BERKESENIAN : TINDAKAN SOSIAL MENURUT MAX WEBER Wadiyo• Abstrak Berkesenian secara umum dapat dilihat sebagai sebuah bentuk tindakan manusia. Menurut Max Weber sebuah tindakan manusia dapat berubah makna menjadi sebuah bentuk tindakan yang bermakna sosial manakala tindakan itu ditujukan pada orang lain. Tindakan yang bermakna sosial itu dalam bahasa yang lebih khusus oleh Max Weber disebutnya sebagai tindakan sosial. Berkesenian juga dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk tindakan sosial manusia sebab orang yang melakukan kegiatan seni selalu ditujukan pada orang lain sekalipun tidak secara langsung. Kegiatan cipta mencipta dan menyajikan seni seperti musik, tari, seni rupa, seni drama, dan puisi menurut konsep Max Weber telah masuk dalam kategori suatu tindakan sosial sebab dalam mencipta dan menyajikan seni tersebut, seseorang atau kelompok orang pasti meminta respon atau tanggapan orang lain sekalipun menurut Max Weber istilahnya adalah membatin atau mungkin hanya diucapkan dalam hati. Kata kunci : Tindakan sosial, seni, simbol, ekspresi, penciptaan, penyajian. Pendahuluan Max Weber adalah salah seorang ilmuwan sosial dari Jerman yang dalam dunia sosiologi dianggap sebagai tokoh penting dalam usaha mengembangkan sosiologi dalam tataran paradigma ilmu sosial. Weber melihat sosiologi sebagai sebuah studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial; dan itulah yang dimaksudkan dengan pengertian paradigma definisi atau ilmu sosial itu (Ritzer 1975). Tindakan manusia dianggap sebagai sebuah bentuk tindakan sosial manakala tindakan itu ditujukan pada orang lain. Dalam hubungan ini, berkesenian juga dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk tindakan sosial sebab berkesenian itu berkait erat dengan tindakan manusia yang ditujukan pada orang lain selain sekadar untuk ekspresi diri secara otonom. Tidak banyak dipahami orang memang, bahwa sebenarnya berkesenian itu merupakan bentuk tindakan sosial manusia. Berkesenian dikatakan sebagai sebuah bentuk tindakan sosial manusia sebab sebenarnya orang yang melakukan kegiatan seni itu meminta tanggapan atau respon orang lain atas seni yang diciptakan atau disajikan (Soekanto 1995). Dalam pemahaman komunikasi umum (lihat Devito 1978; Dominick 1983; dan Effendy 1995), berkesenian merupakan bentuk tindakan sosial • Penulis adalah Dosen Jurusan Pendidikan Sendratasik FBS UNNES 2 seseorang atau kelompok orang dalam hubungannya dengan penyampaian gagasan dan pesan kepada orang lain. Ketika seseorang melakukan kegiatan bernyanyi, sesungguhnya orang tersebut telah melakukan tindakan sosial sebab menyayi merupakan ekspresi diri yang diungkapkan menggunakan lambang atau simbol dalam bentuk suara dan ditujukan kepada orang lain, siapa pun orang lain yang menjadi sasarannya atau yang dituju. Begitu pula ketika seseorang melukis, menari, membaca puisi, atau pun bermain drama, tentu ia tujukan pada orang lain atau ia meminta tanggapan orang lain, siapa pun orang lain tersebut. Dalam pengertian ini permintaan tanggapan atau respon tersebut tidak harus diucapkan dengan lisan secara blak-blakan melainkan bisa hanya dengan dibatin atau hanya diucapkan dalam hati. Masalah inilah yang sering tidak banyak dipahami atau diperhatikan orang banyak atau masyarakat luas sebab secara umum berkesenian lebih banyak dipahami atau dimengerti orang atau masyarakat sebagai bentuk ekspresi budaya manusia yang bersifat pribadi, dalam artian tidak mesti harus bersangkut paut dengan orang lain. Berikut akan dicoba untuk dipahami lebih dalam berkait dengan berkesenian sebagai tindakan sosial itu, menggunakan konsep tindakan sosial dari Max Weber secara singkat padat. Konsep Tindakan Sosial Max Weber Tindakan sosial bagi Weber adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975). Suatu tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Tindakan sosial merupakan tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Tindakan sosial dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000). Jelasnya ada lima ciri pokok yang menurut Weber (dalam Ritzer 1975 dan dalam Turner 2000) termasuk sebagai tindakan sosial, yaitu: (1) jika tindakan manusia itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan hal ini bisa meliputi berbagai tindakan nyata, (2) tindakan nyata itu bisa bersifat membatin sepenuhnya, (3) tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak mana pun, (4) tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu, dan (5) 3 tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu. Selain kelima ciri pokok tersebut, menurut Weber tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu, atau waktu yang akan datang. Sasaran suatu tindakan social bisa individu tetapi juga bisa kelompok atau sekumpulan orang. Campbell (1981), Ritzer (dalam Alimandan 1992) dan Johnson (dalam Lawang 1986) mengemukakan, Weber membedakan tindakan sosial manusia ke dalam empat tipe (lihat juga Weber dalam Parsons 1961). Menurutnya, semakin rasional tindakan itu semakin mudah dipahami. Empat tipe tindakan sosial yang dimaksud adalah: (1) tindakan rasional tujuan, (2) tindakan rasional nilai, (3) tindakan afektif, dan (4) tindakan tradisional. Dalam tindakan rasional tujuan, aktor menilai dan menentukan tujuan itu dan bisa saja tindakan itu dijadikan sebagai cara untuk mencapai tujuan lain. Tindakan rasional nilai, aktor dalam memilih cara sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan afektif, lebih didominasi oleh emosi atau kepura-puraan yang menjadikan tindakan aktor susah dipahami. Tindakan tradisional, merupakan tindakan yang lebih didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu. Sebagaimana dikemukakan oleh Campbell, Weber menjelaskan, bahwa tindakan afektif dan tindakan tradisional lebih hanya merupakan tindakan tanggapan atas rangsangan dari luar yang bersifat otomatis sehingga bisa dimengerti sebagai kurang berarti. Sekalipun demikian kedua tindakan itu pada waktu tertentu bisa berubah menjadi tindakan yang penuh arti atau sebagai tindakan yang sepenuhnya dapat dipahami. Dalam hubungannya dengan konsep tindakan sosial yang dikemukakan oleh Weber melalui telaah yang dikemukakan oleh para sosiolog tersebut, dalam konteks ini dapat digunakan untuk melihat dan memahami suatu kegiatan berkesenian yang dilakukan oleh individu atau kelompok orang, apakah suatu kegiatan berkesenian yang dilakukannya termasuk sebagai suatu tindakan sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Weber tersebut. Berkait dengan itu di sini akan ditelaah beberapa kegiatan berkesenian yang dilakukakan oleh orang perorang atau kelompok orang untuk dapat kita telaah, utamanya berkait dengan kegiatan cipta-mencipta dan penyajian seni, baik musik, tari, seni rupa, drama, maupun karya sastra/ puisi. Penciptaan dan Penyajian Seni sebagai Bentuk Tindakan Sosial Penciptaan dan Penyajian Musik Penciptaan dan peyajian musik, baik instrumental maupun vokal atau vokal yang digabung dengan instrumental, vokal diiringi instrumental, tentu pencipta atau penyaji menginginkan tanggapan/ 4 respon orang lain. Dalam saat proses penciptaan, penciptanya tentu menginginkan agar hasil ciptaannya nanti dapat dinikmati atau setidaknya menimbulkan respon orang lain, syukur disenangi. Jika karya cipta itu dimainkan bersama dalam sebuah kelompok, setidaknya antara pemain/ penyaji satu dan yang lain saling berinteraksi untuk saling menyerasikan pembawaan menuju tercapainya pesan yang ingin disampaikan kepada penonton atau penikmat sebagai bentuk tindakan sosial mereka melalui seni yang dibawakan. Dalam sebuah pertunjukan, jelas sajian musik itu ditujukan pada penikmatnya/ penonton. Harapannya jelas, agar penonton mengapresiasi sajian musik tersebut, syukur penonton merespon positif dan menjadi puas atau senang dan mungkin di sisi lain diharapkan terdapat pengaruh tertentu yang positif dari sajian musik tersebut. Setidaknya apa pun respon yang ada telah menjadi bentuk tindakan sosial antara penyaji dengan penonton. Dalam karya cipta musik dunia, dapat kita ambilkan sebuah contoh, misalnya karya besar musik dunia yang diciptakan oleh komponis dan musisi besar Beethoven. Ia seorang pengagum berat Napoleon Bonaparte. Sebagai seorang manusia biasa yang humanis, betapa kecewanya Beethoven terhadap Napoleon, sebab Napoleon ingin mengangkat dirinya sebagai kaisar, yang kontras dengan apa yang diketahui olehnya tentang pribadi Napoleon sebelumnya. Kekecewaan itu diwujudkan dalam karya musik besarnya, dari salah satu bagian dari orkes symphoni yang diciptakan. Kemarahan, kejengkelan, dan klimaksnya sebuah kekecewaan itu, ia tampakkan dalam karya musiknya itu, untuk diketahui oleh setiap pendengar atau penikmat musiknya bahwa musik itu adalah gambaran kekecewaannya pada pemimpin besar yang ia kagumi, yakni Napoleon. Proses penciptaan musik oleh Beethoven ini telah dapat memberikan sebuah gambaran yang menunjukkan, bahwa kegiatan bermusik seperti itu telah menunjukkan sebuah tindakan sosial sebagaimana gambaran tindakan sosial yang mengacu pada konsep tindakan sosial yang dikemukakan oleh Weber. Ketika ia membuat karya, karya tersebut berasal dari ide atas respon terhadap lingkungan yang ia hadapi. Sang pencipta musik atau kreator musik itu juga mempunyai maksud untuk menunjukkan suasana jiwanya melalui karya musiknya pada banyak orang. Suasana batin atau pun apa yang diucapkan oleh Beethoven yang telah berubah wujud menjadi karya musik, menjadi suatu suguhan karya besar di bidang musik dunia. Contoh karya musik dari anggota masyarakat luas kita, misalnya sebuah karya cipta lagu/ nyanyian. Di sini kita dapat menginterpretasi dari syair/ lirik lagu tersebut. Pesan lagu sangat banyak variasinya dan bermacam-macam misinya. Namun demikian pesan lagu apa pun tentu menggambarkan sebuah tindakan sosial dari penciptanya. Pesan lagu secara umum yang paling banyak dijumpai pada masyarakat kita adalah lagu-lagu yang berkait tentang percintaan, pergaulan, 5 perdamaian, keadilan atau pun kritik sosial, pendidikan, serta lingkungan secara umum, baik lingkungan sosial budaya maupun lingkungan alam. Apa pun temanya, pasti pesan lagu itu ditujukan pada orang lain atau masyarakat luas. Pesan lagu dalam hubungannya dengan keagungan Tuhan dan ucapan terimakasih yang ditujukan pada Tuhan sekalipun, walaupun kelihatannya bersifat pribadi, namun tetap mempunyai maksud agar lagu itu indah jika didengar orang lain dan syukur orang lain bisa ikut senang menyanyikannya. Paling tidak agar pesan lagu itu sampai pada apresiatornya. Inilah juga yang disebut dengan tindakan sosial sebagaimana yang dikemukakan Weber dalam konsep tindakan sosialnya. Penciptaan dan Penyajian Tari Tidak berbeda dengan proses penciptaan dan penyajian musik sebagaimana yang telah diuraikan di depan, adalah penciptaan dan penyajian tari. Dalam proses penciptaan tari, pencipta mengembarakan perasaan dan pikirannya sebagai usaha mencari intuisi, ide, atau gagasan untuk mendapatkan komposisi gerak atau bentuk gerak yang dapat digunakan untuk menggambarkan apa yang dirasakan oleh pencipta agar apresiator dapat menikmati tari yang diciptakan. Terlebih lagi manakala tari itu nanti harus disajikan dalam sebuah bentuk pertunjukan. Sebuah tari yang sangat sederhana yang hanya ditujukan pada seseorang atau pada beberapa gelintir orang pun tetap dibuat sedemikian rupa agar orang yang dituju itu merespon tari yang dibawakan. Tari kerakyatan sebagai sebuah bentuk tari yang bersifat spontan, yang ditarikan oleh perorangan atau beberapa orang secara bersama-sama yang tidak memakai rancangan gerak khusus, juga ditujukan agar tariannya jika dilihat orang lain tampak menarik dan menyenangkan. Setidaknya dimaksudkan agar orang lain tahu, bahwa ia sedang melakukan atraksi menari, apa pun wujudnya. Tidak berbeda sekali dengan jenis tari seperti “ngibing” yang banyak dilakukan oleh para penduduk desa utamanya dari desa-desa di daerah agraris yang masih suka menyelenggarakan tari-tari ritual yang dilanjutkan dengan tari pergaulan seperti tayub yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Para pengibing jelas berinteraksi langsung dengan pasangannya. Artinya secara jelas tampak bahwa “pengibing” melakukan gerakan tari yang ditujukan pada pasangannya. Tentu “pengibing” itu akan melakukan gerakan tari yang dapat dimaknai oleh pasangannya. Yang jelas apa pun sifat dan tujuannya, pencipta spontan tersebut atau penyaji tari itu menurut konsep tindakan sosial Weber telah melakukan sebuah bentuk tindakan sosial melalui tari yang diciptakan atau disajikan. Sebuah tari klasik Bedaya Ketawang yang sangat terkenal bagi masyarakat bawahan eks Kasunanan Surakarta, yang menggambarkan hubungan kedekatan antara Panembahan Senopati dan 6 Kanjeng Ratu Kidul, juga merupakan sebuah bentuk tindakan sosial bagi pencipta dan penyajinya. Bedaya Ketawang sampai sekarang masih sangat disakralkan oleh Kasunanan Surakarta. Menurut Soedarsono (dalam Soedarso, ed. 1991) Bedaya Ketawang konon melambangkan pertemuan mistis yang romantis antara raja Mataram pertama Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Dalam pertemuan itu keduanya saling jatuh cinta. Percintaan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul yang digambarkan dalam Bedaya Ketawang diekspresikan sangat simbolis. Sekalipun diekspresikan dengan sangat simbolis, namun jika dicermati melalui nyanyian yang digunakan untuk mengiringi tari ini, akan sangat dapat dirasakan dengan jelas betapa gerah-nya Kanjeng Ratu Kidul beradu kasih dengan Panembahan Senapati. Hubungan asmara antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati dilanjutkan sampai ke anak turun raja Mataram hingga sekarang, dan yang jelas Bedaya Ketawang ini hingga sekarang oleh Kasunanan Surakarta masih disakralkan. Di sini gambaran Bedaya Ketawang dengan sangat jelas dapat digunakan untuk menggambarkan suatu bentuk tindakan sosial, baik oleh pencipta maupun oleh penyajinya yang ditujukan untuk pengguna dan penikmat tari tersebut sesuai konsep tindakan sosial Weber. Mungkin bagi penciptanya, tarian itu yang dipentingkan adalah sekadar penggambaran percintaan yang sangat simbolis. Namun bagi kepentingan Raja atau politik penguasa, hal tersebut bisa saja digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan yang menunjukkan kelebihan dan kekuatan Raja yang tidak dimiliki oleh rakyat/ kawula biasa. Penciptaan dan Penyajian Seni Rupa Kita dapat melihat patung Pangeran Diponegoro di Kodam Diponegoro Jawa Tengah. Kita dapat melihat patung Tani di Pati, patung Jendral Ahmad Yani di Purworejo, patung Panglima Besar Jendral Sudirman di banyak kota di Jawa, patung “Pembebasan” Edhi Sunarso dan patung “Dirgantara” di Jakarta, dan masih ribuan dan bahkan jutaan patung-patung yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Patung-patung tersebut dibuat oleh tangan-tangan manusia yang melibatkan perasaan dan pikiran dari pembuatnya. Patung tersebut dibuat dan ditujukan untuk berbagai kepentingan, seperti mengenang masa lalu, kepentingan untuk masa sekarang, atau untuk kepentingan di masa yang akan datang. Patung dibuat dan dipasang di tempat-tempat tertentu. Hal ini jelas mempunyai maksud dan tujuan yang diarahkan kepada orang lain. Inilah yang dikatakan suatu bentuk tindakan sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Weber. Apa pun alasannya jika perbuatan atau tindakan itu ditujukan pada orang lain atau untuk direspon orang lain, baik berkait dengan masa lalu, masa sekarang, maupun masa yang akan datang, adalah suatu bentuk tindakan sosial. 7 Ketika anak kecil diajari melukis oleh kakaknya atau oleh orang tuanya; ketika guru mengajarkan menggambar pada anak didiknya; ketika ada anak atau orang membuat gambar-gambar sembarangan di tembok-tembok pinggir jalan; juga ketika ada seorang pelukis yang asyik sendirian membuat suatu bentuk lukisan, semuanya itu adalah juga merupakan sebuah bentuk tindakan sosial. Tindakan sosial bagi kakak yang mengajari melukis untuk adiknya dan tindakan sosial bagi orang tua yang mengajari melukis untuk anaknya adalah ditujukan pada anak agar anak dapat melukis selanjutnya nanti agar lukisan itu jika dilihat orang menjadikan orang lain senang dan tertarik. Hal ini tidak berbeda dengan guru yang mengajarkan menggambar bagi murid-muridnya. Ketika guru meragakan bagaimana menggambar di sebuah media tertentu di depan/ di dalam kelas, ia mempunyai maksud ingin menularkan kemampuan menggambarnya pada para murid untuk ditirukan dan untuk dikembangkan. Tindakan sosial bagi guru tentang hal itu adalah jelas mengajarkan bagaimana menggambar pada para murid. Ketika murid-murid itu juga melakukan kegiatan menggambar sebagaimana yang diajarkan atau diperintahkan oleh guru, para murid ini pun juga sudah melakukan tindakan sosial. Tindakan sosial itu dapat kita telaah melalui tujuan dari para murid yang melakukan kegiatan menggambar. Yang jelas setidaknya untuk menjalankan perintah guru agar guru menjadi senang atau mungkin para murid juga mempunyai tujuan agar nanti dapat membuat lukisan yang bagus yang banyak disenangi oleh banyak orang. Ketika ada anak atau orang membuat gambar-gambar di tembok pinggir jalan, apakah itu melanggar aturan atau tidak, yang jelas mereka melakukan kegiatan menggambar. Dalam menggambar itu dapat kita pahami bahwa mereka menggambar ditujukan pada orang lain, entah apa pun tujuannya. Mungkin saja mereka itu mencari perhatian tertentu untuk kepentingan kepuasan diri atau pelampiasan apa yang mengganjal dalam hati, atau mungkin yang lain lagi. Seorang pelukis yang asyik sendirian membuat bentuk lukisan, sekalipun dia itu seorang diri tetapi ia melukis tidak sematamata ditujukan untuk dirinya sendiri saja. Mungkin sekali pelukis itu merancang lukisan yang terbaik dengan harapan lukisannya nanti laku dijual mahal atau mungkin untuk rencana pameran agar nanti dapat simpati dari para pengunjung pameran. Bisa juga hasil lukisannya nanti akan diberikan pada orang yang dicintai atau orang yang dihormati sebagai wujud penghargaannya. Yang jelas apa pun tujuannya dari mengapa ia melakukan kegiatan melukis, asal ada sangkut pautnya dengan orang lain terlebih lagi memang ia melukis itu ditujukan pada orang lain, telah merupakan suatu bentuk tindakan sosial sebagaimana konsep tindakan sosial Weber. 8 Penciptaan dan Penyajian Seni Drama Ketika lakon sebuah drama ditulis oleh pengarang, pengarangnya atau penulis ceritera/ naskah tidak sertamerta berdiam diri tidak melibatkan siapa pun. Bisa saja pengarang atau penulis naskah itu diam dan kelihatannya hanya berpikir bekerja menulis ceritera seorang diri, namun sebenarnya di dalam benak melibatkan banyak orang. Setidaknya jika sebuah drama itu ingin dipertontonkan di sebuah panggung pertunjukan, maka pengarang ceritera atau penulis naskah atau pengatur adegan atau apa pun namanya yang berkait dengan ide penyajian drama itu akan berpikir bahwa adegan itu akan dipertunjukkan pada banyak orang atau penonton. Inilah yang oleh Weber dikatakan sebagai sebuah bentuk tindakan sosial karena apa yang dilakukan oleh orang itu yang dalam konteks ini dimaksudkan sebagai pengarang ceritera mempunyai maksud agar ceritera yang ditulis nanti direspon orang lain. Harapan yang lebih besar adalah ceritera itu direspon positif. Seandainya tidak direspon positif pun tetap tidak mengurangi niat dasar ditujukan pada orang lain. Namun demikian dalam konteks berkesenian, penulisan naskah ini masih dalam tataran proses menuju kegiatan berkesenian, dalam arti belum bisa sepenuhnya dikatakan sebagai bentuk berkesenian seperti halnya seseorang yang mencipta lagu, mencipta tarian, atau membuat lukisan. Ditinjau dari sisi proses permainan/ pertunjukan di atas panggung, akan sangat jelas bahwa para pemain berjalan sesuai dengan peran yang diemban. Dengan demikian proses yang telah sampai di sini sudah masuk dalam kategori berkesenian. Selain apa yang dilakukan para pemain ditujukan pada para penonton, sebenarnya antar pemain juga saling menyesuaikan diri berkait dengan isi ceritera agar isi ceritera tidak terputus dan yang lebih penting isi ceritera sampai pada penonton sesuai dengan yang diinginkan oleh para pemain itu dan pengatur lakon. Isi ceritera bisa berkait dengan masa lalu, namun jelas ceritera itu ditujukan untuk orang-orang masa sekarang atau orang-orang di masa yang akan datang. Itulah yang oleh Weber juga dikatakan, sebuah tindakan sosial bisa ditujukan pada masa lalu, masa sekarang, atau masa yang akan datang. Sebuah contoh dapat dikemukakan drama topeng tradisional di daerah Trunyan Bali. Drama topeng tradisional itu biasa digunakan untuk upacara kesuburan. Daerah Trunyan merupakan desa Bali Aga atau Bali Asli yang sampai sekarang masih melestarikan upacara kesuburan yang berasal dari masa pra-Hindu. Menurut Soedarsono (dalam Soedarso, ed. 1991) dan Danandjaja (1980) upacara ini berkisar pada penyembahan kepada nenek moyang orang Trunyan yang secara visual diwujudkan dengan sebuah patung besar dan sangat sederhana, bernama Ratu Sakti Pancering Jagat. Pelaksanaan upacara dilakukan dengan menampilkan drama topeng yang dibawakan oleh pemuda pemudi yang belum menikah yang berjumlah gasal paling banyak 21 orang yang di antaranya 9 memainkan peran penting, yaitu Ratu Sakti Pancering Jagat dan permaisurinya yang bernama Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Pada akhir pertunjukan yang berlangsung sejak pagi hingga sore, Ratu Sakti Pancering Jagat mengejar-ngejar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar sampai tertangkap. Bila telah terpegang, Ratu Sakti Pancering Jagat memeluk erat-erat permaisurinya sebagai lambang persebadanan. Klimaks yang berupa penyekapan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar oleh Ratu Sakti Pancering Jagat merupakan perbuatan imitatif hubungan seks, yang diharapkan akan melahirkan magi simpatetis yang bisa mempengaruhi kesuburan desa Trunyan untuk masa-masa sesudah peristiwa ritual tersebut. Jika dilihat dari jenisnya yang drama topeng tersebut digunakan untuk upacara kesuburan, secara sepintas seolah pelaksanaan upacara tersebut ditujukan pada kekuatan gaib dan tidak ditujukan pada orang perorang atau penonton. Namun senyatanya tidak demikian. Adegan demi adegan dirancang sedemikian rupa agar pertunjukan itu dipahami oleh setiap orang bahwa hal ini adalah sebuah drama topeng ritual dan dibuat menarik jika dinikmati atau ditonton banyak orang. Alur cerita digarap sedemikian rupa supaya isi ceritera bisa dimengerti oleh yang menyaksikan dan antara pemain saling menyesuaikan untuk mendukung tercapainya sebuah pesan. Di sinilah kita dapat memahami, bahwa perilaku berkesenian drama topeng ritual tersebut juga merupakan bentuk tindakan sosial antara pemain dengan pemain dan antara pemain dengan penonton. Penciptaan dan Penyajian Puisi Penciptaan sebuah puisi bisa saja dilakukan oleh penciptanya dengan diam. Dalam arti, dia mungkin hanya berucap atau bicara dalam hati. Segala ide dan gagasannya dituangkan dalam bentuk tulisan dengan menggunakan pilihan kata yang dipandang/ dipikir dapat mewakili perasaannya. Segala kejadian atau peristiwa yang dialami dalam kehidupannya mungkin saja direkamnya, direnungkannya, dan dicari nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Kemudian dengan akal dan dayanya, peristiwa-peristiwa yang dirasakan mengesankan hati dan perasaannya tersebut diusahakan untuk diabadikan. Di tangan seorang penyair, segala pengalaman tersebut bisa berubah menjadi rangkaian kata yang disebut puisi (Suharianto 1981). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa karya seni pada umumnya dan puisi pada khususnya, tidak lain adalah hasil pengungkapan kembali segala peristiwa atau kejadian yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari yang dialami oleh penciptanya. Sekalipun demikian seorang seniman bekerja membuat karya seni yang dalam hal ini adalah puisi, masih menurut Suharianto, bukan semata-mata untuk kepentingan pribadinya. Ia didorong oleh keyakinannya bahwa apa yang dirasakan indah dan berguna bagi dirinya, juga indah dan berguna bagi 10 orang lain. Dalam bahasa yang lebih lugas dan mengambil pemikiran dari sisi lain yang hampir sama dengan itu dapat dikatakan, setiap seniman berpengharapan agar hasil kerjanya dapat pula dirasakan dan dinikmati oleh orang lain. Kemungkinan tersebut sangat terbuka karena sesungguhnya apa yang kini terdapat di dalam setiap karya seni itu secara umum juga yang pernah kita dengar, kita saksikan, kita baca, bahkan barangkali pernah kita alami. Lebih dari itu karena pada hakikatnya setiap orang mempunyai apa yang disebut sebagai daya empati, yakni kemampuan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Ketika kita membaca cerita sedih, kita bisa ikut sedih bahkan meneteskan air mata. Ketika membaca cerita lucu, kita pun juga bisa tertawa terbahak-bahak. Dalam hubungannya dengan ini, pembaca puisi yang bukan karyanya sendiri dapat dikatakan sebagai penikmat karya seni orang lain. Berkait dengan apa yang telah diuraikan tentang penciptaan dan penyajian puisi tadi semua, secara nyata dapat kita pahami bahwa orang yang mencipta/ membuat puisi itu adalah sebuah pelaku tindakan sosial. Dikatakan sebuah pelaku tindakan sosial karena puisi itu dibuat, didasarkan atas kesadaran diri yang tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain. Begitu juga orang membaca puisi pada hakikatnya juga ditujukan pada orang lain sekalipun tingkatannya mungkin hanya dalam hati. Orang yang dituju bisa siapa saja bergantung dari keinginan pembacanya, namun demikian pemahaman puisi/ pemaknaan pesan puisi tidak setiap orang harus sama.. Setiap kata bisa saja dipahami sama oleh pencipta maupun seluruh pembaca namun pengalaman batin yang didapat dari isi puisi pada setiap orang sangat mungkin berbeda. Dalam hubungannya dengan konsep tindakan sosial Weber, orang-orang yang terlibat dalam kegiatan kepuisian tersebut, baik pencipta maupun pembaca jelas telah melakukan suatu tindakan sosial sebab ia melakukan kegiatan itu setidaknya secara batiniah ditujukan pada orang lain dan lebih dari itu setidaknya puisi itu bermakna subjektif bagi dirinya. Simpulan Sebuah tindakan sosial menurut Max Weber merupakan suatu bentuk tindakan manusia berupa apa pun yang ditujukan kepada orang lain. Mengenai orang lain yang dituju dari sebuah tindakan tersebut berespon atau tidak, menurut Max Weber bukan sebagai suatu hal penentu/ kunci sebuah tindakan sosial. Ada kunci pokok sebuah tindakan hingga tindakan itu dikatakan atau dikategorikan sebagai sebuah tindakan sosial, manakala sebuah tindakan itu bermakna subjektif bagi pelakunya. 11 Oleh karena itulah suatu tindakan itu bisa dikatakan sebagai sebuah tindakan sosial sekalipun tujuan yang diarahkan kepada orang lain itu hanya bersifat batiniah/ dalam hati. Konsep Max Weber tentang tindakan sosial ini dapat digunakan untuk memahami sebuah tindakan sosial dalam hubungannya dengan dunia kesenian, utamanya dunia cipta-mencipta dan penyajian seni. Orang atau kelompok orang yang melakukan kegiatan berkesenian seperti itu, bisa dimasukkan dalam kategori tindakan sosial karena tindakan mereka secara tampak atau tidak tampak, secara lahiriah atau batiniah diarahkan kepada orang lain. Mengenai apakah sebuah tindakan itu termasuk sebagai sebuah tindakan sosial dalam tipe tindakan rasional tujuan, tindakan rasional nilai, tindakan afektif; atau tindakan tradisional sebagaimana yang dikonsepkan oleh Weber, tidak menjadi fokus yang perlu diutamakan untuk dipermasahkan dalam konteks pemahaman tindakan sosial dalam hubungannya dengan berkesenian ini. Daftar Pustaka Campbell, T. 1981. Seven Theories of Human Society. Oxford University Press. Danandjaja, J. 1980. Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Jakarta: Pustaka Jaya. Devito, J.A. 1978. Communicology: An Introduction to the Study of Communication. New York: Harper & Row Publisher. Dominick, J.R. 1983. The Dynamics of Mass Communication. New York: Random House. Effendy, OU. 1995. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja RB. Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan Robert MZ Lawang. Jakarta: Gramedia. Ritzer, G. 1975. Sociology: A Multiple Paradigma Science. Boston: Allyn and Bacon. Ritzer, G. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Rajawali. Ritzer, G dan Goodman Douglas J. 2005. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Prenada Media. Soedarsono. 1991. “Perkembangan Kesenian Kita”. Dalam Soedarso, SP. (ed.). Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta. 12 Soekanto, S. 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suharianto, S. 1981. Pengantar Apresiasi Puisi. Surakarta: Widya Duta. Turner, S.P. (ed). 2000. The Cambridge Companion to Weber. New York: Cambridge University Press. Weber, M. 1961. “Social Action and Its Types”. Dalam Talcott Parson (ed.). New York: The Free Press. Weber, M. 2006. Sosiologi. Terjemahan Noorkholis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.