Proses Pemulihan Terhadap Korban Kekerasan Seksual pada Anak di Yayasan Pulih Jakarta Seminar Ilmu Kesejahteraan Sosial Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Lulus Dalam Mata Kuliah Seminar DISUSUN OLEH : KAYLA DYAH PRATAMASARI 2016220015 PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA JAKARTA MARET 2020 KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Laporan Seminar ini. Penulisan Laporan Seminar ini merupakan salah satu syarat untuk lulus dalam mata kuliah Seminar Kesejahteraan Sosial pada Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak tidak mudah untuk menyelesaikan Laporan Seminar ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Allah SWT. Yang telah melancarkan segala urusan saya selama mengerjakan Laporan Seminar ini. 2. Ayahanda dan Ibunda tercinta Trihono Satyawan dan Retno TriKristaniati yang telah sabar mengahadapi emosi penulis dan selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi penulis. Semoga ayahanda dan ibunda selalu diberikan kesehatan dan umur yang barokah. 3. Bapak Ruli Junarso selaku Dosen Pembimbing. 4. Adik tercinta Troy Aprillio Herlambang yang telah menjadi motivasi dan semangat bagi penulis. 5. Teman-teman terdekat yang telah membantu dalam penyusunan kalimatkalimat dan tetap memberikan masukan dan nasehat. 6. Rahmat Fajar Nugroho, terima kasih selalu mendengarkan keluh kesah perihal Laporan Seminar, memberikan motivasi, serta tak henti - hentinya mengingatkan untuk menjaga kesehatan serta menemani mencari berbagai refrensi bacaan. 7. Bini Hansip Squad yang telah menemani, membantu mengoreksi penulis. Saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat Penulis harapkan. Akhir kata, semoga Laporan Seminar ini dapat membawa manfaat dan pengembangan ilmu. Jakarta, April 2020 Penulis, Kayla Dyah Pratamasari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. Anak dalam agama adalah karunia dari Tuhan yang harus dijaga, dirawat, di didik oleh kedua orang tuanya. Pengertian Anak dan Hak Anak Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 1 menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Masa kanak-kanak sering disebut dengan “Golden age Periode”. Menurut ahli, pada masa itu pertumbuhan inteletual terjadi 40% pada anak usia 0-4 tahun, meningkat menjadi 80% pada usia anak 8 tahun, dan selanjutnya menjadi 100% pada usia 18 tahun. Pada rentang usia tersebut, khususnya 0-8 tahun, orangtua hendaknya berhati-hati memperlakukan anaknya, jangan sampai terjadi goresan-goresan yang melukai anak baik fisik maupun psikisnya yang berdampak terhadap tumbuh kembang anak. Di Indonesia saat ini banyak sekali kasus tentang kekerasan pada anak, salah satu nya adalah kekerasan seksual pada anak. kekerasan seksual (Terry Lawson, 2008), yaitu setiap perbuatan berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu (Huraerah, 2008). Kekerasan seksual dapat berupa tindakan oralgenital, genital-genital, genital-rektal, tangan-genital, tangan-rektal, tangan-payudara, pemaparan anatomi seksual, melihat dengan paksa, dan menunjukkan pornografi. Kekerasaan seksual (Tobach, 2008) biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (Kurniawati, 2013). Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang spesifik, yaitu penetrasi seksual tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Kurniawati, 2013). Sepanjang tahun 2013, kasus pelanggaran hak anak masih didominasi oleh kekerasan terhadap anak. Selain kasus kekerasan fisik, ditemukan juga banyak kasus kekerasan seksual. Berdasarkan data yang dipantau Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak diketahui pada tahun 2013 terjadi kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 1.620 kasus. No. Kekerasan Terhadap Anak Kasus Persentase 1. Kekerasan Fisik 490 30% 2. Kekerasan Psikis 313 19% 3. Kekerasan Seksual 817 51% Hal yang melatarbelakangi terjadinya kasus kekerasan seksual pada anak adalah : No. Latar Belakang Kasus Kasus Persentase 1. Terpengaruh media pornografi 81 8% 2. Terangsang dengan korban 178 17% 3. Hasrat tersalurkan 298 29% Pemulihan membutuhkan hubungan yang saling menguatkan dan setara antara korban, pendamping dan komunitas. 1. Hubungan antara korban dan pendamping yang setara: Pendampingan membantu atau memfasilitasi korban untuk mampu menemukan kembali sumber-sumber kekuatannya sehingga korban mampu mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya. Fasilitasi mencakup pembahasan pilihan-pilihan yang ada dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan itu, dan bukan dengan memberikan perintah atau nasehat. 2. Penguatan korban oleh komunitas Korban membutuhkan dukungan komunitas untuk pulih. Karena itu, menggalang dukungan komunitas merupakan bagian integral dari proses pemulihan korban. Dukungan komunitas ditunjukan dengan menyokong pilihan atau keputusan korban, atau sikap bersahabat dengan tidak memberikan stigma atau pengucilan. Komunitas mendukung kerja pendampingan dengan (i) tidak mengganggu atau menghambat proses pendampingan, dan (ii) ikut memainkan peran dalam menyediakan perlindungan dan kesempatan bagi proses pemulihan bagi korban. Di Jakarta kasus kekerasan seksual pada anak lebih banyak terjadi di kalangan siswa Sekolah Dasar. Tinginya kasus kekerasan seksual di jenjang SD dikarenakan usia anak SD adalah usia yang rentan. Mudah diiming-imingi, takut diancam oleh orang dewasa dan lain sebagainya. Selain itu, anak juga belum paham aktivitas seksual sehingga anak-anak tersebut tidak menyadari kalau dirinya mengalami pelecehan seksual. Adapun modus yang dipakai oleh pelaku kekerasan seksual adalah korban diiming-imingi uang puluhan sampai ratusan ribu yang dimana untuk anak usia SD termasuk banyak. Atau mereka diancam oleh pelaku sehingga anak tersebut memilih bungkam. Sumber : UPT P2PT2A Provinsi DKI Jakarta Ada 4 jenis kekerasan yang ditangani oleh P2PT2A yaitu, KDRT, kekerasan seksual, trafficking, dan kasus lain. Jumlah kasus KDRT yang ditangani selama 8 bulan (Januari-Agustus) tersebut ada 335 kasus, paling banyak terjadi di bulan Februari. Untuk kasus kekerasan seksual total selama 8 bulan ada 169 kasus dengan jumlah hampir rata setiap bulannya, sedangkan untuk trafficking ada 15 kasus yang paling banyak terjadi bulan April, tetapi jika dibandingkan dengan jenis kekerasan lainnya trafficking sudah idak ada lagi bulan Mei-Agustus, dan untuk jenis kasus lainnya ada 98 kasus. Masa kanak-kanak adalah dimana anak sedang dalam proses tumbuh kembangnya. Oleh karena itu, anak wajib dilindungi dari segala kemungkinan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan. Upaya perlindungan terhadap anak harus diberikan secara utuh, menyeluruh dan komprehensif, tidak memihak kepada suatu golongan atau kelompok anak. Salah satu upaya pemulihan dan penanganan anakanak korban Berikut beberapa proses pemulihan dan penanganan korban kekerasan seksual pada anak : Pemulihan adalah sebuah proses yang berkesinambungan dan bersifat personal 1. Berkesinambungan Proses menjadi pulih tidak terhenti di satu titik. Proses ini juga tidak selalu menuju arah maju, melainkan bisa maju-mundur, naikturun, atau juga ada masa stagnan/macet. 2. Personal Setiap korban membutuhkan waktu dan acara yang berbeda untuk merasa pulih. Ukuran pulih bersifat subjektif, yaitu tergantung pada penilaian korban. 3. Dinamis Proses pemulihan akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perubahan kebutuhan korban. Alur dan metode pemulihan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan keputusan korban. Pemulihan membutuhkan hubungan yang saling menguatkan dan setara antara korban, pendamping dan komunitas. 1. Hubungan antara korban dan pendamping yang setara: Pendampingan membantu atau memfasilitasi korban untuk mampu menemukan kembali sumber-sumber kekuatannya sehingga korban mampu mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya. Fasilitasi mencakup pembahasan pilihan-pilihan yang ada dan konsekuensikonsekuensi dari pilihan-pilihan itu, dan bukan dengan memberikan perintah atau nasehat. 2. Penguatan korban oleh komunitas Korban membutuhkan dukungan komunitas untuk pulih. Karena itu, menggalang dukungan komunitas merupakan bagian integral dari proses pemulihan korban. Dukungan komunitas ditunjukan dengan menyokong pilihan atau keputusan korban, atau sikap bersahabat dengan tidak memberikan stigma atau pengucilan. Komunitas mendukung kerja pendampingan dengan (i) tidak mengganggu atau menghambat proses pendampingan, dan (ii) ikut memainkan peran dalam menyediakan perlindungan dan kesempatan bagi proses pemulihan bagi korban. Dalam mengembangkan berbagai layanan sosial (social services) pada masyarakat pekerja sosial mempunyai berbagai nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip dalam melakukan praktik perubahan sosial terencana (intervensi sosial). Dalam kaitan dengan nilai dan prinsipprinsip dasar ini, Zastrow (2010) melihat tiga komponen dasar yang harus di pertimbangkan dalam melakukan dan mengembangkan praktisi di bidang pekerjaan sosial. a. Pengetahuan (knowledge) Menurut pendapat Kahn (1969), pengetahuan adalah pemahaman teoritis ataupun praktis yang terkait dengan cabangcabang ilmu pengetahuan; belajar dan seni yang melibatkan penelitian maupun praktik serta pengembangan keterampilan. Bagi para praktisi yang berada di Yayasan Pulih harus memiliki pengetahuan untuk mampu mengetahui cara untuk membantu penyembuhan dari klien nya. b. Nilai (value) Pincus dan Minahan (1973:38), menyatakan nilai adalah keyakinan, preferensi ataupun asumsi mengenal apa yang diinginkan atau dianggap baik oleh manusia. Pincus dan Manahan dalam Zastrow (2010), melihat nilai bukan sebagai sesuatu yang kita lihat dari dunia kita berdasarkan apa yang kita ketahui, akan tetapi nilai lebih terkait dengan apa yang seharusnya terjadi. Praktisi di Yayasan Pulih harus memiliki kemampuan untuk meyakinkan bahwa kliennya bisa melewati masa itu, praktisi juga harus membangun semangat dan mengubah persepsi klien agar klien mempunyai pandangan dan pikiran yang jernih untuk mengatasi masalahnya sendiri. c. Keterampilan (skill) Keterampilan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu profesi pemberian bantuan (helping profession), serta menjadi prasyarat bila profesi itu ingin berkembang. Secara definitive, keterampilan didefinisikan sebagai kemampuan, keahlian ataupun kemahiran yang diperoleh dari praktik dan pengetahuan. Di sini, keterampilan tidak muncul sekedar dari suatu uji coba belaka, tetapi keterampilan muncul karena adanya keterkaitan dengan pengetahuan yang dipelajari oleh seseorang agen perubahan. Selain nilai-nilai dasar praktik Pekerjaan Sosial, Midgley (1981: 12-15) mengemukakan ada lima prinsip dasar sedangkan Maas (1977) mengemukakan ada enam prinsip dasar yang menjadi landasan para praktisi yang bergerak di level mikro. a. Penerimaan (acceptance) Prinsip ini mendasar melihat bahwa praktisi harus berusaha menerima klien mereka apa adanya, tanpa „menghakimi‟ klien tersebut. Kemampuan praktisi untuk menerima klien-nya dengan sewajarnya akan dapat banyak membantu perkembangan relasi antar mereka. Seorang praktisi di Pulih harus menerima keadaan klien dengan apapun latar belakangnya. Dapat membaur dengan klien agar memudahkan menyelesaikan masalah klien tersebut. b. Komunikasi (communication) Prinsip komunikasi ini berkaitan erat dengan kemampuan praktisi untuk menangkap informasi ataupun pesan yang dikemukakan oleh klien. Pesan yang disampaikan klien dapat berbentuk pesan verbal, yang diungkapkan oleh klien melalui ucapannya. Atau pesan yang berbentuk non-verbal, misalnya dari cara duduk klien, cara klien menggerakkan tangan, cara klien meletakkan tangan, dan lain sebagainya. Dari pesan non verbal tersebut kita bisa menangkap apakah klien tersebut merasa gelisah, cemas, takut, gembira, marah dan sebagainya. Bila suatu ketika klien tidak dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya, praktisi diharapkan dapat membantu klien tersebut untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan. Praktisi di Pulih juga harus pandai berkomunikasi untuk membangun semangat dari klien tersebut. Dapat memahami kondisi klien serta dapat membaca bahasa non verbal dari klien itu sendiri. c. Individualisasi (individualization) Prinsip ini, pada intinya menganggap setiap individu berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga seorang praktisi harus berusaha memahami satu keunikan dari setiap klien. Karena itu, dalam proses pemberian bantuab harus berusaha mengembangkan intervensi yang sesuai dengan kondisi kliennya agar mendapatkan hasil yang optimal. Setiap keadaan seseorang sudah pasti berbeda-beda, seorang praktisi tidak diperbolehkan untuk menggaris samakan kliennya dengan kliennya yang lain. Karena dapat membuat klien semakin terkurung oleh masalahnya sendiri dan menganggap tidak ada yang bisa membantu mengeluarkan dirinya dari masalah yang dia hadapi. untuk d. Partisipasi (participation) Pada prinsip ini, praktisi didorong untuk menjalankan peran sebagai fasilitator. Dari peran ini, praktisi diharapkan akan mengajak kliennya untuk berpartisipasi aktif dalam menghadapi permasalahan yang dihadapinya. Karena tanpa partisipasi aktif dari klien, maka tujuan dari terapi tersebut sulit untuk dicapai. Dalam prinsip ini, tergambar bahwa „perbaikan‟ kondisi seseorang bukanlah hasil kerja dari praktisi itu sendiri. Tetapi rasa tanggung jawab dan keinginan yang sungguh dari klien untuk memperbaiki kondisinya justru menjadi kunci keberhasilan dari proses pemberian bantuan ini. Yayasan Pulih menugaskan seorang praktisi untuk menjadi fasilitator yang dapat membantu mengatasi semua maslah klien. Seorang praktisi di Pulih harus mendengarkan semua keluh kesah klien agar klien tersebut dapat kembali ke fungsi sosialnya dengan normal. e. Kerahasiaan (confidentiality) Dalam prinsip ini, praktisi harus menjaga kerahasiaan dari kasus yang sedang ditanganinya. Sehingga kasus itu tidak dibicarakan dengan sembarang orang yang tidak terkait dengan penanganan kasus tersebut.praktisi baru dapat membicarakan kasus tersebut ketika kasus tersebut sedang dibahas dalam suatu tim kerja. Seorang praktisi juga harus dapat menjaga kerahasiaan kliennya agar kliennya merasa aman. Tidak di perbolehkan membicarakan semua masalah klien dengan orang lain bahkan dengan klien yang lainnya. Terkecuali dengan tim kerjanya agar dapat membantu cara penyelesaian masalah klien. f. Kesadaran diri petugas (work self-awareness) Prinsip ini menuntut praktisi untuk bersikap professional dalam menjalin relasi dengan kliennya. Dalam arti bahwa, praktisi harus mampu mengendalikan dirinya sehingga tidak terhanyut oleh perasaan ataupun permasalahan yang dihadapi oleh kliennya. Praktisi disini harus lah tetap rasional, tetapi mampu untuk menyelami perasaan kliennya secara objektif. Dengan kata lain, praktisi haruslah menerapkan sikap empati dalam menjalin relasi dengan kliennya. Seorang praktisi harus bersikap professional dengan kliennya sekalipun dengan klien yang sudah dikenal atau mempunyai hubungan kerabat. Profesionalitas di junjung tinggi oleh praktisi agar tidak pandang bulu dengan klien yang lainnya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis merumuskan masalah penelitian “Bagaimana proses pemulihan Korban Kekerasan Seksual Pada Anak di Yayasan Pulih di Jakarta?” 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan Proses Pemulihan Korban Kekerasan Seksual Pada Anak di Bawah Umur di Yayasan Pulih di Jakarta. 1.4 Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan di dalam perkuliahan Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya dalam mata kuliah ilmu kesejahteraan sosial, metode penelitian kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial dan Metode Pekerjaan Sosial dengan Individu dan Keluarga. 2. Kegunaan Praktis Adapun kegunaan praktis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Kegunaan bagi Peniliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam menambah wawasan serta sebagai salah satu rujukan untuk meneliti lebih lanjut tentang permasalahan yang sama dalam konteks yang berbeda kedepannya. b. Kegunaan bagi Yayasan Pulih Jakarta yang telah terbantu tugasnya oleh Mahasiswi dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dalam pelaksanaan proses pemulihan korban kekerasan seksual pada anak serta untuk pihak institut atau lembaga berguna sebagai literatur bagi peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian yang sama. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi seluruh mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa. 1.5 Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman mengenai penulisan dalam penelitian ini maka anak diuraikan rencana sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang masalah, masalah pokok, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : LATAR BELAKANG TEORI Terdiri dari kerangka konseptual dan kerangka pemikiran. BAB III : METODE PENELITIAN Terdiri dari desain penelitian, pendekatan penelitian, metode penelitian, sifat penelitian, definisi konsep, teknik pemilihan informan, teknik pengumpulan data, teknik analisis data. BAB II LATAR BELAKANG TEORI 2.1 Kerangka Konseptual Kerangka konseptual ini akan menjelaskan teori dan konsep yang mendasari masalah pokok penelitian yaitu mengenai “Proses Pemulihan Terhadap Korban Kekerasan Seksual pada Anak Dibawah Umur di Yayasan Pulih Jakarta“ berdasarkan masalah penelitian tersebut, maka penulis meninjau beberapa konsep diantaranya : 1. Tinjauan konsep tentang Proses Pemulihan 2. Tinjauan konsep tentang Kekerasan Terhadap Anak 2.1.1 Tinjauan Konsep Tentang Proses Pemulihan Pemulihan adalah sebuah proses yang berkesinambungan dan bersifat personal. 1. Berkesinambungan Proses menjadi pulih tidak terhenti di satu titik. Proses ini juga tidak selalu menuju arah maju, melainkan bisa maju-mundur, naik-turun, atau juga ada masa stagnan/macet. 2. Personal Setiap korban membutuhkan waktu dan acara yang berbeda untuk merasa pulih. Ukuran pulih bersifat subjektif, yaitu tergantung pada penilaian korban. 3. Dinamis Proses pemulihan akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perubahan kebutuhan korban. Alur dan metode pemulihan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan keputusan korban. Pemulihan membutuhkan hubungan yang saling menguatkan dan setara antara korban, pendamping dan komunitas. 1. Hubungan antara korban dan pendamping yang setara: Pendampingan membantu atau memfasilitasi korban untuk mampu menemukan kembali sumber-sumber kekuatannya sehingga korban mampu mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya. Fasilitasi mencakup pembahasan pilihan-pilihan yang ada dan konsekuensikonsekuensi dari pilihan-pilihan itu, dan bukan dengan memberikan perintah atau nasehat. 2. Penguatan korban oleh komunitas Korban membutuhkan dukungan komunitas untuk pulih. Karena itu, menggalang dukungan komunitas merupakan bagian integral dari proses pemulihan korban. Dukungan komunitas ditunjukan dengan menyokong pilihan atau keputusan korban, atau sikap bersahabat dengan tidak memberikan stigma atau pengucilan. Komunitas mendukung kerja pendampingan dengan (i) tidak mengganggu atau menghambat proses pendampingan, dan (ii) ikut memainkan peran dalam menyediakan perlindungan dan kesempatan bagi proses pemulihan bagi korban. Keberlanjutan pemulihan bagi korban dapat dilakukan dengan: 1. Menyelenggarakan proses kaderisasi secara terus menerus untuk memastikan tersedianya pendamping-pendamping yang kompeten untuk menjalankan pemulihan makna luas. 2. Melakukan dokumentasi dan forum pembelajaran dan refleksi untuk menguatkan pemahaman dan keberlanjutan pemulihan dengan makna luas. 3. Memastikan komunikasi dan koordinasi yang baik antar pendamping dan jaringan untuk keberlanjutan pemulihan korban. Hal ini penting terutama bila antar pendamping dan di dalam jaringan terdapat perbedaan visi yang akan berimplikasi pada metode dan mekanisme kerja pendampingan. Tujuannya adalah untuk memastikan agar tidak terjadi tumpang tindih dan pengulangan dalam proses yang justru menghambat pemulihan bagi korban(Komnas Perempuan, 27 Juli 2007). Supriyadi (2016), bersandar pada Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, yang diadopsi Mejelis Umum PBB melalui Resolusi 60/147 tanggal 16 December 2005, menyebutkan bahwa bentuk-bentuk pemulihan yang dapat dinikmati oleh korban, di dalamnya meliputi sejumlah hak, yaitu meliputi: (1) restitusi, (2) kompensasi, (3) rehabilitasi, dan (4) kepuasan (satisfaction), dan (5) jaminan non-pengulangan (guarantees of non-repetition). Meskipun diakui bahwa secara umum tidak mungkin untuk mengembalikan korban pada situasi awal, sebelum pelanggaran terjadi, dengan sejumlah hak tersebut diharapkan korban dapat dipulihkan pada keadaan semula, bersandar pada prinsip restitutio in integrum. Dengan restitusi, korban dapat dipulihkan kebebasan, hak-hak hukum, status sosial, kehidupan keluarga dan kewarganegaraan, kembali ke tempat tinggalnya, pemulihan pekerjaannya, serta dipulihkan asetnya. Sementara kompensasi dipahami untuk menyertakan setiap kerusakan ekonomis akibat kejahatan itu, termasuk "kerusakan fisik maupun mental, termasuk rasa sakit, penderitaan dan gangguan emosi, kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan, kerusakan material dan hilangnya pendapatan, termasuk juga di dalamnya kehilangan potensi penghasilan; membahayakan reputasi atau martabat; dan biaya yang diperlukan untuk bantuan hukum atau ahli, obat-obatan dan layanan medis, dan pelayanan psikologis dan sosial. Rehabilitasi meliputi perawatan medis dan psikologis, serta hukum dan pelayanan social. Sedangkan kepuasan dan jaminan non-pengulangan akan mencakup unsur individu dan kolektif seperti pengungkapan kebenaran, pengakuan publik atas fakta-fakta dan penerimaan tanggung jawab, mencari korban yang hilang dan identifikasi tetap, pemulihan martabat para korban melalui sarana peringatan dan lainnya, seperti pembuatan monumen. Kegiatan ini bertujuan untuk mengingat dan memberikan pendidikan guna mencegah terulangnya kejahatan/peristiwa serupa. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain Penelitian ini akan menjelaskan tentang identifikasi masalah yang menjadi sasaran dalam penelitian, pembahasan atau penelusuran kepustakaan (literatur review), tujuan penelitian, metode pengumpulan data, pola pemilihan dan penentuan jumlah partisipan/informan/key informan, analisis dan interpretasi hasil, dan pelaporan hasil penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pemulihan korban kekerasan seksual anak dibawah umur di Yayasan Pulih Jakarta serta penanganan untuk korban –korban kekerasan seksual anak dibawah umur. 3.2 Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh data yang lebih mendalam, untuk mengembangkan teori, dan untuk mendeskripsikan realitas serta kompleksitas fenomena yang diteliti mengenai proses pemulihan korban kekerasan seksual pada anak dibawah umur di Yayasan Pulih Jakarta. 3.3 Metode Penelitian Metode yang digunakan oleh penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dimana penulis berfokus pada penelitian yang lebih terperinci, kaku, statistik, dan prosesnya sesuai alur yang sudah disusun sejak awal dan tidak dapat diubah. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. 3.4 Unit Penelitian Unit penelitian penulis berupa manusia atau individu yang tertuju pada anak-anak korban kekerasan seksual di Yayasan Pulih di Jakarta. 3.5 Subyek Penelitian Subyek penelitian dipilih melalui proses sampling, pengambilan sampel, dengan kata lain merupakan cara untuk memperoleh subyek penelitian. Penulis menghubungi kandidat subyek secara langsung dengan persetujuan dari calon subyek penelitian. 3.6 Teknik Pemilihan Informan Pada pemilihan informan penulis memilih menggunakan teknik acak sistematis atau acak sistematik dimana responden atau sampel diambil melalui proses acak sederhana, menentukan interval atau cara tertentu dalam penarikan sampel acak. 3.7 Teknik Perolehan Data 1. Wawancara Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara yang dilakukan di Yayasan Pulih di Jakarta. 2. Dokumentasi Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah terjadi sehingga dapat dilihat kembali. Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari dokumentasi pribadi narasumber maupun dari media massa kaitannya dengan obyek kajian penelitian. 3. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu berupa penjelasan dan pemaparan tentang Pemulihan Korban Kekerasan Seksual Pada Anak di Yayasan Pulih di Jakarta. Analisis deskriptif adalah menuturkan dan menafsirkan data yang ada dan menganalisa data yang diperoleh tetapi tidak sampai pada penalaran teori. Dalam penelitian ini terdapat empat teknik analisis data. diantaranya sebagai berikut : 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencari data yang dibutuhkan menggunakan di lapangan metode yang oleh telah peneliti dengan ditentukan serta pengumpulan dokumen – dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Pengumpulan data dalam hal ini berupa data mentah seperti : hasil wawancara, dokumentasi, catatan lapangan dan sebagainya. 2. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan – catatan tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data berlangsung terus menerus, terutama selama penelitian yang berorientasi kualitatif berlangsung atau selama pengumpulan data. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan – kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverivikasi. 3. Penyajian Data Penyajian data yaitu sebagai sekumpulan informasi yang tersusun memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dapat dilakukan dengan menggunakan teks naratif, bagan, grafik, table dan lain-lain. 4. Penarikan Kesimpulan Hasil penelitian yang telah terkumpul dan terangkum harus diulang kembali dengan mencocokan pada reduksi data dan pengumpulan data agar dapat ditarik sebuah kesimpulan dari hasil penelitian yang memiliki tingkat kepercayaan yang benar. DAFTAR PUSTAKA Masalah Sosial Pada Anak, Dr. Bagong Suyanto. Hal 27. Kekerasan Seksual Pada Anak, Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater. Hal. 24-37. 13 Pertanyaan Kunci Tentang Pemulihan Makna Luas, Komnas Perempuan (27 Juli 2007). Penanganan Anak Korban, Pemetaan Layanan Anak Korban di Beberapa Lembaga. Supriyadi Widodo E, Ajeng Gandhini K., Syahrial Martanto (Desember 2006). Pedofilia dan Kekerasan Seksual: Masalah dan Perlindungan Terhadap Anak (pedophilia and sexual violence: problems and child protectioons). Ratih Probosiwi dan Daud Bahransyaf B2P3KS Kementerian Sosial RI. Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan), Isbandi Rukminto Adi. Hal 77-88. LAMPIRAN 1. Ebook 2. Buku