1. Sistem kurs mengambang terkendali. Kebanyakan sistem kurs yang digunakan negara-negara saat ini berada diantara sistem kurs tetap dan sistem kurs mengambang bebas, yaitu sistem kurs mengambang terkendali. Komponen sistem kurs mengambang bebas ditunjukkan oleh kurs tukar yang diizinkan berfluktuasi pada basis harian tanpa adanya batasan resmi. Komponen sistem kurs tetap ditunjukkan oleh pemerintah yang dapat dan kadang-kadang melakukan intervensi untuk mencegah mata uangnya bergerak terlalu jauh pada arah tertentu. Sistem ini dapat dinyatakan sebagai penggabungan antara sistem nilai kurs tetap dan sistem kurs mengambang. Dalam sistem ini nilai tukar suatu mata uang diambang dalam suatu batas yang disebut rentang intervensi. Otoritas moneter akan melakukan tindakan stabilisasi (intervensi) manakala nilai tukar mata uangnya telah melampaui nilai-nilai batas yang ditetapkan. Kelebihan sistem ini adalah fleksibilitasnya yang cukup tinggi dalam melakukan penyesuaian terhadap perubahan kondisi pasar. Adapun kelemahan sistem ini yaitu perlunya otoritas moneter memiliki cadangan dana yang cukup untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uangnya. 2 Keunggulan Sistem Kurs mengambang Sistem Moneter Eropa (Eropean Monetary System-EMS) • Sebuah pengelompokan sebagian besar negara-negara Eropa Barat yang bekerja sama untuk menjaga mata uang mereka dengan kurs tetap. Banyak diantara ekonom meyakini bahwa sistem kurs mengambang tidak hanya secara otomatis menjamin terciptanya kelonggaran kurs, tetapi juga akan menghasilkan sejumlah manfaat lain bagi perekonomian dunia. Sistem kurs mengambang memiliki tiga keunggulan pokok yaitu : 1. otonomi kebijakan moneter. Jika bank sentral tidak lagi harus mengintervensi pasar uang guna membakukan kurs, maka pemerintah akan memperoleh kembali kemampuannya dalam menggunakan kebijakan moneter untuk mencapai sasaran keseimbangan internal dan eksternal. 2. simetri. Dalam kurs mengambang, baik amerika serikat maupun negara0negara lain memiliki peluang yang sama untuk mempengaruhi kurs mete uang masing-masing terhadap mata uang lainnya. 3. kurs sebagai stabilisator otomatis. Meskipun kebijakan moneter tidak dilancarkan,proses penyesuaian kurs yang terbentuk oleh kekuatan pasar akan membantu semua negara mempertahankan keseimbangan internal dan eksternal dalam menghadapi perubahan permintaan agregat. 3.Perbedaan Sistem Gold Standard dan Bretton Wood • Standar Tukar Emas: Menetapkan dolar AS sebagai mata uang sentral dengan $35 per ons Emas, dengan harga mana AS Sepakat untuk membeli emas dari atau menjualnya kepada bank-bank sentral lain. • SISTEM BRETTON WOODS (SBW): 1945-1972 (1) SBW dihasilkan dari pertemuan 44 wakil negara di Bretton Woods, New Hampshire, pada Juli 1944. • Lembaga yang dihasilkan: IMF dan IBRD/World Bank, yang keduanya mempunyai tanggung jawab berbeda. • SBW berusaha mencegah berulangnya nasiona-lisme ekonomi dengan kebijakan destruktif “memiskinkan negara tetangga” dan mengarah pada kekurangan peraturan2 yang jelas atas terganggunya permainan selama perang. Pada saat itu, bursa moneter internasional didasarkan pada standar emas. Aturannya sangat sederhana, setiap mata uang nasional didukung oleh banyaknya emas yang dimiliki oleh bank sentral negara tersebut. Uang tersebut bebas berkonversi menjadi emas dan diizinkan untuk melewati perbatasan Negara. Menurut Spero (1985), konferensi di Bretton Woods memungkinkan 3 hal. Pertama, yaitu kekuasaan terpusat pada sekelompok negara, khususnya di Amerika Utara dan Eropa Barat, di mana mereka dapat membuat keputusan terhadap seluruh sistem dunia. Kedua, kondisi pembuatan Bretton Woods memungkinkan negara-negara berkekuatan besar untuk “share” kepentingan bersama, terutama tentang kapitalisme, khususnya terhadap liberalisme klasik, di mana nantinya negara-negara ini akan mendasarkan perekonomiannya terhadap mekanisme pasar. Kondisi ketiga yaitu adanya kecenderungan AS untuk menjadi pemimpin. Tulisan Robert Gilpin (1987) tidak jauh berbeda dengan dua tulisan sebelumnya, Frieden dan Peet. Perbedaan mendasarnya hanya terletak pada rasionalisasi terbentuknya institusi moneter dan pandangan yang terletak pada perbedaan antara standar emas dan sistem Bretton Wood. Robert Gilpin tidak secara eksplisit menunjuk adanya suatu institusi moneter dalam tulisannya, sebaliknya Gilpin hanya mengungkapkan bagaimana institusi moneter itu menjalankan peran ekonomi sekaligus leadership semestinya melalui liquidity, adjustment, dan confidence.Sebaliknya ia menegaskan kronologi mengapa para ahli melihat perekonomian domestik dan internasional secara terpisah, sehingga muncul standar emas sebagai alat tukar perdagangan internasional. Perbedaan Sistem Gold Standard dan Sistem Bretton Wood Perubahan nilai tukar dalam sistem moneter internasional telah menjadi suatu isu penting dalam studi Ekonomi Politik Internasional. Karena dalam kenyataannya perubahan sistem nilai tukar tidak cuma dipandang sebagai suatu permasalahan ekonomi, tetapi juga menjadi sangat politis karena berkaitan erat dengan kepentingan masing-masing negara. Pertengahan 1870an menjadi periode awal dari penggunaan sistem nilai tukar tetap dalam sistem moneter internasional. Sistem moneter internasional yang pertama kali berhubungan langsung dengan hegemoni internasional adalah kemunculan sistem standar emas klasik (the classical gold standard) yang dipraktekkan oleh Inggris berlangsung dari tahun 1870 hingga tahun 1914 (Gilpin 1987: 124). Pada sistem standar emas klasik ini, setiap negara menjadikan emas sebagai mata uangnya dan sistem nilai tukar yang dipakai adalah sistem kurs tetap (fixed exchange rate). Karena semua negara menggunakan emas sebagai mata uangnya, maka cadangan internasional yang harus dimiliki setiap bank sentral juga harus berupa emas. Dalam hal ini pemerintah Inggris menetapkan nilai poundsterling dengan emas. Karena perkembangan industri dan perdagangan dunia yang berkembang pada abad 19 serta diperkuat dengan ditemukannya tambang emas di Amerika dan Afrika, maka sistem standar emas dipakai oleh banyak negara hingga era Perang Dunia I. Dengan adanya pengaturan dalam standar emas, kurs semua mata uang menjadi baku. Prinsip pokok sistem moneter dengan standar emas klasik adalah bahwa bank sentral setiap negara menjual dan membeli emas berdasarkan harga yang telah ditetapkan. Sementara dalam perdagangan internasional, transaksi-transaksi yang dilakukan harus mengacu pada mata uang Inggris (Poundsterling) konskuensinya bank-bank sentral seluruh dunia dalam menentukan kurs atau nilai tukar standar emas harus mengacu pada kebijakan Bank of England. Persoalan kedua muncul ketika bank sentral mesti mendapatkan emas terbatas dari kegiatan jual beli di sisi lain emas begitu banyak masuk dengan bebas dari pengusaha yang melakukan kegiatan di sektor pertambangan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalam sistem standar emas: sistem di mana uang dalam negeri dijamin penuh dengan emas. Artinya setiap satuan uang tersebut (misalnya, satu rupiah) selalu bisa ditukar dengan emas murni seberat gram tertentu di Bank Sentral. Setelah Perang Dunia Dua sruktur finansial yang muncul adalah sistem Bretton Woods. Pertemuan para wakil dari 44 negara yang berlangsung pada bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hemisphere, Amerika Serikat merupakan momen kelahiran sistem Bretton Woods yang kemudian ditandai dengan pembentukan IMF-International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional) sebagai lembaga keuangan internasional yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dunia pasca Perang Dunia (Gilpin, 1987: 132). Salah satu misi dari terbentuknya lembaga ini adalah menjamin terciptanya full employment dan stabilisasi harga, sekaligus memungkinkan semua negara mencapai keseimbangan eksternal tanpa melakukan pembatasan perdagangan. Sistem Bretton Woods adalah suatu sistem yang mensyaratkan kurs mata uang dipatok dalam emas atau dollar Amerika Serikat. Dalam sistem ini bank-bank pemerintah tiap negara selain AS diwajibkan untuk menjaga nilai kurs mata uang mereka dan dolar. Untuk itu mereka melakukan intervensi terhadap pasar mata uang asing. Bila mata uang satu negara terlalu tinggi terhadap dolar, maka bank pemerintahnya harus menjual mata uangnya dengan dolar agar menjaga nilai tukarnya. Sebaliknya, bila mata uangnya terlalu rendah, mereka harus membeli mata uang mereka sendiri agar menaikkan kembali nilainya.