POLITIK DALAM NEGERI DAN HUBUNGAN LUAR NEGERI BAB XXI POLITIK DALAM NEGERI DAN HUBUNGAN LUAR NEGERI A. PENDAHULUAN Dalam usia 50 tahun kemerdekaan Indonesia, pembangunan politik dalam negeri telah semakin memperlihatkan wujudnya sebagaimana yang dicita-citakan, yaitu terciptanya tatanan politik yang demokratis berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945. Sementara itu pembangunan hubungan luar negeri telah pula mewujudkan prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif, ditandai dengan semakin meningkatnya peran serta Indonesia dalam ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia memperlihatkan bahwa pembangunan politik dalam negeri dan hubungan luar negeri pada XXI/3 hakikatnya adalah dua aspek yang berkaitan erat dan saling mempengaruhi. Semangat kebangsaan yang bergelora pada masa pergerakan untuk melepaskan diri dari penjajahan telah menjiwai dan mengilhami perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi dan diplomasi Indonesia di dunia internasional. Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 menyatakan dengan tegas "bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Perjuangan mewujudkan cita-cita kehidupan politik dalam negeri dart hubungan luar negeri, yang dicetuskan para pendiri negara, telah melalui perjalanan panjang yang penuh tantangan. Tantangan itu tidak saja datang dari luar tetapi juga datang dari dalam tubuh bangsa sendiri. Dalam usianya yang ke 50 tahun sebagai bangsa yang merdeka perenungan kembali terhadap perjalanan politik dan diplomasi Indonesia kiranya akan bermanfaat bagi pembangunan politik dan hubungan luar negeri di masa depan. Dalam sejarah ketatanegaraan, sejak awal kemerdekaan telah terjadi beberapa kali perubahan tatanan politik, yaitu mengacu pada UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), UUD Sementara 1950, dan kemudian pada tahun 1959 kembali lagi ke UUD 1945. Sejarah mencatat pula bahwa dengan diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia tidaklah berarti perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah selesai. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara Republik Indonesia menjadi prioritas segera setelah kemerdekaan diproklamasikan, yaitu menghadapi ancaman asing yang ingin kembali menguasai wilayah Nusantara melalui aksi-aksi militer dan pembentukan negara - negara XXI/4 boneka. Perjuangan menghadapi ancaman tersebut dijalankan tidak saja melalui perlawanan fisik bersenjata, tetapi juga jalur diplomasi. Melalui perjuangan fisik bersenjata, bangsa Indonesia menunjukkan kepada dunia akan keberadaan dan keteguhan tekadnya dalam mempertahankan negara yang telah diproklamasikan. Melalui jalur diplomasi, Indonesia berhasil memperoleh dukungan dan pengakuan kedaulatan dari berbagai negara. Pada bulan Juni 1947 Mesir tercatat sebagai negara pertama yang memberikan pengakuan secara de jure atas kemerdekaan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian disusul oleh negara-negara Timur Tengah dan Asia lainnya . Sementara. itu tantangan yang datang dari dalam tubuh bangsa sendiri tidak kurang beratnya. Di bidang politik, dengan terbentuknya kabinet RI kedua, yakni Kabinet Syahrir pada tanggal 14 November 1945, diberlakukan sistem pemerintahan parlementer. Dalam sistem tersebut para menteri bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang berdasarkan Aturan Peralihan pasal IV berfungsi sebagai badan perwakilan rakyat. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang pada Penjelasan-nya menyatakan "Presiden mengangkat dan memperhentikan menteri-menteri negara. Menterimenteri itu tidak bertanggungjawab. kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung dari pada Dewan, akan tetapi tergantung dari pada Presiden. Mereka ialah pembantu Presiden". Di samping itu ada pula upaya untuk mengganti ideologi Pancasila dan UUD 1945, dengan ideologi komunis yaitu ketika PKI melakukan aksi pemberontakan dan pengkhianatan pada tahun 1948. Demikian pula ada kelompok ekstrim yang berupaya membuat Indonesia menjadi negara agama dan melakukan pemberontakan yang dikenal sebagai DI/TII. Kekuatan dan keteguhan hati rakyat serta kesaktian ideologi Pancasila telah mampu mematahkan usaha-usaha penyelewengan tersebut. XXI/5 Tekad dan semangat perjuangan yang pantang menyerah akhirnya memaksa pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada tanggal 29 Desember 1949 sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Setelah itu dunia internasional mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Namun demikian ancaman-ancaman dan tantangan-tantangan terhadap keutuhan bangsa dan negara serta ideologi nasional masih berlanjut. Selain itu bangsa Indonesia masih harus berjuang membebaskan Irian Barat, yang masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Perjuangan ini memakan waktu yang cukup panjang. Kegagalan Majelis Umum PBB tahun 1957 dalam upaya internasional untuk menyelesaikan masalah Irian Barat menyebabkan Indonesia mengambil jalan lain dalam menghadapi Belanda, yaitu dengan konfrontasi di segala bidang termasuk pemutusan hubungan diplomatik pada tanggal 17 Agustus 1960. Di bidang militer dilancarkan operasi Mandala di bawah panji Tri Komando Rakyat (Trikora). Dengan melalui perjuangan politik dan militer, serta diplomasi yang gencar, dan dengan dukungan masyarakat Irian Barat sendiri yang ingin melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda, akhirnya Irian Barat kembali ke pangkuan Republik Indonesia, dan menjadi propinsi yang bernama Irian Jaya. Sementara itu di bidang politik dalam negeri bentuk negara federal sebagai hasil KMB dan Konstitusi RIS yang melandasinya merupakan tantangan pertama yang harus dipecahkan segera setelah pengakuan kedaulatan. Setelah kembali menjadi negara kesatuan, bangsa Indonesia masi h dihadapkan pada ancaman -ancaman XXI/6 perpecahan, seperti pemberontakan Andi Aziz, Kahar Muzakkar, APRA, Republik Maluku Selatan, dan PRRI/Permesta. Selain itu negara Indonesia yang masih muda harus menghadapi gerakan ekstrim yang bermunculan di berbagai daerah, sebagai kelanjutan DI/TII yang sudah mengancam negara kesatuan berdasarkan Pancasila sejak pada tahap perjuangan fisik melawan penjajah. Berbagai gerakan tersebut timbul akibat masih kuatnya pemikiran federalisme dan primordialisme, yang mengutamakan kepentingan daerah dan agama dengan pandangan yang sempit. Terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950 merupakan peristiwa politik yang penting karena bentuk negara kesatuan telah dapat dikembalikan. Namun Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang menggantikan UUD RIS menganut sistem politik barat, yang dikenal sebagai sistem politik demokrasi parlementer. Sistem politik liberal-barat ini, membuka peluang tumbuhnya partai-partai politik sehingga jumlahnya menjadi banyak. Partai-partai politik itu cenderung untuk mengutamakan kepentingan partainya, dengan masing-masing membawa ideologinya sendiri. Karena pemerintahan terdiri dari kabinet yang dibentuk oleh Parlemen berdasarkan koalisi partai-partai, maka Pemerintah jatuh bangun dalam frekuensi yang cepat sehingga keadaan politik dan ekonomi senantiasa tidak stabil dan tidak ada konsistensi serta kesinambungan dalam kebijaksanaan apalagi dalam upaya pembangunan. Birokrasi juga terpecah-pecah ke dalam partai-partai politik, yang menyebabkan terganggunya roda pemerintahan (Tabel XXI-1). Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 yang merupakan upaya mewujudkan kehidupan demokratis tidak mengakhiri pertikaianpertikaian ideologis bahkan membuatnya semakin tajam. Dewan XXI/7 Konstituante hasil pemilu yang bertugas untuk merumuskan undangundang dasar gagal menjalankan tugasnya. Dalam keadaan demikian keluarlah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Dekrit ini berisi pembubaran Konstituante, tidak diberlakukannya lagi UUDS, dan diberlakukannya kembali UUD 1945. Dekrit ini dikeluarkan oleh Presiden Soekarno atas desakan rakyat, termasuk angkatan bersenjata, yang tidak menghendaki berlarutnya keadaan konflik dan krisis, dan menginginkan bangsa Indonesia kembali kepada cita-cita proklamasi yang tertuang dalam UUD 1945. Namun, meskipun secara resmi UUD 1945 telah berlaku kembali, dalam prakteknya ketentuan-ketentuan UUD tersebut tidak sepenuhnya ditaati. Tatanan kehidupan politik di bawah demokrasi terpimpin yang menggantikan tatanan politik sebelumnya ternyata juga tidak mampu mengakhiri suasana pertentangan di antara kekuatan kekuatan politik yang ada pada waktu itu. Dalam keadaan demikian penyaluran aspirasi dan kepentingan masyarakat bahkan mengalami hambatan untuk berkembang. Konsep Nasakom dimunculkan untuk menggalang persatuan menghadapi musuh yang disebut nekolim. Pada kenyataannya konsep ini digunakan oleh PKI untuk menyusun kekuatan, dan pada saat yang dianggapnya tepat mengambil alih kekuasaan. Itulah yang terjadi pada akhir bulan September 1965, yaitu usaha kudeta dan pemberontakan yang dinamakan Gerakan 30 September atau G-30-S/PKI. Tujuannya tidak lain adalah menjadikan Indonesia negara komunis. Bagi Indonesia, ini merupakan pengkhianatan PKI yang kedua kalinya. Namun PKI telah salah memperhitungkan kesetiaan rakyat Indonesia kepada cita-cita proklamasi, Pancasila, dan UUD 1945. Kekuatan rakyat, bersama dengan ABRI, dalam waktu cepat berhasil mematahkan pemberontakan tersebut. XXI/8 Pengalaman pahit ini membawa hikmah. Bangsa Indonesia makin sadar betapa amat mendasarnya membangun kehidupan nasional yang secara murni dan konsekuen mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Maka lahirlah semangat dan gerakan pembaharuan yang dinamakan Orde Baru, yang ingin membangun kehidupan yang konstitusional, demokratis, dan berdasarkan hukum, dengan ber landaskan Pancasila dan UUD 1945. Orde Baru telah menata kembali seluruh aspek kehidupan bangsa, termasuk di bidang politik. Segera setelah melampaui masa stabilisasi dan konsolidasi, Orde Baru melancarkan upaya pembangunan, dalam kerangka yang sekarang kita namakan Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Pertama (PJP I). Di tengah perjalanan pembangunan nasional tersebut, tercatatlah suatu peristiwa bersejarah dengan adanya keinginan rakyat dan Pemerintah Sementara Timor Timur untuk menyatukan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dinyatakan dalam Proklamasi Rakyat Timor Timur di Balibo tanggal 30 Nopember 1975 dan Petisi Rakyat dan Pemerintah Sementara Timor Timur di Dili pada tanggal 1 Mei 1976. Untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang keinginan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia pada bulan Juni 1976 telah mengirim delegasi ke Timor Timur yang terdiri dari unsurunsur Pemerintah, DPR-RI, dan organisasi kemasyarakatan. Hasil peninjauan tersebut memberikan keyakinan kepada Pemerintah dan Rakyat Indonesia, bahwa ada keinginan yang kuat dari rakyat Timor Timur yang dinyatakan secara bebas, untuk menyatukan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Didorong oleh rasa XXI/9 tanggung jawab terhadap dasar-dasar dan cita-cita kemerdekaan sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945, maka keinginan integrasi tersebut diterima oleh Pemerintah dan Rakyat Indonesia, dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada bulan Juli 1976. Undang-undang tersebut dikukuhkan lagi dengan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1978 pada bulan Maret 1978. Dengan demikian Timor Timur telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai propinsi ke-27. Dalam PJP I pembangunan di bidang politik telah berhasil mewujudkan landasan politik nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang intinya adalah demokrasi Pancasila. Orde Baru berhasil meletakkan dasar bagi kemurnian pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 secara nyata, konsekuen dan dinamis, yang meliputi penataan suprastruktur politik, infrastruktur politik, dan pengembangan budaya politik serta mekanisme demokrasi Pancasila. Kesadaran akan pentingnya pembangunan politik bagi keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh mendorong dilakukannya penataan kehidupan politik. Peranan ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik telah dikukuhkan, baik sebagai modal dasar maupun sebagai kekuatan efektif bangsa. Kebijaksanaan penataan kehidupan politik tersebut telah berhasil menciptakan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Penataan infrastruktur politik diwujudkan melalui berfusinya sejumlah partai politik menjadi dua partai politik dan golongan karya serta penyederhanaan kehidupan organisasi kemasyarakatan. XXI/10 Pemilu telah dilaksanakan lima kali secara tepat waktu dan makin meningkat kualitasnya. Pelaksanaan pemilu yang diikuti oleh sembilan dari setiap sepuluh rakyat yang berhak memilih telah menggairahkan peran serta masyarakat dalam pembangunan politik (Tabel XXI-2). Kualitas kampanye makin meningkat, kampanye yang bersifat primordial secara bertahap telah berkurang dan digantikan dengan kampanye yang lebih menonjolkan berbagai program pembangunan organisasi peserta pemilu (OPP). Sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita Orde Baru, pada tahun 1978 MPR dalam Ketetapan No. II/MPR/1978 telah menetapkan "Eka Prasetya Panca Karsa" sebagai Pedoman Pelaksanaan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan demikian telah ada penuntun dan pegangan bagi sikap dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemajuan dalam pembangunan politik yang amat mendasar dalam PJP I adalah tercapainya kesepakatan politik untuk menegaskan kembali dan menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara dan satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara konstitusional kesepakatan tersebut dituangkan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor II/MPR/1983. Kemudian melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1985, tentang perubahan atas Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas bagi partai politik dan gologan karya. Selanjutnya, Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan menetapkan pula Pancasila sebagai satusatunya asas bagi organisasi kemasyarakatan dengan tidak menghilangkan ciri dari masing- masing organisasi kemasyarakatan XXI/11 tersebut. Penerimaan secara formal tersebut telah dibina dan dikembangkan sehingga makin menjamin pengamalan Pancasila dalam praktek kehidupan nasional serta mampu menangkal segala pemikiran yang berorientasi pada nilai-nilai di luar sistem nilai Pancasila. Sejalan dengan itu Pancasila sebagai nilai dasar yang mengandung sejumlah aturan pokok kehidupan politik nasional dijabarkan secara kreatif dan dinamis menjadi nilai instrumental ke dalam sistem nasional yang terdiri atas sejumlah subsistem politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, sehingga menghasilkan pengertian, sikap dan perilaku yang sama dalam mengamalkan Pancasila. Pendidikan politik, antara lain melalui penataran P4 telah dapat meningkatkan penghayatan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan pengamalannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Komunikasi politik, baik vertikal maupun horizontal, khususnya komunikasi timbal balik antara supra dan infrastruktur politik telah semakin meningkat dan berkembang. Demikian pula arus komunikasi dan penyaluran aspirasi politik dari bawah senantiasa memperoleh peluang untuk berkembang secara sehat. Dalam kaitan ini peranan organisasi kekuatan sosial politik sebagai wadah penampung dan penyalur aspirasi masyarakat telah berkembang dan telah meningkat kemandiriannya dalam merumuskan program, melaksanakan kegiatan politik, dan membina kadernya. Kondisi demikian telah meningkatkan peran dan fungsi lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat, organisasi kekuatan sosial politik, dan organisasi kemasyarakatan, serta peran serta rakyat dalam proses kehidupan politik. Dengan demikian mekanisme pelaksanaan demokrasi Pancasila telah semakin jelas memperlihatkan wujudnya dan mekanisme XXI/12 kepemimpinan nasional lima tahunan telah berjalan makin mantap, teratur, dinamis, dan konstitusional. Dwifungsi ABRI telah menjadi keyakinan dan milik bersama. Keberadaan ABRI sebagai kekuatan sosial politik dalam sistem politik Indonesia telah ikut menumbuhkembangkan dan memantapkan demokrasi Pancasila serta kehidupan konstitusional bersama kekuatan sosial politik lainnya. Pembangunan politik selama kurun waktu PJP I telah dapat mewujudkan tingkat stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, sehingga memungkinkan pelaksanaan pembangunan nasional yang menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin baik. Perkembangan tersebut telah menciptakan pula iklim keterbukaan yang bertanggung jawab serta makin mantapnya pelaksanaan demokrasi Pancasila. Di bidang hubungan luar negeri, sejarah mencatat bahwa Indonesia telah memainkan peranan penting dalam perjuangan bangsabangsa terjajah untuk merdeka dan dalam perjuangan negara-negara berkembang dan negara-negara non blok pada umumnya. Didahului dengan konferensi Bogor pada tahun 1954, Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pertama di Bandung pada bulan April 1955 yang diikuti oleh 29 negara. Konferensi tersebut telah melahirkan Dasasila Bandung yang menjadi pedoman perjuangan bangsa-bangsa di dunia ketiga untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajahan dan membangun kekuatan dan solidaritas di antara negaranegara berkembang. Dengan semangat itu Indonesia turut mengambil prakarsa bersama-sama dengan Yugoslavia dan Republik Arab Persatuan menyelenggarakan pertemuan negara -negara non-blok. Pertemuan XXI/13 pertama negara-negara non-blok ini diselenggarakan dalam bulan September 1961 di Beograd, Yugoslavia. Dalam masa Orde Baru penerapan prinsip politik luar negeri bebas aktif secara konsekuen dengan berperan aktif dalam berbagai fora internasional telah meningkatkan citra, wibawa, kedudukan, dan peranan Indonesia dalam ikut serta menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia yang abadi, adil, dan sejahtera. Terbentuknya ASEAN pada tahun 1967, yang diprakarsai pula oleh Indonesia, menunjukkan tekad Indonesia untuk membina kerjasama dengan para tetangganya di Asia Tenggara untuk membangun kawasan yang damai, adil, dan sejahtera. ASEAN kini telah menjadi organisasi regional yang secara luas diakui amat penting, baik posisi maupun sumbangannya di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam di dunia saat ini. ASEAN bahkan telah mengambil langkah-langkah ke arah terbentuknya ASEAN Free Trade Area (AFTA), yang diharapkan menjadi sarana kerjasama ekonomi yang berkualitas dan berorientasi pada pasar bebas. ASEAN juga mencanangkan ASEAN Regional Forum (ARF) untuk menata hubungan politik dan keamanan ASEAN dengan negara Asia Tenggara lainnya dan negara besar di kawasan Asia Pasifik. Di kelompok negara-negara berkembang, Indonesia telah berhasil membangun kepercayaan dan rasa solidaritas yang mendalam antara negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Nonblok (GNB). Hal ini mencapai puncaknya ketika Indonesia dipilih sebagai Ketua dan sekaligus menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke 10 yang cakupannya tidak saja bidang politik, tetapi juga bidang ekonomi dan bidang sosial budaya. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua GNB, Indonesia kembali mengumandangkan pentingnya negara-negara berkembang membangun kemandirian dan berusaha menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri, dan di antara sesama negara berkembang XXI/14 mengembangkan kerja sama untuk menyelesaikan masalah masalah yang perlu dihadapi bersama. Sebagai wakil GNB, Indonesia terus berupaya meyakinkan negara-negara anggota G-7 akan perlunya melanjutkan dialog . konstruktif antara Utara-Selatan menyangkut berbagai permasalahan politik dan ekonomi yang menjadi kepentingan bersama. Indonesia berkeyakinan bahwa kerjasama Utara-Selatan bukan hanya untuk kepentingan sepihak negara-negara Selatan belaka, melainkan untuk membangun kemitraan global yang juga menjadi kepentingan negaranegara Utara. Termasuk dalam kemitraan global itu adalah upaya dalam penyelesaian masalah hutang dan pendanaan pembangunan jangka panjang negara-negara berkembang. Dalam rangka penerapan politik bebas aktif, Indonesia telah memberikan sumbangan besar di berbagai kawasan dunia yang sedang mengalami persoalan dan persengketaan, dengan mengirimkan pasukan menjaga perdamaian dan penasehat militer di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di samping upaya penyelesaian melalui jalur diplomatik. Selama sekitar 10 tahun, misalnya, Indonesia berperan sebagai salah satu perantara dialog antara pihakpihak yang bersengketa di Kamboja hingga masalah Kamboja kemudian memperoleh format penyelesaian yang bisa diterima semua pihak dan berhasil menyelenggarakan pemilihan umum pertamanya di bawah pengawasan PBB. Seperti di waktu-waktu sebelumnya selama PJP I, Indonesia terus gigih dalam mendukung perjuangan bangsa-bangsa yang masih terjajah. Indonesia terus konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk memperoleh kembali tanah airnya, dan Indonesia juga selalu menentang politik apartheid di Afrika Selatan. Kredibilitas Indonesia untuk membantu menyelesaikan masalah regional dan XXI/15 internasional makin meningkat dan hal ini terbukti dengan dipercayanya Indonesia untuk ikut serta menyelesaikan secara damai seperti antara lain masalah Moro-Filipina Selatan. Lewat PBB, GNB, ASEAN, dan berbagai fora internasional lainnya, Indonesia terus mendukung secara aktif usaha penciptaan tatanan dunia baru yang adil, damai, dan sejahtera bagi seluruh umat manusia. Sebagai bagian dari kelompok negara Selatan, Indonesia aktif memperjuangkan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi dunia secara maksimal berdasarkan asas pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks yang lebih luas, hubungan luar negeri yang dibina selama ini telah berhasil menumbuhkan kepercayaan di berbagai negara ataupun organisasi internasional untuk membantu meningkat kan usaha pembangunan, seperti tercermin dari meningkatnya arus investasi, pinjaman luar negeri bersyarat lunak tanpa ikatan politik, percepatan alih teknologi, perluasan akses komoditas ke pasar internasional, dan lain sebagainya. Di samping itu, kerjasama teknologi dengan negara- negara lain telah mencakup nilai dan kualitas yang tinggi di semua bidang kehidupan, lebih dari waktu waktu sebelumnya. Ekonomi Indonesia yang terus tumbuh dan berkembang secara individual ataupun dalam konteks ASEAN menjadi sasaran menarik Para investor asing, dan selama ini terbukti berhasil menaikkan kuantitas dan kualitas lalu lintas komoditas perdagangan dan modal. Kebijaksanaan luar negeri dalam PJP I, yang berhasil menciptakan suasana keamanan yang stabil, baik di dalam negeri maupun di kawasan Asia Tenggara, merupakan penunjang keberhasilan upaya pembangunan nasional. Indonesia pada akhir PJP I bahkan dikelompokkan oleh Bank Dunia sebagai salah satu negara di XXI/16 dunia yang pertumbuhan ekonominya selama 25 tahun maju paling pesat dan menjadi contoh keberhasilan dari suatu perencanaan pembangunan berkelanjutan bagi negara-negara berkembang lainnya. Keberhasilan ini, selain telah menaikkan derajat Indonesia sebagai negara yang mempunyai kesungguhan dalam menaikkan taraf hidup rakyatnya sendiri, juga memberikan sumbangan yang positif bagi usaha peningkatan kesejahteraan negara berkembang lainnya dalam mengatasi kesenjangan ekonominya dengan negara maju. Hal ini terbukti dengan meningkatnya minat negara berkembang memanfaatkan pengalaman Indonesia melalui berbagai program dan perjanjian dengan negara-negara sahabat seperti dalam kerjasama sosial, ekonomi dan teknik, investasi, dan keuangan termasuk penghindaran pajak berganda. Keberhasilan penting lainnya adalah diterimanya konsep negara kepulauan oleh dunia internasional yang kemudian dituangkan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Sejak itu telah disepakati bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berada hingga jarak 200 mil dari garis pantai suatu negara kepulauan. Hal ini memberikan sumbangan cukup besar bagi keberhasilan pembangunan nasional, baik secara politis maupun ekonomis. Dalam bidang kebudayaan, hubungan luar negeri Indonesia yang antara lain dilaksanakan melalui pengiriman misi budaya, pengiriman dan pertukaran pemuda, pelajar, dan mahasiswa, kegiatan olahraga, serta penyelenggaraan pameran kebudayaan Indonesia, telah memperdalam pengertian dan membantu terciptanya citra positif Indonesia di manca negara. Di samping itu, telah pula dirintis pendirian pusat-pusat kebudayaan Indonesia di luar negeri dan Perhimpunan Persahabatan Indonesia dengan negara-negara sahabat. Indonesia juga telah membuka beberapa kantor perwakilan baru di luar negeri, yang menunjukkan meningkatnya usaha Indonesia dalam XXI/17 mengadakan hubungan persahabatan dengan negara lain di dunia. Dengan adanya penambahan tersebut maka jumlah perwakilan RI di luar negeri menjadi 110 yang meliputi: (1) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di 80 negara; (2) Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di New York dan Geneva; (3) Kantor Perutusan Republik Indonesia untuk Masyarakat Eropa di Brussel; (4) sejumlah 23 Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) ; dan (5) sejumlah empat Konsulat Republik Indonesia . Konsistensi pelaksanan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, serta kepedulian dan peran serta Indonesia terhadap perbaikan masalah ekonomi pembangunan secara global, telah menjadi modal utama bagi peningkatan peran selanjutnya dalam hubungan luar negerinya, sesuai amanat UUD 1945 dan petunjuk GBHN. B. POLITIK DALAM NEGERI 1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program . Repelita VI Sasaran pembangunan politik dalam PJP II adalah tercipta dan berfungsinya tatanan kehidupan politik yang konstitusional berdasarkan demokrasi Pancasila yang mantap dan dinamis, dengan kualitas manusia dan masyarakat yang memiliki kesadaran dan etika politik yang tinggi serta bersikap dan berperilaku sesuai dengan budaya politik Pancasila dalam semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang berwawasan Nusantara serta makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab. Sasaran pembangunan politik dalam Repelita VI adalah tertatanya kehidupan politik yang didukung oleh suasana yang memungkinkan berkembangnya budaya politik yang mengarah pada perwujudan sikap XXI/18 keterbukaan yang bertanggung jawab dalam komunikasi antar-dan antara suprastruktur dan infrastruktur politik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; serta terselenggaranya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan berbagai sasaran pembangunan politik tersebut di atas, pokok-pokok kebijaksanaan dalam Repelita VI adalah mengembangkan etika, moral, dan budaya politik; meningkatkan pemasyarakatan dan pembudayaan P4; meningkatkan peran dan fungsi suprastruktur politik; meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum; meningkatkan kualitas dan kemandirian organisasi kekuatan sosial politik dan organisasi kemasyarakatan; serta mengembangkan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan berbagai sasaran pembangunan politik dan sesuai dengan arahan GBHN 1993, maka kebijaksanaan pembangunan politik dalam negeri dalam Repelita VI dijabarkan ke dalam program-program: (1) Pengembangan Etika, Moral, dan Budaya Politik; (2) Peningkatan Fungsi Suprastruktur Politik; (3) Peningkatan Peranan Organisasi Kekuatan Sosial Politik; (4) Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Pemilihan Umum; (5) Peningkatan Peran Serta Masyarakat; (6) Pemantapan Integrasi Bangsa; dan (7) Peningkatan Penyelenggaraan Otonomi Daerah. 2. Pelaksanaan Repelita VI dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Berdasarkan arahan-arahan tersebut di atas, dalam tahun pertama Repelita VI telah dilaksanakan program-program pembangunan politik sebagai berikut. XXI/19 a. Program Pengembangan Etika, Moral, dan Budaya Politik Program ini bertujuan mewujudkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi terbuka di tengah arus perubahan dan dinamika masyarakat yang maju dengan cepat. Kegiatannya meliputi peningkatan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan etika, moral, dan budaya politik Pancasila dalam tatanan kehidupan politik oleh seluruh masyarakat, dengan perhatian khusus kepada generasi muda. Dalam upaya ini pemasyarakatan dan pembudayaan P4, di samping berbagai kegiatan politik lainnya, merupakan langkah strategis Dalam tahun pertama Repelita VI antara lain telah diupayakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1) Penataran P4 Upaya-upaya pemasyarakatan dan pembudayaan P4 di selenggarakan dalam bentuk pendidikan formal, termasuk penataran, serta kegiatan non penataran. Penataran dilakukan terhadap pegawai negeri, mahasiswa, pelajar, tenaga kerja swasta, dan masyarakat pada umumnya. Pola penataran disesuaikan dengan kebutuhan dan daya pemahaman masing-masing peserta (Tabel XXI-3; XXI-4; dan XXI-5). Sejak tahun 1989 dikembangkan pula Pola Terpadu, dengan perluasan materi dan perbaikan metoda yang disesuaikan dengan lingkungan, profesi, fungsi dan tugas masing -masing dalam kehidupan sehari-hari. Peserta penataran pola terpadu untuk pegawai Republik Indonesia, ju ga memperoleh materi khusus XXI/20 tentang Kepemimpinan Pancasila, Wawasan Aparatur dan Budaya Kerja, dan Kode Etik Korpri. Bagi penataran terpadu siswa baru SLTP, SLTA diberikan materi khusus yaitu Wawasan Wiyatamandala. Sedangkan bagi kalangan tenaga kerja swa sta, diberikan materi khusus Hubungan Industri Pancasila. 2) Penyiapan SDM P4 Untuk menyediakan tenaga yang diperlukan bagi penataran di lembaga pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan, diadakan penataran pola 144 jam dan pola 120 jam bagi calon pe natar. Frekuensi dan jumlah seluruh SDM yang dihasilkan tercantum pada Tabel XXI-6 dan XXI-7. Guna mempersiapkan SDM P4 diperlukan tenaga -tenaga Penatar Tingkat Nasional (Manggala), yang bertugas menatar calon penatar tingkat pusat (sektor) maupun daerah. Penataran bagi Manggala pada PJP I telah menghasilkan 796 orang dalam 7 angkatan. Upaya ini dilanjutkan dalam Repelita VI. Pada tahun pertama dan dilanjutkan tahun kedua Repelita VI telah diadakan Penataran P4 Manggala bagi Pejabat Eselon I Departemen/ Lembaga Non Departemen dan para Gubernur seluruh Indonesia, sejumlah 665 orang, yang akan bertugas melakukan penataran kontekstual di sektor dan daerah masing-masing. Penataran Manggala Eselon I bertujuan agar para pejabat mampu mengoperasionalkan Pancasila, UUD 1945 dan GBHN sesuai dengan peran dan kedudukan masing-masing secara kontektual dan lintas sektoral. Di samping itu agar mampu bersikap dan bertingkah laku sesuai P4 sehingga dapat menjadi teladan bagi bawahannya. Manggala Eselon I ini merupakan SDM untuk Gerakan Pembudayaan Pancasila yang dicanangkan pada tanggal 5 Juli 1995. XXI/21 3) Kegiatan Pembudayaan Non Penataran Pembudayaan P4 juga meliputi berbagai kegiatan non penataran, seperti Permainan Simulasi P4, Lomba Permasyarakatan dan Pembudayaan P4 (LP2P4) serta pemasyarakatan melalui media komunikasi massa. Permainan Simulasi merupakan proses kegiatan yang melibatkan peserta dalam unsur peran yang didiskusikan, dengan cara/aturan bermain yang direncanakan/dimusyawarahkan. Selama Repelita IV dan V tercatat lebih dari 30 juta warga masyarakat yang menjadi anggota Kelompok Belajar Simulasi di seluruh Indonesia. Untuk itu dipersiapkan SDM untuk melatih Pengelola, Pelatih Inti, Fasilitator dan Pelaksanaan Permainannya itu sendiri oleh Kelompok Belajar Simulasi (lihat Tabel XXI-8). Sejak awal Repelita IV diselenggarakan Lomba Cerdas Tangkas P4 (LCT P4) untuk SD, SLTP/SLTA, mahasiswa dan organisasi kemasyarakatan. Mulai Repelita VI lomba ini ditingkatkan menjadi Lomba Pemasyarakatan dan Pembudayaan P4 yang lebih luas. 4) Penelitian Pengembangan dan Pembinaan Pembudayaan P4 Untuk menunjang peningkatan dan perluasan pendidikan P4 dan meningkatkan pembudayaan P4 di kalangan masyarakat luas, ditingkatkan pula kegiatan penelitian dan pengembangan. Sasaran penelitian pengembangan dan pembinaan pembudayaan P4 adalah untuk mengevaluasi dan mengkaji kembali program, metode, materi penyelenggaraan, para penyelenggaranya serta kebijaksanaan yang telah dilaksanakan. Selama PJP I telah dihasilkan 50 penelitian. Sedangkan pada tahun pertama Repelita VI telah diselesaikan 6 penelitian. XXI/22 b. Program Peningkatan Fungsi Suprastruktur Politik Program ini bertujuan meningkatkan dan memantapkan fungsi suprastruktur politik sesuai amanat UUD 1945, dengan mengembangkan kerjasama yang serasi dan terbuka berdasarkan atas asas kekeluargaan serta didukung oleh sumber daya yang memadai. Upaya pemantapan kehidupan konstitusional, demokratis, dan tegaknya hukum melalui peningkatan fungsi lembaga-lembaga konstitusional sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dalam Repelita VI terus dilanjutkan dan ditingkatkan disertai dengan usaha untuk mengembangkan rasa kepercayaan dan hormat masyarakat kepada tugas dan wewenang lembaga konstitusional, serta meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam kehidupan politik. Peran suprastruktur politik telah makin efektif dan telah berjalan dalam mekanisme dan sistem politik berdasarkan amanat konstitusi. c. Program Peningkatan Peranan Organisasi Kekuatan Sosial Politik Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan dan kualitas organisasi kekuatan sosial politik, sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat dan memperjuangkannya secara sehat sesuai sistem perwakilan berdasarkan demokrasi Pancasila. Kegiatannya meliputi penciptaan iklim yang menunjang bagi berfungsi dan berperannya organisasi kekuatan sosial politik secara optimal, sehingga mampu memberikan kontribusi secara berkualitas bagi pengembangan etika, moral, dan budaya politik dalam rangka mewujudkan dan memantapkan kehidupan demokrasi Pancasila. XXI/23 Organisasi-organisasi kekuatan sosial politik telah berkembang kualitas, kreativitas, dan kemandiriannya sehingga menjadi wadah yang mampu menampung, mewakili dan menyalurkan serta memperjuangkan aspirasi masyarakat. Organisasi kekuatan sosial politik telah berperan aktif dalam mengembangkan demokrasi Pancasila, baik secara internal maupun eksternal, yang diperjuangkan melalui mekanisme dan program- program dalam masing-masing organisasi. d. Program Peningkatan Pemilihan Umum Kualitas Penyelenggaraan Program ini bertujuan untuk memantapkan penyelenggaraan pemilu yang semakin berkualitas, berdasarkan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta menjadi wahana peningkatan pendidikan politik dan peran serta rakyat di bidang politik. Kegiatannya meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penyelenggaraan pemilu, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1997, atau tahun ketiga Repelita VI. Pada tahun pertama Repelita VI persiapanpersiapan sedang dilakukan agar pemilu itu dapat terselenggara dengan lancar dan aman serta makin berkualitas sebagai perwujudan demokrasi. Sementara itu telah dilakukan peninjauan kembali terhadap jumlah anggota Fraksi ABRI di DPR, dan telah disepakati untuk menguranginya dari 100 menjadi 75 kursi. Dengan demikian jumlah kursi yang diperebutkan secara langsung melalui pemilu menjadi lebih besar yang mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk terus XXI/24 memperbaharui kehidupan politik dan penyelenggaraan sistem demokrasinya. e. Program Peningkatan Peran Serta Masyarakat Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran seluruh warganegara akan hak dan kewajibannya sebagai warganegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Melalui program ini diupayakan untuk menumbuhkan dan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam seluruh kegiatan pembangunan. Kegiatannya meliputi peningkatkan kreativitas, potensi, dan minat masyarakat di dalam ikut berperan serta secara nyata dalam pembangunan nasional, melalui organisasi kemasyarakatan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, sesuai dengan peran dan fungsi yang diembannya. Kehidupan politik yang konstitusional, demokratis dan berdasarkan hukum, telah mendorong berkembangnya partisipasi masyarakat. Iklim keterbukaan yang bertanggung jawab yang dikembangkan oleh Pemerintah telah mendapat sambutan dari masyarakat sehingga keikutsertaan masyarakat dalam segenap aspek kehidupan dan pembangunan telah makin semarak. Meningkatnya peran serta masyarakat tampak antara lain pada meningkatnya kegiatan-kegiatan organisasi kemasyarakatan, serta lembaga kemasyarakatan lainnya seperti lembaga swadaya masyarakat.Masyarakat makin aktif menyalurkan aspirasi dan menyampaikan masalah-masalah yang dihadapinya kepada lembagalembaga perwakilan rakyat di pusat maupun di daerah, baik melalui XXI/25 orsospol, organisasi kemasyarakatan, kelompok-kelompok, maupun secara perorangan. Dalam berbagai upaya pembangunan seperti penanggulangan kemiskinan dan pencegahan pencemaran lingkungan, masyarakat berperan aktif. Demikian pula rakyat yang mencari keadilan semakin banyak memanfaatkan lembaga-lembaga dan peluang-peluang yang ada,baik melalui lembaga-lembaga peradilan, DPR dan DPRD, Komnas HAM, media massa, Kotak Pos 5000, dan lain sebagainya. f. Program Pemantapan Integrasi Bangsa Program ini bertujuan untuk mewujudkan ketahanan nasional yang kukuh yang mendukung pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Program ini dilaksanakan melalui berbagai kegiatan pemantapan wawasan kebangsaan, peningkatan pembauran bangsa, peningkatan ketenteraman, dan perlindungan masyarakat. Antara lain, melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, telah dikembangkan forum Wawasan Kebangsaan di seluruh Indonesia yang diikuti oleh tokoh masyarakat, pemuda, mahasiswa, dan aparatur Pemerintah Daerah. g. Program Peningkatan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Program ini bertujuan meningkatkan pelaksanaan otonomi dengan titik berat pada Daerah Tingkat II, melalui penataan kewenangan penyelenggaraan berbagai urusan pemerintah pusat dan daerah, dan antara unit-unit di daerah, agar mampu menangani urusan rumah tangganya sendiri secara berkualitas. Kegiatannya dilakukan dengan meningkatkan kualitas aparatur agar dapat menjalankan perannya XXI/26 Tabel XXI — 1 KABINET — KABINET RI (1945 — Sekarang) Presiden/PM 1. Ir. Soekarno Tahun Konstitusi (Presiden) September 1945 — November 1945 UUD 1945 2. Sjahrir I (PM) November 1945 — Maret 1946 UUD 1945 3. Sjahrir II (PM) Maret 1946 — Juni 1947 UUD 1945 4. Amir Sjahrifuddin (PM) Juli 1947 — Januari 1948 UUD 1945 5. Hatta (PM) Januari 1948 — Desember 1949 UUD 1945 6. Hatta (PM) December 1949 — Agustus 1950 UUD RIS 7. Natsir (PM) September 1950 — Maret 1951 UUDS 8. Sukiman (PM) April 1951 — Pebruari 1952 UUDS 9. Wilopo (PM) April 1952 — Juni 1953 UUDS 10. Ali Sastroamidjojo I (PM) Juli 1953 — Juli 1955 UUDS 11. Burhanuddin Harahap (PM) Agustus 1955 — Maret 1956 UUDS 12. Ali Sastroamidjojo II (PM) Maret 1956 — Maret 1957 UUDS 13. Ir. Juanda (PM) Maret 1957 — Juli 1959 Juli 1959 — Maret 1967 UUD 1945 14. Ir. Soekarno (Presiden) UUDS 15. Soeharto (Pj. Presiden) Maret 1967 —- Maret 1968 UUD 1945 16. Soeharto (Presiden) Maret 1968 — Maret 1973 UUD 1945 17. Soeharto (Presiden) Maret 1973 — Maret 1978 UUD 1945 18. Soeharto (Presiden) Maret 1978 — Maret 1983 UUD 1945 19. Soeharto (Presiden) Maret 1983 — Maret 1988 UUD 1945 20. Soeharto (Presiden) Maret 1988 — Maret 1993 UUD 1945 21. Soeharto (Presiden) Maret 1993 — UUD 1945 Sekarang XXI/27 TABEL XXI — 2 TINGKAT PARTISIPASI RAKYAT DALAM PEMILU 1955 — 1992 Tahun Pemilu Jumlah Pemilih Jumlah yang Memilih Persentase yang Memilih 1955 43.104.464 39.419.032 91,4 1971 58.179.245 54.699.529 94,0 1977 70.378.750 63.998.344 90,9 1982 82.172.493 75.126.320 91,4 1987 93.965.953 85.809.816 91,3 1992 107.565.697 97.789.534 90,9 TABEL XXI — 3 PENATARAN PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA (P4) BAGI PEGAWAI NEGERI Repelita III — Repelita VI (1994/95) (Peserta/Petatar) Jenis Penataran Repelita III Repelita VI 1994/95 615.923 72.091 .. 2. Golongan II 1.501.074 975.766 .. 3. Golongan I 1.364.179 234.502 .. 1. Golongan III & IV 4. Penataran Terpadu PNS Jumlah .. 3.481.176 Catatan : Repelita III melalui penataran P4 tipe A, B, dan C Repelita IV — V melalui Latihan Prajabatan .. = Data tidak tersedia XXI/28 Repelita IV — V 2.989 879 1.285.348 879 TABEL XXI — 4 PENATARAN PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA (P4) BAGI ORGANISASI KEMASYARAKATAN Repelita II — Repelita VI (1994/95) (Peserta/Petatar) Jenis Penataran Repelita III Repelita IV Repelita V Repelita VI 1994/95 1. Pola 120/144 Jam 26.420 26.510 27.010 1.606 2. Pola 45 jam 81.575 89.998 121.180 — 3. Pola 25 jam 3.625.753 3.364.256 4. Pola 17 jam 3.397.462 2.876.431 Jumlah 7.131.210 6357.195 — 3.937.118 — 63.386 4.148.694 1.606 TABEL XXI — 5 PENATARAN PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA (P4) BAGI MAHASISWA DAN PELAJAR Repelita III — Repelita VI (1994/95) (Peserta/Didik) Jenis Penataran Repelita III Repelita IV Repelita V Repelita VI 1994/95 1. Penataran Mahasiswa Baru a. Pola 100 jam b. Pola 45 jam c. Pola 25 jam — d. Pola 17 jam — 300.783 515.178 252.356 4.565.255 436.783 667.174 316.297 11210 103.495 190.809 16.406 — 2. Penataran SMTA — 5.151.331 5.698.458 2.348.564 3. Penataran SMTP — 7.155.210 9.981.030 3.765.741 Jumlah — 17.940.113 17.110.952 6.425.015 XXI/29 TABEL XXI — 6 PENATARAN BAGI CALON PENATAR PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA (P4) Repelita III — Repelita VI (1994/95) (frekuensi penataran) Jenis Penataran Repelita III Repelita IV Repelita VI Repelita V 1994/95 1. Penatar Nasional (Manggala) 5 1 1 7 2. Calon Penatar (Pusat) 17 — — — 3. Calon Penatar—Ormas (Pusat) 47 50 52 2 36 34 2 87 87 11 4. Calon Penatar—Ormas (Daerah) - Jumlah 69 TABEL XXI — 7 PENATARAN BAGI CALON PENATAR PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA (P4) Repelita III — Repelita VI (1994/95) (Peserta) Jenis Penataran 1. Penatar Nasional (Manggala) Repelita III 567 Repelita IV 121 Repelita 4) 108 Repelita VI 1994/95 665 2. Calon Penatar (Pusat) 3.688 3. Calon Penatar—Ormas (Pusat) 5.737 9.480 7.265 1.503 — 4.940 4.334 103 9.992 14.541 11.707 2.271, 4. Calon Penatar—Ormas (Daerah) Jumlah XXI/30 — TABEL XXI — 8 PENATARAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) UNTUK PEMASYARAKATAN PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA (P4) MELALUI SIMULASI Repelita III — Repelita VI (1994/95) (Tenaga yang ditatar) Jenis Penataran Repelita III Repelita IV Repelita V Repelita VI 1994/95 1. Pengelola Simulasi 447 1.989 1.071 162 2. Pelatih Intl 986 2.063 1.845 162 2.307 4.258 767 3. Fasilitator Jumlah 3.740 8.310 3.683 - 324 XXI/31 sebagai pamong dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, penataan struktural organisasi dinas daerah serta mekanisme dan hubungan kerja antar unsur-unsur di daerah dengan prioritas pada Daerah Tingkat II, melakukan proyek percontohan otonomi di 26 Daerah Tingkat II, serta pemantapan dan peningkatan peranan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan otonomi. Upaya pemantapan penyelenggaraan otonomi daerah telah mulai dilaksanakan pada tahun pertama Repelita VI dengan mengambil 26 Daerah Tingkat II sebagai percontohan. Sejalan dengan itu dilakukan pula penataan struktural organisasi dinas daerah serta mekanisme dan hubungan kerja antar unsur-unsur didaerah dengan prioritas pada Daerah Tingkat II. Di samping itu dilakukan pula pemantapan dan peningkatan peranan serta tanggung jawab pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan otonomi. C. HUBUNGAN LUAR NEGERI 1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI Sasaran pembangunan hubungan luar negeri dalam PJP II adalah makin mantapnya hubungan luar negeri yang dilandasi prinsip politik luar negeri bebas aktif yang makin mampu menunjang kepentingan nasional serta makin mampu mendukung terwujudnya tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sasaran penyelenggaraan hubungan luar negeri dalam Repelita VI adalah meningkatnya hubungan kerjasama internasional yang saling menguntungkan dan menunjang kepentingan nasional. XXI/32 Sasaran tersebut dijabarkan lebih lanjut, yaitu meningkatnya peranan Indonesia dalam upaya menyelesaikan berbagai masa lah dunia, khususnya yang mengancam perdamaian dunia dan yang bertentangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan, dalam mempererat persahabatan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara bangsa-bangsa, dalam mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan serta dalam menyempurnakan struktur organisasi PBB sehingga mampu mencerminkan situasi hubungan internasional yang demokratis; meningkatnya kerjasama multilateral dan bilateral, baik regional maupun global, terutama di antara negara-negara nonblok; meningkatnya kerjasama ekonomi dan kerjasama teknik antarnegara berkembang dan sesama anggota GNB; meningkatnya peranan GNB dan kesatuan sikap serta kerjasama di antara negara berkembang, serta meningkatnya dialog Utara-Selatan, meningkatnya kerjasama antarnegara anggota ASEAN, terutama di bidang ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka memperkukuh ketahanan nasional masing-masing negara ke arah terwujudnya ketahanan regional; meningkatnya kerjasama keamanan, baik di lingkungan ASEAN, khususnya, maupun di kawasan Pasifik; serta meningkatnya kemampuan diplomasi agar terwujud kondisi yang mendukung kepentingan nasional. Hubungan luar negeri pada Repelita VI diselenggarakan dengan memperhatikan kepentingan nasional serta menegakkan kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian bangsa. Untuk itu, dikembangkan berbagai kebijaksanaan yang pada pokoknya adalah meningkatkan penerapan dan memantapkan prinsip politik luar negeri bebas aktif; meningkatkan upaya perwujudan tatanan dunia baru; meningkatkan kerjasama multilateral dan bilateral, baik regional maupun global sesuai kepentingan nasional; dan meningkatkan peran GNB. XXI/33 Dalam rangka mewujudkan berbagai sasaran hubungan luar negeri dan sesuai dengan arahan GBHN 1993, maka kebijaksanaan pembangunan hubungan luar negeri dalam Repelita VI dijabarkan ke dalam program-program : (a) Program Pokok : (1) Program Pembinaan Hubungan Luar Negeri, (b) Program Penunjang : (1) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Hubungan Luar Negeri; (2) Program Penelitian dan Pengembangan Hubungan Luar Negeri; (3) Program Bantuan Kemanusiaan. 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI a. Program Pokok 1) Program Pembinaan Hubungan Luar Negeri Program ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan dan kerjasama luar negeri dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan teknologi. Program ini dilaksanakan di berbagai forum internasional melalui berbagai kegiatan yang seluruhnya ditujukan untuk memperjuangkan dan menunjang kepentingan dan pembangunan nasional. Peranan Indonesia dalam mengupayakan keamanan dan perdamaian internasional dan regional, serta konsistensinya dalam memenuhi komitmennya untuk memperjuangkan kepentingan negaranegara Selatan dalam menghadapi negara-negara maju, telah memberikan citra positif dan dampak yang baik bagi penyelenggaraan politik luar negeri Indonesia. XXI/34 Berakhirnya perang dingin telah menuntut peningkatan peran PBB. dalam penyelesaian konflik internasional, meskipun PBB sendiri memiliki keterbatasan antara lain untuk penggelaran satuan penjaga perdamaian (Peace Keeping Operation), karena PBB menghadapi kendala keuangan, logistik dan organisasi. Terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB pada Sidang Pleno Majelis Umum PBB ke-49 tanggal 20 Oktober 1994 untuk periode 1995-1996 merupakan salah satu faktor yang mendinamisasi semangat patriotisme dan persatuan nasional dan menaikkan posisi/citra Indonesia di dunia internasional. Indonesia menghimbau dilakukannya revitalisasi, restrukturisasi dan demokratisasi PBB, sesuai dengan perkembangan kondisi internasional. Sumbangan Indonesia dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional tercermin pada partisipasinya dalam operasi pemeliharaan perdamaian PBB dengan mengirimkan personil militer maupun sipil ke berbagai belahan dunia. Di wilayah bekas Yugoslavia, Indonesia mengirim detasemen kesehatan yang terdiri dari 236 personil, 26 pengamat militer, dan 15 polisi pengamat untuk UNPROFOR; 6 pengamat polisi di Georgia (UNOMIG), pengamat militer di perbatasan Irak-Kuwait (UNIKOM); pengamat militer ke Somalia (UNOSOM), personil sebagai staf markas besar UNOSOM, peninjau polisi di Mozambique (UNOMOZ), staf militer di Sekretariat PBB di New York, perwira penghubung PBB di Kamboja. Dalam waktu dekat, Indonesia juga akan mengirim kesatuan zeni yang terdiri dari 441 personil ke Bosnia Herzegovina dalam rangka UNPROFOR. Di luar kerangka PBB, guna mendukung proses perundingan damai antara Pemerintah Filipina dan Front Nasional Pembebasan Moro, Indonesia juga telah mengirimkan tim pengawas gencatan senjata ke Filipina Selatan. XXI/35 Sementara itu, peranan ASEAN sebagai organisasi kerjasama sub-regional telah berhasil mengambil sejumlah langkah strategis ke arah terwujudnya iklim yang mantap untuk kerjasama di antara negara-negara ASEAN, khususnya di bidang politik dan keamanan, dengan dibentuknya ASEAN Regional Forum (ARF) pada pertemuan ASEAN Ministerial Meeting/Post Ministerial Conference (AMM/PMC) ke-27 di Bangkok tanggal 23-28 Juli 1994. ARF digunakan oleh negara anggota untuk meningkatkan dialog, konsultasi dan kerjasama keamanan. Salah satu upaya penting yang tengah dikembangkan adalah Confidence Building Measures (CBM) yang mempromosikan transparansi di bidang keamanan. Negara-negara di kawasan Indocina telah ikut serta dalam berbagai pertemuan ASEAN, dan Vietnam menjadi anggota penuh ASEAN pada sidang AMM/PMC ke-28 bulan Juli 1995 di Bandar Seri Begawan. Kamboja telah pula mengikuti jejak Vietnam dan Laos untuk menandatangani Traktat Persahabatan dan Kerjasama (Treaty of Amity and Cooperation/TAC) sehingga Kamboja memperoleh status peninjau dalam ASEAN. Dalam hubungan luar negeri secara regional, perkembangan situasi di kawasan Pasifik Selatan dan Barat Daya dapat dikatakan cukup menggembirakan. Hubungan dan kerjasama antara Indonesia dengan Australia dan Selandia Baru dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang baik. Namun, terdapat kalangan di Australia seperti LSM, media massa, beberapa anggota Parlemen dan pendukung ex Fretilin yang masih mempermasalahkan pelaksanaan HAM, Timor Timur, demokratisasi dan lingkungan hidup di Indonesia. Sementara itu di kawasan Timur Tengah, proses perdamaian bergulir maju dengan adanya Deklarasi Prinsip tanggal 13 September XXI/36 1993 tentang Pengaturan Otonomi Sementara Palestina yang diatur pelaksanaannya dalam Persetujuan Cairo tanggal 26 Mei 1994 tentang langkah-langkah transisi membentuk pemerintahan sendiri di Jalur Gaza dan Jericho. Perkembangan positif tersebut berlanjut dengan Traktat Perdamaian yang ditandatangani antara Yordania dan Israel pada tanggal 26 Oktober 1994 yang mengakhiri keadaan perang selama 46 tahun. Indonesia mengharapkan agar penyelesaian menyeluruh, damai dan adil dari semua konflik yang masih tertinggal segera terwujud sesuai dengan semua resolusi PBB. Peranan Indonesia sebagai salah satu negara non-Arab dalam OKI semakin dihargai negara-negara anggota, dan telah meningkatkan citra Indonesia di negara-negara Islam. Indonesia mendukung upaya PBB dan OKI untuk mengakhiri pertentangan pendapat, pertikaian kekerasan senjata serta pertumpahan darah antara faksi -faksi di Afganistan. Indonesia juga mendukung penyelesaian politik oleh pihak-pihak yang bertikai atas dasar kesepakatan yang telah mereka ikrarkan sendiri di Islamabad, Mekah, dan Teheran. Di kawasan Afrika, Indonesia berkepentingan menggalang solidaritas dan kerjasama Selatan-Selatan. Untuk mempererat hubungan diplomatik Indonesia - Afrika Selatan, telah dibuka Kedutaan Besar RI di Pretoria dan tahun ini pula Indonesia membuka Konsulat Jenderal di Cape Town, Afrika Selatan. Pemberlakuan Traktat Maastricht di kawasan Eropa merupakan dasar integrasi kekuatan politik, ekonomi dan pertahanan benua Eropa, dan menimbulkan dimensi-dimensi baru dalam penyelenggaraan hubungan dan kerjasama dengan negara ketiga. Dalam rangka jalinan kerjasama Indonesia dengan negara-negara Eropa (Uni Eropa), hubungan RI-UE terus berkembang, baik secara bilateral maupun regional ASEAN-UE. Pada pertemuan ASEAN-UE XXI/37 di Karlsruhe, Jerman, 20-22 September 1994, terdapat upaya untuk mendekatkan pandangan masing-masing, khususnya dalam mencari penyelesaian masalah-masalah politik dan keamanan. Secara umum, sikap UE makin luwes dan kooperatif. Pertemuan tersebut menghasilkan deklarasi bersama mengenai berbagai isyu di bidang politik, ekonomi dan keamanan. Bersamaan dengan pertemuan antara Menlu ASEAN-UE, di Stuttgart, pada tanggal 23 - 24 September 1994, telah berlangsung pula pertemuan 190 pengusaha UE dan 80 pengusaha ASEAN, 30 di antaranya dari Indonesia. Pertemuan itu merupakan wahana penting bagi kerjasama antar swasta kedua kawasan. Hubungan RI dengan beberapa negara Eropa seperti Republik Federal Jerman (RFJ) terus berkembang dalam suasana yang bersahabat. Perkembangan itu tercermin dari besarnya perhatian pihak RFJ untuk terus mendukung pembangunan nasional Indonesia. Sebagai wujud nyata meningkatnya hubungan bilateral tersebut, pada bulan April 1995 Presiden RI melakukan kunjungan kenegaraan ke Jerman didampingi delegasi tingkat tinggi dalam upaya meningkatkan hubungan bilateral dan menghadiri Pameran Industri Hanover 1995 di Hanover, Jerman. Presiden RI telah pula mengadakan kunjungan kenegaraan ke tiga negara pecahan Uni Soviet di Asia Tengah yaitu Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan dalam tahun 1995. Kunjungan-kunjungan tersebut telah berhasil dengan ditandatanganinya beberapa kesepakatan di bidang politik, ekonomi dan perdagangan. Peningkatan aktivitas hubungan luar negeri RI juga terlihat dengan berbagai lawatan dilakukan Presiden Soeharto ke luar negeri antara lain KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, Denmark bulan Maret 1995. XXI/38 Hubungan bilateral RI-AS di tahun 1994, walaupun masih diwarnai oleh permasalahan politik, seperti soal-soal HAM dan hakhak buruh namun dapat terselenggara cukup baik dan meningkat lebih dewasa. Hal tersebut tercermin dalam pembicaraan Presiden Soeharto dan Presiden Clinton pada tanggal 16 Nopember 1994 di Jakarta, setelah pertemuan APEC. Kedua kepala negara telah mencapai saling pengertian di berbagai bidang, baik bilateral, regional maupun internasional. Sejumlah Memorandum of Understanding (MOU) untuk kerjasama ekonomi dan perdagangan antara pengusaha Indonesia dan AS juga telah ditandatangani. Dalam masalah H AM Indonesia akan terus berupaya untuk meyakinkan negara -negara sahabat, terutama AS, bahwa pemerintah RI senantiasa menghormati HAM sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Dalam rangka memperjuangkan perbaikan nasib negara-negara Non-Blok, di bawah pimpinan Indonesia, GNB tetap mengikuti dengan seksama berbagai persoalan politik dunia yang menonjol seperti masalah Somalia, Bosnia-Herzegovina dan masalah nuklir Korea Utara, di samping penekanan pada masalah ekonomi dan pembangunan pada umumnya. GNB juga tetap memperjuangkan pengertian yang utuh mengenai hak asasi manusia baik politik, ekonomi, sosial dan budaya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. GNB menolak politisasi dan selektifitas pemantauan implementasi hak asasi serta penerapan kondisionalitas pada bantuan dan kerjasama ekonomi. GNB menyampaikan keprihatinannya yang sangat mendalam terhadap tragedi Rwanda. Presiden Soeharto selaku Ketua GNB turut menyampaikan keprihatinannya tentang situasi di Bosnia dalam pertemuannya dengan Presiden Bosnia, Alija Izetbegovic bulan XXI/39 Februari 1994. Menindaklanjuti pertemuan tersebut, Biro Koordinasi GNB menginstruksikan untuk melakukan konsultasi dengan Kelompok GNB di Dewan Keamanan tentang kemungkinan untuk mencabut embargo yang dibebankan kepada Bosnia-Herzegovina. Selain itu, Presiden Soeharto, selaku Ketua GNB, menghimbau Dewan Keamanan guna membahas perkembangan yang terakhir di Bosnia Herzegovina dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Himbauan GNB tersebut juga mengusulkan agar meninjau ulang mandat UNPROFOR, dan ditanggapi Dewan Keamanan dengan mengeluarkan Resolusi 900 (1994) yang isinya, sesuai pandangan GNB, menegaskan tentang Prinsip-Prinsip Kedaulatan, Integritas Territorial, dan Kemerdekaan Politik Bosnia-Herzegovina. Sebagai salah satu langkah dalam memperjuangkan perdamaian dunia, khususnya di kawasan Balkan, Presiden RI selaku Ketua Gerakan Non Blok telah berkunjung ke Republik Kroasia dan Republik Bosnia-Herzegovina. Indonesia menyerukan pembentukan suatu mekanisme baru bagi perundingan di antara pihak-pihak yang bersengketa di Bosnia-Herzegovina, termasuk kemungkinan penyelenggaraan konferensi internasional untuk mencapai penyelesaian yang adil dan tuntas, didasarkan atas penghormatan penuh terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah Republik BosniaHerzegovina. Mengenai krisis di Semenanjung Korea, Biro Koordinasi PBB telah berkonsultasi dengan Kelompok GNB di Dewan Keamanan untuk membahas dan aktif ikut mengusahakan terciptanya situasi yang kondusif untuk mencapai perdamaian. Upaya Indonesia selaku Ketua GNB termaksud mendapatkan penghargaan terutama dari Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, Presiden Korea Selatan Kim Young Sam dan Perdana Menteri Jepang Tomiichi Murayama, yang secara langsung disampaikan kepada Presiden Soeharto pada kesempatan XXI/40 pertemuan bilateral dalam rangka sidang APEC yang baru lalu di Indonesia. Semenjak pembentukan Komisi Kerja Tingkat Tinggi, GNB aktif terlibat dalam usaha restrukturisasi, revitalisasi, dan demokratisasi PBB. GNB telah melakukan beberapa pertemuan Komisi Kerja Tingkat Tinggi untuk mengkoordinasikan dan menyamakan persepsi Gerakan mengenai permasalahan Perimbangan Perwakilan dan menambah jumlah anggota Dewan Keamanan, yang disajikan oleh "Open-Ended Working Group untuk Sidang Majelis Umum" pada bulan Maret 1994. Kelompok Kerja Tingkat Tinggi sepakat untuk " membentuk sebuah Open-Ended Working Group untuk Restrukturisasi Dewan Keamanan". Indonesia terus menindaklanjuti hasil-hasil yang telah dicapai KTT X GNB di Jakarta sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan dengan mengutamakan penanganan masalah di bidang ekonomi dan pembangunan yang langsung menyangkut kepentingan negara berkembang seperti masalah kependudukan, pengamanan pangan, skema pertumbuhan yang berkelanjutan dan penyelesaian masalah hutang. Untuk itu, di bawah kepemimpinan Indonesia, GNB telah melakukan berbagai pertemuan pada tahun 1994 untuk membahas masalah-masalah hutang luar negeri, pembangunan, kesehatan, pangan, pertanian, makanan, ketenagakerjaan, IPTEK, standarisasi kualitas barang dan lain sebagainya. Pembahasan masalah kependudukan telah ikut memberikan sumbangan bagi keberhasilan pembahasan di Konperensi Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) bulan September 1994 di Kairo. Demikian pula pertemuan GNB menyangkut pertukaran pandangan dan pengalaman mengenai hutang luar negeri dan rekomendasi penyelesaiannya. XXI/41 Rekomendasi yang diajukan GNB pada dasarnya telah diterima PBB sebagai prinsip-prinsip utama dalam mengatasi masalah hutang pada tingkat global. Dalam rangka menghidupkan kembali Dialog Utara-Selatan, Ketua GNB telah mengirim utusannya untuk bertemu dengan PM Italia sebagai Ketua G-7 periode 1994 dalam rangka menyampaikan pandangan dan keinginan negara berkembang untuk memajukan Dialog Utara-Selatan demi tercapainya kemitraan dalam usaha pembangunan antara negara maju dengan negara berkembang. Dalam upaya membantu penyelesaian masalah minoritas muslim di Filipina Selatan, Indonesia sebagai Ketua Komite Enam OKI telah bertindak sebagai "fasilitator" dalam perundingan antara pemerintah Filipina (GRP) dan MNLF. Upaya penyelesaian Timor Timur dalam forum Tripartite Indonesia-Portugal-Sekjen PBB belum mencapai kemajuan seperti yang diharapkan, karena tergantung kepada sikap Portugal sendiri. Upaya lain terus dilakukan melalui dialog antar orang-orang Timor (All Inclusive East Timorese Dialog) pada tanggal 2-6 Juni 1995 yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari Pertemuan London. Dalam menangani soal Timor Timur, Indonesia selalu mendukung upaya Sekjen PBB untuk mencari penyelesaian yang tuntas dan yang dapat diterima secara internasional melalui rangkaian dialog RI-Portugal. Pada putaran keempat Perundingan Tripartite RI-Portugal di bawah naungan Sekjen PBB di Jenewa, telah dicapai kesepakatan mengenai sejumlah tindakan dalam rangka langkah saling memupuk kepercayaan (Confidence Building Measures). XXI/42 Di forum internasional Indonesia selalu menunjukkan sikap seimbang namun tegas, meskipun harus. menghadapi sikap Portugal yang belum meninggalkan pendekatan konfrontasinya. Penanganan peristiwa di Pasar Becora, Dili dan 29 orang demonstran Timor Timur di Kedutaan Besar Amerika Serikat pada saat Pertemuan Para Pemimpin Ekonomi APEC telah menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia tetap memiliki komitmen untuk menyelesaikan masalah Timor Timur melalui pemupukan saling percaya dan tidak melalui arena publisitas yang selalu dibesar besarkan oleh kelompok anti Indonesia. Dewasa ini telah berkembang pendekatan-pendekatan baru yang merefleksikan semakin tumbuhnya sikap objektif berbagai kalangan di Eropa bahkan di Portugal sendiri. Di Parlemen Eropa telah terbentuk European Parliament-Indonesia Friendship Association (EPIFA) dan di Portugal terbentuk Portugal-Indonesia Friendship Association (PIFA). Kunjungan-kunjungan delegasi EPIFA dan PIFA ke Indonesia yang kemudian dilaporkan secara luas dalam media Portugal sekurang-kurangnya telah membuka mata sebagian masyarakat sekurang-kurangnya telah membuka mata sebagian masyarakat Portugal tentang keadaan sebenarnya di Timor Timur. Adanya langkah-langkah tersebut di atas, pendekatan-pendekatan informal, dan kesediaan Presiden Soeharto menerima kelompok Abilio Arraujo, telah membantu pemupukan kepercayaan yang diperlukan bagi putaran dialog Indonesia-Portugal di bawah naungan PBB. Dalam proses pelucutan senjata, Indonesia aktif terlibat dalam konperensi tentang Peninjauan Perpanjangan Nuclear Non Proliferation Treaty (NPT) tanggal 17 April - 12 Mei 1995. Konperensi memutuskan memperpanjang NPT tanpa batas waktu, XXI/43 disertai klausul kewajiban meninjau kembali perjanjian itu secara berkala. Pemberlakuan Konvensi Hukum Laut 1982 pada tanggal 16 Nopember 1994 amat penting dan bersejarah bagi Indonesia karena azas Wawasan Nusantara, yang dalam Konvensi tercantum sebagai prinsip negara kepulauan (archipelagic state principle), secara resmi diakui dunia internasional. Negara-negara maju yang pada awalnya menentang Konvensi, khususnya penambangan di dasar laut internasional, akhirnya dapat menerima Agreement relating to the Implementation of Part XI of the UN. Convention on the Law of the Sea 1982 pada tanggal 29 Juli 1994. Amerika Serikat dan sejumlah negara-negara maju lainnya telah pula menandatangani Persetujuan tersebut dimana ratifikasi atas Persetujuan berarti-pula ratifikasi dan penerimaan sepenuhnya atas Konvensi. Indonesia berperan aktif pada Komisi Persiapan untuk membentuk Badan Otorita Dasar Laut Internasional dan Mahkamah Internasional untuk Hukum Laut serta Forum Kerjasama Indian Ocean Marine Affairs Cooperation (IOMAC). Indonesia telah menggunakan Forum IOMAC untuk menarik dukungan negara berkembang di kawasan Samudera Hindia terhadap Konvensi Hukum Laut 1982, dan terus melakukan perundingan dengan semua negara tetangga dalam upaya penyelesaian masalah batas laut teritorial, landas kontinen, zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif, atas dasar semangat hubungan bertetangga baik. Dampak globalisasi di bidang ekonomi akan berpengaruh secara langsung kepada sendi-sendi kehidupan manusia di segala bidang. Salah satu fenomena yang menonjol adalah semakin menguatnya paradigma baru pembangunan yang meletakkan "manusia" sebagai titik-pusat dari pembangunan. XXI/44 Sejalan dengan isi Deklarasi dan Program Aksi Wina, Indonesia membentuk Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) untuk memperkuat infrastruktur nasional bagi pelaksanaan HAM. Di forum internasional keaktifan Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM terlihat dengan terpilihnya Indonesia menjadi anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada periode 1991-1993, dan terpilih kembali untuk periode 1994 - 1996. Salah satu perkembangan baru dalam bidang perdagangan internasional adalah disepakatinya pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Menyongsong berlakunya aturan-aturan baru perdagangan internasional dalam WTO yang akan lebih bersifat liberal, Indonesia terus aktif merundingkan kepentingan perdagangannya, khususnya dalam pengaturan tarif dengan negara-negara mitra dagang Indonesia. Dalam kaitan ini Indonesia telah menyampaikan schedule of commitment Indonesia di bidang perdagangan barang dan jasa. Dalam pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC (APEC Economic Leaders Meeting-AELM) ke-2, tanggal 15 Nopember 1994 di Bogor, telah dihasilkan keputusan yang bersejarah dengan ditetapkannya kerangka waktu-bagi penyelesaian pencapaian perdagangan bebas, untuk negara maju pada tahun 2010, sedangkan bagi negara berkembang pada tahun 2020. Keputusan ini mendorong seluruh anggota APEC untuk mempersiapkan diri menyongsong era perdagangan bebas secara bertahap dalam rangka menurunkan hambatan perdagangan dan investasi yang konsisten dengan keputusan GATT/WTO. Hasil-hasil yang telah dicapai APEC selama kepemimpinan Indonesia, telah berdampak luas terhadap perkembangan perekonomian dan perdagangan di kawasan Asia Pasifik umumnya dan di Indonesia khususnya. Melalui kerjasama XXI/45 APEC, Indonesia mengharapkan akan dapat lebih meningkatkan pembangunan dengan kerjasama konkrit yang menekankan pada kerjasama di bidang ekonomi untuk tujuan mencapai kemakmuran bersama. Sebagai negara yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan umat manusia, Indonesia ikut berperan aktif dalam merumuskan perbaikan keamanan pangan dunia di dalam forum internasional di bidang pangan dan pertanian (FAO). Di dalam kerangka Non-Blok, Indonesia dengan negara-negara Non-Blok lainnya dalam KTT NonBlok di Jakarta tahun 1992 menyerukan masyarakat internasional dan organisasi internasional di bawah PBB untuk memonitor situasi pangan global, khususnya di negara-negara berkembang. Indonesia mendukung diselenggarakannya KTT pangan dunia tahun 1996. Pada Konperensi Tingkat Menteri GNB di bidang pangan dan pertanian yang diselenggarakan di Bali bulan Oktober 1994, Indonesia sebagai Ketua GNB telah memprakarsai dihasilkannya Deklarasi Bali mengenai Ketahanan Pangan bagi negara-negara GNB dan negaranegara berkembang lainnya. Berkaitan dengan tindak lanjut hasil KTT Bumi Rio de Janeiro 1992, di tahun 1994 Indonesia telah melakukan beberapa langkah penting di bidang lingkungan hidup antara lain : (1) meratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity), (2) meratifikasi Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Conventions on Climate Change), dan (3) menandatangani Konvensi Internasional mengenai Penggurunan, terutama di Afrika (International Convention to Combat Desertification in those Countries experiencing serious drought and/or Desertification particularly in Africa). XXI/46 Dalam kerangka AFTA, Indonesia juga meningkatkan kerjasama ekonomi sub-regional di kawasan ASEAN melalui kawasan pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand - Growth Triangle (IMT GT), Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-the Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA), serta Indonesia-MalaysiaSingapore-Growth Triangle (IMS-GT). Kerjasama dalam bidang sosial budaya antar bangsa, semakin penting peranannya dalam mendukung pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Di bidang pendidikan, semakin banyak bantuan bea siswa dan latihan-latihan keahlian serta ketrampilan yang telah dimanfaatkan Indonesia sesuai dengan kepentingan nasional. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia telah pula memberikan beasiswa kepada beberapa negara anggota GNB. Demikian pula kerjasama di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, kepemudaan, agama, peranan wanita, olahraga, flora dan fauna torus berkembang dalam lingkup kerjasama negara anggota GNB. b. Program Penunjang 1) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Hubungan Luar Negeri Program ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas sumber daya manusia, baik dari sisi wawasan kejuangan maupun kemampuan profesional yang mendukung terlaksananya hubungan luar negeri yang mantap. Dalam kaitan dengan sumber daya manusia, Perwakilan RI di luar negeri terus melaksanakan pembinaan masyarakat Indonesia XXI/47 dengan mengadakan pertemuan-pertemuan dan penyuluhan kepada masyarakat Indonesia dan melakukan pendekatan-pendekatan dengan masyarakat setempat untuk berpartisipasi secara optimal dalam kegiatan pembangunan nasional. 2) Program Penelitian dan Pengembangan Hubungan Luar Negeri Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hubungan internasional dan politik luar negeri Indonesia berdasarkan konsep yang telah dikaji secara mantap dan terpadu. Dalam rangka program penelitian dan pengembangan hubungan luar negeri telah dilaksanakan serangkaian lokakarya, workshop dan forum dialog yang berskala nasional maupun internasional. Untuk menyukseskan pelaksanaan APEC telah diadakan lokakarya tentang "Sejarah Dan Proses Pembentukan APEC Serta Prospek Ke Depan" pada tanggal 5 November 1994 dan dialog tentang "Peluang Dan Tantangan Indonesia Dalam Memanfaatkan APEC" pada tanggal 7 November 1994. Sebagai upaya meningkatkan pemahaman tentang perlindungan terhadap HAM, telah diselenggarakan lokakarya nasional pada tanggal 24 Oktober 1994. Dalam rangka menghadapi masa berlaku dan ratifikasi Konvensi Pelarangan Menyeluruh Senjata Kimia (KPMSK), Indonesia bekerjasama dengan "Provisional Technical Secretariat of the Organization for the Prohibition of Chemical Weapons" (PTSOPCW) telah menyelenggarakan Seminar Asia Pasifik tentang Implementasi Konvensi Pelarangan Menyeluruh Senjata Kimia di Jakarta, 28 - 30 Nopember 1994, yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 25 negara Industri Kimia, departemen terkait serta LSM. XXI/48 3) Program Bantuan Kemanusiaan Program ini bertujuan untuk mendorong kesetiakawanan sosial dan berkaitan erat dengan upaya mewujudkan suasana perdamaian dan kemitraan, terutama antara Indonesia dan negara berkembang lainnya serta negara-negara yang memerlukan bantuan. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan segala potensinya, terus berusaha untuk berperan aktif dan berusaha membantu bangsa-bangsa lain yang mengalami musibah/malapetaka atau bencana sosial lainnya sebagai akibat dari peperangan antar etnis, masalah pengungsi dan bencana alam lainnya. Dalam tahun 1994/1995, Indonesia telah memberikan bantuan kemanusiaan kepada 18 negara yang mengalami musibah dan bencana alam. Bantuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan solidaritas dan persahabatan antara Indonesia dengan negara-negara yang mengalami bencana. XXI/49