Prof Dr Nurcholish Madjid

advertisement
Prof Dr Nurcholish Madjid:
Kita Harus Ofensif terhadap Perusak Peradaban
Jakarta, Kompas
Dalam sejarah keberadaan Islam, sejak awal kelahirannya sudah dalam
situasi adanya pertemuan dan terjadi dialog antarperadaban, terutama
melalui perdagangan. Bahkan di zaman Nabi Muhammad, Kota Mekkah
yang merupakan pusat Islam telah mampu menjadi salah satu pusat
peradaban di zamannya.Cendekiawan muslim Prof Dr Nurcholish Madjid
mengemukakan hal ini dalam serial Kajian Ramadhan Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Jakarta, Senin (3/12). Kajian
yang mengangkat tema "Agama dan Dialog antar-Peradaban" ini juga
menghadirkan Dr Komaruddin Hidayat sebagai pembicara, dihadiri
tokoh seperti mantan Mendiknas Yahya A Muhaimin, pakar hukum tata
negara Universitas Indonesia (UI) Jimly Asshiddiqie, Ketua Umum ICMI
Adi Sasono, dan anggota ICMI.
jpe
Nurcholish Madjid "Memang, Kota Mekkah saat itu bukan merupakan pusat (peradaban),
tetapi menjadi satelit bagi Kota Konstantinopel dengan kekuasaan
Yunani. Tidak heran kalau pada masa itu dalam perdagangan
digunakan mata uang dinar dan dirham," ujarnya.
Menurut Nurcholish, Islam di bawah Nabi Muhammad telah mampu
mengubah Mekkah dari satelit menjadi sebuah pusat peradaban. Tidak
heran kalau dalam sejarah juga dicatat bahwa Arab merupakan negeri
paling terlatih dalam menerima toleransi.
"Dari dulu Islam andal terbiasa terbuka bagi dialog peradaban dengan
akhlak tauhid dan semangat pembebasan yang dicontohkan langsung
oleh Nabi Muhammad," ujarnya. Oleh karena itu, terhadap perusak
peradaban dan simbol-simbolnya-termasuk di dalamnya perusakan
tempat-tempat ibadah-Nurcholish menilai perlu tindakan yang bersifat
jpe ofensif.
Komaruddin Hidayat
Semangat pembebasan
Sejarah keberadaan Islam, kata Nurcholish, sangat dekat dengan kebebasan. Tidak heran jika
pada awal perkembangannya, para pendukung Islam penuh dengan semangat pembebasan.
Sayangnya, semangat pembebasan Islam tertahan kekuatan era kedinastian yang menjadi salah
satu penyebab ketertinggalan umat Islam.
"Kebebasan merupakan hak primordial manusia. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga
daripada kebebasan, tetapi memang kebebasan itu harus ada batasnya," ujarnya.
Nurcholish melihat, sejak abad ke-12 ketika Islam telah melewati masa mapannya selama lima
sampai tujuh abad, umat Islam mulai kelihatan lelah. Pemikiran dan pandangannya menjadi tidak
terlalu jauh dan lebih introver. Ia menilai, umat Islam lebih banyak disibukkan dengan
pertengkaran kecil-kecil yang sifatnya silafiah.
Contohnya, sampai sekarang masih ada orang yang bertanya, apakah menelan selilit dalam
keadaan puasa itu dapat membatalkan puasa atau tidak. Atau, kalau ada orang sikat gigi dalam
keadaan puasa dan giginya berdarah dapat membatalkan puasa atau tidak.
"Kita terjebak dan sibuk pada hal-hal kecil-kecil ini. Ini yang menghabiskan energi umat Islam,
padahal sebelum abad itu persoalan seperti ini tidak ada dibahas," kata Nurcholish yang juga
adalah Rektor Universitas ParamadinaMulya ini.
Perlu ditinjau ulang
Menurut Komaruddin, kebebasan dalam dunia Islam telah terpancung oleh apa yang ia namakan
kekuatan "dinasti isme". Tidak heran kalau dunia riset tidak berkembang. Sangat disayangkan
pula, banyak temuan baru hanya dipergunakan sekadarnya.
Ketika pemikir Islam menemukan kompas, demikian Komaruddin, kemudian hanya dipergunakan
untuk menentukan kiblat. Padahal, dunia Eropa memanfaatkannya untuk eksplorasi penjelajahan
laut. Sama nasibnya ketika menemukan hitungan perbintangan, umat Islam hanya
mempergunakannya untuk menentukan kapan mulainya Ramadhan.
Bagi Komaruddin, ada pertanyaan besar yang seharusnya bisa dijawab. Dunia Islam yang begitu
kaya, tetapi mengapa peradaban dunia modern lahirnya di tanah Eropa yang berkembang
sampai sekarang. Ia menilai, salah satu penyebabnya adalah karena dunia Islam dikuasai oleh
dominasi ulama saja.
"Seperti kesalehan, itu diartikan sebagai ketaatan yang mendukung komunalisme. Sama halnya
di pesantren, anak yang baik yang selalu mencium tangan orangtua, memang baik, tetapi kalau
ada anak yang kritis dianggap mendekati bid'ah. Pendidikan seperti inilah yang perlu kita tinjau
ulang," ujarnya.
Mengenai agama dan peradaban, menurut Komaruddin, agama tidak pernah berada di ruang
yang vakum karena selalu ada inklinasi individu, sehingga artikulasinya berbeda-beda. Dan
manusia, lanjutnya, mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk melakukan kompromi. Misalnya,
ketika orang dipenjara selama 20 tahun, pada tahun pertama sampai tiga tahun mungkin merasa
terkurung. Tetapi, begitu masanya tiba untuk dibebaskan, ia bisa menjadi bingung karena sudah
merasa betah di penjara itu dan segala situasinya. (mam)
Download