KTT G-20 Jadi Ajang Perang Kurs

advertisement
KTT G-20 Jadi Ajang Perang Kurs
BERTOLAK KE SEOUL - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono melambaikan tangan saat memasuki
pesawat kepresidenan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (11/11). Kepala Negara beserta rombongan
bertolak ke Seoul, Korea Selatan, untuk menghadiri KTT G-20 yang dilanjutkan menuju ke Yokohama, Jepang, untuk
menghadiri KTT APEC. (Antara)
Jumat, 12 Nopember 2010
SEOUL (Suara Karya): Forum pertemuan pimpinan negara Kelompok Dua Puluh (G-20) di
Seoul, Korsel, tak terhindarkan lagi menjadi arena perang kurs antara AS dan sekutunya di
satu pihak, serta China plus Jerman dan Brasil di pihak lain.
Sebagai negara anggota, Indonesia sendiri ambil bagian dalam perhelatan akbar G20 di Seoul ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin bertolak ke Seoul
melalui Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, untuk mengikuti pertemuan puncak
yang berakhir Jumat ini. Presiden didampingi Menko Perekonomian Hatta Rajasa,
Mensesneg Sudi Silalahi, Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung, dan
sejumlah pejabat tinggi lain.
Kemarin, Amerika Srikat (AS) kembali menuduh China terus mempertahankan mata
uang secara artifisial rendah untuk meningkatkan ekspor. China sendiri melawan
dengan lagi-lagi mengkritik keras kebijakan mata uang AS.
Setelah bank sentral AS -- Federal Reserve -- memulai upaya bernilai 600 miliar
dolar untuk menopang ekonomi AS, China bersama Jerman dan Brasil menuduh AS
memaksa kurs dolar turun agar perdagangan AS kembali menuju kemakmuran.
Menjawab serangan China dan Jerman itu, Presiden AS Barack Obama merasa perlu
melontarkan komitmen mendorong terus pertumbuhan ekonomi AS secara "hatihati" dan "stabil". "Kami ingin memastikan bahwa kami meningkatkan tingkat
pertumbuhan ekonomi di dalam maupun di luar negeri," kata Obama dalam
konferensi pers bersama Presiden Korsel Lee Myung-bak di sela perhelatan KTT G-20
di Seoul kemarin.
Presiden China Hu Jintao sendiri berikrar meningkatkan dialog dan kerja sama
dengan AS. "Yang saya khawatirkan, ini (desakan AS dan sekutunya) adalah
perangkap negara maju untuk memainkan kembali nilai tukar (kurs) agar kondisi
perekonomian di negara-negara itu bisa bergerak lebih cepat," tutur Hu.
Tapi Presiden Obama dalam pembicaraan dengan Hu di Seoul mengatakan, kedua
pihak memiliki tanggung jawab untuk bekerja bersama untuk menjamin
pertumbuhan ekonomi yang kuat dan seimbang. Sementara Presiden Hu Jintao
menyatakan, China siap bekerja sama dengan AS untuk meningkatkan dialog,
melakukan pertukaran dan kerja sama. "Dengan demikian, kami bisa mengarahkan
hubungan China-AS pada jalur yang positif, kooperatif, dan komprehensif," kata Hu.
Sementara itu, PM Inggris David Cameron mengatakan, pemulihan ekonomi global
tidak dapat dicapai oleh pertumbuhan cepat ekonomi negara berkembang saja.
Bagaimanapun, katanya, ekonomi negara berkembang harus bergerak dan berjalan
beriringan dengan pertumbuhan ekonomi di negara maju.
"Risiko utama dunia bukan inflasi di negara maju, di mana ekspektasi inflasi relatif
stabil pada tingkat rendah, tetapi terletak pada rendahnya kinerja ekonomi negara
maju," kata Cameron.
Menurut dia, ekonomi negara berkembang yang sementara ini tumbuh dengan cepat
secara kolektif hanya mewakili sekitar sepertiga output global. Artinya, pertumbuhan
keseluruhan untuk dunia masih tidak cukup kuat.
Untuk mengatasi itu, Cameron mengusulkan pemulihan dua jalur, yaitu
keseimbangan pola pertumbuhan dan mengembangkan kerangka baru untuk kerja
sama yang memungkinkan nilai tukar mencerminkan fundamental ekonomi dan
dukungan yang diperlukan reformasi struktural.
Sementara itu, ekonom Ichsanuddin Noorsy mengatakan, Indonesia harus mampu
memainkan peran penting tanpa memihak salah satu kubu, baik AS maupun China,
dalam pertemuan G-20 di Seoul.
Menurut dia, Indonesia dalam kondisi terjepit, yakni mengikuti sikap China yang
berarti mengingkari perjanjian kemitraan strategis dengan AS, atau mengikuti
langkah AS yang juga berpotensi membahayakan perekonomian domestik Indonesia
karena kuatnya posisi neraca pembayaran Indonesia terhadap China.
"Dari situasi itu, semestinya Indonesia menjalankan kebijakan ekonomi politik yang
tidak memihak," ujar Noorsy.
Untuk itu, menurut dia, cara tidak memihak itu adalah dengan melokalisasi perang
mata uang antara AS dan China yang kini makin menguat.
"Jadi, peperangan Dolas AS dengan Yuan RRC biarlah menjadi peperangan dua
negara, tidak menjadi peperangan AS dengan sekutunya melawan RRC dengan
mitranya di tubuh G-20," kata dia.
Selain itu, dia menilai, Indonesia juga seharusnya mencegah peperangan itu
merembes ke Bank Dunia, IMF, dan WTO, sebagaimana telah disebutkan oleh
Perdana Menteri China Hu Jian Tao. Hal ini berarti Indonesia wajib mengusulkan pola
perdagangan internasional yang transparan dan adil serta tidak menciptakan pola
ketergantungan.
Dia juga mengatakan, model hegemoni ekonomi harus ditolak Indonesia sehingga
tercapai kesetaraan dan kesejajaran hubungan ekonomi politik internasional. Dengan
demikian, AS tidak bertindak sebagai penguasa dunia dan juga tidak merasa berhak
menegakkan pemerintahan dunia di bawah kepemimpinannya (one world
governance).
"Jika ini yang diperjuangkan Indonesia, pasti nama Indonesia harum dan harkat
bangsa akan kembali terangkat. Karena itu, pola-pola atau model-model kapitalisme
korporasi untuk hajat hidup orang banyak mestinya dihentikan dan dibicarakan,
sebab pola itu terbukti telah berkali-kali membuat ekonomi AS ambruk," tutur
Noorsy.
Di tempat terpisah, Program Officer Sekretariat Nasional Koalisi Anti Utang (KAU)
Yuyun Harmono menilai, pertemuan G-20 yang berlangsung pada 11-12 November
2010 bukanlah langkah penyelesaian krisis. Justru, menurut dia, akan semakin
memperdalam krisis yang dihadapi umat manusia di seluruh penjuru dunia dewasa
ini.
"Dari proposal utama G-20 Summit, terlihat hanya sebatas melanjutkan kebijakankebijakan dalam menyelesaikan krisis dengan resep-resep neoliberal, seperti
deregulasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan, investasi model kolonial, serta
utang luar negeri," kata Yuyun Harmono.
Apalagi, menurut Yuyun, dalam proposal G-20 terlihat arah pembangunan yang
semata-mata ditujukan pada pertumbuhan ekonomi yang berakibat mendalam
terhadap kesenjangan pendapatan antarnegara serta kemiskinan mayoritas kaum
buruh dan masyarakat. "Jadi, G-20 tidak membahas sama sekali akar dari krisis ini,"
ucapnya.
Lebih jauh dia mengatakan, G-20 memandang bahaya terbesar dari ekonomi global
saat ini adalah proteksionisme. "Kelompok ini merekomendasikan agenda
pedagangan bebas secara lebih menyeluruh dan murni. Padahal, agenda
perdagangan bebas yang telah disepakati melalui WTO dan FTA telah menjadi
sumber dari kemiskinan negara-negara berkembang pada khususnya," kata dia.
Hal lain yang sangat mencengangkan, lanjut dia, G-20 juga tidak mempersoalkan
monopoli mata uang dolar AS dalam ekonomi global. Monopoli dolar AS dari
likuiditas finansial mereproduksi ketidakseimbangan global, dan bersamaan dengan
agenda deregulasi finansial memaksa negara yang mengeluarkan mata uang selain
dolar AS, Yen, dan Euro, untuk mengakumulasi cadangan dengan cara yang defensif.
"Sehingga memberikan dampak positif kepada monopoli dolar AS dan mengorbankan
sumber daya untuk investasi yang produktif, penciptaan lapangan kerja, dan
generasi yang sejahtera," tuturnya.
Karena itu, Yuyun mengatakan, dominasi dolar AS telah meningkatkan ancaman bagi
negara-negara miskin terhadap serangan mata uang asing. Perang mata uang
(currency war) yang terjadi menjelang pertemuan G-20 di Seoul, menurutnya,
merupakan bentuk ancaman yang sangat membahayakan bagi stabilitas ekonomi
negara berkembang dan negara miskin.
"Kami menilai, krisis tidak bisa diselesaikan dengan cara memperkuat peran lembaga
keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Yang harus dilakukan justru
menghentikan kekuatan lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut dalam
mengontrol pembangunan," ujar dia.
Selain itu, penyaluran pinjaman-pinjaman yang tidak sah di masa lalu juga
menyebabkan negara berkembang dan negara miskin terjerumus dalam perangkap
neoliberal serta mengakumulasi beban utang yang sangat besar. Dia mengatakan,
penambahan kuota bagi negara berkembang di kedua lembaga tersebut, katanya,
merupakan ilusi bagi terciptanya sebuah tatanan dunia yang lebih adil. "Selain tidak
berdampak bagi perubahan fundamental di dalam lembaga tersebut, penambahan
kuota juga tidak menggeser dominasi AS di dalamnya," katanya.
Karena itu pula, Yuyun menegaskan, KAU menolak segala bentuk manipulasi isu-isu
perubahan iklim, krisis pangan, krisis sosial untuk kepentingan kapitalisme, dan
menuntut perusahaan multinasional dan pemerintah negara maju untuk membayar
semua kerusakan yang ditimbulkan oleh krisis. KAU juga menolak segala bentuk
utang luar negeri bagi negara-negara miskin yang telah terbukti menjadi penyebab
keterbelakangan di segala aspek kehidupan.
"Kami menuntut satu penyelesaian fundamental dengan mengganti sistem ekonomi
politik neoliberal, yang mendominasi selama ini, dan mendesak kerja sama yang
setara di antara negara-negara senasib serta solidaritas kaum buruh, petani, dan
kaum miskin untuk menyelesaikan masalah-masalah global secara lebih
fundamental. Se;ain itu juga membangun sistem alternatif yang berkeadilan bagi
kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat" katanya. (AP/A Choir/Kentos)
Download