partai politik sejarah kepartaian di indonesia

advertisement
SEJARAH KEPARTAIAN DI INDONESIA
Peralihan generasi ke generasi bukan evolusi melainkan
patahan-patahan sejarah yang memutuskan hubungan
antar generasi partai politik
Daniel Dhakidae menyebutkan patahan sejarah dalam
empat generasi parpol di indonesia
1. Generasi pertama (1908-1942)
2. Generasi kedua (1945-1961)
3. Generasi ketiga (1973-1998)
4. Generasi keempat (1998- sekarang)
Generasi Pertama (1908-1942)
• Diawali lahirnya Budi Oetomo 1908 dan
Sarikat Dagang Islam 1912.
• Periode ini adalah masa formasi Masyarakat
Politik: menuju kesatuan politik.
• Terjemahan dari rasa nasionalisme yg
berkembang saat itu.
• Implikasi dari diterapkannya politik etis oleh
pemerintah kolonial belanda.
Generasi Pertama (1908-1942)
• Quasi partai politik; Menjalankan fungsi
parpol namun tdk sepenuhnya krn tdk bisa
berkompetisi untuk memerintah.
• Generasi pertama ini mengalami patahan
pada saat pendudukan Jepang.
• Jepang membentuk putera (Pusat Tenaga
Rakyat) seluruh kekuatan politik “dilebur”
dalam organisasi yg mengabdi pada
kepentingan Jepang.
Generasi Kedua (1945-1961)
Parpol tumbuh setelah dikeluarkannya Maklumat X Tgl 16
Oktober 1945, seperti “jamur di musim hujan”.
Isi Maklumat Wakil Presiden:
“Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum
terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan
legislative dan ikut menetapkan Garis-garis Besar
Haluan Negara, serta pekerjaan Komite Nasional
Indonesia Pusat sehari-hari berhubung dengan
gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan
Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang
bertanggung jawab kepada Komite Nasional
Indonesia Pusat".
Generasi Kedua (1945-1961)
 Pemilihan parpol merupakan manifestasi
pemilahan sosial-ideologis.
 Kuatnya pengaruh politik aliran.
 Herbert Feith dan Lance Castles; bahwa ada dua
sumber utama pemikiran politik di Indonesia,
yaitu tradisi lokal dan pengaruh pikiran Barat.
 Kedua hal ini kemudian menghasilkan lima
aliran politik yang nyata dalam masyarakat
Indonesia pada masa itu, yakni Komunisme,
Sosialisme Demokrat, Islam, Nasionalisme
Radikal dan Tradisionalisme Jawa.
Peta Aliran Politik Generasi Ke-2
BARAT
SOSIALISME
DEMOKRAT
KOMUNISME
NASIONALISME
RADIKA;
ISLAM
TRADISONALISME
JAWA
TRADISI
KIRI
KANAN
Generasi Kedua (1945-1961)
• Generasi kedua mengalami patahan ketika
Soekarno “menyederhanakan” sistem
kepartaian dengan membubarkan beberapa
partai politik; PSI dan Masjumi
• Jumlah partai tersisa 9 partai dari 118 partai
yg pernah berkompetisi pada pemilu 1955.
Generasi ketiga (1973-1998)
• Patahan ketiga dimulai pada awal terbentuknya
rezim Orde Baru.
• Orde Baru melanjutkan penyederhanaan sistem
kepartaian dari 9 menjadi 2 partai politik dan
golongan karya
• Kontrol yg kuat dari negara terhadap partai
politik.
• Golkar sebagai mesin politik rezim dan menjadi
single majority dari pemilu ke pemilu.
• Tumbangnya rezim Soeharto menandai patahan
sejarah partai generasi ketiga.
Generasi Keempat (1998- sekarang)
• Jumlahnya semakin banyak dan bervariasi dari
sisi ideologis.
• Konflik internal pembentukkan partai politik
baru.
• Dalam konteks pasca reformasi, pengelompokan
ke dalam peta politik aliran sudah sulit untuk
dipertahankan.
• Salah satu tawarannya kemudian adalah sebuah
pengelompokkan partai yang membagi dua jalur
utama, yakni kelas dan aliran.
Generasi Keempat (1998- sekarang)
• Partai yang mengambil jalur kelas membedakan
dirinya dari yang lain berdasarkan pandangannya
terhadap modal yang pada akhirnya membagi
masyarakat atas kelas pemodal dan kaum buruh
dengan segala kompleksitasnya.
• Partai yang mengambil jalur aliran membedakan
dirinya berdasarkan pandangannya terhadap
dunia dan persoalannya dan bagaimana cara
memecahkannya, disini jalur agama dan
kebudayaan menjadi pilihannya.
Tipologi Parpol Generasi Ke-4
AGAMA
KELAS
DEVELOPMENTALSIME
NASIONALISME
Generasi Keempat (1998- sekarang)
• Dua sumbu memisahkan seluruh
pengelompokkan partai-partai politik yang
berkompetisi di dalam pemilu, sumbu vertikal
memisahkan dua kutub yaitu partai yang
berdasarkan agama, dan kutub lainnya adalah
partai yang berdasarkan kebangsaan.
• Sumbu horizontal memisahkan dua kutub
lainnya berdasarkan kelas yaitu
developmentalisme dan sosialisme radikal.
(Daniel Dhakidae, 1999: 35-37).
Transformasi Sistem Pemilu
di Era Reformasi
• Sistem kepartaian berkembang dari limitasi
menjadi multipartai.
• Pemilu dilakukan oleh lembaga independen yang
bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
menjamin proses pemilu berjalan dengan jujur,
adil, dan transfaran.
• Partisipasi masyarakat dalam politik pun
meningkat yang ditandai dengan besarnya minat
masyarakat untuk mendirikan partai, sekaligus
aktif dalam berbagai aktivitas politik, termasuk
mereka yang ikut melakukan mobilisasi politik.
• Pemilu pada masa Orde Baru hanya diikuti
oleh dua partai politik (yaitu, PPP dan PDI) dan
satu Golkar, sebaliknya pada pemilu era
reformasi diikuti oleh banyak partai
(multipartai).
• Pada pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik,
dan pada pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai,
sementara pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai,
dengan enam partai lokal yang ada di Provinsi
Nangru Aceh Darussalam.
• Lahirnya partai politik di era multipartai, lebih
banyak mengadopsi basis massa yang berlatar
primordialisme (aliran) yang secara jamak
dipakai partai politik pada pemilu 1955 Orde
Lama.
• Kondisi keparpolan pasca reformasi lebih
merupakan sistem kepartaian 1955 jilid dua,
dengan situasi dan kondisi berbeda.
• Hal ini telah mendorong adanya dinamika
politik kepartaian yang jauh berbeda dengan
ketika masa rezim Orde Baru yang monolitik.
Problem Sistem Kepartaian dan
Pemilu Era Reformasi
• Belum diikuti oleh peningkatan kualitas berpolitik baik
dari kalangan elit parpol maupun pemilih.
• Partai politik belum mampu medesain dirinya secara
utuh antara ideologi, platform, dan sekaligus
implementasinya. Tidak jarang antara ideologi,
platform, dan pelaksanaannya dalam tindakan politik
(orientasi pada kebijakan) tidak konsisten, atau bahkan
tidak konsekuen.
• Pemilih, belum menunjukan perilaku politik yang
rasional dan dewasa, karena masih diwarnai perilaku
transaksional, patronase politik, dan ideologis.
• Parpol yang ideologi sempit, figur politik, program karikatif
lebih mengena dan dapat diterima ketimbang platform,
program serta orientasi parpol yang sifatnya substansial.
• Oleh karena itu partai politik yang punya saham ideologis di
masyarakat, punya figur yang kuat, serta kemampuan
ekonomi yang memadai akan tetap survive dalam setiap
pemilu.
• Sebaliknya, partai politik yang hanya mengandalkan
jaringan organisasi, tanpa didukung massa ideologis yang
jelas, figur yang kharismatis, dan dukungan dana yang
cukup akan cepat hilang dari peredaran.
• Akhirnya menimbulkan masalah:
– Maraknya korupsi di lingkungan Dewan.
– Tidak berjalannya sistem organisasi partai.
– Konflik internal partai (sampai pada deklarasi untuk secara
berjamaah meninggalkan partai politik tertentu).
– Kekerasan politik (pembakaran atribut, perusakan kantor partai
politik).
• Elit parpol yang duduk di dewan merasa tidak
punya ikatan dengan pemilih, sehingga
mereka bisa berbuat apapun, sekalipun
merugikan rakyat.
• Rakyat merasa di bohongi dengan janji-janji
manis pada saat kampanye, sehingga ketika
melihat perilaku elit yang korup dengan gaya
hidup mewah, mereka menjadi sinis dan
sekaligus apatis.
Dampak dari Problem Sistem
Kepartaian dan Pemilu Era Reformasi
• Banyak partai yang memperoleh suara signifikan
pada pemilu 1999 namun akhirnya mengalami
kemunduran pada pemilu 2004, begitu juga
pemilu 2009.
• Tumbuhnya partai-partai baru yang mendapat
suara signifikan dalam pemilu 2004 dan 2009
seperti Partai Demokrat, Partai Keadilan
Sejahtera, Partai Gerindera, dan Partai Hanura.
• Banyak pemilih yang tidak mau datang ke tempat
pemungutan suara ketika pemilu dilaksanakan.
• Tingginya angka Golput.
• Banyak pemilih yang tidak merasa punya
ikatan dengan partai. Hal tersebut secara
langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi pemahaman, pandangan, dan
sekaligus orientasi pemilih pada partai politik.
• Partai politik, pasca reformasi, tidak lagi
dimaknai secara ideologis, namun juga sudah
berkembang menjadi makna sosial
kemasyarakatan dan makna ekonomi.
Hubungan Partai dan Pemilih
di Era Multipartai
• Lemahnya pemahaman ideologi dan sistem nilai
partai, hal ini berimplikasi pada hilangnya
perbedaan substansial antara partai satu dengan
partai lainnya dalam membangun paltform dan
program partai.
– Padahal ketika ideologi menjadi suatu sistem nilai,
seharusnya punya dampak pada paltform dan
program dalam menyelesaikan persoalan bangsa.
– Efek dari lemahnya ideologi ini membuat partai
menjadi pragmatis dalam menghadapai setiap pemilu,
sehingga berdampak pada sikap pragmatisme pemilih
yang cenderung menjadi suka memilih figur,
kedekatan, atau yang banyak uang dan
sumbangannya.
Hubungan Partai dan Pemilih di Era Multipartai
• Hubungan partai dengan pemilih sudah terjebak pada
pola hubungan jual-beli / transaksional.
– Untuk mendapatkan suara dalam pemilu, parpol/caleg
membeli suara pemilih lewat uang, sembako, kaos,
pembangunan mesjid, pembangunan jalan dan lain-lain.
– Hal ini dilestarikan oleh hubungan anggota dewan dengan
konstituennya, yang terhanyut dalam pola politik sejenis
pasca Pemilu.
– Kondisi ini berakibat pada hilangnya peran substansial
anggota Dewan sebagai pembuat keputusan politik yang
merupakan terjemahan dari aspirasi dan kepentingan
pemilih.
– Anggota Dewan menjadi terpola untuk memberikan
bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif dan
berbiaya tinggi.
Hubungan Partai dan Pemilih di Era
Multipartai
• Belum terbangunnya suatu kelompok
kepentingan dan infrastrukturnya yang solid,
dimana parpol menjadi ujung tombak penyaluran
aspirasi dan agregasi kepentingan.
– Keadaan ini membuat partai politik tidak mengetahui
suara itu berasal dari kelompok mana, karena
infrastrukturnya belum terbangun.
– Padahal suara dalam Pemilu sendiri merupakan
konsekuensi logis dari suatu kesepakatan atau
komitmen yang dibangun bersama dalam komunitas,
dimana parpol menjadi ujung tombaknya.
Hubungan Partai dan Pemilih di Era Multipartai
• Parpol menggunakan pemilih untuk
kepentingan jangka pendek, dimana parpol
memakai pemilih sebagai objek pendulang
suara dalam Pemilu, alat legitimasi, alat
mobilisasi, tatkala instrument partai
membutuhkan untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan.
• Pemilih diposisikan sebagai sub-ordinat untuk
memenuhi keinginan dan kepentingan politik
partai.
Perubahan Perilaku Politik pada Tingkat
Suprastruktur dan Infrastruktur
• Pada tingkatan pemilih terjadi perluasan dalam
memaknai partai politik.
• Pemilih tidak lagi memaknai partai dalam kontek
ideologi, namun sudah berkembang pada
pemaknaan sosial kemasyarakatan dan ekonomi.
Hal ini ditandai dengan dasar pilihan masyarakat
pada partai politik yang tidak hanya karena Islam
atau Nasionalis, namun juga karena
pertimbangan kedekatan sosial dan imbalan
ekonomi.
• Pada tingkatan partai politik mengalami
kehilangan orientasi yang mengakibatkan
rendahnya kinerja, dan diperparah oleh
berkembang perilaku praktis pragmatis dalam
meraih suara guna mengejar kepentingan jangka
pendek berupa lolos threshold.
• Lemahnya perhatian pada program kaderisasi
guna penguatan ideologi dalam tubuh kader, dan
lebih menonjolkan program yang bersifat karikatif
dan berbiaya tinggi.
• Makin tidak terkonstruksinya politik aliran dalam
pemilu. Konstruksi politik aliran yang telah sekian
lama menghiasi politik Indonesia, dalam
perpolitikan era reformasi warna aliran dari
pemilu ke pemilu makin melemah.
Oligarkhi dalam Kekuasaan Pemerintah
– Pemilu  pesta demokrasi untuk sementara
melibatkan massa-rakyat, setelah berlalu dan para
politisi meraih kekuasaan menggelar pesta
kekuasaan dan kekayaan secara oligarkhi, tidak lagi
bersama rakyat.
– Para petinggi (elite parpol) yang berkuasa
melupakan janji-janji yang telah mereka obral pada
rakyat menjelang pemilu.
– Elite parpol tidak lagi berpikir tentang rakyat, tetapi
berpikir tentang bagi-bagi kekuasaan (kursi jabatan,
proyek, fasilitas negara, pakaian dinas, dan ketika
jabatan hampir berakhir mereka berjuang untuk
meperoleh pesangon).
– Elite parpol tidak lagi dekat dengan massa yang
menjadikan mereka punya kekuasaan. Janji-janji
yang telah mereka suarakan akan ditelan oleh
waktu, sementara massa tidak mudah menagihnya.
– Para minoritas pemegang kekuasaan itu akan
memasuki dunia lain dari luar partai, terisolasi dari
rakyat dan tidak lagi mewakili kepentingan
mayoritas.
– Ketika berkuasa mereka dibentengi oleh konstitusi
yang membuat rakyat tidak mudah menyentuhnya.
– Konstitusi atau aturan legal lainnya selalu
merupakan hasil dominasi dan eksploitasi terhadap
massa, selain konservatif dalam artian akan terus
dipertahankan.
– Kekuasaan akan cenderung korup.
TERIMA KASIH
Download