4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis zat antibakteri isolat NS(9) dari bekasam ikan nila (Oreochromis niloticus) terdiri dari tiga tahap penelitian. Tahap pertama adalah karakterisasi isolat NS(9) yang bertujuan untuk mengetahui karakter awal dari isolat NS(9). Tahap kedua adalah penapisan zat antibakteri pada isolat NS(9) yang bertujuan untuk mengetahui potensi dan jenis antibakteri yang dihasilkan oleh isolat NS(9). Tahap ketiga adalah penentuan waktu optimum produksi senyawa antibakteri yang dihasilkan oleh isolat NS(9). Ketiga tahap tersebut menunjukkan potensi senyawa antibakteri yang dihasilkan oleh isolat NS(9) dan optimasi produksinya. 4.1 Karakterisasi Isolat NS(9) Karakteriasi isolat NS(9) bertujuan untuk mengetahui karakter dari isolat NS(9). Uji karakterisasi yang dilakukan antara lain uji pewarnaan Gram, uji pewarnaan spora, uji fermentasi glukosa, uji katalase, uji motilitas, dan pengamatan morfologi koloni. Hasil uji karakterisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil pengujian karakterisasi isolat NS(9) Jenis Uji Uji motilitas Hasil Negatif (-): Isolat tidak menyebar Positif (+): Uji pewarnaan Gram Preparat berwarna biru Gambar 22 Jenis Uji Hasil Gambar Negatif (-): Uji pewarnaan spora Uji fermentasi glukosa Preparat berwarna merah Negatif (tidak terbentuk gelembung gas dalam tabung Durham): Homofermentatif Negatif (-): Uji katalase Tidak terbentuk gelembung pada H2O2 2% - Bentuk tepian halus Morfologi koloni Bentuk koloni bulat Permukaan cembung Warna putih Isolat NS(9) memiliki karakter antara lain sebagai berikut: tidak motil, Gram positif, spora negatif, homofermentatif, dan katalase negatif (Tabel 1). Hal ini sesuai dengan penyampaian Mozzi et al. (2010) dan Klaenhammer et al. (2011) yang menyatakan bahwa bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri Gram positif, tidak membentuk spora, katalase negatif. Mozzi et al. (2010) menyatakan bahwa bakteri asam laktat termasuk di dalamnya bakteri homofermentatif yang memproduksi sebagian besar utamanya adalah asam laktat, dan heterofermentatif yang selain memproduksi asam laktat juga memproduksi variasi yang luas dari produk fermentasi seperti asam asetat, etanol, gas karbon dioksida, dan asam format. Ketiadaan gelembung gas pada uji 23 fermentasi glukosa menunjukkan bahwa isolat NS(9) tidak menghasilkan gas karbon dioksida dalam jumlah yang besar. Menurut Hayward (1957), ketiadaan gas yang terbentuk pada isolat NS(9) menunjukkan bahwa isolat NS(9) diduga merupakan bakteri homofermentatif. Pendeteksian bakteri asam laktat dengan metode lain adalah dengan penambahan kalsium karbonat (CaCO3) pada media agar MRS steril yang ditumbuhkan isolat NS(9) diatasnya. Hasil pendeteksian asam laktat pada media agar MRS yang telah ditambahkan CaCO3 dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Perbandingan antara MRSA + CaCO3 yang steril (kiri) dan yang sudah ditumbuhi isolat NS(9) (kanan). Media agar MRS + CaCO3 yang steril terlihat keruh dan tidak terlalu transparan karena ada kandungan CaCO3 yang ada di dalam media agar MRS tersebut, sedangkan media agar MRS + CaCO3 yang sudah ditumbuhi isolat NS(9) terlihat lebih transparan (Gambar 6). Hal ini disebabkan karena CaCO3 yang terkandung dalam media agar MRS tersebut bereaksi dengan asam laktat yang dihasilkan NS(9) menjadi kalsium laktat sehingga warna media yang terlihat menjadi lebih bening dibandingkan media agar MRS + CaCO3 yang tidak ditumbuhi isolat NS(9). Hal ini sesuai dengan penelitian Kopermsub dan Yunchalard (2010) yang menyatakan bahwa asam laktat dapat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium laktat dan membuat warna media menjadi lebih jernih. 4.2 Penapisan Senyawa Antibakteri dari Isolat NS(9) Penapisan senyawa antibakteri dari isolat NS(9) bertujuan untuk mengetahui potensi dan jenis antibakteri yang dihasilkan oleh isolat NS(9). Isolat NS(9) yang telah dikultivasi selama 24 jam diambil supernatannya yang telah diberi kode A, N, dan E. Ketiga substansi tersebut diuji aktivitas antibakteri pada lima bakteri 24 patogen pada makanan yang menjadi bakteri uji, yaitu Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Salmonella typhimurium. Hasil uji aktivitas antibakteri dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji aktivitas antibakteri Rataan diameter zona bening (mm) Bakteri A N E S. aureus 2,5 - - B. cereus 6,5 - - E. coli 9,0 - - S. typhimurium 7,0 - - L. monocytogenes 8,5 - - Keterangan: A = supernatan kondisi asam (tidak dinetralkan) N = supernatan dinetralkan dengan NaOH E = supernatan dinetralkan dan diendapkan dengan amonium sulfat 50% - = tidak terdeteksi Aktivitas antibakteri positif ditunjukkan pada substansi yang tidak diberi perlakuan, atau dengan kondisi asam yang dipertahankan. Substansi yang dinetralkan dan diendapkan proteinnya tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri (Tabel 2). Zona bening yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Aktivitas antibakteri substansi A, N dan E pada ketiga jenis bakteri: A) Bacillus cereus, B) Escherichia coli, C) Listeria monocytogenes D) Staphylococcus aureus, E) Salmonella typhimurium. 25 Zona bening tidak tampak sama sekali pada sumur yang diberikan substansi N dan E yang ditanam pada tiap bakteri uji (Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri hanya terdeteksi pada substansi yang kondisi asamnya dipertahankan (A). Theron dan Lues (2011) menyampaikan bahwa bakteri asam laktat menghasilkan senyawa sekunder yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain disekitarnya. Zat asam organik yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat dapat menurunkan pH media dan menghambat pertumbuhan bakteri. Selain itu zat lain yang diproduksi oleh bakteri asam laktat seperti peroksida, diasetil, dan senyawa protein seperti bakteriosin diketahui dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain disekitarnya. Perlakuan berbeda yang diaplikasikan pada ketiga supernatan isolat NS(9) bertujuan untuk mengidentifikasi jenis antibakteri yang dihasilkan oleh isolat NS(9). Supernatan yang tidak diberi perlakuan sama sekali (kode A) bertujuan untuk mempertahankan kondisi asam dan mengidentifikasi zat antibakteri yang bersifat asam. Perlakuan penetralan pada supernatan (kode N) bertujuan untuk menghilangkan efek antibakteri yang bersifat asam, sehingga hanya zat antibakteri yang bersifat non-asam saja yang bekerja menghambat pertumbuhan bakteri lain. Perlakuan pengendapan protein pada supernatan (kode E) bertujuan untuk mengendapkan protein dari supernatan dan mengetahui aktivitas antibakteri dari protein tersebut. Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri yang dihasilkan dari supernatan isolat NS(9) hanya terlihat pada supernatan yang diberi kode A. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa isolat NS(9) tidak memproduksi antibakteri yang termasuk ke dalam jenis protein seperti bakteriosin pada pengendapan amonium sulfat 50%. Antibakteri yang dihasilkan oleh isolat NS(9) termasuk ke dalam jenis asam organik. 4.3 Penentuan Waktu Optimum Produksi Antibakteri Pengukuran waktu optimum produksi antibakteri bertujuan untuk mengetahui waktu optimum produksi antibakteri yang dihasilkan dari isolat (NS9). Kultur isolat NS(9) yang ditumbuhkan dalam media produksi antibakteri 26 diamati setiap 3 jam selama 24 jam menunjukkan adanya pola perubahan pH, produksi protein dan asam laktat (Lampiran 1). 4.3.1 Pertumbuhan isolat dan perubahan pH Pertumbuhan isolat bakteri NS(9) diukur dengan cara menginkubasikan bakteri isolat pada media MRSB selama 24 jam. Pengukuran dilakukan setiap tiga jam sekali. Pengukuran yang dilakukan meliputi pengukuran nilai absorbansi media pada panjang gelombang 660 nm serta pengukuran nilai pH. Hasil pengukuran nilai absorbansi untuk optical density (OD) dan nilai pH setiap tiga jam selama 24 jam dapat dilihat pada Gambar 8. 7.00 6.00 OD & pH 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 0 3 6 9 12 15 18 21 24 Lama inkubasi (jam) Gambar 8 Grafik nilai Optical Density (OD) ( ), dan pH ( NS(9) selama fase produksi 24 jam. ) bakteri isolat Fase pertumbuhan yang berbeda-beda terlihat selama 24 jam inkubasi dari isolat NS(9) (Gambar 8). Pertumbuhan isolat mulai terjadi pada jam ke-0 hingga jam ke-15. Fase ini disebut dengan fase eksponensial (fase log). Cohen (2011) menyatakan bahwa fase eksponensial terjadi karena konsumsi nutrisi dalam media oleh kultur. Hal tersebut mengakibatkan kultur berkembang pada growth rate yang konstan, dimana growth rate proporsional terhadap nilai OD. Pommerville (2011) menyatakan fase log terjadi ketika semua sel dalam kultur mengalami pembelahan biner. Setiap generasi yang dilalui, jumlah sel bertambah dua kali lipat dan grafik meningkat dalam bentuk garis lurus atau grafik logaritmik. 27 Pertumbuhan isolat melambat pada fase yang ditunjukkan pada jam ke-6 hingga jam ke-15. Pertumbuhan tersebut bertambah secara simultan, konstan, dengan growth rate yang hampir mendekati nol. Cohen (2011) menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena nutrien yang hilang akibat konsumsi, medium yang semakin asam, akumulasi toksik atau karena zat yang dapat menghambat pertumbuhan. Meskipun demikian, pertumbuhan masih tetap terjadi. Kurva pertumbuhan mengalami kecenderungan stasioner pada jam ke-15 hingga jam ke-21. Cohen (2011) menyatakan bahwa kondisi nutrien yang hilang akibat konsumsi, medium yang semakin asam, akumulasi toksik atau karena zat yang dapat menghambat pertumbuhan menyebabkan pertumbuhan semakin menurun sehingga level pertumbuhan akan mendekati nol dan penambahan jumlah sel tidak ada. Penurunan grafik OD pada jam ke-21 hingga jam ke-24 menunjukkan bahwa isolat NS(9) memasuki fase kematian (decline phase). Pommerville (2011) menyatakan bahwa hal ini terjadi karena nutrien dalam media yang tersisa terbatas atau jumlahnya menjadi jauh lebih rendah. Kecenderungan penurunan nilai pH mulai dari waktu inkubasi awal pada jam ke-0 hingga jam ke-12 (Gambar 8). Nilai pH pada jam ke-12 hingga jam ke24 sudah menunjukkan kestabilan dimana nilai pH tetap tidak berubah hingga akhir masa inkubasi, yaitu 4. Hubungan yang terlihat antara nilai absorbansi dan nilai pH pada tahap ini adalah perbandingan terbalik. Ketika isolat NS(9) pertama kali diinkubasi pada jam ke-0, pH yang terlihat menunjukkan nilai yang tertinggi yaitu 6, sedangkan nilai absorbansi pada waktu awal inkubasi memiliki nilai terendah, yaitu 0,19. Ketika kepadatan isolat bertambah ditandai dengan naiknya nilai OD hingga mencapai 6,48 pada jam ke-12, nilai pH yang ditunjukkan menurun dari 6 hingga 4. Nilai pH 4 ini merupakan nilai pH yang terendah dan tidak berubah hingga fase death yang ditunjukkan pada menurunnya nilai OD dari jam ke-21 hingga jam ke-24. Hwang et al. (2011) menyatakan bahwa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat seperti asam laktat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti komposisi media (sumber karbohidrat, konsentrasi gula, dan faktor 28 pertumbuhan), keberadaan oksigen, tingkat pH, dan konsentrasi metabolit sekunder dari produk. Fase eksponensial pada jam ke-0 hingga jam ke-15 menunjukkan peningkatan nilai OD, yang diakibatkan oleh kandungan media MRS broth yang kaya akan nutrisi pertumbuhan bakteri asam laktat seperti pepton dan glukosa. Adanya glukosa memacu terjadinya proses fermentasi yang menghasilkan senyawa metabolit sekunder seperti asam laktat. Zat ini terus diproduksi hingga konsentrasinya meninggi. Hwang et al. (2011) juga menyatakan bahwa konsentrasi asam laktat yang tinggi juga dapat memperlambat pertumbuhan sel selama masa fermentasi. Oleh karena itu, semakin banyak asam laktat yang diproduksi selama masa fermentasi (ditandai dengan penurunan nilai pH pada grafik), maka pertumbuhan sel yang terjadi semakin lambat. Kondisi media yang semakin minim nutrisi akibat proses fermentasi yang terus menerus mengakibatkan pertumbuhan sel berkurang dan mengakibatkan kematian sel pertumbuhan sel pada akhir masa inkubasi. 4.3.2 Kadar asam laktat Kadar asam laktat yang diproduksi ini erat kaitannya dengan kemampuannya sebagai inhibitor bakteri patogen pada makanan. Pengukuran kadar asam laktat dari substansi antibakteri yang dihasilkan oleh bakteri isolat NS(9) dilakukan dengan metode titrasi. Supernatan direaksikan dengan reagen fenoftalein sebagai indikator warna perubahan pH. Larutan dititrasi dengan NaOH ( N = 0,1091 mol) hingga larutan berubah menjadi warna merah. Hasil kadar asam laktat pada setiap tiga jam pengamatan selama 24 jam dapat dilihat pada Gambar kadar asam laktat (%) 9. 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 3 6 9 12 15 18 21 24 Lama inkubasi (jam) Gambar 9 Grafik kadar asam laktat sampel supernatan bakteri isolat NS(9). 29 Perubahan konsentrasi asam laktat terjadi setiap tiga jam pengambilan sampel (Gambar 9). Perubahan tersebut menunjukkan peningkatan mulai dari awal produksi hingga akhir. Hal tersebut menunjukkan bahwa asam laktat diproduksi oleh bakteri isolat NS(9) selama fase produksi 24 jam. Kadar asam laktat yang terukur berhubungan dengan pH media dan pertumbuhan isolat. Ketika berada di awal fase pertumbuhan dimana pH media tinggi, kadar asam laktat yang terukur sangat rendah. Bentuk kurva kadar asam laktat yang ditunjukkan pada Gambar 9 merupakan bentuk kurva log dimana pada awal masa inkubasi, terjadi peningkatan yang cukup besar dan seiring dengan bertambahnya waktu, peningkatan tersebut tetap ada namun cenderung melambat hingga mencapai kondisi statis. Penurunan produksi asam laktat ini erat kaitannya dengan fase pertumbuhan sel semakin menurun juga. Produksi asam laktat pada fase tersebut tidak setinggi produksi pada awal masa pertumbuhan bakteri yaitu pada jam ke-0 hingga jam ke-15. Asam laktat merupakan salah satu jenis asam organik yang diproduksi oleh bakteri asam laktat. Menurut Theron dan Lues (2011), asam laktat merupakan salah satu metabolit utama dari bakteri asam laktat, namun pada bakteri heterofermentatif, bakteri asam laktat juga memproduksi asam asetat dan sebagian asam propionat dalam jumlah besar. Asidifikasi (pengasaman) yang diakibatkan asam organik meningkatkan aktivitas antibakterial baik asam organik maupun substansi inhibitor lain seperti bakteriosin. Asam laktat berperan dalam proses penghambatan bakteri lain. Theron dan Lues (2011) menyatakan bahwa asam terdisosiasi menjadi ion hidrogen dan anion toksik yang mampu mengganggu fungsi fisiologis sel dan mendestabilasi protein sel. Menurut Pelaez dan Orue (2010), asam laktat mampu melemahkan permeabilitas bakteri Gram negatif dengan merusak membran luar bakteri Gram negatif. Asam laktat merupakan molekul yang larut dalam air sehingga mampu menembus ke dalam periplasma bakteri Gram negatif melalui protein porin pada membran luarnya. Pelindung dari permeabilitas membran luar berupa lapisan lipopolisakarida yang terletak pada permukaan membran dirusak oleh asam laktat sehingga substrat antibakteri yang lain yaitu diasetil, bakteriosin, hidrogen 30 peroksida dan lactoperidase system dapat berpenetrasi ke dalam membran sitoplasma. 4.3.3 Kadar protein Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode Bradford (Nielsen 2010) (Lampiran 2). Kadar protein supernatan per tiga jam selama 24 jam dapat Konsentrasi protein (mg/ml) dilihat pada Gambar 10. 0.1 0.09 0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 3 6 9 12 15 Lama inkubasi (jam) 18 21 24 Gambar 10 Kadar protein supernatan tiap 3 jam selama 24 jam. Perubahan konsentrasi protein terjadi setiap tiga jam selama 24 jam (Gambar 10). Namun perubahan kadar protein tidak menunjukkan adanya peningkatan yang besar. Oleh karena itu dari grafik ini dapat diambil simpulan yang menguatkan bahwa protein tidak diproduksi dalam jumlah besar oleh bakteri isolat NS(9) selama fase produksi. Keberadaan kandungan protein pada supernatan isolat NS(9) penting untuk diketahui untuk mengetahui adanya potensi senyawa antibakteri lain berjenis protein seperti bakteriosin. Theron dan Lues (2011) menyatakan bahwa antibakteri berjenis peptida (juga disebut sebagai bakteriosin), adalah zat penting yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat. Bakteriosin adalah komponen antibakteri protein yang diproduksi dari berbagai jenis bakteri, namun tidak letal bagi bakteri yang memproduksi bakteriosin tersebut. Bakteri asam laktat adalah varian yang paling penting dalam produksi bakteriosin dan substansi mirip bakteriosin. Bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat sangat potensial untuk dijadikan sebagai pengawet makanan alami (Simon 2001). Hasil yang ditunjukkan pada percobaan ini menyimpulkan 31 bahwa produksi bakteriosin pada NS(9) tidak terdeteksi pada tahap penapisan awal dengan pengendapan menggunakan amonium sulfat 50%. 4.3.4 Aktivitas antibakteri Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan untuk setiap supernatan yang dikultivasi setiap tiga jam selama 24 jam terhadap bakteri uji dengan menggunakan metode difusi sumur agar. Hasil pengujian aktivitas antibakteri dan dokumentasi gambar disajikan pada Lampiran 3 dan 4. Substansi antibakteri yang dihasilkan oleh isolat NS(9) memiliki daya inhibisi yang bervariasi pada kelima bakteri uji (Gambar 11). Secara umum, substansi antibakteri yang dihasilkan bakteri isolat NS(9) memiliki daya hambat yang paling rendah untuk S. aureus dibandingkan daya hambat terhadap bakteri uji lainnya. Diameter penghambatan yang terbesar terjadi pada jam ke-12 pada Diameter Zona Hambat (mm) bakteri uji L. monocytogenes. 7 6 5 4 3 2 1 0 3 6 9 12 15 18 21 24 Lama Inkubasi (jam) Gambar 11 Grafik perbandingan zona bening supernatan pada ke-5 bakteri uji: Escherichia coli ( ), Salmonella typhimurium ( ), Listeria monocytogenes ( ), Bacillus cereus ( ), dan Staphylococcus aureus ( ). Diameter penghambatan terbesar bagi bakteri B. cereus yaitu dengan diameter sebesar 6 mm terjadi di jam ke-12. Diameter penghambatan terbesar bagi bakteri E. coli yaitu dengan diameter sebesar 6 mm terjadi pada jam ke-15. Diameter penghambatan terbesar bagi bakteri S. typhimurium yaitu dengan diameter sebesar 6 mm terjadi pada jam ke-24. Diameter penghambatan terbesar bagi bakteri S. aureus yaitu dengan diameter sebesar 3 mm terjadi pada jam ke-21. Bila dibandingkan dengan kontrol positif (asam asetat), maka rata-rata diameter 32 maksimum pada kelima bakteri uji pada jam ke-21 setara dengan rata-rata Diameter Zona Hambat (mm) diameter kontrol positif asam asetat antara 0,6 – 0,8 %. 10 8 6 4 2 0 0.20% 0.40% 0.60% 0.80% 1% Konsentrasi Asam Asetat Gambar 12 Grafik perbandingan zona bening kontrol positif pada ke-5 bakteri uji: Escherichia coli ( ), Salmonella typhimurium ( ), Listeria monocytogenes ( ), Bacillus cereus ( ), dan Staphylococcus aureus ( ). Daya hambat zat antibakteri asam organik terhadap kelima bakteri patogen tersebut juga dipengaruhi oleh pH. Batas toleransi pH untuk pertumbuhan kelima bakteri uji tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Toleransi bakteri patogen terhadap pH untuk tumbuh optimum Salmonella typhimurium pH minimum 4,0 pH optimum 6,6-8,2 pH maksimum 9,0 Listeria monocytogenes 4,3 7,0 9,4 Escherichia coli 4,0 7,0 9,0 Staphylococcus aureus 4,0 6,0-7,0 10,0 Bacillus cereus 5 6,5 8,8 Jenis Bakteri Sumber: ICMSF (1996) diacu dalam Theron dan Lues (2011) Bakteri patogen seperti L. monocytogenes dan B. cereus terhambat maksimum pada jam ke-12 dimana pada jam tersebut, pH supernatan mencapai 4 (Gambar 11). Pada jam tersebut, kedua bakteri uji tersebut sudah tidak mampu mentolerir pH yang terjadi sehingga mengakibatkan zona hambat yang terbentuk telah mencapai titik maksimal pada jam ke-12. Bakteri uji seperti E. coli dan S. typhimurium adalah bakteri Gram negatif. Keduanya termasuk ke dalam golongan bakteri enteropatogenik. Bakteri jenis ini biasanya tahan terhadap pH yang cukup rendah. Korelasi dengan zona bening yang terbentuk adalah, butuh konsentrasi asam organik yang lebih banyak untuk 33 menghambat bakteri ini. Gambar 11 menunjukkan bahwa zona bening maksimum yang ditunjukkan pada bakteri uji E. coli terbentuk pada jam ke-15, lebih lama daripada bakteri uji L. monocytogenes dan B. cereus. Begitu juga dengan bakteri uji S. typhimurium. Zona hambat maksimum ditunjukkan pada jam ke-24. Menurut Alvarez-Ordonez et al. (2009), S. typhimurium diketahui dengan kemampuannya bertahan hidup pada pH ekstrim, yaitu 3. Namun kemampuan hidup pada pH ekstrim tersebut tidak menjadikan bakteri ini dapat hidup dengan normal ketika bereaksi dengan asam organik. Sifat adaptasi asam dari S. typhimurium juga didapat dari peningkatan osmotik, toleransi terhadap garam, dan proteksi silang menjadi sistem laktoperoksidase yang aktif. Daya hambat asam organik yang dihasilkan isolat NS(9) terhadap S. aureus paling rendah dibandingkan dengan bakteri uji lainnya. Sesuai dengan hasil penelitian, Linke dan Goldman (2011) menyatakan hal ini disebabkan karena daya adhesivitas dinding sel S. aureus yang rendah. Gaya intermolekul seperti Van der Waals, elektrostatis, kelarutan, dan interaksi sterik mengontrol bagaimana dinding sel bakteri berinteraksi dengan permukaan zat lain. Menurut Theron dan Lues (2011), setiap bakteri uji memiliki ketahanan masing-masing terhadap jenis asam organik yang berbeda. L. monocytogenes memiliki kerentanan yang lebih besar terhadap asam laktat dibandingkan dengan asam asetat. E. coli dan S. typhimurium memiliki kerentanan yang tinggi terhadap asam laktat dan asam asetat. B. cereus yang merupakan golongan bakteri Gram positif memiliki kerentanan yang tinggi terhadap asam laktat dan asam propionat. Bakteri uji S. aureus memiliki ketahanan asam yang paling tinggi dibandingkan dengan kelima bakteri uji lainnya. Charlier et al. (2009) menyatakan bahwa S. aureus akan bertambah rentan terhadap asam apabila terjadi peningkatan kadar garam. Bakteri S. aureus juga sangat peka terhadap aktivitas asam asetat. Perbedaan nilai zona bening yang dihasilkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pada jam tertentu, salah satu jenis asam organik yang dihasilkan oleh isolat BAL NS(9) diproduksi dalam kondisi optimum, sehingga menghambat bakteri uji yang rentan terhadap salah satu jenis asam organik tersebut. Bakteri L. monocytogenes yang telah mencapai zona hambat terbaik pada jam ke-12 menunjukkan bahwa pada jam tersebut, kemungkinan terbentuknya 34 asam laktat dan asam propionat mencapai titik tertinggi. Kondisi yang sama dapat dijelaskan pada bakteri uji E. coli dan S. typhimurium. Menurut Alvarez-Ordonez et al. (2009), kedua bakteri uji ini rentan terhadap aktivitas antibakteri dari asam laktat dan asam asetat. Kondisi maksimum zona hambat yang terjadi pada E. coli di jam ke-15 menunjukkan bahwa pada jam tersebut, kandungan asam asetat dan asam laktat dalam supernatan antibakteri terdapat pada kondisi yang maksimum. Zona hambat maksimum yang terjadi pada bakteri S. typhimurium lebih lama dari E. coli disebabkan karena bakteri S. typhimurium lebih tahan asam dibandingkan bakteri E. coli.