182
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
demikian ada spektrum afiliasi politik yang bergeser keluar baik dari
kelompok Santri maupun Abangan (outlayer). Dari hasil obeservasi
dilapangan menunjukan bahwa kelompok Santri Modernis yang
moderat, cenderung berafiliasi dengan Partai Golkar, begitupun
sebagian kelompok Santri Tradisional. Sementara, dari kelompok
abangan yang cenderung bergeser adalah punya historis dengan Orde
Baru. Kebijakan rezim Orde Baru yang melakukan berbagai rekayasa
untuk menghancurkan pengaruh politik aliran dalam kepartaian.4
PKS, PBB, PAN
PPP
PKB
Ortodoks
Ortodoks
Modern
Tradisional
Santri
PDIP
Kaum Sinkretis
Abangan
Kecenderungan afiliasi politik pemilih tersebut, didukung oleh
hasil survey yang dilakukan penulis. Tidak ada satu pun partai politik
yang memperoleh suara signifikan pada pemilu 2004, baik itu Partai
Nasionalis maupun Islam yang mendapatkan dukungan murni
pemilih tradisionalnya. Hampir semua partai mendapatkan dukungan
baik dari pemilih Santri maupun pemilih Abangan, walaupun dukungan politik Pemilih Santri dan Pemilih Abangan terhadap masingmasing partai politik berbeda-beda.
Data menunjukan bahwa komposisi pemilih Abangan dan Santri
yang hampir seimbang adalah Golkar dengan perbandingan Santri
44% dan Abangan 56%. Hal ini menunjukan bahwa Golkar merupakan pemilih yang paling heterogen dalam artian basis pemilihnya.
Walaupun Golkar termasuk ke dalam partai Nasionalis dengan asas
Pancasila, akan tetapi konstituennya banyak juga dari kalangan
4
Pada jaman Orde Baru, kedua kutub (Santri dan Abangan) digiring baik secara halus maupun
kekerasan oleh kekuatan Orde Baru untuk memilih Golkar sebagai pilihan politik mereka. Baik
pemilih Abangan maupun pemilih Santri, sebagian besar tidak punya pilihan lain kecuali
mencoblos Golkar untuk mencari aman baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Dengan
berjalannya waktu, pilihan politik terhadap Golkar ini menjadi hal biasa baik dikalangan Santri
maupun Abangan, dan tidak heran apabila setelah berakhirnya kekuasaan Soeharto, banyak
pemilih Santri maupun Abangan yang tidak merubah pilihan politiknya.
183
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Santri. Pemilih Santri Golkar lebih banyak datang dari kalangan Santri
yang termasuk kategori Modernis, khususnya yang moderat. Sementara pemilih Abangan berasal dari kelompok Abangan yang tingkat
keabangannya lemah.
Di sisi lain, pemilih PDIP banyak datang dari kalangan pemilih
Abangan yaitu sebesar 72%, yang menurut Afan Gaffar merupakan
Abangan yang tingkat keabangannya kuat (strong Abangan). Hal ini
tidaklah mengherankan karena PDIP sangat kental dengan aroma
Nasionalis-nya. Dukungan dari kalangan Santri terhadap PDIP sebesar
28%, yang umumnya berasal dari kalangan pemilih Tradisional dan
tergolong Santri Lemah (week Santri). Kondisi PDIP ini hampir mirip
dengan Partai Demokrat. Partai Demokrat mendapat suara paling
banyak dari kalangan pemilih Abangan yaitu sekitar 68%, semenara
pemilih Santri 32%. Sementara PKB, keadaannya terbalik kalau
dibandingkan dengan PDIP. PKB lebih banyak pemilihnya datang
dari kalangan Santri yang terkategorikan Santri Tradisional yaitu 61%,
sementara pemilih dari kelompok Abangan sebesar 39%.
Bagi pemilih PAN dan PKS, walaupun sama-sama mayoritas
pemilihnya datang dari kalangan Santri, namun PKS mendapatkan
pemilih Santri yang paling besar. PKS mendapat 87% pemilih dari
kalangan Santri dan 13% datang dari pemilih Abangan, sementara
PAN hanya mendapat 65% dari kalangan pemilih Santri dan 35%
datang dari kalangan pemilih Abangan. Pemilih Santri PAN banyak
datang dari kelompok Santri Modernis yang tergolong reformis,
sementara PKS banyak datang dari kelompok Santri Modernis yang
tergolong Konservatif. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa
pemilih masih terikat dengan “pakem” aliran dalam menentukan
pilihan politiknya walaupun dengan tingkat identifikasi dirinya yang
sudah semakin melemah.
Dengan demikian, walaupun telah mengalami sedikit perubahan, namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa aliran politik
masih tetap eksis dalam pemilu era multipartai ini, khususnya dalam
pemilu 1999 dan 2004. Pemilih Santri masih berkecenderungan memilih
partai politik yang Islam, sementra pemilih Abangan masih punya
kecenderungan memilih partai yang Nasionalis. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa pemilu 1999 di Malang Raya keyakinan sosio-religi
yang bersumber aliran seperti yang dikemukakan Geertz, masih
184
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
menjadi bagian yang mewarnai kehidupan politik masyarakat. Pada
pemilu 2004 pola aliran sudah mulai berkurang walaupun masih
kelihatan, dan pada pemilu 2009 pola politik berdasarkan aliran sudah
hampir habis karena terkalahkan dengan pola politik transaksional.
2. Pemahamanan dan Pola Hubungan dalam Dimensi Sosial Budaya
Perbedaan yang cukup menonjol antara kelompok Santri
Modern dan Santri tradisional adalah tradisi dalam melakukan
sosialisasi dan tranfer keilmuan. Di kalangan Santri Modern, sosialisasi
dan transfer keilmuan lebih banyak dilakukan lewat buku-buku teks,
sehingga dikenal dengan budaya baca. Bagi kelompok Santri
Tradisional, transfer keilmuan lebih banyak dilakukan lewat kyai,
sehingga lebih dikenal dengan budaya lisan. Perbedaan dalam proses
sosialisasi dan transfer keilmuan di antara kedua kelompok ini telah
berbengaruh pada kultur serta perilaku keberagamaan masing-masing.
Transfer keilmuan lewat buku dalam kelompok Santri Modernis telah
melahirkan sikap dan perilaku independen yang tidak taklid pada
seseorang. Di sisi lain, budaya lisan yang telah dikembangkan dalam
tradisi pesantren, telah membangun hubungan kuat antara kyai dan
santri termasuk masyarakat yang memposisikan kyai sebagai patron.
Dengan demikian posisi kyai menjadi dominan dan sentral dalam
kehidupan kelompok Santri Tradisional, sebaliknya santri dan
masyarakat berada pada posisi dependen.
Lebih jauh, perbedaan antara kelompok Santri Modernis dan
Tradisional juga pada agen sosialisasi. Di Malang Raya, keluarga,
sekolah formal, organisasi menjadi agen yang paling menonjol dalam
proses sosialisasi nilai-nilai dan doktrin di kalangan kelompok
Modernis. Bagi kelompok Tradisional, pesantren, Langgar atau Mesjid,
acara pengajian, yasinan, tahlilan lebih berperan dalam proses
sosialisasi berbagai doktrin serta adat dan kebiasaan yang melingkupi
kehidupan kelompok masyarakat Islam Tradisional.
Proses sosialisasi yang terjadi dalam masyarakat Abangan
dimulai dari keluarga, kelompok permainan, dan lingkungan masyarakat. Keluarga Abangan, dengan berbagai upacara yang dilakukan,
perilaku kehidupan anggota keluarga terutama ayah, telah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari proses asimilasi perilaku anak
dalam keluarga tersebut. Aktivitas kesenian yang digemari oleh kaum
185
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Abangan, jaranan, dan sejak dini sudah disosialisasikan kepada anakanak mereka. Berbagai alat peraga yang sering dimainkan dalam
kesenian jaranan juga menjadi alat permainan anak-anak Abangan
sejak kecil, seperti kuda-kudaan, cambuk, bahkan perilaku kalap yang
sering dipertontokan dalam pertunjukan jaranan. Begitu juga dengan
apa yang disebut bantengan, kesenian ini selalu dipertontonkan dalam
masyarakat Abangan terutama menjelang peringatan hari besar
Nasional. Hal ini secara sadar atau tidak, masyarakat Abangan telah
mempunyai gambaran sendiri tentang kehidupan sosial maupun
kehidupan politik dengan simbol-simbol dalam setiap aktivitas yang
dilakukan dalam masyarakatnya.
Simbol perjuangan mereka dalam melawan penguasa yang
sering menindas kaum golongan kecil (wong cilik) mereka ilustrasikan
dalam sebuah aktivitas kesenian yang disebut bantengan. Dalam
kesenian itu wong cilik disimbolkan dengan kerbow/banteng, sementara penguasa disimbolkan dengan harimau. Keseniaan ini menjadi
totonan yang menarik dari kalangan Abangan karena dirasakan
mewakili kesadaran dan kenyataan kolektif mereka akibat tekanan
dan himpitan ekonomi yang mereka alami setiap hari. Acara kesenian
bantengan ini digelar selalu bertepatan dengan acara tujuh belasan,
sebagai bagian dari peringatan kemenangan masyarakat melawan
penjajah. Dan mereka yang mengidentifikasikan dirinya sebagai wong
cilik, merasakan bahwa bagi mereka kenyataan nasib yang selalu
tidak berubah, salah satunya diakibatkan oleh adanya regulasi dan
kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka. Maka dari
itulah, pemahaman PDI perjuangan yang mengusung simbol kepala
banteng, dengan embel-embel perjuangan memberikan napas baru
yang menyalurkan energi bagi kelompok Abangan untuk membangun
solidaritas kelompok seperjuangan dengan sama-sama mendukung
partai yang dipimpin Megawati.
2.1. Pola Hubungan Politik Pemilih Santri
Masyarakat Malang Raya dikenal dengan masyarakat yang
berbasis NU, namun hal itu lebih merupakan corak dari kehidupan
masyarakat yang Islami, seperti menjadikan kyai atau ulama-ulama
sebagai Patron yang dihormati sekaligus menjadi panutan dalam
kehidupan spiritualnya. Kondisi ini secara tidak langsung diwariskan
186
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
turun temurun, dari generasi ke generasi mengikuti kebiasaan menjadikan kyai ataupun ulama-ulama tertentu sebagai panutan. Berbagai
acara yang mempunyai keterkaitan dengan kehidupan beragama
Santri Tradisionalis, seperti ziarah ke makam para wali, istighosah,
ataupun kunjungan tetap tiap bulannya kepada kyai-nya menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan Santri Tradisionalis.
Pada saat pemilu, seorang kyai menjadi figur sentral dalam menentukan arah kemana masyarakat akan memilih partai politik. Kecenderungan umum pemilu pemilu 1999 dan 2004, para kyai di Malang Raya
mengidentikikasikan dirinya dengan partai Islam, khususnya PKB,
walaupun ada sebagian kecil yang menyebrang ke PPP, PPNU atau
ke partai Islam lainnya.
Karena pilihan politik kaum Santri Tradisionalis itu tidak
independen (ketergantungan pada kyai), maka ada kecenderungan
pilihan politiknya tidak sepenuhnya seragam. Hal ini sangat tergantung pada kyai lokal yang menjadi panutan dimana mereka tinggal.
Menurut pengamatan penulis, para kyai lokal, atas dorongan kepentingannya baik itu pembangunan, maupun eksistensi diri, maka ada
yang melakukan pengalihan politik dari alur kebanyakan. Di Malang
Raya umumnya, para kyai lokal menyalurkan aspirasi politiknya ke
PKB yang kepemimpinannya ada Gus Dur. Namun ada sebagian
ulama atau kyai yang tidak mendukung PKB, tetapi mendukung
partai Islam lain seperti PPP, PPNU atas dasar kepentingan dan
kedekatan pribadi dengan pimpinan partai tersebut. Bahkan ada
sebagian dari kyai yang memberi dukungan pada Golkar, baik secara
langsung atau pun sembunyi-sembunyi, karena kedekatan dengan
elit politik yang ada di Partai Golkar.
Oleh karena itu, penyebaran pilihan politik Santri di Malang
Raya, cukup tersebar walaupun tidak merata. Sebagian besar memilih
PKB dan sebagian lagi memilih partai Islam lain dan partai Nasionalis
seperti Golkar. Di sisi lain, para pemilih Islam Modernis menjatuhkan
pilihan politiknya sebagian besar kepada PAN, khususnya di wilayah
perkotaan. Hal ini bisa dilihat dari perolehan suaran PAN pada pemilu
1999 dan 2004 yaitu masing-masing 10,53 % dan 6,77 %. Namun
demikian, ada juga yang memberikan suaranya kepada PKS, dan
PPP. Bahkan bagi warga Muhammadiyah yang Konservatif, ada
kecenderungan mereka memilih PKS karena secara ideologis mereka
187
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
merasa pas dengan apa yang diperjuangkan oleh PKS. Sebagai partai
da’wah, dengan ajaran yang secara garis besar tidak ada perbedaan
dengan ajaran yang dianut oleh Muhammadiyah. Dengan demikian,
banyak aktivis PKS yang berasal dari Muhammadiyah.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan menunjukan bahwa
dukungan pemilih Islam Tradisional terhadap PKB di Jawa Timur,
khususnya di Malang Raya sangat besar. Dukungan besar dari warga
Nahdilyin di Malang Raya ini tidak lepas dari sosialisasi yang dilakukan
lewat jalur NU kultural yang ada di berbagai pelosok. Lewat kyai
lokal, PKB mengadakan sosialisasi informasi, isu dan gagasan politik
melalui berbagai aktivitas keagamaan dari mulai pengajian, tahlilan,
istighosah dan lain sebagainya. Kegiatan ini menjadi salah satu hal
yang penting dalam mendulang suara, karena pesan yang tersirat
adalah “apabila mengaku warga nahdilyin, maka PKB harus menjadi
pilihan politiknya”. Dengan demikian, banyak dari warga Nahdilyin
yang sangat fanatik dengan pilihan politiknya. Mereka tidak merasa
nyaman dan aman secara sosial apabila memilih partai politik selain
partai yang dilahirkan oleh NU ini. Disamping itu juga, PKB memperkokoh diri sebagai bagian dari partai NU dengan menggandeng PMII
untuk kemahasiswaannya, Fatayat untuk para pemudinya, dan IPNU
(Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama), termasuk juga Ansor dan Banser.
Hasil perolehan suara PKB di Malang Raya pada Pemilu 1999 dan 2004.
Keberpihakan massa Santri Tradisional kepada partai Islam
yang mempunyai tokoh dari masing-masing kelompok, bisa dijelaskan
dalam perspektif budaya masyarakat Jawa. Budaya patron-clien yang
berkembang tidak bisa begitu saja lepas dari pijakan masyarakat untuk
menentukan pilihan politik, dimana tokoh-tokoh itu merupakan
simbolisasi dari ideologi yang mereka perjuangkan. Di PKB, Gus Dur
yang nota bene sebagai cucu dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari,
selalu mendapat dukungan dari warga Nadhliyin karena budaya NU
yang paternalistis yang patuh pada guru, kyai atau menghormati
keluarga dari gurunya.
Para kyai yang mempunyai tradisi menghormati dan mematuhi
pada guru menjadi benang merah yang menjembatani kepentingan
politik PKB dengan warga Nahdilyin. Para kyai di Malang Raya yang
menjadi panutan dalam masyarakat, sebagian besar menjadi bagian
dari pendukung PKB, walaupun demikian ada sebagian lagi yang
188
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
mendukung PPP, PPNU. Para kyai dan pemimpin pondok yang keluar
dari jalur politik PKB umumnya mereka yang dulu menjadi aktivis
PPP atau mereka yang berseberangan dengan Gus Dur seperti Ketua
PBNU, K.H. Hasyim Muzadi.
Lebih jauh, walaupun masyarakat Malang Raya secara kultural
berbeda dengan kultur masyarakat Jawa Timur pada umumnya,
khususnya wilayah kultur padalungan, namun pola budaya paternalis
yang memberikan stratifikasi tertinggi pada kyai berkembang. Kondisi
sosial demikian berimplikasi pada pola hubungan sosial dan pola
komunikasi yang terjadi dalam masyarakat. Kyai menjadi sosok
panutan dan tauladan dalam setiap gerak dan langkahnya. Oleh
karena itu apa yang menjadi ucapan dan tindakan kyai menjadi
contoh dan pegangan masyarakat, tidak hanya dalam urusan sosial,
namun juga masuk ke dalam ranah politik. Fenomena kepatuhan
kepada kyai bukan hanya fenomena lokal, akan tetapi boleh dikatakan pola umum yang terjadi di masyarakat Jawa, dan Indonesia pada
umumnya. Sebagai contoh hasil penelitiannya Karl D. Jackson di Jawa
Barat mengenai kewibawaan Tradisional.
Hasil temuan di lapangan, di lingkungan yang kental dengan
suasana keagamaan Santri, khususnya Santri Tradisionalis, peran
ulama atau kyai sangat menonjol. Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa di dalam masyarakat Santri, berbagai ritual yang mereka
lakukan selalu berhubungan dengan peran ulama atau kyai baik itu
ritual kematian, kelahiran, maupun perkawinan. Bahkan, hampir
setiap saat seorang ulama itu, dari mulai pagi sampai malam, selalu
terlibat dengan kehidupan masyarakat dari mulai menjadi imam
shalat, guru ngaji, pemberi ceramah, khotbah jum’at, pemimpim do’a,
pemimpin tahlil dan lain-lain. Dengan demikian posisi ulama atau
kyai di masyarakat Santri sangat sentral. Peran sentral kyai di dalam
masyarakat telah membuat kyai menjadi orang yang ditaati dan
dipatuhi oleh masyarakat tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari
secara sosial, namun juga secara politik.
2.2. Pola Hubungan Politik Pemilih Abangan
Kelompok Abangan banyak membina hubungan dengan elitelit partai politik yang berasal dari Partai Nasionalis. Bahkan dalam
kehidupan sosialnya, para kader politik di tingkat lokal mempunyai
189
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
peran besar dalam membangun solidaritas kelompok Abangan ini.
Kader politik di tingkat lokal ini menjadi media penyalur aspirasi dari
masyarakat Abangan kepada para tokoh politik yang lebih tinggi.
Dilihat dari aspek demografi, kelompok Abangan di Malang Raya,
banyak mendiami wilayah-wilayah pinggiran atau sebuah perkampungan kota yang padat. Kalau dipedesaan umumnya mereka
bermatapencaharian sebagai petani atau buruh tani, buruh bangunan
atau kerjaan yang sifatnya insidental. Sementara mereka yang ada
di perkotaan bekerja sebagai tukang parkir, tukang becak, pedagang
kaki lima atau pekerjaan lain yang menunjukan bahwa mereka adalah
kalangan wong cilik.
Dengan melihat karakter Abangan, walaupun pola patrimonial
ini merupakan gejala umum dalam masyarakat jawa, namun tokoh
panutan antara Santri dan Abangan ini berbeda. Kelompok Abangan,
mereka yang menjadi panutan biasanya disamping tokoh politik lokal,
juga aparat desa baik dari mulai Kepala Desa, Kepala Dusun, RW,
RT. Dari pengamatan, banyak dari aparat desa, ketika pemilu tokoh
formal ini sering didatangi oleh elit politik terutama dari Partai
Nasionalis, untuk memberikan dukungan. Dan kenyataan di lapangan
menunjukan bahwa sebagian besar mereka yang menjadi RT atau
RW umumnya mereka yang berlatar belakang Abangan, sementara
yang Santri cenderung lebih banyak mengurus kegiatan dan aktivitas
di Langgar atau Mesjid.
Pola hubungan yang dibangun di lingkungan kelompok
Abangan lebih banyak mempergunakan aktivitas kehidupan sosial
masyarakat yang lebih dicirikan dengan pola kehidupan “guyub”.
Tokoh masyarakat yang biasanya menjadi inspirator dan mobilisator
masyarakat dalam kehidupan sosial, baik itu dalam kegiatan gotong
royong untuk pembangunan lingkungan, bersih desa, maupun acaraacara yang melibatkan masyarakat seperti peringatan hari besar
nasional, menjadi panutan dari masyarakat. Posisi tokoh yang aktif
dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan biasanya sekaligus
menjadi tokoh formal baik itu sebagai RT, RW, atau Kepala Desa.
3. Pemahamanan dan Pola Hubungan Dalam Dimensi Ekonomi
Di Malang Raya yang sebagian besar masyarakatnya berada
dalam strata ekonomi menengah ke bawah, pemilu sering dijadikan
190
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
sebagai ajang transaksi bagi pemilih untuk mendapatkan imbalan
sejumlah uang dari partai atau calon anggota legislatif. Apalagi pemilu
pasca reformasi yang tengah ditempa krisis ekonomi, masyarakat
akan sangat mudah tergoda dengan rayuan yang bersifat material,
walaupun harus mengorbankan idealismenya.
Dengan demikian kehidupan politik praktis di Malang Raya,
peran uang menjadi tidak terbantahkan. Fungsi uang menjadi dominan dan berperan upayas seperti “darah” yang mensuplai energi bagi
berjalannya mesin politik. Bahkan boleh dikatakan partai politik tidak
bisa hidup tanpa uang, seperti ungkapan yang mengatakan “money
is the mother’s milk of politics”. Dan realitas yang terjadi, di era
kepartaian di Malang Raya banyak partai yang terjebak dalam pola
politik praktis pragmatis agar dapat survive dari pemilu ke pemilu.
Suasana kehidupan politik yang penuh dengan nuansa
ekonomi, akan dapat dilihat dari program dan starategi partai serta
perilaku politik pemilihnya. Partai dan caleg lebih tertarik untuk membuat program karikatif dan berbiaya tinggi dari pada menekankan
pada aspek ideologi partai yang sifatnya jangka panjang. Sikap
pemilih lebih pragmatis dalam mendukung dan memberikan suaranya
kepada partai. Pemilih akan memilih partai tertentu dengan syarat
mendapatkan imbalan berupa barang atau uang. Dengan demikian,
pola hubungan partai dan pemilih lebih menunjukan pola transaksional. Di Malang Raya pada pemilu 1999 pola transaksional itu
sudah terjadi, namun lebih terfokus dalam lingkup partai dengan
konstituennya, dan biasanya berupa bantuan sosial. Dalam pemilu
2004, pola transaksional ini sudah mulai merambah, tidak hanya
antara konstituen dengan partainya namun juga dengan partai lain.
Bentuk imbalan dengan partai lain sudah lebih spesifik yaitu
pemberian barang dan uang kepada individu pemilih. Pada pemilu
2009, pola hubungan partai dan pemilih menjadi pola hubungan yang
benar-benar transaksional. Banyak caleg yang harus menghabiskan
uang ratusan juta, dan bahkan ada yang sampai milyaran hanya
untuk dapat dipilih dalam pemilu 2009 yang sudah menggunakan
sistem pemilu terbuka murni.
Menurut beberapa informan yang sempat penulis wawancarai,
dalam pemilu 2009 setiap calon yang jadi minimun menghabiskan
uang lima puluh juta untuk tingkat Kabupaten dan Kota di Malang
191
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Raya. Di Kota Batu, caleg yang jadi menurut informasi, menghabiskan
uang antara antara 150 juta sampai 400 juta. Uang yang dibagikan
pada pemilih ada yang 20 ribu, 25 ribu, 50 ribu, sampai 100 ribu.
Biaya yang lebih besar lagi tidak hanya untuk membeli suara pada
pemilih, tapi biaya yang dikeluarkan oleh caleg guna membiayai tim
sukses dan saksi. Seperti halnya Kota Batu, Kabupaten dan Kota
Malang tidak jauh berbeda dalam persoalan politik transaksional.
Bahkan biaya untuk memenangkan pemilu di Kota dan Kabupaten
Malang relatif lebih besar ketimbang Kota Batu karena jumlah BPP
yang lebih banyak dan jangkauan wilayah yang lebih luas.
Walaupun demikian, sikap atau perilaku transaksional tidak
hanya berkembang di era pemilu 2009, namun juga terjadi pada era
pemilu sebelumnya. Pada era pemilu 1999 pola perilaku transaksional
hanya berkembang dalam basis mereka masing-masing, dari
konstituen kepada partai bersangkutan. Dalam pemilu 2004, perilaku
transaksional mulai berkembang, tidak hanya pada satu partai politik
yang menjadi identifikasi politiknya, namun juga telah sedikit
berkembang ke partai lain walaupun dalam keadaan terbatas. Dalam
pemilu 2009 perilaku transaksional sudah tidak lagi teratur, semua
partai bisa dan melakukan transaksi kepada pemilih. Semua segmen
masyarakat sudah menjadi tempat pemasaran politik bagi semua caleg
partai, dan para pemilih sudah terbiasa dengan produk-produk partai
baru. Maka dalam pemilu 2009 menjadi ajang transaksi politik yang
dilakukan oleh hampir semua partai politik lewat para caleg yang
punya jaringan sosial dan bebas menentukan kendaran partai mana
yang mereka pilih atau dapat. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam
pemilu 2009 partai dan ideologi partai tidak lagi merupakan penentu
utama dalam pemilu. Sehingga pemilu 2009 dapat dikatakan sebagai
pemilu transaksional, seiring dengan kaburnya aliran politik.
C. Sitem Kepartaian dan Pemilu, Upaya Partai, dan Pola Hubungan
Perubahan sistem kepartaian dan sistem pemilu pasca reformasi
telah melahirkan dinamika baru dalam hubungan partai dan pemilih.
Sistem multipartai telah mendorong tumbuhnya beragam partai
politik baik itu yang barhaluan Islam maupun Nasionalis dengan
beragam variannya. Sistem pemilu (1999 proporsional daftar tertutup,
2004 proporsional daftar terbuka dengan BPP, 2009 proporsional
192
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
daftar terbuka murni), telah meningkatkan kompetisi di antara partai
politik sehingga partai politik berupaya melakukan perubahan upaya
dari pemilu ke pemilu seiring dengan pengalaman yang diperoleh
dari pemilu sebelumnya.
Dalam menyikapi pemilu multipartai, pada pemilu 1999, partai
politik melakukan upaya dengan berupaya menggalang massa dari
kelompok tradisionalnya masing-masing baik itu partai yang berhaluan Islam maupun Nasionalis. Pemilu 2004, telah banyak mereduksi
hasil perolehan suara partai-partai besar pada pemilu 1999. Hal ini
mendorong partai politik yang lolos electoral threshold 3% berupaya
merevisi upayanya dengan sedikit bergeser ke tengah untuk mendapatkan ruang gerak yang lebih luas. Sementara pada pemilu 2009,
arah pendulum ideologis dalam persaingan perebutan pemilih hampir
tidak tampak, kalau tidak dikatakan hilang. Hampir semua partai
politik berupaya mendapatkan simpati dari semua segmen pemilih
sehingga partai-partai politik lebih condong ke catchall party.
Sementara dalam menyikapi sistem pemilu, baik pemilu 1999,
2004, maupun 2009, partai-partai punya pola upaya yang berbeda.
Pemilu 1999 dengan proporsional daftar tertutup, partai politik lebih
memilih untuk mengoptimalisasi ideologi partai melalui pencitraan
partai. Pemilu 2004 dengan proporsional daftar terbuka (BPP), untuk
memenangkan pemilu partai tidak bisa hanya mengandalkan ideologis
semata. Oleh karena itu partai-partai berupaya mengembangkan
upayanya dengan membuat program yang lebih kongkrit berupa
program bantuan sosial, dan pendekatan yang lebih intens kepada
tokoh-tokoh, disamping memperbaiki pola rekruitmen dan penempatan caleg dalam dapil. Pemilu 2009 dengan proporsional daftar
terbuka murni (tanpa BPP), pendekatan kepada tokoh-tokoh lokal
semakin kental dan dilakukan oleh masing-masing caleg. Bahkan
pendekatan caleg sampai pada tingkat pemilih langsung (dor to dor),
dengan mempergunakan baik modal sosial maupun ekonomi.
1. Upaya dan Pola Hubungan di Era Multipartai
Sistem multipartai telah mendorong elit partai untuk kreatif
mengemas partai agar tetap survive dari pemilu ke pemilu. Pada pemilu
pertama pasca reformasi, partai masih menekankan pada ideologis
untuk meraih simpati pemilih. Akan tetapi dalam pemilu 2004 dan
193
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
2009, setelah melihat realitas hasil suara partai, maka partai-partai
berusaha untuk mengembangkan dan memperluas segmen pemilihnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengaburkan
identitas ideologisnya pada pemilu 2004, dan pada pemilu 2009, partai
berusaha mengubah wajahnya dengan membangun catchall party.
1.1. Mengutamakan Basis Massa Tradisional
Pemilu 1999, yang merupakan pemilu dengan warna ideologis
yang pekat telah mendorong partai politik untuk menunjukan
identitas mereka secara terbuka. Partai Islam berupaya mengusung
identitas ideologisnya dengan mengkampanyekan Syariat Islam, dan
pendekatan kepada tokoh-tokoh agama. Di lain pihak, partai Nasionalis
berupaya memekatkan merahnya, dengan berbagai isyu kerakyatan
dan pembelaan wong cilik. Hal ini berarti partai politik ingin menggalang dan memanfaatkan dengan sebesar-besarnya pemilih
tradisional mereka.
Pada saat kampanye pemilu 1999, identitas politik masingmasing partai menampakan diri dengan jelas. Bendera, baju, poster
maupun berbagai atribut kampanye yang lain membanjiri seluruh
pelosok di Malang Raya, tak terkecuali media massa baik cetak mapun
elektronik. Contoh kasus, ketika tiba giliran kampanye PDI di Daerah
Malang Raya, hampir semua jalan di penuhi lautan manusia yang
memakai atribut serba merah. Acara hiburan yang sering mengiringi
kampanye partai berhaluan Nasionalis ini adalah dangdutan, dan
selalu menampilkan artis-artis baik lokal maupun nasional. Orasi yang
disampaikan tidak lepas dari isu perjuangan perbaikan nasib wong
cilik, yang nampak seperti mengeksploitasi nasib dari kelas bawah.
Dalam rangka mempertegas dan melegitimasi jargon untuk memperjuangkan nasib wong cilik ini, hampir setiap pelosok di Malang Raya
dibuat posko-posko perjuangan yang khas dengan cat merah dan
gambar banteng moncong putih dengan photo Megawati beserta
Mantan Presiden Soekarno.
Kampanye yang paling populer dilakukan pada saat pemilu
1999 adalah kampanye dengan model rapat umum. Kampanye dengan
model rapat umum adalah kampanye dengan cara pengumpulan
massa yang dihadiri oleh masyarakat secara luas dan diselenggarakan
oleh salah satu partai politik di ruangan atau tempat terbuka yang
194
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama antara partai politik
dengan penyelenggara Pemilu, dengan menggunakan metode
komunikasinya secara dialogis maupun monologis. Dengan kampanye
model rapat umum, partai politik akan dapat mengetahui seberapa
besar kekuatan partainya menjelang pemilu dilaksanakan. Kampanye
model inilah yang menjadi andalan partai politik, sebagai yang
dikemukakan oleh pimpinan parpol DPC PDIP Kabupaten Malang
Boimin Nur Suhandri, “Rapat umum adalah jenis kampanye yang
disukai oleh masyarakat tidak hanya di Kabupaten Malang, tetapi
hampir di setiap kabupaten di seluruh Indonesia oleh karenanya PDIP
juga tidak mau menyia-nyiakan kesepantan ini. Kemarin, pada waktu
kampanye PDIP beberapa kali melakukan kampanye tebuka ini”.
(wawancara, Desember 2004).” Penegasan senada juga disam-paikan
oleh ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Malang Muhammad Suhadi
BE “Kampanye rapat umum adalah kampanye sangat baik bagi partai
politik untuk melakukan sosialisasi program yang akan dilaksanakan
karena dalam kampanye rapat umum biasanya dihadiri oleh banyak
warga. Dengan kata lain bahwa kampanye rapat umum memang
disukai oleh masyarakat tidak terkecuali masyarakat Kabupaten
Malang”. (Desember 2004).
Model kampanye yang dilakukan pada pemilu 1999 yang
menekankan pada rapat umum ternyata sangat efektif dalam rangka
nggalang suara dari basis massa tradisional partai. Hal ini ini sebagaimana dikatakan oleh ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan Kabupaten Malang Boimin Nur Suhandri bahwa “dengan
model kampanye yang dilakukan telah mampu memberikan
konstribusi kepada partai politik dalam menempatkan wakil-wakil
mereka untuk duduk di lembaga legislatif.” Hal ini bisa dibuktikan
dengan perolehan kursi PDIP hasil pemilu 1999 yang mendapatkan
15 wakil di parlemen (DPRD). Begitu juga apa yang dikemukakan
ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Malang, Muhammad Suhadi
BE. “Tentu ini semua hasil (perolehan jumlah kursi) merupakan hasil
dari kampanye yang kita selenggarakan selama masa kampanye. Jadi
sangat erat sekali hubungannya antara kampanye dengan perolehan
suara partai, dan ini tidak berlaku hanya untuk partai Golkar saja
tetapi untuk semua partai yang ikut dalam pemilihan umum ini”.
(Desember 2004).
195
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Berbeda dengan Partai Golkar dan PDIP, walaupun sama-sama
mengelar rapat umum, namun rapat umum yang digelar PKB lebih
banyak dikemas dalam bentuk pengajian atau istighosahan. Jumlah
massa yang datang dalam rapat umum yang digelar PKB akan sangat
banyak apabila tokoh NU, Gus Dur datang dan memberikan pengajian.
Dalam pemilu 1999 PKB, hanya fokus pada kekuatan Santri tradisional
yang terkenal fanatik dengan Islam, yang disimbolisasikan dengan
kepatuhan pada kyai. Gusdur sebagai motor penggerak, yang merupakan representasi dari pendiri NU menjadi daya magnetis utama
dalam menyatukan suara NU ke wadah PKB. Setiap kali diadakan
kampanye terbuka oleh PKB, hampir pasti selalu dibanjiri oleh massa
Nahdiliyin yang secara sukarela datang untuk mendengarkan orasi
politik dari tokoh-tokoh politik PKB. Dalam setiap orasi selalu dibumbui
dengan ajakan-ajakan untuk membela Islam yang pada akhirnya
disangkut pautkan dengan membela partai.
Kehidupan kelompok Nahdliyin yang tidak lepas dari ritual
keagamaan, nampak gayung bersambut dengan kepentingan politik.
Oleh karenanya saat massa kampanye, aktivitas keagamaan kerap
kali diadakan, khususnya istighosah yang selalu dibanjiri jamaah,
walaupun di dalamnya selalu disisipkan baik langsung maupun tidak
langsung untuk menyalurkan pilihan politiknya ke PKB.
1.2. Merambah Ke Luar Basis Massa Tradisional
Kegagalan beberapa partai yang berwarna hijau dalam pentas
pemilu 1999 telah menyadarkan mereka untuk merubah upaya dalam
meraih simpati pemilih guna memenangkan pemilu. Partai Islam yang
pada pemilu 1999 banyak terjebak dalam kubangan ideologis yang
fanatik dengan memproklamirkan sebagai partai Islam dan mengusung
ideologi Islam. Namun pada pemilu 2004 isu memperjuangkan Syariat
Islam tidak lagi begitu menggebu-gebu, seperti PPP yang selalu
menawarkan dan menyuarakan untuk diberlakukannya syariat Islam
mulai mengendurkan isu ini dan berupaya lebih realistis. Begitupun
PK, yang sudah berganti nama dengan PKS tidaklah segarang pemilu
1999. Pada Pemilu 2004 PKS menampilkan dirinya sebagai partai
Islam yang akomodatif.
PKS yang merupakan partai Islam berbasis massa Modernis,
pada pemilu 2004 mulai menggarap segmen pemilih Santri tradisional
196
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
walaupun tetap menggalang kekuatan dari massa berbasis Santri
Modernis. Dengan upaya yang lebih luwes dan lebih akomodatif telah
mengangkat citra PKS di mata pemilih konstituen Islam Santri. Lebih
jauh PKS dalam pemilu 2004 tampak lebih agresif merambah segmen
pemilih yang potensial sehingga kadang terjadi pergesekan dengan
sesama partai Islam yang merasa konstituennya terancam dengan
gerak PKS yang dilakukan oleh kader-kader muda yang militan.
Sebagai partai dakwah, PKS berupaya menguasai simbol-simbol
keagamaan seperti mesjid, langgar/mushala, sekolah Islam. Para
kader PKS bergerak dalam pembinaan keagamaan di mesjid-mesjid
kampus seperti di STAIN, UNIBRAW, UM, UMM. Kader PKS tidak
hanya bergerak di mesjid kampus, namun juga di kampung-kampung
dengan cara membina anak-anak sekolah dalam hal agama mulai
dari belajar bahasa arab, membaca Alquran, ataupun sekedar memberi pengetahuan agama.
Dengan melihat gerak langkah partai-partai pada pemilu 2004,
ada kecenderungan partai bergerak menuju ke tengah, dalam artian
mereka merubah performa ideologis mereka lebih menuju ke arah
moderat. Salah satu tujuan utama partai-partai ini merubah posisi
ideologisnya adalah untuk mengejar segmen pemilih yang lebih
variatif guna merebut suara sebanyak-banyaknya guna kepentingan
kekuasaan.
Model kampanye yang paling disukai pada pemilu 2004 tidak
jauh dengan pemilu 1999, dimana rapat umum masih menjadi pilihan
utama. Akan tetapi, walaupun parpol pada pemilu 2004 lebih
menyukai penyelenggaraan kampanye rapat umum tetapi bukan
berarti jenis kampanye yang lain tidak dilasanakan. Guna mengakses
basis massa yang lebih luas, maka model kampanye yang dilakukan
harus bisa menjangkau khalayak yang lebih luas juga. Oleh karena
itu model kampanye dengan mempergunakan media cetak dan media
elektronik. Penyelenggaraan kampanye melalui media cetak dan
media elektronik di Kabupaten Malang dilakukan dengan pemasangan iklan atau dalam bentuk talk show. Sarana media cetak yang
dipergunakan untuk memasang iklan seperti Jawa Pos (Radar
Malang) dan Malang Pos. Sementara itu sarana media elektronik yang
digunakan di Kabupaten Malang adalah menggunakan jasa layanan
radio. Menurut Keputusan KPU No. 701 tahun 2003 dalam pasal 15
197
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
dikatakan bahwa “bentuk kampanye penyebaran melalui media cetak
dan madia elektronik adalah dengan promosi. Promosi yang dimaksud
terdiri dari iklan, talkshow, wawancara, diskusi, kolom dan bentukbentuk lain yang dikenal dimedia cetak dan madia elektronik.”
Terkait dengan penggunaan sarana media massa, baik cetak
maupun elektronik, pimpinan Partai di Kabupaten Malang mengemukakan:
“Penyelenggaraan kampanye melalui media cetak maupun
media elektronik memang dilakukan oleh beberapa partai di
Kabupaten Malang termasuk di antaranya adalah partai kami,
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kami melakukan kegiatan kampanye dengan mengadakan pemasangan iklan
dibeberap media cetak yang ada di Kabupeten Malang separti
Malang Post dan Radar Malang. Sementara itu untuk media
elektronik seprti radio-radio yang ada di sini kami juga
melakukan hal yang sama”. (Ketua DPC PDIP)
1.3. Mencairkan Basis Massa
Melonjaknya perolehan suara Partai Demokrat dan PKS memberikan shock therapy bagi partai papan atas, tengah maupun bawah.
Apalagi partai-partai yang pada pemilu 1999 mendapatkan suara
yang signifikan mengalami penurunan suaranya dalam pemilu 2004
karena ditinggalkan sebagian pemilih. Guna mengantisipasi pemilu
2009, banyak partai yang sudah mempersiapkan diri sejak awal
dengan membangun jaringan dan pendekatan intensif kepada tokohtokoh lokal maupun nasional. Kondisi ini mendorong partai politik,
tidak lagi terfokus pada basis massa tradisionalnya. Partai-partai
berjuang merambah segmen pemilih lain dengan tujuan utama
memenangkan pemilu. Realitas politik kepartaian seperti ini membuat
partai politik berubah wujud menjadi catchall party.
Di Malang Raya, tokoh yang paling banyak dikunjungi oleh
elit politik adalah Hasyim Muzadi yang merupakan Ketua Umum
PB NU, yang berdomisili di cengger ayam, Kecamatan Lowokwaru,
Kota Malang. Tidak hanya itu, hampir semua pondok pesantren yang
dianggap punya pengikut yang banyak seperti pesantren di Singosari
dan Bululawang menjadi tempat jugjugan dari elit-elit politik. Tokoh
atau caleg partai yang mendatangi ke pesantren atau pun tokoh
198
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
masyarakat lain, tidak hanya datang dari satu partai yang berideologi
Islam. Akan tetapi hampir semua partai, dari beragam ideologi kecuali
Kristen.
Perilaku elit politik yang begitu agresif telah membuat pusatpusat yang menjadi simbolisasi moral dijadikan sebagai tempat mencari
keberuntungan dan sekaligus perjudian politik. Guna menguatkan
tekad dan kesungguhan mereka untuk dapat meraih dukungan, tidak
jarang elit partai ataupun caleg yang akan bersaing membuat janjijanji surga disamping bantuan kongkrit untuk alasan pengembangan
pesantren atau bantuan pembangunan sekedarnya.
Menyikapi perubahan yang terjadi, partai politik berusaha
membuka diri untuk menerima seluruh segmen masyarakat. Hal ini
harus dilakukan oleh partai politik setelah melihat kenyataan
perolehan suara pada pemilu 2004. Sebagimana yang dikemukakan
Sirmaji, Ketua DPD PDIP, “PDI Perjuangan mendeklarasikan diri
sebagai partai terbuka berarti harus membuka diri untuk masuknya
semua elemen masyarakat dari segala atribut. Dengan demikian maka
terbuka pula untuk melakukan komunikasi, berinteraksi untuk sinergi
untuk bidang-bidang tertentu. Memang harus begitu jika mau jadi
partai terbuka. Sebagai partai terbuka dalam merekrut keanggotaan
tentu tidak membedakan akan membeda-bedakan secara diskriptif
(2006).”
Lebih jauh, perubahan sistem pemilu yang lebih berpihak
kepada calon telah mendorong caleg untuk melakukan ekspansi
pemilih diluar basis tradisional partai. Dengan demikian, ideologi
partai menjadi tidak menonjol, yang terjadi justru kapasitas individu
caleg yang berpengaruh. Dengan adanya perubahan dari memilih
partai ke memlih caleg, keterikatan pemilih dengan partai menjadi
lemah karena yang ada hanyalah hubungan dengan caleg. Pemilih
tidak lagi memikirkan latar belakang partai dari caleg, bagi pemilih,
yang penting adalah kepentingan mereka dapat terpenuhi, terutama
ekonomi. Oleh karena itu, pada pemilu 2009, para caleg yang diusung
baik oleh Partai Islam maupun Partai Nasionalis, tidak lagi mempermasalahkan segmen pemilih, dan begitu juga sebaliknya pemilih.
199
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
2. Upaya Partai dan Pola Hubungan Di Era Sistem Pemilu Proporsional
Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan
Pemahamanan partai oleh pemilih serta realitas sistem multipartai
dengan sistem pemilu proporasional daftar terbuka, maka partai
berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah.
Upaya di lingkungan partai politik mengalami perubahan dari pemilu
ke pemilu, sehingga berpengaruh pada pola hubungan partai dan
pemilih. Pada pemilu multipartai 1999 dengan sistem pemilu proporsional daftar tertutup telah menempatkan partai pada posisi upayas
dalam pemenangan pemilu, oleh karenanya identitas ideologis partai
menjadi menonjol sehingga pola hubungan yang terjadi lebih bersifat
ideologis.
Pada pemilu multipartai 2004 dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan BPP, partai politik sedikit merubah
upayanya dengan tidak hanya menekankan pada identitas ideologis
namun sudah mengarah pada transaksi politik sehingga pola
hubungan partai dan pemilih sedikit lebih transaksional. Pada pemilu
multipartai 2009 dengan sistem pemilu proporsional terbuka murni,
peran partai dalam pemenangan pemilu semakin berkurang.
Pemenangan partai lebih banyak ditentukan oleh caleg masingmasing partai. Kondisi ini telah berdampak pada upaya partai yang
cenderung lebih mengutamakan upaya transaksional, kondisi ini
berpengaruh pada pola hubungan partai dan pemilih, dimana pola
hubungannya menjadi sangat transaksional.
2.1. Pemilu 1999: Ideologis
Sistem pemilu proporsional telah menempatkan elit partai pada
posisi dominan dalam menentukan arah dan kebijakan partai, baik
itu dalam kebijakan internal kepengurusan maupun penentuan caleg
yang akan maju dalam pemilu. Hal yang berpengaruh terhadap
kondisi ini adalah besarnya peran partai dalam pemenangan pemilu.
Artinya saham politik yang ada merupakan hak milik tunggal partai
politik, yang biasanya direpresentasikan dalam figur partai dan elit
sekitarnya. Oleh karena itu tidak salah apabila mengentalnya oligarki
di tubuh partai, sehingga sangat sulit terjadinya mobilitas vertikal
dalam partai akibat tebalnya tembok oligarki partai.
200
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Dalam pemilu 1999, kasus PDIP, figur Megawati benar-benar
menjadi daya magnetis utama pemenangan suara di Malang Raya.
Oleh karena itu berkembanglah kelompok-kelompok yang mengatasnamakan pro-mega yang disingkat promeg. Harapan utama dari
dukungan massa di Malang Raya yang tinggi ke PDIP, selain karena
unsur psikologis kehancuran Orde Baru, juga dorongan kuat simpatisan PDIP untuk menjadikan Megawati sebagai Presiden. Begitu
halnya dengan PKB yang dianggap representasi pemilih Santri
Tradisional. Hampir seluruh kekuatan penyokong tegaknya NU di
Malang Raya ikut “cawe-cawe” dalam pemilu guna mendukung
pemenangan PKB. Situasi ini didorong oleh adanya figur PKB yaitu
Gus Dur yang menjadi perekat dan sekaligus menjadi kebanggaan
warga Nahdiliyin.
Dalam situasi pemilu yang seperti ini, hubungan partai dengan
pemilih sangat kuat, identifikasi diri mereka kepada partai sangat
tinggi yang dibuktikan dengan kebanggaan pada simbol-simbol partai
baik dalam kaos yang mereka pakai sehari-hari maupun gambargambar partai dan tokoh partai yang menghiasi rumah-rumah mereka.
Oleh karena itu ideologi sebagai penghubung partai dan pemilih akan
sangat sukar untuk di putus, kecuali apabila ideologi hancur. Artinya
representasi ormas yang menjadi basis ideologi seperti NU dan
Muhammadiyah apabila tidak mendukung partai politik atau
berhenti mendukung, maka keberadaan partai tersebut akan segera
ditinggal-kan oleh konstituennya.
Sebagai contoh pada pemilu 2004, banyak dari pemilih yang
punya afiliasi dengan Muhammadiyah memindahkan pilihan politiknya dari PAN (pada pemilu 1999) ke PKS. Menurut hasil wawancara
dengan salah seorang warga Muhammadiyah dan juga aktif di PAN
menyampaikan alasan-alasan kenapa banyak warga Muhammadiyah
yang memilih PKS. Pertama secara ideologi warga Muhammadiyah
merasa lebih pas dengan PKS. PKS yang menyatakan diri sebagai
partai yang berasas Islam dianggap lebih jelas dalam perjuangan
ideologinya, dibandingkan dengan PAN yang berasaskan Pancasila.
Bagi warga Muhammadiyah yang dianggap “konservatif”, PKS lebih
bisa diterima. Kedua, dilihat dari ajaran yang dikembangkan dalam
da’wahnya PKS lewat gerakan Tarbiyah-nya senapas dengan ajaran
yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Dengan demikian, kalau
201
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
diibaratkan rumah, warga Muhammadiyah merasa nyaman tinggal
di rumah PKS karena merasa tidak asing.
Karena banyak aktifis Muhammadiyah yang jadi pengurus PAN,
maka sempat terjadi persoalan hubungan antara Muhammadiyah secara
organisasi dengan PKS. Salah satu isu yang muncul adalah banyaknya amal usaha Muhammadiyah yang berpindah tangah ke PKS.
Isu ini sangat efektif menghambat laju peralihan suara warga
Muhammadiyah ke PKS yang dibuktikan dalam pemilu 2009, banyak
warga Muhammadiyah yang kembali memilih PAN.
Sebenarnya kemunculan Partai Keadilan pada pemilu 1999
tidak menjadi ancaman terhadap Partai Amanat Nasional (PAN).
Oleh karena itu keikutsertaan sebagian warga Muhammadiyah
kepada Partai Keadilan (PK) tidak berdampak besar pada hubungan
antar sesama anggota Muhammadiyah. Akan tetapi, setelah pemilu
2004, dengan berkembangnya massa Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
dilihat dari perolehan suara yang mencapai 7,2 % membuat hubungan
dengan anggota Muhammadiyah, khususnya yang menjadi aktivis
PAN menjadi kurang mesra. Dan dalam prakteknya PKS tidak hanya
bergerak dalam bidang politik ansih, namun juga bergerak dalam
bidang da’wah yang wilayahnya bergesekan dengan aktivitas da’wah
Muhammadiyah. Apalagi ada beberapa kasus perebutan amal usaha
yang awalnya dimiliki oleh Persyarikatan Muhammadiyah, namun
karena pengurusnya merangkap menjadi anggota PKS dan lebih inten
dengan PKS, maka kepemilikannya dialihkan kepada PKS.5 Akhirnya
Muhammadiyah secara organisatoris merasa terancam dengan
aktivitas PKS, sehingga terjadi beberapa gesekan akibat banyak dari
warga Muhammadiyah masuk menjadi anggota PKS yang nota bene
dalam setiap kegitan yang dilakukan termasuk da’wah.
Sementara hubungan Muhammadiyah dengan PBB tidak
banyak persoalan, karena memang PBB disamping perolehan
suaranya kecil baik dalam pemilu 1999 maupun 2004, juga tidak ada
aktivitas yang bersinggungan dengan aktivitas yang dilakukan
Muhammadiyah. Dengan demikian, PBB bagi Muhammadiyah
5
Partai Keadikan Sejahtera (PKS), disamping sebagai partai politik, juga bergerak dalam bidang
sosial dengan dibentuknya Yayasan yang bisa memiliki sekolah, rumah sakit, maupun tempat
ibadah.
202
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
maupun PAN sama-sama tidak menganggap PBB menjadi ancaman.
Dalam aktivitas keseharian, khususnya untuk kegiatan keagamaan,
warga Muhammadiyah yang merupakan aktivis atau pendukung PBB
tidak banyak persoalan dengan warga Muhammadiyah lainnya. Lain
lagi dengan warga Muhammadiyah yang menjadi aktivis PKS, sedikit
banyak terjadi pergesekan dengan warga Muhammadiyah lainnya
akibat aktivitas keagamaan mereka lebih inten dengan aktivitas
keagamaan yang dijalankan oleh PKS sendiri.
Di sisi lain, yang menjadi pendukung dan simpatisan PBB
adalah mereka yang mempunyai historis atau garis keturunan orang
tua yang pernah menjadi pendukung dari Masyumi. Maka tidaklah
heran kalau PBB ini menganggap dirinya sebagai manifestasi dari
Masyumi pada massa Orde Lama. Dengan menggunakan pola SantriAbangan, kita dapat melihat kehadiran partai-partai Islam yang ada
pada Pemilu 1999 dan 2004. Pada Pemilu 1999, di Malang Raya jelas
sekali partai-partai Islam masih mendapatkan simpati dari pemilih.
Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan partai dan pemilih ternyata
masih berpola ideologis.
2.2. Pemilu 2004: Antara Ideologis dan Transaksional
Adanya perubahan dalam sistem proporsional, dari daftar
tertutup ke daftar terbuka dengan BPP, juga membawa perubahan
upaya partai dalam pemenangan pemilu khususnya terkait dengan
pencalegan. Walaupun sistem lama masih berjalan, dimana partai
masih punya peran cukup besar dalam menentukan pencalegan,
namun karakteristik calon sudah mulai dipertimbangkan. Tidak
selamanya caleg yang diusung adalah caleg yang punya kedekatan
atau berada dalam lingkaran elit partai. Kebijakan partai dalam
pencalegan sudah mulai melirik pada calon-calon potensial yang
dapat meraih suara, seperti tokoh dari kalangan akademisi, ormas,
maupun artis. Mereka diberikan pintu masuk untuk menjadi caleg
dari partai bersangkutan, walaupun tetap nomor-nomor jadi masih
ada di tangan caleg yang berasal dari kalangan elit partai. Harapan
dibukanya kran pencalegan dari kalangan luar partai yang potensial
adalah adanya peningkatan suara partai, utamanya partai-partai baru
dan partai-partai yang dalam pemilu 1999 belum mencapai target
perolehan suara. Calon yang datang dari luar partai yang potensial,
203
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
lebih banyak didudukan dalam caleg partai pusat dengan harapan
dapat mengangkat celeg yang ada di daerah.
Di Malang Raya, menunjukan adanya penguatan dari kaderkader lokal yang potensial untuk dapat bersaing di daerahnya. Partai
tidak lagi semena-mena menentukan calon pada dapil tertentu tanpa
mempertimbangkan tingkat akseptabilitas internal dan tingkat
elektabiltas calon yang akan jadi caleg. Dampak dari sistem terbuka
ini, pada pemilu 2004 adanya kecenderungan berkembangnya parsaingan antara caleg partai satu dengan caleg dari partai lainnya. Sementara calon-calon dalam satu partai ada kecenderungan untuk bekerja
sama, dimana caleg yang berada pada nomor urut jadi berupaya
mendorong caleg yang ada di nomor urut bawah untuk bekerja sama
memenangkan partai di dapilnya masing-masing. Oleh karena itu
jaringan partai dan hubungan sosial yang telah terjalin antara partai
dan masyarakat pada pemilu sebelumnya terus dimanfaatkan dan
dioptimalkan. Hal ini dilakukan untuk memblok adanya intervensi
atau masuknya caleg dari partai lain yang ingin meraih suara dari
basis pemilih yang sudah memberikan suaranya kepada partai pada
pemilu 1999.
Kalau pemilu 1999 partai politik masih mengikuti alur budaya
politik aliran, begitupun para pemilihnya terjebak pada dasar pilihan
yang bersifat sektarian. Pada pemilu berikutnya (2004), walaupun
secara umum pemilu masih mengikuti pola aliran, namun sedikit
sudah ada perkembangan. Pemahaman ideologis yang bersumber pada
aliran dalam menentukan pilihan politik oleh pemilih, sudah mulai
berkembang dengan pemahaman sosial kemasyarakatan dan
pemahaman ekonomi walaupun belum massif.
Pemilih pada pemilu 2004 masih merasa adanya keterikatan
dengan partai tertentu yang dibuktikan dengan masih banyaknya
pemilih yang punya hubungan dengan elit partai. Akan tetapi, karena
pada pelaksanaan pemilu, sudah mulai diperkenalkan ada pilihan
calon, maka keberadaan calon juga dilihat dari pandangan sosial
kemasyarakatannya. Tidak jarang, ada calon yang berada pada
nomor urut atas, namun tidak banyak yang memilih karena secara
sosial tidak dikenal dan tidak pernah berinteraksi dengan pemilih.
Walaupun demikian, karena adanya serangan dari partai lain, yang
berusaha menggarap basis massa di luar segmen pemilihnya, maka
204
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
ada perilaku baru dari pemilih yang menonjol yaitu perilaku
transaksional.
Hasil lapangan menunjukan walaupun partai Abangan tetap
mendominasi dalam pemilu 2004, namun sudah terjadi pergeseran
pilihan politik pemilih. PDIP yang pada pemilu 1999 mendapatkan
dukungan pemilih sebesar 33,76 % secara nasional, turun menjadi
19,58 %, walau secara keseluruhan masih menunjukan dominasinya
di Malang Raya. Untuk wilayah Malang Raya, PDIP memperoleh
28,97% untuk Kabupaten Malang, 25,84 % Kota Malang, dan 19,88
% untuk Kota Batu. Sementara urutan kedua diduduki oleh PKB
dengan perolah suara 25,72 % untuk Kabupaten Malang, 17,36 %
Kota Malang, dan 13,19 % untuk Kota Batu. Sementara Golkar yang
banyak disebut sebagai representasi dari kelompok priyayi, di Malang
Raya menempati posisi ketiga untuk perolehan suara Kabupaten dan
Kota Malang dengan dengan dukungan pemilih sebesar 16,68 % dan
17,36 %. Akan tetapi, Golkar mampu menjadi nomor satu untuk
wilayah Kota Batu yang notabene sebagai daerah baru hasil pecahan
dari Kabupaten Malang. Di Kota Batu, Golkar mendapat dukungan
pemilih sebesar 20,62 %, diikuti oleh PDIP dan PKB yaitu 19,88 %
dan 13,19 %.
2.3. Pemilu 2009: Transaksional
Kalau pada dua pemilu sebelumnya upaya partai masih
menekankan pada ideologis dengan peran partai cukup dominan,
pada pemilu 2009 peran partai dalam pemenangan pemilu agak
berkurang karena yang banyak bergerak di lapangan adalah caleg
partai. Hal ini dipengaruhi oleh sistem pemilu yang sudah memakai
open list secara murni, dimana caleg yang akan lolos ke DPRD tidak
lagi harus melewati BPP melainkan dengan suara mayoritas. Kondisi
ini mendorong para caleg untuk mengerahkan semua potensi yang
dimilikinya, baik potensi sosial kemasyarakatan maupun potensi
ekonomi. Berbekal jaringang sosial dan kemampuan ekonomi yang
dimiliki, caleg berusaha untuk memenangkan persaingan dengan
caleg dari sesama partai agar dapat lolos.
Melihat kondisi tersebut, upaya kampanye partai lebih banyak
dititik beratkan pada calon anggota legislatif. Persaingan di antara
caleg sesama partai tampak lebih sengit ketimbang dengan caleg dari
205
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
partai lain. Kondisi ini mendorong masing-masing caleg untuk
berusaha keras memenangkan persaingan dengan segala cara, termasuk dengan membeli suara. Lebih jauh dalam rangka memenangkan persaingan dalam pemilu, masing-masing caleg berusaha
mengoptimalkan jaringan mereka baik itu jaringan keluarga, jangan
organisasi, jaringan pertemanan.
Kerasnya persaingan di internal partai, membuat caleg berusaha
dengan segala cara untuk memenangkan persaingan, termasuk
dengan melakukan pembelian suara. Baik calon tingkat Pusat,
Provinsi, maupun Daerah semua bekerja keras meraih simpati pemilih.
Dalam rangka mempermudah proses sosialisasi caleg, biasanya partai
pusat mencari patner caleg dari daerah baik itu caleg provinsi maupun
caleg Kota/Kabupaten. Berbagai aktivitas yang dilakukan mulai dari
mengumpulkan kelompok pedagang, pemuda, petani, nelayan,
keagamaan. Salah satu hal yang tidak pernah lupa, setiap ketemu
dengan kelompok tersebut pasti ada transaksi berupa bantuan bagi
kelompok. Bagi kelompok pedagang memberikan bantuan untuk
pembentukan koperasi, bagi pemuda membentuk kelompok olah raga,
kesenian dengan plus bantuan untuk peralatan, bagi kelompok
keagamaan memberikan bantuan untuk fasilitas keagamaan.
Dengan demikian, dalam pemengan pemilu di tingkat internal
partai dalam pemilu 2009 terjadi blok-blok yang berporos pada caleg
di tingkat pusat. Kerja sama yang dilakukan antra caleg pusat,
provinsi, dan kota/kabupaten antara lain dalam bentuk penyebaran
brosur, pasilitasi pertemuan dengan warga di tingkat dapil, pengamanan perolehan suara dalam pemilu dalam bentuk rekrutmen saksi.
Pola transaksi yang dilakukan, seperti yang penulis temukan
dilapangan, masing-masing caleg berbeda satu dengan yang lainnya
bergantung dari tingkatan mana mereka menjadi caleg. Caleg pusat
lebih banyak melakukan transaksi kepada masyarakat secara berkelompok baik kelompok besar (ribuan) maupun menengah (ratusan),
dengan pertimbangan luas jangkauan wilayah dan besarnya suara
yang harus mereka peroleh. Untuk caleg provinsi pola transaksi lebih
banyak dilakukan kepada kelompok menengah dan kecil (puluhan),
sementara untuk tingkat Kota/Kabupaten transaksi banyak dilakukan
kepada kelompok kecil. Untuk caleg tingkat Kota dan Kabupaten
transaksi politik tidak hanya dilakukan kepada kelompok masyarakat
206
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
yang ada di kampung-kampung dengan skala puluhan, namun juga
dilakukan transaksi secara individual. Bahkan dari hasil oberservasi
yang dilakukan, caleg-caleg di tingkat paling bawah ini lebih banyak
melakukan transaksi politik dengan individu pemilih dalam memenangkan persaingan antar sesama caleg di internal maupun luar
partai.
Dalam rangka mengikat pemilih agar mereka tetap mendukung
dan memberikan suaranya pada saat pemilu, para caleg biasanya
memberikan batuan sosial kepada kelompok, organisasi, tempat
ibadah maupun sarana sosial lainnya. Dalam rangka mengoptimalkan
perolehan suara, para caleg menggarap langsung pemilih secara
individual dengan upaya dor to dor. Pembagian stiker, poster maupun
artribuat kampanye lain seperti kalender dan tata cara pencoblosan
langsung diberikan ke rumah-rumah. Lebih ekstrim lagi, dalam rangka
kepastian suara, para pemilih sudah dibeli suaranya dengan uang
nominal dari mulai Rp. 20.000,-, 25.000,-, 50.000,- dan bahkan sampai
100.000,-. Pemberian uang dilakukan dengan sangat rapih dan
sistematis lewat tim sukses lokal yang sudah punya kedekatan secara
khusus dengan pemilih di tempat yang bersangkutan. Uang diberikan
biasanya satu atau dua hari menjelang akan dilaksanakan atau hari
“h” pemilihan.
Sedikit berbeda dengan daerah perkotaan, khususnya di
Kabupaten Malang yang pendudukanya mayoritas tinggal di
pedesaan, bentuk transaksi tidak hanya dalam bentuk uang tunai.
Bentuk transaksi yang dilakukan para caleg terhadap pemilih bisa
berupa bantuan keagamaan, fasilitas sosial, sembako, dan juga uang.
Namun hal yang agak menonjol dibanding dengan perkotaan, segmen
pemilih yang relatif lebih homogen di Kabupaten Malang. Oleh
karena itu, pola transaksi yang dilakukan juga dipengaruhi oleh pola
hubungan sosial kemasyarakatan, dimana caleg yang akan melakukan
transaksi harus menggandeng tokoh lokal yang berasal dari segmen
masyarakat masing-masing. Jenis bantuannya pun berbeda, bagi
kelompok keagamaan bantuan yang diberikan kepada masyarakat
secara individu berupa kerudung bagi perempuan, atau membagikan
sembako. Sementara bagi masyarakat yang dikoordinasi oleh tokoh
formal atau pun tokoh masyarakat lain, bisa berupa bantuan
pembangunan atau pun uang tunai.
207
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Dari hasil analisis menunjukan bahwa masyarakat yang paling
transaksional secara kualitatif justru lebih banyak di wilayah
perkotaan. Sementara di tingkat pedesaan, walaupun mereka
berperilaku transaksional, namun tidak seaktif dan seatraktif seperti
pemilih yang ada di perkotaan. Di perkotaan, pemilih aktif dalam
mencari caleg yang bisa memberikan kostribusi pada mereka baik
secara kelompok maupun individual. Sebaliknya di pedesaan, justru
partai yang lebih aktif mencari kelompok maupun individu yang mau
melakukan transaksi untuk pemenangan pemilu.
208
BAB VI
PENUTUP
209
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
210
BAB VI
PENUTUP
PROSES demokratisasi pasca kejatuhan rezim Orde Baru cukup pesat,
salah satunya ditandai dengan adanya transformasi dalam sistem
kepartaian dan pemilu, serta meningkatnya partisipasi politik. Sistem
kepartaian berkembang dari limitasi menjadi multipartai, sementara
pemilu dilakukan oleh lembaga independen yang bernama Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang menjamin proses pemilu berjalan dengan
jujur, adil, dan transfaran. Partisipasi masyarakat dalam politik pun
meningkat yang ditandai dengan besarnya minat masyarakat untuk
mendirikan partai, sekaligus aktif dalam berbagai aktivitas politik,
termasuk mereka yang ikut melakukan mobilisasi politik.
Pemilu pada masa Orde Baru hanya diikuti oleh dua partai
politik (yaitu, PPP dan PDI) dan satu Golkar, sebaliknya pada pemilu
era reformasi diikuti oleh banyak partai (multipartai). Pada pemilu
1999 diikuti oleh 48 partai politik, dan pada pemilu 2004 diikuti oleh
24 partai, sementara pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai, dengan enam
partai lokal yang ada di Provinsi Nangru Aceh Darussalam. Lahirnya
partai politik di era multipartai, lebih banyak mengadopsi basis massa
yang berlatar primordialisme (aliran) yang secara jamak dipakai partai
politik pada pemilu 1955 Orde Lama. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kondisi keparpolan pasca reformasi lebih merupakan
sistem kepartaian 1955 jilid dua, dengan situasi dan kondisi berbeda.
Hal ini telah mendorong adanya dinamika politik kepartaian yang
jauh berbeda dengan ketika masa rezim Orde Baru yang monolitik.
Sementara dalam sistem pemilu, proporsional dengan daftar tertutup
(1999) terus mengalami perubahan dan perbaikan dari mulai
proporsional dengan daftar terbuka plus Bilangan Pembagi Pemilih
211
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
(2004), sampai pada proporsional dengan daftar terbuka tanpa BPP
(2009).
Berubahnya sistem kepartaian dan pemilu, belum diikuti oleh
peningkatan kualitas berpolitik baik dari kalangan elit parpol maupun
pemilih. Partai politik belum mampu medesain dirinya secara utuh
antara ideologi, platform, dan sekaligus implementasinya. Tidak
jarang antara ideologi, platform, dan pelaksanaannya dalam tindakan
politik (orientasi pada kebijakan) tidak konsisten, atau bahkan tidak
konsekuen. Sementara pemilih, belum menunjukan perilaku politik
yang rasional dan dewasa, karena masih diwarnai perilaku transaksional, patronase politik, dan ideologis. Ideologi yang sempit, figur
politik, program karikatif lebih mengena dan dapat diterima ketimbang
platform, program serta orientasi parpol yang sifatnya substansial.
Oleh karena itu partai politik yang punya saham ideologis di masyarakat, punya figur yang kuat, serta kemampuan ekonomi yang memadai
akan tetap survive dalam setiap pemilu. Sebaliknya, partai politik yang
hanya mengandalkan jaringan organisasi, tanpa didukung massa
ideologis yang jelas, figur yang kharismatis, dan dukungan dana yang
cukup akan cepat hilang dari peredaran.
Kondisi tersebut juga mendorong munculnya beragam fenomena yang menghiasi kepolitikan Indonesia pasca reformasi, seperti
maraknya korupsi di lingkungan Dewan, tidak berjalannya sistem
organisasi partai, konflik internal partai, kekerasan politik, pembakaran atribut, perusakan kantor partai politik, sampai pada deklarasi
untuk secara berjamaah meninggalkan partai politik tertentu.
Fenomena tersebut menunjukan kondisi politik yang tidak sehat. Elit
parpol yang duduk di dewan merasa tidak punya ikatan dengan
pemilih, sehingga mereka bisa berbuat apapun, sekalipun merugikan
rakyat. Di sisi lain, rakyat merasa di bohongi dengan janji-janji manis
pada saat kampanye, sehingga ketika melihat perilaku elit yang korup
dengan gaya hidup mewah, mereka menjadi sinis dan sekaligus apatis.
Kondisi tersebut di atas berimplikasi pada beberapa hal, antara
lain: pertama, Banyak partai yang memperoleh suara signifikan pada
pemilu 1999 namun akhirnya mengalami kemunduran pada pemilu
2004, begitu juga pemilu 2009. Transformasi dalam masyarakat baik
sosial maupun politik, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam
kepentingan yang berakibat pada berubahnya pola afiliasi politik
212
PENUTUP
seiring dengan berubahnya pola kepetingan tersebut. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya pemudaran ikatan pemilih (de-alignment)
pada partai politik, yang ditandai dengan perilaku swing voters. Kedua,
terbentuknya pola afiliasi politik baru baik itu yang bersifat natural
maupun artifisial yang dibuktikan dengan tumbuhnya partai-partai
baru yang mendapat suara signifikan dalam pemilu 2004 dan 2009
seperti Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindera,
dan Partai Hanura.
Akibat kondisi spikologis massa yang kecewa dengan perilaku
elit dan kondisi politik yang tidak berpengaruh pada nasib mereka,
muncul fenomena yang menarik, khususnya dalam perilaku voting.
Banyak pemilih yang tidak mau datang ke tempat pemungutan suara
ketika pemilu dilaksanakan, tingginya swing votes, banyak pemilih
yang tidak merasa punya ikatan dengan partai (nonpartisan). Hal
tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
pemahaman, pandangan, dan sekaligus Pemahamanan pemilih pada
partai politik. Oleh karena itu partai politik, pasca reformasi, tidak
lagi dipemahamani secara ideologis, namun juga sudah berkembang
menjadi pemahaman sosial kemasyarakatan dan pemahaman ekonomi.
Selanjutnya dengan adanya perubahan sistem kepartaian dan
sistem pemilu dan adanya perluasan pemahaman partai oleh pemilih
pasca reformasi telah berdampak pada pola hubungan partai dan
pemilih. Beberapa fenomena yang berkembang terkait dengan perso\alan hubungan partai dan pemilih di era multipartai : pertama,
lemahnya pemahaman ideologi dan sistem nilai partai, hal ini berimplikasi pada hilangnya perbedaan substansial antara partai satu
dengan partai lainnya dalam membangun paltform dan program
partai. Padahal ketika ideologi menjadi suatu sistem nilai, seharusnya
punya dampak pada paltform dan program dalam menyelesaikan
persoalan bangsa. Efek dari lemahnya ideologi ini membuat partai
menjadi pragmatis dalam menghadapai setiap pemilu, sehingga
berdampak pada sikap pragmatisme pemilih yang cenderung menjadi
suka memilih figur, kedekatan, atau yang banyak uang dan sumbangannya.
Kedua, hubungan partai dengan pemilih sudah terjebak pada
pola hubungan jual-beli/transaksional. Untuk mendapatkan suara
dalam pemilu, parpol/caleg membeli suara pemilih lewat uang,
213
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
sembako, kaos, pembangunan mesjid, pembangunan jalan dan lainlain. Hal ini dilestarikan oleh hubungan anggota dewan dengan
konstituennya, yang terhanyut dalam pola politik sejenis pasca Pemilu.
Kondisi ini berakibat pada hilangnya peran substansial anggota
Dewan sebagai pembuat keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan kepentingan pemilih. Anggota Dewan menjadi
terpola untuk memberikan bantuan dan sumbangan yang bersifat
karitatif dan berbiaya tinggi. Ketiga, belum terbangunnya suatu kelompok kepentingan dan infrastrukturnya yang solid, dimana parpol
menjadi ujung tombak penyaluran aspirasi dan agregasi kepentingan.
Keadaan ini membuat partai politik tidak mengetahui suara itu berasal
dari kelompok mana, karena infrastrukturnya belum terbangun.
Padahal suara dalam Pemilu sendiri merupakan konsekuensi logis
dari suatu kesepakatan atau komitmen yang dibangun bersama dalam
komunitas, dimana parpol menjadi ujung tombaknya.
Keempat, parpol menggunakan pemilih untuk kepentingan
jangka pendek, dimana parpol memakai pemilih sebagai objek
pendulang suara dalam Pemilu, alat legitimasi, alat mobilisasi, tatkala
instrument partai membutuhkan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Pemilih diposisikan sebagai sub-ordinat untuk memenuhi keinginan dan kepentingan politik partai.
Realitas di atas dapat disimpulkan bahwa baik di tingkat supra
maupun infra struktur politik telah terjadi perubahan, antara lain:
Pertama, pada tingkatan pemilih terjadi perluasan dalam memahami
partai politik. Pemilih tidak lagi mepemahamani partai dalam kontek
ideologi, namun sudah berkembang pada Pemahamanan sosial
kemasyarakatan dan ekonomi. Hal ini ditandai dengan dasar pilihan
masyarakat pada partai politik yang tidak hanya karena Islam atau
Nasionalis, namun juga karena pertimbangan kedekatan sosial dan
imbalan ekonomi. Kedua, pada tingkatan partai politik mengalami
kehilangan orientasi yang mengakibatkan rendahnya kinerja, dan
diperparah oleh berkembang perilaku praktis pragmatis dalam meraih
suara guna mengejar kepentingan jangka pendek berupa lolos
threshold. Hal ini ditandai dengan lemahnya perhatian pada program
kaderisasi guna penguatan ideologi dalam tubuh kader, dan lebih
menonjolkan program yang bersifat karikatif dan berbiaya tinggi.
Ketiga, makin tidak terkonstruksinya politik aliran dalam pemilu.
214
PENUTUP
Konstruksi politik aliran yang telah sekian lama menghiasi politik
Indonesia, dalam perpolitikan era reformasi warna aliran dari pemilu
ke pemilu makin melemah.
Perluasan Pemahaman Partai
Pada pemilu 2004, pemilih yang meninggalkan partai politiknya,
bukan karena semata alasan ideologis, namun juga karena didorongan
alasan pragmatis. Akibat kondisi ekonomi dan sinisme politik
masyarakat pada partai dan elit-nya menuntun mereka berperilaku
pragmatis, mereka akan menjatuhkan pilihan pada parpol mana pun
yang mampu memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka.
Sementara pemilih yang masih setia dengan pilihan politiknya,
dimana yang Santri masih memilih partai Islam dan yang Abangan
masih memilih Partai Nasionalis, tetap mewarnai kehidupan politik,
walaupun dengan kadar yang telah berkurang.
Pilihan partai politik masyarakat tidak hanya berpemahaman
ideologi dalam arti pilihan sejalan dengan aliran politik, namun ada
pemahaman lain seperti kesejahteraan ekonomi. Masyarakat memilih
partai karena ada konstribusi secara ekonomi yang diperoleh dari
partai atau caleg yang berbentuk uang, sembako, maupun bantuan
pembangunan. Selain kedua hal Pemahamanan tersebut, juga tersirat
pemahaman lain sebagai manifestasi dari kultur masyarakat desa
yaitu kultur paguyuban yang menjadi dasar dalam kehidupan sosial
masyarakat. Ikatan keluarga, kelompok, maupun komunitas sangat
berpengaruh pada pilihan politik masyarakat. Oleh karena itu, partai
politik yang menjadi pilihan dalam satu komunitas sosial di satu
kampung atau desa akan menjadi pilihan individu anggota kelompok
sosial tersebut sebagai wujud dari solidaritas kelompok.
Secara garis besar, Pemahamanan pemilih pada partai politik
mencakup pemahaman ideologis, pemahaman sosial, dan pemahaman ekonomi. Varian pemahaman ideologi yang ada dalam masyarakat pemilih terbagi ke dalam empat hal Pemahamanan partai, yaitu
alat Perjuangan Islam, Pengejawantahan Keislaman, Pembelaan
Wong cilik, dan Perlawanan Pada Ideologi Penguasa. Pemahaman
sosial terdiri dari Solidaritas Sosial, Kepatuhan kepada Pemimpin,
dan Budaya. Sementara varian pemahaman ekonomi terdiri dari
Pemberian Uang Tunai, Bantuan Pembangunan.
215
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Berdasar pada Pemahamanan yang berkembang, pemilih di
Malang Raya, dalam menentukan pilihan politiknya sangat di
tentukan oleh tiga faktor, yaitu ideologis, sosial kemasyarakatan, dan
ekonomi. Ketiga faktor tersebut saling memperkuat pemilih untuk
menentukan pilihan politiknya, namun yang paling dominan adalah
foktor ekonomi, khususnya pada kalangan pemilih yang berstatus
ekonomi menengah ke bawah yang umumnya dari kalangan Abangan
dan Santri Tradisional.
Partai Mengejar Kepentingan Jangka Pendek
Kenyataan bahwa masyarakat pemilih, walaupun afilasi politik
berdasar aliran masih eksis (ideologis), namun keberadaannya makin
lama semakin terkikis. Di sisi lain, adanya tuntutan untuk memenuhi
electoral threshod (1999) atau parliamentary threshod (2004) agar tidak
tergusur dalam pentas politik pemilu berikutnya. Hal tersebut menjadi
penyebab utama partai politik berperilaku praktis-pragmatis,
disamping dorongan dari perubahan dalam sistem pemilu. Dengan
demikian ada kecenderungan dikotomi Islam vs Nasionalis, tidak lagi
kaku karena baik partai Islam maupun Nasionalis sama-sama
membidik pemilih Santri maupun Abangan.
Banyak cara yang dilakukan partai politik untuk meraih suara
agar terhindar dari ambang batas (threshold). Salah satu caranya
adalah dengan berusaha melakukan pendekatan kepada pemilih yang
sejalan dengan perkembangan Pemahamanan partai sebagai jalan
instan bagi partai untuk mendapatkan dukungan suara dari pemilih,
terutama pemahaman ekonomi partai. Walaupun partai politik
merasakan perlunya penguatan ideologis untuk meraih keuntungan
jangka panjang, namun hal ini memerlukan waktu lama. Oleh karena
itu hampir semua partai politik, dengan kadar berbeda berusaha
melakukan pendekatan dengan cara praktis, termasuk mengaburkan
identitas ideologisnya untuk memenuhi target jangka pendek, yaitu
mengejar batas minimum perolehan suara.
Fenomena berkembangnya partai politik yang berperilaku
praktis pragmatis serta mengaburkan identitas ideologis untuk
mengambil spektrum pemilih yang lebih heterogen (catch all party),
dalam jangka panjang justru akan merugikan partai itu sendiri. Hal
yang penting bagi partai politik sebenarnya bukan merekayasa
216
PENUTUP
identitas ideologis ke arah abu-abu, melainkan kejelasan platform
partai yang ditrasformasikan ke dalam bentuk program-program
partai yang lebih jelas dan kongkrit. Kenyataan yang terjadi sekarang
ini adalah inskonsistensi partai politik dalam memperjuangkan
aspirasi rakyat. Partai politik yang bernuansa ideologis, tidak harus
kehilangan kemampuannya dalam membangun partai yang bersifat
programatik.
Lebih jauh, partai politik yang berfungsi sebagai agregasi dan
artikulasi kepentingan, tidak lagi menawarkan platform dan program
partai yang penuh kualitas sebagai produk politik yang akan dijual.
Sebaliknya, partai politik lebih banyak terjebak pada kepentingan
jangka pendek saat pemilu, berbagai program yang ditawarkan hanya
bersifat karikatif dan tidak mendidik. Kalau dilihat dari perspektif
rasional sebenarnya masyarakat akan berusaha untuk mencari produk
partai politik yang akan meningkatkan keuntungan yang sebesarbesarnya kepada mereka. Akan tetapi karena rendahnya tingkat
kepercayaan masyarakat pada partai politik, masyarakat lebih
cenderung mengabaikan produk politik partai yang sifatnya substantif,
berupa tawaran program yang berkualitas, dan lebih memilih produk
partai yang sifatnya karikatif.
Pola hubungan partai dengan konstituen sudah terjebak pada
pola transaksional, sehingga untuk mendapatkan suara dalam pemilu,
parpol membeli konstituen lewat uang, sembako, kaos, pembangunan
Mesjid, pembangunan jalan dan lain-lain. Hal ini dilestarikan oleh
hubungan anggota dewan dengan konstituennya, yang terhanyut
dalam pola politik sejenis pasca Pemilu. Anggota dewan terjebak untuk
memberikan bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif dan
berbiaya tinggi. Hal ini ditenggarai juga sebagai sebuah ketakutan
dari pimpinan partai politik akan kehilangan dukungan konstituennya
sebagaimana yang dikemukakan Feith (1974), “...party leaders were
afraid that their members would desert them if not given sufficient reward...”
Pola Aliran Semakin Tidak Terkonstruksi
Dalam pemilu 1999, beberapa partai yang dianggap mempunyai
hubungannya dengan pemilih Islam, yaitu PKB, PPP, PAN, PKS, PBB,
cukup mendapat dukungan dari pemilih dan PKB mempunyai
dukungan pemilih paling besar. Di Malang Raya Partai Kebangkitan
217
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Bangsa menempati urutan kedua terbesar setelah PDIP yaitu 29,57
% untuk Kabupaten Malang, 19,60 % untuk Kota Malang. Sementara
dukungan pemilih pada partai Islam lainnya tidaklah signifikan,
kecuali untuk PAN yang punya basis pemilih golongan Islam Modernis
mendapat 10, 53 % di Kota Malang. Sementara di Daerah Kabupaten
Malang pemilih memberikan suaranya kepada PDI-P sebanyak
510.450 pemilih (38,47%) pada pemilu 1999 dan 357.008 pemilih
(28,97%) pada pemilu 2004. Kondisi ini, bagi kalangan elit politik
dianggap sebagai kenyataan ideologis yang mungkin disamakan
dengan hasil pemilu 1955 dimana partai Islam memperoleh sekitar
40 % suara secara keseluruhan dan partai Nasionalis mendapat 60%,
dimana PNI menjadi partai mayoritas nomor satu.
Dalam pemilu 2004, hasil perolehan suara menunjukan bahwa
suara partai-partai besar mengalami penurunan drastis. PDIP
kehilangan 14% suaranya secara nasional dan harus kalah dari Partai
Golkar. Namun demikian, dominasi PDIP di Malang Raya masih tetap.
Di Kabupaten Malang, PDI-P meraih 28,97 persen suara, Partai Golkar
16,68 persen suara, dan PKB 25,72 persen suara. Di Kota Malang
PDIP meraih 25,84 persen suara, PKB 17,36 persen suara, dan Partai
Golkar mendapat 14,55 persen suara. Sementara di Kota Batu PDIP
memperoleh 18,97 persen suara, PKB, 12,59 persen suara, dan Partai
Golkar mendapat 19,67 persen suara. Bgitu juga dengan Partai
Amanat Nasional (PAN), yang mampu memperoleh suara signifikan
pada Pemilu 1999 harus merelakan sebagian konstituennya lari ke
partai Lain. Hal ini menurut hasil analisis data yang diperoleh dari
KPUD menunjukan bahwa penurunan suara PAN ini diikuti dengan
kenaikan suara PKS. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
sebagian konstituen PAN beralih ke PKS.
Fenomena penurunan suara partai pada pemilu 2004, merupakan penjelasan dari keberadaan swing votes. Akibat pemilih tidak
punya loyalitas ideologis dengan partai, maka pemilih dapat dengan
mudah memindahkan dukungan politiknya ke partai lain yang dapat
memenuhi harapan mereka. Lebih jauh, berkembangnya fenomena
swing votes, tidak hanya berpengaruh pada proses pengkaburan
politik aliran, namun juga berdampak pada munculnya kekuatan
baru pada peta politik kepartaian di Indonesia. Oleh karena itu banyak
partai Islam yang kehilangan pegangan politik sehingga mereka tidak
218
PENUTUP
punya keberanian yang cukup untuk mentranlasikan ideologi
politiknya secara transfaran kepada publik. Demikian sebaliknya,
partai Nasionalis tidak punya keyakinan untuk tetap setia mempertahankan basis tradisionalnya tanpa melakukan ekspansi ke luar.
Dengan demikian memasuki pemilu 2004, akibat adanya
perubahan dalam sistem kepartaian dan pemilu, dan perluasan
Pemahamanan partai oleh pemilih, pola hubungan yang berbasis
aliran sedikit mengalami perubahan. Hasil pemilu 1999 yang cukup
kental dengan warna ideologis, pada pemilu 2004 hasil pemilu lebih
mencair sebagaimana dibuktikan dari penurunan perolehan suara
partai-partai yang merepresentasikan ideologi seperti PDIP, PKB,
PAN, dan Golkar. Pada pemilu 2009, sistem pemilu dengan daftar
terbuka murni lebih mendorong partai untuk melupakan label
ideologis karena peran caleg lebih dominan dalam upaya meraih
suara. Hasil perolehan suara pemilu 2009 menunjukan adanya
perubahan yang cukup signifikan terkait pola hubungan yang berbasis
aliran.
Dari hasil perolehan suara dan kursi di DPRD bahwa pada
pemilu 1999 pola hubungan berbasis aliran masih terkonstruksi,
sementara pada pemilu 2004 konstruksi politik politik aliran
mengalami penurunan. Berbeda dengan pemilu 1999 dan 2004, pada
pemilu 2009, konstruksi pola hubungan partai dan pemilih berbasis
aliran sudah sangat melemah, kalau tidak dikatakan hilang.
Pada pemilu 1999, PDIP yang menjadi representasi dari pemilih
Abangan, PKB dan PPP yang menjadi representasi dari pemilih Santri
Tradisional, PAN dan PK representasi dari pemilih santri Modernis,
sementara Golkar menjadi representasi dari pemilih Priyayi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pada pemilu 1999 nuansa ideologis
masih kental mewarnai perpolitikan di Malang Raya. Sementara dari
hasil perolehan suara pada pemilu 2004, menunjukan bahwa politik
aliran sudah mulai mengalami pemudaran. Warna ideologis yang
berkembang baik itu Nasionalis yang merah, maupun Islam yang hijau
tidak lagi sepekat pemilu 1999. Hal ini bisa dibuktikan dari penurunan
suara dialami oleh PDIP, PKB, PAN maupun Golkar di Kabupaten
dan Kota Malang.
PDIP, PKB, dan Golkar yang merupakan simbolisasi dari politik
aliran tidak lagi menjadi partai dengan perolehan kursi terbesar, pada
219
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
pemilu 2009 dominasi ketiga partai ini tidak terjadi. Beberapa partai
muncul ke permukaan seperti Partai Demokrat, PKS, PAN dan beberapa partai lain, bahkan Partai Demokrat bisa menghentikan dominasi
PDIP di Kota Malang yang pada pemilu 1999 dan 2004 menjadi
pemenangan pemilu di Malang Raya. Partai Demokrat di Kota Malang
yang pada pemilu 2004 memperoleh kursi 7 kursi kalah 5 kursi dari
PDIP yang memperoleh 12 kursi, pada pemilu 2009 Demokrat
memperoleh 12 kursi sementara PDIP 9 kursi.
Implikasi Teoritis
Dikotomi aliran politik yang dikemukakan Geertz (1960) yaitu
Santri dan Abangan, dalam kehidupan politik, ditransformasikan
menjadi ideologi partai berhaluan Islam dan Nasionalis. Santri yang
dikonsepsikan Geertz sebagai kelompok masyarakat yang taat dalam
menjalankan ajaran Islam terbagi ke dalam dua varian yaitu kelompok
santri modernis dan kelompok santri tradisional (Jackson, 1984).
Kedua varian santri ini, terutama santri yang mempunyai identifikasi
kesantrian yang kuat (Afan Gaffar, 1992), pilihan politik terhadap
partai sangat kental dengan nuansa ideologis, mereka cenderung akan
memilih partai Islam. Walaupun demikian, karena ada perbedaan
pemahaman serta kultur keagamaan dari kedua varian santri ini telah
melahirkan perilaku politik yang berbeda walaupun dasarnya sama
yaitu ideologi Islam. Begitupun mereka yang Abangan, dasar pertimbangan ideologis dalam memilih partai politik cukup kental. Pemilih
abangan umumnya memilih partai yang berhaluan Nasionalis, yang
juga sering dikonsepsikan sebagai partai Sekuler.
Dalam tataran praksis, kosep aliran pada awal pemilu pasca
reformasi masih menunjukan relevansinya, khususnya di Jawa Timur.
Kecenderungan pilihan politik kelompok Santri ke partai Islam dan
Abangan ke Partai Nasionalis berjalan sebagaimana terlihat dari hasil
pemilu baik 1999. Fakta ini dapat dijelaskan dengan konsep identifikasi
diri, yang merupakan hasil dari proses panjang sosialisasi dari mulai
keluarga, kelompok, maupun lingkungan (Hyman, 1959). Persoalan
yang terjadi pada pemilu pasca 1999, dimana partai-partai yang
memperoleh suara cukup besar dalam pemilu 1999 mengalami
penurunan suara pada pemilu 2004 dan 2009, hal ini berarti bahwa
identifikasi diri pemilih terhadap partai mengalami penurunan.
220
PENUTUP
Pemilu 2009 peran partai tidak begitu menonjol, dan peran identifikasi kepartaian menurun atau menjadi kurang signifikan dalam
mempengaruhi prilaku voting.
Kondisi tersebut salah satunya disebabkan oleh karena lemahnya komitmen ideologis partai yang tersurat dalam platform partai
dan sekaligus menjadi agenda politik partai untuk diperjuangkan.
Lemahnya pemahaman ideologi dalam partai berdampak pada model
solusi persoalan bangsa yang relatif seragam dan tidak ada korelasinya
dengan ideologi yang diperjuangkan. Program penyelesaian terhadap
persoalan bangsa, hampir tidak menunjukan adanya perbedaan yang
substansial antara partai satu dengan yang lainnya. Ketika ideologi
menjadi suatu sistem nilai partai, cara berpikir dan bertindak dalam
menyelesaikan persoalan menjadi ciri khas dari parpol yang membedakannya dengan partai lain. Sebagai mana yang dikemukakan oleh
Anthony Downs (1957), bahwa ideologi politik merupakan himpunan
ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat
bekerja, dan menawarkan ketertiban (order) masyarakat tertentu
termasuk menawarkan bagaimana mengatur kekuasaan dan
bagaimana seharusnya dilaksanakan.
Lemahnya ideologi partai berkorelasi pada perilaku politik partai
yang cenderung praktis-pragmatis dalam mensikapi semua persoalan
bangsa. Ideologi sebagai the right of conduct dan juga berperan untuk
mengkritisi ide, gagasan serta program dari partai yang berlainan
ideologi menjadi mandul. Tidak mengherankan bahwa akhirnya
konstituen menjadi lebih pragmatis juga dan punya kecenderungan
memilih figur, kedekatan, atau yang banyak uang dan sumbangannya. Hal ini merupakan ciri dari fenomena yang oleh Nugent (2003)
disebut sebagai defisit demokrasi, karena para pemilih lebih suka figur
dari pada kemampuan kandidat yang berfokus pada muatan politik.
Perilaku pragmatis tersebut bisa dipemahamani sebagai ketidakpercayaan pada partai politik. Hal itu mendorong masyarakat untuk
berperilaku nonpartisan, disamping mendorong terjadinya swing
voters, yaitu berpindahnya pilihan partai politik dari satu partai dalam
pemilu ke partai lain dalam pemilu berikutnya. Apabila hal ini
berlangsung terus, maka identifikasi diri pemilih terhadap partai akan
mengalami kehancuran. Secara teoritik, kondisi ini dijelaskan oleh
Harrop sebagai proses dealignmen, yaitu suatu proses memudarnya
221
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
identifikasi kepartaian dari seseorang kepada partai yang telah lama
diikutinya atau sebagai “the wakening of party loyalities.”
Memudaranya dukungan terhadap partai akan berarti hilangnya suara partai yang bersangkutan. Hal tersebut akan mendorong
tumbuhnya partai baru, atau meningkatnya kekuatan partai baru
sebagai akibat dari bergesernya identifikasi diri partai dari pemilih.
Di dalam negara-negara demokrasi liberal, termasuk Indonesia,
penomena memudarnya dukungan atau menurunnya identifikasi
partai akan menyebabkan berpindahnya pemilih ke partai lain atau/
dan terbentuknya partai baru sebagai wadah baru untuk menyampaikan aspirasinya. Sebagaimana yang terjadi pada pemilu 1999 dan
2004, dimana sebagian massa PDIP, PKB, PAN harus hilang dan
memunculkan partai politik baru yaitu Partai Demokrat, sementara
PKS pada pemilu 2004, Partai Gerindera dan Partai Hanura pada
pemilu 2009.
Kenyataan tersebut berimplikasi pada eksistensi, pola-pola aliran
seperti model Geertz. Pola hubungan partai dan pemilih di Indonesia
pada saat pemilu yang jelas menggambarkan pola aliran, pasca
reformasi hubungan partai dan pemilih berbasis aliran ini mengalami
kekaburan. Hal ini berarti bahwa perilaku politik pasca reformasi tidak
lagi bisa dijelaskan dengan hanya memakai konsep politik alirannya
Geertz. Walaupun begitu, konsep aliran politik ini akan tetap menjadi
kekuatan laten yang akan tetap mewarnai perpolitikan di negara kita.
Dengan demikian walaupun konsep aliran masih berperan dalam
menjelaskan perilaku politik Indonesia, namun konsep aliran ini harus
ada penyesuain dengan realitas politik yang berkembang.
Catatan Ke Depan
Berdasar hasil yang diperoleh dari penelitian lapangan yang
penulis lakukan di Malang Raya, ada beberapa fenomena yang kurang
mendukung bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Oleh
karena itu penulis merumuskan beberapa saran perbaikan sistem ke
depan agar proses demokrasi dapat berjalan baik di Indonesia.
Adapun saran-saran yang penulis ajukan sebagai berikut:
Pertama, tampilan ideologis menjadi hal yang sangat penting
bagi suatu partai politik, sebagai suatu platform yang menjadi basis
perjuangan politiknya di legislatif dan pemerintahan. Sebab ideologi
222
PENUTUP
partai dianggap sebagai sistem kepercayaan yang menciptakan pola
tingkah laku politik yang penuh pemahaman sebagai pilihan-pilihan
moral dan filosofis yang relatif koheren dan berpengaruh untuk
membangun hubungan individu dengan masyarakat. Juga sebagai
prinsip moral yang menjadi dasar pemakaian kekuasaan, selain sangat
membantu partai untuk memahami sebagian determinan pendapat
umum serta merumuskan kepentingan-kepentingan dan pilihanpilihan politik yang akan diperjuangkan bagi rakyat. Dengan
demikian, menjadi penting adanya kejelasan idelogi dalam partai
karena posisi partai akan menjadi jelas dalam ranah penyusunan
agenda dan perumusan kebijakan publik. Hal ini juga sekaligus
melaksanakan fungsi melayani masyarakat akan referensi yang
mereka butuhkan, disamping dapat mendekatkan aktor atau elit
partai melalui adanya ikatan kesamaan norma di antara mereka dan
masyarakat.
Kedua, belum adanya peraturan partai yang mengatur, mengelaborasi dan mendesain pola mengenai bagaimana membangun
hubungan dengan pemilih. Hubungan dengan pemilih menjadi
bersifat individu dan tidak sistemik. Agar dapat menjamin kontinuitas
dukungan pemilih kepada partai, maka partai harus merancang,
membangun tradisi dan melembagakan pola hubungan dengan
pemilih dalam suatu peraturan partai yang komprehensif.
Ketiga, komunikasi parpol dengan pemilih pada umumnya
masih satu arah, yaitu dari parpol kepada pemilih, sehingga desain
program parpol tidak mencerminkan harapan dan kebutuhan
konstituen yang diwakilinya. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi
timbal balik antara partai dengan pemilih sehingga desain partai
menjadi selaras dengan harapan dan aspirasi dari pemilihnya.
Keempat, sistem multipartai yang berlaku sekarang ini telah
melahirkan kualitas dan kinerja parlemen yang tidak baik dan tidak
efisien. Oleh karena itu sistem kepartaian perlu lebih disederhanakan
untuk mendorong Parlemen bekerja efektif. Parliamentary threshold
2,5 % yang telah diberlakukan pada pemilu 2009 telah memangkas
partai ikut serta di Parlemen menjadi hanya 9 partai. Pada pemilu ke
depan, parliamentary threshold perlu di tingkatkan sampai di atas 5 %
agar keberadaan partai di Parlemen lebih sederhana. Dalam rangka
menjamin keselarasan, parliamentary threshold, tidak hanya
223
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
diberlakukan di tingkat pusat, namun juga perlu dilaksanakan di
tingkat Daerah (Provinsi, Kota / Kabupaten).
Kelima, sistem pemilu dengan menggunakan proporsional daftar
terbuka telah mendorong kompetisi yang tidak sehat baik di internal
partai maupun dengan luar partai. Dalam rangka memenangkan
persaingan, caleg yang diusung partai melakukan segala cara
termasuk melakukan character assasination terhadap kompetitor, dan
juga melakukan pembelian suara kepada pemilih. Disamping itu,
anggota yang dihasilkan dengan sistem daftar terbuka ini justru telah
melahirkan kualitas anggota dewan yang tidak bertambah baik. Agar
kondisi ini tidak terus berlanjut, maka perlu adanya peraturan yang
dapat menjamin terjadinya kompetisi yang lebih sehat. Disamping
itu perlu adanya syarat kapasitas, dan akseptabilitas terhadap calon
anggota dewan, selain verifikasi adaministratif yang dilaksanakan
oleh KPU.
Keenam, pasca reformasi masyarakat terlalu banyak disuguhi
dengan pemilu baik legislatif, presiden, gubernur, bupati dan walikota.
Kondisi ini telah mengakibatkan pemilih mengalami kejenuhan dalam
mengikuti pemilu, sehingga menciptakan rendahnya partisipasi dalam
setiap pemilu. Lebih jauh, pemilu dijadikan sebagai ajang cari
keuntungan secara ekonomi dari calon yang membutuhkan suara
mereka. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk membatasi
pelaksanaan pemilu dengan cara menyatukan pelaksanaan pemilu,
misal pemilu legislatif dilaksanakan berbarengan dengan pemilu
presiden, pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan secara serentak di
seluruh wilayah Indonesia.
224
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik ed. (1983) Agama dan perubahan Sosial. Jakarta :
Rajawali Press.
Alfian (1989) Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim
Modernist Organisation Under Dutch Colonialism. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
—————, (1973) Analisa Hasil Pemilihan Umum 1971, LIPI, Jakarta.
—————, dan Nazaruddin Syamsuddin, (1988) Masa Depan
Kehidupan Politik Indonesia, Rajawali Press: Jakarta.
—————, 1990, Masalah dan Prospek Pembangunan Politik
Indonesia, Kumpulan Karangan, Jakarta: PT. Gramedia
Ali, Fachry (1994) How State Comes to the People?: the Acehnese and the
New Order State. A Paper presented at the Indonesian Study
group, Research School of Pacific and Asian Studies, ANU,
Canberra, 8 June 1994.
————— (1994) Keharusan Demokratisasi dalam Islam di Indonesia.
A paper presented at a seminar held in LIPI by Majelis Sinergi
Kalam, ICMI, Jakarta.
—————, (1996) Pengaruh Aliran Dalam politik Indonesia,
unpublished paper.
Alford, Roberth R., (1963) Party and Society, Rand McNally and
Company, Chicago.
Almond, Gabriel and Sidney Verba, (1963) The Civic Culture. New
Jersey: Prenceton Univerity Press,
————— (1966) Comparative Politics, A Developmental Approach.
Boston: Little, Brown and Company.
Amal, Ichlasul, Dr., (1988) Teori-Teori Mutakhir Partai Politik.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Amstutz, R., Mark, (1982) An Intorduction to Political Science, The
Management of Conflict. USA: Foreman and Company.
Anderson, Benedict R. O’G., (1990) The Idea of Power in Javanese Power,
dalam Benedict R. O’G. Anderson Culture and Politics in
Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press.
———, (1990) Language and Power, Exploring Political Cultures in
Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press.
Andrews, Mac, Collin, dan Mohtar Mas’ud. (1990) “Perbandingan
225
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Sistem Politik”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Antony Black, (2006) Pemikiran Politik Islam, Terj. Abdullah Ali, Cet,
I, Jakarta.
Anderson, B. and Kahin, Andrey (1982) Interpreting Indonesian Politics:
Thirteen Contribution to the Debate. Ithaca : Cornell Modern
Indonesian Project.
Arifin, Imron (1993) Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren
Tebuireng. Malang : Kalimasahada Press.
As’ad, M.Z. Widjaja (1991) Elit Agama dan Massa Pemilih dalam
Perspektif Budaya Politik. Unpublished MA thesis. Yogyakarta:
Gadjahmada University.
Azra, Azyumardi, (2002) Reposisi Hubungan Agama dan Negara,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
—————, dkk. (2004) Pergulatan Partai Politik Di Indonesia, Jakarta:
PT. RajaGrafindo.
Barness, Douglas F. (1978) “Charisma and Religious Leadership: An
Historical Analysis”, Journal of the Scientific Study of Religion, 17(1):
1–18.
Barton, Greg and Fealy, Greg ed. (1996, forthcoming) Nahdlatul Ulama,
Traditional Islam and Modernity in Indonesia. Centre of Southeast
Asian Studies, Monash University.
Bernard Lewis, (2002) Islam Liberalisme Demokrasi, Terj. Mu’im A Sirry,
Cit. I. Jakarta: Para Madina,
Berelson, Bernard R., et.al, (1954) Voting, University of Chicago Press,
Chicago.
Binder, Leonard (1959) “Islamic Tradition and Politics: The Kyai and the
Alim”, Comparative Study in Society and History, (2): 250–256.
————, et al. (1971) Crises and Sequences in Political Development,
New Jersey: Princeton University Press.
Boboy, Max, SH., (1994) DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan Tata
Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor, (1992) Pengantar metoda penelitian
kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-ilmu
Sosial, (Diterj. Arief Furchan) Surabaya: Usaha Nasional.
Bone and Ranny, (1980) Politics and Voters, Mc. Graw-Hill inc.Illiones.
Bourchier and Legge John (editor). (1994) Democracy In Indonesia
1950 and 1990s. Australia: Aristoc press Pty.
226
DAFTAR PUSTAKA
Bogdan, R.C. And Taylor, (1992) Introduction to Qualitative Research
Methods: A Phenomenological Approach to The Social Sciencies.
New York: John Wiley & Sons.
Brannen, Julia. (1993) Mixing Methods: Qualitative and Quantitative
Research. USA:Ashgate Publishing Company.
Bruinessen, Martin van 1994 NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian
Wacana baru. Yogyakarta : LKIS.
—————, (1992) Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung :
Mizan.
—————, (1995) Kitab Kuning, Pesantren dan tarekat: Tradisi-Tradisi
Islam di Indonesia. Bandung : Mizan.
Budiarjo, Miriam, (1992) Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.
Gramedia.
Bulkin, Farchan, (1983) State and Society: Indonesian Politics Under the
New Order (1966-1978). Ph.D. Diss. University of Wahsington,
Seattle.
Campbell, Angus, Gerald Gurin, and Warren Miller, (1954) The Voter
Decides, Evanston: Row, Peterson and Co.
———, et al., (1960) The American Voter. New York: John Wiley and
Sons.
———,, et al., (1966) Election and the Political Order, John Willey and
and Sons, New York.
Clifford Geertz, (1986) Mojokuto, Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa.
Jakarta: Pustaka Grafitipers.
Crouch, Harold. 1978. Patrimonialism and Military Rule In
Indonesia. World Politics Vol. 31, No. 4, USA.
________, (1994) Democratic Prospects in Indonesia, in David Bourchier
& John Legge (eds.) Democracy in Indonesia, 1950s and 1990s,
Clayton, Victoria: Center of Southeast Asian Studies, Monash
University, (Monash Papers on Southeast Asia No. 31).
Cumming, Milton, (1956) Congressmen and the Electorate, The Free Press.
Czudnowski, Moshe, M. (1976) Comparing Political Behavior, London:
Sage Publication Inc, New York.
Dahl, Robert, (1956) A Preface to Democracy Theory. Chicago: University
of Chicago Press.
Deliar Noer, (2006) Partai Islam di Pentas Nasional, Cet. I, Bandung:
Mizan.
227
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Dhofier, Zamakhsyari, (1980) The Pesantren Tradition: A Study of the
Role of the Kyai in the Maintenance of the Traditional Ideology of
Islam in Java. Ph.D. Thesis, ANU, Canberra .
Dhofier, Zamakhsyari, (1982) Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kyai. Jakarta : LP3ES.
Dankwart, A., Rustow, Transition to Democracy. To Ward To Dynamic
Model, Comparative Politics Vol. 2. No. 3: 337-363.
Deutch, Karl, W. (1961) “Social Mobilization and Political Development”.
American: Science Review, LV.
Dhakidae, Daniel, (1999) “Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi,
Strategi dan Program”. Dalam Tim Penelitian Litbang Kompas
(editor). Edisi Pemilihan Umum. Jakarta: Litbang Kompas.
Diamond, Larry, (2003) Developing Democracy, Toward Consolidation,
terjemahan. Yogyakarta: IRE Press.
————, (1966) Political Opposition in Western Democracies. New
Haven: Yale University Press.
Dalton, Russel J., (1988) Citizen Politics in Western Democracies: Public
Opinion and Political Parties in the United States. Great Britain,
Chatam House, West Germany, and France, Chatam, NJ.
Denver, David,. 1989 Election and Voting Behavior in Britain. London:
Philip Allan Published.
Dhakidae, Daniel, (1981) Partai Politik Dan Sistem Kepartaian Di
Indonesia, Dalam Prisma 12 Des., LP3S.
Dreyer, C., Edward and Rosenbaum, A., Walter, (1976) Political
Opinion and behavior, Essay and Studies (Third Edition),
Wadsworth Publishing Company, Inc. California.
Down, Anthony, (1957) An Economic Theory of Democracy, Harver
and Brothers.
Drijarkara, N., (1978) Percikan Filsafat, Jakarta: Pembangunan Jaya.
Easton, David, (1953) The Political System. Yew York: Alfred A Knopt
Echols, J.M. and Shadily, Hassan (1975) An English Indonesian
Dictionary. Ithaca, London : Cornell University Press.
Effendy, Bahtiar (1998) Islam dan Negara:Tranformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina.
Emerson, D.K., (1978) The Bureaucracy in Political Context: Weakness
in Strength”. In Jackson, Karl D and Pye, Lucian ed., Political
Power and Communication in Indonesia. Los Angeles : University
228
DAFTAR PUSTAKA
California Press.
Emmerson, Donald K., (1976) Indonesia’s Elite: Political Cultural and
Cultural Politics, Ithaca: Cornell Univeersity Press.
Eriyanto, (1999) Metodologi Polling, Memberdayakan Suara Rakyat,
Bandung, PT Rosdakarya Offset Bandung.
Eulau, Heinz, (1965) The Behavior Persuation in Politics, New York:
Random House, New York.
Fajar, Mukti, (2008) Partai Politik Dalam Perkembangan Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Malang: In-TRANS Publishing.
Farrel, M. David, Comparing Electoral Syatem, London: MacMillan
Press Ltd., 1997.
Farganis, James, (2000) Reading In Social Theory, The Clasic Tradition
to Post-Modernism, USA:The McGraw-Hill Companies, Inc.
Fathoni, Khoerul and Zen, Muhammad (1992) NU Pasca Khittah:
Prospek Ukhuwwah dengan Muhammadiyah. Yogyakarta : Media
Widya Mandala.
Feith, H., (1970) “Introduction”. In Feith and Castle, Lance ed.
Indonesian Political Thinking, 1945–1965. Ithaca : Cornell
University Press.
————, (1978) The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia,
Ithaca and London: Cornell University Press.
————, (1957) Indonesian Elections of 1955, Modern Indonesia Project
Southeast Asia Program, Ithac, New York:Cornell niversity.
Fisher, Michael M.J., (1980) Iran: From Religious Dispute to Revolution.
Cambridge : Harvard University Press.
Flaniagan, H. W., (1968) Political Behaviro of the American Electorate,
Boston: Allyn and Bacon.
Fox, James J., (1991) “Ziarah Visits to the Tombs of the Wali, the
Founders of Islam on Java”. In Ricklefs, M.C. Islam in the
Indonesian Context. Clayton, Victoria : Centre for Southeast Asian
Studies, Monash University.
Fox, James J. and Dirjosanjoto, P., (1989) “The Memories of Village
Santri from Jombang in East Java”. In May, R.J. and O’Mallay,
William J. ed. Observing Change in Asia. Bathurst : Crawford
House Press.
Friedrich, Carl J. 1961 “Political Leadership and the Problem of the
Charismatic Power”, The Journal of Politics, No. 1 February: 3–24.
229
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Finer, E., S. (1970) Comparative Government, An Introduction to the Study
of Politics. New York: Allen Lane The Penguin Press.
_________, (1985) Comparative Government. New Zealand: Penguin
Books.
Finkle L., Jason and Rachard W. Gable, (1971) Political Development
and Social Change (second edition), John Wiley & Sons, Inc.
Canada.
Flanagan, Scoot, C. et.al., (1991) The Japanese Voters. New York: Yale
University Press.
Free, Lioyd A. and Hadley Cantril, (1968) The Political Beliefs of
Americans. New York: Simon and Schuster.
Gaffar, Afan, (1992) Javanese Voters, A Case Study of Election Under
Party a Hegemonic Party System. Yogyakarta Gadjah Mada
University Press.
Geertz, Clifford, (1960) The Religion of Java. Glencoe : The Free Press.
————— Clifford, (1959) “The Javanese Kyai: The Changing Role
of a Cultural Broker”, Comparative Studies in Society and History,
(2): 250–256.
—————, Clifford, (1965) The Social History of an Indonesian Town.
Cambridge, Massachusets : MIT Press.
—————, Clifford, (1981) Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat
Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya
Gellner, Ernest, (1969) Saints of the Atlas. London : Weidenfeld and
Nicolson.
Gilsenen, Michael, (1973) Saint and Sufi in Modern Egypt: An Essay in
the Sociology of Religion. Oxford Monograph on Social Anthropology.
Greenstein, Fred J., (1969) Personality and Politics. Chicago: Markham
Publishing.
Haidar, M Ali 1994 Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan
Fikih dalam Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Hammond, J.L., (1979) The Politics of Benevolence: Revival Religion and
American Voting Behaviour. Norwood : Ablex Publishing
Corporation.
Haryanto, (1984) Partai Politik Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Liberty.
Hague, Rod, Martin Harrop and Shaun Breslin. 1992. Political Science,
A comparative Introduction. Great Britain: The Macmillan Press
LTD.
230
DAFTAR PUSTAKA
Harrop, M. And William L.M., (1987) Election and Voters, London:
The McMillan Press.
Hefner, Robert W., (1987) “Islamizing Java?: Religion and Politics in
Rural East Java”, The Journal of Asian Studies, 46(3): 533–553.
Heijer, Johannes den, (1992) A Guide to Arabic Transliteration:
Comparative Transliteration Tables and a List of Selected Arabic
Terms Related to Islamic Studies. Jakarta : INIS.
Heywood, Adrew , (2000) Key Concepts In Politics:London, MacMillan
Press LTD
Hill, Michael, (1973) A Sociology of Religion. Hampshire : Avebury.
Hidayat, Komarudin dan Yudhie Latif, (2004) Manuver Politik Ulama.
Yogyakarta: Jalasutra.
Huntington, Samuel P., (1983) Tertib Politik di Negara Yang Sedang
Berkembang. Cetakan I dan II, Jakarta: CV. Rajawali .
________, (1991) The Third Wave, Democratization in The Late Twentieth
Century. Norman and London: University of Oklahoma Press.
________, (1995) “Gelombang Demokratisasi Ketiga”. terjemahan,
Jakarta: PT. Intermasa.
Husserl, Edmund, (1965) Phenomenology and the Crisis of Philosophy,
New York: Harper & Row, Publishers, Inc.
——————, (1970) The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology (Translated by: David Carr), Evanston:
Nortwestern University Press.
——————, (1976) Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology,
(translated by: W.R. Boyce Gibson), London: Routledge & Kegan
Paul.
Hyman, Herbert H., (1969) Political Socialization. Yogyakarta: Collier
Mcamillan Canada, Ltd.
Imawan, Risranda, 2004, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan Hati
Mencari Jati Diri, Pidato Pengukuhan Guru Besar,Yogyakarta, UGM
Jackson, Karl D., (1973) Traditional Authority, Islam and Rebellion.
Berkeley : University of California Press.
————, dan Lucian, W. Pye, (1978) Political Power and Communication
in Indonesia, London, University of Californis Press.
Jenkins, D., (1984) Suharto and His General: Indonesian Military Politics
1975–1983. Cornell Modern Indonesian Project.
231
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
——————, (1978) Political Power and Communication in Indonesia.
London: University of California Press.
——————, (1980) Traditional Authority, Islam and Rebellion.
Berkeley: University of California Press.
Jaros, Dean (1974) Explaining the Political Behavior of Individual: Group
or Social Factors, Dean jaros, Political Behavior, Choices and
Perpective, St Martin’s Press, New York.
Jenning, M. Kent and L. Harmon Zeigler, eds., (1966) The Electoral
Prosess, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, N.J.
J.C Wahlke, dkk, The Legislative System, New York, 1962 dalam Prof.
Dr. A. Dalam Hoogerwerf, Ilmu Pemerintahan. Jakarta:
Erlangga, 1983.
Kartodirdjo, Sartono, (1973) Protest Movement in Rural Java: A Study
of Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early Twentieth Century,
Kuala Lumpur : Oxford University Press.
Kazhim, M. dan Alfian Hamzah, (1999) Lima Partai Dalam Timbangan,
Bandung: Pustaka Hidayah.
Key, Jr., V.O., (1958) Politics, Parties, and Pressure Groups, New York:
Vail-Ballou Press.
—————, (1966) The Responsible Electorate, Belknap Press of Harvard
University Press, Cambrige, Mass.
Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kristiadi, Joseph, (1994) Pemilihan Umum dan Pemilih, Desertasi Doktor
Di Universitas Gadjah Mada.
Lane, Robert E., (1959) Political Life, The Free Press, New York.
Langton, Kenneth P., (1969) Political Socialization. New York: Oxford
University Press.
Lazarsfeld, Paul, Berbard Berelso, and Hazel Gaudet, (1944) The People
Choice. New York: Columbia University Press.
—————, (1962) Political Ideology. New York: The Free Press.
—————, (1969) Political Thinking and Consciousness. Chicago:
Markham Publishing.
Lev, S. D., (1966) The Transition to Guide Democracy: Indonesian Politcs,
1957-1959, Monograph Series, Modern Indonesian Project, New
York: Cornell University.
232
DAFTAR PUSTAKA
Liddle, W.R., (1978) Participation and the Political Parties. In Jackson,
Karl D and Pye, Lucian ed. Political Power and Communication in
Indonesia. Berkeley : University of California Press.
—————, (1978) The 1977 Indonesia Election anf New Orde Legitimasy,
Southeast Asian Affair (Singapura: Institute for Southeast Asia
Affair Asia Studies, 1978.a)
—————,(1974) “Power, Participation and The Political Party in
Indonesia”, Center for International Studies, MIT,.
—————, 1992. “Sungai Budaya. Tempo. 12 April.
Lipset, Saymore M., (1960) Political Man, Garden City, N.Y.:Doubleday
and Company,
———— and Stein Rokkan, (1967) Party System and Voter Alignments:
Cross National Perspectives. New York: The Free Press.
Liddle, William, R., (1994) Soeharto’s Indonesia: Personal Rule and
Political Institutions. Leirissa, RZ.. PRRI Permesta. Jakarta: Grafiti
.Pers.
Mackenzie, W J M, (1978) Political Indentity. New York: As. Martin’s
Press.
Mackie, J.A.C., (1990) “Property and power in Indonesia”, dalam
Richard Tanter dan Kenneth Young, The Politics of Middle Calss
Indonesia, Clayton: Center of Southeast Asian Sutdies, Monash
University.
Mas’oed, Mohtar, (1989) Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru
1966 - 1971. Jakarta: LP3ES.
Mintadireja, S., M., (1971) Masyarakat Islam dan Politik Indonesia,
Djakarta: Permata Djakarta.
Mochtar, Hilmy, (1989) Dinamika Nahdlatul Ulama: Suatu Study tentang
Elite Kekuatan Politik Islam di Jombang Jawa Timur. Unpublished
MA thesis, Gadjahmada University, Yogyakarta .
Moelang, Lexy, J. (1991) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Muhaimin, Yahya, dan Andrews, Mac Colin. (1985) Masalah-Masalah
Pembangunan Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mujani, Saeful, (2007) Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, Dan
Partisipasi Politik Indonesia Pasca Demokrasi, Jakarta: PT Gramdia
Pustaka Utama.
233
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Mulkan, M. A. (1988) Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi
Ummat Islam, Dalam Prespektif Sosiologis, Jakarta: CV.
Rajawali.
Neill Nugent, (2003) The government and Politics of the European Union,
Edisi ke-5, Hampshire: Palgrave MacMillan
Nimo, Dan, (1970) The Political Persuades, Tokyo: Prentice-Hall.
Nurjaman, Asep, (1998) Kepolitikan Orde Baru Dalam Prespektif
Struktural Dan Kultural, Malang: UMM Press.
O’Donnel, Gulilermo, (1978) Reflection on the Paterns of Change in the
Bureaucratic Autnoritarian State”, Latin American Research
Review, 8.
Palma, Di., (1990) To Craft Democracies, An Essay on Democratic
Transitions Berkeley. Los Angelo
Pomper, Gerald, (1966) Politics: Essay and Reading, USA: Rinehart and
Winston, Inc.
—————, (1975) Voter’s Choice: Varieties of American Electoral
Behavior. New York: Dodd, Med Company.
Pool, Ithiel de Sola, Robert Abelson, and Samuel Popkin, (1964)
Candidates, Issues, and Strategies. Cambrige: The M.I.T. Press..
Ramage, E. Douglas, (1995) Democracy, Islam and the Ideology of
Tolerance. London and New York: Routledge.
Ranney, Austin, (1962) Essay on the Behavioral Studi of Politics. Urbana:
University of Illiois Press.
Ricklefs, M. C., (1981) A History of Modern Indonesia. London:
Macmillan.
Ritzer, George, (1985) Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,
Saduran. Alimandan. Jakarta: CV. Raja Wali.
Rose, Ricard dan Ian Mc. Allister, (1990) The Loyalities of Voters: A
Life Time Learning Model, Sage, London and Newburry Park,
CA.
Rush, M. And Phillip A., (1986) Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta:
CV. Rajawali.
Samuel, And Joan M. Nelson, (1976) No Easy Choice: Political
Participation In Developing Countries, Harvad University Press,
USA.
Samson, Allan A. (1978) Conception of Politics, Power, and Ideology
in Contemporary Indonesian Islam. In Jackson, Karl D and
234
DAFTAR PUSTAKA
Pye,Lucian ed. Political Power and Communication in Indonesia.
Berkeley : University of California Press.
Sartori, Geovanni, (1959) Parties and Party System, A Framework fo
analisys. New York: Cambridge University Press.
Smith, D.E. (1971) Religion, Politics, and Social Change in the Third World.
New York: Free Press.
Suhardjo, Achmad 1991 Kemerosotan Perolehan Suara PPP Pada Pemilu
1987, Studi Kasus di Kabupaten Jombang. Unpublished MA Thesis,
Gadjahmada University, Yogyakarta .
Sukamto, (1992) Kepemimpinan Kiai dan Kelembagaan Pondok Pesantren.
Unpublished MA Thesis, Gadjahmada University, Yogyakarta
.
Sundhaussen, (1978) “The Military: Structure, Procedures and Effects
on Indonesian Society”. In Jackson, Karl D. and Pye, Lucian
ed., Political Power and Communication in Indonesia. Berkeley :
University of California Press.
Sherman, Arnold, K. dan Aliza Kolker, (1987) The Social Bases of Politics.
California: Division of Worswath.
Shin, Hwan, Yoon. 1989. Desmitisfying the Capitalist State: Political
Patronage, Bureaucratic Interests, and Capitalists-In-Formation in
Soeharto’s Indonesia. A Dissertation.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, (1989) Metode Penelitian
Survey. Jakarta: LP3ES.
Silalahi, Harry Tjan, (1977) The 1977 General Election: The Result and
The Role of Traditional Authority Relations in Modern Indonesian
Society, Indonesian Quarterly, Vol. V, No. 3.
Siregar, A. (penyunting), (1985) Pemikiran Politik dan Perubahan Sosial,
Seri Pemikiran Politik 1, Jakarta: CV. Akademi Pressindo.
Surakhmad, Winarno, (1989) Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah,
Dasar Metode Teknik. Bandung: TARSITO.
Surbakti, Ramlan, (1992) Memahami Ilmu Politik. Indonesia: Gramedia
Widya Sarana.
Sulistyo, Hermawan, (2000) Palu Arit Di Ladang Tebu: Sejarah
Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Soemargono, Soejono, (1988) Filsafat Abad 20, Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana.
235
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Syamsuddin, D. (editor). (1990) Muhammadiyah Kini dan Esok,
Jakarta: Pustaka Panjimas.
Thohari, Hajriyanto Y., (2002) Kepemimpinan Nasinal, Antara
Primodialisme dan Akuntabilitas, dalam Maruto MD dan Anwari
WMK, (editor), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat,
Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta.
Thomson, John B., (1981) Critical Hermeneutics, A Study in the thoug of
Paul Ricoeur and Jurgen Habermas, New York: Cambridge
University Press.
Viorina, Morris F. (1978) Restrospective Voting in American National
Election. Edward Brother Inc.
Ward, K.E. (1974) The 1971 Election in Indonesia: An East Java Case
Study. Monash Paper on Southeast Asia No. 2. Melbourne :
Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.
Weber, Max, (1976) The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
London : Allen & Unwin.
Wilson, Bryan, (1983) Religion in Sociological Perspective. New York :
Oxford University Press.
Willner, Ann Ruth, (1984) The Spellbinders: Charismatics Political
leadership. Yale: Yale university Press.
Woshinsky, A., Oliver H., (1995). Culture and Politicas, Introduction
to Mass and Elite Political behavior, Prentice Hall, Englewood
Cliffs, New Jersey.
Sumber Lain:
KPUD Kabupaten Malang, Rekapitulasi Hasil pemilu 1999 dan 2004.
KPUD Kota Malang, Rekapitulasi Hasil pemilu 1999 dan 2004.
KPUD Kota Batu, Rekapitulasi Hasil pemilu 1999 dan 2004.
Kompas, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008.
Jawa Pos 2004, 2005, 2006, 2007, 2008
Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD,
DPRD.
Undang-Undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden
236
INDEX
Index
A
Abangan 4, 6, 7, 8, 10, 11, 18, 20, 39,
40, 59, 66, 67, 68, 69, 72, 74, 83,
84, 88, 89, 93, 97, 98, 99, 112, 120,
122, 123, 129, 143, 145, 146, 154, 159,
162, 163, 166, 173, 179, 180, 182, 183,
184, 185, 186, 190, 216, 219, 220
Abdurahman Wahid 33, 34, 94, 181
Abikoesno Tjokrosoejoso 31
ABRI 102, 148
Afan Gaffar 143, 184, 220
Agnelia Sondah 158
Agung Laksono 24
Ahmad Sumargono 28
Akbar Tandjung 110
Akbar Tanjung 165
Al-Irsyad 164
Alwi Sihab 27
Amien Rais
Amin Rais 26, 33, 38, 65, 116, 126,
147, 165, 173, 181
Ampelgading 45, 47
Andre Prana 79
Anis Baswedan 4
Anthony Downs 89, 221
Arab 11
Arek 12, 13, 14, 15, 16, 17
Arudji Kartawinata 31
Authoritarian 43
Ayu Sutarto 12
Azymardi Azra 66
B
Bali 14
Bamus 68
Bantur 45, 47
Banyuwangi 14
Baswedan 5
Bedoyo Keraton 15
Bell 73
Blambangan 14
Blessing indisguise 44
Blimbing 49, 50, 51
Blitar 15, 16
Boimin Nur Suhandri 195
Bojonegoro 14, 15, 42
Bondowoso 14
Bromo 14
Budi Hardjono 156
Bugis Makasar 11
Bululawang 45
C
Castles 29
Catchall party 73, 74, 137, 193, 194, 198,
216
Character assasination 224
Chozin 71
Cina 11, 16
civic disangegament 175
Clifford Geertz 3, 6, 66, 123, 182
Closed list 62
D
Dampit 45, 47, 48
Darul Islam 179
Darul Komar 78
Dau 45, 46
Demokra 22
Demokrat 22, 29, 37, 38, 47, 49, 50,
60, 61, 77, 79, 80, 84, 108, 109, 116,
121, 122, 126, 127, 129, 138, 147, 152,
153, 155, 157, 158, 166, 167, 175,
177, 178, 184, 213, 220, 222
Dhakidae 29
Dibaan 17, 19
Diyah Pitaloka 158
Donomulyo 45, 47, 48
Drs. H. Nurrudin Huda 82
Dwight King 4
E
Edi Sudrajat 23
Eep Saefulloh Fatah 139
237
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Eko Patrio 158
Electabilitas 79
Electoral threshold 47, 71, 165, 166,
193, 216
Endang 80
Erich Fromm 136
Hasyim Muzadi 198
Hatta Rajasa 27
Hidayat Nur Wahid 62
Hidayat Nurwahid 26, 79
HMI 23
I
F
Fatayat 188
Feith 29, 30, 217
Floating mass 43
G
Gedangan 45, 47
Geertz 5, 7, 8, 18, 20, 30, 84, 88,
89, 126, 129, 143, 162, 180, 184, 220, 222
Gerinda
Gerindera 22, 28, 29, 38, 159, 213, 222
Gerrtz 64
GOLKAR 36
Golkar 20, 21, 22, 23, 24, 28, 30, 37,
38, 39, 43, 46, 47, 49, 50, 58, 59, 60,
61, 64, 65, 69, 77, 79, 80, 83, 84, 95,
102, 104, 105, 108, 109, 110, 120, 121,
123, 124, 125, 127, 128, 129, 130, 138,
139, 143, 144,148, 149, 150, 151, 152,
156, 158, 161, 163, 164, 165, 166, 167,
172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 182,
183, 184, 187, 195, 196, 205, 211, 218, 219
Gondanglegi 45
Grassroot 171
Gresik 16
Gus Dur 24, 27, 29, 33, 38, 67, 94,
106, 116, 126, 147, 157, 160, 173, 181, 187,
188, 196, 201
H
H. Fujianto 109
Habibie 156
Hague 136
Hamba–kawula 18
Hamzah Haz 28
Hanura 22, 29, 38, 80, 159, 213, 222
Harrop 221
Hartono 23
I Ketut Putra Erawan 72
Ichlasul Amal 114
Icuk Sugiarto 158
Ikang Fauji 158
incumbent 82, 130, 168
Indra J. Piliang 158
IPKI 37
IPNU 188
Ishom 79
Iskaq Tjokrohadisuryo 36
Isya Anshari 9
J
Jabung 45
Jakarta 28
Jamus 68
Jawa 13, 14, 15
Jawa Pos 197
Jember 14, 16
Jepang 140
Jombang 16
Junrejo 80, 125
Jusuf Kalla 24, 110
K
K.H. Hasyim Ashari 94
K.H. Hasyim Asyari 188
K.H. Hasyim Muzadi 189
Kali Brantas 13, 16
Kalipare 46
Kalipere 45
KAMI 34
Karangploso 45, 46
Karl D. Jackson 8, 179, 189
Kasembon 48
Kediri 15, 16, 42
Kedungkandang 50, 51, 93
238
INDEX
Kepanjen 45
Kesambon 45, 46
KH. Hasyim Asyari 173
Klojen 49, 50
Komunis 29, 36, 41
Komunisme 29, 30
Komaruddin Hidayat 67
Konservatif 93, 187, 201
Kopasus 28
Kristen 4, 67, 69, 70, 90, 199
Kromengan 45, 46, 48
Kuda tuli 24
Kuntowijoyo 13
Kyai 17, 19, 20, 21, 71, 104, 105, 106,
120, 152, 160, 187, 188, 189
L
Lamongan 15
Lawang 45, 154
Liddle 5
Lowok Waru 52
Lowokwaru 49, 50, 51, 93, 109, 198
Lumajang 14
M
M. Yudhie Haryono 67
Madiun 15, 42, 158
Madura 11, 12, 13, 14, 21, 42
Magetan 15, 158
Magis-religius 18
Majapahit 16
Malang Pos 197
Marginal turnover 75
Marhaen 156
Marhaenis 72
Marhaenisme 67, 68, 121
Mark N Hagopian 114
Marxis 6
MASYUMI 31
Masyumi 8, 26, 28, 29, 30, 31, 32,
34, 36, 39, 41, 42, 118, 124, 126, 128,
156, 161, 165, 179, 203
Mataram 14, 15, 16
Mataraman 12, 13, 14, 15, 21
Matori Abdul Jalil 27
Megawati 22, 24, 25, 28, 29, 96, 97,
100, 116, 123, 147, 161, 173, 186, 194, 201
Miing 158
Mintzberg 136
Moderat 75, 93
moderate pluralism 57
Modernis 3, 8, 10, 26, 28, 33, 35, 39,
42, 47, 58, 59, 67, 84, 88, 90, 91,
92, 93, 120, 124, 125, 126, 127, 140,
161, 162, 165, 173, 179, 180, 182, 183,
184, 197, 218
Mohammad Hatta 31
Mohammad Natsir 36
Mojokerto 16
Monolitik 43
Mordenis 83
Muhaimin Iskandar 27
Muhammadiyah 3, 10, 26, 27, 28, 31,
34, 38, 65, 83, 90, 91, 92, 105, 106,
126, 127, 128, 129, 141, 142, 152, 164,
173, 179, 181, 187, 188, 201, 202, 203
MUI 66
Mujani 5
Multimember constituency 62
Murba 37
N
Nabi Muhammad 90
Nangru Aceh Darussalam 211
Nasakom 29, 32
Nasionalis 4, 11, 18, 20, 21, 29, 30,
31, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 42,
64, 67, 68, 69, 70, 72, 74, 75, 76,
77, 83, 89, 111, 112, 120, 122, 123, 125,
126, 154, 159, 160, 161, 162, 173, 176,
181, 183, 192, 193, 194, 199, 215, 216,
218, 219
Nasionalis-Religius 23, 155
Nasionalisme radikal 29, 30
Neo-patrimonial 18
Ngajum 45, 46
Nganjuk 15, 158
Ngantang 45, 46
Ngawi 15
239
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
NKRI 71, 150
NU 3, 10, 11, 21, 26, 28, 29, 30, 31,
32, 33, 34, 36, 37, 39, 41, 42, 44, 65,
71, 83, 88, 94, 95, 106, 118, 124, 125,
126, 127, 128, 156, 157, 158, 160, 161,
174, 181, 186, 188, 196, 198, 201
Nugent 221
Nurjayanti 80
O
Oligarki 200
Open list system 62
Ortodok 179
P
Pacitan 15
Pagak 45, 47, 48
Pagelaran 45
Pakis 45
Pakisaji 45, 46, 48
PAN 21, 22, 26, 28, 33, 34, 35, 38,
39, 47, 49, 50, 58, 59, 61, 64, 65, 66,
67, 75, 77, 78, 79, 83, 84, 91, 105,
106, 109, 116, 117, 118, 119, 123, 125,
126, 127, 128, 129, 131, 147, 156, 158, 161,
165, 172, 175, 176, 177, 178, 181, 182,
187, 201, 202, 203, 217, 218, 219, 220,
222
Pancasila 30, 33, 38, 40, 47, 66, 70,
91, 92, 94, 117, 183, 201
Pandalungan 12, 13, 14, 21
Pare 16
Parkindo 36, 37
Parliamentary threshod 216, 223
Parmusi 32, 37
Partially constructed 175
Partindo 30
Pasuruan 14
patrimonial 19
Patron 19
Patron-clien 19
PBB 22, 28, 30, 34, 35, 39, 49, 72,
75, 77, 84, 117, 125, 126, 128, 156,
165, 178, 182, 203, 217
PBN 123
PBR 35, 75
PDI 28, 36, 43, 44, 58, 143, 211
PDIP 4, 11, 20,, 21, 22, 24, 25, 30,
38, 39, 45, 46, 49, 59, 60, 61, 65, 66,
68, 69, 70, 72, 74, 75, 77, 79, 80, 82,
83, 84, 92, 96, 97, 98, 99, 101, 102,
105, 106, 108, 109, 111, 113, 116, 121, 122,
124, 125, 127, 128, 129, 130, 138, 147,
153, 154, 155, 156, 158, 161, 163, 164,
165, 167, 168, 172, 173, 176, 177, 178,
184, 195, 196, 198, 199, 201, 205, 218,
219, 220, 222
PDS 49, 66, 70
Pendem 80, 125
Persis 164
PERTI 32
Perti 37
Pesantren 17, 19, 20, 104, 105, 108
Piagam Jakarta 40, 91, 92
PIB 80
PK 34, 125, 126
PK Sejahtera 21
PKB 21, 22, 27, 28, 33, 34, 35, 38,
39, 45, 46, 47, 49, 58, 59, 60, 61,
65, 67, 70, 71, 75, 77, 83, 84, 87, 88,
94, 95, 96, 105, 108, 109, 116, 117, 118,
119, 120, 125, 126, 127, 130, 138, 147,
151, 152, 156, 157, 158, 160, 162, 164,
165, 167, 172, 173, 174, 175, 176, 177,
178, 181, 182, 184, 187, 188, 189, 196,
205, 217, 218, 219, 222
PKI 29, 30, 36, 39, 40, 41, 42, 43, 157
PKNU 35, 66, 158, 159
PKP 23, 37
PKPB 23
PKS 22, 25, 26, 28, 33, 34, 35, 47,
50, 61, 62, 66, 72, 75, 77, 79, 82, 84,
91, 116, 119, 126, 128, 141, 147, 151,
152, 163, 166, 167, 175, 177, 178, 182,
184, 187, 188, 196, 197, 201, 202, 203,
217, 218, 220
PKU 34, 174
Pluralisme 58, 61, 75
Plurality-majority 63
240
INDEX
PMI 179
PMII 188
PNBK 37, 68, 80, 121
PNI 24, 29, 30, 35, 36, 37, 39, 40,
41, 42, 97, 161, 218
PNU 34, 35, 174
Poncokusumo 45
Ponoragan 12
Ponorogo 158
Populis 72
Potehi 16
PPNU 182, 187, 189
PPNUI 35
PPP 21, 22, 24, 28, 32, 34, 35, 36, 37,
39, 43, 44, 47, 49, 58, 59, 65, 66, 70,
71, 72, 75, 77, 84, 94, 95, 108, 109, 117,
119, 125, 126, 143, 149, 156, 158, 160,
162, 165, 173, 178, 182, 187, 189, 196,
211, 217, 219
PPTI 32
Prabowo 28, 29
Prabowo Subianto 38
Pratikno 176
Prawiroatmojo 13
PRD 30, 123
Primordialisme 211
Primus 158
Priyayi 4, 6, 7, 20, 39, 59, 64, 66,
84, 89, 126, 143, 162, 179, 182, 219
Probolinggo 14, 16
Prof, Kaprawi, SH 78
Prof. Dr. Gayus Lumbuun 82
Proportional list 62
Proportional open list 78, 81
Propotional closed list 78
PSI 30
PSII 31, 34, 37
PSII 1905 34
PUI 34
Pujon 45, 46
R
R. William Liddle 120
Religio-sosial 30
Religius 67, 69, 70, 76, 77, 120, 176
Riau 62
Riswanda Imawan 72, 73, 74, 138
Romawi 90
Run-off majority 63
S
Saefullah Yusuf 27
Saiful Mujani 4
Saleh Djasit 62, 79
Samin 12, 14
Sandur 17
Santri 4, 6, 7, 8, 10, 11, 17, 18, 20,
39, 66, 67, 68, 69, 74, 83, 84, 88,
90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 99, 103,
105, 111, 120, 122, 123, 126, 127, 129,
140, 145, 146, 152, 159, 160, 163, 164,
165, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185,
187, 189, 190, 197, 201, 203, 215, 216,
219, 220
Sartono 36
Sartono Kartodidjo 104
SBY 22, 23, 25, 29, 155, 157, 166, 167
Sekuler 67, 68, 70, 76, 120, 121
Shock therapy 198
Sidoarjo 16
Simple majority 62
Singosari 45, 47, 154
Siti Nurjanah 80
Situbondo 14
Social cleavages 89
Soeharto 23, 24, 26, 28, 29, 117
Soekarno 24, 29, 30, 36, 97, 156,
160, 161, 194
Soekarnois 72
Soeryadi 100
Soetrisno Bachir 26
Soleh 83
Sosial Demokrat 67
Sosialisme 30
Sosialisme 30, 75
Sosialisme demokratis 29
Sosio-religi 184
Sri Rahayu 82, 155
241
POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH
Tradisionalis 8, 67, 72, 120, 179, 187,
189
Tradisionalisme Jawa 29, 30
Trenggalek 15
Tuban, 15
Tulungagung 15
Tumpang 45
Turen 45, 47
Two round system 63
Srimulat 16
Stambus accord 62
Strong Abangan 184
Subur Triono 79, 157
Suhadi 144
Sukun 49, 50, 51
Sulawesi 156
Sumbermanjing Wetan 45, 47
Sumberpucung 45, 46
Sunaryo 36
Sunda 11
Suni 126
Sunni 90
Supeni 156
Surabaya 16, 42
Surakarta 12, 15
Suryadarma Ali 28
Suryadinata 30
Swing votes 60, 177, 218, 213
Syaodah 80
Syiah 90
U
UGM 26
V
Vote getter 97
W
T
Tajinan 45
Talk show 197
Tantowi Yahya 158
Tengger 12, 14
Tirtoyudo 45, 47
Tjipto Mangunkusumo 36
Tradisiona 152
Tradisional 10, 18, 20, 21, 28, 39, 44,
52, 67, 71, 83, 88, 93, 94, 95, 96,
105, 107, 111, 119, 123, 126, 127, 149,
152, 160, 164, 165, 173, 181, 182, 183,
185, 188, 189, 201, 216, 219
Wagir 45, 46, 48
Wajak 45
Wanda Hamidah 158
Weber 18
Weiner 137
William Liddle 4
Wiranto 29, 38
Wonosari 45, 46
Y
Yogyakarta 12, 15
Yusril Ihza Mahendra 28
Z
Zafin 17
242
Download