Kinerja Ekonomi Masih Mengandalkan SDA

advertisement
Kinerja Ekonomi Masih Mengandalkan SDA
Jumat, 9 Oktober 2009
JAKARTA (Suara Karya): Kinerja ekonomi Indonesia masih akan ditopang
tingginya harga komoditas/sumber daya alam (SDA) primer, seperti gas
alam, batu bara, minyak kelapa sawit mentah (CPO), dan lainnya.
Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Adiningsih
mengatakan, masih tingginya harga komoditas primer membuat
kondisi perekonomian Indonesia membaik. Apalagi juga didorong
dengan menguatnya kurs rupiah terhadap dolar AS. "Penguatan kurs
rupiah terhadap dolar AS merupakan pertanda bahwa pemulihan
ekonomi mulai membaik. Kondisi ini seperti yang terjadi sebelum krisis
keuangan global dan banyak dana yang mulai masuk untuk investasi,"
katanya di Jakarta, kemarin.
Situasi di Indonesia, menurut dia, juga terjadi di negara berkembang
lain, seperti China, India, dan Argentina. Namun, Sri mengingatkan
penguatan nilai rupiah yang terlalu kuat juga dapat mengakibatkan
harga komoditas ekspor menjadi semakin mahal. "Kondisi ekspor akan
terpukul bila rupiah terlalu menguat, karena harga akan jadi mahal,"
ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan,
ketahanan ekonomi Indonesia pascakrisis keuangan global masih
rapuh. "Kita dapat bertahan dari krisis bukan karena memiliki pondasi
yang kuat, melainkan karena keberuntungan. Apalagi untuk ekspor,
daya saing kita juga masih lemah," katanya.
Menurut dia, ada perubahan mendasar yang terjadi pascakrisis
keuangan global, yaitu kualitas pertumbuhan memburuk dan sektor
industri manufaktur terseok-seok. Ini karena minimnya peran negara
serta adanya ketergantungan kepada pasar. "Kemudian adanya
penurunan investasi dalam sektor riil dan daya saing kita juga terus
merosot. Namun, sisi positifnya adalah surplus transaksi berjalan
dalam neraca pembayaran kita," ujarnya.
Dengan kondisi ini, dia menambahkan, pertumbuhan ekonomi menjadi
sangat timpang dan kesenjangan kian hari menjadi kian besar serta
investasi menjadi turun. "Investasi pada semester I 2009,
pertumbuhannya hanya 3 persen saja. Karena investasi menjadi ujung
tombak, jadi apabila tidak berkesinambungan, maka akan sulit
menjaga permodalan," ujarnya.
Faisal menambahkan, akibat dari kondisi ini, pengentasan kemiskinan
menjadi terhambat, pengangguran tetap tinggi, sektor informal
membengkak, dan kesenjangan kesejahteraan makin melebar. Untuk
itu, ada empat prioritas yang dapat dilakukan. Pertama, pembangunan
sumber daya manusia dengan memperbaiki sistem pendidikan dan
pelayanan kesehatan. "Anggaran pendidikan sebanyak 20 persen dari
APBN harus dimanfaatkan untuk menentukan kualitas pendidikan.
Sedangkan untuk pelayanan kesehatan, kita harus memiliki target
yang jelas, menurunkan jumlah penderita TBC misalnya," tuturnya.
Kedua, adanya harmonisasi sektor tradable (sektor riil) dan nontradable (jasa/keuangan) demi menciptakan pertumbuhan ekonomi
yang sehat dan seimbang. Ketiga, pembenahan infrastruktur. Dan,
keempat, perlu adanya optimalisasi sumber dana bagi pembangunan
yang berkelanjutan.
"Ini terkait dengan pajak, karena tax ratio (perbandingan penerimaan
pajak dan produk domestik bruto) di Indonesia masih rendah, hanya
sekitar 12,1 persen. Dibandingkan Malaysia yang 22,3 persen,
bagaimana kita bisa menjadi negara maju. Karena itu, penerimaan
pajak harus dinaikkan," ucapnya.
Lebih jauh Faisal mengatakan, Indonesia harus lebih berperan di
kancah global, baik secara politik maupun ekonomi. Ini sebagai
konsekuensi menjadi anggota G-20. "Apalagi Indonesia menjadi satusatunya negara ASEAN di G-20. Karena itu, Indonesia tidak boleh
memperjuangkan kepentingannya sendiri," ujarnya.
Menurut Faisal, saat ini sudah ada ide agar Asia menjadi penyeimbang
ekonomi dunia dan memunculkan gagasan untuk menghasilkan
kestabilan ekonomi dunia.
"Misalnya, apabila saat ini negara-negara penghasil minyak akan
menjual ke China, maka kita bisa memakai mata uang yuan atau euro.
Jadi, tidak perlu lagi memakai dolar AS," ujarnya. (Bayu)
Download