Politik Dalam Negeri dan Hubungan Luar Negeri

advertisement
POLITIK DALAM NEGERI
DAN HUBUNGAN LUAR NEGERI
BAB XXI
POLITIK DALAM NEGERI
DAN HUBUNGAN LUAR NEGERI
A. PENDAHULUAN
Dalam usia 50 tahun kemerdekaan Indonesia, pembangunan
politik dalam negeri telah semakin memperlihatkan wujudnya
sebagaimana yang dicita-citakan, yaitu terciptanya tatanan politik yang
demokratis berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.
Sementara itu pembangunan hubungan luar negeri telah pula
mewujudkan prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif, ditandai
dengan semakin meningkatnya peran serta Indonesia dalam ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia memperlihatkan bahwa
pembangunan politik dalam negeri dan hubungan luar negeri pada
XXI/3
hakikatnya adalah dua aspek yang berkaitan erat dan saling
mempengaruhi. Semangat kebangsaan yang bergelora pada masa
pergerakan untuk melepaskan diri dari penjajahan telah menjiwai dan
mengilhami perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi dan
diplomasi Indonesia di dunia internasional. Alinea pertama
Pembukaan UUD 1945 menyatakan dengan tegas "bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Perjuangan mewujudkan cita-cita kehidupan politik dalam negeri
dart hubungan luar negeri, yang dicetuskan para pendiri negara, telah
melalui perjalanan panjang yang penuh tantangan. Tantangan itu
tidak saja datang dari luar tetapi juga datang dari dalam tubuh bangsa
sendiri. Dalam usianya yang ke 50 tahun sebagai bangsa yang
merdeka perenungan kembali terhadap perjalanan politik dan
diplomasi Indonesia kiranya akan bermanfaat bagi pembangunan
politik dan hubungan luar negeri di masa depan.
Dalam sejarah ketatanegaraan, sejak awal kemerdekaan telah
terjadi beberapa kali perubahan tatanan politik, yaitu mengacu pada
UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), UUD
Sementara 1950, dan kemudian pada tahun 1959 kembali lagi ke
UUD 1945.
Sejarah mencatat pula bahwa dengan diproklamasikannya
kemerdekaan Republik Indonesia tidaklah berarti perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia telah selesai. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara Republik Indonesia
menjadi prioritas segera setelah kemerdekaan diproklamasikan, yaitu
menghadapi ancaman asing yang ingin kembali menguasai wilayah
Nusantara melalui aksi-aksi militer dan pembentukan negara - negara
XXI/4
boneka. Perjuangan menghadapi ancaman tersebut dijalankan tidak
saja melalui perlawanan fisik bersenjata, tetapi juga jalur diplomasi.
Melalui perjuangan fisik bersenjata, bangsa Indonesia menunjukkan
kepada dunia akan keberadaan dan keteguhan tekadnya dalam
mempertahankan negara yang telah diproklamasikan. Melalui jalur
diplomasi, Indonesia berhasil memperoleh dukungan dan pengakuan
kedaulatan dari berbagai negara. Pada bulan Juni 1947 Mesir tercatat
sebagai negara pertama yang memberikan pengakuan secara de jure
atas kemerdekaan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang kemudian disusul oleh negara-negara Timur Tengah
dan Asia lainnya .
Sementara. itu tantangan yang datang dari dalam tubuh bangsa
sendiri tidak kurang beratnya. Di bidang politik, dengan terbentuknya
kabinet RI kedua, yakni Kabinet Syahrir pada tanggal 14 November
1945, diberlakukan sistem pemerintahan parlementer. Dalam sistem
tersebut para menteri bertanggung jawab kepada Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP), yang berdasarkan Aturan Peralihan pasal IV
berfungsi sebagai badan perwakilan rakyat. Hal ini jelas bertentangan
dengan UUD 1945 yang pada Penjelasan-nya menyatakan "Presiden
mengangkat dan memperhentikan menteri-menteri negara. Menterimenteri itu tidak bertanggungjawab. kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung dari pada Dewan, akan
tetapi tergantung dari pada Presiden. Mereka ialah pembantu
Presiden". Di samping itu ada pula upaya untuk mengganti ideologi
Pancasila dan UUD 1945, dengan ideologi komunis yaitu ketika PKI
melakukan aksi pemberontakan dan pengkhianatan pada tahun 1948.
Demikian pula ada kelompok ekstrim yang berupaya membuat
Indonesia menjadi negara agama dan melakukan pemberontakan yang
dikenal sebagai DI/TII. Kekuatan dan keteguhan hati rakyat serta
kesaktian ideologi Pancasila telah mampu mematahkan usaha-usaha
penyelewengan tersebut.
XXI/5
Tekad dan semangat perjuangan yang pantang menyerah akhirnya
memaksa pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada tanggal 29
Desember 1949 sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).
Setelah itu dunia internasional mengakui kemerdekaan dan kedaulatan
Indonesia.
Namun demikian ancaman-ancaman dan tantangan-tantangan
terhadap keutuhan bangsa dan negara serta ideologi nasional masih
berlanjut.
Selain itu bangsa Indonesia masih harus berjuang membebaskan
Irian Barat, yang masih berada di bawah kekuasaan Belanda.
Perjuangan ini memakan waktu yang cukup panjang. Kegagalan
Majelis Umum PBB tahun 1957 dalam upaya internasional untuk
menyelesaikan masalah Irian Barat menyebabkan Indonesia
mengambil jalan lain dalam menghadapi Belanda, yaitu dengan
konfrontasi di segala bidang termasuk pemutusan hubungan
diplomatik pada tanggal 17 Agustus 1960. Di bidang militer
dilancarkan operasi Mandala di bawah panji Tri Komando Rakyat
(Trikora).
Dengan melalui perjuangan politik dan militer, serta diplomasi
yang gencar, dan dengan dukungan masyarakat Irian Barat sendiri
yang ingin melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda,
akhirnya Irian Barat kembali ke pangkuan Republik Indonesia, dan
menjadi propinsi yang bernama Irian Jaya.
Sementara itu di bidang politik dalam negeri bentuk negara
federal sebagai hasil KMB dan Konstitusi RIS yang melandasinya
merupakan tantangan pertama yang harus dipecahkan segera setelah
pengakuan kedaulatan. Setelah kembali menjadi negara kesatuan,
bangsa Indonesia masi h dihadapkan pada ancaman -ancaman
XXI/6
perpecahan, seperti pemberontakan Andi Aziz, Kahar Muzakkar,
APRA, Republik Maluku Selatan, dan PRRI/Permesta. Selain itu
negara Indonesia yang masih muda harus menghadapi gerakan ekstrim
yang bermunculan di berbagai daerah, sebagai kelanjutan DI/TII yang
sudah mengancam negara kesatuan berdasarkan Pancasila sejak pada
tahap perjuangan fisik melawan penjajah. Berbagai gerakan tersebut
timbul akibat masih kuatnya pemikiran federalisme dan
primordialisme, yang mengutamakan kepentingan daerah dan agama
dengan pandangan yang sempit.
Terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1950 merupakan peristiwa politik yang penting
karena bentuk negara kesatuan telah dapat dikembalikan. Namun
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang menggantikan UUD
RIS menganut sistem politik barat, yang dikenal sebagai sistem politik
demokrasi parlementer.
Sistem politik liberal-barat ini, membuka peluang tumbuhnya
partai-partai politik sehingga jumlahnya menjadi banyak. Partai-partai
politik itu cenderung untuk mengutamakan kepentingan partainya,
dengan masing-masing membawa ideologinya sendiri. Karena
pemerintahan terdiri dari kabinet yang dibentuk oleh Parlemen
berdasarkan koalisi partai-partai, maka Pemerintah jatuh bangun
dalam frekuensi yang cepat sehingga keadaan politik dan ekonomi
senantiasa tidak stabil dan tidak ada konsistensi serta kesinambungan
dalam kebijaksanaan apalagi dalam upaya pembangunan. Birokrasi
juga terpecah-pecah ke dalam partai-partai politik, yang menyebabkan
terganggunya roda pemerintahan (Tabel XXI-1).
Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 yang merupakan upaya
mewujudkan kehidupan demokratis tidak mengakhiri pertikaianpertikaian ideologis bahkan membuatnya semakin tajam. Dewan
XXI/7
Konstituante hasil pemilu yang bertugas untuk merumuskan undangundang dasar gagal menjalankan tugasnya. Dalam keadaan demikian
keluarlah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Dekrit ini berisi
pembubaran Konstituante, tidak diberlakukannya lagi UUDS, dan
diberlakukannya kembali UUD 1945. Dekrit ini dikeluarkan oleh
Presiden Soekarno atas desakan rakyat, termasuk angkatan bersenjata,
yang tidak menghendaki berlarutnya keadaan konflik dan krisis, dan
menginginkan bangsa Indonesia kembali kepada cita-cita proklamasi
yang tertuang dalam UUD 1945.
Namun, meskipun secara resmi UUD 1945 telah berlaku
kembali, dalam prakteknya ketentuan-ketentuan UUD tersebut tidak
sepenuhnya ditaati. Tatanan kehidupan politik di bawah demokrasi
terpimpin yang menggantikan tatanan politik sebelumnya ternyata juga
tidak mampu mengakhiri suasana pertentangan di antara kekuatan kekuatan politik yang ada pada waktu itu. Dalam keadaan demikian
penyaluran aspirasi dan kepentingan masyarakat bahkan mengalami
hambatan untuk berkembang. Konsep Nasakom dimunculkan untuk
menggalang persatuan menghadapi musuh yang disebut nekolim.
Pada kenyataannya konsep ini digunakan oleh PKI untuk menyusun
kekuatan, dan pada saat yang dianggapnya tepat mengambil alih
kekuasaan. Itulah yang terjadi pada akhir bulan September 1965,
yaitu usaha kudeta dan pemberontakan yang dinamakan Gerakan 30
September atau G-30-S/PKI. Tujuannya tidak lain adalah menjadikan
Indonesia negara komunis. Bagi Indonesia, ini merupakan pengkhianatan PKI yang kedua kalinya. Namun PKI telah salah
memperhitungkan kesetiaan rakyat Indonesia kepada cita-cita
proklamasi, Pancasila, dan UUD 1945. Kekuatan rakyat, bersama
dengan ABRI, dalam waktu cepat berhasil mematahkan pemberontakan tersebut.
XXI/8
Pengalaman pahit ini membawa hikmah. Bangsa Indonesia
makin sadar betapa amat mendasarnya membangun kehidupan
nasional yang secara murni dan konsekuen mengamalkan Pancasila
dan UUD 1945.
Maka lahirlah semangat dan gerakan pembaharuan yang
dinamakan Orde Baru, yang ingin membangun kehidupan yang
konstitusional, demokratis, dan berdasarkan hukum, dengan ber landaskan Pancasila dan UUD 1945.
Orde Baru telah menata kembali seluruh aspek kehidupan bangsa,
termasuk di bidang politik. Segera setelah melampaui masa
stabilisasi dan konsolidasi, Orde Baru melancarkan upaya
pembangunan, dalam kerangka yang sekarang kita namakan
Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Pertama (PJP I).
Di tengah perjalanan pembangunan nasional tersebut, tercatatlah
suatu peristiwa bersejarah dengan adanya keinginan rakyat dan
Pemerintah Sementara Timor Timur untuk menyatukan Timor Timur
ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dinyatakan dalam Proklamasi Rakyat Timor Timur di Balibo tanggal 30
Nopember 1975 dan Petisi Rakyat dan Pemerintah Sementara Timor
Timur di Dili pada tanggal 1 Mei 1976.
Untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang
keinginan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia pada bulan Juni
1976 telah mengirim delegasi ke Timor Timur yang terdiri dari unsurunsur Pemerintah, DPR-RI, dan organisasi kemasyarakatan. Hasil
peninjauan tersebut memberikan keyakinan kepada Pemerintah dan
Rakyat Indonesia, bahwa ada keinginan yang kuat dari rakyat Timor
Timur yang dinyatakan secara bebas, untuk menyatukan Timor Timur
ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Didorong oleh rasa
XXI/9
tanggung jawab terhadap dasar-dasar dan cita-cita kemerdekaan
sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945, maka
keinginan integrasi tersebut diterima oleh Pemerintah dan Rakyat
Indonesia, dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976
tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada bulan Juli 1976. Undang-undang
tersebut dikukuhkan lagi dengan Ketetapan MPR Nomor
VI/MPR/1978 pada bulan Maret 1978. Dengan demikian Timor
Timur telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sebagai propinsi ke-27.
Dalam PJP I pembangunan di bidang politik telah berhasil
mewujudkan landasan politik nasional berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, yang intinya adalah demokrasi Pancasila.
Orde Baru berhasil meletakkan dasar bagi kemurnian pelaksanaan
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 secara nyata, konsekuen dan
dinamis, yang meliputi penataan suprastruktur politik, infrastruktur
politik, dan pengembangan budaya politik serta mekanisme
demokrasi Pancasila. Kesadaran akan pentingnya pembangunan politik
bagi keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh
mendorong dilakukannya penataan kehidupan politik. Peranan ABRI
sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik
telah dikukuhkan, baik sebagai modal dasar maupun sebagai kekuatan
efektif bangsa. Kebijaksanaan penataan kehidupan politik tersebut
telah berhasil menciptakan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Penataan infrastruktur politik diwujudkan melalui berfusinya
sejumlah partai politik menjadi dua partai politik dan golongan karya
serta penyederhanaan kehidupan organisasi kemasyarakatan.
XXI/10
Pemilu telah dilaksanakan lima kali secara tepat waktu dan makin
meningkat kualitasnya. Pelaksanaan pemilu yang diikuti oleh
sembilan dari setiap sepuluh rakyat yang berhak memilih telah
menggairahkan peran serta masyarakat dalam pembangunan politik
(Tabel XXI-2). Kualitas kampanye makin meningkat, kampanye yang
bersifat primordial secara bertahap telah berkurang dan digantikan
dengan kampanye yang lebih menonjolkan berbagai program
pembangunan organisasi peserta pemilu (OPP).
Sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita Orde Baru, pada
tahun 1978 MPR dalam Ketetapan No. II/MPR/1978 telah
menetapkan "Eka Prasetya Panca Karsa" sebagai Pedoman
Pelaksanaan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan
demikian telah ada penuntun dan pegangan bagi sikap dan tingkah
laku setiap manusia Indonesia dalam penghayatan dan pengamalan
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kemajuan dalam pembangunan politik yang amat mendasar
dalam PJP I adalah tercapainya kesepakatan politik untuk
menegaskan kembali dan menetapkan Pancasila sebagai ideologi
negara dan satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Secara konstitusional kesepakatan tersebut
dituangkan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor II/MPR/1983.
Kemudian melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1985, tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya, Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya
asas bagi partai politik dan gologan karya.
Selanjutnya, Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan menetapkan pula Pancasila sebagai satusatunya asas bagi organisasi kemasyarakatan dengan tidak
menghilangkan ciri dari masing- masing organisasi kemasyarakatan
XXI/11
tersebut. Penerimaan secara formal tersebut telah dibina dan
dikembangkan sehingga makin menjamin pengamalan Pancasila dalam
praktek kehidupan nasional serta mampu menangkal segala pemikiran
yang berorientasi pada nilai-nilai di luar sistem nilai Pancasila.
Sejalan dengan itu Pancasila sebagai nilai dasar yang mengandung
sejumlah aturan pokok kehidupan politik nasional dijabarkan secara
kreatif dan dinamis menjadi nilai instrumental ke dalam sistem
nasional yang terdiri atas sejumlah subsistem politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan, sehingga menghasilkan
pengertian, sikap dan perilaku yang sama dalam mengamalkan
Pancasila. Pendidikan politik, antara lain melalui penataran P4 telah
dapat meningkatkan penghayatan Pancasila sebagai falsafah bangsa
dan pengamalannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Komunikasi politik, baik vertikal maupun horizontal, khususnya
komunikasi timbal balik antara supra dan infrastruktur politik telah
semakin meningkat dan berkembang. Demikian pula arus komunikasi
dan penyaluran aspirasi politik dari bawah senantiasa memperoleh
peluang untuk berkembang secara sehat. Dalam kaitan ini peranan
organisasi kekuatan sosial politik sebagai wadah penampung dan
penyalur aspirasi masyarakat telah berkembang dan telah meningkat
kemandiriannya dalam merumuskan program, melaksanakan kegiatan
politik, dan membina kadernya.
Kondisi demikian telah meningkatkan peran dan fungsi lembaga
permusyawaratan/perwakilan rakyat, organisasi kekuatan sosial
politik, dan organisasi kemasyarakatan, serta peran serta rakyat dalam
proses kehidupan politik.
Dengan demikian mekanisme pelaksanaan demokrasi Pancasila
telah semakin jelas memperlihatkan wujudnya dan mekanisme
XXI/12
kepemimpinan nasional lima tahunan telah berjalan makin mantap,
teratur, dinamis, dan konstitusional.
Dwifungsi ABRI telah menjadi keyakinan dan milik bersama.
Keberadaan ABRI sebagai kekuatan sosial politik dalam sistem politik
Indonesia telah ikut menumbuhkembangkan dan memantapkan
demokrasi Pancasila serta kehidupan konstitusional bersama kekuatan
sosial politik lainnya.
Pembangunan politik selama kurun waktu PJP I telah dapat
mewujudkan tingkat stabilitas nasional yang mantap dan dinamis,
sehingga memungkinkan pelaksanaan pembangunan nasional yang
menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin baik. Perkembangan
tersebut telah menciptakan pula iklim keterbukaan yang bertanggung
jawab serta makin mantapnya pelaksanaan demokrasi Pancasila.
Di bidang hubungan luar negeri, sejarah mencatat bahwa
Indonesia telah memainkan peranan penting dalam perjuangan bangsabangsa terjajah untuk merdeka dan dalam perjuangan negara-negara
berkembang dan negara-negara non blok pada umumnya. Didahului
dengan konferensi Bogor pada tahun 1954, Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pertama di Bandung pada bulan April
1955 yang diikuti oleh 29 negara. Konferensi tersebut telah
melahirkan Dasasila Bandung yang menjadi pedoman perjuangan
bangsa-bangsa di dunia ketiga untuk melepaskan diri dari cengkraman
penjajahan dan membangun kekuatan dan solidaritas di antara negaranegara berkembang.
Dengan semangat itu Indonesia turut mengambil prakarsa
bersama-sama dengan Yugoslavia dan Republik Arab Persatuan
menyelenggarakan pertemuan negara -negara non-blok. Pertemuan
XXI/13
pertama negara-negara non-blok ini diselenggarakan dalam bulan
September 1961 di Beograd, Yugoslavia.
Dalam masa Orde Baru penerapan prinsip politik luar negeri
bebas aktif secara konsekuen dengan berperan aktif dalam berbagai
fora internasional telah meningkatkan citra, wibawa, kedudukan, dan
peranan Indonesia dalam ikut serta menciptakan ketertiban dan
perdamaian dunia yang abadi, adil, dan sejahtera. Terbentuknya
ASEAN pada tahun 1967, yang diprakarsai pula oleh Indonesia,
menunjukkan tekad Indonesia untuk membina kerjasama dengan para
tetangganya di Asia Tenggara untuk membangun kawasan yang
damai, adil, dan sejahtera. ASEAN kini telah menjadi organisasi
regional yang secara luas diakui amat penting, baik posisi maupun
sumbangannya di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam
di dunia saat ini. ASEAN bahkan telah mengambil langkah-langkah ke
arah terbentuknya ASEAN Free Trade Area (AFTA), yang diharapkan
menjadi sarana kerjasama ekonomi yang berkualitas dan berorientasi
pada pasar bebas. ASEAN juga mencanangkan ASEAN Regional
Forum (ARF) untuk menata hubungan politik dan keamanan ASEAN
dengan negara Asia Tenggara lainnya dan negara besar di kawasan
Asia Pasifik.
Di kelompok negara-negara berkembang, Indonesia telah berhasil
membangun kepercayaan dan rasa solidaritas yang mendalam antara
negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Nonblok (GNB). Hal
ini mencapai puncaknya ketika Indonesia dipilih sebagai Ketua dan
sekaligus menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke 10
yang cakupannya tidak saja bidang politik, tetapi juga bidang ekonomi
dan bidang sosial budaya. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua GNB,
Indonesia kembali mengumandangkan pentingnya negara-negara
berkembang membangun kemandirian dan berusaha menyelesaikan
masalah-masalahnya sendiri, dan di antara sesama negara berkembang
XXI/14
mengembangkan kerja sama untuk menyelesaikan masalah masalah
yang perlu dihadapi bersama.
Sebagai wakil GNB, Indonesia terus berupaya meyakinkan
negara-negara anggota G-7 akan perlunya melanjutkan dialog .
konstruktif antara Utara-Selatan menyangkut berbagai permasalahan
politik dan ekonomi yang menjadi kepentingan bersama. Indonesia
berkeyakinan bahwa kerjasama Utara-Selatan bukan hanya untuk
kepentingan sepihak negara-negara Selatan belaka, melainkan untuk
membangun kemitraan global yang juga menjadi kepentingan negaranegara Utara. Termasuk dalam kemitraan global itu adalah upaya
dalam penyelesaian masalah hutang dan pendanaan pembangunan
jangka panjang negara-negara berkembang.
Dalam rangka penerapan politik bebas aktif, Indonesia telah
memberikan sumbangan besar di berbagai kawasan dunia yang sedang
mengalami persoalan dan persengketaan, dengan mengirimkan
pasukan menjaga perdamaian dan penasehat militer di bawah naungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di samping upaya penyelesaian
melalui jalur diplomatik. Selama sekitar 10 tahun, misalnya,
Indonesia berperan sebagai salah satu perantara dialog antara pihakpihak yang bersengketa di Kamboja hingga masalah Kamboja
kemudian memperoleh format penyelesaian yang bisa diterima semua
pihak dan berhasil menyelenggarakan pemilihan umum pertamanya di
bawah pengawasan PBB.
Seperti di waktu-waktu sebelumnya selama PJP I, Indonesia terus
gigih dalam mendukung perjuangan bangsa-bangsa yang masih
terjajah. Indonesia terus konsisten mendukung perjuangan bangsa
Palestina untuk memperoleh kembali tanah airnya, dan Indonesia juga
selalu menentang politik apartheid di Afrika Selatan. Kredibilitas
Indonesia untuk membantu menyelesaikan masalah regional dan
XXI/15
internasional makin meningkat dan hal ini terbukti dengan dipercayanya Indonesia untuk ikut serta menyelesaikan secara damai seperti
antara lain masalah Moro-Filipina Selatan.
Lewat PBB, GNB, ASEAN, dan berbagai fora internasional
lainnya, Indonesia terus mendukung secara aktif usaha penciptaan
tatanan dunia baru yang adil, damai, dan sejahtera bagi seluruh umat
manusia. Sebagai bagian dari kelompok negara Selatan, Indonesia
aktif memperjuangkan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya
ekonomi dunia secara maksimal berdasarkan asas pembangunan
berkelanjutan.
Dalam konteks yang lebih luas, hubungan luar negeri yang dibina
selama ini telah berhasil menumbuhkan kepercayaan di berbagai
negara ataupun organisasi internasional untuk membantu meningkat kan usaha pembangunan, seperti tercermin dari meningkatnya arus
investasi, pinjaman luar negeri bersyarat lunak tanpa ikatan politik,
percepatan alih teknologi, perluasan akses komoditas ke pasar
internasional, dan lain sebagainya. Di samping itu, kerjasama
teknologi dengan negara- negara lain telah mencakup nilai dan
kualitas yang tinggi di semua bidang kehidupan, lebih dari waktu waktu sebelumnya. Ekonomi Indonesia yang terus tumbuh dan
berkembang secara individual ataupun dalam konteks ASEAN
menjadi sasaran menarik Para investor asing, dan selama ini terbukti
berhasil menaikkan kuantitas dan kualitas lalu lintas komoditas
perdagangan dan modal.
Kebijaksanaan luar negeri dalam PJP I, yang berhasil
menciptakan suasana keamanan yang stabil, baik di dalam negeri
maupun di kawasan Asia Tenggara, merupakan penunjang
keberhasilan upaya pembangunan nasional. Indonesia pada akhir PJP I
bahkan dikelompokkan oleh Bank Dunia sebagai salah satu negara di
XXI/16
dunia yang pertumbuhan ekonominya selama 25 tahun maju paling
pesat dan menjadi contoh keberhasilan dari suatu perencanaan
pembangunan berkelanjutan bagi negara-negara berkembang lainnya.
Keberhasilan ini, selain telah menaikkan derajat Indonesia sebagai
negara yang mempunyai kesungguhan dalam menaikkan taraf hidup
rakyatnya sendiri, juga memberikan sumbangan yang positif bagi
usaha peningkatan kesejahteraan negara berkembang lainnya dalam
mengatasi kesenjangan ekonominya dengan negara maju. Hal ini
terbukti dengan meningkatnya minat negara berkembang
memanfaatkan pengalaman Indonesia melalui berbagai program dan
perjanjian dengan negara-negara sahabat seperti dalam kerjasama
sosial, ekonomi dan teknik, investasi, dan keuangan termasuk
penghindaran pajak berganda.
Keberhasilan penting lainnya adalah diterimanya konsep negara
kepulauan oleh dunia internasional yang kemudian dituangkan dalam
Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Sejak itu telah
disepakati bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berada hingga jarak
200 mil dari garis pantai suatu negara kepulauan. Hal ini memberikan
sumbangan cukup besar bagi keberhasilan pembangunan nasional,
baik secara politis maupun ekonomis.
Dalam bidang kebudayaan, hubungan luar negeri Indonesia yang
antara lain dilaksanakan melalui pengiriman misi budaya, pengiriman
dan pertukaran pemuda, pelajar, dan mahasiswa, kegiatan olahraga,
serta penyelenggaraan pameran kebudayaan Indonesia, telah
memperdalam pengertian dan membantu terciptanya citra positif
Indonesia di manca negara. Di samping itu, telah pula dirintis
pendirian pusat-pusat kebudayaan Indonesia di luar negeri dan
Perhimpunan Persahabatan Indonesia dengan negara-negara sahabat.
Indonesia juga telah membuka beberapa kantor perwakilan baru di
luar negeri, yang menunjukkan meningkatnya usaha Indonesia dalam
XXI/17
mengadakan hubungan persahabatan dengan negara lain di dunia.
Dengan adanya penambahan tersebut maka jumlah perwakilan RI di
luar negeri menjadi 110 yang meliputi: (1) Kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI) di 80 negara; (2) Perwakilan Tetap Republik
Indonesia (PTRI) di New York dan Geneva; (3) Kantor Perutusan
Republik Indonesia untuk Masyarakat Eropa di Brussel; (4) sejumlah
23 Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) ; dan (5) sejumlah
empat Konsulat Republik Indonesia .
Konsistensi pelaksanan politik luar negeri Indonesia yang bebas
aktif, serta kepedulian dan peran serta Indonesia terhadap perbaikan
masalah ekonomi pembangunan secara global, telah menjadi modal
utama bagi peningkatan peran selanjutnya dalam hubungan luar
negerinya, sesuai amanat UUD 1945 dan petunjuk GBHN.
B. POLITIK DALAM NEGERI
1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program . Repelita VI
Sasaran pembangunan politik dalam PJP II adalah tercipta dan
berfungsinya tatanan kehidupan politik yang konstitusional
berdasarkan demokrasi Pancasila yang mantap dan dinamis, dengan
kualitas manusia dan masyarakat yang memiliki kesadaran dan etika
politik yang tinggi serta bersikap dan berperilaku sesuai dengan
budaya politik Pancasila dalam semangat persatuan dan kesatuan
bangsa yang berwawasan Nusantara serta makin mantapnya otonomi
daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
Sasaran pembangunan politik dalam Repelita VI adalah tertatanya
kehidupan politik yang didukung oleh suasana yang memungkinkan
berkembangnya budaya politik yang mengarah pada perwujudan sikap
XXI/18
keterbukaan yang bertanggung jawab dalam komunikasi antar-dan
antara suprastruktur dan infrastruktur politik berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945; serta terselenggaranya otonomi daerah yang nyata,
dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan berbagai sasaran pembangunan politik
tersebut di atas, pokok-pokok kebijaksanaan dalam Repelita VI adalah
mengembangkan etika, moral, dan budaya politik; meningkatkan
pemasyarakatan dan pembudayaan P4; meningkatkan peran dan
fungsi suprastruktur politik; meningkatkan kualitas penyelenggaraan
pemilihan umum; meningkatkan kualitas dan kemandirian organisasi
kekuatan sosial politik dan organisasi kemasyarakatan; serta
mengembangkan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan
bertanggung jawab.
Dalam rangka mewujudkan berbagai sasaran pembangunan
politik dan sesuai dengan arahan GBHN 1993, maka kebijaksanaan
pembangunan politik dalam negeri dalam Repelita VI dijabarkan ke
dalam program-program: (1) Pengembangan Etika, Moral, dan
Budaya Politik; (2) Peningkatan Fungsi Suprastruktur Politik; (3)
Peningkatan Peranan Organisasi Kekuatan Sosial Politik; (4)
Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Pemilihan Umum; (5)
Peningkatan Peran Serta Masyarakat; (6) Pemantapan Integrasi
Bangsa; dan (7) Peningkatan Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
2.
Pelaksanaan
Repelita VI
dan
Hasil
Pembangunan
Tahun
Pertama
Berdasarkan arahan-arahan tersebut di atas, dalam tahun pertama
Repelita VI telah dilaksanakan program-program pembangunan politik
sebagai berikut.
XXI/19
a. Program Pengembangan Etika, Moral, dan Budaya
Politik
Program ini bertujuan mewujudkan nilai-nilai Pancasila sebagai
ideologi terbuka di tengah arus perubahan dan dinamika masyarakat
yang maju dengan cepat. Kegiatannya meliputi peningkatan
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan etika, moral, dan budaya
politik Pancasila dalam tatanan kehidupan politik oleh seluruh
masyarakat, dengan perhatian khusus kepada generasi muda.
Dalam upaya ini pemasyarakatan dan pembudayaan P4, di
samping berbagai kegiatan politik lainnya, merupakan langkah
strategis Dalam tahun pertama Repelita VI antara lain telah
diupayakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1) Penataran P4
Upaya-upaya pemasyarakatan dan pembudayaan P4 di selenggarakan dalam bentuk pendidikan formal, termasuk
penataran, serta kegiatan non penataran.
Penataran dilakukan terhadap pegawai negeri, mahasiswa,
pelajar, tenaga kerja swasta, dan masyarakat pada umumnya.
Pola penataran disesuaikan dengan kebutuhan dan daya
pemahaman masing-masing peserta (Tabel XXI-3; XXI-4; dan
XXI-5).
Sejak tahun 1989 dikembangkan pula Pola Terpadu, dengan
perluasan materi dan perbaikan metoda yang disesuaikan dengan
lingkungan, profesi, fungsi dan tugas masing -masing dalam
kehidupan sehari-hari. Peserta penataran pola terpadu untuk
pegawai Republik Indonesia, ju ga memperoleh materi khusus
XXI/20
tentang Kepemimpinan Pancasila, Wawasan Aparatur dan Budaya
Kerja, dan Kode Etik Korpri. Bagi penataran terpadu siswa baru
SLTP, SLTA diberikan materi khusus yaitu Wawasan
Wiyatamandala. Sedangkan bagi kalangan tenaga kerja swa sta,
diberikan materi khusus Hubungan Industri Pancasila.
2) Penyiapan SDM P4
Untuk menyediakan tenaga yang diperlukan bagi penataran
di lembaga pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan, diadakan
penataran pola 144 jam dan pola 120 jam bagi calon pe natar.
Frekuensi dan jumlah seluruh SDM yang dihasilkan tercantum pada
Tabel XXI-6 dan XXI-7.
Guna mempersiapkan SDM P4 diperlukan tenaga -tenaga
Penatar Tingkat Nasional (Manggala), yang bertugas menatar
calon penatar tingkat pusat (sektor) maupun daerah. Penataran
bagi Manggala pada PJP I telah menghasilkan 796 orang dalam 7
angkatan. Upaya ini dilanjutkan dalam Repelita VI. Pada tahun
pertama dan dilanjutkan tahun kedua Repelita VI telah diadakan
Penataran P4 Manggala bagi Pejabat Eselon I Departemen/
Lembaga Non Departemen dan para Gubernur seluruh Indonesia,
sejumlah 665 orang, yang akan bertugas melakukan penataran
kontekstual di sektor dan daerah masing-masing. Penataran
Manggala Eselon I bertujuan agar para pejabat mampu
mengoperasionalkan Pancasila, UUD 1945 dan GBHN sesuai
dengan peran dan kedudukan masing-masing secara kontektual
dan lintas sektoral. Di samping itu agar mampu bersikap dan
bertingkah laku sesuai P4 sehingga dapat menjadi teladan bagi
bawahannya. Manggala Eselon I ini merupakan SDM untuk Gerakan
Pembudayaan Pancasila yang dicanangkan pada tanggal 5 Juli
1995.
XXI/21
3)
Kegiatan Pembudayaan Non Penataran
Pembudayaan P4 juga meliputi berbagai kegiatan non
penataran, seperti Permainan Simulasi P4, Lomba Permasyarakatan
dan Pembudayaan P4 (LP2P4) serta pemasyarakatan melalui media
komunikasi massa. Permainan Simulasi merupakan proses kegiatan
yang melibatkan peserta dalam unsur peran yang didiskusikan, dengan
cara/aturan bermain yang direncanakan/dimusyawarahkan. Selama
Repelita IV dan V tercatat lebih dari 30 juta warga masyarakat yang
menjadi anggota Kelompok Belajar Simulasi di seluruh Indonesia.
Untuk itu dipersiapkan SDM untuk melatih Pengelola, Pelatih Inti,
Fasilitator dan Pelaksanaan Permainannya itu sendiri oleh Kelompok
Belajar Simulasi (lihat Tabel XXI-8).
Sejak awal Repelita IV diselenggarakan Lomba Cerdas
Tangkas P4 (LCT P4) untuk SD, SLTP/SLTA, mahasiswa dan
organisasi kemasyarakatan. Mulai Repelita VI lomba ini
ditingkatkan menjadi Lomba Pemasyarakatan dan Pembudayaan
P4 yang lebih luas.
4)
Penelitian Pengembangan dan Pembinaan Pembudayaan
P4
Untuk menunjang peningkatan dan perluasan pendidikan P4
dan meningkatkan pembudayaan P4 di kalangan masyarakat luas,
ditingkatkan pula kegiatan penelitian dan pengembangan. Sasaran
penelitian pengembangan dan pembinaan pembudayaan P4 adalah
untuk mengevaluasi dan mengkaji kembali program, metode,
materi
penyelenggaraan,
para
penyelenggaranya
serta
kebijaksanaan yang telah dilaksanakan. Selama PJP I telah
dihasilkan 50 penelitian. Sedangkan pada tahun pertama Repelita
VI telah diselesaikan 6 penelitian.
XXI/22
b.
Program Peningkatan Fungsi Suprastruktur Politik
Program ini bertujuan meningkatkan dan memantapkan fungsi
suprastruktur politik sesuai amanat UUD 1945, dengan
mengembangkan kerjasama yang serasi dan terbuka berdasarkan atas
asas kekeluargaan serta didukung oleh sumber daya yang memadai.
Upaya pemantapan kehidupan konstitusional, demokratis, dan
tegaknya hukum melalui peningkatan fungsi lembaga-lembaga
konstitusional sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dalam
Repelita VI terus dilanjutkan dan ditingkatkan disertai dengan usaha
untuk mengembangkan rasa kepercayaan dan hormat masyarakat
kepada tugas dan wewenang lembaga konstitusional, serta
meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam kehidupan
politik.
Peran suprastruktur politik telah makin efektif dan telah berjalan
dalam mekanisme dan sistem politik berdasarkan amanat konstitusi.
c.
Program Peningkatan Peranan Organisasi Kekuatan
Sosial Politik
Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan dan kualitas
organisasi kekuatan sosial politik, sebagai wadah penyalur aspirasi
politik rakyat dan memperjuangkannya secara sehat sesuai sistem
perwakilan berdasarkan demokrasi Pancasila. Kegiatannya meliputi
penciptaan iklim yang menunjang bagi berfungsi dan berperannya
organisasi kekuatan sosial politik secara optimal, sehingga mampu
memberikan kontribusi secara berkualitas bagi pengembangan etika,
moral, dan budaya politik dalam rangka mewujudkan dan
memantapkan kehidupan demokrasi Pancasila.
XXI/23
Organisasi-organisasi kekuatan sosial politik telah berkembang
kualitas, kreativitas, dan kemandiriannya sehingga menjadi wadah
yang mampu menampung, mewakili dan menyalurkan serta
memperjuangkan aspirasi masyarakat. Organisasi kekuatan sosial
politik telah berperan aktif dalam mengembangkan demokrasi
Pancasila, baik secara internal maupun eksternal, yang diperjuangkan
melalui mekanisme dan program- program dalam masing-masing
organisasi.
d.
Program Peningkatan
Pemilihan Umum
Kualitas
Penyelenggaraan
Program ini bertujuan untuk memantapkan penyelenggaraan
pemilu yang semakin berkualitas, berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, dan rahasia, serta menjadi wahana peningkatan pendidikan
politik dan peran serta rakyat di bidang politik.
Kegiatannya meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
penyelenggaraan pemilu, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1997, atau tahun
ketiga Repelita VI. Pada tahun pertama Repelita VI persiapanpersiapan sedang dilakukan agar pemilu itu dapat terselenggara
dengan lancar dan aman serta makin berkualitas sebagai perwujudan
demokrasi.
Sementara itu telah dilakukan peninjauan kembali terhadap
jumlah anggota Fraksi ABRI di DPR, dan telah disepakati untuk
menguranginya dari 100 menjadi 75 kursi. Dengan demikian jumlah
kursi yang diperebutkan secara langsung melalui pemilu menjadi lebih
besar yang mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk terus
XXI/24
memperbaharui kehidupan politik dan penyelenggaraan sistem
demokrasinya.
e. Program Peningkatan Peran Serta Masyarakat
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran seluruh
warganegara akan hak dan kewajibannya sebagai warganegara dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Melalui program ini diupayakan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam seluruh
kegiatan pembangunan.
Kegiatannya meliputi peningkatkan kreativitas, potensi, dan
minat masyarakat di dalam ikut berperan serta secara nyata dalam
pembangunan nasional, melalui organisasi kemasyarakatan dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, sesuai dengan peran dan
fungsi yang diembannya.
Kehidupan politik yang konstitusional, demokratis dan
berdasarkan hukum, telah mendorong berkembangnya partisipasi
masyarakat. Iklim keterbukaan yang bertanggung jawab yang
dikembangkan oleh Pemerintah telah mendapat sambutan dari
masyarakat sehingga keikutsertaan masyarakat dalam segenap aspek
kehidupan dan pembangunan telah makin semarak.
Meningkatnya peran serta masyarakat tampak antara lain pada
meningkatnya kegiatan-kegiatan organisasi kemasyarakatan, serta
lembaga kemasyarakatan lainnya seperti lembaga swadaya
masyarakat.Masyarakat makin aktif menyalurkan aspirasi dan
menyampaikan masalah-masalah yang dihadapinya kepada lembagalembaga perwakilan rakyat di pusat maupun di daerah, baik melalui
XXI/25
orsospol, organisasi kemasyarakatan, kelompok-kelompok, maupun
secara perorangan.
Dalam berbagai upaya pembangunan seperti penanggulangan
kemiskinan dan pencegahan pencemaran lingkungan, masyarakat
berperan aktif. Demikian pula rakyat yang mencari keadilan semakin
banyak memanfaatkan lembaga-lembaga dan peluang-peluang yang
ada,baik melalui lembaga-lembaga peradilan, DPR dan DPRD,
Komnas HAM, media massa, Kotak Pos 5000, dan lain sebagainya.
f.
Program Pemantapan Integrasi Bangsa
Program ini bertujuan untuk mewujudkan ketahanan nasional
yang kukuh yang mendukung pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila. Program ini dilaksanakan melalui berbagai
kegiatan pemantapan wawasan kebangsaan, peningkatan pembauran
bangsa, peningkatan ketenteraman, dan perlindungan masyarakat.
Antara lain, melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 33
Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Pembinaan Persatuan dan Kesatuan
Bangsa, telah dikembangkan forum Wawasan Kebangsaan di seluruh
Indonesia yang diikuti oleh tokoh masyarakat, pemuda, mahasiswa,
dan aparatur Pemerintah Daerah.
g.
Program Peningkatan Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Program ini bertujuan meningkatkan pelaksanaan otonomi dengan
titik berat pada Daerah Tingkat II, melalui penataan kewenangan
penyelenggaraan berbagai urusan pemerintah pusat dan daerah, dan
antara unit-unit di daerah, agar mampu menangani urusan rumah
tangganya sendiri secara berkualitas. Kegiatannya dilakukan dengan
meningkatkan kualitas aparatur agar dapat menjalankan perannya
XXI/26
Tabel XXI — 1
KABINET — KABINET RI
(1945 — Sekarang)
Presiden/PM
1. Ir. Soekarno
Tahun
Konstitusi
(Presiden)
September 1945
— November 1945
UUD 1945
2. Sjahrir I
(PM)
November 1945
— Maret 1946
UUD 1945
3. Sjahrir II
(PM)
Maret 1946
— Juni 1947
UUD 1945
4. Amir Sjahrifuddin
(PM)
Juli 1947
— Januari 1948
UUD 1945
5. Hatta
(PM)
Januari 1948
— Desember 1949
UUD 1945
6. Hatta
(PM)
December 1949
— Agustus 1950
UUD RIS
7. Natsir
(PM)
September 1950
— Maret 1951
UUDS
8. Sukiman
(PM)
April 1951
— Pebruari 1952
UUDS
9. Wilopo
(PM)
April 1952
— Juni 1953
UUDS
10. Ali Sastroamidjojo I
(PM)
Juli 1953
— Juli 1955
UUDS
11. Burhanuddin Harahap
(PM)
Agustus 1955
— Maret 1956
UUDS
12. Ali Sastroamidjojo II
(PM)
Maret 1956
— Maret 1957
UUDS
13. Ir. Juanda
(PM)
Maret 1957
— Juli 1959
Juli 1959
—
Maret 1967
UUD 1945
14. Ir. Soekarno
(Presiden)
UUDS
15. Soeharto
(Pj. Presiden)
Maret 1967
—- Maret 1968
UUD 1945
16. Soeharto
(Presiden)
Maret 1968
—
Maret 1973
UUD 1945
17. Soeharto
(Presiden)
Maret 1973
— Maret 1978
UUD 1945
18. Soeharto
(Presiden)
Maret 1978
—
Maret 1983
UUD 1945
19. Soeharto
(Presiden)
Maret 1983
— Maret 1988
UUD 1945
20.
Soeharto
(Presiden)
Maret 1988
— Maret 1993
UUD 1945
21.
Soeharto
(Presiden)
Maret 1993
—
UUD 1945
Sekarang
XXI/27
TABEL XXI — 2
TINGKAT PARTISIPASI RAKYAT DALAM PEMILU
1955 — 1992
Tahun
Pemilu
Jumlah
Pemilih
Jumlah yang
Memilih
Persentase yang
Memilih
1955
43.104.464
39.419.032
91,4
1971
58.179.245
54.699.529
94,0
1977
70.378.750
63.998.344
90,9
1982
82.172.493
75.126.320
91,4
1987
93.965.953
85.809.816
91,3
1992
107.565.697
97.789.534
90,9
TABEL XXI — 3
PENATARAN PEDOMAN PENGHAYATAN DAN
PENGAMALAN PANCASILA (P4) BAGI PEGAWAI NEGERI
Repelita III — Repelita VI (1994/95)
(Peserta/Petatar)
Jenis Penataran
Repelita III
Repelita VI
1994/95
615.923
72.091
..
2. Golongan II
1.501.074
975.766
..
3. Golongan I
1.364.179
234.502
..
1. Golongan III & IV
4. Penataran Terpadu PNS
Jumlah
..
3.481.176
Catatan :
Repelita III melalui penataran P4 tipe A, B, dan C
Repelita IV — V melalui Latihan Prajabatan
.. = Data tidak tersedia
XXI/28
Repelita IV — V
2.989
879
1.285.348
879
TABEL XXI — 4
PENATARAN PEDOMAN PENGHAYATAN DAN
PENGAMALAN PANCASILA (P4) BAGI ORGANISASI KEMASYARAKATAN
Repelita II — Repelita VI (1994/95)
(Peserta/Petatar)
Jenis Penataran
Repelita III
Repelita IV
Repelita V
Repelita VI
1994/95
1.
Pola 120/144 Jam
26.420
26.510
27.010
1.606
2.
Pola 45 jam
81.575
89.998
121.180
—
3.
Pola 25 jam
3.625.753
3.364.256
4.
Pola 17 jam
3.397.462
2.876.431
Jumlah
7.131.210
6357.195
—
3.937.118
—
63.386
4.148.694
1.606
TABEL XXI — 5
PENATARAN PEDOMAN PENGHAYATAN DAN
PENGAMALAN PANCASILA (P4) BAGI MAHASISWA DAN PELAJAR
Repelita III — Repelita VI (1994/95)
(Peserta/Didik)
Jenis Penataran
Repelita III
Repelita IV
Repelita V
Repelita VI
1994/95
1. Penataran Mahasiswa Baru
a. Pola 100 jam
b. Pola 45 jam
c. Pola 25 jam
—
d. Pola 17 jam
—
300.783
515.178
252.356
4.565.255
436.783
667.174
316.297
11210
103.495
190.809
16.406
—
2. Penataran SMTA
—
5.151.331
5.698.458
2.348.564
3. Penataran SMTP
—
7.155.210
9.981.030
3.765.741
Jumlah
—
17.940.113
17.110.952
6.425.015
XXI/29
TABEL XXI — 6
PENATARAN BAGI CALON PENATAR
PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA (P4)
Repelita III — Repelita VI (1994/95)
(frekuensi penataran)
Jenis Penataran
Repelita III
Repelita IV
Repelita VI
Repelita V
1994/95
1. Penatar Nasional (Manggala)
5
1
1
7
2. Calon Penatar (Pusat)
17
—
—
—
3. Calon Penatar—Ormas (Pusat)
47
50
52
2
36
34
2
87
87
11
4. Calon Penatar—Ormas (Daerah)
-
Jumlah
69
TABEL XXI — 7
PENATARAN BAGI CALON PENATAR
PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA (P4)
Repelita III — Repelita VI (1994/95)
(Peserta)
Jenis Penataran
1. Penatar Nasional (Manggala)
Repelita III
567
Repelita IV
121
Repelita 4)
108
Repelita VI
1994/95
665
2. Calon Penatar (Pusat)
3.688
3. Calon Penatar—Ormas (Pusat)
5.737
9.480
7.265
1.503
—
4.940
4.334
103
9.992
14.541
11.707
2.271,
4. Calon Penatar—Ormas (Daerah)
Jumlah
XXI/30
—
TABEL XXI — 8
PENATARAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
UNTUK PEMASYARAKATAN PEDOMAN PENGHAYATAN
DAN PENGAMALAN PANCASILA (P4) MELALUI SIMULASI
Repelita III — Repelita VI (1994/95)
(Tenaga yang ditatar)
Jenis Penataran
Repelita III
Repelita IV
Repelita V
Repelita VI
1994/95
1. Pengelola Simulasi
447
1.989
1.071
162
2. Pelatih Intl
986
2.063
1.845
162
2.307
4.258
767
3. Fasilitator
Jumlah
3.740
8.310
3.683
-
324
XXI/31
sebagai pamong dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,
penataan struktural organisasi dinas daerah serta mekanisme dan
hubungan kerja antar unsur-unsur di daerah dengan prioritas pada
Daerah Tingkat II, melakukan proyek percontohan otonomi di 26
Daerah Tingkat II, serta pemantapan dan peningkatan peranan dan
tanggung jawab pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan
otonomi.
Upaya pemantapan penyelenggaraan otonomi daerah telah mulai
dilaksanakan pada tahun pertama Repelita VI dengan mengambil 26
Daerah Tingkat II sebagai percontohan.
Sejalan dengan itu dilakukan pula penataan struktural organisasi
dinas daerah serta mekanisme dan hubungan kerja antar unsur-unsur
didaerah dengan prioritas pada Daerah Tingkat II. Di samping itu
dilakukan pula pemantapan dan peningkatan peranan serta tanggung
jawab pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan otonomi.
C. HUBUNGAN LUAR NEGERI
1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI
Sasaran pembangunan hubungan luar negeri dalam PJP II adalah
makin mantapnya hubungan luar negeri yang dilandasi prinsip politik
luar negeri bebas aktif yang makin mampu menunjang kepentingan
nasional serta makin mampu mendukung terwujudnya tatanan dunia
baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sasaran penyelenggaraan hubungan luar negeri dalam Repelita VI
adalah meningkatnya hubungan kerjasama internasional yang saling
menguntungkan dan menunjang kepentingan nasional.
XXI/32
Sasaran tersebut dijabarkan lebih lanjut, yaitu meningkatnya
peranan Indonesia dalam upaya menyelesaikan berbagai masa lah
dunia, khususnya yang mengancam perdamaian dunia dan yang
bertentangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan, dalam
mempererat persahabatan dan kerjasama yang saling menguntungkan
antara bangsa-bangsa, dalam mewujudkan tatanan dunia baru
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan serta dalam
menyempurnakan struktur organisasi PBB sehingga mampu
mencerminkan situasi hubungan internasional yang demokratis;
meningkatnya kerjasama multilateral dan bilateral, baik regional
maupun global, terutama di antara negara-negara nonblok;
meningkatnya kerjasama ekonomi dan kerjasama teknik antarnegara
berkembang dan sesama anggota GNB; meningkatnya peranan GNB
dan kesatuan sikap serta kerjasama di antara negara berkembang,
serta meningkatnya dialog Utara-Selatan, meningkatnya kerjasama
antarnegara anggota ASEAN, terutama di bidang ekonomi, sosial
budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka memperkukuh
ketahanan nasional masing-masing negara ke arah terwujudnya
ketahanan regional; meningkatnya kerjasama keamanan, baik di
lingkungan ASEAN, khususnya, maupun di kawasan Pasifik; serta
meningkatnya kemampuan diplomasi agar terwujud kondisi yang
mendukung kepentingan nasional.
Hubungan luar negeri pada Repelita VI diselenggarakan dengan
memperhatikan kepentingan nasional serta menegakkan kedaulatan,
kemandirian, dan kepribadian bangsa. Untuk itu, dikembangkan
berbagai kebijaksanaan yang pada pokoknya adalah meningkatkan
penerapan dan memantapkan prinsip politik luar negeri bebas aktif;
meningkatkan upaya perwujudan tatanan dunia baru; meningkatkan
kerjasama multilateral dan bilateral, baik regional maupun global
sesuai kepentingan nasional; dan meningkatkan peran GNB.
XXI/33
Dalam rangka mewujudkan berbagai sasaran hubungan luar
negeri dan sesuai dengan arahan GBHN 1993, maka kebijaksanaan
pembangunan hubungan luar negeri dalam Repelita VI dijabarkan ke
dalam program-program : (a) Program Pokok : (1) Program
Pembinaan Hubungan Luar Negeri, (b) Program Penunjang : (1)
Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Hubungan Luar
Negeri; (2) Program Penelitian dan Pengembangan Hubungan Luar
Negeri; (3) Program Bantuan Kemanusiaan.
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama
Repelita VI
a. Program Pokok
1) Program Pembinaan Hubungan Luar Negeri
Program ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan dan
kerjasama luar negeri dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan keamanan, dan teknologi. Program ini dilaksanakan di
berbagai forum internasional melalui berbagai kegiatan yang
seluruhnya ditujukan untuk memperjuangkan dan menunjang
kepentingan dan pembangunan nasional.
Peranan Indonesia dalam mengupayakan keamanan dan
perdamaian internasional dan regional, serta konsistensinya dalam
memenuhi komitmennya untuk memperjuangkan kepentingan negaranegara Selatan dalam menghadapi negara-negara maju, telah
memberikan citra positif dan dampak yang baik bagi penyelenggaraan
politik luar negeri Indonesia.
XXI/34
Berakhirnya perang dingin telah menuntut peningkatan peran
PBB. dalam penyelesaian konflik internasional, meskipun PBB sendiri
memiliki keterbatasan antara lain untuk penggelaran satuan penjaga
perdamaian (Peace Keeping Operation), karena PBB menghadapi
kendala keuangan, logistik dan organisasi. Terpilihnya Indonesia
sebagai anggota tidak tetap DK PBB pada Sidang Pleno Majelis
Umum PBB ke-49 tanggal 20 Oktober 1994 untuk periode 1995-1996
merupakan salah satu faktor yang mendinamisasi semangat patriotisme
dan persatuan nasional dan menaikkan posisi/citra Indonesia di dunia
internasional. Indonesia menghimbau dilakukannya revitalisasi,
restrukturisasi dan demokratisasi PBB, sesuai dengan perkembangan
kondisi internasional.
Sumbangan Indonesia dalam memelihara perdamaian dan
keamanan internasional tercermin pada partisipasinya dalam operasi
pemeliharaan perdamaian PBB dengan mengirimkan personil militer
maupun sipil ke berbagai belahan dunia. Di wilayah bekas
Yugoslavia, Indonesia mengirim detasemen kesehatan yang terdiri
dari 236 personil, 26 pengamat militer, dan 15 polisi pengamat untuk
UNPROFOR; 6 pengamat polisi di Georgia (UNOMIG), pengamat
militer di perbatasan Irak-Kuwait (UNIKOM); pengamat militer ke
Somalia (UNOSOM), personil sebagai staf markas besar UNOSOM,
peninjau polisi di Mozambique (UNOMOZ), staf militer di Sekretariat
PBB di New York, perwira penghubung PBB di Kamboja. Dalam
waktu dekat, Indonesia juga akan mengirim kesatuan zeni yang terdiri
dari 441 personil ke Bosnia Herzegovina dalam rangka UNPROFOR.
Di luar kerangka PBB, guna mendukung proses perundingan damai
antara Pemerintah Filipina dan Front Nasional Pembebasan Moro,
Indonesia juga telah mengirimkan tim pengawas gencatan senjata ke
Filipina Selatan.
XXI/35
Sementara itu, peranan ASEAN sebagai organisasi kerjasama
sub-regional telah berhasil mengambil sejumlah langkah strategis ke
arah terwujudnya iklim yang mantap untuk kerjasama di antara
negara-negara ASEAN, khususnya di bidang politik dan keamanan,
dengan dibentuknya ASEAN Regional Forum (ARF) pada pertemuan
ASEAN
Ministerial
Meeting/Post
Ministerial
Conference
(AMM/PMC) ke-27 di Bangkok tanggal 23-28 Juli 1994. ARF
digunakan oleh negara anggota untuk meningkatkan dialog, konsultasi
dan kerjasama keamanan. Salah satu upaya penting yang tengah
dikembangkan adalah Confidence Building Measures (CBM) yang
mempromosikan transparansi di bidang keamanan.
Negara-negara di kawasan Indocina telah ikut serta dalam
berbagai pertemuan ASEAN, dan Vietnam menjadi anggota penuh
ASEAN pada sidang AMM/PMC ke-28 bulan Juli 1995 di Bandar
Seri Begawan. Kamboja telah pula mengikuti jejak Vietnam dan Laos
untuk menandatangani Traktat Persahabatan dan Kerjasama (Treaty of
Amity and Cooperation/TAC) sehingga Kamboja memperoleh status
peninjau dalam ASEAN.
Dalam hubungan luar negeri secara regional, perkembangan
situasi di kawasan Pasifik Selatan dan Barat Daya dapat dikatakan
cukup menggembirakan. Hubungan dan kerjasama antara Indonesia
dengan Australia dan Selandia Baru dalam beberapa tahun terakhir ini
berkembang baik. Namun, terdapat kalangan di Australia seperti
LSM, media massa, beberapa anggota Parlemen dan pendukung ex
Fretilin yang masih mempermasalahkan pelaksanaan HAM, Timor
Timur, demokratisasi dan lingkungan hidup di Indonesia.
Sementara itu di kawasan Timur Tengah, proses perdamaian
bergulir maju dengan adanya Deklarasi Prinsip tanggal 13 September
XXI/36
1993 tentang Pengaturan Otonomi Sementara Palestina yang diatur
pelaksanaannya dalam Persetujuan Cairo tanggal 26 Mei 1994 tentang
langkah-langkah transisi membentuk pemerintahan sendiri di Jalur
Gaza dan Jericho. Perkembangan positif tersebut berlanjut dengan
Traktat Perdamaian yang ditandatangani antara Yordania dan Israel
pada tanggal 26 Oktober 1994 yang mengakhiri keadaan perang
selama 46 tahun. Indonesia mengharapkan agar penyelesaian
menyeluruh, damai dan adil dari semua konflik yang masih tertinggal
segera terwujud sesuai dengan semua resolusi PBB.
Peranan Indonesia sebagai salah satu negara non-Arab dalam
OKI semakin dihargai negara-negara anggota, dan telah meningkatkan
citra Indonesia di negara-negara Islam. Indonesia mendukung upaya
PBB dan OKI untuk mengakhiri pertentangan pendapat, pertikaian
kekerasan senjata serta pertumpahan darah antara faksi -faksi di
Afganistan. Indonesia juga mendukung penyelesaian politik oleh
pihak-pihak yang bertikai atas dasar kesepakatan yang telah mereka
ikrarkan sendiri di Islamabad, Mekah, dan Teheran.
Di kawasan Afrika, Indonesia berkepentingan menggalang
solidaritas dan kerjasama Selatan-Selatan. Untuk mempererat
hubungan diplomatik Indonesia - Afrika Selatan, telah dibuka
Kedutaan Besar RI di Pretoria dan tahun ini pula Indonesia membuka
Konsulat Jenderal di Cape Town, Afrika Selatan.
Pemberlakuan Traktat Maastricht di kawasan Eropa merupakan
dasar integrasi kekuatan politik, ekonomi dan pertahanan benua
Eropa,
dan
menimbulkan
dimensi-dimensi
baru
dalam
penyelenggaraan hubungan dan kerjasama dengan negara ketiga.
Dalam rangka jalinan kerjasama Indonesia dengan negara-negara
Eropa (Uni Eropa), hubungan RI-UE terus berkembang, baik secara
bilateral maupun regional ASEAN-UE. Pada pertemuan ASEAN-UE
XXI/37
di Karlsruhe, Jerman, 20-22 September 1994, terdapat upaya untuk
mendekatkan pandangan masing-masing, khususnya dalam mencari
penyelesaian masalah-masalah politik dan keamanan. Secara umum,
sikap UE makin luwes dan kooperatif. Pertemuan tersebut
menghasilkan deklarasi bersama mengenai berbagai isyu di bidang
politik, ekonomi dan keamanan.
Bersamaan dengan pertemuan antara Menlu ASEAN-UE, di
Stuttgart, pada tanggal 23 - 24 September 1994, telah berlangsung
pula pertemuan 190 pengusaha UE dan 80 pengusaha ASEAN, 30 di
antaranya dari Indonesia. Pertemuan itu merupakan wahana penting
bagi kerjasama antar swasta kedua kawasan.
Hubungan RI dengan beberapa negara Eropa seperti Republik
Federal Jerman (RFJ) terus berkembang dalam suasana yang
bersahabat. Perkembangan itu tercermin dari besarnya perhatian pihak
RFJ untuk terus mendukung pembangunan nasional Indonesia.
Sebagai wujud nyata meningkatnya hubungan bilateral tersebut, pada
bulan April 1995 Presiden RI melakukan kunjungan kenegaraan ke
Jerman didampingi delegasi tingkat tinggi dalam upaya meningkatkan
hubungan bilateral dan menghadiri Pameran Industri Hanover 1995 di
Hanover, Jerman. Presiden RI telah pula mengadakan kunjungan
kenegaraan ke tiga negara pecahan Uni Soviet di Asia Tengah yaitu
Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan dalam tahun 1995.
Kunjungan-kunjungan tersebut telah berhasil dengan ditandatanganinya beberapa kesepakatan di bidang politik, ekonomi dan
perdagangan.
Peningkatan aktivitas hubungan luar negeri RI juga terlihat
dengan berbagai lawatan dilakukan Presiden Soeharto ke luar negeri
antara lain KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, Denmark bulan
Maret 1995.
XXI/38
Hubungan bilateral RI-AS di tahun 1994, walaupun masih
diwarnai oleh permasalahan politik, seperti soal-soal HAM dan hakhak buruh namun dapat terselenggara cukup baik dan meningkat lebih
dewasa. Hal tersebut tercermin dalam pembicaraan Presiden Soeharto
dan Presiden Clinton pada tanggal 16 Nopember 1994 di Jakarta,
setelah pertemuan APEC. Kedua kepala negara telah mencapai saling
pengertian di berbagai bidang, baik bilateral, regional maupun
internasional. Sejumlah Memorandum of Understanding (MOU)
untuk kerjasama ekonomi dan perdagangan antara pengusaha
Indonesia dan AS juga telah ditandatangani. Dalam masalah H AM
Indonesia akan terus berupaya untuk meyakinkan negara -negara
sahabat, terutama AS, bahwa pemerintah RI senantiasa menghormati
HAM sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 dan
Pancasila.
Dalam rangka memperjuangkan perbaikan nasib negara-negara
Non-Blok, di bawah pimpinan Indonesia, GNB tetap mengikuti
dengan seksama berbagai persoalan politik dunia yang menonjol
seperti masalah Somalia, Bosnia-Herzegovina dan masalah nuklir
Korea Utara, di samping penekanan pada masalah ekonomi dan
pembangunan pada umumnya. GNB juga tetap memperjuangkan
pengertian yang utuh mengenai hak asasi manusia baik politik,
ekonomi, sosial dan budaya sebagai satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. GNB menolak politisasi dan selektifitas pemantauan
implementasi hak asasi serta penerapan kondisionalitas pada bantuan
dan kerjasama ekonomi.
GNB menyampaikan keprihatinannya yang sangat mendalam
terhadap tragedi Rwanda. Presiden Soeharto selaku Ketua GNB turut
menyampaikan keprihatinannya tentang situasi di Bosnia dalam
pertemuannya dengan Presiden Bosnia, Alija Izetbegovic bulan
XXI/39
Februari 1994. Menindaklanjuti pertemuan tersebut, Biro Koordinasi
GNB menginstruksikan untuk melakukan konsultasi dengan Kelompok
GNB di Dewan Keamanan tentang kemungkinan untuk mencabut
embargo yang dibebankan kepada Bosnia-Herzegovina. Selain itu,
Presiden Soeharto, selaku Ketua GNB, menghimbau Dewan
Keamanan guna membahas perkembangan yang terakhir di Bosnia Herzegovina dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
Himbauan GNB tersebut juga mengusulkan agar meninjau ulang
mandat UNPROFOR, dan ditanggapi Dewan Keamanan dengan
mengeluarkan Resolusi 900 (1994) yang isinya, sesuai pandangan
GNB, menegaskan tentang Prinsip-Prinsip Kedaulatan, Integritas
Territorial, dan Kemerdekaan Politik Bosnia-Herzegovina.
Sebagai salah satu langkah dalam memperjuangkan perdamaian
dunia, khususnya di kawasan Balkan, Presiden RI selaku Ketua
Gerakan Non Blok telah berkunjung ke Republik Kroasia dan
Republik Bosnia-Herzegovina. Indonesia menyerukan pembentukan
suatu mekanisme baru bagi perundingan di antara pihak-pihak yang
bersengketa di Bosnia-Herzegovina, termasuk kemungkinan
penyelenggaraan konferensi internasional untuk mencapai
penyelesaian yang adil dan tuntas, didasarkan atas penghormatan
penuh terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah Republik BosniaHerzegovina.
Mengenai krisis di Semenanjung Korea, Biro Koordinasi PBB
telah berkonsultasi dengan Kelompok GNB di Dewan Keamanan
untuk membahas dan aktif ikut mengusahakan terciptanya situasi yang
kondusif untuk mencapai perdamaian. Upaya Indonesia selaku Ketua
GNB termaksud mendapatkan penghargaan terutama dari Presiden
Amerika Serikat Bill Clinton, Presiden Korea Selatan Kim Young
Sam dan Perdana Menteri Jepang Tomiichi Murayama, yang secara
langsung disampaikan kepada Presiden Soeharto pada kesempatan
XXI/40
pertemuan bilateral dalam rangka sidang APEC yang baru lalu di
Indonesia.
Semenjak pembentukan Komisi Kerja Tingkat Tinggi, GNB aktif
terlibat dalam usaha restrukturisasi, revitalisasi, dan demokratisasi
PBB. GNB telah melakukan beberapa pertemuan Komisi Kerja
Tingkat Tinggi untuk mengkoordinasikan dan menyamakan persepsi
Gerakan mengenai permasalahan Perimbangan Perwakilan dan
menambah jumlah anggota Dewan Keamanan, yang disajikan oleh
"Open-Ended Working Group untuk Sidang Majelis Umum" pada
bulan Maret 1994. Kelompok Kerja Tingkat Tinggi sepakat untuk
"
membentuk sebuah
Open-Ended
Working
Group
untuk
Restrukturisasi Dewan Keamanan".
Indonesia terus menindaklanjuti hasil-hasil yang telah dicapai
KTT X GNB di Jakarta sesuai dengan skala prioritas yang telah
ditetapkan dengan mengutamakan penanganan masalah di bidang
ekonomi dan pembangunan yang langsung menyangkut kepentingan
negara berkembang seperti masalah kependudukan, pengamanan
pangan, skema pertumbuhan yang berkelanjutan dan penyelesaian
masalah hutang. Untuk itu, di bawah kepemimpinan Indonesia, GNB
telah melakukan berbagai pertemuan pada tahun 1994 untuk
membahas masalah-masalah hutang luar negeri, pembangunan,
kesehatan, pangan, pertanian, makanan, ketenagakerjaan, IPTEK,
standarisasi kualitas barang dan lain sebagainya.
Pembahasan masalah kependudukan telah ikut memberikan
sumbangan bagi keberhasilan pembahasan di Konperensi Internasional
mengenai Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) bulan September
1994 di Kairo. Demikian pula pertemuan GNB menyangkut
pertukaran pandangan dan pengalaman mengenai hutang luar negeri
dan rekomendasi penyelesaiannya.
XXI/41
Rekomendasi yang diajukan GNB pada dasarnya telah diterima
PBB sebagai prinsip-prinsip utama dalam mengatasi masalah hutang
pada tingkat global.
Dalam rangka menghidupkan kembali Dialog Utara-Selatan,
Ketua GNB telah mengirim utusannya untuk bertemu dengan PM
Italia sebagai Ketua G-7 periode 1994 dalam rangka menyampaikan
pandangan dan keinginan negara berkembang untuk memajukan
Dialog Utara-Selatan demi tercapainya kemitraan dalam usaha
pembangunan antara negara maju dengan negara berkembang.
Dalam upaya membantu penyelesaian masalah minoritas muslim
di Filipina Selatan, Indonesia sebagai Ketua Komite Enam OKI telah
bertindak sebagai "fasilitator" dalam perundingan antara
pemerintah Filipina (GRP) dan MNLF.
Upaya penyelesaian Timor Timur dalam forum Tripartite
Indonesia-Portugal-Sekjen PBB belum mencapai kemajuan seperti
yang diharapkan, karena tergantung kepada sikap Portugal sendiri.
Upaya lain terus dilakukan melalui dialog antar orang-orang Timor
(All Inclusive East Timorese Dialog) pada tanggal 2-6 Juni 1995 yang
merupakan kelanjutan dan perluasan dari Pertemuan London.
Dalam menangani soal Timor Timur, Indonesia selalu
mendukung upaya Sekjen PBB untuk mencari penyelesaian yang
tuntas dan yang dapat diterima secara internasional melalui
rangkaian dialog RI-Portugal. Pada putaran keempat Perundingan
Tripartite RI-Portugal di bawah naungan Sekjen PBB di Jenewa, telah
dicapai kesepakatan mengenai sejumlah tindakan dalam rangka
langkah saling memupuk kepercayaan (Confidence Building
Measures).
XXI/42
Di forum internasional Indonesia selalu menunjukkan sikap
seimbang namun tegas, meskipun harus. menghadapi sikap Portugal
yang belum meninggalkan pendekatan konfrontasinya. Penanganan
peristiwa di Pasar Becora, Dili dan 29 orang demonstran Timor
Timur di Kedutaan Besar Amerika Serikat pada saat Pertemuan Para
Pemimpin Ekonomi APEC telah menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa Indonesia tetap memiliki komitmen untuk
menyelesaikan masalah Timor Timur melalui pemupukan saling
percaya dan tidak melalui arena publisitas yang selalu dibesar besarkan oleh kelompok anti Indonesia.
Dewasa ini telah berkembang pendekatan-pendekatan baru yang
merefleksikan semakin tumbuhnya sikap objektif berbagai kalangan di
Eropa bahkan di Portugal sendiri. Di Parlemen Eropa telah terbentuk
European Parliament-Indonesia Friendship Association (EPIFA) dan
di Portugal terbentuk Portugal-Indonesia Friendship Association
(PIFA). Kunjungan-kunjungan delegasi EPIFA dan PIFA ke Indonesia
yang kemudian dilaporkan secara luas dalam media Portugal
sekurang-kurangnya telah membuka mata sebagian masyarakat
sekurang-kurangnya telah membuka mata sebagian masyarakat
Portugal tentang keadaan sebenarnya di Timor Timur. Adanya
langkah-langkah tersebut di atas, pendekatan-pendekatan informal,
dan kesediaan Presiden Soeharto menerima kelompok Abilio Arraujo,
telah membantu pemupukan kepercayaan yang diperlukan bagi
putaran dialog Indonesia-Portugal di bawah naungan PBB.
Dalam proses pelucutan senjata, Indonesia aktif terlibat dalam
konperensi tentang Peninjauan Perpanjangan Nuclear Non
Proliferation Treaty (NPT) tanggal 17 April - 12 Mei 1995.
Konperensi memutuskan memperpanjang NPT tanpa batas waktu,
XXI/43
disertai klausul kewajiban meninjau kembali perjanjian itu secara
berkala.
Pemberlakuan Konvensi Hukum Laut 1982 pada tanggal 16
Nopember 1994 amat penting dan bersejarah bagi Indonesia karena
azas Wawasan Nusantara, yang dalam Konvensi tercantum sebagai
prinsip negara kepulauan (archipelagic state principle), secara resmi
diakui dunia internasional. Negara-negara maju yang pada awalnya
menentang Konvensi, khususnya penambangan di dasar laut
internasional, akhirnya dapat menerima Agreement relating to the
Implementation of Part XI of the UN. Convention on the Law of the
Sea 1982 pada tanggal 29 Juli 1994. Amerika Serikat dan sejumlah
negara-negara maju lainnya telah pula menandatangani Persetujuan
tersebut dimana ratifikasi atas Persetujuan berarti-pula ratifikasi dan
penerimaan sepenuhnya atas Konvensi.
Indonesia berperan aktif pada Komisi Persiapan untuk
membentuk Badan Otorita Dasar Laut Internasional dan Mahkamah
Internasional untuk Hukum Laut serta Forum Kerjasama Indian
Ocean Marine Affairs Cooperation (IOMAC). Indonesia telah
menggunakan Forum IOMAC untuk menarik dukungan negara
berkembang di kawasan Samudera Hindia terhadap Konvensi Hukum
Laut 1982, dan terus melakukan perundingan dengan semua negara
tetangga dalam upaya penyelesaian masalah batas laut teritorial,
landas kontinen, zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif, atas
dasar semangat hubungan bertetangga baik.
Dampak globalisasi di bidang ekonomi akan berpengaruh secara
langsung kepada sendi-sendi kehidupan manusia di segala bidang.
Salah satu fenomena yang menonjol adalah semakin menguatnya
paradigma baru pembangunan yang meletakkan "manusia" sebagai
titik-pusat dari pembangunan.
XXI/44
Sejalan dengan isi Deklarasi dan Program Aksi Wina, Indonesia
membentuk Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) untuk
memperkuat infrastruktur nasional bagi pelaksanaan HAM. Di forum
internasional keaktifan Indonesia dalam memajukan dan melindungi
HAM terlihat dengan terpilihnya Indonesia menjadi anggota Komisi
Hak Asasi Manusia PBB pada periode 1991-1993, dan terpilih
kembali untuk periode 1994 - 1996.
Salah satu perkembangan baru dalam bidang perdagangan
internasional adalah disepakatinya pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Menyongsong
berlakunya aturan-aturan baru perdagangan internasional dalam WTO
yang akan lebih bersifat liberal, Indonesia terus aktif merundingkan
kepentingan perdagangannya, khususnya dalam pengaturan tarif
dengan negara-negara mitra dagang Indonesia. Dalam kaitan ini
Indonesia telah menyampaikan schedule of commitment Indonesia di
bidang perdagangan barang dan jasa.
Dalam pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC (APEC Economic
Leaders Meeting-AELM) ke-2, tanggal 15 Nopember 1994 di Bogor,
telah dihasilkan keputusan yang bersejarah dengan ditetapkannya
kerangka waktu-bagi penyelesaian pencapaian perdagangan bebas,
untuk negara maju pada tahun 2010, sedangkan bagi negara
berkembang pada tahun 2020. Keputusan ini mendorong seluruh
anggota APEC untuk mempersiapkan diri menyongsong era
perdagangan bebas secara bertahap dalam rangka menurunkan
hambatan perdagangan dan investasi yang konsisten dengan keputusan
GATT/WTO. Hasil-hasil yang telah dicapai APEC selama
kepemimpinan Indonesia, telah berdampak luas terhadap
perkembangan perekonomian dan perdagangan di kawasan Asia
Pasifik umumnya dan di Indonesia khususnya. Melalui kerjasama
XXI/45
APEC, Indonesia mengharapkan akan dapat lebih meningkatkan
pembangunan dengan kerjasama konkrit yang menekankan pada
kerjasama di bidang ekonomi untuk tujuan mencapai kemakmuran
bersama.
Sebagai negara yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan
umat manusia, Indonesia ikut berperan aktif dalam merumuskan
perbaikan keamanan pangan dunia di dalam forum internasional di
bidang pangan dan pertanian (FAO). Di dalam kerangka Non-Blok,
Indonesia dengan negara-negara Non-Blok lainnya dalam KTT NonBlok di Jakarta tahun 1992 menyerukan masyarakat internasional dan
organisasi internasional di bawah PBB untuk memonitor situasi
pangan global, khususnya di negara-negara berkembang. Indonesia
mendukung diselenggarakannya KTT pangan dunia tahun 1996. Pada
Konperensi Tingkat Menteri GNB di bidang pangan dan pertanian
yang diselenggarakan di Bali bulan Oktober 1994, Indonesia sebagai
Ketua GNB telah memprakarsai dihasilkannya Deklarasi Bali
mengenai Ketahanan Pangan bagi negara-negara GNB dan negaranegara berkembang lainnya.
Berkaitan dengan tindak lanjut hasil KTT Bumi Rio de Janeiro
1992, di tahun 1994 Indonesia telah melakukan beberapa langkah
penting di bidang lingkungan hidup antara lain : (1) meratifikasi
Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nations
Convention on Biological Diversity), (2) meratifikasi Konvensi PBB
tentang Perubahan Iklim (United Nations Conventions on Climate
Change), dan (3) menandatangani Konvensi Internasional mengenai
Penggurunan, terutama di Afrika (International Convention to Combat
Desertification in those Countries experiencing serious drought and/or
Desertification particularly in Africa).
XXI/46
Dalam kerangka AFTA, Indonesia juga meningkatkan kerjasama
ekonomi sub-regional di kawasan ASEAN melalui kawasan
pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand - Growth Triangle
(IMT GT), Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-the Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA), serta Indonesia-MalaysiaSingapore-Growth Triangle (IMS-GT).
Kerjasama dalam bidang sosial budaya antar bangsa, semakin
penting peranannya dalam mendukung pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia. Di bidang pendidikan, semakin banyak bantuan bea siswa
dan latihan-latihan keahlian serta ketrampilan yang telah dimanfaatkan
Indonesia sesuai dengan kepentingan nasional. Sebaliknya,
Pemerintah Indonesia telah pula memberikan beasiswa kepada
beberapa negara anggota GNB.
Demikian pula kerjasama di bidang ilmu pengetahuan,
pendidikan, kepemudaan, agama, peranan wanita, olahraga, flora dan
fauna torus berkembang dalam lingkup kerjasama negara anggota
GNB.
b. Program Penunjang
1) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan
Hubungan Luar Negeri
Program ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas
sumber daya manusia, baik dari sisi wawasan kejuangan maupun
kemampuan profesional yang mendukung terlaksananya hubungan
luar negeri yang mantap.
Dalam kaitan dengan sumber daya manusia, Perwakilan RI di
luar negeri terus melaksanakan pembinaan masyarakat Indonesia
XXI/47
dengan mengadakan pertemuan-pertemuan dan penyuluhan kepada
masyarakat Indonesia dan melakukan pendekatan-pendekatan dengan
masyarakat setempat untuk berpartisipasi secara optimal dalam
kegiatan pembangunan nasional.
2) Program Penelitian dan Pengembangan Hubungan Luar
Negeri
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hubungan internasional dan politik luar negeri Indonesia berdasarkan
konsep yang telah dikaji secara mantap dan terpadu.
Dalam rangka program penelitian dan pengembangan hubungan
luar negeri telah dilaksanakan serangkaian lokakarya, workshop dan
forum dialog yang berskala nasional maupun internasional.
Untuk menyukseskan pelaksanaan APEC telah diadakan
lokakarya tentang "Sejarah Dan Proses Pembentukan APEC Serta
Prospek Ke Depan" pada tanggal 5 November 1994 dan dialog
tentang "Peluang Dan Tantangan Indonesia Dalam Memanfaatkan
APEC" pada tanggal 7 November 1994.
Sebagai upaya meningkatkan pemahaman tentang perlindungan
terhadap HAM, telah diselenggarakan lokakarya nasional pada tanggal
24 Oktober 1994. Dalam rangka menghadapi masa berlaku dan
ratifikasi Konvensi Pelarangan Menyeluruh Senjata Kimia (KPMSK),
Indonesia bekerjasama dengan "Provisional Technical Secretariat of
the Organization for the Prohibition of Chemical Weapons"
(PTSOPCW) telah menyelenggarakan Seminar Asia Pasifik tentang
Implementasi Konvensi Pelarangan Menyeluruh Senjata Kimia di
Jakarta, 28 - 30 Nopember 1994, yang dihadiri oleh wakil-wakil dari
25 negara Industri Kimia, departemen terkait serta LSM.
XXI/48
3) Program Bantuan Kemanusiaan
Program ini bertujuan untuk mendorong kesetiakawanan sosial
dan berkaitan erat dengan upaya mewujudkan suasana perdamaian dan
kemitraan, terutama antara Indonesia dan negara berkembang lainnya
serta negara-negara yang memerlukan bantuan.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan segala
potensinya, terus berusaha untuk berperan aktif dan berusaha
membantu bangsa-bangsa lain yang mengalami musibah/malapetaka
atau bencana sosial lainnya sebagai akibat dari peperangan antar etnis,
masalah pengungsi dan bencana alam lainnya. Dalam tahun
1994/1995, Indonesia telah memberikan bantuan kemanusiaan kepada
18 negara yang mengalami musibah dan bencana alam. Bantuan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan solidaritas dan persahabatan
antara Indonesia dengan negara-negara yang mengalami bencana.
XXI/49
Download