BLT dan PNPM Tak Otomatis

advertisement
BLT dan PNPM Tak Otomatis
Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Kamis, 25 Juni 2009
JAKARTA (Suara Karya): Program "populis" (merakyat), seperti bantuan langsung tunai
(BLT) dan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) tidak otomatis mampu
mendorong target pertumbuhan ekonomi.
"Daya dorong bagi pertumbuhan ekonomi tidak tinggi, sekiranya program populis
masih diterapkan presiden dan wakil presiden yang memimpin Indonesia dalam lima
tahun ke depan," kata pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri
Adiningsih di Jakarta, Rabu (24/6).
Dia lantas mengusulkan, program populis seperti bantuan langsung tunai (BLT) agar
tidak diberlakukan lagi di masa-masa mendatang. "Program BLT ini hanya memberi
kesan pemerintah bagi-bagi uang dan arahnya dimanfaatkan untuk konsumtif.
Padahal, idealnya merealisasikan program yang hasilnya mendorong pertumbuhan
ekonomi yang ditargetkan di atas enam persen," ujarnya.
Adiningsih lantas pesimistis target pertumbuhan di atas enam persen mampu
terwujud dalam waktu relatif singkat. Target pertumbuhan ini butuh waktu relatif
lama, karena Indonesia juga tergantung pengaruh eksternal (negara maju) yang
masih "tertatih-tatih" dalam menangani krisis ekonomi global. "Dampak krisis
ekonomi global terhadap Indonesia bisa teratasi paling cepat pada 2012-2014
mendatang. Semua tergantung pada perubahan pengelolaan ekonomi dengan perlu
memprioritaskan usaha pengembangan strategis," tuturnya.
Dia mencontohkan, dengan memprioritaskan pengembangan usaha strategis,
Indonesia sebelum era krisis ekonomi 1997-1998 bisa mencapai pertumbuhan
ekonomi sekitar 9-10 persen. Untuk itu, harus dikaji dan diterapkan sektor prioritas
yang realisasinya mendorong pertumbuhan ekonomi. "Semua hanya tergantung
kepada kemauan pemerintah dalam lima tahun ke depan, apakah mau melakukan
terobosan agar Indonesia bisa mengatasi dampak krisis ekonomi global," ujarnya.
Fokus pada pengembangan sektor riil dengan proyek padat karya, lanjut Adiningsih,
merupakan salah satu terobosan mendorong pertumbuhan ekonomi. "Pemerintah
harus memberikan porsi lebih bagi pengembangan sektor riil dengan dukungan
stimulus berupa bunga bank yang rendah. Apalagi, hingga saat ini masih sekitar 16
persen per tahun. Ini membuat masyarakat maupun pengusaha masih enggan
mengajukan kredit guna mengembangkan usaha," kata Sri Adiningsih.
Kredit Minim
Sementara itu, Ketua Masyarakat Profesional Madani, Ismed Hasan Putro
menambahkan, target peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun ke
depan diragukan bisa tercapai, karena pihak perbankan masih mengalami kesulitan
menyalurkan kredit akibat tingginya suku bunga. "Kalau sektor perbankan tidak
jalan, maka pertumbuhan ekonomi sulit akan berkembang. Ini karena pangsa pasar
dan daya beli masyarakat sangat kecil," katanya.
Dia mengatakan, target pertumbuhan ekonomi 2009 sekitar 4,5 persen bisa tercapai
asal kredit perbankan bisa berjalan normal. Jika masih seperti saat ini, maka sulit
untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi sesuai target. "Tidak lancarnya kredit
perbankan saat ini karena tingginya suku bunga, yakni mencapai 16-18 persen,
sedangkan serapan pengusaha dan masyarakat paling mampu dengan suku bunga di
kisaran 12 persen," tuturnya.
Tingginya suku bunga perbankan di Indonesia menunjukkan ketidakberesan dalam
pengelolaan keuangan. Persediaan uang di perbankan juga diragukan kecukupannya.
Kalau memang dana yang tersedia sekarang banyak, pemerintah harus berani
berspekulasi untuk menurunkan suku bunga dan menyalurkan kredit secepatnya.
"Bila suku bunga turun, masyarakat dan pengusaha berlomba mengambil kredit
untuk membuka proyek baru dan peluang usaha, sehingga serapan peluang kerja
akan tinggi," ujarnya.
Lebih jauh Ismed menjelaskan, pemerintah harus berani menggelontorkan stimulus
untuk sektor dunia usaha agar pertumbuhan ekonomi bisa tercapai dan bisa melebihi
target yang ada.
"Pertumbuhan ekonomi di Indonesia setelah krisis keuangan global belum jelas
arahnya. Berbeda dengan pemerintahan Obama (Presiden Barack Obama) di
Amerika Serikat yang menggenjot sektor ekonomi dan menjadikannya prioritas.
Sementara di Tanah Air, hanya dipadati janji-janji politik yang tidak jelas dan semu,"
ucapnya.
Mengeliat
Di sisi lain, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Dr Lana
Soelistianingsih memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia baru akan kembali
menggeliat pada tiga tahun ke depan. "Saya kira prediksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia sekitar 6 hingga 7 persen setelah tahun 2012 dan ini cukup realistis,"
katanya.
Menurut peneliti ekonomi makro ini, target untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6
hingga 7 persen pada 2010 tidak realistis, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia
juga sangat bergantung pada situasi ekonomi global. Bank Dunia memprediksi
bahwa resesi ekonomi global baru akan pulih pada 2012. Dengan demikian, berarti
pertumbuhan ekonomi Indonesia juga baru mulai bangkit pada tahun tersebut.
"Bila target untuk mencapai pertumbuhan tujuh persen pada 2012, saya kira
dimungkinkan di saat ekonomi global telah pulih. Namun, bila ditargetkan lebih awal,
yakni pada 2010 atau 2011, saya kira sulit dan tidak realistis," ujarnya.
Saat ini, lanjut Lana, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mengandalkan pada
kegiatan perekonomian domestik, khususnya di sektor konsumsi masyarakat.
Sementara itu, nilai ekspor masih belum bisa diharapkan akibat dampak krisis
ekonomi global yang masih berlangsung.
"Bila krisis ekonomi global sudah pulih pada 2012, seperti diprediksi Bank Dunia,
maka tentu saja akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia, tentunya
sejalan dengan meningkatnya ekspor. Program yang konkret dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi belum terlihat ada terobosannya. Ini dimaksudkan agar
Indonesia keluar dari ketergatungan pada pihak asing," ujarnya. (Andrian/Antara/A
Choir)
Download