Rupiah Kian Sulit Diprediksi

advertisement
Rupiah Kian Sulit Diprediksi
@ Sistem Keuangan Sangat Neoliberal
Rabu, 24 Juni 2009
JAKARTA (Suara Karya): Semakin terpuruknya nilai tukar rupiah diyakini sebagai gambaran
dari dampak neoliberalisme sistem keuangan Indonesia. Tak ada fundamental ekonomi
yang mumpuni, yang ada adalah pasar yang bubble dan mudah dipermainkan.
Demikian diungkapkan ekonom Econit Hendri Saparini dan ekonom UGM Sri
Adiningsih dalam percakapan dengan Suara Karya, kemarin. "Ini gambaran betapa
kita sangat liberal di sektor finansial, pasar sangat mudah dipermainkan, sehingga
nilai tukarnya pun makin sulit untuk diprediksi," kata Hendri Saparini.
Diakui Hendri, dana asing yang masuk begitu besar di pasar saham dan uang
semakin membuat ekonomi global buble. "Tidak ada perbaikan fundamental sama
sekali di sini, yang ada permainan spekulan dan kita semakin sulit memprediksi nilai
tukar saat ini," katanya.
PER Terlampau Tinggi
Ekonom UGM Sri Adiningsih sepakat bahwa aliran dana masuk sangat volatile yang
menggerakkan rupiah. "Aliran dana inilah yang membuat rupiah jungkir balik,
terutama yang portofolio. Bukan ekspor impor tentunya, atau utang-piutang negara,
dana-dana panaslah sekarang yang lebih banyak memengaruhi nilai tukar kita,"
katanya.
Dia mengatakan, selain faktor dalam negeri dipengaruhi pemulihan ekonomi dunia.
Di sisi lain price earning ratio (PER) juga sudah terlalu mahal, sehingga tidak
mengherankan jika pemodal melakukan aksi jual. "Sulit memprediksi nilai tukar,
semua tergantung pasar tentunya. Aliran modal masuk itu tak ada yang bisa
mengendalikan tentunya," kata dia.
Pengamat pasar uang Farial Anwar pun sepakat bahwa liberalisme pasar uang
Indonesia sudah benar benar luar biasa. Sehingga, aliran dana asing masuk tak
terkendali, tak ada regulasi yang bisa mencegahnya. Dia mengatakan, adalah
mustahil rupiah bisa menguat lagi di bawah Rp 10.000, terlebih ada banyak
kepentingan yang membuat rupiah tak bisa sekuat itu. "Saat bisa ke posisi itu, BI
malah menahannya, sekarang semakin sulit," katanya.
Sejak pembukaan perdagangan kemarin, rupiah terus mengalami kerontokan. Selasa
pagi merosot tajam menembus angka Rp 10.500 per dolar karena pelaku pasar aktif
membeli dolar.
Dirut PT Finan Corpindo Nusa, Edwin Sinaga, di Jakarta, Selasa, mengatakan,
merosotnya rupiah hingga Rp10.500 per dolar itu di luar dugaan. Karena
sebelumnya diperkirakan Bank Indonesia (BI) akan menjaga rupiah pada kisaran Rp
10.000 sampai Rp 10.500 per dolar.
Para pelaku pasar pada perdagangan pagi biasanya membeli dolar dalam jumlah
besar sehingga menekan rupiah hingga berada di atas level Rp 10.500 per dolar.
Posisi rupiah yang mencapai Rp 10.530 per dolar, itu karena pasar panik setelah
perbaikan ekonomi global masih belum tampak, bahkan cenderung semakin
menekan pasar. (Nunun)
Download