riset kps - Perpustakaan BAPPENAS

advertisement
Riset Kurang Mendukung
Pengendalian Penyakit Tropis Tidak Optimal
Selasa, 12 Agustus 2008 | 00:10 WIB
Jakarta, Kompas - Penanggulangan sejumlah penyakit tropis seperti malaria, filariasis atau kaki gajah,
dan kusta atau lepra tidak berjalan secara efektif. Kondisi ini terjadi lantaran penanganan penyakit tropis
tidak didukung pengembangan riset yang memadai serta terintegrasi antarlembaga.
Peneliti dari Tropical Disease Diagnostic Center (TDDC) Universitas Airlangga Surabaya, drh CA Nidom
menyatakan, penyakit tropis jadi faktor dominan dalam percaturan penyakit-penyakit di dunia. Apalagi kini
tidak ada lagi batas wilayah, sehingga orang-orang dari negara sub tropis pun bisa terkena penyakit yang
banyak ditemukan di negara tropis karena perpindahan penduduk.
Penyakit tropis seperti malaria, kusta dan filariasis atau kaki gajah di Indonesia jumlah penderitanya
semakin meningkat dalam lima tahun terakhir. Selain itu, penyebarannya pun hampir menjangkau
seluruh wilayah Tanah Air. (Kompas, 11/8)
Endemis beragam penyakit
Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan wilayah endemis beragam penyakit tropis. ”Indonesia
seharusnya lebih pintar dalam penanganan penyakit tropis. Sayangnya, pengembangan riset penyakit
tropis masih belum mendapat porsi memadai,” kata Nidom.
Padahal, aspek riset penting dalam pengendalian penyakit antara lain, mengetahui variabilitas virus,
dampak pemakaian insektisida terhadap kekebalan nyamuk pembawa penyakit seperti malaria.
Perubahan biologi dari nyamuk bisa menjadi rangsangan terjadinya mutasi kuman atau virus sehingga
lebih ganas dan resisten terhadap obat.
” Tanpa studi epidemiologi, penanganan masalah penyakit tropis di suatu daerah ibarat menembak
dalam gelap. Kita tidak mengetahui efektivitas pengobatan, sejauh mana mutasi virus, sehingga
pemberantasan penyakit akan sulit dilakukan hingga tuntas,” ujarnya menegaskan.
Peneliti senior dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, Senin (11/8), di Jakarta,
menjelaskan, lemahnya kegiatan riset mengakibatkan mayoritas penyakit tropis sulit diatasi termasuk
malaria dan demam berdarah dengue (DBD). Masalah yang dihadapi adalah terjadinya mutasi virus dan
meningkatnya resistensi kuman penyakit terhadap beberapa jenis obat.
Penelitian juga diperlukan untuk menguji sejauh mana efektivitas suatu obat yang akan digunakan di
Indonesia. Selama ini penggunaan obat dari luar negeri hanya ”dikopi” dan diterapkan di Indonesia tanpa
lebih dulu dilakukan riset ilmiah mengenai efektivitas obat itu dan efek sampingnya.
Belum aplikatif
Sementara itu, Deputi Bidang Pengembangan Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Menristek Prof
Amin Soebandrio menilai, kemajuan riset bidang penyakit tropis di Indonesia sudah cukup pesat. Saat ini
ada sejumlah lembaga penelitian yang memfokuskan diri pada riset penyakit tropis di Jakarta maupun di
lembaga perguruan tinggi di sejumlah kota di Tanah Air.
Sejumlah riset yang dilakukan sudah sampai pada tingkat seluler dan molekuler yang nantinya diterapkan
ke tingkat aplikasi klinis yaitu pengembangan deteksi virus dan bakteri, serta pembuatan vaksin. ”Tetapi
memang hasil penelitian yang ada belum aplikatif, masih perlu diuji pada hewan coba, baru kemudian
diuji klinis pada manusia dengan skala luas,” ujarnya.
Lembaga Eijkman sendiri secara aktif mempelajari sejumlah penyakit tropis seperti malaria, demam
berdarah dengue dan hepatitis. Sebagian riset itu berkolaborasi dengan lembaga riset asing seperti
Universitas Oxford. ”Kegiatan riset dilakukan di Indonesia, dan dipublikasikan secara internasional atas
nama staf dari Lembaga Eijkman. Jadi, kedudukan kami sejajar,” ujarnya.
Hasil riset yang dilakukan antara lain berhasil menemukan dasar molekul resistensi kuman terhadap
obat, mutasi gen pada plasmodium valsivarum dan hubungannya dengan resistensi parasit itu terhadap
obat anti malaria di sejumlah daerah endemis seperti Papua.
Dana minim
Sejauh ini, Nidom menilai dukungan pemerintah masih sangat minim terhadap pengembangan riset
penyakit tropis baik dari segi pendanaan maupun fasilitas riset. Di TDDC Unair, misalnya, mayoritas dana
operasional penelitian penyakit tropis diperoleh dari kerja sama dengan lembaga penelitian asing di
antaranya Universitas Kobe Jepang.
Amin Soebandrio mengakui, dukungan pemerintah dalam pendanaan riset masih minim. Saat ini
Kementerian Ristek mengalokasikan anggaran tahun 2008 sebesar Rp 110 miliar untuk enam bidang
penelitian, termasuk kesehatan. Idealnya, tiap bidang mendapat anggaran sekitar Rp 100 miliar. Padahal,
untuk mengembangkan suatu prototipe vaksin satu jenis penyakit, misalnya, butuh dana berkisar Rp 50
miliar hingga Rp 100 miliar.
Hambatan lain adalah, aktivitas penelitian penyakit tropis berjalan sendiri-sendiri tanpa ada jejaring yang
kuat. Hal ini menyebabkan daya jangkau penelitian rendah, dana penelitian yang diperoleh terbatas,
aktivitas penelitian yang dikerjakan juga kadang tumpang tindih. (EVY)
Download