Uploaded by kayladyahpratamasari

Sempro Kessos

advertisement
Proses Pemulihan Terhadap Korban Kekerasan Seksual pada Anak di
Yayasan Pulih Jakarta
Seminar Ilmu Kesejahteraan Sosial
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Lulus Dalam Mata Kuliah Seminar
DISUSUN OLEH :
KAYLA DYAH PRATAMASARI
2016220015
PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA
JAKARTA
MARET 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
Laporan Seminar ini. Penulisan Laporan Seminar ini merupakan salah satu
syarat untuk lulus dalam mata kuliah Seminar Kesejahteraan Sosial pada
Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak tidak mudah untuk menyelesaikan Laporan Seminar ini. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1.
Allah SWT. Yang telah melancarkan segala urusan saya selama
mengerjakan Laporan Seminar ini.
2.
Ayahanda dan Ibunda tercinta Trihono Satyawan dan Retno TriKristaniati
yang telah sabar mengahadapi emosi penulis dan selalu berusaha
memberikan yang terbaik bagi penulis. Semoga ayahanda dan ibunda
selalu diberikan kesehatan dan umur yang barokah.
3.
Bapak Ruli Junarso selaku Dosen Pembimbing.
4.
Adik tercinta Troy Aprillio Herlambang yang telah menjadi motivasi dan
semangat bagi penulis.
5.
Teman-teman terdekat yang telah membantu dalam penyusunan kalimatkalimat dan tetap memberikan masukan dan nasehat.
6.
Rahmat Fajar Nugroho, terima kasih selalu mendengarkan keluh kesah
perihal Laporan Seminar, memberikan motivasi, serta tak henti - hentinya
mengingatkan untuk menjaga kesehatan serta menemani mencari berbagai
refrensi bacaan.
7.
Bini Hansip Squad yang telah menemani, membantu mengoreksi penulis.
Saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat Penulis harapkan.
Akhir kata, semoga Laporan Seminar ini dapat membawa manfaat dan
pengembangan ilmu.
Jakarta, April 2020
Penulis,
Kayla Dyah Pratamasari
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara
seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut
bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah
melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. Anak dalam agama adalah
karunia dari Tuhan yang harus dijaga, dirawat, di didik oleh kedua
orang tuanya.
Pengertian Anak dan Hak Anak Undang-undang No. 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak pasal 1 menyatakan bahwa “Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Masa kanak-kanak
sering disebut dengan “Golden age Periode”. Menurut ahli, pada masa
itu pertumbuhan inteletual terjadi 40% pada anak usia 0-4 tahun,
meningkat menjadi
80% pada usia anak 8 tahun, dan selanjutnya
menjadi 100% pada usia 18 tahun. Pada rentang usia tersebut,
khususnya 0-8 tahun, orangtua hendaknya berhati-hati memperlakukan
anaknya, jangan sampai terjadi goresan-goresan yang melukai anak
baik fisik maupun psikisnya yang berdampak terhadap tumbuh
kembang anak.
Di Indonesia saat ini banyak sekali kasus tentang kekerasan pada
anak, salah satu nya adalah kekerasan seksual pada anak. kekerasan
seksual (Terry Lawson, 2008), yaitu setiap perbuatan berupa
pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan
cara tidak wajar dan tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual
dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu
(Huraerah, 2008). Kekerasan seksual dapat berupa tindakan oralgenital, genital-genital, genital-rektal, tangan-genital, tangan-rektal,
tangan-payudara, pemaparan anatomi seksual, melihat dengan paksa,
dan menunjukkan pornografi. Kekerasaan seksual (Tobach, 2008)
biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (Kurniawati,
2013). Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang spesifik,
yaitu penetrasi seksual tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh
kekerasan fisik (Kurniawati, 2013).
Sepanjang tahun 2013, kasus pelanggaran hak anak masih
didominasi oleh kekerasan terhadap anak. Selain kasus kekerasan fisik,
ditemukan juga banyak kasus kekerasan seksual. Berdasarkan data
yang dipantau Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan
Anak diketahui pada tahun 2013 terjadi kasus kekerasan terhadap anak
sebanyak 1.620 kasus.
No.
Kekerasan Terhadap Anak
Kasus
Persentase
1.
Kekerasan Fisik
490
30%
2.
Kekerasan Psikis
313
19%
3.
Kekerasan Seksual
817
51%
Hal yang melatarbelakangi terjadinya kasus kekerasan seksual
pada anak adalah :
No.
Latar Belakang Kasus
Kasus
Persentase
1.
Terpengaruh media pornografi
81
8%
2.
Terangsang dengan korban
178
17%
3.
Hasrat tersalurkan
298
29%
Pemulihan membutuhkan hubungan yang saling menguatkan
dan setara antara korban, pendamping dan komunitas.
1.
Hubungan antara korban dan pendamping yang setara:
Pendampingan membantu atau memfasilitasi korban untuk
mampu menemukan kembali sumber-sumber kekuatannya sehingga
korban mampu mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya.
Fasilitasi mencakup pembahasan pilihan-pilihan yang ada dan
konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan itu, dan bukan dengan
memberikan perintah atau nasehat.
2.
Penguatan korban oleh komunitas
Korban membutuhkan dukungan komunitas untuk pulih. Karena
itu, menggalang dukungan komunitas merupakan bagian integral
dari proses pemulihan korban. Dukungan komunitas ditunjukan
dengan menyokong pilihan atau keputusan korban, atau sikap
bersahabat dengan tidak memberikan stigma atau pengucilan.
Komunitas mendukung kerja pendampingan dengan (i) tidak
mengganggu atau menghambat proses pendampingan, dan (ii) ikut
memainkan
peran
dalam
menyediakan
perlindungan
dan
kesempatan bagi proses pemulihan bagi korban.
Di Jakarta kasus kekerasan seksual pada anak lebih banyak
terjadi di kalangan siswa Sekolah Dasar. Tinginya kasus kekerasan
seksual di jenjang SD dikarenakan usia anak SD adalah usia yang
rentan. Mudah diiming-imingi, takut diancam oleh orang dewasa dan
lain sebagainya. Selain itu, anak juga belum paham aktivitas seksual
sehingga anak-anak tersebut tidak menyadari kalau dirinya mengalami
pelecehan seksual.
Adapun modus yang dipakai oleh pelaku kekerasan seksual
adalah korban diiming-imingi uang puluhan sampai ratusan ribu yang
dimana untuk anak usia SD termasuk banyak. Atau mereka diancam
oleh pelaku sehingga anak tersebut memilih bungkam.
Sumber : UPT P2PT2A Provinsi DKI Jakarta
Ada 4 jenis kekerasan yang ditangani oleh P2PT2A yaitu,
KDRT, kekerasan seksual, trafficking, dan kasus lain. Jumlah kasus
KDRT yang ditangani selama 8 bulan (Januari-Agustus) tersebut ada
335 kasus, paling banyak terjadi di bulan Februari. Untuk kasus
kekerasan seksual total selama 8 bulan ada 169 kasus dengan jumlah
hampir rata setiap bulannya, sedangkan untuk trafficking ada 15 kasus
yang paling banyak terjadi bulan April, tetapi jika dibandingkan
dengan jenis kekerasan lainnya trafficking sudah idak ada lagi bulan
Mei-Agustus, dan untuk jenis kasus lainnya ada 98 kasus.
Masa kanak-kanak adalah dimana anak sedang dalam proses
tumbuh kembangnya. Oleh karena itu, anak wajib dilindungi dari
segala kemungkinan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan
seksual. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan. Upaya
perlindungan terhadap anak harus diberikan secara utuh, menyeluruh
dan komprehensif, tidak memihak kepada suatu golongan atau
kelompok anak. Salah satu upaya pemulihan dan penanganan anakanak korban
Berikut beberapa proses pemulihan dan penanganan korban
kekerasan seksual pada anak :
Pemulihan adalah sebuah proses yang berkesinambungan dan
bersifat personal
1. Berkesinambungan
Proses menjadi pulih tidak terhenti di satu titik. Proses ini juga
tidak selalu menuju arah maju, melainkan bisa maju-mundur, naikturun, atau juga ada masa stagnan/macet.
2. Personal
Setiap korban membutuhkan waktu dan acara yang berbeda untuk
merasa pulih. Ukuran pulih bersifat subjektif, yaitu tergantung
pada penilaian korban.
3. Dinamis
Proses pemulihan akan terus tumbuh dan berkembang sejalan
dengan perubahan kebutuhan korban. Alur dan metode pemulihan
dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan keputusan korban.
Pemulihan membutuhkan hubungan yang saling menguatkan dan setara
antara korban, pendamping dan komunitas.
1. Hubungan antara korban dan pendamping yang setara:
Pendampingan membantu atau memfasilitasi korban untuk mampu
menemukan kembali sumber-sumber kekuatannya sehingga korban
mampu mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya. Fasilitasi
mencakup pembahasan pilihan-pilihan yang ada dan konsekuensikonsekuensi dari pilihan-pilihan itu, dan bukan dengan memberikan
perintah atau nasehat.
2. Penguatan korban oleh komunitas
Korban membutuhkan dukungan komunitas untuk pulih. Karena itu,
menggalang dukungan komunitas merupakan bagian integral dari
proses pemulihan korban. Dukungan komunitas ditunjukan dengan
menyokong pilihan atau keputusan korban, atau sikap bersahabat
dengan tidak memberikan stigma atau pengucilan. Komunitas
mendukung kerja pendampingan dengan (i) tidak mengganggu atau
menghambat proses pendampingan, dan (ii) ikut memainkan peran
dalam menyediakan perlindungan dan kesempatan bagi proses
pemulihan bagi korban.
Dalam mengembangkan berbagai layanan sosial (social services)
pada masyarakat pekerja sosial mempunyai berbagai nilai-nilai dasar
dan prinsip-prinsip dalam melakukan praktik perubahan sosial
terencana (intervensi sosial). Dalam kaitan dengan nilai dan prinsipprinsip dasar ini, Zastrow (2010) melihat tiga komponen dasar yang
harus di pertimbangkan dalam melakukan dan mengembangkan
praktisi di bidang pekerjaan sosial.
a. Pengetahuan (knowledge)
Menurut
pendapat
Kahn
(1969),
pengetahuan
adalah
pemahaman teoritis ataupun praktis yang terkait dengan cabangcabang ilmu pengetahuan; belajar dan seni yang melibatkan
penelitian maupun praktik serta pengembangan keterampilan.
Bagi para praktisi yang berada di Yayasan Pulih harus memiliki
pengetahuan untuk mampu mengetahui cara untuk membantu
penyembuhan dari klien nya.
b. Nilai (value)
Pincus dan Minahan (1973:38), menyatakan nilai adalah
keyakinan, preferensi ataupun asumsi mengenal apa yang
diinginkan atau dianggap baik oleh manusia. Pincus dan
Manahan dalam Zastrow (2010), melihat nilai bukan sebagai
sesuatu yang kita lihat dari dunia kita berdasarkan apa yang kita
ketahui, akan tetapi nilai lebih terkait dengan apa yang
seharusnya terjadi.
Praktisi di Yayasan Pulih harus memiliki kemampuan untuk
meyakinkan bahwa kliennya bisa melewati masa itu, praktisi
juga harus membangun semangat dan mengubah persepsi klien
agar klien mempunyai pandangan dan pikiran yang jernih untuk
mengatasi masalahnya sendiri.
c. Keterampilan (skill)
Keterampilan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu
profesi pemberian bantuan (helping profession), serta menjadi
prasyarat bila profesi itu ingin berkembang. Secara definitive,
keterampilan
didefinisikan
sebagai
kemampuan,
keahlian
ataupun kemahiran yang diperoleh dari praktik dan pengetahuan.
Di sini, keterampilan tidak muncul sekedar dari suatu uji coba
belaka, tetapi keterampilan muncul karena adanya keterkaitan
dengan pengetahuan yang dipelajari oleh seseorang agen
perubahan.
Selain nilai-nilai dasar praktik Pekerjaan Sosial, Midgley (1981:
12-15) mengemukakan ada lima prinsip dasar sedangkan Maas (1977)
mengemukakan ada enam prinsip dasar yang menjadi landasan para
praktisi yang bergerak di level mikro.
a. Penerimaan (acceptance)
Prinsip ini mendasar melihat bahwa praktisi harus
berusaha
menerima
klien
mereka
apa
adanya,
tanpa
„menghakimi‟ klien tersebut. Kemampuan praktisi untuk
menerima klien-nya dengan sewajarnya akan dapat banyak
membantu perkembangan relasi antar mereka.
Seorang praktisi di Pulih harus menerima keadaan klien
dengan apapun latar belakangnya. Dapat membaur dengan
klien agar memudahkan menyelesaikan masalah klien tersebut.
b. Komunikasi (communication)
Prinsip komunikasi ini berkaitan erat dengan kemampuan
praktisi untuk menangkap informasi ataupun pesan yang
dikemukakan oleh klien. Pesan yang disampaikan klien dapat
berbentuk pesan verbal, yang diungkapkan oleh klien melalui
ucapannya. Atau pesan yang berbentuk non-verbal, misalnya
dari cara duduk klien, cara klien menggerakkan tangan, cara
klien meletakkan tangan, dan lain sebagainya. Dari pesan non
verbal tersebut kita bisa menangkap apakah klien tersebut
merasa gelisah, cemas, takut, gembira, marah dan sebagainya.
Bila suatu ketika klien tidak dapat mengungkapkan apa yang
dirasakannya, praktisi diharapkan dapat membantu klien
tersebut untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Praktisi di Pulih juga harus pandai berkomunikasi untuk
membangun semangat dari klien tersebut. Dapat memahami
kondisi klien serta dapat membaca bahasa non verbal dari klien
itu sendiri.
c. Individualisasi (individualization)
Prinsip ini, pada intinya menganggap setiap individu
berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga seorang praktisi
harus berusaha memahami satu keunikan dari setiap klien.
Karena itu, dalam proses pemberian bantuab harus berusaha
mengembangkan intervensi yang sesuai dengan kondisi
kliennya agar mendapatkan hasil yang optimal.
Setiap keadaan seseorang sudah pasti berbeda-beda,
seorang praktisi tidak diperbolehkan untuk menggaris samakan
kliennya dengan kliennya yang lain. Karena dapat membuat
klien semakin terkurung oleh masalahnya sendiri dan
menganggap
tidak
ada
yang
bisa
membantu
mengeluarkan dirinya dari masalah yang dia hadapi.
untuk
d. Partisipasi (participation)
Pada prinsip ini, praktisi didorong untuk menjalankan
peran sebagai fasilitator. Dari peran ini, praktisi diharapkan
akan mengajak kliennya untuk berpartisipasi aktif dalam
menghadapi permasalahan yang dihadapinya. Karena tanpa
partisipasi aktif dari klien, maka tujuan dari terapi tersebut sulit
untuk dicapai. Dalam prinsip ini, tergambar bahwa „perbaikan‟
kondisi seseorang bukanlah hasil kerja dari praktisi itu sendiri.
Tetapi rasa tanggung jawab dan keinginan yang sungguh dari
klien untuk memperbaiki kondisinya justru menjadi kunci
keberhasilan dari proses pemberian bantuan ini.
Yayasan Pulih menugaskan seorang praktisi untuk
menjadi fasilitator yang dapat membantu mengatasi semua
maslah klien. Seorang praktisi di Pulih harus mendengarkan
semua keluh kesah klien agar klien tersebut dapat kembali ke
fungsi sosialnya dengan normal.
e. Kerahasiaan (confidentiality)
Dalam prinsip ini, praktisi harus menjaga kerahasiaan
dari kasus yang sedang ditanganinya. Sehingga kasus itu tidak
dibicarakan dengan sembarang orang yang tidak terkait dengan
penanganan kasus tersebut.praktisi baru dapat membicarakan
kasus tersebut ketika kasus tersebut sedang dibahas dalam
suatu tim kerja.
Seorang praktisi juga harus dapat menjaga kerahasiaan
kliennya agar kliennya merasa aman. Tidak di perbolehkan
membicarakan semua masalah klien dengan orang lain bahkan
dengan klien yang lainnya. Terkecuali dengan tim kerjanya
agar dapat membantu cara penyelesaian masalah klien.
f. Kesadaran diri petugas (work self-awareness)
Prinsip ini menuntut praktisi untuk bersikap professional
dalam menjalin relasi dengan kliennya. Dalam arti bahwa,
praktisi harus mampu mengendalikan dirinya sehingga tidak
terhanyut oleh perasaan ataupun permasalahan yang dihadapi
oleh kliennya. Praktisi disini harus lah tetap rasional, tetapi
mampu untuk menyelami perasaan kliennya secara objektif.
Dengan kata lain, praktisi haruslah menerapkan sikap empati
dalam menjalin relasi dengan kliennya.
Seorang praktisi harus bersikap professional dengan
kliennya sekalipun dengan klien yang sudah dikenal atau
mempunyai hubungan kerabat. Profesionalitas di junjung tinggi
oleh praktisi agar tidak pandang bulu dengan klien yang
lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis
merumuskan masalah penelitian “Bagaimana proses pemulihan
Korban Kekerasan Seksual Pada Anak di Yayasan Pulih di Jakarta?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan Proses Pemulihan
Korban Kekerasan Seksual Pada Anak di Bawah Umur di Yayasan
Pulih di Jakarta.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
wawasan di dalam perkuliahan Program Studi Ilmu Kesejahteraan
Sosial khususnya dalam mata kuliah ilmu kesejahteraan sosial,
metode penelitian kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial dan
Metode Pekerjaan Sosial dengan Individu dan Keluarga.
2. Kegunaan Praktis
Adapun kegunaan praktis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Kegunaan bagi Peniliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
konstribusi dalam menambah wawasan serta sebagai salah satu
rujukan untuk meneliti lebih lanjut tentang permasalahan yang
sama dalam konteks yang berbeda kedepannya.
b. Kegunaan bagi Yayasan Pulih Jakarta yang telah terbantu
tugasnya oleh Mahasiswi dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Jakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan evaluasi dalam pelaksanaan proses pemulihan korban
kekerasan seksual pada anak serta untuk pihak institut atau
lembaga berguna sebagai literatur bagi peneliti selanjutnya
yang akan mengadakan penelitian yang sama. Hasil penelitian
ini juga diharapkan dapat berguna bagi seluruh mahasiswa
untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman mengenai penulisan dalam
penelitian ini maka anak diuraikan rencana sistematika penulisan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I
: PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang masalah, masalah pokok, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II :
LATAR BELAKANG TEORI
Terdiri dari kerangka konseptual dan kerangka pemikiran.
BAB III :
METODE PENELITIAN
Terdiri dari desain penelitian, pendekatan penelitian, metode
penelitian, sifat penelitian, definisi konsep, teknik pemilihan informan,
teknik pengumpulan data, teknik analisis data.
BAB II
LATAR BELAKANG TEORI
2.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual ini akan menjelaskan teori dan konsep
yang mendasari masalah pokok penelitian yaitu mengenai “Proses
Pemulihan Terhadap Korban Kekerasan Seksual pada Anak Dibawah
Umur di Yayasan Pulih Jakarta“ berdasarkan masalah penelitian
tersebut, maka penulis meninjau beberapa konsep diantaranya :
1. Tinjauan konsep tentang Proses Pemulihan
2. Tinjauan konsep tentang Kekerasan Terhadap Anak
2.1.1
Tinjauan Konsep Tentang Proses Pemulihan
Pemulihan adalah sebuah proses yang berkesinambungan
dan bersifat personal.
1. Berkesinambungan
Proses menjadi pulih tidak terhenti di satu titik. Proses
ini juga tidak selalu menuju arah maju, melainkan bisa
maju-mundur,
naik-turun,
atau
juga
ada
masa
stagnan/macet.
2. Personal
Setiap korban membutuhkan waktu dan acara yang
berbeda untuk merasa pulih. Ukuran pulih bersifat
subjektif, yaitu tergantung pada penilaian korban.
3. Dinamis
Proses pemulihan akan terus tumbuh dan berkembang
sejalan dengan perubahan kebutuhan korban. Alur dan
metode pemulihan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan
dan keputusan korban.
Pemulihan
membutuhkan
hubungan
yang
saling
menguatkan dan setara antara korban, pendamping dan
komunitas.
1. Hubungan antara korban dan pendamping yang setara:
Pendampingan membantu atau memfasilitasi
korban untuk mampu menemukan kembali sumber-sumber
kekuatannya
sehingga
korban
mampu
mengambil
keputusan yang terbaik bagi dirinya. Fasilitasi mencakup
pembahasan pilihan-pilihan yang ada dan konsekuensikonsekuensi dari pilihan-pilihan itu, dan bukan dengan
memberikan perintah atau nasehat.
2. Penguatan korban oleh komunitas
Korban
membutuhkan
dukungan
komunitas
untuk pulih. Karena itu, menggalang dukungan komunitas
merupakan bagian integral dari proses pemulihan korban.
Dukungan komunitas ditunjukan dengan menyokong
pilihan atau keputusan korban, atau sikap bersahabat
dengan tidak memberikan stigma atau pengucilan.
Komunitas mendukung kerja pendampingan dengan (i)
tidak
mengganggu
atau
menghambat
proses
pendampingan, dan (ii) ikut memainkan peran dalam
menyediakan perlindungan dan kesempatan bagi proses
pemulihan bagi korban.
Keberlanjutan pemulihan bagi korban dapat dilakukan dengan:
1. Menyelenggarakan proses kaderisasi secara terus menerus
untuk memastikan tersedianya pendamping-pendamping
yang kompeten untuk menjalankan pemulihan makna luas.
2. Melakukan dokumentasi dan forum pembelajaran dan
refleksi untuk menguatkan pemahaman dan keberlanjutan
pemulihan dengan makna luas.
3. Memastikan komunikasi dan koordinasi yang baik antar
pendamping dan jaringan untuk keberlanjutan pemulihan
korban. Hal ini penting terutama bila antar pendamping
dan di dalam jaringan terdapat perbedaan visi yang akan
berimplikasi
pada
metode
dan
mekanisme
kerja
pendampingan. Tujuannya adalah untuk memastikan agar
tidak terjadi tumpang tindih dan pengulangan dalam proses
yang justru menghambat pemulihan bagi korban(Komnas
Perempuan, 27 Juli 2007).
Supriyadi (2016), bersandar pada Basic Principles and Guidelines
on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross
Violations of International Human Rights Law and Serious Violations
of International Humanitarian Law, yang diadopsi Mejelis Umum PBB
melalui Resolusi 60/147 tanggal 16 December 2005, menyebutkan
bahwa bentuk-bentuk pemulihan yang dapat dinikmati oleh korban, di
dalamnya meliputi sejumlah hak, yaitu meliputi: (1) restitusi, (2)
kompensasi, (3) rehabilitasi, dan (4) kepuasan (satisfaction), dan (5)
jaminan non-pengulangan (guarantees of non-repetition). Meskipun
diakui bahwa secara umum tidak mungkin untuk mengembalikan
korban pada situasi awal, sebelum pelanggaran terjadi, dengan
sejumlah hak tersebut diharapkan korban dapat dipulihkan pada
keadaan semula, bersandar pada prinsip restitutio in integrum.
Dengan restitusi, korban dapat dipulihkan kebebasan, hak-hak
hukum, status sosial, kehidupan keluarga dan kewarganegaraan,
kembali ke tempat tinggalnya, pemulihan pekerjaannya, serta
dipulihkan
asetnya.
Sementara
kompensasi
dipahami
untuk
menyertakan setiap kerusakan ekonomis akibat kejahatan itu, termasuk
"kerusakan fisik maupun mental, termasuk rasa sakit, penderitaan dan
gangguan emosi, kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan,
kerusakan material dan hilangnya pendapatan, termasuk juga di
dalamnya kehilangan potensi penghasilan; membahayakan reputasi
atau martabat; dan biaya yang diperlukan untuk bantuan hukum atau
ahli, obat-obatan dan layanan medis, dan pelayanan psikologis dan
sosial. Rehabilitasi meliputi perawatan medis dan psikologis, serta
hukum dan pelayanan social.
Sedangkan
kepuasan
dan
jaminan
non-pengulangan
akan
mencakup unsur individu dan kolektif seperti pengungkapan
kebenaran, pengakuan publik atas fakta-fakta dan penerimaan
tanggung jawab, mencari korban yang hilang dan identifikasi tetap,
pemulihan martabat para korban melalui sarana peringatan dan
lainnya, seperti pembuatan monumen. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengingat dan memberikan pendidikan guna mencegah terulangnya
kejahatan/peristiwa serupa.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain Penelitian ini akan menjelaskan tentang identifikasi
masalah yang menjadi sasaran dalam penelitian, pembahasan atau
penelusuran kepustakaan (literatur review), tujuan penelitian, metode
pengumpulan
data,
pola
pemilihan
dan
penentuan
jumlah
partisipan/informan/key informan, analisis dan interpretasi hasil, dan
pelaporan hasil penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana proses pemulihan korban kekerasan seksual
anak dibawah umur di Yayasan Pulih Jakarta serta penanganan untuk
korban –korban kekerasan seksual anak dibawah umur.
3.2 Pendekatan Penelitian
Dalam
penelitian
ini
penulis
menggunakan
pendekatan
penelitian kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh data yang lebih
mendalam, untuk mengembangkan teori, dan untuk mendeskripsikan
realitas serta kompleksitas fenomena yang diteliti mengenai proses
pemulihan korban kekerasan seksual pada anak dibawah umur di
Yayasan Pulih Jakarta.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif dimana penulis berfokus pada penelitian yang
lebih terperinci, kaku, statistik, dan prosesnya sesuai alur yang sudah
disusun sejak awal dan tidak dapat diubah. Selain itu landasan teori
juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar
penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.
3.4 Unit Penelitian
Unit penelitian penulis berupa manusia atau individu yang
tertuju pada anak-anak korban kekerasan seksual di Yayasan Pulih di
Jakarta.
3.5 Subyek Penelitian
Subyek penelitian dipilih melalui proses sampling, pengambilan
sampel, dengan kata lain merupakan cara untuk memperoleh subyek
penelitian. Penulis menghubungi kandidat subyek secara langsung
dengan persetujuan dari calon subyek penelitian.
3.6 Teknik Pemilihan Informan
Pada pemilihan informan penulis memilih menggunakan teknik
acak sistematis atau acak sistematik dimana responden atau sampel
diambil melalui proses acak sederhana, menentukan interval atau cara
tertentu dalam penarikan sampel acak.
3.7 Teknik Perolehan Data
1. Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode wawancara yang dilakukan di Yayasan Pulih
di Jakarta.
2. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah terjadi
sehingga dapat dilihat kembali. Dokumen dapat berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dalam
penelitian ini data sekunder diperoleh dari dokumentasi pribadi
narasumber maupun dari media massa kaitannya dengan obyek
kajian penelitian.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini
menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu berupa penjelasan
dan pemaparan tentang Pemulihan Korban Kekerasan Seksual
Pada Anak di Yayasan Pulih di Jakarta. Analisis deskriptif adalah
menuturkan dan menafsirkan data yang ada dan menganalisa data
yang diperoleh tetapi tidak sampai pada penalaran teori. Dalam
penelitian ini terdapat empat teknik analisis data. diantaranya
sebagai berikut :
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencari data
yang
dibutuhkan
menggunakan
di
lapangan
metode
yang
oleh
telah
peneliti
dengan
ditentukan
serta
pengumpulan dokumen – dokumen yang berkaitan dengan
penelitian. Pengumpulan data dalam hal ini berupa data
mentah seperti : hasil wawancara, dokumentasi, catatan
lapangan dan sebagainya.
2. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian,
dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan –
catatan
tertulis
di
lapangan.
Kegiatan
reduksi
data
berlangsung terus menerus, terutama selama penelitian yang
berorientasi kualitatif berlangsung atau selama pengumpulan
data. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang
yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sedemikian rupa
sehingga kesimpulan – kesimpulan akhirnya dapat ditarik
dan diverivikasi.
3. Penyajian Data
Penyajian data yaitu sebagai sekumpulan informasi yang
tersusun
memberi
kemungkinan
adanya
penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dapat
dilakukan dengan menggunakan teks naratif, bagan, grafik,
table dan lain-lain.
4. Penarikan Kesimpulan
Hasil penelitian yang telah terkumpul dan terangkum
harus diulang kembali dengan mencocokan pada reduksi data
dan pengumpulan data agar dapat ditarik sebuah kesimpulan
dari hasil penelitian yang memiliki tingkat kepercayaan yang
benar.
DAFTAR PUSTAKA
Masalah Sosial Pada Anak, Dr. Bagong Suyanto. Hal 27.
Kekerasan Seksual Pada Anak, Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater. Hal.
24-37.
13 Pertanyaan Kunci Tentang Pemulihan Makna Luas, Komnas Perempuan (27
Juli 2007).
Penanganan Anak Korban, Pemetaan Layanan Anak Korban di Beberapa
Lembaga. Supriyadi Widodo E, Ajeng Gandhini K., Syahrial Martanto
(Desember 2006).
Pedofilia dan Kekerasan Seksual: Masalah dan Perlindungan Terhadap Anak
(pedophilia and sexual violence: problems and child protectioons). Ratih
Probosiwi dan Daud Bahransyaf B2P3KS Kementerian Sosial RI.
Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian
Pembangunan), Isbandi Rukminto Adi. Hal 77-88.
LAMPIRAN
1. Ebook
2. Buku
Download