PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI STUDI LITERATUR INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE DESEMBER TAHUN 2013 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Oleh : Chelsyana Herdiany Nagi NIM : 118114082 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015 i PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI STUDI LITERATUR INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE DESEMBER TAHUN 2013 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Oleh : Chelsyana Herdiany Nagi NIM : 118114082 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015 ii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI iii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI iv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI “ Hendaklah kasih itu jangan berpura-pura. Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu selalu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa “ Roma 12 : 9-12 Kupersembahkan untuk : Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu ku andalkan Bapak, Mama beserta keluarga yang selalu ada disaat apapun Teman-teman tercinta dan Almamaterku v PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI vi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI vii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PRAKATA Puji dan syukur peneliti haturkan kehadirat TuhanYang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “ Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dukungan, bimbingan, bantuan, dan kerja sama dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, peneliti menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing dan memberi arahan selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. 2. Direktur RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dr I Wayan Sudana yang telah memberikan izin kepada penulis dalam pengambilan data penelitian. 3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt sebagai dosen pembimbing utama yang selalu dengan sabar mengarahkan dan membimbing peneliti selama proses penyusunan skripsi. 4. Ibu Witri Susila Astuti, S.Si., Apt sebagai dosen pembimbing pendamping yang selalu dengan sabar mengarahkan dan membimbing peneliti selama proses penyusunan skripsi. 5. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK yang telah membimbing, memberi arahan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi. viii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 6. Ibu Dita Maria Virgina M.Si., Apt yang telah membimbing, memberi arahan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi. 7. Kedua orang tua Kristoforus Nagi dan Yarit Lette yang selalu membimbing, memberi arahan dan dukungan serta semangat selama proses perkuliahan hingga terselesainya penyusunan skripsi ini. 8. Kakak tersayang Mystica Pere, Efran Bara, Ati Mbulang, dan Luis yang selalu memberikan motivasi, arahan dan semangat dalam penyusuan skripsi ini dari awal sampai akhir. 9. Tesa Siseng, Rysa Indriani, Ervin Due, Ensi Babo, Arlyn Woi, Ret Toyo, Stefin, Je, Berlin, Novi, Yuni, Wiwin, Feri, Slash, Savio, Frans, Lis, Sandro, Ryan, Iron, Gusty, Ando, Edo sebagai sahabat terbaik yang selalu mendampingi dengan sabar, memberi semangat dan dukungan dari awal pengerjaan skripsi hingga akhir. 10. Teman-teman skripsi Desy, Mochi dan Jono yang selalu setia dan kompak dalam mendukung penyusunan skripsi dari awal sampai akhir. 11. Teman-teman Kelompok Farmakoterapi I dan II Opi, Danik, Shinta, Yuvica, Greta, Sary, Ipang yang selalu memberi semangat dan dukungan selama proses pengerjaan skripsi hingga akhir. 12. Teman-teman kelompok Real Friends Meilisa, Niken, Yudis, Asri, Aviola, Sary, Eiren, Lenny, Uchi, Dara yang selalu memberi semangat dan dukungan selama proses pengerjaan skripsi hingga akhir. 13. Teman-teman FSM B dan FKK A 2011 yang selalu memberi semangat dan dukungan dari awal penyusunan skripsi hingga akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmatNya kepada seluruh pihak yang berperan dalam membantu menyelesaikan skripsi ini. Penulis ix PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI x PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................... iii HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................ v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................................ vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS............................................... ix PRAKATA............................................................................................. x DAFTAR ISI........................................................................................... xi DAFTAR TABEL................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xvii INTISARI................................................................................................ xviii ABSTRACT............................................................................................ xix BAB I PENGANTAR............................................................................. 1 A. Latar Belakang.................................................................................... 1. Perumusan Masalah..................................................................... 2. Keaslian Penelitian...................................................................... 3. Manfaat Penelitian....................................................................... B. Tujuan Penelitian................................................................................ 1. Tujuan Umum............................................................................. 2. Tujuan Khusus............................................................................. 1 4 4 6 6 6 7 BAB II PENELAAH PUSTAKA........................................................... 8 A. Gagal Ginjal Kronik........................................................................... 1. Pengertian gagal ginjal kronik..................................................... 2. Epidemiologi gagal ginjal kronik................................................ B. Manajemen Terapi Gagal Ginjal Kronik............................................ 1. Tujuan terapi dan sasaran terapi.................................................. 2. Strategi terapi.............................................................................. C. Interaksi Obat..................................................................................... 1. Pengertian interaksi obat............................................................. 8 8 8 9 9 10 16 16 xi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2. Prevalensi interaksi obat............................................................ 3. Jenis interaksi obat...................................................................... 4. Interaksi obat pada gagal ginjal kronik....................................... 5. Faktor dan penyebab terjadinya interaksi obat............................ 6. Signifikansi klinis interaksi obat................................................. 7. Peran apoteker dalam interaksi obat............................................ D. Keterangan Empiris............................................................................. 17 26 24 24 25 30 31 BAB III METODELOGI PENELITIAN................................................ A. Jenis dan Rancangan Penelitian.......................................................... B. Variabel dan Defenisi Operasional.................................................... C. Subyek dan Bahan Penelitian............................................................. 34 D. Alat dan Instrumen Penelitian............................................................ E. Tata Cara Penelitian........................................................................... 32 32 32 1. Tahap orientasi............................................................................ 2. Tahap penentuan subyek penelitian............................................ 3. Tahap pengambilan data............................................................. F. Tata Cara Analisis dan Penyajian Hasil Data Penelitian.................... 1. Tata cara analisis data penelitian................................................. 2. Penyajian hasil data penelitian.................................................... G. Keterbatasan Penelitian...................................................................... 35 35 35 36 36 37 37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................ 38 A. Karakteristik pasien gagal ginjal kronik............................................. 1. Umur pasien gagal ginjal kronik.................................................. 2. Jenis kelamin pasien gagal ginjal kronik..................................... B. Gambaran pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik................ 1. Gambaran umum pola peresepan................................................ a. Jumlah obat yang digunakan pada pola peresepan pasien gagal ginjal kronik........................................................................... b. Cara pemberian obat pada pasien gagal ginjal kronik........... 2. Gambaran pola peresepan berdasarkan kelas terapi obat............ a. Obat kardiovaskuler............................................................... b. Obat gizi dan darah............................................................... c. Obat hormonal....................................................................... d. Obat penyakit otot skelet dan sendi....................................... e. Obat sistem saluran cerna...................................................... f. Obat sistem saraf pusat.......................................................... g. Obat infeksi........................................................................... h. Obat sistem saluran nafas...................................................... i. Obat antihistamin dan antialergi........................................... j. Obat antiinflamasi................................................................. C. Studi literatur interaksi obat............................................................... 38 38 40 41 41 xii 34 35 41 42 43 44 50 55 56 56 58 58 59 60 61 61 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1. Persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi obat pada peresepan pasein gagal ginjal kronik........................................ 62 2. Persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013............................................................ 63 3. Proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain......................................................................... 64 4. Proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik.............................................................................. 65 5. Persentase kategori signifikansi klinis interaksi obat................. 67 6. Mekanisme dan efek interaksi obat............................................ 70 BAB V KESIMPULAN dan SARAN................................................... 121 A. Kesimpulan......................................................................................... B. Saran................................................................................................... 121 122 DAFTAR PUSTAKA............................................................................. LAMPIRAN............................................................................................ BIOGRAFI PENULIS........................................................................... 123 124 127 xiii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR TABEL Tabel I. Kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007)... 27 Tabel II.Distribusi jumlah obat tiap lembar resep pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.............................. 42 Tabel III. Distribusi cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013......................................... 43 Tabel IV. Kelas terapi dan golongan obat sistem kardiovaskuler yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013............................................................ 45 Tabel V. Kelas terapi dan golongan obat gizi dan darah yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.............. 50 Tabel Vl. Kelas terapi dan golongan obat hormonal yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013................................................. 53 Tabel VII. Kelas terapi dan golongan obat penyakit otot skelet dan sendi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013............................................................. 55 Tabel VIII. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran cerna yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013............................................................. 56 Tabel IX. Kelas terapi dan golongan obat sistem saraf pusat yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.............. 58 Tabel X. Kelas terapi dan golongan obat infeksi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013............................. 59 Tabel XI. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran nafas yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013............................................................. 60 Tabel XII. Kelas terapi dan golongan obat antihistamin dan atialergi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.............................................................. 60 Tabel XIII. Kelas terapi dan golongan obat antiinflamasi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.............. 61 xiv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Tabel XIV. Distribusi jumlah kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013............................................................. 67 Tabel XV. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur.............................................. 71 Tabel XVI. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat antihipertensi dengan obat lain pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur....................................................... 76 Tabel VII. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat lain dengan obat antihipertensi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur.............................................. 83 xv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Diagram persentase umur pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013........................................................ 39 Gambar 2. Diagram persentase jenis kelamin pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013......................................... 40 Gambar 3. Persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013........................................................... 62 Gambar 4. Diagram persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur........................................................ 64 Gambar 5. Diagram proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013............................................................ 65 Gambar 6. Diagram proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur (N= 130).................................................................................... 66 xvi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta................................ 121 Lampiran 2 : Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul dari BAPPEDA Bantul............. 122 Lampiran 3 : Surat keterangan permohonan ijin penelitian..................... 123 Lampiran 4 : Formulir Pengambilan Data Penelitian Peresepan Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013............... 124 Lampiran 5 : Daftar nama obat dengan nama dagang dan nama generik... 126 xvii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI INTISARI Pasien gagal ginjal kronik dengan penyakit komplikasi atau penyakit penyerta menerima lebih dari satu jenis obat, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, gambaran pola peresepan, jumlah dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif dengan data yang bersifat retrospektif. Pengambilan data berdasarkan rekam medis, data yang diambil adalah resep pada bulan Desember 2013 di Instalasi Rawat Jalan dan dikaji secara teoritis berdasarkan studi literatur. Pada penelitian ini terdapat 65 kasus pasien gagal ginjal kronik, dengan kasus terbanyak pada kelompok umur dewasa (58,5%) dan jenis kelamin laki-laki (62%). Kelas terapi obat yang paling banyak digunakan yaitu obat antihipertensi dengan persentase tertinggi yaitu golongan diuretik (30,9 %). Rute pemberian obat terbesar yaitu secara per oral (94,2%). Terdapat 130 interaksi obat dan yang paling banyak adalah interaksi farmakodinamik (85%). Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien yang paling banyak adalah minor (79 kasus). Kata kunci : Gagal ginjal kronik, interaksi obat, kategori signifikansi klinis interaksi obat xviii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRACT Chronic renal failure patient with complication disease or underlying disease receive more than one type of drug, so there is the possibility of unwanted drug interactions. This study aims to know the patient characteristic, prescribing patterns description, the number and categories of the clinical significance of drug interactions in chronic renal failure in Outpatient Unit Panembahan Senopati Bantul Hospital Yogyakarta December 2013. Design of this research is descriptive with a retrospective data. Data were collected from medical records of patients in Outpatients on December 2013 and were evaluated theoretically based on drug interaction literature. There were 65 cases of chronic renal failure patients, with most cases are adult (58,5%) and male (62%). Class of drug therapy are the most widely used is antihypertensi drug with the highest percentage is the class of diuretic (30,9%).The most route of administration drugs is per oral (94,2%). There were 130 drug interactions and most of the interaction is pharmacodynamic interaction (85%). The most clinical significance of drug interactions is minor (79 cases). Key Word : Chronic renal failure, drug interactions, clinical significance of drug interaction xix PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan adanya penurunan semua fungsi ginjal dan adanya penimbunan secara bertahap diikuti penimbunan sisa metabolisme protein disertai adanya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Soenarso, 2004). Insidens penyakit ginjal kronik sejak 10-15 tahun belakangan ini mengalami peningkatan di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan karena banyaknya ditemukan penderita diabetes melitus dan hipertensi yang merupakan penyebab terbanyak gagal ginjal kronik, selain inflamasi glomerulus (Dharmeizar, 2012). Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Menurut data dari Perneftri (Persatuan Nefrologi Indonesia), diperkirakan ada 70 ribu penderita ginjal di Indonesia, namun yang terdeteksi menderita gagal ginjal kronik tahap terminal dari mereka yang menjalani cuci darah (hemodialisa) hanya sekitar 4 ribu sampai dengan 5 ribu (Syamsir dan Hadibroto, 2007). Berdasarakan hasil RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013, iperoleh prevalensi pasien yang mengalami gagal ginjal kronik ≥ 15 tahun di Indonesia sebesar 0,2 % (2055 orang) dan prevalensi di Provinsi DIY pada umur 15-34 tahun sebesar 0,1 % (722 orang), umur 35-44 tahun sebesar 0,3 % (2167 orang), umur 45-54 tahun sebesar 0,4 % (2889 oarang), umur 55-74 tahun sebesar 0,5 % (3612 orang), dan umur ≥ 75 tahun sebesar 0,6 % (4344 orang). 1 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2 Berdasarkan jenis kelamin di Provinsi DIY, pada laki-laki sebesar 0,3 % (2167 orang), perempuan sebesar 0,2 % (1445 orang). Prevalensi paling tinggi di Provinsi DIY berdasarkan karakteristik umur terjadi pada umur ≥ 75 tahun dan berdasarkan jenis kelamin yaitu pada laki-laki. Kasus gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta cukup banyak. Berdasarkan data pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat jalan bagian poli dalam, jumlah kunjungan pasien gagal ginjal kronik tiap tahunnya bervariasi. Pada tahun 2010 jumlah kunjungan sebesar 620 kali kunjungan. Pada tahun 2011 mengalami penurunan dengan jumlah kunjungan sebesar 366 kali kunjungan. Pada tahun 2012-2014 mengalami peningkatan jumlah kunjungan yaitu masing-masing sebesar 577 kali kunjungan, 787 kali kunjungan dan 1793 kali kunjungan (RSUD Bantul, 2015). Penggunaan obat yang rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih merupakan masalah. Lebih dari 50 % pasien menerima lebih dari 4 obat untuk setiap lembar resepnya (Syamsudin, 2011). Prevalensi interaksi obat secara keseluruhan di dunia adalah 50-60% (Wynn, 2009). Adanya interaksi obat dapat memiliki dampak yang buruk bagi pasien. Dalam hal ini, dokter, perawat, farmasis maupun tenaga kesehatan lainnya memiliki peran penting terkait keselamatan pasien (Syamsudin, 2011). Pharmaceutical Care merupakan format pelayanan kefarmasian yang terbaru yaitu berbasis kepada pasien. Pharmaceutical Care merupakan tanggung jawab farmasis untuk memaksimalkan hasil terapi dan meminimalkan terjadinya efek negatif terapi, sehingga terjadi peningkatan kualitas hidup pasien (Sexton, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3 Nickless, and Green, 2006). Farmasis mempunyai tanggung jawab dalam pengecekan terkait kemungkinan adanya interaksi obat. Interaksi obat dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan yang diterima, dapat menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kesehatan pasien terkait menyebabkan beban ekonomi dalam perawatan kesehatan pasien (Sohewardi, Chogtu, and Faizal, 2012). Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta dengan melihat hasil kunjungan pasien maka diperlukan evaluasi mengenai interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik karena belum terdapat data kajian mengenai interaksi obat. Hasil dari evaluasi tersebut, nantinya akan dipergunakan oleh tenaga kesehatan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta untuk melakukan upaya pencegahan, apabila terjadi interaksi obat yang dapat menimbulkan efek toksik, membahayakan pasien dan menyebabkan beban ekonomi pada perawatan kesehatan pasien. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penggunaan obat pada pasien gagal ginjal kronik perlu diperhatikan dan mendapat pengawasan dari tenaga kesehatan khususnya farmasis. Berdasarkan alasan yang telah dikemukakan sebelumnya mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai “Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013”. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 4 1. Perumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : a. Seperti apa karakteristik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang meliputi umur dan jenis kelamin ? b. Seperti apa gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik meliputi kelas terapi (golongan dan jenis) obat, jumlah obat dan cara pemberian obat di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013 ? c. Berapa persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang dikaji berdasarkan studi literatur ? d. Seperti apa kategori signifikansi klinis interaksi obat yang teridentifikasi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang dikaji berdasarkan studi literatur? 2. Keaslian Penelitian Penelitian tentang “ Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013 belum pernah dilakukan. Penelitian lain yang berhubungan adalah: PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 5 a. Kajian pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik ditinjau dari dosis, interaksi, efek samping, dan kontraindikasi obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta yang dilakukan oleh Bettega (2005). b. Pola peresepan obat pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2000 yang dilakukan oleh Kaka (2001). c. Kajian penggunaan obat pada pasien gagal ginjal kronik nonhemodialisis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2000-2001 : Pola Peresepan, Evaluasi Kontraindikasi, dan Penyesuaian Dosis yang dilakukan oleh Gunawan (2002). d. Studi pustaka interaksi obat dengan obat pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2002 yang dilakukan oleh Peradnyani (2006). Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian yang disebutkan di atas adalah terletak pada tempat pelaksanaan penelitian yaitu di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Periode pengambilan data penelitian yaitu pada bulan Desember tahun 2013. Kajian pada penelitian ini yang terfokus pada interaksi obat farmakokinetik dan farmakodinamik serta kategori signifikansi klinis interaksi obat yang dikaji berdasarkan studi literatur. Persamaan dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada fokus kajian yaitu penyakit gagal ginjal kronik. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 6 3. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut a. Secara teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber informasi sekaligus referensi dalam upaya pengembangan konsep pelayanan farmasi klinik di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta dan dapat meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, khususnya berkaitan dengan keamanan dan keselamatan pasien terutama pada aspek interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. b. Secara praktis 1. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai interaksi obat pada penatalaksanaan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta yang dikaji berdasarkan studi literatur. 2. Penelitian ini diharapkan dapat mendukung dan meningkatkan peran farmasis dalam mengidentifikasi secara lebih dini terkait interaksi obat, sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya interaksi obat dengan efek yang membahayakan khususnya pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui interaksi obat yang terjadi berdasarkan peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 7 RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang dikaji berdasarkan literatur. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang meliputi umur dan jenis kelamin. b. Mengetahui gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik yang meliputi kelas terapi (golongan dan jenis) obat, jumlah obat, dan cara pemberian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013. c. Mengetahui persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan studi literatur. d. Mengetahui kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan studi literatur. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB II PENELAAH PUSTAKA A. Gagal Ginjal Kronik 1. Pengertian gagal ginjal kronik Gagal ginjal kronik menggambarkan struktur dan fungsi ginjal yang tidak normal. Ginjal rusak secara progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun). Penyakit gagal ginjal kronik juga membawa risiko kematian yang tinggi (Fink, Greer, MacDonald, Rossini, Sadiq, Lankireddy, et al., 2012). Penurunan atau kegagalan fungsi ginjal berupa fungsi ekskresi, fungsi pengaturan, dan fungsi hormonal dari ginjal. Kegagalan sistem sekresi menyebabkan menumpuknya zatzat toksik dalam tubuh yang kemudian menyebabkan sindroma uremia (Kamaluddin dan Rahayu, 2009). 2. Epidemiologi gagal ginjal kronik Insidens penyakit gagal ginjal kronik sejak 10-15 tahun belakangan ini mengalami peningkatan diseluruh dunia termaksud Indonesia. Di Amerika Serikat pada akhir tahun 2007 tercatat sebanyak 527.283 orang mendapat pengobatan gagal ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease/ESRD) di mana 368.544 orang diantaranya mendapat terapi hemodialisis baik di rumah sakit, rumah maupun dialisis peritoneal (NKUDIC, 2010). Pada tahun 2010, di Indonesia diperkirakan terdapat 2 juta pasien yang mengalami gagal ginjal kronik dengan laju pertumbuhan kira-kira 7% pertahun (Dharmeizar, 2012). Kasus baru gagal ginjal kronik di Indonesia dari data di beberapa pusat nefrologi diperkirakan berkisar 8 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 9 100-150/ 1 juta penduduk, sedangkan prevalensinya mencapai 200-250/ 1 juta penduduk (PERNEFTRI, 2012). B. Manajemen Terapi Gagal Ginjal Kronik 1. Tujuan terapi dan sasaran terapi Tujuan terapi dan sasaran terapi adalah untuk menunda perkembangan gagal ginjal kronik, sehingga meminimalkan pengembangan atau keparahan komplikasi yang terkait termasuk penyakit jantung. Terapi non farmakologi dan farmakologi dilakukan untuk memperlambat laju perkembangan gagal ginjal kronik dan dapat menurunkan insiden dan prevalensi end stage renal disease (ESRD) (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008). Penyakit ginjal kronik tidak dapat disembuhkan, namun diperlukan upaya mempertahankan agar ginjal dapat berfungsi seoptimal mungkin. Caranya yaitu dengan terapi melalui obat-obatan untuk mengatasi gejala-gejala dan komplikasi penyakit ginjal kronik serta membantu memperlambat proses kerusakan fungsi ginjal, dialisis (cuci darah), transplantasi (cangkok) ginjal, dan modifikasi gaya hidup (Mahdiana, 2011). Pengobatan pada gagal ginjal kronik dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama berupa tindakan konservatif untuk meredakan atau memperlambat perburukan progresif gangguan fungsi ginjal. Prinsip dasar dalam penatalaksanaan konservatif didasarkan pada pemahaman tentang batas-batas ekskresi yang dapat dicapai oleh ginjal yang terganggu. Bila hal tersebut sudah diketahui, maka diet zat terlarut dan cairan orang yang bersangkutan dapat diatur dan disesuaikan dengan adanya batas-batas tersebut. Tahap kedua pengobatan dengan adanya PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 10 terapi pengganti ginjal. Keadaan ini terjadi pada penyakit ginjal stadium akhir atau ESRD dengan nilai GFR < 2ml/menit. Tujuan dari terapi yaitu untuk menggantikan ginjal yang tidak bisa bekerja sesuai fungsinya (Price and Wilson, 2005). 2. Strategi terapi Penatalaksanaan gagal ginjal kronik meliputi 4 tahap yaitu : 1. Memperlambat laju penurunan fungsi ginjal a. Pengobatan hipertensi. Target penurunan tekanan darah yang dianjurkan adalah kurang dari 130/80 mmHg. b. Pembatasan asupan protein, bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus sehingga progresifitas akan diperlambat. c. Retriksi fosfor dengan tujuan untuk mencegah hiperparatirodisme sekunder. d. Mengurangi proteinuria. Terdapat korelasi antara proteinuria dan penurunan fungsi ginjal terutama pada glomerulonefritis kronik dan diabetes. Dalam hal ini biasa digunakan ACE inhibitor. Jika terdapat intoleransi terhadap ACE inhibitor maka dapat digunakan angiotensin receptor blocker (ARB) (Dipiro et al., 2008). e. Mengendalikan hiperlipidemia. Telah terbukti bahwa hiperlipidemia yang tidak terkendali dapat mempercepat progresifitas gagal ginjal. Pengobatan meliputi diet dan olahraga. Pada peningkatan yang berlebihan diberikan obat-obat penurun lemak darah. Pedoman dari Asosiasi Diabetes Kanada menyarankan nilai hemoglobin A1c < 7,0% PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 11 dan fasting plasma glucose 4–7 mmol/L (Levin, Hemmelgarn, Culleton, Tobe, McFarlane, Ruzicka et al, 2008). 2. Mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut a. Pencegahan kekurangan cairan Dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat menyebabkan gangguan prarenal yang masih dapat diperbaiki. Oleh sebab itu perlu ditanyakan mengenai keseimbangnan cairan (muntah, keringat, diare, asupan cairan sehari- hari), penggunaan obat (diuretik, manitol, fenasetin), dan penyakit lain (diabetes melitus, kelainan gastrointestinal, dan ginjal polikistik) (Levin et al, 2008) b. Sepsis Sepsis dapat disebabkan berbagai macam infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengkoreksi kelainan urologi dan antibiotik yang telah terpilih untuk mengobati infeksi (Levin et al, 2008). c. Hipertensi yang tidak terkendali Tekanan darah umumnya meningkat sesuai dengan perburukan fungsi ginjal. Kenaikan tekanan darah ini akan menurunkan fungsi ginjal. Akan tetapi penurunan tekanan darah yang berlebihan juga akan menyebabkan perfusi ginjal menurun. Obat yang dapat diberikan adalah furosemid, beta blocker, vasodilator, kalsium antagonis dan alfa blocker. Obat golongan tiazid kurang bermanfaat, sedangkan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 12 spironolakton tidak dapat digunakan karena dapat meningkatkan kadar kalium (Dipiro et al., 2008). d. Obat-obat nefrotoksik Obat-obat aminoglikosida, OAINS (obat antiinflamasi non steroid), kontras radiologi, dan obat-obat yang dapat menyebabkan nefritis interstitialis harus dihindari (Dharmeizar, 2012). e. Kehamilan Kehamilan dapat memperburuk fungsi ginjal, hipertensi meningkatkan terjadinya eklamsia dan menyebabkan retardasi pertumbuhan intrauterin (Levin et al, 2008). 3. Pengelolaan uremia dan komplikasinya a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Pasien dengan penyakit ginjal kronik sering mengalami peningkatan jumlah cairan ekstrasel karenan retensi cairan dan natrium. Peningkatan cairan intravaskular menyebabkan hipertensi, sementara ekspansi cairan ke interstitial menyebabkan edema. Hiponatremia sering juga dijumpai. Penatalaksanaan yang tepat meliputi retriksi asupan cairan dan natrium, dan pemberian terapi diuretik. Asupan cairan natrium dibatasi < 1 liter/hari, pada keadaan berat < 500ml/hari. Natrium diberikan < 2-4 g/hari, tergantung dari beratnya edema. Jenis diuretik yang menjadi pilihan adalah furosemid karena efek furosemid tergantung dari sekresi aktifnya di tubulus proksimal. Pasien dengan penyakit ginjal kronik umumnya membutuhkan dosis yang tinggi (300- PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 13 500 mg), namun perlu diperhatikan efek samping obat. Apabila tindakan ini tidak membantu maka harus dilakukan dialisis (Levin et al., 2008). b. Asidosis metabolik Penurunan kemampuan sekresi acid load pada penyakit ginjal kronik menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Hal ini umumnya terjadi apabila nilai GFR < 25 ml/mnt. Diet rendah protein 0.6 g/hari dapat membantu mengurangi asidosis. Bila kadar bikarbonat turun sampai < 15-17 mEq/L harus diberikan subtitusi alkali (Dipiro et al., 2008). c. Hiperkalemia Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia kordis yang fatal. Untuk mengatasi ini, dapat diberikan: kalsium glukonas 10% (10 ml dalam 10 menit secara iv), bikarbonas natrikus 50-150 secara iv dalam 15-30 menit, insulin dan glukosa 6 unit, insulin dan glukosa 50 g dalam waktu 1 jam, kayexalate (resin pengikat kalium) 25-50 g secara p.o atau rektal. Bila hiperkalemia tidak dapat diatasi, maka dilakukan dialisis (Levin et al, 2008). d. Diet rendah protein Diet rendah protein dianggap akan mengurangi akumulasi hasil akhir metabolisme protein yaitu ureum dan toksik uremik lainya. Selain itu, telah terbukti bahwa diet tinggi protein akan mempercepat timbulnya glomerulosklerosis sebagai akibat meningkatnya beban kerja glomerulus dan fibrosis interstitial. Kebutuhan kalori harus dipenuhi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 14 supaya tidak terjadi pemecahan protein dan merangsang pengeluaran insulin. Kalori yang diberikan adalah sekitar 35 kal/kgBB, protein 0,6 g/ kgBB/ hari dengan nilai biologis tinggi (40% asam amino esensial) (Mahdiana, 2011). e. Anemia Penyebab utama anemia pada penyakit ginjal kronik adalah terjadinya defisiensi eritropoietin. Penyebab lainnya adalah perdarahan gastrointestinal, umur eritrosit yang pendek, serta adanya faktor yang menghambat eritropoesis (toksin uremia), malnutrisi dan defisiensi besi. Transfusi darah hanya diberikan bila perlu dan apabila pemberian transfusi dapat memperbaiki keadaan klinis secara nyata. Terapi apabila nilai Hb < 8 g % yaitu dengan pemberian eritropoietin, tetapi pengobatan ini masih terbatas karena mahal. Target pemberian eritropoietin adalah dengan nilai Hb > 11 g %. Jika tidak diberikan terapi dengan eritropoietin maka bisa diberikan terapi besi (Levin et al., 2008). f. Kalsium dan fosfor Terdapat 3 mekanisme yang saling berhubungan yaitu hipokalsemia dengan hipoparatiroid sekunder, retensi fosfor oleh ginjal, dan gangguan pembentukan 1,25 dihidroksikalsiferol metabolit aktif vitamin D. Pada keadaan ini dengan nilai GFR < 30 mL/mnt diperlukan pemberian fosfor seperti kalsium bikarbonat atau kalsium asetat yang diberikan pada saat makan. Pemberian vitamin D juga PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 15 perlu diberikan untuk meningkatkan absorbsi kalsium di usus. Diet rendah fosfat dilakukan untuk menjaga hiperfosfatemia. Jika diet rendah fosfat gagal, dapat diberikan calcium-containing phosphate binders. Namun jika terdapat hiperkalemia maka dosis calciumcontaining phosphate binders atau vitamin D harus dikurangi. Hipokalesemia harus dikoreksi jika pasien menunjukkan gejala atau tanda peningkatan level parat hormon (Dipiro et al., 2008). g. Hiperurisemia Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg, apabila kadar asam urat > 10 mg/dl atau apabila terdapat riwayat gout (Mahdiana, 2011). 4. Inisiasi dialisis Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan dialisis tetap atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya nilai GFR sekitar 5-10 ml/mnt. Dialisis juga diiperlukan bila: a. Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan b. Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan c. Overload cairan (edema paru) d. Ensefalopati uremik dan penurunan kesadaran e. Efusi perikardial f. Sindrom uremia (mual,muntah, anoreksia, dan neuropati) yang memburuk (Levin et al., 2008). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 16 C. Interaksi obat 1. Pengertian interaksi obat Interaksi obat adalah kejadian dimana respon farmakologis atau klinis dari pemberian suatu kombinasi obat, tidak sama dengan efek yang diharapkan timbul bila dua obat diberikan secara terpisah. Interaksi obat terjadi bila efek dari suatu obat berubah dengan adanya kehadiran obat lainnya, makanan, minuman atau zat kimiawi lingkungan (Kurnia, 2007). 2. Prevalensi interaksi obat Prevalensi interaksi obat secara keseluruhan di dunia adalah 50-60% (Wynn, 2009). Penggunaan polifarmasi obat dimana lebih dari 50% rata-rata pasien mendapat 3-5 jenis obat atau lebih untuk setiap lembar resepnya (Raut, 2013). Insidens efek samping obat akan meningkat dengan banyaknya obat yang diberikan. Di mana pasien sebanyak 4009 yang mendapatkan obat dengan kisaran jumlah obatnya (0-5) jumlah efek sampingnya 142 (4%), sedangkan pada pasien sebanyak 641 yang mendapatkan obat dengan kisaran jumlah obat (16-20) jumlah efek sampingnya 347 (54%). Beberapa penelitian juga menunjukkan terjadinya interaksi obat sampai 88% pada populasi lansia yang berobat jalan (Kurnia, 2007). Meningkatnya kompleksitas dan polifarmasi obat yang digunakan dalam pengobatan memungkinkan terjadinya interaksi obat semakin besar (Shekar and Bhagawan, 2014). Kurangnya dokumentasi dan pengamatan terkait kejadian interaksi obat serta kurangnya pengetahuan para dokter mengenai interaksi obat dapat memperparah kejadian interaksi obat dalam pelayanan kesehatan (Nidhi, 2012). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 17 3. Jenis interaksi obat Jenis-jenis interaksi obat meliputi interaksi farmakokinetik, farmakodinamik dan farmasetis. a. Interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakokinetik merupakan interaksi antara dua obat atau lebih yang mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi salah satu obat atau lebih di dalam tubuh (Hacker, Bachman, and Messer, 2009). Interaksi dapat diukur pada perubahan parameter farmakokinetik meliputi konsentrasi maksimal (Cmax), konsentrasi obat di dalam tubuh persatuan waktu (AUC), waktu paruh eliminasi dan total obat yang diekskresikan lewat urin (CI) (Tatro, 2007). 1) Interaksi pada proses absorpsi Interaksi pada proses absorpsi terjadi ketika adanya penggunaan dua obat atau lebih pada waktu yang bersamaan sehingga laju absorpsi dari salah satu atau kedua obat mengalami perubahan. Interaksi pada proses absorpsi dapat dipengaruhi oleh perubahan pada pH saluran pencernaan, kelarutan obat, metabolisme saluran pencernaan, flora usus, mukosa usus, adsorpsi, khelasi, perubahan motilitas saluran pencernaan, induksi atau inhibisi dari protein transporter obat, malabsorpsi yang disebabkan oleh obat dan mekanisme kompleks lainnya (Tatro, 2007). Salah satu obat dapat menghambat, menurunkan, atau meningkatkan laju absorpsi obat yang lainnya. Hal ini dapat terjadi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 18 dengan cara memperpendek atau memperpanjang waktu pengosongan lambung dengan menambah pH lambung dan dengan membentuk kompleks dengan obat. Laksatif merupakan obat yang dapat meningkatkan kecepatan pengosongan dan usus halus sehingga menurunkan absorpsi obat. Narkotik dan antikolinergik dapat meningkatkan motilitas lambung dan usus halus sehingga dapat menyebabkan peningkatan laju absorpsi obat. Semakin banyak jumlah obat yang diabsorpsi pada usus halus, semakin banyak jumlah yang memasuki sirkulasi sistemik (Syamsudin, 2011). Interaksi obat pada proses absorpsi terjadi di dalam usus halus. Usus merupakan lokasi utama untuk absorpsi obat karena mempunyai wilayah absorpsi yang sangat luas, daya serap obat yang lebih tinggi dan jumlah aliran darah melalui kapiler usus lebih besar sehingga obat yang diserap dapat diangkut ke sirlukasi sistemik (Syamsudin, 2011). Pada perubahan motilitas saluran pencernaan, respon suatu obat dapat berubah karena terdapat obat lain yang mengubah motilitas saluran pencernaan. Apabila waktu transit obat ke dalam saluran pencernaan mengalami peningkatan atau terjadi penurunan maka obat akan terabsorpsi cepat atau lambat. Metokloporamid, eritromisin dan obat pencahar merupakan obat-obatan yag dapat menurunkan waktu transit di saluran pencernaan (Albert, 2008). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 19 2) Interaksi pada proses distribusi Setelah obat mengalami proses absorpsi ke dalam darah maka obat tersebut akan bersirkulasi secara cepat ke seluruh jaringan tubuh. Pada saat darah mengalami sirkulasi, obat akan bergerak dari aliran darah kemudian masuk ke jaringan tubuh. Distribusi obat adalah perjalanan obat dari darah dan ke darah serta beberapa jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jaringan otak. Obat yang masuk ke dalam jaringan yang berbeda memiliki kecepatan yang berbeda, di mana tergantung pada kecepatan obat menembus membran (Tatro, 2007). Dalam fase distribusi, akan terjadi interaksi jika dua obat yang berikatan tinggi dengan protein atau albumin bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma. Akibatnya terjadi penurunan dalam pengikatan dengan protein pada salah satu atau kedua obat itu sehingga lebih banyak obat bebas yang bersirkulasi dalam plasma dan meningkatkan kerja obat, efek ini dapat menimbulkan toksisitas obat (Syamsudin, 2011). Apabila terdapat dua obat yang berikatan kuat dengan protein yang harus digunakan secara bersamaan, maka perlu adanya pengurangan dosis salah satu atau kedua obat tersebut untuk menghindari terjadinya toksisitas obat (Aronson, 2009) dan (Triplitt, 2006). 3) Interaksi pada proses metabolisme atau biotransformasi Dalam proses metabolisme, obat yang akan masuk ke dalam tubuh akan diubah menjadi lebih polar agar dapat dieksresikan oleh ginjal dan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 20 menghasilkan metabolit inaktif. Terdapat dua fase pada proses metabolisme obat yaitu fase pertama yang meliputi reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Fase kedua meliputi reaksi konjugasi metabolit atau obat dari reaksi fase pertama dengan substrat endogen seperti asam glukuronat. Tujuan dari reaksi fase pertama yaitu mengubah obat menjadi senyawa yang lebih polar dan reaksi fase kedua bertujuan membuat senyawa menjadi inaktif (Tatro, 2007). Suatu obat dapat menigkatkan metabolisme obat lain dengan cara menginduksi enzim-enzim di hati. Fenobarbital merupakan contoh obat yang dapat meningkatkan induksi enzim yang disebut sebagai penginduksi enzim (Triplitt, 2006). Penurunan efek obat disebabkan karena adanya proses metabolisme obat yang dapat meningkatkan dan mempercepat proses eliminasi obat dan menurunkan konsentrasi obat di dalam plasma (Syamsudin, 2011). Inhibitor enzim merupakan cara menginhibisi enzim-enzim dengan menurunkan metabolisme obat lain. Proses metabolisme obat akan menurun dan memperlambat proses eliminasi obat sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan efek obat di dalam plasma (Syamsudin, 2011). 4) Interaksi pada proses ekskresi Ekskresi obat sebagian besar terjadi lewat ginjal melalui urin dan juga melalui empedu. Interaksi obat pada proses ekskresi dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perubahan pH urin, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 21 perubahan ekskresi empedu dalam bentuk siklus enterohepatik, perubahan ekskresi aktif pada tubulus ginjal dan perubahan aliran darah ginjal (Baxter, 2010). a) Perubahan ekskresi aktif pada tubular ginjal. Penurunan ekskresi obat satu sama lain melalui kompetisi dalam berikatan disebabkan oleh banyaknya obat yang memiliki mekanisme transport yang sama dalam tubulus ginjal (Syamsudin, 2011). b) Perubahan pH urin. Obat adalah suatu asam lemah atau basa lemah, ketika urin bersifat basa maka obat-obatan basa lemah akan direabsorpsi kedalam tubulus distal. pH urin dapat bervariasi sesuai dengan makanan yang dikonsumsi, variasi pH urin berkisar antara 4,5 – 8,0. Ketika pH urin asam maka obatobat yang bersifat basa akan lebih mudah diekskresikan. Pada suasana basa atau nilai pH tinggi, obat asam lemah yang memiliki pKa 3-7 sebagian besar berada dalam bentuk terion dan tidak larut dalam lemak, sehingga obat tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan akan tetap berada dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh (Syamsudin, 2011). Obat yang bersifat basa lemah dengan nilai pKa 7,5-10,5 dalam suasana basa akan berada dalam bentuk tidak terionisasi dan terlarut dalam lemak. Hal tersebut mengakibatkan obat dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan terjadi peningkatan konsentrasi obat. Sebaliknya pada saat suasana urin PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 22 asam maka obat yang bersifat basa tersebut akan lebih mudah diekskresikan (Syamsudin, 2011). b. Interaksi farmakodinamik. Interaksi farmakodinamik merupakan interaksi antara dua obat atau lebih yang dapat menyebabkan efek dari suatu obat mengalami perubahan oleh adanya kehadiran obat lain di tempat kerja atau aksi obat (Baxer, 2010). Interaksi farmakodinamik menimbulkan efek-efek obat yang aditif, sinergis (potensiasi), atau antagonis jika dua obat atau lebih yang mempunyai kerja yang serupa atau tidak serupa diberikan (Tatro, 2007). 1). Efek obat aditif Interaksi yang terjadi apabila adanya pemberian dua atau lebih obat yang memiliki efek terapeutik yang sama saat diberikan secara bersamaan. Efek yang dihasilkan dari pemberian obat-obat tersebut secara bersamaan merupakan jumlah dari efek kedua obat yang digabungkan secara tersendiri sesuai dengan dosis yang digunakan. Efek yang terjadi tersebut dapat merupakan efek yang diinginkan atau tidak diinginkan. Contoh interaksi aditif yang diinginkan adalah obat analgesik yaitu aspirin dan kodein yang dapat diberikan bersamaan untuk meredakan nyeri (Baxter, 2010). Contoh interaksi aditif yang tidak diinginkan yaitu interaksi aspirin dan alkohol yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan lambung (Syamsudin, 2011). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 23 2). Efek obat sinergisme Interaksi yang terjadi apabila dua obat atau lebih yang tidak memiliki ataupun memiliki efek farmakologi yang sama diberikan secara bersamaan akan memperkuat efek obat lain dan dapat menimbulkan peningkatan efek yang signifikan. Efek yang dihasilkan dapat merupakan efek yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan dan berbahaya bagi pasien yang mengkonsumsi obat tersebut (Tatro, 2007). 3). Efek obat antagonisme Efek yang dihasilkan dari interaksi obat yang terjadi antara dua atau lebih obat yang memiliki efek antagonis atau efek farmakologi yang berlawanan. Efek dari obat-obat yang berinteraksi tersebut akan saling meniadakan efek obat satu sama lain jika diberikan secara bersamaan (Syamsudin, 2011). Contoh dari efek antagonis adalah bila perangsang adrenergik beta isoproteronol dan propanolol diberikan bersamaan, maka akan terjadi interaksi obat saling meniadakan dan tidak satupun dari obat tersebut menimbulkan efek terapeutik (Baxter, 2010). c. Interaksi farmasetik. Interaksi farmasetik merupakan interaksi yang terjadi karena pencampuran obat secara langsung baik fisik atau kimiawi. Hasil dari interaksi tersebut adalah terjadi pembentukan endapan, perubahan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 24 warna dan mungkin dapat tidak terlihat. Interaksi farmasetik terjadi di luar tubuh sebelum obat diberikan (Nah, 2007). 4. Interaksi obat pada gagal ginjal kronik Pasien dengan gangguan ginjal dapat mengalami berbagai permasalahan terkait penggunaan obat diantaranya yaitu interaksi obat (Wiffen, Mitchell, Snelling, and Stoner, 2007). Obat nonsteroid antiinflamatory drugs (NSAID) mengganggu fungsi ginjal sehingga menyebabkan retensi cairan dan natrium, sehingga NSAID akan menghambat efek beberapa jenis obat diuretik dan antihipertensi. Adanya udem bisa juga terjadi pada pasien hipertensi yang mengalami interaksi. Beberapa obat dapat menginduksi gangguan renal dengan cara menurunkan klirens kreatinin, sehingga menurunkan ekskresi obat tersebut dan metabolitnya misalnya aminoglikosida, juga siklosporin dan kaptropil menurunkan klirens ginjal dari digoksin. Litium dapat menyebabkan ginjal menjadi sensitif terhadap penghambat ACE dengan hasil terjadinya gangguan ginjal (Kurnia, 2007). 5. Faktor dan penyebab terjadinya interaksi obat Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik obat, faktor diet, faktor fisiologi dari masing-masing individu seperti usia, berat badan, faktor genetik dan adanya penyakit penyerta yang dialami pasien seperti penyakit hati, ginjal, hipertensi, dan diabetes melitus merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya interaksi obat (Mahdiana, 2011). Pasien lansia memiliki kemungkinan dalam mengalami interaksi obat karena adanya penurunan fungsi organ dan penggunaan obat yang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 25 melebihi satu jenis obat. Administrasi dari dua atau lebih obat yang bekerja secara simultan, pemberian obat dalam waktu yang bersamaan, obat yang diresepkan untuk pasien berasal dari beberapa dokter, pasien mengkonsumsi obat herbal, makanan, vitamin, penggunaan polifarmasi dan ketidakpatuhan pasien merupakan penyebab terjadinya interaksi obat (Triplitt, 2006). 6. Signifikansi klinis interaksi obat Adanya interaksi dari beberapa obat dapat menimbulkan suatu dampak klinis yang nantinya berpengaruh signifikan terhadap klinis. Interaksi obat ditandai berdasarkan level signifikansi klinis. Kategori signifikansi klinis dapat dibedakan menjadi 5 menurut Tatro (2007) yang mencakup onset, tingkat keparahan interaksi dan dokumentasi. Onset merupakan seberapa cepat efek klinis dari interaksi obat dapat menyebabkan suatu tingkat keparahan, sehingga diperlukan suatu tindakan pencegahan untuk menghindari efek dari interaksi tersebut (Tatro, 2007). Terdapat 2 level atau tingkat onset yang terdiri dari onset yang cepat dan onset yang lambat. Onset yang cepat ditandai dengan dengan efek dari interaksi obat yang akan terlihat dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemberian obat dan memerlukan penanganan medis untuk mencegah efek dari interaksi yang ditimbulkan. Onset yang mempunyai sifat lambat ditandai dengan efek dari interaksi obat akan terlihat dalam waktu lebih dari 24 jam dan tidak diperlukan suatu penanganan medis untuk mencegah efek dari interaksi yang ditimbulkan (Tatro, 2007). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 26 Tingkat keparahan interaksi obat merupakan suatu potensi keprahan yang ditimbulkan akibat adanya interaksi obat. Tingkat keparahan interaksi obat penting digunakan dalam menilai risiko dan manfaat dari pemberian terapi. Dilakukan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi waktu dan jalur administrasi pemberian obat agar efek negatif dari interaksi obat dapat dihindari (Tatro, 2007). Berdasarkan tingkat keparahannya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu major, moderat dan minor. Tingkat keparahan major dari interaksi obat dapat berpotensi mengancam nyawa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen. Tingkat keprahan moderat dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien sehingga diperlukan terapi tambahan untuk pasien dalam menangani interaksi obat yang terjadi. Tingkat keparahan minor dapat menghasilkan efek yang biasanya ringan dan biasanya tidak diperlukan pengobatan tambahan (Tatro, 2007). Dokumentasi merupakan proses pengumpulan data terkait interaksi obat yang mendasari keyakinan adanya interaksi obat dapat menyebabkan perubahan pada suatu respon kinis. Tingkat dokumentasi merupakan evaluasi terhadap kualitas dan relevansi klinis dari literatur utama yang mendukung terjadinya interaksi obat. Terdapat lima tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu established, probable, suspected, possible, unlikely (Tatro, 2007). Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu established merupakan interaksi obat yang sangat mantap terjadi, adanya kejadian secara klinis telah terbukti berdasarkan penelitian-penelitian. Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 27 probable merupakan interaksi obat yang dapat terjadi, namun belum terbukti secara klinis. Interaksi farmakokinetik telah dibuktikan dalam penelitian studi terhadap manusia. Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu suspected merupakan interaksi obat yang diduga dapat terjadi, adanya beberapa data penelitian yang baik dan perlu studi lebih lanjut untuk memastikan interaksi obat yang terjadi. Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu possible merupakan interaksi obat yang belum pasti terjadi, tersedia data penelitian yang mendukung namun sangat terbatas. Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu unlikely merupakan interaksi obat yang kemungkinan tidak terjadi. Tidak terdapat bukti terjadinya perubahan efek klinis pasien (Tatro, 2007). Berdasarkan hal tersebut dapat dirangkum bahwa tingkat signifikansi interaksi obat menurut Tatro (2007), dibedakan menjadi 5 kategori yang mencakup tingkat keparahan dan dokumentasi yang dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel I. Kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007) Kategori signifikansi Tingkat keparahan Dokumentasi klinis 1 Major Established, probable atau suspected 2 Moderat Established, probable atau suspected 3 Minor Established, probable atau suspected 4 Major atau moderat Possible 5 Minor Possible Sebagian besar Unlikely Berdasarkan Tabel I di atas keterangan mengenai kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007) yaitu: PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 28 1. Kategori signifikansi klinis 1 mencakup tingkat keparahan major dan dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau suspected. Tingkat keparahan major dapat menimbulkan risiko yang berpotensi mengancam jiwa pasien serta mengakibatkan kerusakan yang permanen. Oleh karena itu, kombinasi obat tersebut harus dihindari. 2. Kategori signifikansi klinis 2 memiliki tingkat keparahan moderat dan dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau suspected. Tingkat keparahan moderat menimbulkan efek yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan dari status klinik pasien sehingga dibutuhkkan terapi tambahan atau perawatan di rumah sakit 3. Kategori signifikansi klinis 3 mencakup tingkat keparahan minor dan dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau suspected. Tingkat keparahan minor menimbulkan efek interaksi obat ringan dan secara signifikan tidak mempengaruhi status klinik pasien sehingga terapi tambahan tidak diperlukan. 4. Kategori signifikansi klinis 4 mencakup tingkat keparahan major atau moderat dan dokumentasi mengenai interaksi obat yaitu possible. Tingkat keprahan major atau moderat menimbulkan efek yang dapat berbahaya karena dapat mengubah respon farmakologi individu sehingga diperlukan terapi tambahan. 5. Kategori signifikansi klinis 5 mencakup tingkat keparahan minor dan dokumentasi mengenai interaksi obat yaitu sebagian besar unlikely namun terdapat juga beberapa dokumentasi yang possible. Tingkat keparahan minor PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 29 menimbulkan efek yang ringan dan respon klinik yang dialami pasien dapat mengalami perubahan atau tidak. Menurut Hansten and Horn (2002), kategori signifikansi klinis mempertimbangkan adanya suatu potensi yang dapat membahayakan bagi pasien dan terdapat tingkat dokumentasi dari interaksi obat yang terjadi. Terdapat tiga kategori signifikansi klinis yaitu kategori pertama yaitu, pemberian kombinasi obat harus dihindari karena efek yang ditimbulkan pada pasien akibat interaksi obat lebih banyak menimbulkan risiko dan kerugian dibandingkan manfaat dan keuntungannya. Kategori signifikansi klinis kedua yaitu, pemberian kombinasi obat sebaiknya dihindari, kecuali apabila manfaat dari kombinasi obat lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan, namun disarankan untuk menggunakan kombinasi obat lain yang sejenis dan memiliki risiko yang lebih kecil. Diperlukan adanya modifikasi dosis, rute pemberian obat dan waktu pemberian obat apabila ingin dikombinasi untuk mengurangi terjadinya kejadian interaksi obat. Pasien harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi obat. Kategori signifikansi klinis ketiga yaitu kombinasi obat memberikan risiko yang kecil, memiliki manfaat yang lebih banyak daripada risiko yang ditimbulkan serta pasien harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi obat. Menurut Hansten and Horn (2002), selain terdapat kategori signifikansi klinis terdapat beberapa penjelasan mengenai interaksi obat yang meliputi ringkasan mengenai penjelasan singkat dari hasil potensi interaksi obat dan signifikansi klinis, faktor risiko dari interaksi obat yang terjadi, penjelasan mengenai obat yang berinteraksi dan manajemen terapi terkait adanya interaksi obat. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 30 Menurut Chelmow et al., (2014) terdapat empat kategori signifikansi klinis interaksi obat yaitu interaksi obat kontraindikasi, serius, signifikan dan minor atau tidak signifikan. Pada kategori signifikansi klinis interaksi obat yang kontraindikasi obat yang tidak dapat digunakan karena dapat membahayakan keadaan pasien, interaksi obat yang serius yaitu kombinasi obat tidak dapat digunakan atau harus dihindari karena dapat membahayakan keadaan pasien. Dibutuhkan alternatif untuk pemilihan obat lain yang tidak membahayakan kondisi pasien (Chelmow et al., 2014) dan (Kapadia, 2013). Pada kategori signifikansi klinis interaksi obat yang signifikan harus dilakukan monitoring secara ketat terhadap kombinasi obat yang diberikan kepada pasien, diperlukan adanya penyesuaian dosis antara kedua obat dan modifikasi jalur serta waktu pemberian obat. Pada kategori signifikansi klinis interaksi obat minor atau tidak signifikan kombinasi obat dapat diberikan kepada pasien karena tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi pasien, namun harus tetap dilakukan monitoring pada kondisi pasien (Chelmow et al., 2014) dan (Kapadia, 2013). 7. Peran apoteker dalam interaksi obat Apoteker bersama dengan dokter memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pasien mengetahui risiko efek samping obat dan tindakan yang harus mereka lakukan dalam penggunaan obat. Dengan pengetahuan yang rinci mengenai obat, apoteker memiliki kemampuan untuk menghubungkan gejala klinis yang dialami pasien dengan kemungkinan efek yang merugikan dari terapi obat tersebut. Farmasis harus memastikan bahwa interaksi obat dapat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 31 diminimalkan dengan menghindari obat-obatan yang berpotensi menimbulkan interkasi obat pada pasien, sehingga apoteker berperan penting dalam mencegah, mendeteksi dan melaporkan adanya interaksi obat dalam pengobatan pasien (Syamsudin, 2011). D. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai interaksi obat peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember Tahun 2013. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian dengan judul “ Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” termasuk jenis penelitian deskriptif dengan data retrospektif. Penelitian ini bersifat deskriptif karena hanya melihat gambaran interaksi obat yang diresepkan dan tidak dianalisis dengan mengadakan wawancara dengan pasien maupun dokter tetapi dibahas berdasarkan pustaka yang ada. Penelitian ini bersifat retrospektif karena pengambilan data berdasarkan rekam medis pasien pada periode waktu lampau yang telah ditentukan (Notoatmodjo, 2010). B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Pasien gagal ginjal kronik adalah pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember Tahun 2013 yang telah didiagnosis oleh dokter dan dituliskan di rekam medis pasien mengalami gagal ginjal kronik dengan komplikasi, tanpa komplikasi dan dengan penyakit penyerta. 2. Karakteristik pasien gagal ginjal kronik meliputi umur dan jenis kelamin. Umur dapat dibagi menjadi dua kelompok meliputi adult dan geriatri. Adult memiliki rentang umur 15 sampai dengan 59 tahun dan geriatri memiliki rentang umur lebih besar dari atau sama dengan 60 tahun. Jenis kelamin terdiri dari perempuan dan laki-laki. 32 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 33 3. Gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik merupakan gambaran peresepan obat pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani Rawat Jalan di RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 yang meliputi kelas terapi obat (golongan dan jenis) obat, jumlah obat, dan cara pemberian obat. 4. Interaksi obat adalah pemberian terapi berupa 2 atau lebih jenis obat secara bersamaan yang dapat menghasilkan efek menguntungkan ataupun merugikan yang dikaji secara teoritis berdasarkan studi literatur yang mengacu pada Tatro (2007), Baxter (2010), Chelmow et al., (2014) dan Hasten and Horn (2002). Interaksi obat yang dikaji merupakan interaksi antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain. Pengkajian interaksi obat tersebut karena penggunaan obat antihipertensi memiliki persentase tertinggi dalam pola peresepan pasien gagal ginjal kronik. 5. Jenis interaksi obat yang diteliti adalah interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik yang terjadi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Interaksi farmakokinetik merupakan interaksi yang terjadi antara dua obat atau lebih yang mempengaruhi proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi salah satu obat atau lebih. Interaksi farmakodinamik merupakan interaksi antara dua obat atau lebih yang dapat menimbulkan efek obat yang aditif, sinergisme atau antagonisme. 6. Katagori signifikansi klinis interaksi obat merupakan level atau tingkat signifikansi dari beberapa obat yang saling berinteraksi. Pengkajiannya PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 34 dilakukan secara teoritis berdasarkan literatur dengan mengacu pada Tatro (2007), Chelmow et al., (2014) dan Hansten and Horn (2002). C. Subyek dan Bahan Penelitian 1. Subyek penelitian meliputi seluruh pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013. Kriteria inklusi dari subyek penelitian adalah pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul yang menerima resep pengobatan gagal ginjal kronik dengan komplikasi atau tidak atau dengan penyakit penyerta. Kriteria eksklusi dari subyek penelitian adalah rekam medis pasien yang tidak lengkap. 2. Bahan penelitian yang digunakan berupa lembar rekam medis pasien yang menerima resep pengobatan gagal ginjal kronik dengan komplikasi atau tidak atau dengan penyakit penyerta di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 yang ditulis oleh dokter dan perawat mengenai data pengobatan pasien. D. Alat atau Instrumen Alat atau instrumen penelitian berupa lembar kerja yang bertujuan untuk mempermudah dalam pengambilan data penelitian terhadap peresepan pengobatan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013. Lembar kerja ini memuat tanggal pengobatan, nomor RM, jenis kelamin, diagnosis, terapi obat yang diberikan (jenis obat, regimen dosis, dan cara pemberian obat), dan data klinik atau data laboratorium pasien. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 35 E. Tata Cara Penelitian Penelitian mengenai “Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” meliputi beberapa tahap yaitu: 1. Tahap orientasi Pada tahap ini, peneliti melakukan survei untuk mencari informasi mengenai rumah sakit yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian, untuk mengetahui prevalensi penyakit yang terjadi di rumah saikt tersebut, untuk mengetahui adanya kebutuhan mengenai evaluasi peresepan pasien pada penyakit tertentu serta tata cara dalam pengambilan data penelitian di rumah sakit tersebut. 2. Tahap penentuan subyek penelitian Pada tahap ini peneliti mencari informasi mengenai jumlah pasien terkait dengan cara pengambilan data subyek penelitian. Pada penelitian ini jumlah populasi pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 adalah sebanyak 65 pasien yang digunakan sebagai subyek penelitian. 3. Tahap pengambilan data Tahap pengambilan data, diawali dengan mencatat nomor registrasi subyek penelitian dibagian catatan medik. Selanjutnya nomor registrasi pasien digunakan untuk mencari nomor rekam medis subyek penelitian. Nomor rekam medis digunakan untuk menemukan rekam medis subyek penelitian yang digunakan sebagai bahan penelitian. Data yang diambil meliputi tanggal PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 36 pengobatan, nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, diagnosa medis, terapi obat yang diberikan meliputi jenis obat, regimen dosis, dan rute pemberian, serta data klinik atau data laboratorium pasien. F. Tata Cara Analisis dan Penyajian Hasil Penelitian 1. Tata cara analisis data Berdasarkan hasil pengumpulan data rekam medis pasien, data yang diperoleh diolah dengan metode statistika deskriptif dengan menghitung presentasenya, meliputi : a. Karakteristik pasien gagal ginjal kronik. Persentase karakteristik pasien gagal ginjal kronik yang meliputi umur dan jenis kelamin dihitung dengan cara jumlah umur dan jenis kelamin dibagi dengan jumlah keseluruhan pasien dikalikan 100%. b. Gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik. Gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik dihitung dengan cara kelas terapi obat (golongan dan jenis) obat, jumlah obat, dan cara pemberian obat dibagi dengan keseluruhan jumlah obat dikalikan 100%. c. Persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Interaksi obat pada pasien gagal ginjal kronik di Intalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013, dilakukan pengkajian secara teoritis berdasarkan studi literatur yang mengacu pada Tatro (2007), Baxter (2010), Chelmow et al., (2014) dan Hastern and Horn (2002), selanjutnya dihitung persentase interaksi obat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 37 dengan cara jumlah interaksi obat dibagi dengan keseluruhan jumlah resep dikalikan 100%. d. Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013, dikaji secara teoritis berdasarkan studi literatur yang mengacu pada Tatro (2007), Chelmow et al., (2014) dan Hastern and Horn (2002)., selanjutnya dihitung dengan cara kategori signifikansi klinis interaksi obat dibagi dengan jumlah keseluruhan kategori signifikansi klinis interaksi obat dikalikan 100%. 2. Penyajian hasil data penelitian Data yang diperoleh dari rekam medis pasien akan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Hasil analisis data mencakup karakteristik pasien gagal ginjal kronik, gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik, persentase interaksi obat dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013. G. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak dapat mengkonfirmasi data terkait aturan pakai, cara pemberian obat dan dosis obat yang dapat mempengaruhi terjadinya interaksi obat. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang studi literatur interaksi obat dengan obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 dibagi dalam 3 bagian. Bagian pertama mengenai karakteristik pasien gagal ginjal kronik. Bagian kedua berisi tentang gambaran pola peresepan pasien gagal ginjal kronik. Bagian ketiga berisi tentang studi literatur interaksi obat pada pasien gagal ginjal kronik. Jumlah lembar resep pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan pada periode Desember tahun 2013 sebanyak 65 lembar resep yang terdiri dari 65 pasien. A. Karakteristik Pasien Gagal Ginjal Kronik Karakteristik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 pada penelitian ini meliputi umur dan jenis kelamin. 1. Umur pasien gagal ginjal kronik Umur pasien secara tidak langsung dapat mempengaruhi besarnya kasus gagal ginjal kronik. Berdasarkan data yang diperoleh pengelompokkan umur pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dibagi menjadi dua kelompok umur yaitu adult dan geriatri. Adult memiliki rentang umur 15 tahun hingga 59 tahun dan geriatri memiliki rentang umur lebih besar dari atau sama dengan 60 tahun (Ahmad, 2001) dan (Madhu and Sreedevi, 2013). Persentase umur pada pasien gagal ginjal kronik dapat dilihat pada Gambar 1. 38 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 39 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00% Adult ( 15-59 tahun ) Geriatri (≥ 60 tahun) Gambar 1. Diagram persentase umur pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 Berdasarkan data yang diperoleh dari 65 pasien, persentase pasien gagal ginjal kronik yang paling banyak terdapat pada kelompok umur adult atau dewasa sebesar 58,5% (38 pasien), kemudian diikuti dengan kelompok geriatri sebesar 41,5% (27 pasien). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Peradnyani (2006) yang juga meneliti pasien gagal ginjal kronik pada semua kelompok umur (pediatri, adult dan geriatri). Hasil yang paling banyak terdapat pada kelompok umur adult (dewasa) sebanyak 69, 9%. Pada kondisi saat ini dengan gaya hidup yang kurang sehat, dimana terdapat banyaknya bahan makanan dan minuman yang mengandung bahan kimia yang sering dikonsumsi oleh kalangan muda maupun dewasa, diduga sebagai pemicu terjadinya penyakit ginjal kronik. Merokok, minuman beralkohol, penggunaan obat-obatan, serta makanan siap saji (fast food) yang sering dikonsumsi juga dapat berakibat munculnya penyakit ginjal kronik yang dapat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 40 menyerang berbagai kalangan usia. Kurangnya kesadaran tentang pentingnya hidup sehat sangat berpengaruh pada kesehatan. Hal yang sederhana seperti kurangnya meminum air putih juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit ginjal kronik (Mahdiana, 2011). 2. Jenis kelamin pasien gagal ginjal kronik Pengelompokkan pasien gagal ginjal kronik berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 2. 38% Perempuan Laki-laki 62% Gambar 2. Diagram persentase jenis kelamin pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 Dilihat dari Gambar 2 di atas persentase pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 62% (40 orang) dibandingkan dengan perempuan yaitu 38% (25 orang). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh Peradnyani (2006), diperoleh hasil bahwa proporsi jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita gagal ginjal kronik dibandingkan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 41 dengan perempuan. Hal ini juga sesuai dengan sebuah penelitian meta analisis yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih cepat progresif mengalami kerusakan ginjal (non diabetik) dari pada perempuan. Pasien laki-laki yang mengalami gagal ginjal kronik kemugkinan disebabkan karena kebiasaan yang kurang baik pada laki-laki seperti merokok, minum minuman yang beralkohol, dan jarang berolahraga yang dapat memicu timbulnya suatu penyakit. Keadaan tersebut kurang diperhatikan, sehingga lambat laun dapat menyebabkan penyakit ginjal (Diantary, 2007). B. Gambaran Pola Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013 Gambaran pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember Tahun 2013 yang disajikan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu pertama gambaran umum pola peresepan meliputi jumlah obat tiap lembar rekam medik pasien dan cara pemberian obat. Kedua adalah gambaran pola peresepan berdasarkan kelas terapi obat. 1. Gambaran umum pola peresepan Gambaran umum pola peresepan meliputi jumlah obat tiap lembar rekam medik pasien dan cara pemberian obat. a. Jumlah obat yang digunakan pada pola peresepan pasien gagal ginjal kronik. Pada pengobatan pasien gagal ginjal kronik, pasien mendapatkan lebih dari satu jenis obat. Pemberian obat tersebut memungkinkan terjadinya interaksi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 42 antara obat dengan obat. Jumlah obat yang digunakan pada tiap lembar rekam medik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 disajikan dalam Tabel II di bawah ini. Tabel II. Distribusi jumlah obat tiap lembar resep pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 No Jumlah obat Jumlah lembar resep (N= 65) Persentase (%) 1 1-2 1 1,5 2 3-4 27 41,5 3 5-6 27 41,5 4 7-8 7 10,8 5 9-10 3 4,7 Total lembar resep 65 100 Pada Tabel II di atas, menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 menggunakan obat berjumlah tiga sampai empat jenis dan lima sampai enam jenis memiliki persentase terbesar yaitu 41,5%. Banyaknya gejalagejala penyakit yang menyertai penyakit gagal ginjal kronik mengakibatkan pasien menerima obat-obatan yang bervariasi sehingga jumlah obat yang digunakan lebih dari satu jenis obat (Dipiro et al., 2008). b. Cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Cara pemberian obat secara umum pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 43 Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel III dibawah ini. Tabel III. Distribusi cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 No Cara Pemberian Obat Jumlah Obat (N = 326) Persentase (%) 1 Per oral 307 94,2 2 Sub Kutan 18 5,5 3 Topikal 1 0,3 Total obat 326 100 Berdasarkan Tabel III, cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu secara per oral, sub kutan dan topikal dengan persentase tertinggi adalah pemberian secara per oral sebesar 94,2 %. Dalam peresepan ini, persentase pemberian secara per oral memiliki persentase tertinggi karena penggunaan obat pada peresepan ini kebanyakan merupakan obat antihipertensi dan obat lain dengan rute pemberian secara per oral. Terdapat juga cara pemberian secara sub kutan maupun topikal karena dalam peresepan ini pasien juga menerima insulin, eritropoietin, dan betametason untuk mengobati penyakit penyerta. Beragamnya cara pemberian obat pada gagal ginjal kronik dikarenakan banyaknya penyakit penyerta (Sudoyo, 2006). 2. Gambaran pola peresepan berdasarkan kelas terapi obat Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebagian besar pasien gagal ginjal kronik memperoleh pengobatan lebih dari 1 macam obat (polifarmasi). Polifarmasi merupakan pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 44 lebih dari yang dibutuhkan secara logis dan rasional yang dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan (Syamsudin, 2011). Faktor inisiasi merupakan kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal. Diabetes melitus, hipertensi dan penyakit glomerulus merupakan penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik (Dipiro et al., 2008). Dalam penelitian ini, obat-obatan yang paling banyak digunakan yaitu obatobatan pada sistem kardiovaskular, obat gizi dan darah, obat hormonal, obat penyakit otot skelet dan sendi, obat sistem saluran cerna, obat sistem saraf pusat, obat infeksi, obat sistem saluran nafas, obat antihistamin dan antialergi dan obat antiinflamasi. Obat-obat yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronik akan disajikan dalam bentuk tabel maupun gambar. a. Obat kardiovaskuler. Obat kardiovaskuler yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronik meliputi kelas terapi antitrombotik, antihipertensi, antiangina, glikosida jantung, dan obat penurun lipid. Obat yang bekerja pada sistem kardiovaskular merupakan obat yang paling banyak digunakan dalam peresepan untuk pasien gagal ginjal kronik. Hal ini terlihat dari jumlah kasusnya yang paling banyak yaitu 133 kasus dengan penggunaan obat kelas terapi antihipertensi yang paling tinggi. Kelas terapi dan golongan obat sistem kardiovaskuler yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel IV. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 45 Tabel IV. Kelas terapi dan golongan obat sistem kardiovaskuler yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 No Kelas Terapi Golongan Nama Obat Jumlah Kasus Persentase (%) 1 Antitrombotik Thienopyridin Clopidogrel 1 0,8 2 Antihipertensi Antagonis reseptor angiotensin II Irbesartan (Irtan) 7 5,3 Candesartan 6 4,5 Valsartan 5 3,8 Micardis (telmisartan) 2 1,5 Amlodipin ® ® (Amdixal , Intervask ) 25 18,8 Nifedipin 10 7,5 Diltiazem 1 0,8 ACEI Captopril 4 3,0 Antihipertensi sentral Klonidin 12 9,0 β –blocker Bisoprolol 1 0,8 Diuretik Thiazid HCT 1 0,8 Diuretik Kuat Furosemid 40 30,1 ® CCB 3 Antiangina Golongan Nitrat ISDN 6 4,5 4 Glikosida Jantung Digitalis Digoksin 1 0,8 5 Obat penurun Lipid (Hiperlipedemi/ dislipidemia) Statin Simvastatin 8 6,0 Klofibrat Gemfibrosil 3 2,3 133 100 Total PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 46 Obat antihipertensi yang paling banyak digunakan yaitu golongan obat diuretik (diuretik thiazid dan diuretik kuat) sebesar 30.9%, diikuti oleh golongan obat CCB sebesar 27,1%, golongan obat antagonis reseptor angiotensin II sebesar 15,1%, golongan obat antihipertensi sentral sebesar 9,0%, ACEI sebesar 3,8%, dan β-blocker masing-masing sebesar 0,8%. Besarnya obat antihipertensi yang diberikan karena pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta ini memiliki riwayat penyakit hipertensi yang merupakan salah satu penyebab gagal ginjal kronik. Penyakit gagal ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi akibat adanya tekanan darah yang tinggi yaitu ≥ 130/80 mmHg. Tekanan darah yang tinggi ini, bila terjadi terus menerus maka dapat menganggu pembuluh darah kecil di dalam ginjal sehingga dapat mengganggu kemampuan ginjal untuk menyaring darah (Mahdiana, 2011). Kegunaan obat diuretik yaitu membantu pengeluaran kelebihan cairan dan elektrolit dari dalam tubuh, serta membantu juga dalam menurunkan tekanan darah (Mahdiana, 2011). Diuretik merupakan obat penurun tekanan darah didasarkan pada mekanisme kerjanya dalam mengeluarkan natrium serta mengurangi volume darah. Natrium berperan dalam resistensi vaskuler dengan meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivitas saraf (Katzung, 2013). Penurunan tekanan darah oleh adanya penggunaan diuretik berkisar antara 10 sampai 15 mm Hg pada sebagian besar pasien (Black and Elliot, 2007). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 47 Loop diuretics memiliki efek langsung pada aliran darah melalui beberapa jaringan vaskular. Furosemid dapat meningkatkan aliran darah ginjal melalui efek prostaglandin pada pembuluh darah ginjal (Katzung, 2013). Pemakaian tiazid pada usia lanjut mempunyai keuntungan menurunkan risiko osteoporosis sekunder, akan tetapi diuretik tiazid mempunyai efek abnormalitas pada proses metabolik. Efek ini bersifat sementara dan sering tidak berkesinambungan. Efek yang terjadi tergantung besar dosis yang digunakan (Ikawati, Djumiani dan Putu, 2008). Obat antihipertensi mempunyai jalur eliminasi melalui ginjal. Pada kondisi gagal ginjal, obat antihipertensi dapat menyebabkan penumpukan pada ginjal sehingga dapat memperburuk fungsi ginjal. Oleh karena itu diperlukan perhatian dan penanganan yang khusus terutama pemilihan obat antihipertensi yang aman bagi ginjal. Obat-obat golongan inhibitor ACE (angiostensinconverting enzyme) dan ARB (angiotensin II receptor blocker) atau kombinasi keduanya dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi tekanan intraglomerular (Dipiro et al., 2008). Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) paling efektif pada kondisi-kondisi yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas renin plasma. Akan tetapi tidak terdapat korelasi baik antara aktivitas renin plasma dengan respon antihipertensif. Oleh karena itu, penentuan profil renin tidak diperlukan dalam konsumsi obat ini. ACE inhibitor berperan penting dalam mengobati pasien dengan penyakit ginjal kronik karena obat ini dapat mengurangi protenuria dan menstabilkan fungsi ginjal (Black and Elliot, 2007). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 48 Pada pola peresepan, obat yang diberikan yaitu kaptopril. Dalam pemberian obat ACE inhibitor dosis tinggi terutama kaptopril dapat menyebabkan proteinuria pada pasien dengan gagal ginjal ( Katzung, 2013). Obat-obat yang termasuk kedalam golongan ini bekerja dengan menghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme) yang menghidrolisis angiotensin I menjadi angiotensin II. Obat ini juga bekerja dengan mengaktifkan bradikinin, suatu vasodilator poten yang meransang pengeluaran nitrat oksida dan prostasiklin (Izzo, Sica, and Black, 2008). Obat golongan CCB (penghambat kanal kalsium) biasanya juga diberikan pada pasien hipertensi yang mengalami gagal ginjal kronik nonproteinuria dengan nilai klirens kreatininnya < 30 mg/mmol (Levin et al, 2008). Obat ini bekerja secara langsung menurunkan caridiac output dan detak jantung. Pemilihan jenis obat penghambat kanal kalsium didasarkan pada beberapa perbedaan hemodinamik yang dimiliki jenis obat tertentu (Porth and Matfin, 2009). Obat golongan antagonis reseptor anigotensin II juga banyak digunakan. Obat-obat ini juga berpotensi menghambat efek angiotensin secara total dibandingkan dengan inhibitor ACE karena terdapat enzim-enzim diluar ACE yang mampu menghasilkan angiotensin II. Obat golongan ini tidak berefek pada metabolisme bradikinin, sehingga merupakan penghambat efek angiotensin yang lebih selektif dibandingkan dengan inhibitor ACE. Jenis-jenis obat Angiotensin II Receptor Blocker yang digunkan pada pola peresepan ini yaitu irbesartan, candesartan, valsartan, dan telmisartan. Penghambat reseptor angiotensin PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 49 memberikan manfaat yang serupa dengan manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan gagal jantung dan penyakit ginjal kronik. Efek-efek samping dari obat penghambat reseptor angiotensin serupa dengan yang ditemukan untuk inhibitor ACE (Huether and McCance, 2008). Klonidin yang merupakan golongan obat antihipertensi sentral juga banyak digunakan. Klonidin bersifat larut lemak dan cepat masuk ke otak dari sirkulasi. Penghentian klonidin setelah waktu pemakaian yang cukup lama, terutama dalam dosis tinggi (lebih dari 1 mg/hari) dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat mengancam nyawa yang diperantarai oleh aktivitas saraf simpatis. Dalam penghentian penggunaan obat ini dilakukan secara bertahap dan diberikan obat antihipertensi lainnya sebagai pengganti (Katzung, 2013). Obat golongan β-blocker (penghambat adrenoreseptor beta) efektif pada 50-70% pasien dengan hipertensi ringan sampai sedang, namun pada lansia efektvitas obat lebih rendah (Mahdiana, 2011). Sebagian besar penghambat adrenoreseptor beta terbukti efektif untuk menurunkan tekanan darah. Penghambat adrenoreseptor beta merupakan golongan obat yang bekerja pada reseptor β-adrenergik jantung dan mengakibatkan penurunan denyut jantung dan kardiak output (Porth and Matfin, 2009). Sifat farmakologik beberapa jenis obat β-blocker berbeda dalam beberapa aspek dan memberi manfaat terapeutik dalam situasi klinis tertentu. Salah satu obat β-blocker yang terdapat dalam pola peresepan yaitu bisoprolol. Obat ini merupakan penghambat β1 selektif yang terutama dimetabolisme di hati PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 50 dengan waktu paruh panjang. Karena waktu paruh dari obat ini yang lama maka obat-obat ini dapat diberikan cukup sekali dalam satu hari (Huether and McCance, 2008). Obat-obat lain yang digunakan adalah antitrombotik 0,8%, antiangina 4,5%, glikosida jantung 0,8 %, dan obat penurun lipid 8,3 %. b. Obat gizi dan darah. Obat gizi dan darah merupakan peringkat kedua dalam pola peresepan obat pada pasien gagal ginjal kronik. Obat kelas terapi antianemia paling banyak digunakan yaitu sebesar 42,2%, mineral sebesar 40%, vitamin sebesar 12,2%, cairan dan elektrolit sebesar 5,5%. Kelas terapi dan golongan obat gizi dan darah yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel V Tabel V. Kelas terapi dan golongan obat gizi dan darah yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 No 1 2 Kelas Terapi Antianemia Mineral Golongan Jumlah kasus Nama Obat Persentase (%) Anemia defisiensi asam folat Anemia defisiensi besi Asam Folat (Anemolat®) Hemafort® (Sulfasferrosus) 31 34,4 6 6,7 Eritropoetin beta Recormon® 1 1,1 Seng 30 33,3 Kalsium Asetat CaCO3/ Osteocal® Lenal ace® 6 6,7 3 Vitamin Vitamin Sohobion® 11 12,2 4 Cairan dan Elektrolit Calcium Polystirene Sulfonat Kalium Klorida Kalitake® 1 1,1 KCl/KSR 4 4,4 90 100 Total PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 51 Anemia biasanya terjadi pada pasien dengan nilai GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2. Pada pasein dengan gagal ginjal kronik sangat sering terjadi anemia. Penyebab anemia karena terjadinya defisiensi eritropoetin dan juga defisiensi besi (Levin et al, 2008). Pemberian zat besi (ferrous sulphate) dapat mengatasi anemia yang diakibatkan karena kekurangan zat besi pada pasien gagal ginjal kronik. Suplemen zat besi bisa diberikan dalam bentuk tablet (ditelan) maupun injeksi (disuntik) (Mahdiana, 2011). Dalam pola peresepan ini diberikan secara oral dalam bentuk tablet. Salah satu fungsi ginjal yaitu menghasilkan hormon eritropoietin. Hormon ini bekerja untuk merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Penyakit ginjal kronik menyebabkan produksi hormon eritropoetin mengalami penurunan sehingga menimbulkan anemia. Oleh karena itu, hormon eritropoietin juga perlu digunakan untuk mengatasi anemia yang ditimbulkan karena penyakit ginjal kronik (Mahdiana, 2011). Osteocal (CaCO3) pada pasien gagal ginjal kronik biasanya digunakan sebagai buffer dalam penanganan kondisi asidosis metabolik yang terjadi hampir pada seluruh pasien gagal ginjal karena adanya kesulitan pada proses eliminasi buangan asam hasil dari metabolisme tubuh (Sjamsiah, 2005). Osteocal (CaCO3) juga bisa digunakan dalam penanganan kondisi hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia pada pasien gagal ginjal terjadi akibat adanya pelepasan fosfat dari dalam sel karena kondisi asidosis dan uremik yang sering terjadi. Osteocal (CaCO3) ini bekerja dengan mengikat fosfat pada saluran pencernaan sehingga mengurangi absorpsi fosfat (Mahdiana, 2011). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 52 Defisiensi folat relatif sering terjadi sehingga biasanya diberikan asam folat. Defisiensi folat sering disebabkan oleh asupan folat dalam diet yang kurang memadai. Pasien yang memerlukan dialisis ginjal berisiko mengalami defisiensi asam folat karena selam prosedur dialisis folat dikeluarkan dari plasma (Katzung, 2013). Pada pasien dengan penyakit ginjal, kadar eritropoietin biasanya rendah karena ginjal tidak dapat menghasilkan faktor pertumbuhan. Ketersediaan obat perangsang eritropoesis memiliki dampak positif yang signifikan bagi pasien anemia. Obat perangsang eritropoesis ini digunakan secara rutin pada pasien anemia dengan penyakit ginjal kronik (Katzung, 2013). Pada gagal ginjal kronik, kadar kalsium dalam darah biasanya menjadi rendah, sebaliknya kadar fosfat dalam darahnya tinggi, untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan mineral ini, maka diberikan kalsium, vitamin dan juga elektrolit (Mahdiana, 2011). c. Obat hormonal. Berdasarakan penelitian yang dilakukan, obat hormonal yang paling banyak diberikan merupakan obat dengan kelas terapi antidiabetik parenteral sebesar 51,5% dan antidiabetik oral sebesar 48,5%. Kelas terapi dan golongan obat hormonal yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel VI. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 53 Tabel VI. Kelas terapi dan golongan obat hormonal yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 No Kelas terapi 1 Antidiabetik parenteral 2 Antidiabetik Oral Golongan Obat Nama Obat Analog insulin Sulfonil urea Novomix® (Insulin Aspart) Glikuidon (Glidiab®) Glimepirid 17 51,5 10 30,3 5 15,2 Akarbose (Eclid®) 1 3,0 33 100 Inhibitor alfa glukosida Total Jumlah Persentase Kasus (%) Tujuan penggunaan obat antidiabetik ini yaitu untuk mengobati penyakit diabetes melitus yang diderita oleh pasien gagal ginjal kronik. Penyakit ginjal adalah penyebab utama kematian dan ketidakmampuan pada diabetes, sehingga jika tidak diperhatikan maka gagal ginjal akan berkembang lebih cepat (Pearle et al, 2007). Diabetes melitus juga merupakan penyebab dari gagal ginjal kronik. Dalam terapi diabetes melitus, penggunaan obat hipoglikemik oral maupun insulin bertujuan untuk mengontrol kadar glukosa darah pasien. Adanya penggunaan terapi kombinasi yaitu obat hipoglikemik oral dan obat hipoglikemik oral atau obat hipoglikemik oral dan insulin disertai dengan terapi nonfarmakologi selain dapat menurunkan kadar glukosa darah, dapat juga memperbaiki fungsi dari sel PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 54 beta pankreas dan tidak merusak ginjal (Triplitt, 2008) dan (Inzucchi, Bergenstal, Buse, Diamant, Ferrannini, Nauck et al., 2012). Dalam pola peresepan ini obat yang paling banyak diberikan yaitu kelas terapi antidiabetik parenteral yaitu insulin aspart. Insulin jenis ini bekerja secara cepat dan memiliki onset yang cepat pula. Lama kerja insulin ini berkisar 3 hingga 5 jam sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya efek hipoglikemia setelah makan (Sheeja, Reddy, Joseph, 2010). Kelas terapi antidiabetik oral juga diberikan dalam pola peresepan ini yang meliputi golongan obat sulfonilurea dan inhibitor alfa glukosida. Sulfonilurea yang digunakan dalam pola peresepan ini adalah sulfonilurea generasi kedua yaitu glimepirid dan glikuidon. Penggunaan sulfonilurea generasi kedua lebih banyak digunakan dibandingkan generasi pertama karena memiliki efek samping yang lebih jarang terjadi dan kurang berinteraksi dengan obat lain (Katzung, 2013). Glimepirid memiliki efek utama yaitu peningkatan pelepasan insulin pada sel beta pankreas sebagai respon terhadap glukosa serum (Mittal and Juyal, 2012). Glimepirid biasanya diberikan sebagai monoterapi pada pasien diabetes melitus tipe II yang tidak dapat dikontrol dengan diet dan modifikasi gaya hidup. Penggunaan glimepirid pada pada lansia, penyakit ginjal dan hati harus diperhatikan (Basit, Riaz, and Fawwad, 2012). Eclid (akarbose) merupakan obat golongan inhibitor alfa glukosida. Kerja utama obat golongan ini yaitu di usus halus. Obat ini mempengaruhi metabolisme PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 55 karbohidrat, absorbsi karbohidrat, memodulasi peningkatan kadar plasma glukosa dan insulin postprandial (Fujita, Tamada, Kozawa, Kobayashi, Sasaki, Kitamura et al., 2012). d. Obat penyakit otot skelet dan sendi. Obat yang digunakan yaitu obat pada kelas terapi reumatik. Obat golongan ini seperti alopurinol efektif untuk menormalkan kadar asam urat dalam darah (Mahdiana, 2011). Kelas terapi dan golongan obat penyakit otot skelet dan sendi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel VII. Pada pola peresepan ini hanya digunakan alopurinol dengan persentase 100%. Berdasarkan pola peresepan, penggunakan alopurinol merupakan terapi baku pada gout selama periode di antara serangan akut. Alopurinol mengurangi asam urat total di dalam tubuh dengan menghambat xantin oksidase (Katzung, 2013). Tabel VII. Kelas terapi dan golongan obat penyakit otot skelet dan sendi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 No Kelas Terapi Golongan Nama Obat Jumlah Persentase Kasus (%) 1 Gout Alopurinol 25 100 25 100 Reumatik Total Alopurinol diserap sekitar 80% setelah pemberian oral dan memiliki waktu paruh serum terminal 1-2 jam. Seperti asam urat, alopurinol dimetabolisme PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 56 oleh xantin oksidase dan memiliki masa kerja yang cukup lama sehingga alopurinol dapat diberikan sekali sehari (Katzung, 2013). e. Obat sistem saluran cerna. Obat pada sistem saluran cerna yang diresepkan pada pasien gagal ginjal kronik dapat dilihat pada Tabel VIII. Obat sistem saluran cerna yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronik meliputi antiemetik, antitukak, dan antiulkus. Obat yang paling banyak digunakan yaitu antiulkus sebesar 58,8%, antitukak 23,5% dan antiemetik 17,6%. Tabel VIII. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran cerna yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 No Kelas Terapi Golongan Nama Obat Jumlah Persentase Kasus (%) 1 Antiemetik Antagonis dopamin Metoklopramid 3 17,6 2 Antitukak Antagonis reseptor H2 Ranitidin 4 23,5 3 Antiulkus Penghambat pompa proton Sukralfat Lansoprazol 6 35,3 Mucogard® 4 23,5 17 100 Total Antagonis H2 memiliki waktu paruh serum obat berkisar 1,1 sampai dengan 4 jam namun lama kerja obat bergantung pada dosis yang diberikan. Antagonis H2 dibersihkan oleh kombinnasi metabolisme hati, filtrasi glomerulus, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 57 dan sekresi tubulus ginjal. Diperlukan pengurangan dosis pada pasien dengan insufisiensi ginjal sedang sampai parah (Katzung, 2013). Inhibitor pompa proton (proton pump inhibitor) merupakan salah satu obat penghambat asam yang efektif dan banyak diresepkan di seluruh dunia karena tingkat efikasi dan keamanannya yang tinggi. Dalam pola peresepan, obat inhibitor pompa proton yang digunakan yaitu lansoprazol. Berbeda dari antagonis H2, obat ini menghambat sekresi baik saat puasa maupun setelah makan. Obat ini menghambat jalur umum akhir sekresi asam, pompa proton (Katzung, 2013). Sukralfat juga merupakan salah satu golongan obat yang digunakan dalam pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik. Sukralfat merupakan suatu garam sukrosa yang berikatan dengan alumunium hidroksida bersulfat. Adanya sukrosa sulfat yang bermuatan negatif yang akan berikatan dengan protein-protein bermuatan positif di dasar ulkus yang akan membentuk suatu sawar fisik sehingga mencegah kerusakan kaustik lebih lanjut serta merangsang sekresi bikarbonat dan prostaglandin mukosa. Pada pengguaan obat ini, sejumlah kecil garam aluminum terserap, sehingga penggunaannya untuk jangka waktu yang lama tidak diperbolehkan untuk pasien dengan insufisiensi ginjal (Katzung, 2013). Metokloporamid merupakan antagonis resepetor dopamin D2. Di saluran cerna, adanya pengaktifan reseptor dopamin akan menghambat stimulasi otot polos kolinergik. Obat ini dapat meningkatkan amplitudo peristaltik esofagus, meningkatkan tekanan sfingter esofagus bawah, dan meningkatkan pengosongan lambung tetapi tidak berefek pada motilitas usus halus atau kolon. Obat ini juga PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 58 menghambat reseptor dopamin D2 di chemoreceptor trigger zone medula (area postrema) sehingga menghasilkan efek anti mual dan anti muntah (Katzung, 2013). f. Obat sistem saraf pusat. Obat sistem saraf pusat yang digunakan yaitu meliputi kelas terapi antivertigo, antidepresan dan analgesik. Persentase penggunaan obat paling besar yaitu pada kelas terapi analgesik non opioid sebesar 69,2%, antivertigo 23,1%, dan antidepresan 7,7%. Kelas terapi dan golongan obat sistem saraf pusat yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel IX . Tabel IX. Kelas terapi dan golongan obat sistem saraf pusat yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 No Kelas Terapi Golongan Nama Obat Jumlah Persentase Kasus (%) 1 Antivertigo Betahistin Mesilat Vastigo® (Versilon®) 3 23,1 2 Antidepresan Trisiklik Amitriptylin 1 7,7 3 Analgesik Non opioid Paracetamol 9 69,2 13 100 Total g. Obat infeksi. Obat infeksi yang digunakan dalam pola persepan ini terdiri dari antibiotik dan antifungi. Persentase terbesar yaitu pada penggunaan antibiotik sebesar 87,5% dan diikuti oleh penggunaan antifungi sebesar 12,5%. Kelas terapi dan golongan obat infeksi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 59 Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel X. Tabel X. Kelas terapi dan golongan obat infeksi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 No 1 2 Kelas Terapi Antibiotik Antifungi Total Golongan Nama Obat Jumlah Kasus Persentase (%) Sefalosporin Cefixim® 5 62,5 Kuinolon Ciprofloxacin 1 12,5 Levofloxacin 1 12,5 Ketoconazole 1 12.5 8 100 Imidazol Penggunaan obat infeksi pada pasein gagal ginjal kronik untuk mencegah penyakit komplikasi. Pada penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang tinggi terhadap serangan infeksi terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat memperkuat proses katabolisme dan mengganggu nutrisi serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga harus segera diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut (Price and Wilson, 2006). h. Obat sistem saluran nafas. Obat sistem saluran nafas yang digunakan dalam pola persepan ini terdiri dari golongan mukolitik dan ekspektoran. Persentase terbesar yaitu pada golongan obat mukolitik sebesar 75 % dan ekspektoran sebesar 25%. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran nafas yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel XI. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 60 Tabel XI. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran nafas yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 No 1 Kelas Terapi Batuk dan Ekspetoran Golongan Jumlah Persentase Kasus (%) Nama Obat Mukolitik Ambroxol 3 75 Ekspektoran OBH 1 25 4 100 Total i. Obat antihistamin dan antialergi. Obat antihistamin dan antialergi yang digunakan dalam pola persepan ini yaitu golongan antagonis reseptor H1 sebesar 100%. Kelas terapi dan golongan obat antihistamin dan atialergi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel XII. Tabel XII. Kelas terapi dan golongan obat antihistamin dan atialergi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 No Kelas Terapi Golongan Nama Obat Jumlah Kasus Persentase (%) 1 Antialergi Antagonis reseptor H1 Cetirizin 2 100 2 100 Total j. Obat antiinflamasi. Obat antiinflamasi yang digunakan dalam pola peresepan ini adalah obat golongan steroid yaitu betametason sebesar 100%. Kelas terapi dan golongan obat antiinflamasi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 61 Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel XIII. Tabel XIII. Kelas terapi dan golongan obat antiinflamasi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 No Kelas Terapi Golongan Nama Obat Jumlah Kasus Persentase (%) 1 Antiinflamasi Steroid Betametason 1 100 1 100 Total C. Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Desember 2013 terdiri dari 6 bagian. Bagian pertama terkait persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Bagian kedua terkait persentase interaksi obat pada pada peresepan pasien gagal ginjal kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013. Bagian ketiga terkait proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain. Pengkajian interaksi obat tersebut karena penggunaan obat antihipertensi memiliki persentase tertinggi dalam pola peresepan pasien gagal ginjal kronik. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 62 Bagian keempat mengenai jenis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Bagian kelima terkait persentase kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Bagian keenam terkait mekanisme dan efek interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik yang dikaji berdasarkan literatur. 1. Persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik Pada periode Desember tahun 2013 terdapat 65 peresepan pasien yang digunakan sebagai bahan penelitian. Dalam peresepan tersebut terdapat peresepan dengan interaksi obat dan peresepan tanpa interaksi obat. Persentase jumlah peresepan interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik akan disajikan pada Gambar 3 di bawah ini. 18% Terdapat interaksi obat Tidak terdapat intraksi obat 82% Gambar 3. Persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 63 Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat terdapat interaksi obat pada 53 lembar peresepan pasien gagal ginjal kronik (82 %) dan tidak terdapat interaksi obat pada 12 lembar peresepan pasien gagal ginjal kronik (18%). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah peresepan dengan interaksi obat lebih tinggi dari pada jumlah peresepan tanpa interaksi obat. 2. Persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 Terdapat 52 peresepan pasien gagal ginjal kronik yang mengalami interaksi obat dari 65 peresepan. Jumlah peresepan seluruh pasien rawat jalan di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta pada periode Desember 2013 adalah sebanyak 16.892 lembar resep. Berdasarkan pada Gambar 6 di bawah ini persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 adalah sebanyak 0,3%. Persentase tersebut menunjukkan bahwa terdapat interaksi obat dengan jumlah yang relatif kecil dari keseluruhan peresepan pasien. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 64 0,3% Persentase peresepan dengan interaksi obat 99,7% Persentase peresepan tanpa interaksi obat Gambar 4. Diagram persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur Adanya interaksi obat walaupun dengan jumlah yang relatif kecil harus tetap diperhatikan karena dapat berpengaruh terhadap respon pengobatan yang diterima oleh pasien. Interaksi obat yang terjadi dapat menimbulkan efek yang menguntungkan ataupun merugikan pasien (Tatro, 2007) dan (Syamsudin, 2013). Terkait dengan interaksi obat, maka dalam penggunaan obat perlu dicermati, dilakukan monitoring dan kombinasi obat yang merugikan harus dihindari (Nah, 2007). 3. Proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain pada peresepan pasien gagal ginjal kronik Interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta pada bulan Desember 2013 disajikan pada Gambar 5 di bawah ini. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 65 15% 22% Obat antihipertensi dengan obat antihipertensi Obat antihipertensi dengan obat lain Obat lain dengan obat lain 63% Gambar 5. Diagram proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa proporsi interaksi antara obat antihipertensi dengan obat lain memiliki persentase yang paling tinggi yaitu sebesar 63% (82), kemudian diikuti oleh persentase obat lain dengan obat lain sebesar 22% (29), dan persentase obat antihipertensi dengan antihipertensi yaitu sebanyak 13,4% (19). Hal tersebut dapat diakibatkan karena obat yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronik bisa lebih dari satu obat. Berdasarkan pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik, penggunaan obat yang paling banyak yaitu obat antihipertensi, sehingga kemungkinan untuk berinteraksi dengan obat lain cukup tinggi. 4. Proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik Dalam penelitian ini dikaji dua jenis interaksi obat yaitu secara farmakokinetik dan farmakodinamik. Jenis interaksi obat pada peresepan pasien PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 66 gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini. 15% Interaksi farmakodiamik Interaksi farmakokinetik 85% Gambar 6. Diagram proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur (N= 130) Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa jenis interaksi yang paling besar yaitu interaksi farmakodinamik sebesar 85 % (110) interaksi obat dibandingkan dengan jenis interaksi farmakokinetik yaitu sebesar 15 % (20) interaksi obat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Peradnyani (2006) yaitu jenis interaksi farmakodinamik memiliki persentase tertinggi yaitu 92,9 % (117) interaksi obat dibandingkan interaksi farmakokinetik sebesar 7,1 % (9) interaksi obat. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 67 5. Jumlah kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik Kategori signifikansi klinis interaksi obat dikaji berdasarkan literatur Tatro (2007), Chelmow et al., (2014) dan Hansten and Horn (2002) dapat dilihat pada Tabel XIV. Tabel XIV. Distribusi jumlah kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur Kategori signifikansi klinis Jumlah kategori signifikansi interaksi obat klinis interaksi obat Kajian literatur signifikansi klinis berdasarkan Chelmow et al., (2014) 1 Kontraindikasi 0 2 Serius 6 3 Signifikan 37 4 Minor 79 Kajian literature signifikansi klinis berdasarkan Tatro (2007) 1 Kategori signifikansi klinis 1 2 2 Kategori signifikansi klinis 2 0 3 Kategori signifikansi klinis 3 1 4 Kategori signifikansi klinis 4 3 5 Kategori signifikansi klinis 5 4 Kajian literatur signifikansi klinis berdasarkan Hansten and Horn (2002) 1 Kategori signifikansi klinis 0 pertama 2 Kategori signifikansi klinis 2 kedua 3 Kategori signifikansi klinis 5 ketiga No Berdasarkan Tabel XIV, jumlah kategori signifikansi klinis interaksi obat yang paling besar adalah kategori signifikansi klinis minor sebesar (79 interaksi obat), kategori signifikansi klinis signifikan sebesar (37 interaksi obat), dan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 68 kategori signifikansi serius sebesar (6 interaksi obat) berdasarkan Chelmow et al., (2014). Tidak terdapat kategori signifikansi klinis kontraindikasi. Menurut Chelmow et al., (2014), kategori signifikansi klinis serius yaitu kombinasi obat tidak dapat digunakan atau harus dihindari karena dapat membahayakan keadaan pasien, sehingga dibutuhkan alternatif untuk pemilihan obat lain yang tidak membahayakan kondisi pasien (Chelmow et al., 2014). Pada kategori signifikasi klinis signifikan diperlukan adanya penyesuaian dosis antara kedua obat dan modifikasi jalur serta waktu pemberian obat. Pada kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan kombinasi obat dapat diberikan kepada pasien karena tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi pasien, namun harus tetap dilakukan monitoring pada kondisi pasien (Chelmow et al., 2014). Berdasarkan Tatro (2007), pada peresepan terdapat kategori signifikansi klinis 1 (2 interaksi obat), kategori signifikansi klinis 3 (1 interaksi obat), kategori signifikansi klinis 4 (3 interaksi obat) dan kategori signifikansi klinis 5 (4 interkasi obat). Tidak terdapat kategori signifikansi klinis 2 pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013. Berdasarkan Tatro (2007), kategori signifikasi klinis 1 memiliki tingkat keparahan major yang dapat menimbulkan risiko yang berpotensi mengancam jiwa pasien serta mengakibatkan kerusakan yang permanen. Oleh karena itu, kombinasi kedua obat tersebut harus dihindari. Dokumentasinya meliputi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 69 established, probable atau suspected. Kategori signifikansi klinis 3 memiliki tingkat keparahan minor yang dapat menimbulkan efek interaksi obat ringan dan secara signifikan tidak dapat mempengaruhi status klinik pasien sehingga terapi tambahan tidak diperlukan. Dokumentasinya meliputi established, probable atau suspected. Kategori signifikansi klinis 4 memiliki tingkat keparahan major atau moderat sehinngga menimbulkan efek yang dapat berbahaya karena dapat mengubah respon farmakoologi individu sehingga diperlukan terapi tambahan. Dokumentasinya yaitu possible. Kategori signifikansi klinis 5 memiliki tingkat keparahan minor yaitu menimbulkan efek yang ringan dan respon klinim yang dialami pasien dapat mengalami perubahan atau tidak. Dokumentasinya yaitu unlikely namun terdapat juga beberapa dokumentasi yang possible. Berdasarkan Hasten and Horn (2002), pada peresepan pasien gagal ginjal kronik terdapat kategori signifikansi klinis 2 (2 interaksi obat) dan kategori signifikansi klinis 3 (5 interaksi obat). Tidak terdapat kategori signifikansi klinis 1 pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013. Berdasarkan Hasten and Horn (2002), kategori signifikansi klinis 2 yaitu pemberian kombinasi obat sebaiknya dihindari, kecuali apabila manfaat dari kombinasi obat lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan, namun disarankan untuk menggunakan kombinnasi obat lain yang sejenis dan memiliki risiko yang lebih kecil. Diperlukan adanya modifikasi dosis, rute pemberian dan waktu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 70 pemberian obat apabila ingin dikombinasi untuk mengurangi terjadinya kejadian interaksi obat. Pasien harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi obat. Kategori signifikansi klinis 3 yaitu kombinasi obat memberikan risiko yang kecil, memiliki manfaat yang lebih banyak daripada risiko yang ditimbulkan serta pasien harus dimonitoring selama penggunaan obat (Hasten and Horn, 2002). 6. Mekanisme dan efek interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain Jenis interaksi obat farmakokinetik dan farmakodinamik memiliki perbedaan dalam hal mekanisme terjadinya interaksi dan efek yang ditimbulkan akibat adanya interaksi tersebut. Pembahasan mengenai mekanisme terjadinya interaksi dan efek yang ditimbulkan akibat adanya interaksi antara obat antinipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain mengacu pada literatur Tatro (2007), Baxter (2010), Chelmow et al., (2014) dan Hasten and Horn (2002) dan dapat dilihat pada Tabel XV, XVI dan XVII di bawah ini. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Tabel XV. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur No Obat antihipertensi Obat antihipertensi Mekanisme dan efek interaksi obat Jenis interaksi obat Interaksi farmakodinamik yaitu aditif (Chelmow et al, 2014) Interaksi farmakodinamik yaitu aditif (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al, 2014) 1 Klonidin Diltiazem Penggunaan bersamaan mengakibatkan bradikardi (Chelmow et al, 2014) 2 Irbesatan Furosemid 1. Irbesartan meningkatkan kadar serum kalium sedangkan furosemid menurunkan kadar kalium serum (Chelmow et al., 2014) 2. Penggunaan bersamaan mengakibatkan penurunan tekanan darah (Baxter, 2010) Kategori signifikansi klinis Kategori signifikansi klinis serius (Chelmow et al, 2014) Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014) Jumlah interaksi obat Managemen 1 Melakukan pemantauan denyut jantung dan tekanan darah pada pasien (Baxter, 2010). 5 1. Melakukan modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta melakukan pengecekan kadar serum kalium (Baxter, 2010). 2. Melakukan pemantauan tekanan darah pasien (Baxter, 2010). 38 71 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 72 3 4 Irbesartan Valsartan HCT Furosemid 1. Irbesartan meningkatkan kadar kalium serum dan HCT menurunkan kadar kalium serum (Chelmow et al., 2014). 2. Pengunaan bersamaan mengakibatkan penurunan tekanan darah (Baxter, 2010) 1. Valsartan meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan kadar kalium serum (Chelmow et al., 2014). 2. Pengunaan bersamaan mengakibatkan penurunan tekanan darah (Baxter, 2010). Interaksi farmakodinamik yaitu aditif (Chelmow et al., 2014 ) dan (Baxter, 2010). Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014) 1 1. Melakukan modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta melakukan pengecekan kadar serum kalium (Baxter, 2010). 2. Melakukan pemantauan tekanan darah pasien (Baxter, 2010). Interaksi farmakodinamik yaitu aditif (Chelmow et al., 2014) dan (Baxter, 2010). Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014 3 1. Melakukan modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta melakukan pengecekan kadar serum kalium (Baxter, 2010). 2. Melakukan pemantauan tekanan darah pasien (Baxter, 2010). 72 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 73 5 Micardis Furosemid 1. Micardis meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan kadar kalium serum (Chelmow et al., 2014). 2. Penggunaan bersamaan menyebabkan penurunan tekanan darah (Baxter, 2010) Interaksi farmakodinamik yaitu aditif (Chelmow et al., 2014) dan (Baxter, 2010). Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014). 1 1. Melakukan modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta melakukan pengecekan kadar serum kalium (Baxter, 2010). 2. Melakukan pemantauan tekanan darah pasien (Baxter, 2010). 73 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 74 6 Captopril Furosemid Meningkatkan efek antihipertensi serta adanya risiko terjadi hipotensi akut sehingga bisa menyebabkan hiperkalemia (Chelmow et al., 2014) dan (Hasten and Horn, 2002). Interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme (Chelmow et al., 2014) Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014) Kategori signifikansi klinis 3 (Tatro, 2007). Kategori signifikansi klinis 2 (Hasten and Horn, 2002). 2 Melakukan penurunan dosis (< 80 mg) setidaknya 24 jam sebelum pemberian ACE inhibitor dan adanya pemantauan kadar serum kalium pasien (Baxter, 2010). 7 Candesartan Furosemid 1. Candesartan meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan kadar serum kalium (Chelmow et al., 2014) Interaksi farmakodinamik yaitu aditif (Chelmow et al., 2014) dan (Baxter, 2010) Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014) 3 1. Melakukan modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta melakukan pengecekan kadar serum kalium (Baxter, 2010). 2. Penggunaan bersamaan 2. Melakukan pemantauan tekanan darah pasien PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 75 8 9 Bisoprolol Klonidin Total Furosemid Amlodipin menyebabkan penurunan tekanan darah 1. Bisoprolol meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan kadar serum kalium (Chelmow et al., 2014) 2. Penggunaan bersamaan mengakibatkan kelainan elektrodiagram dan peningkatan kadar trigliserida (Baxter, 2010). Penggunaan bersamaan mengakibatkan terjadinya peningkatan efek hipotensif (Hasten and Horn, 2002) (Baxter, 2010). Interaksi farmakodinamik yaitu aditif (Chelmow et al., 2014) Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014) 1 1. Perlu dilakukan monitoring terkait kadar kalium serum pasien (Baxter, 2010). 2. Perlu dilakukkan monitorinng terkait kadar gula darah pasien, tekanan darah (Baxter, 2010) Interaksi farmakodinamik yaitu aditif (Hasten and Horn, 2002) Kategori signifikansi klinis 3 (Hasten and Horn, 2002) 2 Melakukan modifikasi dosis dan waktu pemberian obat, serta melakukan pemantauan tekanan darah pasien (Baxter, 2010). 19 75 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 76 Tabel XVI. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat antihipertensi dengan obat lain pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur No Obat antihipertensi Obat lain Mekanisme dan efek interaksi obat 1 Captopril Alopurinol Adanya risiko reaksi hipersensitivitas jika kedua obat diberikan secara bersamaan (Chelmow et al., 2014) dan (Tatro, 2007) 2 Furosemid KSR/KCl KSR meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan kadar serum kalium (Chelmow et al., 2014) Jenis interaksi obat Kategori signifikansi klinis Interaksi Kategori farmakodinamik signifikansi yaitu sinergisme klinis serius (Chelmow et al., (Chelmow et 2014) al., 2014). Kategori signifikansi klinis 4 (Tatro, 2007) Kategori signifikansi klinis 2 (Hasten and Horn, 2002). Interaksi Kategori farmakodinamik signifikansi yaitu klinis antagonisme signifikan (Chelmow et al., (Chelmow et 2014) al., 2014) Jumlah Managemen interaksi obat 3 Melakukkan pemantauan terkait reaksi hipersensitivitas yang terjadi. Penggunaan obat dihentikan jika terjadi peningkatan manifestasi dari hipersensitivitas dan diberikan pengobatan sesuai dengan reaksi hipersensitivitas yang terjadi (Tatro, 2007). 4 Melakukan pengaturan dosis obat dan waktu minum kedua obat tersebut serta pemantauan kadar serum kalium (Baxter, 2010). 76 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 77 3 Furosemid Digoxin Furosemid meningkatkan efek dari digoxin sehingga meningkatkan aktivitas dan toksisitas dari digitalis (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al., 2014) Interaksi farmakodinamik sinergisme (Chelmow et al., 2014) dan (Baxter, 2010). 4 Furosemid Ciprofloxacin Efek farmakologi dari ciprofloxacin dapat ditingkatkan. (Tatro, 2007) Interaksi farmakodinamik sinergisme (Tatro, 2007) 5 Captopril Glimepirid Captopril meningkatkan efek glimepirid, sehingga menimbulkan risiko terjadinya hipoglikemia (Chelmow et al., 2014) dan Interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme (Chelmow et al., 2014) Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014) Kategori signifikansi klinis 1 (Tatro,2007) Kategori signifikansi klinis 3 (Hastern and Horn, 2002). Kategori Signifikansi klinis 5 (Tatro, 2007) 1 Melakukan pengukuran tingkat plasma kalium dan magnesium ketika menggunakan kedua obat ini dan adanya pembatasan diet natrium atau penambahan diuretik hemat kalium serta perlu adanya pengaturan dosis untuk digoxin terkait indeks terapi digoxin yang sempit (Baxter, 2010). 1 Melakukan pengaturan dosis obat dan waktu pemberian obat (Baxter, 2010). Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014) 3 Melakukan penyesuaian dosis obat baik captopril maupun glimepirid, melakukan monitoring kadar glukosa darah pasien dan kadar klirens kreatinin pasien (Chelmow et al., 2014) dan (Hasnuddin, 2012) 77 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 78 (Hasnuddin, 2012). Captopril dan KSR/KCl dapat meningkatkan kadar kalium serum sehingga mengakibatkan retensi kalium (Tatro, 2007). Interaksi farmakokinetik pada proses eliminasi (Chelmow et al., 2014). KSR/KCl Bisoprolol dan KSR meningkatkan kadar serum kalium (Chelmow et al., 2014) Interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme (Chelmow et al., 2014) Diltiazem CaCO3 Kalsium karbonat mengurangi efek diltiazem (Chelmow et al., 2014) Furosemid CaCO3 Furosemid menurunkan kadar kalsium karbonat dengan meningkatkan 6 Captopril KSR/KCl 7 Bisoprolol 8 9 Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014). Kategori signifikansi klinis 4 (Tatro, 2007). Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014) Interaksi Kategori farmakodinamik signifikansi yaitu klinis antagonisme signifikan (Chelmow et al., (Chelmow et 2014) al., 2014) Interaksi Kategori farmakodinamik signifikansi yaitu klinis minor antagonisme atau tidak 2 Menghentikan pemberian kalium klorida saat pemberian captopril pada pasien, dilakukan monitoring kadar serum kalium saat pemberian captopril dan menyesuaikan suplemen kalium yang diperlukan (Tatro, 2007) dan (Baxter, 2010) 1 Adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar serum kalium (Baxter, 2010). 1 Adanya pemantauan efektivitas dari diltiazem dan modifikasi dosis serta waktu pemberian obat (Baxter, 2010). 26 Adanya pengaturan dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar klirens pasien (Baxter, 2010). 78 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 79 klirens ginjal (Chelmow et al., 2014) Furosemid menurunkan kadar asam folat dengan meningkatkan klirens ginjal (Chelmow et al., 2014) 10 Furosemid Asam folat 11 Furosemid Paracetamol Paracetamol dapat menurunkan ekskresi prostaglandin ginjal dan penurunan aktivitas renin plasma (Tatro, 2007) 12 Furosemid Lenal ace Furosemid mengurangi tingkat kalsium asetat dengan meningkatkan klirens ginjal (Chelmow et al., 2014) 13 Furosemid Cefixim Cefixim meningkatkan toksisitas furosemid sehingga (Chelmow et al., signifikan 2014) (Chelmow et al., 2014) Interaksi Kategori farmakodinamik signifikansi yaitu klinis minor antagonisme atau tidak (Chelmow et al., signifikan 2014) (Chelmow et al., 2014) Interaksi Kategori farmakokinetik signifikansi pada proses klinis 5 ekskresi (Tatro, (Tatro,2007) 2007) Interaksi farmakodinamik yaitu antagonisme (Chelmow et al., 2014) Kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan (Chelmow et al., 2014) Interaksi Kategori farmakodinamik signifikansi sinergisme klinis minor (Chelmow et al., atau tidak 21 Adanya pengaturan dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar klirens pasien (Baxter, 2010). 5 Adanya pengaturan dosis dan waktu pemberian obat (Baxter, 2010). 3 Adanya pengaturan dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan klirens pasien (Baxter, 2010). 3 Adanya pengaturan dosis dan waktu pemberian obat (Baxter, 2010). 79 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 80 14 Furosemid Gemfibrosil 15 HCT Novomix (pre-mixed insulins atau insulin kombinasi) 16 Captopril Novomix menyebabkan nefrotoksisitas (Chelmow et al., 2014) Terjadinya diuresis mungkin disebabkan adanya kompetisi dan perpindahan furosemid oleh gemfibrosil dari tempat pengikatan protein plasma. Gemfibrosil terkadang bisa menyebabkan keracunan pada otot (Hastern and Horn,2002) dan (Chelmow et al., 2014) Hydrochlorothiazid mengurangi efek novomix sehingga menyebabkan efek hiperglikemia (Chelmow et al., 2014) Captopril meningkatkan efek 2014) signifikan (Chelmow et al., 2014) Interaksi farmakodinamik sinergisme (Chelmow et al., 2014) Kategori signifikansi klinis 3 (Hastern and Horn,2002) Kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan (Chelmow et al., 2014 Interaksi farmakodinamik yaitu antagonisme (Chelmow et al., 2014) Kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan (Chelmow et al., 2014) Kategori signifikansi Interaksi farmakodinamik 2 Adanya pemeriksaan serum protein dan fungsi ginjal sebelum pemberian kedua obat ini. Jika kadar serum albumin pasien rendah, maka total kadar pemberian gemfibrosil tidak boleh melebihi 500 mg untuk tiap 1g/ 100 ml konsentrasi albumin. Perlu dilakukan juga pengaturan waktu minum obat (Baxter, 2010). 1 Adanya modifikasi waktu pemberian obat, monitoring kadar glukosa darah pasien dan kadar klirens kreatinin pasien (Syamsudin, 2011). 1 Pasien perlu menyadari adanya peningkatan risiko 80 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 81 novomix sehingga mengakibatkan hipoglikemia (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al., 2014). yaitu sinergisme klinis 3 (Chelmow et al., (Hastern and 2014). Horn,2002) Kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan Chelmow et al., 2014) Interkasi farmakodinamik yaitu antagonisme (Chelmow et al., 2014) 17 Clonidin Glikuidon Clonidin menurunkan efek glikuidon sehingga menyebakan hiperglikemi (Chelmow et al., 2014). 18 Clonidin Novomix (premixed insulins atau insulin kombinasi) Clonidin menurunkan efek novomix sehingga menyebabkan hiperglikemi (Chelmow et al., 2014) dan (Hastern and Horn, 2002) Kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan (Chelmow et al., 2014) Interaksi Kategori farmakodinamik signifikansi yaitu klinis minor antagonisme atau tidak (Chelmow et al., signifikan 2014) (Chelmow et al., 2014) Kategori signifikansi hipoglikemia dengan tandatanda berupa takikardi, berkeringat dan tremor. Dosis novomix dikurangi ketika digunakan bersamaan dengan captopril atau adanya modifikasi waktu pemberian obat. Monitoring terhadap glukosa darah pasien (Hasten and Horn, 2002) dan (Baxter, 2010). 2 Adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010). 1 Adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010). 81 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 82 19 Diltiazem Total Lansoprazol klinis 3 (Hastern and Horn, 2002) Diltiazem Interaksi Kategori meningkatkan tingkat farmakokinetik signifikansi atau efek lansoprazol pada klinis minor dengan mempengaruhi metabolisme atau tidak metabolisme enzim (Chelmow et al., signifikan CYP3A4 di hati atau 2014) (Chelmow et usus (Chelmow et al., al., 2014) 2014) 1 Adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat (Baxter, 2010). 82 82 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 83 Tabel XVII. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat lain dengan obat antihipertensi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur No Obat lain Obat lain Mekanisme dan efek interaksi obat Jenis interaksi obat 1 Gemfibrosil Simvastatin Saling meningkatkan efek dari yang lain dengan sinergisme farmakodinamik, dapat menyebabkan miopati yang parah atau rhabdomyolysis (Chelmow et al., 2014) dan (Tatro, 2007) Interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme (Tatro, 2007). 2 Gemfibrosil Novomix Gemfibrosil meningkatkan efek novomix sehingga terjadi hipoglikemia (Chelmow et al., 2014). 3 Gemfibrosil Glimepirid Gemfibrosil meningkatkan efek glimepirid sehingga menimbulkan efek hipoglikemia (Chelmow Interaksi farmakokinetik pada proses distribusi dan ekskresi (Baxter, 2011) dan (Chelmow et al., 2014). Interaksi farmakokinetik yaitu pada proses distribusi, metabolisme dan ekskresi (Baxter, Kategori signifikansi klinis Kategori signifikansi klinis serius (Chelmow et al., 2014). Kategori signifikansi klinis 1 (Tatro, 2007) Jumlah Managemen interaksi obat 2 Adanya penyesuaian dosis, pemantauan nilai kreatinin kinase serta adanya edukasi dan pengawasan terhadap pasien (Mozayani dan Raymon, 2012) dan (Baxter, 2011). Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014). 1 Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014) 1 Penyesuaian dosis kedua obat dan melakukan monitoring kadar glukosa darah pasien (Dines, 2007), (Rojas, 2013), dan (Lacobelis, 2006). Melakukan monitoring kadar glukosa darah pasien dan adanya pengaturan dosis kedua obat (Chelmow et al., 2014) dan (Zambon 83 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 84 4 CaCO3 Alopurinol 5 Glimepirid Novomix 6 Simvastatin Digoxin 7 CaCO3 SF/Hemafort 8 Lenal ace Hemafort / SF et al., 2014). 2011) dan (Chelmow et al., 2014). Kalsium karbonat menurunkan tingkat alopurinol dengan menghambat penyerapan GI (Chelmow et al., 2014). Saling meningkatkan efek (Chelmow et al, 2014) Interaksi farmakodinamik (Chelmow et al., 2014). Simvastatin akan meningkatkan tingkat atau efek dari digoxin oleh P-glikoprotein (MDR1) (Chelmow et al, 2014) Kalsium karbonat akan menurunkan tingkat atau efek dari SF dengan meningkatkan pH lambung (Chelmow et al., 2014). Lenal ace menurunkan tingkat hemafort dengan Kategori signifikansi klinis 4 (Tatro, 2007) Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014). dan Cusi, 2007). 4 Perlu adanya penyesuaian dosis dan pengaturan interval pemberian dosis (Mozayani dan Raymon, 2012) dan (Baxter, 2011). Kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al, 2014) Interaksi Kategori farmakodinamik signifikansi klinis (Chelmow et al, 2014) signifikan (Chelmow et al, 2014) 1 Adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010). Adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat (Baxter, 2010). Interaksi farmakokinetik pada proses absorbsi (Chelmow et al., 2014). 2 Perlu adanya pengaturan interval pemberian dosis sehingga meminimalkan pencampuran kedua obat di dalam tubuh (Baxter, 2010). 1 Perlu adanya pengaturan interval pemberian dosis Interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme (Chelmow et al, 2014) Interaksi farmakokinetik pada Kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan (Chelmow et al., 2014). Kategori signifikansi klinis 1 84 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 85 menghambat penyerapan GI. Hemafor tmeningkatkan kadar lenal ace dengan meningkatkan penyerapan GI (Chelmow et al, 2014) Mucogard menurunkan tingkat lansoprazol dengan menghambat penyerapan GI (Chelmow et al, 2014) 9 Lansoprazol Mucogard 10 Lansoprazol Sohobion Lansoprazol menurunkan tingkat atau efek dari sohobion dengan menghambat penyerapan GI (Chelmow et al, 2014) 11 Amitriptilin Glikuidon 12 Glimepirid KSR/KCl Amitriptilin meningkatkan efek glikuidon sehingga menimbulkan risiko terjadinya hipoglikemi (Chelmow et al, 2014) KSR meningkatkan glimepirid sehingga proses absorbsi minor atau tidak (Chelmow et al, 2014) signifikan (Chelmow et al, 2014) Interaksi farmakodiamik yaitu antagonisme (Chelmow et al, 2014) sehingga meminimalkan pencampuran kedua obat di dalam tubuh (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al, 2014) Kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan (Chelmow et al, 2014) Interaksi Kategori farmakokinetik signifikansi klinis (Chelmow et al, 2014) minor atau tidak signifikan (Chelmow et al, 2014) 4 Adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat. Lansoprazol diberikan 30 menit sebelum pemberian mucogard (Baxter, 2010). 4 Adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat (Baxter, 2010). Interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme (Chelmow et al, 2014) 1 Adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010). 3 Adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat Interaksi farmakodinamik yaitu Kategori signifikansi klinis minor atau tidak Signifikan (Chelmow et al, 2014) Kategori signifikansi klinis 85 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 86 menimbulkan risiko terjadinya hipoglikemi (Chelmow et al, 2014) sinergisme (Chelmow et al, 2014) minor atau tidak signifikan (Chelmow et al, 2014) serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010). 13 Glimepirid Simvastatin Simvastatin meningkatkan konsentrasi glimepirid sehingga menimbulkan efek hipoglikemia (Tatro, 2007) Interaksi farmakokinetik yaitu pada proses metabolisme (Galani and Vyas, 2010). Kategori signifikansi klinis 5 (Tatro, 2007). 2 14 Eclid (acarbose) KSR/KCl KSR/KCl meningkatkan efek dari eclid sehingga menimbulkan efek hipoglikemia (Chelmow et al., 2014). Interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme (Chelmow et al., 2014). 1 15 Clopidogrel Simvastatin Simvastatin menghambat konversi clopidogrel menjadi bentuk aktifnya (Tatro, 2007) Interaksi farmakokinetik yaitu pada proses metabolisme (Tatro, 2007). Kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan (Chelmow et al., 2014). Kategori signifikansi klinis 5 (Tatro, 2007). Total 1 Melakukan monitoring terhadap kadar glukosa darah pasien untuk mewaspadai terjadinya efek hipoglikemi dan adanya penyesuaian dosis kedua obat tersebut (Tatro, 2007). Melakukan monitoring terhadap kadar glukosa darah pasien dan adanya penyesuaian dosis kedua obat tersebut (Lacy, 2012). Adanya penyesuaian dosis dan interval waktu pemberian obat (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al., 2014) 29 86 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 87 Berdasarkan Tabel XV, XVI, dan XVII di atas mekanisme dan efek dari interaksi obat adalah sebagai berikut ini. 1. Interaksi antara klonidin dan diltiazem Jumlah kasus interaksinya yaitu sebasar 1 kasus. Interaksi yang terjadi yaitu antara klonidin yang merupakan obat golongan antihipertensi sentral dengan diltiazem yang merupakan obat golongan CCB. Interaksi yang terjadi antara kedua obat ini dapat mengakibatkan bradikardi sehingga perlu mendapatkan perhatian dalam penggunaannya. Interaksi ini merupakan jenis interaksi farmakodinamik yaitu aditif dengan kategori signifikansi klinis serius (Chelmow et al., 2014). Managemennya ketika kedua obat ini digunakan bersamaan yaitu melakukan pemantauan denyut jantung dan tekanan darah pada pasien (Baxter, 2010). 2. Interaksi obat antara captopril dengan alopurinol pada peresepan terdapat 3 kasus. Interaksi antara captopril dengan alopurinol termaksud interaksi dengan kategori signifikansi klinis serius (Chelmow et al, 2014), kategori signifikansi klinis 4 (Tatro, 2007) dan kategori sigifikansi klinis 2 (Hasten and Horn, 2002). Jenis interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik sinergisme. Mekanismenya yaitu adanya risiko reaksi hipersensitivitas jika kedua obat diberikan secara bersamaan (Chelmow et al., 2014) dan (Tatro, 2007). Kombinasi dari kedua obat tersebut akan meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi hipersensitivitas seperti Stevens Johnson Syndrome, Anaphylaxis, pengelupasan kulit, demam dan arthtalgia (Hansten and Horn, 2002), (Tatro, 2007) dan (Baxter, 2010). Kombinasi antara dua obat tersebut PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 88 mungkin menambah kejadian hipersensitivitas karena pemberian captopril atau alopurinol tanpa kombinasi sudah dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas (Stockley, 2010). Managemen dari interaksi obat tersebut adalah dengan melakukan pemantauan reaksi hipersensitivitas yang terjadi, hentikan pemberian kombinasi kedua obat tersebut jika terjadi peningkatan manifestasi dari hipersensitivitas dan diberikan pengobatan sesuai dengan reaksi hipersensitivitas yang terjadi (Tatro, 2007). 3. Interaksi obat antara gemfibrosil dengan simvastatin pada peresepan terdapat 2 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis serius (Chelmow et al, 2014) dan kategori signifikansi klinis 1 (Tatro, 2007). Interaksi antara gemfibrosil dan simvastatin memiliki onset yang lambat, tingkat keparahan yang moderat dan tingkat dokumentasi obat yang diduga terjadi (suspected). Interaksi antara kedua obat ini merupakan interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme (Tatro, 2007). Mekanisme interaksi obat yang terjadi yaitu saling meningkatkan efek satu sama lain sehingga dapat menyebabkan miopati atau rabdomiolisis (Chelmow et al, 2014). Risiko terjadinya miopati akan meningkat yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan kreatinin kinase ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan. Gemfibrozil diekskresikan terutama melalui ginjal sehingga dosis dan interval pemberian dosis harus diturunkan pada pasien dengan insufisiensi ginjal (Mozayani dan Raymon, 2012). Kombinasi antara kedua obat ini dapat digunakan tanpa adanya toksisitas otot yang parah, namun dalam penggunaannya diperlukan perhatian yang besar. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 89 Managemen yang dilakukan ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan yaitu adanya penyesuaian dosis saat penggunaannya, pemantauan nilai kreatinin kinase, adanya edukasi serta pengawasan terhadap pasien (Mozayani dan Raymon, 2012) dan (Baxter, 2010). 4. Interaksi antara irbesartan dan furosemid Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 5 kasus. Interaksi kedua obat ini termaksud kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme interaksinya yaitu irbesartan meningkatkan kadar serum kalium sedangkan furosemid menurunkan kadar kalium serum (Chelmow et al., 2014). Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan umumnya memiliki efek aditif terkait penurunan tekanan darah dan umumnya masih dapat ditoleransi. Managemennya yaitu ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan adalah modifikasi dosis dan waktu pemberian obat, mengecek kadar serum kalium pasien, dan pemantauan tekanan darah (Baxter, 2010). 5. Interaksi antara irbesartan dengan HCT Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 1 kasus. Interaksi kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme interaksinya yaitu irbesartan meningkatkan kadar kalium serum dan HCT menurunkan kadar kalium serum (Chelmow et al., 2014). Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan umumnya memiliki efek aditif terkait penurunan tekanan darah dan umumnya masih dapat ditoleransi. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 90 Managemennya yaitu ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan adalah modifikasi dosis dan waktu pemberian obat, mengecek kadar serum kalium, dan pengecekan tekanan darah pasien (Baxter, 2010). 6. Interaksi antara valsartan dengan furosemid Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 3 kasus. Interaksi kedua obat ini termaksud kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme interaksinya yaitu valsartan meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan kadar serum kalium (Chelmow et al., 2014). Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan umumnya memiliki efek aditif terkait penurunan tekanan darah dan umumnya masih dapat ditoleransi. Managemennya yaitu ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan adalah modifikasi dosis dan waktu pemberian obat, mengecek kadar serum kalium, dan pengecekan tekanan darah (Baxter, 2010). 7. Interaksi antara micardis dengan furosemid Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 1 kasus. Interaksi kedua obat ini termaksud kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme interaksinya yaitu micardis meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan kadar kalium serum (Chelmow et al., 2014). Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan umumnya memiliki efek aditif terkait penurunan tekanan darah dan umumnya masih dapat ditoleransi. Managemennya yaitu ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan adalah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 91 modifikasi dosis dan waktu pemberian obat, mengecek kadar serum kalium dan pemantauan tekanan darah pasien (Baxter, 2010). 8. Interaksi antara captopril dengan furosemid Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 2 kasus. Interaksi yang terjadi yaitu antara captopril dan furosemid. Captopril merupakan obat golongan ACEI dan furosemid merupakan obat golongan diuretik kuat. Interaksi yang terjadi antara kedua obat ini merupakan interaksi secara farmakodinamik yaitu sinergisme dengan signifikansi klinis dari interaksi adalah minor dengan onset tertunda dan menimbulkan efek hipotensi akut (Tatro, 2007). Terjadinya peningkatan efek hipotensif ini bisa bersifat ekstrim sehingga dapat terjadi resiko hiperkalemia bila kombinasi kedua obat ini tetap diberikan (Hasten and Horn, 2002). Mekanisme terjadinya interaksi berkaitan dengan hilangnya jumlah natrium dan air saat pemberian diuretik yang akan meningkatkan efek hipotensi setelah pemberian ACE inhibitor (Baxter, 2010). Manajemen dari interaksi adalah dengan melakukan penurunan dosis diuretik (<80 mg) setidaknya 24 jam sebelum pemberian ACE inhibitor. Respon dari dosis awal ACE inhibitor harus dimonitoring setidaknya selama 2 jam dari saat pemberian, pemberian ACE inhibitor harus dimulai dari dosis yang paling rendah walaupun pada pasien dengan risiko rendah (Baxter, 2010). 9. Interaksi antara candesartan dengan furosemid Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 3 kasus. Interaksi kedua obat ini termaksud kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 92 merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme interaksinya yaitu candesartan meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan kadar serum kalium (Chelmow et al., 2014). Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan umumnya memiliki efek aditif terkait penurunan tekanan darah dan umumnya masih ditoleransi. Managemennya yaitu ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan adalah modifikasi dosis dan waktu pemberian obat, mengecek kadar serum kalium dan pemantauan tekanan darah pasien (Baxter, 2010). 10. Interaksi antara bisoprolol dengan furosemid Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 1 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme interaksinya yaitu bisoprolol meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan kadar serum kalium (Chelmow et al, 2014). Bisoprolol merupakan obat golongan β-blocker yang dapat menyebabkan retensi natrium dan air. Furosemid merupakan obat golongan diuretik yang dapat menyebabkan peningkatan sekresi renin oleh ginjal. Penggabungan kedua obat ini yaitu β-blocker menghambat peningkatan kadar renin dalam plasma yang disebabkan oleh diuretik dan diuretik mengurangi retensi natrium dan air yang disebabkan oleh β-blocker (Syamsudin, 2011) Kombinasi kedua obat ini dapat menyebabkan kelainan elektrodiagram, terjadinya peningkatan kadar trigliserida. Managemen yang perlu dilakukan yaitu adanya pemantauan kadar kalium serum, tekanan darah, dan glukosa PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 93 darah. Pasien dianjurkan untuk mencari bantuan medis jika mereka mengalami pusing, lemah, pingsan, detak jantung lebih cepat atau tidak teratur, atau hilangnya kontrol kadar glukosa darah (Baxter, 2010). 11. Interaksi obat antara furosemid dengan KCl/KSR pada peresepan terdapat 4 kasus. Interaksi obat antara furosemid dengan KCl/KSR merupakan interaksi farmakodinamik yaitu antagonisme dan termaksud kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al., 2014). Mekanisme yang terjadi yaitu KCl/KSR meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan kadar serum kalium. Managemennya yaitu adanya pengaturan dosis obat dan waktu minum kedua obat tersebut (Baxter, 2010). 12. Interaksi obat antara furosemid dengan digoksin pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik sinergisme dan termaksud kategori signifikansi klinis signifikan menurut Chelmow et al (2014), kategori signifikansi klinis 1 menurut Tatro (2007), dan kategori signifikansi klinis 3 menurut Hasten and Horn (2002). Mekanisme yang terjadi yaitu furosemid meningkatkan efek dari digoxin. Glikosida jantung menghambat natrium-kalium ATP-ase, yang berkaitan dengan transportasi ion natrium dan kalium melintasi membran sel miokard, sehingga meningkatkan aktivitas dan toksisitas dari digitalis. Adanya peningkatan ekskresi kalium dan magnesium dapat mempengaruhi otot jantung. Penggunaan bersamaan dapat menyebabkan toksisitas digitalis (Baxter, 2010). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 94 Managemen yang dilakukan yaitu mengukur tingkat plasma kalium dan magnesium ketika menggunakan obat ini dalam kombinasi. Perlu dipastikan bahwa kadar kalium tetap dalam kisaran normal. Mencegah kerugian lebih lanjut dengan pembatasan diet natrium atau penambahan diuretik hemat kalium (Baxter, 2010). 13. Interaksi obat antara furosemid dengan ciprofloxacin pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik sinergisme dan termaksud kategori signifikansi klinis 5. Interaksi antara furosemid dengan ciprofloxacin memiliki onset yang lambat, tingkat keparahan interaksi minor dan dokumentasi obat belum pasti terjadi (possible). (Tatro, 2007). Mekanisme yang terjadi yaitu adanya peningkatan efek farmakologi dari ciprofloxacin. Managemen yang dilakukan yaitu adanya pengaturan dosis obat dan waktu minum kedua obat tersebut ( Baxter, 2010) 14. Interaksi obat antara captopril dengan glimepirid pada peresepan terdapat 3 kasus. Interaksi yang terjadi termaksud dalam interaksi obat farmakodinamik yaitu sinergisme dan termaksud dalam kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al, 2014). Penggunaan captopril dengan dosis 50-100 mg/hari atau 25-50 mg dua kali sehari dapat meningkatkan efek glimepirid, sehingga dapat menimbulkan risiko terjadinya hipoglikemia. Captopril dapat meningkatkan efek glimepirid dan menurunkan kadar kolseterol total di dalam tubuh sehingga terjadi penurunan LDL, penurunan trigliserid dan peningkatan HDL (Baxter, 2010). Managemen yang dilakukan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 95 yaitu perlu adanya penyesuaian dosis obat baik captopril maupun glimepirid dan melakukan monitoring kadar glukosa darah pasien, kadar klirens kreatinin pasien (Chelmow et al,2014) dan (Hasnuddin, 2012). 15. Interaksi obat antara captopril dengan KCl/KSR pada peresepan terdapat 2 kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakokinetik pada proses eliminasi dan termaksud kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et al, 2014), kategori signifikansi klinis 4 (Tatro, 2007). Mekanismenya yaitu captopril dan KSR/KCl dapat meningkatkan kadar kalium serum sehingga mengakibatkan retensi kalium. Captopril menghambat angiotensin converting enzyme yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga mengakibatkan penurunan sintesis aldosteron (Porth and Matfin, 2009). Penghambatan sintesis aldosteron yang dihasilkan oleh captopril akan berpengaruh terhadap kadar kalium dalam tubuh yaitu akan terjadi penurunan ekskresi kalium. Kemudian dengan diberikannya kalium klorida saat pemberian captopril akan menghambat eliminasi kalium klorida karena penghambatan aktivasi reseptor aldosteron yang bertanggung jawab terhadap ekskresi kalium (Porth and Matfin, 2009). Dihambatnya eliminasi kalium klorida dan dihambatnya aktivasi reseoptor aldosteron akan meningkatkan kadar kalium serum sehingga akan meningkatkan kejadian hiperkalemia (Baxter, 2010). Kejadian hiperkalemia juga akan lebih tinggi, diakibatkan ketidaknormalan ginjal (Mahdiana, 2011). Manajemen dari interaksi yang terjadi adalah dengan menghentikan pemberian kalium klorida saat pemberian captopril pada pasien, dilakukan monitoring serum kalium saat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 96 pemberian captopril dan menyesuaikan suplemen kalium yang diperlukan (Tatro, 2007) dan (Baxter, 2010). 16. Interaksi obat antara bisoprolol dengan KCl/KSR pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme dan termaksud dalam kategori signifikansi klinis signifikan. Mekanismenya yaitu penggunaan kedua obat ini meningkatkan kadar serum kalium (Chelmow et al., 2014). Managemen yang dilakukan yaitu adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar serum kalium (Baxter, 2010). 17. Interaksi obat antara diltiazem dengan CaCO3 pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu antagonisme dan termaksud dalam kategori signifikansi klinis signifikan. Mekanisme yang terjadi yaitu CaCO3 mengurangi efek diltiazem (Chelmow et al., 2014). Managemen yang dilakukan yaitu adanya pemantauan efektivitas dari diltiazem dan modifikasi dosis serta waktu pemberian obat (Baxter, 2010). 18. Interaksi obat antara gemfibrosil dengan novomix pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termasuk dalam jenis interaksi farmakokinetik pada proses distribusi dan ekskresi serta termaksud kategori signifikansi klinis signifikan. Mekanisme interaksinya yaitu gemfibrosil dapat meningkatkan efek novomix sehingga dapat menyebabkan hipoglikemia (Chelmow et al, 2014). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 97 Gemfibrosil dapat berikatan kuat dengan protein ataupun albumin di dalam plasma sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan dalam pengikatan protein novomix, sehingga lebih banyak obat bebas yang bersirkulasi di dalam plasma dan meningkatkan konsentrasi novomix di dalam tubuh. Obat yang tidak berikatan dengan protein merupakan obat bebas, aktif dan menimbulkan efek farmakologi (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al., 2014). Gemfibrosil dapat meningkatkan efek novomix melalui adanya mekanisme kompetisi pada sekresi tubulus ginjal dan adanya persaingan pengikatan pada protein plasma. Gemfibrosil akan menghambat sekresi novomix di tubulus ginjal sehingga konsentrasi plasma novomix meningkat dan menimbulkan efek hipoglikemia (Baxter, 2010). Gemfibrosil merupakan agonis dari peroxisome proliferator-activated receptor-alpha (PPARα) yang mempunyai mekanisme kerja yaitu memetabolisme lipid di hati. Mekanisme kerja gemfibrosil yaitu menurunkan kadar kolesterol total, menurunkan LDL, menurunkan trigliserida, dan peningkatan HDL (Zambon and Cusi, 2007). Penurunan kadar kolesterol total di dalam tubuh dapat meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga dapat menurunkan resistensi insulin (Zambon and Cusi, 2007). Penggunaan insulin bersamaan dengan gemfibrosil dapat membantu mengontrol kadar glukosa darah pasien. Managemen yang dilakukan adalah monitoring kadar glukosa darah pasien, dan penyesuaian dosis kedua obat (Chelmow et al, 2014) dan (Zhou and Meibohm, 2013). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 98 19. Interaksi obat antara gemfibrosil dengan glimepirid pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termasuk kategori signifikansi klinis 4. Interaksi antara glimepirid dan gemfibrosil memiliki onset yang lambat, tingkat keparahan yang moderat dan tingkat dokumentasi yang belum pasti terjadi (possible). Interaksi antara kedua obat ini merupakan interaksi farmakokinetik yaitu pada proses distribusi, metabolisme dan ekskresi (Baxter, 2011) dan (Tatro, 2007). Mekanisme interaksi obat yang terjadi yaitu gemfibrosil meningkatkan efek glimepirid, sehingga dapat menyebabkan efek hipoglikemi (Chelmow et al, 2014). Gemfibrosil merupakan inhibitor dari enzim CYP2C9 sedangkan glimepirid di dalam tubuh di metabolisme oleh enzim CYP2C9. Gemfibrosil sebagai inhibitor enzim CYP2C9 dapat menghambat metabolisme glimepirid sehingga dapat meningkatkan konsentrasi glimepirid di dalam tubuh dan menimbulkan terjadinya efek hipoglikemia (Lacy, 2012) dan (Tatro, 2007). Gemfibrosil dapat meningkatkan efek glimepirid melalui mekanisme kompetisi pada sekresi tubulus ginjal dan persaingan pengikatan pada protein plasma. Gemfibrosil akan menghambat sekresi glimepirid di tubulus ginjal sehingga dapat meningkatkan konsentrai plasma glimepirid dan menimbulkan efek hipoglikemia (Baxter, 2010). Gemfibrosil dapat berikatan kuat dengan protein atau albumin di dalam plasma sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan dalam pengikatan protein glimepirid, sehingga obat bebas yang bersirkulasi di dalam plasma lebih banyak dan meningkatkan konsentrasi glimepirid di dalam tubuh. Obat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 99 yang tidak berikatan dengan protein merupakan obat bebas, aktif dan dapat menimbulkan efek farmakologi (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al, 2014). Gemfibrosil merupakan agonis dari peroxisome proliferator-activated receptor-alpha (PPARα) yang mempunyai mekanisme kerja yaitu memetabolisme lipid di hati. Mekanisme kerja gemfibrosil yaitu menurunkan kadar kolesterol total, menurunkan LDL, menurunkan trigliserida, dan peningkatan HDL (Zambon and Cusi, 2007). Penggunaan glimepirid bersamaan dengan gemfibrosil dapat membantu mengontrol kadar glukosa darah pasien. Managemen yang dilakukan kepada pasien yaitu adanya monitoring kadar glukosa darah pasien dan pengaturan dosis kedua obat (Chelmow et al, 2014) dan (Zhou and Meibohm, 2013). 20. Interaksi obat antara CaCO3 dengan alopurinol pada peresepan terdapat 4 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi obat yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik. Kalsium karbonat (CaCO3) menurunkan tingkat alopurinol dengan menghambat penyerapan GI (Chelmow et al, 2014). Alopurinol merupakan suatu analog purin yang merupakan isomer hipoksantin. Alopurinol mengurangi sintesis asam urat dengan menghambat xantin oksidase secara kompetitiif. Hal ini menyebabkan adanya penurunan kadar asam urat plasma dan peningkatan kadar xantin dan hipoksantin yang lebih larut dalam plasma dan mudah diekskresi. Adanya penggunaan kalsium karbonat bersamaan dengan alopurinol mengakibatkan efektifitas kerja dari alopurinol menurun. Managemenya yaitu perlu adanya penyesuaian dosis, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 100 pengaturan interval pemberian dosis (Mozayani dan Raymon, 2012) dan (Baxter, 2010). 21. Interaksi obat antara glimepirid dengan novomix pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme. Mekanisme interaksinya yaitu saling meningkatkan efek (Chelmow et al, 2014). Managemennya yaitu adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010). 22. Interaksi obat antara simvastatin dengan digoksin pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik (Chelmow et al, 2014). Mekanisme interaksinya yaitu simvastatinakanmeningkatkan tingkatatau efek dari digoxin oleh P-glikoprotein (MDR1) sebesar 0,3 nanogram/ml. Managemennya yaitu adanya penyesuaian dosis saat penggunaan kedua obat ini secara bersamaan, pengaturan interval waktu minum obat (Baxter, 2010). 23. Interaksi antara amlodipin dengan klonidin Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 2 kasus. Interaksi yang terjadi yaitu antara amlodipin yang merupakan obat golongan CCB dengan klonidin yang merupakan obat golongan antihipertensi sentral. Interaksi yang terjadi antara kedua obat ini mengakibatkan peningkatan efek hipotensif. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik aditif dengan kategori PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 101 signifikansi klinis 3. Kategori signifikansi klinis yang ketiga ini memiliki risiko interaksi obat yang kecil, memiliki manfaat yang lebih banyak daripada risiko yang ditimbulkan (Hasten and Horn, 2002). Managemennya yaitu adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat bila hendak digunakan secara bersamaan dan adanya pemantauan tekanan darah pasien (Baxter, 2010). 24. Interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dengan jumlah kasus terbesar adalah interaksi obat antihipertensi yaitu furosemid dengan CaCO3 (26 interaksi obat). Interaksi antara furosemid dengan CaCO3 merupakan interaksi farmakodinamik yaitu antagonisme Kategori signifikansi klinisnya yaitu minor atau tidak signifikan (Chelmow et al., 2014). Pada umumnya CaCO3 digunakan sebagai buffer dalam penanganan kondisi asidosis metabolik yang biasanya terjadi pada hampir seluruh pasien gagal ginjal karena adanya kesulitan dalam proses eliminasi buangan asam yang merupakan hasil dari metabolisme tubuh (Sjamsiah, 2005). Furosemid menurunkan kadar kalsium karbonat dengan meningkatkan klirens ginjal (Chelmow et al., 2014). Managemennya yaitu adanya pengaturan dosis dan waktu pemberian kedua obat (Baxter, 2010). 25. Interaksi obat antara furosemid dengan asam folat pada peresepan pasien terdapat 21 kasus. Interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik antagonisme. Furosemid menurunan kadar asam folat dengan meningkatkan klirens ginjal. Kategori signifikansi klinisnya yaitu minor atau tidak PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 102 signifikan (Chelmow et al., 2014). Managemennya yaitu adanya pengaturan dosis dan waktu pemberian kedua obat (Baxter, 2010). 26. Interaksi obat antara furosemid dengan paracetamol pada peresepan terdapat 5 kasus. Menurut Tatro (2007), interaksi antara furosemid dengan paracetamol termaksud dalam k4ategori signifikansi klinis 5. Interaksi antara furosemid dengan paracetamol memiliki onset yang lambat, tingkat keparahan interaksi minor dan dokumentasi interaksi obat kemungkinan tidak terjadi (unlikely). Interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakokinetik pada proses ekskresi. Mekanisme dari interaksi obat antara furosemid dengan paracetamol yaitu paracetamol menurunkan efek furosemid sehingga ekskresi prostaglandin ginjal dan aktivitas renin plasma menurun (Tatro, 2007). Manajemen yang dilakukan pada pasien yang menggunakan furosemid dengan paracetamol yaitu dengan adanya pengaturan dosis obat dan waktu pemberian kedua obat tersebut (Baxter, 2010). 27. Interaksi obat antara furosemid dengan lenal ace (kalsium asetat) pada peresepan tedapat 3 kasus. Interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik yaitu antagonisme. Kategori signifikansi klinis antara kedua obat tersebut yaitu minor atau tidak signifikan. Mekanismenya yaitu furosemid mengurangi tingkat kalsium asetat dengan meningkatkan klirens ginjal (Chelmow et al., 2014). Managemennya yaitu pengaturan dosis dan waktu minum kedua obat (Baxter, 2010). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 103 28. Interaksi obat antara furosemid dengan cefixim pada peresepan terdapat 3 kasus. Interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme dengan kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan. Mekanismenya yaitu cefixim meningkatkan toksisitas furosemid sehingga menyebabkan nefrotoksisitas (Chelmow et al., 2014). Managemennya yaitu adanya pengaturan dosis obat dan waktu minum kedua obat tersebut (Baxter, 2010). 29. Interaksi obat antara furosemid dengan gemfibrosil pada peresepan terdapat 2 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis 3 dan merupakan jenis interaksi obat farmakodinamik yaitu sinergisme (Hastern and Horn, 2002). Mekanisme interaksi obat yang terjadi belum diketahui secara pasti. Kombinasi kedua obat ini dapat menyebabkan adanya kompetisi dan perpindahan furosemid oleh gemfibrosil dari tempat pengikatan protein plasma sehingga terjadi diuresis. Managemen yang dilakukan yaitu adanya pemeriksaan serum protein dan fungsi ginjal sebelum pemberian gemfibrosil dengan furosemid. Jika kadar serum albumin pasien rendah, maka total kadar pemberian gemfibrosil tidak boleh melebihi 500 mg untuk setiap 1 g/100 ml konsentrasi albumin. Perlu dilakukan juga pengaturan waktu minum obat (Baxter, 2010). 30. Interaksi obat antara HCT dengan novomix (pre-mixed insulinsatau insulin kombinasi) pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi antara novomix dengan HCT termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan dan merupakan jenis interaksi obat farmakodinamik yaitu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 104 antagonisme (Chelmow et al, 2014). HCT mengurangi efek dari novomix, sehingga menyebabkan efek hiperglikemia ( Brophy, 2010) dan (Chelmow et al, 2014). Dosis HCT lebih besar dari 50 mg/hari dapat meningkatkan kadar glukosa darah (Chelmow et al, 2014). HCT dapat meningkatkan kadar kolesterol total di dalam tubuh sehingga terjadi peningkatan LDL, peningkatan trigliserid dan HDL tidak mengalami perubahan. Hal ini berakibat pada adanya penurunan sensitivitas insulin dan toleransi terhadap glukosa di dalam tubuh, sehingga menimbulkan efek hiperglikemia (Baxter, 2010). Mekanisme lainnya yang dapat menimbulkan efek hiperglikemia adalah adanya peningkatan kadar asam lemak bebas, penurunan sensitivitas insulin, peningkatan produksi glukosa oleh hati dan efek inhibitor langsung terhadap sekresi insulin. Koreksi terhadap hipokalemia melalui penggantian dengan garam kalium dapat mencegah terjadinya intoleransi glukosa dan mengembalikan sensitifitas insulin. Manajemen yang dilakukan adalah modifikasi waktu pemberian kedua obat, monitoring kadar glukosa darah pasien dan kadar klirens kreatinin pasien (Syamsudin, 2011). 31. Interaksi obat antara captopril dengan novomix (pre-mixed insulinsatau insulin kombinasi) pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme (Chelmow et al, 2014). Berdasarkan literatur Hasten and Horn (2002), interaksi antara captopril dengan novomix termaksud kategori singifikansi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 105 klinis ketiga yang berarti kombinasi obat memberikan risiko atau tingkat keparahan yang bersifat minor atau kecil. Captopril meningkatkan efek novomix sehingga menimbulkan efek hipoglikemia (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al, 2014). Captopril dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan meningkatkan penggunaan glukosa. Captopril dapat menurunkan kadar kolesterol total di dalam tubuh sehingga terjadi penurunan LDL, penurunan trigliserida, dan peningkatan HDL. Hal ini berakibat pada peningkatan sensitivitas insulin dan peningkatan toleransi terhadap glukosa di dalam tubuh sehingga menimbulkan efek hipoglikemi (Baxter, 2010). Managemen yang dilakukan adalah pasien perlu menyadari adanya peningkatan risiko hipoglikemia dengan tanda-tanda berupa takikardi, berkeringat dan tremor. Dosis novomix dikurangi ketika digunakan dengan captopril, atau adanya modifikasi waktu pemberian obat. Monitoring terhadap glukosa darah pasien diperlukan saat pemberian, penghentian, dan penggantian dosis bersamaan dengan penggunaan captopril (Hasten and Horn, 2002) dan (Baxter, 2010). 32. Interaksi obat antara clonidin dengan glikuidon pada peresepan terdapat 2 kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu antagonisme dan termaksud kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan. Mekanismenya yaitu clonidin menurunkan efek glikuidon sehingga menyebakan hiperglikemi (Chelmow et al., 2014). Managemen PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 106 yang dilakukan yaitu adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010). 33. Interaksi obat antara clonidin dengan novomix (pre-mixed insulins atau insulin kombinasi) pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu antagonisme dan termaksud kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan. Mekanismenya yaitu clonidin menurunkan efek novomix sehingga menyebabkan hiperglikemi (Chelmow et al., 2014). Managemen yang dilakukan yaitu adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010). 34. Interaksi obat antara diltiazem dengan lansoprazol pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakokinetik pada proses metabolisme dan termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan. Mekanisme yang terjadi yaitu diltiazem meningkatkan tingkat atau efek lansoprazol dengan mempengaruhi metabolisme enzim CYP450 3A4 di hati atau usus (Chelmow et al., 2014). Penggunaan lansoprazol dengan diltiazem dapat meningkatkan konsentrasi substrat plasma obat dari isoenzim CYP450 3A4. Managemen yang dilakukan yaitu adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat (Baxter, 2010). 35. Interaksi obat antara CaCO3 dengan SF/hemafort pada peresepan terdapat 2 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan. Interaksi obat yang terjadi yaitu interaksi farmakokinetik pada proses absorbsi (Chelmow et al., 2014). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 107 Mekanisme interaksinya yaitu kalsium karbonat akan menurunkan tingkat atau efek dari SF dengan meningkatkan pH lambung (Chelmow et al., 2014). Kalsium dapat membentuk kompleks yang larut dengan besi sehingga proses absorbsi menurun. Managemennya yaitu perlu adanya pengaturan interval pemberian obat sehingga meminimalkan terjadinya pencampuran kedua obat di dalam tubuh (Baxter, 2010). 36. Interaksi obat antara lenal ace dengan SF (hemafort) pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakokinetik pada proses absorbsi (Chelmow et al., 2014). Mekanisme interaksinya yaitu lenal ace menurunkan tingkat hemafort dengan menghambat penyerapan di GI. Hemafort meningkatkan kadar lenal ace dengan meningkatkan penyerapan di GI. Kalsium dapat membentuk kompleks yang larut dengan besi sehingga proses absorbsi menurun. Managemennya yaitu perlu adanya pengaturan interval pemberian obat sehingga meminimalkan terjadinya pencampuran kedua obat di dalam tubuh (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al., 2014). 37. Interaksi obat antara lansoprazol dengan mucogard pada peresepan terdapat 4 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu antagonisme. Mekanismenya yaitu mucogard menurunkan tingkat lansoprazol dengan menghambat penyerapan GI (Chelmow et al., 2014). Mucogard dapat menurunkan tingkat penyerapan dari PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 108 lansoprazole sebanyak 30%. Managemennya yaitu adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat. Lansoprazol diberikan 30 menit sebelum pemberian mucogard (Baxter, 2010). 38. Interaksi obat antara lansoprazol dengan sohobion (vitamin B1, B6, dan B12) pada peresepan terdapat 4 kasus. Seseorang dikatakan mengalami defisiensi vitamin B12 apabila konsentrasi serum vitamin B12 di dalam tubuh kurang dari atau sama dengan 148 pmol/L (Mahdiana, 2011). Vitamin B12 di dalam tubuh terlibat di dalam proses metabolisme yaitu pada produksi sel darah merah, sintesis DNA, fungsi sistem saraf dan perbaikan sel. Gejala klinis yang ditimbulkan dari defisiensi vitamin B12 yaitu anemia, neuropati perifer, depresi dan gangguan kognitif (Katzung, 2013). Faktor risiko terjadinya defisiensi vitamin B12 adalah karena faktor usia dan mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan konsentrasi vitamin B12 dalam tubuh (Syamsudin, 2011). Interaksi yang terjadi antara kedua obat tersebut termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan dengan jenis interaksi yaitu farmakokinetik (Chelmow et al, 2014). Mekanisme yang terjadi yaitulansoprazolmenurunkan tingkat atau efek dari sohobion dengan menghambatpenyerapan di gastrointestinal. Adanya pengurangan dosis obat dari lambung dan usus ke dalam tubuh. Lansoprazol melakukan penekanan pada sekresi asam lambung sehingga menganggu penyerapan sohobion. Managemennya yaitu adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat (Baxter, 2010). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 109 39. Interaksi obat antara amitriptillin dengan glikuidon pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme. Mekanismenya yaitu amitriptilin meningkatkan efek glikuidon sehingga menimbulkan risiko terjadinya hipoglikemi (Chelmow et al, 2014). Managemen yang dilakukan yaitu modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010). 40. Interaksi obat antara glimepirid dengan KSR/KCl pada peresepan terdapat 3 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme. Mekanismenya yaitu KSR meningkatkan glimepirid sehingga menimbulkan risiko terjadinya hipoglikemi (Chelmow et al, 2014). Managemen yang dilakukan yaitu modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010). 41. Interaksi obat antara glimepirid dengan simvastatin pada peresepan terdapat 2 kasus. Menurut Tatro (2007), interaksi antara glimepirid dan simvastatin termaksud dalam kategori signifikansi klinis 5. Interaksi antara kedua obat ini memiliki onset yang lambat, tingkat keparahan interaksi minor, dan dokumentasi interaksi obat kemungkinan tidak terjadi (unlikely). Interaksi antara gilmepirid dan simvastatin termaksud dalam interaksi obat farmakokinetik pada proses metabolisme (Galani and Vyas, 2010). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 110 Mekanisme dari interaksi kedua obat ini yaitu simvastatin meningkatkan konsentrasi glimepirid sehingga dapat menimbulkan terjadinya efek hipoglikemia (Tatro, 2007). Glimepirid di dalam tubuh dimetabolisme oleh enzim CYP2C9, sedangkan simvastatin merupakan inhibitor dari enzim CYP2C9. Simvastatin sebagai inhibitor enzim CYP2C9 akan menghambat metabolisme glimepirid sehingga konsentrasi glimepirid meningkat di dalam tubuh dan menimbulkan terjadinya efek hipoglikemia (Galani and Vyas, 2010) dan (Lacy, 2012). Terjadinya efek hipoglikemia disebabkan oleh adanya peningkatan pelepasan insulin di dalam tubuh, kurangnya konsumsi karbohidrat, dan olahraga fisik yang terlalu berlebihan (Katzung, 2013). Managemen yang dilakukan yaitu adanya monitoring terhadap kadar glukosa darah untuk mewaspadai terjadinya efek hipoglikemia yang disebabkan oleh peningkatan efek glimepirid dan adanya penyesuaian dosis glimepirid dan simvastatin (Tatro, 2007). 42. Interaksi obat antara eclid (acarbose) dengan KCL/KSR pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme dan termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan. Kalium klorida meningkatkan efek dari eclid sehingga dapat menyebabkan efek hipoglikemia. Interaksi terutama terlihat dalam pengobatan hipokalemia (Chelmow et al, 2014). Managemen yang dilakukan adalah monitoring kadar glukosa darah pasien dan penyesuaian dosis antara eclid dengan kalium klorida (Lacy, 2012). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 111 43. Interaksi obat antara clopidogrel dengan simvastatin pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi kedua obat ini termaksud kategori signifikansi klinis 5. Interaksi antara clopidogrel dengan simvastatin memiliki onset yang lambat, tingkat keparahan moderat dan tingkat dokumentasi interaksi obat kemungkinan tidak terjadi (unlikely). Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakokinetik pada proses metabolisme. Mekanismenya yaitu simvastatin menghambat konversi clopidogrel menjadi bentuk aktifnya. Interaksi antara kedua obat ini bisa menyebabkan rabdomiolisis. Clopidogrel merupakan inactive prodrug yang dimetabolisme untuk menjadi metabolit yang aktif oleh isoenzim sitokrom P450, CYP2C19 dan CYP3A4. Beberapa golongan statin seperti simvastatin pada prinsipnya dimetabolisme oleh CYP3A4, sehingga memungkinkan simvastatin dapat menghambat aktivitas dari clopidogrel. Managemenya yaitu adanya penyesuian dosis dan interval waktu pemberian obat (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al, 2014) PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang “ Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013” dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini : 1. Karakteristik pasien gagal ginjal kronik dengan persentase umur tertinggi yaitu pada kelompok adult sebesar 58,5% (38 pasien). Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebesar 62% (40 orang). 2. Gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik meliputi kelas terapi obat yang paling banyak digunakan yaitu obat antihipertensi dengan golongan obat terbanyak yaitu diuretik sebesar 30,9 %. Jumlah obat pada tiap lembar rekam medik yang paling banyak diresepkan yaitu sebanyak tiga sampai 4 jenis obat dan lima sampai enam jenis obat tiap lembar rekam medik dengan persentase sebesar 41,5%. Cara pemberian obat yang paling banyak diresepkan yaitu secara peroral sebesar 94,2%. 3. Persentase interaksi obat pada persepan pasien gagal ginjal kronik periode Desember 2013 berdasarkan studi literatur sebesar 82 %. 4. Kategori signifikansi klinis yang paling banyak menurut Chelmow et al (2014) adalah kategori signifikansi klinis minor sebanyak 79 interaksi obat. Menurut Tatro (2007), kategori signifikansi klinis yang paling banyak adalah kategori 112 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 113 signifikansi klinis 5 (minor) sebanyak 4 interaksi obat. Menurut Hasten and Horn (2002), kategori signifikansi klinis yang paling banyak adalah kategori signifikansi klinis ketiga sebanyak 5 interaksi obat. B. Saran Berdaasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, adapun beberapa saran. 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait analisis kasus interaksi obat secara prospektif pada pasien disertai wawancara secara terstruktur terkait terapi yang diberikan oleh dokter pada pasien gagal ginjal kronik 2. Berdasarkan data studi literatur terkait interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik, dapat dijadikan pihak RSUD Panembahan Senopati Bantul sebagai pemetaan dan early warning system terkait interaksi obat yang dapat membahayakan keadaan pasien. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Daftar pustaka Ahmad, O.B., Pinto, C.B., Lopez, A.D., Murray, C.J., Lozano,R. and Inoue, M., 2001, Age Standardization of Rates : A New WHO Standard, World Health Organization, 8-14. Albert, P., 2008, Drug-Drug Interaction in Pharmaceutical Development, John Wiley and Sons, USA, pp. 2. Aronson, J.K., 2009, Meyler’s Side Effects of Endocrine and Metabolic Drugs, Elsevier, USA, pp. 452, 539. Baradero, M., Dairit, W., Siswadi, Y., 2008, Klien Gangguan Ginjal, EGC, Jakarta, hal. 130-135. Basit, A., Riaz, M. and Fawwad, R., 2012, Glimepiride : evidence-based facts, trends, and observations, Dovepress, 405. Baxter, K., 2010, Stockley’s Drug Interactions, Ninth edition, Pharmaceutical Press, China, pp. 623-650, 1125-1150. Bettega, D., 2005, Kajian Pola Peresepan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Ditinjau dari Dosis, Interaksi, Efek Samping dan Kontraindikasi Obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Black, H.R., and Elliot, W.J., 2007, Hypertension : A Companion to Braundwald’s Heart Disease, Elsevier’s Health Sciences, Canada, pp.3941. Black and Hawks, 2005, Medical Surgical Nursing Clinical Management for Positive Outcomes, 7 th ed., Elsivier Saunders, Missouri, pp.245. Brophy, K.M., Ferguson, HS., Webber, K.S., Abrams, A.C., and Lammon, C.B., 2010, Clinical Drug Therapy for Canadian Practice, Lippincott, Williams and Wilkins, USA, 433-434. Chelmow, D., Geibel, J., Grimm, L., Harris, J.E., Maron, D.J., Meyers,A.D., et al., Drug Interaction Cherker, Medscape, http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker, diakses pada tanggal 1 Juni 2014. Chisholm, A., Wells, B., Schwinghammer, L., Malone, M., Kolesar,M., Rotschafer, C., Dipiro, J., 2008, Pharmacotherapy Principles & Practice, McGraw-Hill Companies, USA, pp. 357. Corwin, E., 2009, Buku Saku Patofisiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 680-682. Davey, P., 2006, Medicine At a Glance, Erlangga, Jakarta, pp. 258. 114 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 115 Dharmeizar, 2012, Epidemiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik, PERNEFTRI, Yogyakarta, hal. 5-8. Diantary, 2007, Evaluasi Penggunaan ACE Inhibitor pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta, Jurnal Farmasi Indonesia, 3 (4), 189-190. Dinesh, K.U., Subish, P., Pranaya, M., Shankar, P.R., Anil, S.K. and Durga, B., 2007, Pattern of Potential Drug-Drug Interactions in Diabetic Outpatients in a Tertiary Care Teaching Hospital in Nepal, Med J Malaysia, 296-297. Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G. and Posey, L.M., 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th ed., McGrawHill Companies, USA, pp. 858-862 Fink, Taylor, Greer, MacDonald, Rossini, Sadiq, Lankireddy, Kane, Wilt., 2012, Chronic Kidney Disease Stages 1–3: Screening, Monitoring, and Treatment, AHRQ Publication, United States of America, pp. 6-9. Fujita, Y., Tamada, D., Kozawa, J., Kobayashi, Y., Sasaki, S., Kitamura, T., et al., 2012, Successful Treatment of Reactive Hypoglycemia Secondary to Late Dumping Syndrome Using Miglitol, Internal Medicine, 2581-2582. Galany, V.J., and Vyas, M., 2010, In Vivo and In Vitro Drug Interactions Study of Glimepiride with Atorvastatin and Rosuvastatin, J Young Pharm, 196-198. Gunawan, M., 2002, Kajian Penggunaan Obat pada Pasien Gagal Ginjal Kronik nonhemodialisis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2000-2001: Pola Peresepan, Evaluasi Kontraindikasi, dan Penyesuaian Dosis, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Hacker, M., Bachman, K., and Messer, W., 2009, Pharmacology Principles and Practice, Elsevier Inc, USA, pp.304,305. Hansten, P.D. and Horn, J.R., 2002, Managing Clinically Important Drug Interactions, Facts and Comparisons, USA, pp.1-3, 50, 78-80, 395-400. Hasnuddin, M., 2012, A Study On Drug-Drug Interaction Between Peridopril and Glimepiride in Rats, Dissertation, Rajiv Gandhi University of Health Sciences, Kartanaka, Bangalore, 11-12. Huether, S.E., and McCance, K.L., 2008, Understanding Phatophysiology, 4th edition, Mosby Inc an affiliate of Elsevier Inc, China, pp. 588-590. Ignatavicius and Workman, 2009, Medical Surgical Nursing: Critical Thinking for collaborative care, 5 th ed., Elsevier Saunnder, Missouri, pp.281. Ikawati, Z., Djumiani, S., dan Putu, D., 2008, Kajian Keamanan Pemakaian Obat Antihipertensi di Poliklinik Usia Lanjut Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit dr. Sardjito, Majalah Ilmu Kefarmasian, 5 (3), 157. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 116 Inzucchi, S., Bergenstal, R.M., Buse, J.B., Diamant, M., Ferrannini, E., Nauck, M., et al., 2012, Management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes : A Patient-Centered Approach, Position Statement of the American Diabetes Association (ADA) and the European Association for the Study of Diabetes (EASD), 1-2. Izzo, J.L., Sica, D.A., and Black, H.R., 2008, Hypertension Primer : The Essentials of High Blodd Pressure : Basic Science, Population Science, and Clinical Management, 4th edition, Lippincott Williams and Wilkins, pp.144-145. Kaka, 2001, Pola Peresepan Obat pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengna Hemodialisis di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2000, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Kamaluddin dan Rahayu, 2009, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Asupan Cairan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di RSUD Prof. Dr. Margono. Soekarjo Purwokerto, Jurnal Keperawatan Soedirman, 4(1), 20. Kapadia, J., Thakor, D., Desai, C. and Dikshit, R.K., 2013, A Study of Potential Drug-Drug Interactions in Indoor Patients of Medicine Department at a Tertiary Care Hospital, Journal of Applied Pharmaceutical Science vol.3, 1-3. Katzung, B.G., 2013, Basic and Clinical Pharmacology, 10 th Edition, diterjemahkan oleh Nugroho, A.W., Rendy, L. dan Dwijayanthi, L., Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal. 187-281. Kurnia, Y., 2007, Interaksi Obat Yang Penting Di Klinik, Meditek., 15 (39), 20-29 Lacy,C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2012, Drug Information Handbook, American Pharmacist Association, Lexicomp, pp.805-806. Lacobellis, G., 2006, Drug-Drug Interaction in the Metabolic Syndrome, Nova Sciences Publishers, New York, pp. 1-2. Levin, A., Hemmelgarn, B., Culleton, B., Tobe, S., McFarlane, P., Ruzicka, M., Burns, K., Manns, B, White, C, Madore, F., Moist, L., Klarenbach, S., Barrett, B, Foley, R, Jindal, K., Senior, P., Pannu, N., Shurraw, S, Akbari, A., Cohn, A., Reslerova, M., Deved, V., Mendelssohn, D., Nesrallah, G., Kappel, J., Tonelli, M., 2008. Guidelines for the management of chronic kidney disease. CMAJ. 179(11), 1154-1162. Madhu, T., and Sreedevi, A., 2013, A Studi of Socio Demographic Profile of Geriatric Population is the Field Practice Area of Kurnool Medical Cholage, Int J Res Dev Health, pp.69-71. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 117 Mahdiana, R., 2011, Panduan Kesehatan Jantung & Ginjal, Citra Medical, Yogyakarta, hal. 19-30. Milner, Q., 2004, Pathophysiology of chronic renal failure, British Journal of Anesthesia, 3(5), 123-124. Mittal, P., and Juyal, V., 2012, Drug-dietary interaction potential of garlic on glimepiride treated type 2 diabetic Wistar rats, Journal of Diabetology, 12. Moyazani, A. and Raymon, L., 2012, Handbook of Drug Interaction, Second Edition, Humana Press, USA, pp. 35-40. Munif, A. and Imron, M., 2010, Metodelogi Penelitian Bidang Kesehatan, Sagung Seto, Jakarta, hal. 107. Nah, Y.K., 2007, Interaksi Obat yang Penting Dalam Klinik, Meditek, 24. Nidhi, S., 2012, Concept of Drug Interaction, International Research Journal of Pharmacy, 1-3. NKUDIC, 2010, Kidney and Urologic Disease Statistic for the United States, http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/kustats/.D, diakses pada tanggal 5 Agustus 2014. Notoadmodjo, S., 2010, Metodelogi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta, hal.27-28. Nurachmah, E., dan Angriani, R., 2010, Dasar-Dasar Anatomi dan Fisiologi, Penerbit Saleba Medika, Jakarta, hal. 225. Nurchayati, S., 2010, Analisa Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Islam Fatmawati Cilacap dan RSUD Banyumas, Tesis, 45, Universitas Indonesia, Jakarta. Pearle, T., and Monica, P., 2007, Ginjal Si Penyaring Ajaib, Indonesia Publishing House, Bandung, hal.19-21. Peradnyani, N., 2006, Studi Pustaka Interaksi Obat dengan Obat pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2002, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Persatuan Nefrologi Indonesia, 2012, Persatuan Nefrologi Indonesia tahun 2013, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Porth, M.C., and Matfin, G., 2009, Pathophysiology : Concepts of Altered Health States, 8th edition, Wolters Kluwer Health, Lipincott Wiliams and Wilkins, Philadelphia, pp.431-432. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 118 Price, A., dan Wilson, M., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, EGC, Jakarta, hal. 944-965. Raut, A. and Sonar, C., 2013, Clinically Significant Drug-Drug Interactions And Their Association With Polypharmacy In Elderly Patients, Journal of Advanced Scientific Research, 6. Riset Kesehatan Dasar, 2013, Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Rojas, P., Sanchez, L., Santos, A., Gomez, M.P., Blanco, H., and Laguna , J. J., 2013, Hypersensitivity to Repaglinide, J Investig Allergol Clin Immunol, 245-247. RSUD Bantul, 2015, Data Perekapan Kunjungan Pasien, RSUD Panembahan Senopati Bantul, Yogyakarta. Setiadi, 2007, Anatomi dan Fisiologi Manusia, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal: 117. Sexton, J., Nickless, G. and Green, C., 2006, Pharmaceutical Care Made Easy, Pharmaceutical Press, London, pp. 2-3. Sheeja, V.S., Reddy, M.H., Joseph, J., 2010, Insulin Therapy In Diabetes Management, International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research, 98. Silverthorn, D., 2014, Fisiologi Manusia: Sebuah Pendekatan Terintegrasi, EGC, Jakarta, hal. 652-653. Sjamsiah, S., 2005, Farmakoterapi Gagal Ginjal, Penerbit Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 37-38. Soenarso, E.H., 2004, Aspek Klinis Gagal Ginjal Kronis, Media Kartika., 2(1), 42. Soeparman, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, EGC, Jakarta, hal.25. Sohewardi, S., Chogtu, B. and Faizal, P., 2012, Surveilance of The Potential Drug-Drug Interactions in the Medicine Department of a Tertiary Care Hospital, Journal of Clinical and Diagnostic Research, 1258-1260. Sudoyo, A.W., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, hal. 55. Suwitra, K., 2006, Penyakit Ginjal Kronik : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 4 th ed., Pusat Penerbitan Departemen dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, hal.581-582. Syaifuddin, H., 2011, Anatomi Fisiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 447-448. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 119 Syamsir, A., dan Hadibroto, I., 2007, Gagal Ginjal: Informasi Lengkap untuk Penderita dan Keluarga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, pp. 8-9. Syamsudin, 2011, Interaksi Obat Konsep Dasar dan Klinis, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Pres), Jakarta, pp. 1-12, 36-65, 69-77. Tatro, D.S., 2007, Drug Interaction Facts, Wolters Kluwer Health, United States of America, pp. 13-14, 761-770, 1005-1015. Triplitt, C., 2006, Drug Interactions of Mediactions Commonly Used in Diabetes, Diabetes Spectrum Journals, 202. Wiffen, P., Mitchell, M., Snelling, M., and Stoner, N., 2007, Oxford Handbook of Clinical Pharmacy, First edition, Oxford university press, pp. 247. Wynn, G.H., Oesterheld, J.R., Cozza, K.L. and Armstrong, S.C., 2009, Clinical Manual of Drug Interaction Principles for Medical Practice, Wilson Boulevard, USA, pp. 4. Zambon, A. and Cusi, K., 2007, The Role of Fenofibrate In Clinical Practice, Diabetes and Vascular Disease Research, 15-16. Zhou, H. and Meibohm, B., 2013, Drug-Drug Interactions for Therapeutic Biologics, Jhon Wiley & Sons, USA, pp. 164-165. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI LAMPIRAN 120 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 121 Lampiran 1. Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 122 Lampiran 2. Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul dari BAPPEDA Bantul PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 123 Lampiran 3. Surat Keterangan Permohonan Ijin Penelitian PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 125 Lampiran 4. Formulir Pengambilan Data Penelitian Peresepan Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013 No Tanggal No RM Pasien Diagnosa Medik Terapi Obat yang diberikan Pengobatan Data Laboratorium dan data klinis Umur L/P Obat Rute pemberian Jenis Obat Regimen dosis PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 126 Lampiran 5. Daftar nama obat dengan nama dagang dan nama generik No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 Nama Generik Clopidogrel Irbesartan Candesartan Valsartan Telmisartan Amlodipin Nifedipin Diltiazem Captopril Klonidin Bisoprolol HCT Furosemid ISDN Digoksin Simvastatin Gemfibrosil Asam Folat Sulfasferrosus Eritropoetin Beta Kalsium Karbonat Kalsium Asetat Vitamin B12 Calcium Polystyrene Sulfonat Kalium Klorida Mix Insulin Analog Glikuidon Glimepirid Akarbose Alopurinol Metoklopramid Ranitidin Lansoprazol Sukralfat Betahistin Mesilat Amitriptilin Parasetamol Cefixim Ciprofloxacin Levofloxacin Ketoconazole Ambroxol OBH Cetirizin Betametason Nama Dagang Clopidogrel Irbesartan, Irtan Candesartan Valsartan Micardis Amlodipin, Amdixal, Intervask Nifedipin Diltiazem Captopril Klonidin Bisoprolol HCT Furosemid ISDN Digoksin Simvastatin Gemfibrosil Anemolat Hemafort Recormon Osteocal Lenal Ace Sohobion Kalitake KSR Novomix Glidiab Glimepirid Eclid Alopurinol Metoklopramid Ranitidin Lansoprazol Mucogard Vastigo, Versilon Amitriptylin Parasetamol Cefixim Ciprofloxacin Levofloxacin Ketoconazole Ambroxol OBH Cetirizin Betametason PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BIOGRAFI PENULIS Chelsyana Herdyani Nagi merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Kristoforus Nagi dan Ibu Yarit Lette yang lahir pada tanggal 26 Juli tahun 1993. Pendidikan dimulai dari Taman Kanak-Kanak St. Maria Dili pada tahun 1997-1998, kemudian pendidikan Sekolah Dasar Katolik St. Maria Asumpta Kupang pada tahun 1999-2005. Penulis melanjutkan pendidikan SMP di SMPK Kartini Mataloko pada tahun 2005-2008, kemudian pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAK Frateran Ndao Ende pada tahun 2008-2011. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menjadi mahasiswa penulis mendapat kesempatan untuk menjalankan Program Pengabdian kepada Masyarakat yang didanai DIKTI, serta aktif dalam kegiatan seperti menjadi Panitia Desa Mitra, Pharmacy Days, Sumpahan Apoteker, Kampanye Informasi Obat, dan Panitia Paskah. 127