plagiat merupakan tindakan tidak terpuji plagiat

advertisement
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
STUDI LITERATUR INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD
PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE
DESEMBER TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Chelsyana Herdiany Nagi
NIM : 118114082
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
i
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
STUDI LITERATUR INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD
PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE
DESEMBER TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Chelsyana Herdiany Nagi
NIM : 118114082
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
ii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
iii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
iv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
“ Hendaklah kasih itu jangan berpura-pura. Jauhilah yang jahat dan lakukanlah
yang baik. Hendaklah kamu selalu saling mengasihi sebagai saudara dan saling
mendahului dalam memberi hormat. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah
dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa “
Roma 12 : 9-12
Kupersembahkan untuk :
Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu ku andalkan
Bapak, Mama beserta keluarga yang selalu ada disaat apapun
Teman-teman tercinta dan Almamaterku
v
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PRAKATA
Puji dan syukur peneliti haturkan kehadirat TuhanYang Maha Esa, karena
atas berkat, rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul “ Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan
Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dukungan, bimbingan,
bantuan, dan kerja sama dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan
hati, peneliti menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing
dan memberi arahan selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma.
2. Direktur RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dr I Wayan Sudana
yang telah memberikan izin kepada penulis dalam pengambilan data penelitian.
3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt sebagai dosen pembimbing utama yang
selalu dengan sabar mengarahkan dan membimbing peneliti selama proses
penyusunan skripsi.
4. Ibu Witri Susila Astuti, S.Si., Apt sebagai dosen pembimbing pendamping
yang selalu dengan sabar mengarahkan dan membimbing peneliti selama
proses penyusunan skripsi.
5. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK yang telah membimbing, memberi arahan dan
dukungan selama proses penyusunan skripsi.
viii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
6. Ibu Dita Maria Virgina M.Si., Apt yang telah membimbing, memberi arahan
dan dukungan selama proses penyusunan skripsi.
7. Kedua orang tua Kristoforus Nagi dan Yarit Lette yang selalu membimbing,
memberi arahan dan dukungan serta semangat selama proses perkuliahan
hingga terselesainya penyusunan skripsi ini.
8. Kakak tersayang Mystica Pere, Efran Bara, Ati Mbulang, dan Luis yang selalu
memberikan motivasi, arahan dan semangat dalam penyusuan skripsi ini dari
awal sampai akhir.
9. Tesa Siseng, Rysa Indriani, Ervin Due, Ensi Babo, Arlyn Woi, Ret Toyo,
Stefin, Je, Berlin, Novi, Yuni, Wiwin, Feri, Slash, Savio, Frans, Lis, Sandro,
Ryan, Iron, Gusty, Ando, Edo sebagai sahabat terbaik yang selalu
mendampingi dengan sabar, memberi semangat dan dukungan dari awal
pengerjaan skripsi hingga akhir.
10. Teman-teman skripsi Desy, Mochi dan Jono yang selalu setia dan kompak
dalam mendukung penyusunan skripsi dari awal sampai akhir.
11. Teman-teman Kelompok Farmakoterapi I dan II Opi, Danik, Shinta, Yuvica,
Greta, Sary, Ipang yang selalu memberi semangat dan dukungan selama proses
pengerjaan skripsi hingga akhir.
12. Teman-teman kelompok Real Friends Meilisa, Niken, Yudis, Asri, Aviola,
Sary, Eiren, Lenny, Uchi, Dara yang selalu memberi semangat dan dukungan
selama proses pengerjaan skripsi hingga akhir.
13. Teman-teman FSM B dan FKK A 2011 yang selalu memberi semangat dan
dukungan dari awal penyusunan skripsi hingga akhir.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmatNya kepada seluruh
pihak yang berperan dalam membantu menyelesaikan skripsi ini. Penulis
ix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
x
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.....................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................................
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...............................................
ix
PRAKATA.............................................................................................
x
DAFTAR ISI...........................................................................................
xi
DAFTAR TABEL...................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................
xvii
INTISARI................................................................................................
xviii
ABSTRACT............................................................................................
xix
BAB I PENGANTAR.............................................................................
1
A. Latar Belakang....................................................................................
1. Perumusan Masalah.....................................................................
2. Keaslian Penelitian......................................................................
3. Manfaat Penelitian.......................................................................
B. Tujuan Penelitian................................................................................
1. Tujuan Umum.............................................................................
2. Tujuan Khusus.............................................................................
1
4
4
6
6
6
7
BAB II PENELAAH PUSTAKA...........................................................
8
A. Gagal Ginjal Kronik...........................................................................
1. Pengertian gagal ginjal kronik.....................................................
2. Epidemiologi gagal ginjal kronik................................................
B. Manajemen Terapi Gagal Ginjal Kronik............................................
1. Tujuan terapi dan sasaran terapi..................................................
2. Strategi terapi..............................................................................
C. Interaksi Obat.....................................................................................
1. Pengertian interaksi obat.............................................................
8
8
8
9
9
10
16
16
xi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2. Prevalensi interaksi obat............................................................
3. Jenis interaksi obat......................................................................
4. Interaksi obat pada gagal ginjal kronik.......................................
5. Faktor dan penyebab terjadinya interaksi obat............................
6. Signifikansi klinis interaksi obat.................................................
7. Peran apoteker dalam interaksi obat............................................
D. Keterangan Empiris.............................................................................
17
26
24
24
25
30
31
BAB III METODELOGI PENELITIAN................................................
A. Jenis dan Rancangan Penelitian..........................................................
B. Variabel dan Defenisi Operasional....................................................
C. Subyek dan Bahan Penelitian.............................................................
34
D. Alat dan Instrumen Penelitian............................................................
E. Tata Cara Penelitian...........................................................................
32
32
32
1. Tahap orientasi............................................................................
2. Tahap penentuan subyek penelitian............................................
3. Tahap pengambilan data.............................................................
F. Tata Cara Analisis dan Penyajian Hasil Data Penelitian....................
1. Tata cara analisis data penelitian.................................................
2. Penyajian hasil data penelitian....................................................
G. Keterbatasan Penelitian......................................................................
35
35
35
36
36
37
37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................
38
A. Karakteristik pasien gagal ginjal kronik.............................................
1. Umur pasien gagal ginjal kronik..................................................
2. Jenis kelamin pasien gagal ginjal kronik.....................................
B. Gambaran pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik................
1. Gambaran umum pola peresepan................................................
a. Jumlah obat yang digunakan pada pola peresepan pasien gagal
ginjal kronik...........................................................................
b. Cara pemberian obat pada pasien gagal ginjal kronik...........
2. Gambaran pola peresepan berdasarkan kelas terapi obat............
a. Obat kardiovaskuler...............................................................
b. Obat gizi dan darah...............................................................
c. Obat hormonal.......................................................................
d. Obat penyakit otot skelet dan sendi.......................................
e. Obat sistem saluran cerna......................................................
f. Obat sistem saraf pusat..........................................................
g. Obat infeksi...........................................................................
h. Obat sistem saluran nafas......................................................
i. Obat antihistamin dan antialergi...........................................
j. Obat antiinflamasi.................................................................
C. Studi literatur interaksi obat...............................................................
38
38
40
41
41
xii
34
35
41
42
43
44
50
55
56
56
58
58
59
60
61
61
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1. Persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi obat pada
peresepan pasein gagal ginjal kronik........................................
62
2. Persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik
terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Desember 2013............................................................
63
3. Proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat
antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain
dengan obat lain......................................................................... 64
4. Proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien gagal
ginjal kronik.............................................................................. 65
5. Persentase kategori signifikansi klinis interaksi obat................. 67
6. Mekanisme dan efek interaksi obat............................................ 70
BAB V KESIMPULAN dan SARAN...................................................
121
A. Kesimpulan.........................................................................................
B. Saran...................................................................................................
121
122
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
LAMPIRAN............................................................................................
BIOGRAFI PENULIS...........................................................................
123
124
127
xiii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel I. Kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007)... 27
Tabel II.Distribusi jumlah obat tiap lembar resep pada peresepan pasien gagal
ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.............................. 42
Tabel III. Distribusi cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal ginjal
kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Desember 2013.........................................
43
Tabel IV. Kelas terapi dan golongan obat sistem kardiovaskuler yang digunakan
pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Desember 2013............................................................
45
Tabel V. Kelas terapi dan golongan obat gizi dan darah yang digunakan pada
pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013..............
50
Tabel Vl. Kelas terapi dan golongan obat hormonal yang digunakan pada pasien
gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul periode Desember 2013.................................................
53
Tabel VII. Kelas terapi dan golongan obat penyakit otot skelet dan sendi yang
digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Desember 2013.............................................................
55
Tabel VIII. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran cerna yang digunakan
pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Desember 2013.............................................................
56
Tabel IX. Kelas terapi dan golongan obat sistem saraf pusat yang digunakan pada
pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013..............
58
Tabel X. Kelas terapi dan golongan obat infeksi yang digunakan pada pasien
gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.............................
59
Tabel XI. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran nafas yang digunakan
pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Desember 2013.............................................................
60
Tabel XII. Kelas terapi dan golongan obat antihistamin dan atialergi yang
digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Desember 2013.............................................................. 60
Tabel XIII. Kelas terapi dan golongan obat antiinflamasi yang digunakan pada
pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013..............
61
xiv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Tabel XIV. Distribusi jumlah kategori signifikansi klinis interaksi obat pada
peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Desember 2013.............................................................
67
Tabel XV. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat antihipertensi dengan
obat antihipertensi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi
Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember
2013 berdasarkan kajian literatur.............................................. 71
Tabel XVI. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat antihipertensi dengan
obat lain pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat
Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013
berdasarkan kajian literatur....................................................... 76
Tabel VII. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat lain dengan obat
antihipertensi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi
Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember
2013 berdasarkan kajian literatur..............................................
83
xv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram persentase umur pada pasien gagal ginjal kronik di
Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Desember 2013........................................................ 39
Gambar 2. Diagram persentase jenis kelamin pada peresepan pasien gagal ginjal
kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Desember 2013.........................................
40
Gambar 3. Persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi obat pada
peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Desember 2013...........................................................
62
Gambar 4. Diagram persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal
kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
berdasarkan kajian literatur........................................................
64
Gambar 5. Diagram proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat
antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan
obat lain pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat
Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Desember 2013............................................................ 65
Gambar 6. Diagram proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien gagal
ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur
(N= 130).................................................................................... 66
xvi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta................................
121
Lampiran 2 : Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul dari BAPPEDA Bantul.............
122
Lampiran 3 : Surat keterangan permohonan ijin penelitian.....................
123
Lampiran 4 : Formulir Pengambilan Data Penelitian Peresepan Obat Pada Pasien
Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013...............
124
Lampiran 5 : Daftar nama obat dengan nama dagang dan nama generik... 126
xvii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
INTISARI
Pasien gagal ginjal kronik dengan penyakit komplikasi atau penyakit
penyerta menerima lebih dari satu jenis obat, sehingga terdapat kemungkinan
terjadinya interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik
pasien, gambaran pola peresepan, jumlah dan kategori signifikansi klinis interaksi
obat pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif dengan data yang
bersifat retrospektif. Pengambilan data berdasarkan rekam medis, data yang
diambil adalah resep pada bulan Desember 2013 di Instalasi Rawat Jalan dan
dikaji secara teoritis berdasarkan studi literatur.
Pada penelitian ini terdapat 65 kasus pasien gagal ginjal kronik, dengan
kasus terbanyak pada kelompok umur dewasa (58,5%) dan jenis kelamin laki-laki
(62%). Kelas terapi obat yang paling banyak digunakan yaitu obat antihipertensi
dengan persentase tertinggi yaitu golongan diuretik (30,9 %). Rute pemberian
obat terbesar yaitu secara per oral (94,2%). Terdapat 130 interaksi obat dan yang
paling banyak adalah interaksi farmakodinamik (85%). Kategori signifikansi
klinis interaksi obat pada peresepan pasien yang paling banyak adalah minor (79
kasus).
Kata kunci : Gagal ginjal kronik, interaksi obat, kategori signifikansi klinis
interaksi obat
xviii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRACT
Chronic renal failure patient with complication disease or underlying
disease receive more than one type of drug, so there is the possibility of unwanted
drug interactions. This study aims to know the patient characteristic, prescribing
patterns description, the number and categories of the clinical significance of drug
interactions in chronic renal failure in Outpatient Unit Panembahan Senopati
Bantul Hospital Yogyakarta December 2013.
Design of this research is descriptive with a retrospective data. Data were
collected from medical records of patients in Outpatients on December 2013 and
were evaluated theoretically based on drug interaction literature.
There were 65 cases of chronic renal failure patients, with most cases are
adult (58,5%) and male (62%). Class of drug therapy are the most widely used is
antihypertensi drug with the highest percentage is the class of diuretic
(30,9%).The most route of administration drugs is per oral (94,2%). There were
130 drug interactions and most of the interaction is pharmacodynamic interaction
(85%). The most clinical significance of drug interactions is minor (79 cases).
Key Word : Chronic renal failure, drug interactions, clinical significance of
drug interaction
xix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik merupakan adanya penurunan semua fungsi ginjal
dan adanya penimbunan secara bertahap diikuti penimbunan sisa metabolisme
protein disertai adanya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Soenarso,
2004). Insidens penyakit ginjal kronik sejak 10-15 tahun belakangan ini
mengalami peningkatan di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena banyaknya ditemukan penderita diabetes melitus dan hipertensi
yang merupakan penyebab terbanyak gagal ginjal kronik, selain inflamasi
glomerulus (Dharmeizar, 2012).
Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang
cukup tinggi. Menurut data dari Perneftri (Persatuan Nefrologi Indonesia),
diperkirakan ada 70 ribu penderita ginjal di Indonesia, namun yang terdeteksi
menderita gagal ginjal kronik tahap terminal dari mereka yang menjalani cuci
darah (hemodialisa) hanya sekitar 4 ribu sampai dengan 5 ribu (Syamsir dan
Hadibroto, 2007).
Berdasarakan hasil RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013,
iperoleh prevalensi pasien yang mengalami gagal ginjal kronik ≥ 15 tahun di
Indonesia sebesar 0,2 % (2055 orang) dan prevalensi di Provinsi DIY pada umur
15-34 tahun sebesar 0,1 % (722 orang), umur 35-44 tahun sebesar 0,3 % (2167
orang), umur 45-54 tahun sebesar 0,4 % (2889 oarang), umur 55-74 tahun sebesar
0,5 % (3612 orang), dan umur ≥ 75 tahun sebesar 0,6 % (4344 orang).
1
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2
Berdasarkan jenis kelamin di Provinsi DIY, pada laki-laki sebesar 0,3 % (2167
orang), perempuan sebesar 0,2 % (1445 orang). Prevalensi paling tinggi di
Provinsi DIY berdasarkan karakteristik umur terjadi pada umur ≥ 75 tahun dan
berdasarkan jenis kelamin yaitu pada laki-laki.
Kasus gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta cukup banyak. Berdasarkan data pasien gagal ginjal
kronik di instalasi rawat jalan bagian poli dalam, jumlah kunjungan pasien gagal
ginjal kronik tiap tahunnya bervariasi. Pada tahun 2010 jumlah kunjungan sebesar
620 kali kunjungan. Pada tahun 2011 mengalami penurunan dengan jumlah
kunjungan sebesar 366 kali kunjungan. Pada tahun 2012-2014 mengalami
peningkatan jumlah kunjungan yaitu masing-masing sebesar 577 kali kunjungan,
787 kali kunjungan dan 1793 kali kunjungan (RSUD Bantul, 2015).
Penggunaan obat yang rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia
masih merupakan masalah. Lebih dari 50 % pasien menerima lebih dari 4 obat
untuk setiap lembar resepnya (Syamsudin, 2011). Prevalensi interaksi obat secara
keseluruhan di dunia adalah 50-60% (Wynn, 2009). Adanya interaksi obat dapat
memiliki dampak yang buruk bagi pasien. Dalam hal ini, dokter, perawat,
farmasis maupun tenaga kesehatan lainnya memiliki peran penting terkait
keselamatan pasien (Syamsudin, 2011).
Pharmaceutical Care merupakan format pelayanan kefarmasian yang
terbaru yaitu berbasis kepada pasien. Pharmaceutical Care merupakan tanggung
jawab farmasis untuk memaksimalkan hasil terapi dan meminimalkan terjadinya
efek negatif terapi, sehingga terjadi peningkatan kualitas hidup pasien (Sexton,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3
Nickless, and Green, 2006). Farmasis mempunyai tanggung jawab dalam
pengecekan terkait kemungkinan adanya interaksi obat. Interaksi obat dapat
mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan yang diterima, dapat
menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kesehatan pasien terkait
menyebabkan beban ekonomi dalam perawatan kesehatan pasien (Sohewardi,
Chogtu, and Faizal, 2012).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta dengan melihat hasil kunjungan pasien maka diperlukan
evaluasi mengenai interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik karena
belum terdapat data kajian mengenai interaksi obat. Hasil dari evaluasi tersebut,
nantinya akan dipergunakan oleh tenaga kesehatan di RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta untuk melakukan upaya pencegahan, apabila terjadi
interaksi obat yang dapat menimbulkan efek toksik, membahayakan pasien dan
menyebabkan beban ekonomi pada perawatan kesehatan pasien.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penggunaan obat pada pasien gagal
ginjal kronik perlu diperhatikan dan mendapat pengawasan dari tenaga kesehatan
khususnya farmasis. Berdasarkan alasan yang telah dikemukakan sebelumnya
mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai “Studi Literatur
Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat
Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun
2013”.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4
1. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, masalah yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut :
a. Seperti apa karakteristik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
yang meliputi umur dan jenis kelamin ?
b. Seperti apa gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik
meliputi kelas terapi (golongan dan jenis) obat, jumlah obat dan cara
pemberian obat di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013 ?
c. Berapa persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik
di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
periode Desember 2013 yang dikaji berdasarkan studi literatur ?
d. Seperti apa kategori signifikansi klinis interaksi obat yang teridentifikasi
pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang
dikaji berdasarkan studi literatur?
2.
Keaslian Penelitian
Penelitian tentang “ Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien
Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013 belum pernah dilakukan. Penelitian
lain yang berhubungan adalah:
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5
a. Kajian pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik ditinjau dari dosis,
interaksi, efek samping, dan kontraindikasi obat di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit dr. Sardjito Yogyakarta yang dilakukan oleh Bettega (2005).
b. Pola peresepan obat pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di
Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2000 yang
dilakukan oleh Kaka (2001).
c. Kajian penggunaan obat pada pasien gagal ginjal kronik nonhemodialisis di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2000-2001 :
Pola Peresepan, Evaluasi Kontraindikasi, dan Penyesuaian Dosis yang
dilakukan oleh Gunawan (2002).
d. Studi pustaka interaksi obat dengan obat pada pasien gagal ginjal kronik
dengan hemodialisis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta Tahun 2002 yang dilakukan oleh Peradnyani (2006).
Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian yang disebutkan di
atas adalah terletak pada tempat pelaksanaan penelitian yaitu di Instalasi Rawat
Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Periode pengambilan data
penelitian yaitu pada bulan Desember tahun 2013. Kajian pada penelitian ini yang
terfokus pada interaksi obat farmakokinetik dan farmakodinamik serta kategori
signifikansi klinis interaksi obat yang dikaji berdasarkan studi literatur. Persamaan
dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada fokus kajian yaitu penyakit gagal
ginjal kronik.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
6
3. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
a. Secara teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber
informasi sekaligus referensi dalam upaya pengembangan konsep pelayanan
farmasi klinik di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta dan dapat
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, khususnya berkaitan dengan
keamanan dan keselamatan pasien terutama pada aspek interaksi obat pada
peresepan pasien gagal ginjal kronik.
b. Secara praktis
1.
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai interaksi obat
pada penatalaksanaan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta yang dikaji berdasarkan
studi literatur.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat mendukung dan meningkatkan peran
farmasis dalam mengidentifikasi secara lebih dini terkait interaksi obat,
sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya interaksi obat dengan
efek yang membahayakan khususnya pada pasien gagal ginjal kronik di
Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui interaksi obat yang
terjadi berdasarkan peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
7
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang
dikaji berdasarkan literatur.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
yang meliputi umur dan jenis kelamin.
b. Mengetahui gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik
yang meliputi kelas terapi (golongan dan jenis) obat, jumlah obat, dan cara
pemberian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Desember 2013.
c. Mengetahui persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal
kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan studi literatur.
d. Mengetahui kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien
gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan studi literatur.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB II
PENELAAH PUSTAKA
A. Gagal Ginjal Kronik
1. Pengertian gagal ginjal kronik
Gagal ginjal kronik menggambarkan struktur dan fungsi ginjal yang tidak
normal. Ginjal rusak secara progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa
tahun). Penyakit gagal ginjal kronik juga membawa risiko kematian yang tinggi
(Fink, Greer, MacDonald, Rossini, Sadiq, Lankireddy, et al., 2012). Penurunan
atau kegagalan fungsi ginjal berupa fungsi ekskresi, fungsi pengaturan, dan fungsi
hormonal dari ginjal. Kegagalan sistem sekresi menyebabkan menumpuknya zatzat toksik dalam tubuh yang kemudian menyebabkan sindroma uremia
(Kamaluddin dan Rahayu, 2009).
2. Epidemiologi gagal ginjal kronik
Insidens penyakit gagal ginjal kronik sejak 10-15 tahun belakangan ini
mengalami peningkatan diseluruh dunia termaksud Indonesia. Di Amerika Serikat
pada akhir tahun 2007 tercatat sebanyak 527.283 orang mendapat pengobatan
gagal ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease/ESRD) di mana 368.544 orang
diantaranya mendapat terapi hemodialisis baik di rumah sakit, rumah maupun
dialisis peritoneal (NKUDIC, 2010). Pada tahun 2010, di Indonesia diperkirakan
terdapat 2 juta pasien yang mengalami gagal ginjal kronik dengan laju
pertumbuhan kira-kira 7% pertahun (Dharmeizar, 2012). Kasus baru gagal ginjal
kronik di Indonesia dari data di beberapa pusat nefrologi diperkirakan berkisar
8
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
9
100-150/ 1 juta penduduk, sedangkan prevalensinya mencapai 200-250/ 1 juta
penduduk (PERNEFTRI, 2012).
B. Manajemen Terapi Gagal Ginjal Kronik
1. Tujuan terapi dan sasaran terapi
Tujuan terapi dan sasaran terapi adalah untuk menunda perkembangan
gagal ginjal kronik, sehingga meminimalkan pengembangan atau keparahan
komplikasi yang terkait termasuk penyakit jantung. Terapi non farmakologi dan
farmakologi dilakukan untuk memperlambat laju perkembangan gagal ginjal
kronik dan dapat menurunkan insiden dan prevalensi end stage renal disease
(ESRD) (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008).
Penyakit ginjal kronik tidak dapat disembuhkan, namun diperlukan upaya
mempertahankan agar ginjal dapat berfungsi seoptimal mungkin. Caranya yaitu
dengan terapi melalui obat-obatan untuk mengatasi gejala-gejala dan komplikasi
penyakit ginjal kronik serta membantu memperlambat proses kerusakan fungsi
ginjal, dialisis (cuci darah), transplantasi (cangkok) ginjal, dan modifikasi gaya
hidup (Mahdiana, 2011).
Pengobatan pada gagal ginjal kronik dibagi dalam dua tahap. Tahap
pertama berupa tindakan konservatif untuk meredakan atau memperlambat
perburukan progresif gangguan fungsi ginjal. Prinsip dasar dalam penatalaksanaan
konservatif didasarkan pada pemahaman tentang batas-batas ekskresi yang dapat
dicapai oleh ginjal yang terganggu. Bila hal tersebut sudah diketahui, maka diet
zat terlarut dan cairan orang yang bersangkutan dapat diatur dan disesuaikan
dengan adanya batas-batas tersebut. Tahap kedua pengobatan dengan adanya
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
10
terapi pengganti ginjal. Keadaan ini terjadi pada penyakit ginjal stadium akhir
atau ESRD dengan nilai GFR < 2ml/menit. Tujuan dari terapi yaitu untuk
menggantikan ginjal yang tidak bisa bekerja sesuai fungsinya (Price and Wilson,
2005).
2. Strategi terapi
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik meliputi 4 tahap yaitu :
1. Memperlambat laju penurunan fungsi ginjal
a. Pengobatan hipertensi. Target penurunan tekanan darah yang
dianjurkan adalah kurang dari 130/80 mmHg.
b. Pembatasan asupan protein, bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus sehingga progresifitas akan diperlambat.
c. Retriksi fosfor dengan tujuan untuk mencegah hiperparatirodisme
sekunder.
d. Mengurangi proteinuria. Terdapat korelasi antara proteinuria dan
penurunan fungsi ginjal terutama pada glomerulonefritis kronik dan
diabetes. Dalam hal ini biasa digunakan ACE inhibitor. Jika terdapat
intoleransi terhadap ACE inhibitor maka dapat digunakan angiotensin
receptor blocker (ARB) (Dipiro et al., 2008).
e. Mengendalikan hiperlipidemia. Telah terbukti bahwa hiperlipidemia
yang tidak terkendali dapat mempercepat progresifitas gagal ginjal.
Pengobatan meliputi diet dan olahraga. Pada peningkatan yang
berlebihan diberikan obat-obat penurun lemak darah. Pedoman dari
Asosiasi Diabetes Kanada menyarankan nilai hemoglobin A1c < 7,0%
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
11
dan fasting plasma glucose 4–7 mmol/L (Levin, Hemmelgarn,
Culleton, Tobe, McFarlane, Ruzicka et al, 2008).
2. Mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut
a. Pencegahan kekurangan cairan
Dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat menyebabkan gangguan
prarenal yang masih dapat diperbaiki. Oleh sebab itu perlu ditanyakan
mengenai keseimbangnan cairan (muntah, keringat, diare, asupan
cairan sehari- hari), penggunaan obat (diuretik, manitol, fenasetin), dan
penyakit lain (diabetes melitus, kelainan gastrointestinal, dan ginjal
polikistik) (Levin et al, 2008)
b. Sepsis
Sepsis dapat disebabkan berbagai macam infeksi, terutama infeksi
saluran kemih. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengkoreksi kelainan
urologi dan antibiotik yang telah terpilih untuk mengobati infeksi
(Levin et al, 2008).
c. Hipertensi yang tidak terkendali
Tekanan darah umumnya meningkat sesuai dengan perburukan fungsi
ginjal. Kenaikan tekanan darah ini akan menurunkan fungsi ginjal.
Akan tetapi penurunan tekanan darah yang berlebihan juga akan
menyebabkan perfusi ginjal menurun. Obat yang dapat diberikan
adalah furosemid, beta blocker, vasodilator, kalsium antagonis dan
alfa blocker. Obat golongan tiazid kurang bermanfaat, sedangkan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
12
spironolakton tidak dapat digunakan karena dapat meningkatkan kadar
kalium (Dipiro et al., 2008).
d.
Obat-obat nefrotoksik
Obat-obat aminoglikosida, OAINS (obat antiinflamasi non steroid),
kontras radiologi, dan obat-obat yang dapat menyebabkan nefritis
interstitialis harus dihindari (Dharmeizar, 2012).
e. Kehamilan
Kehamilan dapat memperburuk fungsi ginjal, hipertensi meningkatkan
terjadinya
eklamsia
dan
menyebabkan
retardasi
pertumbuhan
intrauterin (Levin et al, 2008).
3. Pengelolaan uremia dan komplikasinya
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pasien dengan penyakit ginjal kronik sering mengalami peningkatan
jumlah cairan ekstrasel karenan retensi cairan dan natrium.
Peningkatan cairan intravaskular menyebabkan hipertensi, sementara
ekspansi cairan ke interstitial menyebabkan edema. Hiponatremia
sering juga dijumpai. Penatalaksanaan yang tepat meliputi retriksi
asupan cairan dan natrium, dan pemberian terapi diuretik. Asupan
cairan natrium dibatasi < 1 liter/hari, pada keadaan berat < 500ml/hari.
Natrium diberikan < 2-4 g/hari, tergantung dari beratnya edema. Jenis
diuretik yang menjadi pilihan adalah furosemid karena efek furosemid
tergantung dari sekresi aktifnya di tubulus proksimal. Pasien dengan
penyakit ginjal kronik umumnya membutuhkan dosis yang tinggi (300-
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
13
500 mg), namun perlu diperhatikan efek samping obat. Apabila
tindakan ini tidak membantu maka harus dilakukan dialisis (Levin et
al., 2008).
b. Asidosis metabolik
Penurunan kemampuan sekresi acid load pada penyakit ginjal kronik
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Hal ini umumnya terjadi
apabila nilai GFR < 25 ml/mnt. Diet rendah protein 0.6 g/hari dapat
membantu mengurangi asidosis. Bila kadar bikarbonat turun sampai <
15-17 mEq/L harus diberikan subtitusi alkali (Dipiro et al., 2008).
c. Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia kordis yang fatal. Untuk
mengatasi ini, dapat diberikan: kalsium glukonas 10% (10 ml dalam 10
menit secara iv), bikarbonas natrikus 50-150 secara iv dalam 15-30
menit, insulin dan glukosa 6 unit, insulin dan glukosa 50 g dalam
waktu 1 jam, kayexalate (resin pengikat kalium) 25-50 g secara p.o
atau rektal. Bila hiperkalemia tidak dapat diatasi, maka dilakukan
dialisis (Levin et al, 2008).
d. Diet rendah protein
Diet rendah protein dianggap akan mengurangi akumulasi hasil akhir
metabolisme protein yaitu ureum dan toksik uremik lainya. Selain itu,
telah terbukti bahwa diet tinggi protein akan mempercepat timbulnya
glomerulosklerosis
sebagai
akibat
meningkatnya
beban
kerja
glomerulus dan fibrosis interstitial. Kebutuhan kalori harus dipenuhi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
14
supaya tidak terjadi pemecahan protein dan merangsang pengeluaran
insulin. Kalori yang diberikan adalah sekitar 35 kal/kgBB, protein 0,6
g/ kgBB/ hari dengan nilai biologis tinggi (40% asam amino esensial)
(Mahdiana, 2011).
e.
Anemia
Penyebab utama anemia pada penyakit ginjal kronik adalah terjadinya
defisiensi
eritropoietin.
Penyebab
lainnya
adalah
perdarahan
gastrointestinal, umur eritrosit yang pendek, serta adanya faktor yang
menghambat eritropoesis (toksin uremia), malnutrisi dan defisiensi
besi. Transfusi darah hanya diberikan bila perlu dan apabila pemberian
transfusi dapat memperbaiki keadaan klinis secara nyata. Terapi
apabila nilai Hb < 8 g % yaitu dengan pemberian eritropoietin, tetapi
pengobatan ini masih terbatas karena mahal. Target pemberian
eritropoietin adalah dengan nilai Hb > 11 g %. Jika tidak diberikan
terapi dengan eritropoietin maka bisa diberikan terapi besi (Levin et
al., 2008).
f. Kalsium dan fosfor
Terdapat 3 mekanisme yang saling berhubungan yaitu hipokalsemia
dengan hipoparatiroid sekunder, retensi fosfor oleh ginjal, dan
gangguan pembentukan 1,25 dihidroksikalsiferol metabolit aktif
vitamin D. Pada keadaan ini dengan nilai GFR < 30 mL/mnt
diperlukan pemberian fosfor seperti kalsium bikarbonat atau kalsium
asetat yang diberikan pada saat makan. Pemberian vitamin D juga
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
15
perlu diberikan untuk meningkatkan absorbsi kalsium di usus. Diet
rendah fosfat dilakukan untuk menjaga hiperfosfatemia. Jika diet
rendah fosfat gagal, dapat diberikan calcium-containing phosphate
binders. Namun jika terdapat hiperkalemia maka dosis calciumcontaining phosphate binders atau vitamin D harus dikurangi.
Hipokalesemia harus dikoreksi jika pasien menunjukkan gejala atau
tanda peningkatan level parat hormon (Dipiro et al., 2008).
g. Hiperurisemia
Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg, apabila kadar asam urat >
10 mg/dl atau apabila terdapat riwayat gout (Mahdiana, 2011).
4. Inisiasi dialisis
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan
dialisis tetap atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya nilai GFR sekitar
5-10 ml/mnt. Dialisis juga diiperlukan bila:
a.
Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
b.
Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
c.
Overload cairan (edema paru)
d.
Ensefalopati uremik dan penurunan kesadaran
e.
Efusi perikardial
f.
Sindrom uremia (mual,muntah, anoreksia, dan neuropati) yang
memburuk (Levin et al., 2008).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
16
C. Interaksi obat
1. Pengertian interaksi obat
Interaksi obat adalah kejadian dimana respon farmakologis atau klinis
dari pemberian suatu kombinasi obat, tidak sama dengan efek yang diharapkan
timbul bila dua obat diberikan secara terpisah. Interaksi obat terjadi bila efek dari
suatu obat berubah dengan adanya kehadiran obat lainnya, makanan, minuman
atau zat kimiawi lingkungan (Kurnia, 2007).
2. Prevalensi interaksi obat
Prevalensi interaksi obat secara keseluruhan di dunia adalah 50-60%
(Wynn, 2009). Penggunaan polifarmasi obat dimana lebih dari 50% rata-rata
pasien mendapat 3-5 jenis obat atau lebih untuk setiap lembar resepnya (Raut,
2013). Insidens efek samping obat akan meningkat dengan banyaknya obat yang
diberikan. Di mana pasien sebanyak 4009 yang mendapatkan obat dengan kisaran
jumlah obatnya (0-5) jumlah efek sampingnya 142 (4%), sedangkan pada pasien
sebanyak 641 yang mendapatkan obat dengan kisaran jumlah obat (16-20) jumlah
efek sampingnya 347 (54%). Beberapa penelitian juga menunjukkan terjadinya
interaksi obat sampai 88% pada populasi lansia yang berobat jalan (Kurnia, 2007).
Meningkatnya kompleksitas dan polifarmasi obat yang digunakan dalam
pengobatan memungkinkan terjadinya interaksi obat semakin besar (Shekar and
Bhagawan, 2014). Kurangnya dokumentasi dan pengamatan terkait kejadian
interaksi obat serta kurangnya pengetahuan para dokter mengenai interaksi obat
dapat memperparah kejadian interaksi obat dalam pelayanan kesehatan (Nidhi,
2012).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
17
3. Jenis interaksi obat
Jenis-jenis interaksi obat meliputi interaksi farmakokinetik, farmakodinamik
dan farmasetis.
a. Interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakokinetik merupakan interaksi
antara dua obat atau lebih yang mempengaruhi proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi salah satu obat atau lebih di dalam tubuh
(Hacker, Bachman, and Messer, 2009). Interaksi dapat diukur pada
perubahan parameter farmakokinetik meliputi konsentrasi maksimal
(Cmax), konsentrasi obat di dalam tubuh persatuan waktu (AUC), waktu
paruh eliminasi dan total obat yang diekskresikan lewat urin (CI) (Tatro,
2007).
1) Interaksi pada proses absorpsi
Interaksi pada proses absorpsi terjadi ketika adanya penggunaan
dua obat atau lebih pada waktu yang bersamaan sehingga laju absorpsi
dari salah satu atau kedua obat mengalami perubahan. Interaksi pada
proses absorpsi dapat dipengaruhi oleh perubahan pada pH saluran
pencernaan, kelarutan obat, metabolisme saluran pencernaan, flora
usus, mukosa usus, adsorpsi, khelasi, perubahan motilitas saluran
pencernaan, induksi atau inhibisi dari protein transporter obat,
malabsorpsi yang disebabkan oleh obat dan mekanisme kompleks
lainnya (Tatro, 2007).
Salah
satu
obat
dapat
menghambat,
menurunkan,
atau
meningkatkan laju absorpsi obat yang lainnya. Hal ini dapat terjadi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
18
dengan cara memperpendek atau memperpanjang waktu pengosongan
lambung dengan menambah pH lambung dan dengan membentuk
kompleks dengan obat. Laksatif merupakan obat yang dapat
meningkatkan kecepatan pengosongan dan usus halus sehingga
menurunkan absorpsi obat. Narkotik dan antikolinergik dapat
meningkatkan motilitas lambung dan usus halus sehingga dapat
menyebabkan peningkatan laju absorpsi obat. Semakin banyak jumlah
obat yang diabsorpsi pada usus halus, semakin banyak jumlah yang
memasuki sirkulasi sistemik (Syamsudin, 2011).
Interaksi obat pada proses absorpsi terjadi di dalam usus halus.
Usus merupakan lokasi utama untuk absorpsi obat karena mempunyai
wilayah absorpsi yang sangat luas, daya serap obat yang lebih tinggi
dan jumlah aliran darah melalui kapiler usus lebih besar sehingga obat
yang diserap dapat diangkut ke sirlukasi sistemik (Syamsudin, 2011).
Pada perubahan motilitas saluran pencernaan, respon suatu obat dapat
berubah karena terdapat obat lain yang mengubah motilitas saluran
pencernaan. Apabila waktu transit obat ke dalam saluran pencernaan
mengalami peningkatan atau terjadi penurunan maka obat akan
terabsorpsi cepat atau lambat. Metokloporamid, eritromisin dan obat
pencahar merupakan obat-obatan yag dapat menurunkan waktu transit
di saluran pencernaan (Albert, 2008).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
19
2) Interaksi pada proses distribusi
Setelah obat mengalami proses absorpsi ke dalam darah maka obat
tersebut akan bersirkulasi secara cepat ke seluruh jaringan tubuh. Pada
saat darah mengalami sirkulasi, obat akan bergerak dari aliran darah
kemudian masuk ke jaringan tubuh. Distribusi obat adalah perjalanan
obat dari darah dan ke darah serta beberapa jaringan tubuh seperti
lemak, otot dan jaringan otak. Obat yang masuk ke dalam jaringan yang
berbeda memiliki kecepatan yang berbeda, di mana tergantung pada
kecepatan obat menembus membran (Tatro, 2007).
Dalam fase distribusi, akan terjadi interaksi jika dua obat yang
berikatan tinggi dengan protein atau albumin bersaing untuk
mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma.
Akibatnya terjadi penurunan dalam pengikatan dengan protein pada
salah satu atau kedua obat itu sehingga lebih banyak obat bebas yang
bersirkulasi dalam plasma dan meningkatkan kerja obat, efek ini dapat
menimbulkan toksisitas obat (Syamsudin, 2011). Apabila terdapat dua
obat yang berikatan kuat dengan protein yang harus digunakan secara
bersamaan, maka perlu adanya pengurangan dosis salah satu atau kedua
obat tersebut untuk menghindari terjadinya toksisitas obat (Aronson,
2009) dan (Triplitt, 2006).
3) Interaksi pada proses metabolisme atau biotransformasi
Dalam proses metabolisme, obat yang akan masuk ke dalam tubuh
akan diubah menjadi lebih polar agar dapat dieksresikan oleh ginjal dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
20
menghasilkan metabolit inaktif. Terdapat dua fase pada proses
metabolisme obat yaitu fase pertama yang meliputi reaksi oksidasi,
reduksi dan hidrolisis. Fase kedua meliputi reaksi konjugasi metabolit
atau obat dari reaksi fase pertama dengan substrat endogen seperti asam
glukuronat. Tujuan dari reaksi fase pertama yaitu mengubah obat
menjadi senyawa yang lebih polar dan reaksi fase kedua bertujuan
membuat senyawa menjadi inaktif (Tatro, 2007).
Suatu obat dapat menigkatkan metabolisme obat lain dengan cara
menginduksi enzim-enzim di hati. Fenobarbital merupakan contoh obat
yang dapat meningkatkan induksi enzim yang disebut sebagai
penginduksi enzim (Triplitt, 2006). Penurunan efek obat disebabkan
karena adanya proses metabolisme obat yang dapat meningkatkan dan
mempercepat proses eliminasi obat dan menurunkan konsentrasi obat di
dalam plasma (Syamsudin, 2011).
Inhibitor enzim merupakan cara menginhibisi enzim-enzim dengan
menurunkan metabolisme obat lain. Proses metabolisme obat akan
menurun dan memperlambat proses eliminasi obat sehingga dapat
meningkatkan konsentrasi dan efek obat di dalam plasma (Syamsudin,
2011).
4) Interaksi pada proses ekskresi
Ekskresi obat sebagian besar terjadi lewat ginjal melalui urin dan
juga melalui empedu. Interaksi obat pada proses ekskresi dapat terjadi
karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perubahan pH urin,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
21
perubahan ekskresi empedu dalam bentuk siklus enterohepatik,
perubahan ekskresi aktif pada tubulus ginjal dan perubahan aliran darah
ginjal (Baxter, 2010).
a) Perubahan ekskresi aktif pada tubular ginjal. Penurunan ekskresi
obat satu sama lain melalui kompetisi dalam berikatan
disebabkan oleh banyaknya
obat yang memiliki mekanisme
transport yang sama dalam tubulus ginjal (Syamsudin, 2011).
b) Perubahan pH urin. Obat adalah suatu asam lemah atau basa
lemah, ketika urin bersifat basa maka obat-obatan basa lemah
akan direabsorpsi kedalam tubulus distal. pH urin dapat
bervariasi sesuai dengan makanan yang dikonsumsi, variasi pH
urin berkisar antara 4,5 – 8,0. Ketika pH urin asam maka obatobat yang bersifat basa akan lebih mudah diekskresikan. Pada
suasana basa atau nilai pH tinggi, obat asam lemah yang
memiliki pKa 3-7 sebagian besar berada dalam bentuk terion
dan tidak larut dalam lemak, sehingga obat tidak dapat berdifusi
ke dalam sel tubulus ginjal dan akan tetap berada dalam urin dan
dikeluarkan dari tubuh (Syamsudin, 2011).
Obat yang bersifat basa lemah dengan nilai pKa 7,5-10,5
dalam suasana basa akan berada dalam bentuk tidak terionisasi
dan terlarut dalam lemak. Hal tersebut mengakibatkan obat
dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan terjadi
peningkatan konsentrasi obat. Sebaliknya pada saat suasana urin
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
22
asam maka obat yang bersifat basa tersebut akan lebih mudah
diekskresikan (Syamsudin, 2011).
b. Interaksi farmakodinamik. Interaksi farmakodinamik merupakan interaksi
antara dua obat atau lebih yang dapat menyebabkan efek dari suatu obat
mengalami perubahan oleh adanya kehadiran obat lain di tempat kerja atau
aksi obat (Baxer, 2010). Interaksi farmakodinamik menimbulkan efek-efek
obat yang aditif, sinergis (potensiasi), atau antagonis jika dua obat atau
lebih yang mempunyai kerja yang serupa atau tidak serupa diberikan
(Tatro, 2007).
1). Efek obat aditif
Interaksi yang terjadi apabila adanya pemberian dua atau lebih obat
yang memiliki efek terapeutik yang sama saat diberikan secara
bersamaan. Efek yang dihasilkan dari pemberian obat-obat tersebut
secara bersamaan merupakan jumlah dari efek kedua obat yang
digabungkan secara tersendiri sesuai dengan dosis yang digunakan.
Efek yang terjadi tersebut dapat merupakan efek yang diinginkan atau
tidak diinginkan. Contoh interaksi aditif yang diinginkan adalah obat
analgesik yaitu aspirin dan kodein yang dapat diberikan bersamaan
untuk meredakan nyeri (Baxter, 2010). Contoh interaksi aditif yang
tidak diinginkan yaitu interaksi aspirin dan alkohol yang dapat
menyebabkan terjadinya pendarahan lambung (Syamsudin, 2011).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
23
2). Efek obat sinergisme
Interaksi yang terjadi apabila dua obat atau lebih yang tidak
memiliki ataupun memiliki efek farmakologi yang sama diberikan
secara bersamaan akan memperkuat efek obat lain dan dapat
menimbulkan peningkatan efek yang signifikan. Efek yang dihasilkan
dapat merupakan efek yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan
dan berbahaya bagi pasien yang mengkonsumsi obat tersebut (Tatro,
2007).
3). Efek obat antagonisme
Efek yang dihasilkan dari interaksi obat yang terjadi antara dua
atau lebih obat yang memiliki efek antagonis atau efek farmakologi
yang berlawanan. Efek dari obat-obat yang berinteraksi tersebut akan
saling meniadakan efek obat satu sama lain jika diberikan secara
bersamaan (Syamsudin, 2011). Contoh dari efek antagonis adalah bila
perangsang adrenergik beta isoproteronol dan propanolol diberikan
bersamaan, maka akan terjadi interaksi obat saling meniadakan dan
tidak satupun dari obat tersebut menimbulkan efek terapeutik (Baxter,
2010).
c. Interaksi farmasetik. Interaksi farmasetik merupakan interaksi yang terjadi
karena pencampuran obat secara langsung baik fisik atau kimiawi. Hasil
dari interaksi tersebut adalah terjadi pembentukan endapan, perubahan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
24
warna dan mungkin dapat tidak terlihat. Interaksi farmasetik terjadi di luar
tubuh sebelum obat diberikan (Nah, 2007).
4. Interaksi obat pada gagal ginjal kronik
Pasien dengan gangguan ginjal dapat mengalami berbagai permasalahan
terkait penggunaan obat diantaranya yaitu interaksi obat (Wiffen, Mitchell,
Snelling, and Stoner, 2007). Obat nonsteroid antiinflamatory drugs (NSAID)
mengganggu fungsi ginjal sehingga menyebabkan retensi cairan dan natrium,
sehingga NSAID akan menghambat efek beberapa jenis obat diuretik dan
antihipertensi. Adanya udem bisa juga terjadi pada pasien hipertensi yang
mengalami interaksi. Beberapa obat dapat menginduksi gangguan renal dengan
cara menurunkan klirens kreatinin, sehingga menurunkan ekskresi obat tersebut
dan metabolitnya misalnya aminoglikosida, juga siklosporin dan kaptropil
menurunkan klirens ginjal dari digoksin. Litium dapat menyebabkan ginjal
menjadi sensitif terhadap penghambat ACE dengan hasil terjadinya gangguan
ginjal (Kurnia, 2007).
5. Faktor dan penyebab terjadinya interaksi obat
Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai farmakokinetik dan
farmakodinamik obat, faktor diet, faktor fisiologi dari masing-masing individu
seperti usia, berat badan, faktor genetik dan adanya penyakit penyerta yang
dialami pasien seperti penyakit hati, ginjal, hipertensi, dan diabetes melitus
merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya interaksi obat
(Mahdiana, 2011). Pasien lansia memiliki kemungkinan dalam mengalami
interaksi obat karena adanya penurunan fungsi organ dan penggunaan obat yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
25
melebihi satu jenis obat. Administrasi dari dua atau lebih obat yang bekerja secara
simultan, pemberian obat dalam waktu yang bersamaan, obat yang diresepkan
untuk pasien berasal dari beberapa dokter, pasien mengkonsumsi obat herbal,
makanan, vitamin, penggunaan polifarmasi dan ketidakpatuhan pasien merupakan
penyebab terjadinya interaksi obat (Triplitt, 2006).
6. Signifikansi klinis interaksi obat
Adanya interaksi dari beberapa obat dapat menimbulkan suatu dampak
klinis yang nantinya berpengaruh signifikan terhadap klinis. Interaksi obat
ditandai berdasarkan level signifikansi klinis. Kategori signifikansi klinis dapat
dibedakan menjadi 5 menurut Tatro (2007) yang mencakup onset, tingkat
keparahan interaksi dan dokumentasi. Onset merupakan seberapa cepat efek klinis
dari interaksi obat dapat menyebabkan suatu tingkat keparahan, sehingga
diperlukan suatu tindakan pencegahan untuk menghindari efek dari interaksi
tersebut (Tatro, 2007).
Terdapat 2 level atau tingkat onset yang terdiri dari onset yang cepat dan
onset yang lambat. Onset yang cepat ditandai dengan dengan efek dari interaksi
obat yang akan terlihat dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemberian obat
dan memerlukan penanganan medis untuk mencegah efek dari interaksi yang
ditimbulkan. Onset yang mempunyai sifat lambat ditandai dengan efek dari
interaksi obat akan terlihat dalam waktu lebih dari 24 jam dan tidak diperlukan
suatu penanganan medis untuk mencegah efek dari interaksi yang ditimbulkan
(Tatro, 2007).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
26
Tingkat keparahan interaksi obat merupakan suatu potensi keprahan yang
ditimbulkan akibat adanya interaksi obat. Tingkat keparahan interaksi obat
penting digunakan dalam menilai risiko dan manfaat dari pemberian terapi.
Dilakukan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi waktu dan jalur
administrasi pemberian obat agar efek negatif dari interaksi obat dapat dihindari
(Tatro, 2007).
Berdasarkan tingkat keparahannya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu
major, moderat dan minor. Tingkat keparahan major dari interaksi obat dapat
berpotensi mengancam nyawa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen.
Tingkat keprahan moderat dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien
sehingga diperlukan terapi tambahan untuk pasien dalam menangani interaksi
obat yang terjadi. Tingkat keparahan minor dapat menghasilkan efek yang
biasanya ringan dan biasanya tidak diperlukan pengobatan tambahan (Tatro,
2007).
Dokumentasi merupakan proses pengumpulan data terkait interaksi obat
yang mendasari keyakinan adanya interaksi obat dapat menyebabkan perubahan
pada suatu respon kinis. Tingkat dokumentasi merupakan evaluasi terhadap
kualitas dan relevansi klinis dari literatur utama yang mendukung terjadinya
interaksi obat. Terdapat lima tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu established,
probable, suspected, possible, unlikely (Tatro, 2007).
Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu established merupakan interaksi
obat yang sangat mantap terjadi, adanya kejadian secara klinis telah terbukti
berdasarkan penelitian-penelitian. Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
27
probable merupakan interaksi obat yang dapat terjadi, namun belum terbukti
secara klinis. Interaksi farmakokinetik telah dibuktikan dalam penelitian studi
terhadap manusia. Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu suspected merupakan
interaksi obat yang diduga dapat terjadi, adanya beberapa data penelitian yang
baik dan perlu studi lebih lanjut untuk memastikan interaksi obat yang terjadi.
Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu possible merupakan interaksi obat yang
belum pasti terjadi, tersedia data penelitian yang mendukung namun sangat
terbatas. Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu unlikely merupakan interaksi
obat yang kemungkinan tidak terjadi. Tidak terdapat bukti terjadinya perubahan
efek klinis pasien (Tatro, 2007).
Berdasarkan hal tersebut dapat dirangkum bahwa tingkat signifikansi
interaksi obat menurut Tatro (2007), dibedakan menjadi 5 kategori yang
mencakup tingkat keparahan dan dokumentasi yang dapat dilihat pada Tabel 1 di
bawah ini.
Tabel I. Kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007)
Kategori signifikansi
Tingkat keparahan
Dokumentasi
klinis
1
Major
Established, probable
atau suspected
2
Moderat
Established, probable
atau suspected
3
Minor
Established, probable
atau suspected
4
Major atau moderat
Possible
5
Minor
Possible
Sebagian besar
Unlikely
Berdasarkan Tabel I di atas keterangan mengenai kategori signifikansi
klinis interaksi obat menurut Tatro (2007) yaitu:
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
28
1. Kategori signifikansi klinis 1 mencakup tingkat keparahan major dan
dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau
suspected. Tingkat keparahan major dapat menimbulkan risiko yang
berpotensi mengancam jiwa pasien serta mengakibatkan kerusakan yang
permanen. Oleh karena itu, kombinasi obat tersebut harus dihindari.
2. Kategori signifikansi klinis 2 memiliki tingkat keparahan moderat dan
dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau
suspected. Tingkat keparahan moderat menimbulkan efek yang dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan dari status klinik pasien sehingga
dibutuhkkan terapi tambahan atau perawatan di rumah sakit
3. Kategori signifikansi klinis 3 mencakup tingkat keparahan minor dan
dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau
suspected. Tingkat keparahan minor menimbulkan efek interaksi obat ringan
dan secara signifikan tidak mempengaruhi status klinik pasien sehingga terapi
tambahan tidak diperlukan.
4. Kategori signifikansi klinis 4 mencakup tingkat keparahan major atau moderat
dan dokumentasi mengenai interaksi obat yaitu possible. Tingkat keprahan
major atau moderat menimbulkan efek yang dapat berbahaya karena dapat
mengubah respon farmakologi individu sehingga diperlukan terapi tambahan.
5. Kategori signifikansi klinis 5 mencakup tingkat keparahan minor dan
dokumentasi mengenai interaksi obat yaitu sebagian besar unlikely namun
terdapat juga beberapa dokumentasi yang possible. Tingkat keparahan minor
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
29
menimbulkan efek yang ringan dan respon klinik yang dialami pasien dapat
mengalami perubahan atau tidak.
Menurut Hansten and Horn (2002), kategori signifikansi klinis
mempertimbangkan adanya suatu potensi yang dapat membahayakan bagi pasien
dan terdapat tingkat dokumentasi dari interaksi obat yang terjadi. Terdapat tiga
kategori signifikansi klinis yaitu kategori pertama yaitu, pemberian kombinasi
obat harus dihindari karena efek yang ditimbulkan pada pasien akibat interaksi
obat lebih banyak menimbulkan risiko dan kerugian dibandingkan manfaat dan
keuntungannya. Kategori signifikansi klinis kedua yaitu, pemberian kombinasi
obat sebaiknya dihindari, kecuali apabila manfaat dari kombinasi obat lebih besar
daripada risiko yang ditimbulkan, namun disarankan untuk menggunakan
kombinasi obat lain yang sejenis dan memiliki risiko yang lebih kecil. Diperlukan
adanya modifikasi dosis, rute pemberian obat dan waktu pemberian obat apabila
ingin dikombinasi untuk mengurangi terjadinya kejadian interaksi obat. Pasien
harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi obat.
Kategori signifikansi klinis ketiga yaitu kombinasi obat memberikan
risiko yang kecil, memiliki manfaat yang lebih banyak daripada risiko yang
ditimbulkan serta pasien harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi obat.
Menurut Hansten and Horn (2002), selain terdapat kategori signifikansi klinis
terdapat beberapa penjelasan mengenai interaksi obat yang meliputi ringkasan
mengenai penjelasan singkat dari hasil potensi interaksi obat dan signifikansi
klinis, faktor risiko dari interaksi obat yang terjadi, penjelasan mengenai obat
yang berinteraksi dan manajemen terapi terkait adanya interaksi obat.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
30
Menurut Chelmow et al., (2014) terdapat empat kategori signifikansi
klinis interaksi obat yaitu interaksi obat kontraindikasi, serius, signifikan dan
minor atau tidak signifikan. Pada kategori signifikansi klinis interaksi obat yang
kontraindikasi obat yang tidak dapat digunakan karena dapat membahayakan
keadaan pasien, interaksi obat yang serius yaitu kombinasi obat tidak dapat
digunakan atau harus dihindari karena dapat membahayakan keadaan pasien.
Dibutuhkan alternatif untuk pemilihan obat lain yang tidak membahayakan
kondisi pasien (Chelmow et al., 2014) dan (Kapadia, 2013).
Pada kategori signifikansi klinis interaksi obat yang signifikan harus
dilakukan monitoring secara ketat terhadap kombinasi obat yang diberikan kepada
pasien, diperlukan adanya penyesuaian dosis antara kedua obat dan modifikasi
jalur serta waktu pemberian obat. Pada kategori signifikansi klinis interaksi obat
minor atau tidak signifikan kombinasi obat dapat diberikan kepada pasien karena
tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi pasien, namun harus tetap
dilakukan monitoring pada kondisi pasien (Chelmow et al., 2014) dan (Kapadia,
2013).
7. Peran apoteker dalam interaksi obat
Apoteker bersama dengan dokter memiliki kewajiban untuk memastikan
bahwa pasien mengetahui risiko efek samping obat dan tindakan yang harus
mereka lakukan dalam penggunaan obat. Dengan pengetahuan yang rinci
mengenai obat, apoteker memiliki kemampuan untuk menghubungkan gejala
klinis yang dialami pasien dengan kemungkinan efek yang merugikan dari terapi
obat tersebut. Farmasis harus memastikan bahwa interaksi obat dapat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
31
diminimalkan dengan menghindari obat-obatan yang berpotensi menimbulkan
interkasi obat pada pasien, sehingga apoteker berperan penting dalam mencegah,
mendeteksi dan melaporkan adanya interaksi obat dalam pengobatan pasien
(Syamsudin, 2011).
D. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai interaksi obat
peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember Tahun 2013.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian dengan judul “ Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan
Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” termasuk jenis penelitian
deskriptif dengan data retrospektif. Penelitian ini bersifat deskriptif karena hanya
melihat gambaran interaksi obat yang diresepkan dan tidak dianalisis dengan
mengadakan wawancara dengan pasien maupun dokter tetapi dibahas berdasarkan
pustaka yang ada. Penelitian ini bersifat retrospektif karena pengambilan data
berdasarkan rekam medis pasien pada periode waktu lampau yang telah
ditentukan (Notoatmodjo, 2010).
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Pasien gagal ginjal kronik adalah pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul periode Desember Tahun 2013 yang telah
didiagnosis oleh dokter dan dituliskan di rekam medis pasien mengalami gagal
ginjal kronik dengan komplikasi, tanpa komplikasi dan dengan penyakit
penyerta.
2. Karakteristik pasien gagal ginjal kronik meliputi umur dan jenis kelamin.
Umur dapat dibagi menjadi dua kelompok meliputi adult dan geriatri. Adult
memiliki rentang umur 15 sampai dengan 59 tahun dan geriatri memiliki
rentang umur lebih besar dari atau sama dengan 60 tahun. Jenis kelamin terdiri
dari perempuan dan laki-laki.
32
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
33
3. Gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik merupakan
gambaran peresepan obat pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
Rawat Jalan di RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013
yang meliputi kelas terapi obat (golongan dan jenis) obat, jumlah obat, dan cara
pemberian obat.
4. Interaksi obat adalah pemberian terapi berupa 2 atau lebih jenis obat secara
bersamaan yang dapat menghasilkan efek menguntungkan ataupun merugikan
yang dikaji secara teoritis berdasarkan studi literatur yang mengacu pada Tatro
(2007), Baxter (2010), Chelmow et al., (2014) dan Hasten and Horn (2002).
Interaksi obat yang dikaji merupakan interaksi antara obat antihipertensi
dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain
dengan obat lain. Pengkajian interaksi obat tersebut karena penggunaan obat
antihipertensi memiliki persentase tertinggi dalam pola peresepan pasien gagal
ginjal kronik.
5. Jenis interaksi obat yang diteliti adalah interaksi farmakokinetik dan
farmakodinamik yang terjadi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik.
Interaksi farmakokinetik merupakan interaksi yang terjadi antara dua obat atau
lebih yang mempengaruhi proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi salah satu obat atau lebih. Interaksi farmakodinamik merupakan
interaksi antara dua obat atau lebih yang dapat menimbulkan efek obat yang
aditif, sinergisme atau antagonisme.
6. Katagori signifikansi klinis interaksi obat merupakan level atau tingkat
signifikansi dari beberapa obat yang saling berinteraksi. Pengkajiannya
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
34
dilakukan secara teoritis berdasarkan literatur dengan mengacu pada Tatro
(2007), Chelmow et al., (2014) dan Hansten and Horn (2002).
C. Subyek dan Bahan Penelitian
1. Subyek penelitian meliputi seluruh pasien gagal ginjal kronik di Instalasi
Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013.
Kriteria inklusi dari subyek penelitian adalah pasien gagal ginjal kronik di
Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul yang menerima
resep pengobatan gagal ginjal kronik dengan komplikasi atau tidak atau dengan
penyakit penyerta. Kriteria eksklusi dari subyek penelitian adalah rekam medis
pasien yang tidak lengkap.
2. Bahan penelitian yang digunakan berupa lembar rekam medis pasien yang
menerima resep pengobatan gagal ginjal kronik dengan komplikasi atau tidak
atau dengan penyakit penyerta di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 yang ditulis oleh
dokter dan perawat mengenai data pengobatan pasien.
D. Alat atau Instrumen
Alat atau instrumen penelitian berupa lembar kerja yang bertujuan untuk
mempermudah dalam pengambilan data penelitian terhadap peresepan pengobatan
pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Desember 2013. Lembar kerja ini memuat tanggal
pengobatan, nomor RM, jenis kelamin, diagnosis, terapi obat yang diberikan
(jenis obat, regimen dosis, dan cara pemberian obat), dan data klinik atau data
laboratorium pasien.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
35
E. Tata Cara Penelitian
Penelitian mengenai “Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan
Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” meliputi beberapa tahap
yaitu:
1. Tahap orientasi
Pada tahap ini, peneliti melakukan survei untuk mencari informasi
mengenai rumah sakit yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian, untuk
mengetahui prevalensi penyakit yang terjadi di rumah saikt tersebut, untuk
mengetahui adanya kebutuhan mengenai evaluasi peresepan pasien pada penyakit
tertentu serta tata cara dalam pengambilan data penelitian di rumah sakit tersebut.
2. Tahap penentuan subyek penelitian
Pada tahap ini peneliti mencari informasi mengenai jumlah pasien terkait
dengan cara pengambilan data subyek penelitian. Pada penelitian ini jumlah
populasi pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 adalah sebanyak 65
pasien yang digunakan sebagai subyek penelitian.
3. Tahap pengambilan data
Tahap pengambilan data, diawali dengan mencatat nomor registrasi
subyek penelitian dibagian catatan medik. Selanjutnya nomor registrasi pasien
digunakan untuk mencari nomor rekam medis subyek penelitian. Nomor rekam
medis digunakan untuk menemukan rekam medis subyek penelitian yang
digunakan sebagai bahan penelitian. Data yang diambil meliputi tanggal
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
36
pengobatan, nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, diagnosa medis, terapi obat
yang diberikan meliputi jenis obat, regimen dosis, dan rute pemberian, serta data
klinik atau data laboratorium pasien.
F. Tata Cara Analisis dan Penyajian Hasil Penelitian
1. Tata cara analisis data
Berdasarkan hasil pengumpulan data rekam medis pasien, data yang
diperoleh diolah dengan metode statistika deskriptif dengan menghitung
presentasenya, meliputi :
a. Karakteristik pasien gagal ginjal kronik. Persentase karakteristik pasien
gagal ginjal kronik yang meliputi umur dan jenis kelamin dihitung dengan
cara jumlah umur dan jenis kelamin dibagi dengan jumlah keseluruhan
pasien dikalikan 100%.
b. Gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik. Gambaran
umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik dihitung dengan cara
kelas terapi obat (golongan dan jenis) obat, jumlah obat, dan cara
pemberian obat dibagi dengan keseluruhan jumlah obat dikalikan 100%.
c. Persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik.
Interaksi obat pada pasien gagal ginjal kronik di Intalasi Rawat Jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013,
dilakukan pengkajian secara teoritis berdasarkan studi literatur yang
mengacu pada Tatro (2007), Baxter (2010), Chelmow et al., (2014) dan
Hastern and Horn (2002), selanjutnya dihitung persentase interaksi obat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
37
dengan cara jumlah interaksi obat dibagi dengan keseluruhan jumlah resep
dikalikan 100%.
d. Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal
ginjal kronik. Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan
pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013, dikaji secara
teoritis berdasarkan studi literatur yang mengacu pada Tatro (2007),
Chelmow et al., (2014) dan Hastern and Horn (2002)., selanjutnya
dihitung dengan cara kategori signifikansi klinis interaksi obat dibagi
dengan jumlah keseluruhan kategori signifikansi klinis interaksi obat
dikalikan 100%.
2. Penyajian hasil data penelitian
Data yang diperoleh dari rekam medis pasien akan disajikan dalam bentuk
tabel dan gambar. Hasil analisis data mencakup karakteristik pasien gagal ginjal
kronik, gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik, persentase
interaksi obat dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien
gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Desember tahun 2013.
G. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak dapat mengkonfirmasi
data terkait aturan pakai, cara pemberian obat dan dosis obat yang dapat
mempengaruhi terjadinya interaksi obat.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian tentang studi literatur interaksi obat dengan obat pada
peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul periode Desember 2013 dibagi dalam 3 bagian. Bagian pertama
mengenai karakteristik pasien gagal ginjal kronik. Bagian kedua berisi tentang
gambaran pola peresepan pasien gagal ginjal kronik. Bagian ketiga berisi tentang
studi literatur interaksi obat pada pasien gagal ginjal kronik. Jumlah lembar resep
pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan pada periode Desember tahun
2013 sebanyak 65 lembar resep yang terdiri dari 65 pasien.
A. Karakteristik Pasien Gagal Ginjal Kronik
Karakteristik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 pada penelitian ini meliputi
umur dan jenis kelamin.
1. Umur pasien gagal ginjal kronik
Umur pasien secara tidak langsung dapat mempengaruhi besarnya kasus
gagal ginjal kronik. Berdasarkan data yang diperoleh pengelompokkan umur
pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dibagi menjadi dua kelompok umur
yaitu adult dan geriatri. Adult memiliki rentang umur 15 tahun hingga 59 tahun
dan geriatri memiliki rentang umur lebih besar dari atau sama dengan 60 tahun
(Ahmad, 2001) dan (Madhu and Sreedevi, 2013). Persentase umur pada pasien
gagal ginjal kronik dapat dilihat pada Gambar 1.
38
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
39
70,00%
60,00%
50,00%
40,00%
30,00%
20,00%
10,00%
0,00%
Adult ( 15-59 tahun ) Geriatri (≥ 60 tahun)
Gambar 1. Diagram persentase umur pada pasien gagal ginjal kronik
di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
Berdasarkan data yang diperoleh dari 65 pasien, persentase pasien gagal
ginjal kronik yang paling banyak terdapat pada kelompok umur adult atau dewasa
sebesar 58,5% (38 pasien), kemudian diikuti dengan kelompok geriatri sebesar
41,5% (27 pasien). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Peradnyani (2006) yang juga meneliti pasien gagal ginjal kronik pada semua
kelompok umur (pediatri, adult dan geriatri). Hasil yang paling banyak terdapat
pada kelompok umur adult (dewasa) sebanyak 69, 9%.
Pada kondisi saat ini dengan gaya hidup yang kurang sehat, dimana
terdapat banyaknya bahan makanan dan minuman yang mengandung bahan kimia
yang sering dikonsumsi oleh kalangan muda maupun dewasa, diduga sebagai
pemicu terjadinya penyakit ginjal kronik. Merokok, minuman beralkohol,
penggunaan obat-obatan, serta makanan siap saji (fast food) yang sering
dikonsumsi juga dapat berakibat munculnya penyakit ginjal kronik yang dapat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
40
menyerang berbagai kalangan usia. Kurangnya kesadaran tentang pentingnya
hidup sehat sangat berpengaruh pada kesehatan. Hal yang sederhana seperti
kurangnya meminum air putih juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit ginjal
kronik (Mahdiana, 2011).
2. Jenis kelamin pasien gagal ginjal kronik
Pengelompokkan pasien gagal ginjal kronik berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat pada Gambar 2.
38%
Perempuan
Laki-laki
62%
Gambar 2. Diagram persentase jenis kelamin pada peresepan pasien gagal
ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Desember 2013
Dilihat dari Gambar 2 di atas persentase pasien gagal ginjal kronik di
Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
Desember 2013 lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 62% (40
orang) dibandingkan dengan perempuan yaitu 38% (25 orang). Berdasarkan hasil
penelitian terdahulu oleh Peradnyani (2006), diperoleh hasil bahwa proporsi jenis
kelamin laki-laki lebih banyak menderita gagal ginjal kronik dibandingkan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
41
dengan perempuan. Hal ini juga sesuai dengan sebuah penelitian meta analisis
yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih cepat progresif mengalami kerusakan
ginjal (non diabetik) dari pada perempuan. Pasien laki-laki yang mengalami gagal
ginjal kronik kemugkinan disebabkan karena kebiasaan yang kurang baik pada
laki-laki seperti merokok, minum minuman yang beralkohol, dan jarang
berolahraga yang dapat memicu timbulnya suatu penyakit. Keadaan tersebut
kurang diperhatikan, sehingga lambat laun dapat menyebabkan penyakit ginjal
(Diantary, 2007).
B. Gambaran Pola Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Instalasi Rawat
Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember
Tahun 2013
Gambaran pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi
Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember
Tahun 2013 yang disajikan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu pertama
gambaran umum pola peresepan meliputi jumlah obat tiap lembar rekam medik
pasien dan cara pemberian obat. Kedua adalah gambaran pola peresepan
berdasarkan kelas terapi obat.
1. Gambaran umum pola peresepan
Gambaran umum pola peresepan meliputi jumlah obat tiap lembar rekam
medik pasien dan cara pemberian obat.
a. Jumlah obat yang digunakan pada pola peresepan pasien gagal ginjal kronik.
Pada pengobatan pasien gagal ginjal kronik, pasien mendapatkan lebih
dari satu jenis obat. Pemberian obat tersebut memungkinkan terjadinya interaksi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
42
antara obat dengan obat. Jumlah obat yang digunakan pada tiap lembar rekam
medik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 disajikan dalam Tabel II di
bawah ini.
Tabel II. Distribusi jumlah obat tiap lembar resep pada peresepan
pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
No
Jumlah obat
Jumlah lembar
resep (N= 65)
Persentase
(%)
1
1-2
1
1,5
2
3-4
27
41,5
3
5-6
27
41,5
4
7-8
7
10,8
5
9-10
3
4,7
Total lembar resep
65
100
Pada Tabel II di atas, menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronik di
Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
Desember 2013 menggunakan obat berjumlah tiga sampai empat jenis dan lima
sampai enam jenis memiliki persentase terbesar yaitu 41,5%. Banyaknya gejalagejala penyakit yang menyertai penyakit gagal ginjal kronik mengakibatkan
pasien menerima obat-obatan yang bervariasi sehingga jumlah obat yang
digunakan lebih dari satu jenis obat (Dipiro et al., 2008).
b. Cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Cara
pemberian obat secara umum pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
43
Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel III dibawah ini.
Tabel III. Distribusi cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal ginjal
kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Desember 2013
No
Cara Pemberian Obat
Jumlah Obat
(N = 326)
Persentase
(%)
1
Per oral
307
94,2
2
Sub Kutan
18
5,5
3
Topikal
1
0,3
Total obat
326
100
Berdasarkan Tabel III, cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal
ginjal kronik dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu secara per oral, sub kutan
dan topikal dengan persentase tertinggi adalah pemberian secara per oral sebesar
94,2 %. Dalam peresepan ini, persentase pemberian secara per oral memiliki
persentase tertinggi karena penggunaan obat pada peresepan ini kebanyakan
merupakan obat antihipertensi dan obat lain dengan rute pemberian secara per
oral. Terdapat juga cara pemberian secara sub kutan maupun topikal karena dalam
peresepan ini pasien juga menerima insulin, eritropoietin, dan betametason untuk
mengobati penyakit penyerta. Beragamnya cara pemberian obat pada gagal ginjal
kronik dikarenakan banyaknya penyakit penyerta (Sudoyo, 2006).
2. Gambaran pola peresepan berdasarkan kelas terapi obat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebagian besar pasien gagal
ginjal kronik memperoleh pengobatan lebih dari 1 macam obat (polifarmasi).
Polifarmasi merupakan pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
44
lebih dari yang dibutuhkan secara logis dan rasional yang dihubungkan dengan
diagnosis yang diperkirakan (Syamsudin, 2011).
Faktor inisiasi merupakan kondisi yang secara langsung menyebabkan
terjadinya kerusakan ginjal. Diabetes melitus, hipertensi dan penyakit glomerulus
merupakan penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik (Dipiro et al., 2008).
Dalam penelitian ini, obat-obatan yang paling banyak digunakan yaitu obatobatan pada sistem kardiovaskular, obat gizi dan darah, obat hormonal, obat
penyakit otot skelet dan sendi, obat sistem saluran cerna, obat sistem saraf pusat,
obat infeksi, obat sistem saluran nafas, obat antihistamin dan antialergi dan obat
antiinflamasi. Obat-obat yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronik akan
disajikan dalam bentuk tabel maupun gambar.
a.
Obat kardiovaskuler. Obat kardiovaskuler yang diberikan pada pasien gagal
ginjal kronik meliputi kelas terapi antitrombotik, antihipertensi, antiangina,
glikosida jantung, dan obat penurun lipid. Obat yang bekerja pada sistem
kardiovaskular merupakan obat yang paling banyak digunakan dalam peresepan
untuk pasien gagal ginjal kronik. Hal ini terlihat dari jumlah kasusnya yang paling
banyak yaitu 133 kasus dengan penggunaan obat kelas terapi antihipertensi yang
paling tinggi. Kelas terapi dan golongan obat sistem kardiovaskuler yang
digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat
pada Tabel IV.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
45
Tabel IV. Kelas terapi dan golongan obat sistem kardiovaskuler yang
digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
No
Kelas Terapi
Golongan
Nama Obat
Jumlah Kasus
Persentase (%)
1
Antitrombotik
Thienopyridin
Clopidogrel
1
0,8
2
Antihipertensi
Antagonis reseptor
angiotensin II
Irbesartan
(Irtan)
7
5,3
Candesartan
6
4,5
Valsartan
5
3,8
Micardis
(telmisartan)
2
1,5
Amlodipin
®
®
(Amdixal , Intervask )
25
18,8
Nifedipin
10
7,5
Diltiazem
1
0,8
ACEI
Captopril
4
3,0
Antihipertensi
sentral
Klonidin
12
9,0
β –blocker
Bisoprolol
1
0,8
Diuretik Thiazid
HCT
1
0,8
Diuretik Kuat
Furosemid
40
30,1
®
CCB
3
Antiangina
Golongan Nitrat
ISDN
6
4,5
4
Glikosida
Jantung
Digitalis
Digoksin
1
0,8
5
Obat penurun
Lipid
(Hiperlipedemi/
dislipidemia)
Statin
Simvastatin
8
6,0
Klofibrat
Gemfibrosil
3
2,3
133
100
Total
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
46
Obat antihipertensi yang paling banyak digunakan yaitu golongan obat
diuretik (diuretik thiazid dan diuretik kuat) sebesar 30.9%, diikuti oleh golongan
obat CCB sebesar 27,1%, golongan obat antagonis reseptor angiotensin II sebesar
15,1%, golongan obat antihipertensi sentral sebesar 9,0%, ACEI sebesar 3,8%,
dan β-blocker masing-masing sebesar 0,8%. Besarnya obat antihipertensi yang
diberikan karena pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta ini memiliki riwayat penyakit hipertensi
yang merupakan salah satu penyebab gagal ginjal kronik.
Penyakit gagal ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi akibat adanya
tekanan darah yang tinggi yaitu ≥ 130/80 mmHg. Tekanan darah yang tinggi ini,
bila terjadi terus menerus maka dapat menganggu pembuluh darah kecil di dalam
ginjal sehingga dapat mengganggu kemampuan ginjal untuk menyaring darah
(Mahdiana, 2011).
Kegunaan obat diuretik yaitu membantu pengeluaran kelebihan cairan
dan elektrolit dari dalam tubuh, serta membantu juga dalam menurunkan tekanan
darah (Mahdiana, 2011). Diuretik merupakan obat penurun tekanan darah
didasarkan pada mekanisme kerjanya dalam mengeluarkan natrium serta
mengurangi volume darah. Natrium berperan dalam resistensi vaskuler dengan
meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivitas saraf (Katzung, 2013).
Penurunan tekanan darah oleh adanya penggunaan diuretik berkisar antara 10
sampai 15 mm Hg pada sebagian besar pasien (Black and Elliot, 2007).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
47
Loop diuretics memiliki efek langsung pada aliran darah melalui
beberapa jaringan vaskular. Furosemid dapat meningkatkan aliran darah ginjal
melalui efek prostaglandin pada pembuluh darah ginjal (Katzung, 2013).
Pemakaian tiazid pada usia lanjut mempunyai keuntungan menurunkan risiko
osteoporosis sekunder, akan tetapi diuretik tiazid mempunyai efek abnormalitas
pada proses metabolik. Efek ini bersifat sementara dan sering tidak
berkesinambungan. Efek yang terjadi tergantung besar dosis yang digunakan
(Ikawati, Djumiani dan Putu, 2008).
Obat antihipertensi mempunyai jalur eliminasi melalui ginjal. Pada
kondisi gagal ginjal, obat antihipertensi dapat menyebabkan penumpukan pada
ginjal sehingga dapat memperburuk fungsi ginjal. Oleh karena itu diperlukan
perhatian dan penanganan yang khusus terutama pemilihan obat antihipertensi
yang aman bagi ginjal. Obat-obat golongan inhibitor ACE (angiostensinconverting enzyme) dan ARB (angiotensin II receptor blocker) atau kombinasi
keduanya
dapat
menurunkan
tekanan
darah
dan
mengurangi
tekanan
intraglomerular (Dipiro et al., 2008).
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) paling efektif pada
kondisi-kondisi yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas renin plasma. Akan
tetapi tidak terdapat korelasi baik antara aktivitas renin plasma dengan respon
antihipertensif. Oleh karena itu, penentuan profil renin tidak diperlukan dalam
konsumsi obat ini. ACE inhibitor berperan penting dalam mengobati pasien
dengan penyakit ginjal kronik karena obat ini dapat mengurangi protenuria dan
menstabilkan fungsi ginjal (Black and Elliot, 2007).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
48
Pada pola peresepan, obat yang diberikan yaitu kaptopril. Dalam
pemberian obat ACE inhibitor dosis tinggi terutama kaptopril dapat menyebabkan
proteinuria pada pasien dengan gagal ginjal ( Katzung, 2013). Obat-obat yang
termasuk kedalam golongan ini bekerja dengan menghambat ACE (Angiotensin
Converting Enzyme) yang menghidrolisis angiotensin I menjadi angiotensin II.
Obat ini juga bekerja dengan mengaktifkan bradikinin, suatu vasodilator poten
yang meransang pengeluaran nitrat oksida dan prostasiklin (Izzo, Sica, and Black,
2008).
Obat golongan CCB (penghambat kanal kalsium) biasanya juga
diberikan pada pasien hipertensi yang mengalami gagal ginjal kronik
nonproteinuria dengan nilai klirens kreatininnya < 30 mg/mmol (Levin et al,
2008). Obat ini bekerja secara langsung menurunkan caridiac output dan detak
jantung. Pemilihan jenis obat penghambat kanal kalsium didasarkan pada
beberapa perbedaan hemodinamik yang dimiliki jenis obat tertentu (Porth and
Matfin, 2009).
Obat golongan antagonis reseptor anigotensin II juga banyak digunakan.
Obat-obat ini juga berpotensi menghambat efek angiotensin secara total
dibandingkan dengan inhibitor ACE karena terdapat enzim-enzim diluar ACE
yang mampu menghasilkan angiotensin II. Obat golongan ini tidak berefek pada
metabolisme bradikinin, sehingga merupakan penghambat efek angiotensin yang
lebih selektif dibandingkan dengan inhibitor ACE. Jenis-jenis obat Angiotensin II
Receptor Blocker yang digunkan pada pola peresepan ini yaitu irbesartan,
candesartan, valsartan, dan telmisartan. Penghambat reseptor angiotensin
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
49
memberikan manfaat yang serupa dengan manfaat inhibitor ACE pada pasien
dengan gagal jantung dan penyakit ginjal kronik. Efek-efek samping dari obat
penghambat reseptor angiotensin serupa dengan yang ditemukan untuk inhibitor
ACE (Huether and McCance, 2008).
Klonidin yang merupakan golongan obat antihipertensi sentral juga
banyak digunakan. Klonidin bersifat larut lemak dan cepat masuk ke otak dari
sirkulasi. Penghentian klonidin setelah waktu pemakaian yang cukup lama,
terutama dalam dosis tinggi (lebih dari 1 mg/hari) dapat menyebabkan krisis
hipertensi yang dapat mengancam nyawa yang diperantarai oleh aktivitas saraf
simpatis. Dalam penghentian penggunaan obat ini dilakukan secara bertahap dan
diberikan obat antihipertensi lainnya sebagai pengganti (Katzung, 2013).
Obat golongan β-blocker (penghambat adrenoreseptor beta) efektif pada
50-70% pasien dengan hipertensi ringan sampai sedang, namun pada
lansia
efektvitas obat lebih rendah (Mahdiana, 2011). Sebagian besar penghambat
adrenoreseptor beta terbukti efektif untuk menurunkan tekanan darah.
Penghambat adrenoreseptor beta merupakan golongan obat yang bekerja pada
reseptor β-adrenergik jantung dan mengakibatkan penurunan denyut jantung dan
kardiak output (Porth and Matfin, 2009).
Sifat farmakologik beberapa jenis obat β-blocker berbeda dalam
beberapa aspek dan memberi manfaat terapeutik dalam situasi klinis tertentu.
Salah satu obat β-blocker yang terdapat dalam pola peresepan yaitu bisoprolol.
Obat ini merupakan penghambat β1 selektif yang terutama dimetabolisme di hati
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
50
dengan waktu paruh panjang. Karena waktu paruh dari obat ini yang lama maka
obat-obat ini dapat diberikan cukup sekali dalam satu hari (Huether and McCance,
2008). Obat-obat lain yang digunakan adalah antitrombotik 0,8%, antiangina
4,5%, glikosida jantung 0,8 %, dan obat penurun lipid 8,3 %.
b. Obat gizi dan darah. Obat gizi dan darah merupakan peringkat kedua dalam
pola peresepan obat pada pasien gagal ginjal kronik. Obat kelas terapi antianemia
paling banyak digunakan yaitu sebesar 42,2%, mineral sebesar 40%, vitamin
sebesar 12,2%, cairan dan elektrolit sebesar 5,5%. Kelas terapi dan golongan obat
gizi dan darah yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi rawat
jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
dapat dilihat pada Tabel V
Tabel V. Kelas terapi dan golongan obat gizi dan darah yang digunakan
pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
No
1
2
Kelas Terapi
Antianemia
Mineral
Golongan
Jumlah
kasus
Nama Obat
Persentase
(%)
Anemia defisiensi
asam folat
Anemia defisiensi
besi
Asam Folat
(Anemolat®)
Hemafort®
(Sulfasferrosus)
31
34,4
6
6,7
Eritropoetin beta
Recormon®
1
1,1
Seng
30
33,3
Kalsium Asetat
CaCO3/
Osteocal®
Lenal ace®
6
6,7
3
Vitamin
Vitamin
Sohobion®
11
12,2
4
Cairan dan
Elektrolit
Calcium Polystirene
Sulfonat
Kalium Klorida
Kalitake®
1
1,1
KCl/KSR
4
4,4
90
100
Total
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
51
Anemia biasanya terjadi pada pasien dengan nilai GFR kurang dari 60
ml/menit/1,73 m2. Pada pasein dengan gagal ginjal kronik sangat sering terjadi
anemia. Penyebab anemia karena terjadinya defisiensi eritropoetin dan juga
defisiensi besi (Levin et al, 2008). Pemberian zat besi (ferrous sulphate) dapat
mengatasi anemia yang diakibatkan karena kekurangan zat besi pada pasien gagal
ginjal kronik. Suplemen zat besi bisa diberikan dalam bentuk tablet (ditelan)
maupun injeksi (disuntik) (Mahdiana, 2011). Dalam pola peresepan ini diberikan
secara oral dalam bentuk tablet.
Salah satu fungsi ginjal yaitu menghasilkan hormon eritropoietin.
Hormon ini bekerja untuk merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel
darah merah. Penyakit ginjal kronik menyebabkan produksi hormon eritropoetin
mengalami penurunan sehingga menimbulkan anemia. Oleh karena itu, hormon
eritropoietin juga perlu digunakan untuk mengatasi anemia yang ditimbulkan
karena penyakit ginjal kronik (Mahdiana, 2011).
Osteocal (CaCO3) pada pasien gagal ginjal kronik biasanya digunakan
sebagai buffer dalam penanganan kondisi asidosis metabolik yang terjadi hampir
pada seluruh pasien gagal ginjal karena adanya kesulitan pada proses eliminasi
buangan asam hasil dari metabolisme tubuh (Sjamsiah, 2005). Osteocal (CaCO3)
juga bisa digunakan dalam penanganan kondisi hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia
pada pasien gagal ginjal terjadi akibat adanya pelepasan fosfat dari dalam sel
karena kondisi asidosis dan uremik yang sering terjadi. Osteocal (CaCO3) ini
bekerja dengan mengikat fosfat pada saluran pencernaan sehingga mengurangi
absorpsi fosfat (Mahdiana, 2011).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
52
Defisiensi folat relatif sering terjadi sehingga biasanya diberikan asam
folat. Defisiensi folat sering disebabkan oleh asupan folat dalam diet yang kurang
memadai. Pasien yang memerlukan dialisis ginjal berisiko mengalami defisiensi
asam folat karena selam prosedur dialisis folat dikeluarkan dari plasma (Katzung,
2013).
Pada pasien dengan penyakit ginjal, kadar eritropoietin biasanya rendah
karena ginjal tidak dapat menghasilkan faktor pertumbuhan. Ketersediaan obat
perangsang eritropoesis memiliki dampak positif yang signifikan bagi pasien
anemia. Obat perangsang eritropoesis ini digunakan secara rutin pada pasien
anemia dengan penyakit ginjal kronik (Katzung, 2013). Pada gagal ginjal kronik,
kadar kalsium dalam darah biasanya menjadi rendah, sebaliknya kadar fosfat
dalam darahnya tinggi, untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan mineral ini,
maka diberikan kalsium, vitamin dan juga elektrolit (Mahdiana, 2011).
c. Obat hormonal. Berdasarakan penelitian yang dilakukan, obat hormonal yang
paling banyak diberikan merupakan obat dengan kelas terapi antidiabetik
parenteral sebesar 51,5% dan antidiabetik oral sebesar 48,5%. Kelas terapi dan
golongan obat hormonal yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di
Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember
2013 dapat dilihat pada Tabel VI.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
53
Tabel VI. Kelas terapi dan golongan obat hormonal yang digunakan pada
pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul periode Desember 2013
No
Kelas terapi
1
Antidiabetik parenteral
2
Antidiabetik Oral
Golongan
Obat
Nama Obat
Analog
insulin
Sulfonil urea
Novomix®
(Insulin Aspart)
Glikuidon
(Glidiab®)
Glimepirid
17
51,5
10
30,3
5
15,2
Akarbose (Eclid®)
1
3,0
33
100
Inhibitor alfa
glukosida
Total
Jumlah Persentase
Kasus
(%)
Tujuan penggunaan obat antidiabetik ini yaitu untuk mengobati penyakit
diabetes melitus yang diderita oleh pasien gagal ginjal kronik. Penyakit ginjal
adalah penyebab utama kematian dan ketidakmampuan pada diabetes, sehingga
jika tidak diperhatikan maka gagal ginjal akan berkembang lebih cepat (Pearle et
al, 2007).
Diabetes melitus juga merupakan penyebab dari gagal ginjal kronik.
Dalam terapi diabetes melitus, penggunaan obat hipoglikemik oral maupun insulin
bertujuan untuk mengontrol kadar glukosa darah pasien. Adanya penggunaan
terapi kombinasi yaitu obat hipoglikemik oral dan obat hipoglikemik oral atau
obat hipoglikemik oral dan insulin disertai dengan terapi nonfarmakologi selain
dapat menurunkan kadar glukosa darah, dapat juga memperbaiki fungsi dari sel
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
54
beta pankreas dan tidak merusak ginjal (Triplitt, 2008) dan (Inzucchi, Bergenstal,
Buse, Diamant, Ferrannini, Nauck et al., 2012).
Dalam pola peresepan ini obat yang paling banyak diberikan yaitu kelas
terapi antidiabetik parenteral yaitu insulin aspart. Insulin jenis ini bekerja secara
cepat dan memiliki onset yang cepat pula. Lama kerja insulin ini berkisar 3 hingga
5 jam sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya efek hipoglikemia setelah
makan (Sheeja, Reddy, Joseph, 2010).
Kelas terapi antidiabetik oral juga diberikan dalam pola peresepan ini
yang meliputi golongan obat sulfonilurea dan inhibitor alfa glukosida.
Sulfonilurea yang digunakan dalam pola peresepan ini adalah sulfonilurea
generasi kedua yaitu glimepirid dan glikuidon. Penggunaan sulfonilurea generasi
kedua lebih banyak digunakan dibandingkan generasi pertama karena memiliki
efek samping yang lebih jarang terjadi dan kurang berinteraksi dengan obat lain
(Katzung, 2013).
Glimepirid memiliki efek utama yaitu peningkatan pelepasan insulin
pada sel beta pankreas sebagai respon terhadap glukosa serum (Mittal and Juyal,
2012). Glimepirid biasanya diberikan sebagai monoterapi pada pasien diabetes
melitus tipe II yang tidak dapat dikontrol dengan diet dan modifikasi gaya hidup.
Penggunaan glimepirid pada pada lansia, penyakit ginjal dan hati harus
diperhatikan (Basit, Riaz, and Fawwad, 2012).
Eclid (akarbose) merupakan obat golongan inhibitor alfa glukosida. Kerja
utama obat golongan ini yaitu di usus halus. Obat ini mempengaruhi metabolisme
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
55
karbohidrat, absorbsi karbohidrat, memodulasi peningkatan kadar plasma glukosa
dan insulin postprandial (Fujita, Tamada, Kozawa, Kobayashi, Sasaki, Kitamura
et al., 2012).
d. Obat penyakit otot skelet dan sendi. Obat yang digunakan yaitu obat pada kelas
terapi reumatik. Obat golongan ini seperti alopurinol efektif untuk menormalkan
kadar asam urat dalam darah (Mahdiana, 2011). Kelas terapi dan golongan obat
penyakit otot skelet dan sendi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di
Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel VII. Pada pola peresepan ini hanya
digunakan alopurinol dengan persentase 100%.
Berdasarkan pola peresepan, penggunakan alopurinol merupakan terapi
baku pada gout selama periode di antara serangan akut. Alopurinol mengurangi
asam urat total di dalam tubuh dengan menghambat xantin oksidase (Katzung,
2013).
Tabel VII. Kelas terapi dan golongan obat penyakit otot skelet dan sendi
yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
No Kelas Terapi
Golongan
Nama Obat
Jumlah Persentase
Kasus (%)
1
Gout
Alopurinol
25
100
25
100
Reumatik
Total
Alopurinol diserap sekitar 80% setelah pemberian oral dan memiliki
waktu paruh serum terminal 1-2 jam. Seperti asam urat, alopurinol dimetabolisme
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
56
oleh xantin oksidase dan memiliki masa kerja yang cukup lama sehingga
alopurinol dapat diberikan sekali sehari (Katzung, 2013).
e. Obat sistem saluran cerna. Obat pada sistem saluran cerna yang diresepkan
pada pasien gagal ginjal kronik dapat dilihat pada Tabel VIII. Obat sistem saluran
cerna yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronik meliputi antiemetik,
antitukak, dan antiulkus. Obat yang paling banyak digunakan yaitu antiulkus
sebesar 58,8%, antitukak 23,5% dan antiemetik 17,6%.
Tabel VIII. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran cerna yang
digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
No
Kelas Terapi
Golongan
Nama Obat
Jumlah Persentase
Kasus
(%)
1
Antiemetik
Antagonis
dopamin
Metoklopramid
3
17,6
2
Antitukak
Antagonis
reseptor H2
Ranitidin
4
23,5
3
Antiulkus
Penghambat
pompa
proton
Sukralfat
Lansoprazol
6
35,3
Mucogard®
4
23,5
17
100
Total
Antagonis H2 memiliki waktu paruh serum obat berkisar 1,1 sampai
dengan 4 jam namun lama kerja obat bergantung pada dosis yang diberikan.
Antagonis H2 dibersihkan oleh kombinnasi metabolisme hati, filtrasi glomerulus,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
57
dan sekresi tubulus ginjal. Diperlukan pengurangan dosis pada pasien dengan
insufisiensi ginjal sedang sampai parah (Katzung, 2013).
Inhibitor pompa proton (proton pump inhibitor) merupakan salah satu
obat penghambat asam yang efektif dan banyak diresepkan di seluruh dunia
karena tingkat efikasi dan keamanannya yang tinggi. Dalam pola peresepan, obat
inhibitor pompa proton yang digunakan yaitu lansoprazol. Berbeda dari antagonis
H2, obat ini menghambat sekresi baik saat puasa maupun setelah makan. Obat ini
menghambat jalur umum akhir sekresi asam, pompa proton (Katzung, 2013).
Sukralfat juga merupakan salah satu golongan obat yang digunakan
dalam pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik. Sukralfat merupakan suatu
garam sukrosa yang berikatan dengan alumunium hidroksida bersulfat. Adanya
sukrosa sulfat yang bermuatan negatif yang akan berikatan dengan protein-protein
bermuatan positif di dasar ulkus yang akan membentuk suatu sawar fisik sehingga
mencegah kerusakan kaustik lebih lanjut serta merangsang sekresi bikarbonat dan
prostaglandin mukosa. Pada pengguaan obat ini, sejumlah kecil garam aluminum
terserap, sehingga penggunaannya untuk jangka waktu yang lama tidak
diperbolehkan untuk pasien dengan insufisiensi ginjal (Katzung, 2013).
Metokloporamid merupakan antagonis resepetor dopamin D2. Di saluran
cerna, adanya pengaktifan reseptor dopamin akan menghambat stimulasi otot
polos kolinergik. Obat ini dapat meningkatkan amplitudo peristaltik esofagus,
meningkatkan tekanan sfingter esofagus bawah, dan meningkatkan pengosongan
lambung tetapi tidak berefek pada motilitas usus halus atau kolon. Obat ini juga
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
58
menghambat reseptor dopamin D2 di chemoreceptor trigger zone medula (area
postrema) sehingga menghasilkan efek anti mual dan anti muntah (Katzung,
2013).
f. Obat sistem saraf pusat. Obat sistem saraf pusat yang digunakan yaitu meliputi
kelas terapi antivertigo, antidepresan dan analgesik. Persentase penggunaan obat
paling besar yaitu pada kelas terapi analgesik non opioid sebesar 69,2%,
antivertigo 23,1%, dan antidepresan 7,7%. Kelas terapi dan golongan obat sistem
saraf pusat yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat
Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
dapat dilihat pada Tabel IX .
Tabel IX. Kelas terapi dan golongan obat sistem saraf pusat yang digunakan
pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
No
Kelas Terapi
Golongan
Nama Obat
Jumlah Persentase
Kasus
(%)
1
Antivertigo
Betahistin
Mesilat
Vastigo®
(Versilon®)
3
23,1
2
Antidepresan
Trisiklik
Amitriptylin
1
7,7
3
Analgesik
Non opioid
Paracetamol
9
69,2
13
100
Total
g. Obat infeksi. Obat infeksi yang digunakan dalam pola persepan ini terdiri dari
antibiotik dan antifungi. Persentase terbesar yaitu pada penggunaan antibiotik
sebesar 87,5% dan diikuti oleh penggunaan antifungi sebesar 12,5%. Kelas terapi
dan golongan obat infeksi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
59
Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel X.
Tabel X. Kelas terapi dan golongan obat infeksi yang digunakan pada pasien
gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
No
1
2
Kelas
Terapi
Antibiotik
Antifungi
Total
Golongan
Nama Obat
Jumlah
Kasus
Persentase
(%)
Sefalosporin
Cefixim®
5
62,5
Kuinolon
Ciprofloxacin
1
12,5
Levofloxacin
1
12,5
Ketoconazole
1
12.5
8
100
Imidazol
Penggunaan obat infeksi pada pasein gagal ginjal kronik untuk mencegah
penyakit komplikasi. Pada penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang
tinggi terhadap serangan infeksi terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis
infeksi dapat memperkuat proses katabolisme dan mengganggu nutrisi serta
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga harus segera diobati untuk mencegah
gangguan fungsi ginjal lebih lanjut (Price and Wilson, 2006).
h. Obat sistem saluran nafas. Obat sistem saluran nafas yang digunakan dalam
pola persepan ini terdiri dari golongan mukolitik dan ekspektoran. Persentase
terbesar yaitu pada golongan obat mukolitik sebesar 75 % dan ekspektoran
sebesar 25%. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran nafas yang digunakan
pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel XI.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
60
Tabel XI. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran nafas yang
digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
No
1
Kelas Terapi
Batuk dan Ekspetoran
Golongan
Jumlah Persentase
Kasus
(%)
Nama Obat
Mukolitik
Ambroxol
3
75
Ekspektoran
OBH
1
25
4
100
Total
i. Obat antihistamin dan antialergi. Obat antihistamin dan antialergi yang
digunakan dalam pola persepan ini yaitu golongan antagonis reseptor H1 sebesar
100%. Kelas terapi dan golongan obat antihistamin dan atialergi yang digunakan
pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel XII.
Tabel XII. Kelas terapi dan golongan obat antihistamin dan atialergi yang
digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
No
Kelas Terapi
Golongan
Nama Obat
Jumlah
Kasus
Persentase
(%)
1
Antialergi
Antagonis
reseptor H1
Cetirizin
2
100
2
100
Total
j. Obat antiinflamasi. Obat antiinflamasi yang digunakan dalam pola peresepan ini
adalah obat golongan steroid yaitu betametason sebesar 100%. Kelas terapi dan
golongan obat antiinflamasi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
61
Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel XIII.
Tabel XIII. Kelas terapi dan golongan obat antiinflamasi yang digunakan
pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
No
Kelas Terapi
Golongan
Nama Obat
Jumlah
Kasus
Persentase (%)
1
Antiinflamasi
Steroid
Betametason
1
100
1
100
Total
C. Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan
Pasien Gagal Ginjal Kronik
Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di
Instalasi Rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Desember
2013 terdiri dari 6 bagian. Bagian pertama terkait persentase jumlah peresepan
yang terdapat interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Bagian
kedua terkait persentase interaksi obat pada pada peresepan pasien gagal ginjal
kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.
Bagian ketiga terkait proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi
dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain
dengan obat lain. Pengkajian interaksi obat tersebut karena penggunaan obat
antihipertensi memiliki persentase tertinggi dalam pola peresepan pasien gagal
ginjal kronik.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
62
Bagian keempat mengenai jenis interaksi obat pada peresepan pasien
gagal ginjal kronik. Bagian kelima terkait persentase kategori signifikansi klinis
interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Bagian keenam terkait
mekanisme dan efek interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik
yang dikaji berdasarkan literatur.
1. Persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi obat pada peresepan
pasien gagal ginjal kronik
Pada periode Desember tahun 2013 terdapat 65 peresepan pasien yang
digunakan sebagai bahan penelitian. Dalam peresepan tersebut terdapat peresepan
dengan interaksi obat dan peresepan tanpa interaksi obat. Persentase jumlah
peresepan interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik akan disajikan
pada Gambar 3 di bawah ini.
18%
Terdapat interaksi
obat
Tidak terdapat
intraksi obat
82%
Gambar 3. Persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi
obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat
jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
Desember 2013
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
63
Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat terdapat interaksi obat pada 53
lembar peresepan pasien gagal ginjal kronik (82 %) dan tidak terdapat interaksi
obat pada 12 lembar peresepan pasien gagal ginjal kronik (18%). Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah peresepan dengan interaksi obat lebih tinggi dari
pada jumlah peresepan tanpa interaksi obat.
2. Persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik
terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
Terdapat 52 peresepan pasien gagal ginjal kronik yang mengalami
interaksi obat dari 65 peresepan. Jumlah peresepan seluruh pasien rawat jalan di
Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta pada
periode Desember 2013 adalah sebanyak 16.892 lembar resep. Berdasarkan pada
Gambar 6 di bawah ini persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal
ginjal kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 adalah
sebanyak 0,3%. Persentase tersebut menunjukkan bahwa terdapat interaksi obat
dengan jumlah yang relatif kecil dari keseluruhan peresepan pasien.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
64
0,3%
Persentase peresepan
dengan interaksi obat
99,7%
Persentase peresepan
tanpa interaksi obat
Gambar 4. Diagram persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal
ginjal kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
berdasarkan kajian literatur
Adanya interaksi obat walaupun dengan jumlah yang relatif kecil harus
tetap diperhatikan karena dapat berpengaruh terhadap respon pengobatan yang
diterima oleh pasien. Interaksi obat yang terjadi dapat menimbulkan efek yang
menguntungkan ataupun merugikan pasien (Tatro, 2007) dan (Syamsudin, 2013).
Terkait dengan interaksi obat, maka dalam penggunaan obat perlu dicermati,
dilakukan monitoring dan kombinasi obat yang merugikan harus dihindari (Nah,
2007).
3. Proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat
antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan
obat lain pada peresepan pasien gagal ginjal kronik
Interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi, obat
antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain di Instalasi Rawat
Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta pada bulan Desember
2013 disajikan pada Gambar 5 di bawah ini.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
65
15%
22%
Obat antihipertensi
dengan obat
antihipertensi
Obat antihipertensi
dengan obat lain
Obat lain dengan obat
lain
63%
Gambar 5. Diagram proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi
dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat
lain dengan obat lain pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi
Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode
Desember 2013
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa proporsi interaksi antara
obat antihipertensi dengan obat lain memiliki persentase yang paling tinggi yaitu
sebesar 63% (82), kemudian diikuti oleh persentase obat lain dengan obat lain
sebesar 22% (29), dan persentase obat antihipertensi dengan antihipertensi yaitu
sebanyak 13,4% (19). Hal tersebut dapat diakibatkan karena obat yang diberikan
pada pasien gagal ginjal kronik bisa lebih dari satu obat. Berdasarkan pola
peresepan pada pasien gagal ginjal kronik, penggunaan obat yang paling banyak
yaitu obat antihipertensi, sehingga kemungkinan untuk berinteraksi dengan obat
lain cukup tinggi.
4. Proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik
Dalam penelitian ini dikaji dua jenis interaksi obat yaitu secara
farmakokinetik dan farmakodinamik. Jenis interaksi obat pada peresepan pasien
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
66
gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.
15%
Interaksi
farmakodiamik
Interaksi
farmakokinetik
85%
Gambar 6. Diagram proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien
gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur (N=
130)
Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa jenis interaksi yang paling
besar yaitu interaksi farmakodinamik sebesar 85 % (110) interaksi obat
dibandingkan dengan jenis interaksi farmakokinetik yaitu sebesar 15 % (20)
interaksi obat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Peradnyani (2006) yaitu jenis
interaksi farmakodinamik memiliki persentase tertinggi yaitu 92,9 % (117)
interaksi obat dibandingkan interaksi farmakokinetik sebesar 7,1 % (9) interaksi
obat.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
67
5. Jumlah kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien
gagal ginjal kronik
Kategori signifikansi klinis interaksi obat dikaji berdasarkan literatur
Tatro (2007), Chelmow et al., (2014) dan Hansten and Horn (2002) dapat dilihat
pada Tabel XIV.
Tabel XIV. Distribusi jumlah kategori signifikansi klinis interaksi obat
pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013
berdasarkan kajian literatur
Kategori signifikansi klinis
Jumlah kategori signifikansi
interaksi obat
klinis interaksi obat
Kajian literatur signifikansi klinis berdasarkan Chelmow et al., (2014)
1
Kontraindikasi
0
2
Serius
6
3
Signifikan
37
4
Minor
79
Kajian literature signifikansi klinis berdasarkan Tatro (2007)
1
Kategori signifikansi klinis 1
2
2
Kategori signifikansi klinis 2
0
3
Kategori signifikansi klinis 3
1
4
Kategori signifikansi klinis 4
3
5
Kategori signifikansi klinis 5
4
Kajian literatur signifikansi klinis berdasarkan Hansten and Horn (2002)
1
Kategori signifikansi
klinis 0
pertama
2
Kategori signifikansi
klinis 2
kedua
3
Kategori signifikansi
klinis 5
ketiga
No
Berdasarkan Tabel XIV, jumlah kategori signifikansi klinis interaksi obat
yang paling besar adalah kategori signifikansi klinis minor sebesar (79 interaksi
obat), kategori signifikansi klinis signifikan sebesar (37 interaksi obat), dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
68
kategori signifikansi serius sebesar (6 interaksi obat) berdasarkan Chelmow et al.,
(2014). Tidak terdapat kategori signifikansi klinis kontraindikasi. Menurut
Chelmow et al., (2014), kategori signifikansi klinis serius yaitu kombinasi obat
tidak dapat digunakan atau harus dihindari karena dapat membahayakan keadaan
pasien, sehingga dibutuhkan alternatif untuk pemilihan obat lain yang tidak
membahayakan kondisi pasien (Chelmow et al., 2014).
Pada kategori signifikasi klinis signifikan diperlukan adanya penyesuaian
dosis antara kedua obat dan modifikasi jalur serta waktu pemberian obat. Pada
kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan kombinasi obat dapat
diberikan kepada pasien karena tidak menimbulkan efek yang membahayakan
bagi pasien, namun harus tetap dilakukan monitoring pada kondisi pasien
(Chelmow et al., 2014).
Berdasarkan Tatro (2007), pada peresepan terdapat kategori signifikansi
klinis 1 (2 interaksi obat), kategori signifikansi klinis 3 (1 interaksi obat), kategori
signifikansi klinis 4 (3 interaksi obat) dan kategori signifikansi klinis 5 (4
interkasi obat). Tidak terdapat kategori signifikansi klinis 2 pada peresepan pasien
gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta periode Desember 2013.
Berdasarkan Tatro (2007), kategori signifikasi klinis 1 memiliki tingkat
keparahan major yang dapat menimbulkan risiko yang berpotensi mengancam
jiwa pasien serta mengakibatkan kerusakan yang permanen. Oleh karena itu,
kombinasi kedua obat tersebut harus dihindari. Dokumentasinya meliputi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
69
established, probable atau suspected. Kategori signifikansi klinis 3 memiliki
tingkat keparahan minor yang dapat menimbulkan efek interaksi obat ringan dan
secara signifikan tidak dapat mempengaruhi status klinik pasien sehingga terapi
tambahan tidak diperlukan. Dokumentasinya meliputi established, probable atau
suspected.
Kategori signifikansi klinis 4 memiliki tingkat keparahan major atau
moderat sehinngga menimbulkan efek yang dapat berbahaya karena dapat
mengubah respon farmakoologi individu sehingga diperlukan terapi tambahan.
Dokumentasinya yaitu possible. Kategori signifikansi klinis 5 memiliki tingkat
keparahan minor yaitu menimbulkan efek yang ringan dan respon klinim yang
dialami pasien dapat mengalami perubahan atau tidak. Dokumentasinya yaitu
unlikely namun terdapat juga beberapa dokumentasi yang possible.
Berdasarkan Hasten and Horn (2002), pada peresepan pasien gagal ginjal
kronik terdapat kategori signifikansi klinis 2 (2 interaksi obat) dan kategori
signifikansi klinis 3 (5 interaksi obat). Tidak terdapat kategori signifikansi klinis 1
pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.
Berdasarkan Hasten and Horn (2002), kategori signifikansi klinis 2 yaitu
pemberian kombinasi obat sebaiknya dihindari, kecuali apabila manfaat dari
kombinasi obat lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan, namun disarankan
untuk menggunakan kombinnasi obat lain yang sejenis dan memiliki risiko yang
lebih kecil. Diperlukan adanya modifikasi dosis, rute pemberian dan waktu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
70
pemberian obat apabila ingin dikombinasi untuk mengurangi terjadinya kejadian
interaksi obat. Pasien harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi obat.
Kategori signifikansi klinis 3 yaitu kombinasi obat memberikan risiko
yang kecil, memiliki manfaat yang lebih banyak daripada risiko yang ditimbulkan
serta pasien harus dimonitoring selama penggunaan obat (Hasten and Horn,
2002).
6. Mekanisme dan efek interaksi obat antara obat antihipertensi dengan
obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain
dengan obat lain
Jenis interaksi obat farmakokinetik dan farmakodinamik memiliki
perbedaan dalam hal mekanisme terjadinya interaksi dan efek yang ditimbulkan
akibat adanya interaksi tersebut. Pembahasan mengenai mekanisme terjadinya
interaksi dan efek yang ditimbulkan akibat adanya interaksi antara obat
antinipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan
obat lain dengan obat lain mengacu pada literatur Tatro (2007), Baxter (2010),
Chelmow et al., (2014) dan Hasten and Horn (2002) dan dapat dilihat pada Tabel
XV, XVI dan XVII di bawah ini.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Tabel XV. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi pada peresepan pasien
gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian
literatur
No
Obat
antihipertensi
Obat
antihipertensi
Mekanisme dan efek
interaksi obat
Jenis interaksi
obat
Interaksi
farmakodinamik
yaitu aditif
(Chelmow et al,
2014)
Interaksi
farmakodinamik
yaitu aditif
(Baxter, 2010)
dan (Chelmow
et al, 2014)
1
Klonidin
Diltiazem
Penggunaan bersamaan
mengakibatkan
bradikardi (Chelmow et
al, 2014)
2
Irbesatan
Furosemid
1. Irbesartan
meningkatkan kadar
serum kalium
sedangkan furosemid
menurunkan kadar
kalium serum
(Chelmow et al.,
2014)
2. Penggunaan
bersamaan
mengakibatkan
penurunan tekanan
darah (Baxter, 2010)
Kategori
signifikansi
klinis
Kategori
signifikansi
klinis serius
(Chelmow et
al, 2014)
Kategori
signifikansi
klinis
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
Jumlah
interaksi
obat
Managemen
1
Melakukan pemantauan denyut
jantung dan tekanan darah pada
pasien (Baxter, 2010).
5
1. Melakukan modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat
serta melakukan pengecekan
kadar serum kalium (Baxter,
2010).
2. Melakukan pemantauan
tekanan darah pasien
(Baxter, 2010).
38
71
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
72
3
4
Irbesartan
Valsartan
HCT
Furosemid
1. Irbesartan
meningkatkan kadar
kalium serum dan
HCT menurunkan
kadar kalium serum
(Chelmow et al.,
2014).
2. Pengunaan
bersamaan
mengakibatkan
penurunan tekanan
darah (Baxter, 2010)
1. Valsartan
meningkatkan kadar
serum kalium dan
furosemid
menurunkan kadar
kalium serum
(Chelmow et al.,
2014).
2. Pengunaan bersamaan
mengakibatkan
penurunan tekanan
darah (Baxter, 2010).
Interaksi
farmakodinamik
yaitu aditif
(Chelmow et
al., 2014 ) dan
(Baxter, 2010).
Kategori
signifikansi
klinis
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
1
1. Melakukan modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat
serta melakukan pengecekan
kadar serum kalium (Baxter,
2010).
2. Melakukan pemantauan
tekanan darah pasien
(Baxter, 2010).
Interaksi
farmakodinamik
yaitu aditif
(Chelmow et
al., 2014) dan
(Baxter, 2010).
Kategori
signifikansi
klinis
signifikan
(Chelmow et
al., 2014
3
1. Melakukan modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat
serta melakukan pengecekan
kadar serum kalium (Baxter,
2010).
2. Melakukan pemantauan
tekanan darah pasien
(Baxter, 2010).
72
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
73
5
Micardis
Furosemid
1. Micardis
meningkatkan kadar
serum kalium dan
furosemid
menurunkan kadar
kalium serum
(Chelmow et al.,
2014).
2. Penggunaan
bersamaan
menyebabkan
penurunan tekanan
darah (Baxter, 2010)
Interaksi
farmakodinamik
yaitu aditif
(Chelmow et
al., 2014) dan
(Baxter, 2010).
Kategori
signifikansi
klinis
signifikan
(Chelmow et
al., 2014).
1
1. Melakukan modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat
serta melakukan
pengecekan kadar serum
kalium (Baxter, 2010).
2. Melakukan pemantauan
tekanan darah pasien
(Baxter, 2010).
73
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
74
6
Captopril
Furosemid
Meningkatkan efek
antihipertensi serta
adanya risiko terjadi
hipotensi akut sehingga
bisa menyebabkan
hiperkalemia (Chelmow
et al., 2014) dan
(Hasten and Horn,
2002).
Interaksi
farmakodinamik
yaitu sinergisme
(Chelmow et
al., 2014)
Kategori
signifikansi
klinis
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
Kategori
signifikansi
klinis 3 (Tatro,
2007).
Kategori
signifikansi
klinis 2
(Hasten and
Horn, 2002).
2
Melakukan penurunan dosis
(< 80 mg) setidaknya 24 jam
sebelum pemberian ACE
inhibitor dan adanya
pemantauan kadar serum
kalium pasien (Baxter, 2010).
7
Candesartan
Furosemid
1. Candesartan
meningkatkan kadar
serum kalium dan
furosemid
menurunkan kadar
serum kalium
(Chelmow et al.,
2014)
Interaksi
farmakodinamik
yaitu aditif
(Chelmow et
al., 2014) dan
(Baxter, 2010)
Kategori
signifikansi
klinis
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
3
1. Melakukan modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat
serta melakukan pengecekan
kadar serum kalium (Baxter,
2010).
2. Penggunaan
bersamaan
2. Melakukan pemantauan
tekanan darah pasien
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
75
8
9
Bisoprolol
Klonidin
Total
Furosemid
Amlodipin
menyebabkan
penurunan tekanan
darah
1. Bisoprolol
meningkatkan kadar
serum kalium dan
furosemid
menurunkan kadar
serum kalium
(Chelmow et al.,
2014)
2. Penggunaan
bersamaan
mengakibatkan
kelainan
elektrodiagram dan
peningkatan kadar
trigliserida (Baxter,
2010).
Penggunaan bersamaan
mengakibatkan
terjadinya peningkatan
efek hipotensif (Hasten
and Horn, 2002)
(Baxter, 2010).
Interaksi
farmakodinamik
yaitu aditif
(Chelmow et
al., 2014)
Kategori
signifikansi
klinis
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
1
1. Perlu dilakukan monitoring
terkait kadar kalium serum
pasien (Baxter, 2010).
2. Perlu dilakukkan
monitorinng terkait kadar
gula darah pasien, tekanan
darah (Baxter, 2010)
Interaksi
farmakodinamik
yaitu aditif
(Hasten and
Horn, 2002)
Kategori
signifikansi
klinis 3
(Hasten and
Horn, 2002)
2
Melakukan modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat,
serta melakukan pemantauan
tekanan darah pasien (Baxter,
2010).
19
75
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
76
Tabel XVI. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat antihipertensi dengan obat lain pada peresepan pasien gagal
ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian
literatur
No
Obat
antihipertensi
Obat lain
Mekanisme dan efek
interaksi obat
1
Captopril
Alopurinol
Adanya risiko reaksi
hipersensitivitas jika
kedua obat diberikan
secara bersamaan
(Chelmow et al.,
2014) dan (Tatro,
2007)
2
Furosemid
KSR/KCl
KSR meningkatkan
kadar serum kalium
dan furosemid
menurunkan kadar
serum kalium
(Chelmow et al.,
2014)
Jenis interaksi
obat
Kategori
signifikansi
klinis
Interaksi
Kategori
farmakodinamik signifikansi
yaitu sinergisme klinis serius
(Chelmow et al., (Chelmow et
2014)
al., 2014).
Kategori
signifikansi
klinis 4 (Tatro,
2007)
Kategori
signifikansi
klinis 2
(Hasten and
Horn, 2002).
Interaksi
Kategori
farmakodinamik signifikansi
yaitu
klinis
antagonisme
signifikan
(Chelmow et al., (Chelmow et
2014)
al., 2014)
Jumlah
Managemen
interaksi
obat
3
Melakukkan pemantauan
terkait reaksi hipersensitivitas
yang terjadi. Penggunaan
obat dihentikan jika terjadi
peningkatan manifestasi dari
hipersensitivitas dan
diberikan pengobatan sesuai
dengan reaksi
hipersensitivitas yang terjadi
(Tatro, 2007).
4
Melakukan pengaturan dosis
obat dan waktu minum kedua
obat tersebut serta
pemantauan kadar serum
kalium (Baxter, 2010).
76
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
77
3
Furosemid
Digoxin
Furosemid
meningkatkan efek
dari digoxin sehingga
meningkatkan
aktivitas dan toksisitas
dari digitalis (Baxter,
2010) dan (Chelmow
et al., 2014)
Interaksi
farmakodinamik
sinergisme
(Chelmow et al.,
2014) dan
(Baxter, 2010).
4
Furosemid
Ciprofloxacin
Efek farmakologi dari
ciprofloxacin dapat
ditingkatkan. (Tatro,
2007)
Interaksi
farmakodinamik
sinergisme
(Tatro, 2007)
5
Captopril
Glimepirid
Captopril
meningkatkan efek
glimepirid, sehingga
menimbulkan risiko
terjadinya
hipoglikemia
(Chelmow et al.,
2014) dan
Interaksi
farmakodinamik
yaitu sinergisme
(Chelmow et al.,
2014)
Kategori
signifikansi
klinis
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
Kategori
signifikansi
klinis 1
(Tatro,2007)
Kategori
signifikansi
klinis 3
(Hastern and
Horn, 2002).
Kategori
Signifikansi
klinis 5 (Tatro,
2007)
1
Melakukan pengukuran
tingkat plasma kalium dan
magnesium ketika
menggunakan kedua obat ini
dan adanya pembatasan diet
natrium atau penambahan
diuretik hemat kalium serta
perlu adanya pengaturan
dosis untuk digoxin terkait
indeks terapi digoxin yang
sempit (Baxter, 2010).
1
Melakukan pengaturan dosis
obat dan waktu pemberian
obat (Baxter, 2010).
Kategori
signifikansi
klinis
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
3
Melakukan penyesuaian dosis
obat baik captopril maupun
glimepirid, melakukan
monitoring kadar glukosa
darah pasien dan kadar
klirens kreatinin pasien
(Chelmow et al., 2014) dan
(Hasnuddin, 2012)
77
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
78
(Hasnuddin, 2012).
Captopril dan
KSR/KCl dapat
meningkatkan kadar
kalium serum
sehingga
mengakibatkan retensi
kalium (Tatro, 2007).
Interaksi
farmakokinetik
pada proses
eliminasi
(Chelmow et al.,
2014).
KSR/KCl
Bisoprolol dan KSR
meningkatkan kadar
serum kalium
(Chelmow et al.,
2014)
Interaksi
farmakodinamik
yaitu sinergisme
(Chelmow et al.,
2014)
Diltiazem
CaCO3
Kalsium karbonat
mengurangi efek
diltiazem (Chelmow
et al., 2014)
Furosemid
CaCO3
Furosemid
menurunkan kadar
kalsium karbonat
dengan meningkatkan
6
Captopril
KSR/KCl
7
Bisoprolol
8
9
Kategori
signifikansi
klinis
signifikan
(Chelmow et
al., 2014).
Kategori
signifikansi
klinis 4 (Tatro,
2007).
Kategori
signifikansi
klinis
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
Interaksi
Kategori
farmakodinamik signifikansi
yaitu
klinis
antagonisme
signifikan
(Chelmow et al., (Chelmow et
2014)
al., 2014)
Interaksi
Kategori
farmakodinamik signifikansi
yaitu
klinis minor
antagonisme
atau tidak
2
Menghentikan pemberian
kalium klorida saat
pemberian captopril pada
pasien, dilakukan monitoring
kadar serum kalium saat
pemberian captopril dan
menyesuaikan suplemen
kalium yang diperlukan
(Tatro, 2007) dan (Baxter,
2010)
1
Adanya modifikasi dosis dan
waktu pemberian obat serta
pemantauan kadar serum
kalium (Baxter, 2010).
1
Adanya pemantauan
efektivitas dari diltiazem dan
modifikasi dosis serta waktu
pemberian obat (Baxter,
2010).
26
Adanya pengaturan dosis dan
waktu pemberian obat serta
pemantauan kadar klirens
pasien (Baxter, 2010).
78
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
79
klirens ginjal
(Chelmow et al.,
2014)
Furosemid
menurunkan kadar
asam folat dengan
meningkatkan klirens
ginjal (Chelmow et
al., 2014)
10
Furosemid
Asam folat
11
Furosemid
Paracetamol
Paracetamol dapat
menurunkan ekskresi
prostaglandin ginjal
dan penurunan
aktivitas renin plasma
(Tatro, 2007)
12
Furosemid
Lenal ace
Furosemid
mengurangi tingkat
kalsium asetat dengan
meningkatkan klirens
ginjal (Chelmow et
al., 2014)
13
Furosemid
Cefixim
Cefixim
meningkatkan
toksisitas furosemid
sehingga
(Chelmow et al., signifikan
2014)
(Chelmow et
al., 2014)
Interaksi
Kategori
farmakodinamik signifikansi
yaitu
klinis minor
antagonisme
atau tidak
(Chelmow et al., signifikan
2014)
(Chelmow et
al., 2014)
Interaksi
Kategori
farmakokinetik
signifikansi
pada proses
klinis 5
ekskresi (Tatro, (Tatro,2007)
2007)
Interaksi
farmakodinamik
yaitu
antagonisme
(Chelmow et al.,
2014)
Kategori
signifikansi
klinis minor
atau tidak
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
Interaksi
Kategori
farmakodinamik signifikansi
sinergisme
klinis minor
(Chelmow et al., atau tidak
21
Adanya pengaturan dosis dan
waktu pemberian obat serta
pemantauan kadar klirens
pasien (Baxter, 2010).
5
Adanya pengaturan dosis dan
waktu pemberian obat
(Baxter, 2010).
3
Adanya pengaturan dosis dan
waktu pemberian obat serta
pemantauan klirens pasien
(Baxter, 2010).
3
Adanya pengaturan dosis dan
waktu pemberian obat
(Baxter, 2010).
79
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
80
14
Furosemid
Gemfibrosil
15
HCT
Novomix
(pre-mixed
insulins atau
insulin
kombinasi)
16
Captopril
Novomix
menyebabkan
nefrotoksisitas
(Chelmow et al.,
2014)
Terjadinya diuresis
mungkin disebabkan
adanya kompetisi dan
perpindahan
furosemid oleh
gemfibrosil dari
tempat pengikatan
protein plasma.
Gemfibrosil terkadang
bisa menyebabkan
keracunan pada otot
(Hastern and
Horn,2002) dan
(Chelmow et al.,
2014)
Hydrochlorothiazid
mengurangi efek
novomix sehingga
menyebabkan efek
hiperglikemia
(Chelmow et al.,
2014)
Captopril
meningkatkan efek
2014)
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
Interaksi
farmakodinamik
sinergisme
(Chelmow et al.,
2014)
Kategori
signifikansi
klinis 3
(Hastern and
Horn,2002)
Kategori
signifikansi
klinis minor
atau tidak
signifikan
(Chelmow et
al., 2014
Interaksi
farmakodinamik
yaitu
antagonisme
(Chelmow et al.,
2014)
Kategori
signifikansi
klinis minor
atau tidak
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
Kategori
signifikansi
Interaksi
farmakodinamik
2
Adanya pemeriksaan serum
protein dan fungsi ginjal
sebelum pemberian kedua
obat ini. Jika kadar serum
albumin pasien rendah, maka
total kadar pemberian
gemfibrosil tidak boleh
melebihi 500 mg untuk tiap
1g/ 100 ml konsentrasi
albumin. Perlu dilakukan juga
pengaturan waktu minum
obat (Baxter, 2010).
1
Adanya modifikasi waktu
pemberian obat, monitoring
kadar glukosa darah pasien
dan kadar klirens kreatinin
pasien (Syamsudin, 2011).
1
Pasien perlu menyadari
adanya peningkatan risiko
80
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
81
novomix sehingga
mengakibatkan
hipoglikemia (Baxter,
2010) dan (Chelmow
et al., 2014).
yaitu sinergisme klinis 3
(Chelmow et al., (Hastern and
2014).
Horn,2002)
Kategori
signifikansi
klinis minor
atau tidak
signifikan
Chelmow et
al., 2014)
Interkasi
farmakodinamik
yaitu
antagonisme
(Chelmow et al.,
2014)
17
Clonidin
Glikuidon
Clonidin menurunkan
efek glikuidon
sehingga menyebakan
hiperglikemi
(Chelmow et al.,
2014).
18
Clonidin
Novomix (premixed insulins
atau insulin
kombinasi)
Clonidin menurunkan
efek novomix
sehingga
menyebabkan
hiperglikemi
(Chelmow et al.,
2014) dan (Hastern
and Horn, 2002)
Kategori
signifikansi
klinis minor
atau tidak
signifikan
(Chelmow et
al., 2014)
Interaksi
Kategori
farmakodinamik signifikansi
yaitu
klinis minor
antagonisme
atau tidak
(Chelmow et al., signifikan
2014)
(Chelmow et
al., 2014)
Kategori
signifikansi
hipoglikemia dengan tandatanda berupa takikardi,
berkeringat dan tremor. Dosis
novomix dikurangi ketika
digunakan bersamaan dengan
captopril atau adanya
modifikasi waktu pemberian
obat. Monitoring terhadap
glukosa darah pasien (Hasten
and Horn, 2002) dan (Baxter,
2010).
2
Adanya modifikasi dosis dan
waktu pemberian obat serta
pemantauan kadar glukosa
darah pasien (Baxter, 2010).
1
Adanya modifikasi dosis dan
waktu pemberian obat serta
pemantauan kadar glukosa
darah pasien (Baxter, 2010).
81
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
82
19
Diltiazem
Total
Lansoprazol
klinis 3
(Hastern and
Horn, 2002)
Diltiazem
Interaksi
Kategori
meningkatkan tingkat farmakokinetik
signifikansi
atau efek lansoprazol
pada
klinis minor
dengan mempengaruhi metabolisme
atau tidak
metabolisme enzim
(Chelmow et al., signifikan
CYP3A4 di hati atau
2014)
(Chelmow et
usus (Chelmow et al.,
al., 2014)
2014)
1
Adanya modifikasi dosis dan
waktu pemberian obat
(Baxter, 2010).
82
82
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
83
Tabel XVII. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat lain dengan obat antihipertensi pada peresepan pasien gagal
ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian
literatur
No
Obat lain
Obat lain
Mekanisme dan efek
interaksi obat
Jenis interaksi obat
1
Gemfibrosil
Simvastatin
Saling meningkatkan
efek dari yang lain
dengan sinergisme
farmakodinamik, dapat
menyebabkan miopati
yang parah atau
rhabdomyolysis
(Chelmow et al., 2014)
dan (Tatro, 2007)
Interaksi
farmakodinamik yaitu
sinergisme (Tatro,
2007).
2
Gemfibrosil
Novomix
Gemfibrosil
meningkatkan efek
novomix sehingga terjadi
hipoglikemia (Chelmow
et al., 2014).
3
Gemfibrosil
Glimepirid
Gemfibrosil
meningkatkan efek
glimepirid sehingga
menimbulkan efek
hipoglikemia (Chelmow
Interaksi
farmakokinetik pada
proses distribusi dan
ekskresi (Baxter,
2011) dan (Chelmow
et al., 2014).
Interaksi
farmakokinetik yaitu
pada proses distribusi,
metabolisme dan
ekskresi (Baxter,
Kategori
signifikansi
klinis
Kategori
signifikansi klinis
serius (Chelmow
et al., 2014).
Kategori
signifikansi klinis
1 (Tatro, 2007)
Jumlah
Managemen
interaksi
obat
2
Adanya penyesuaian dosis,
pemantauan nilai kreatinin
kinase serta adanya edukasi
dan pengawasan terhadap
pasien (Mozayani dan
Raymon, 2012) dan
(Baxter, 2011).
Kategori
signifikansi klinis
signifikan
(Chelmow et al.,
2014).
1
Kategori
signifikansi klinis
signifikan
(Chelmow et al.,
2014)
1
Penyesuaian dosis kedua
obat dan melakukan
monitoring kadar glukosa
darah pasien (Dines, 2007),
(Rojas, 2013), dan
(Lacobelis, 2006).
Melakukan monitoring
kadar glukosa darah pasien
dan adanya pengaturan
dosis kedua obat (Chelmow
et al., 2014) dan (Zambon
83
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
84
4
CaCO3
Alopurinol
5
Glimepirid
Novomix
6
Simvastatin
Digoxin
7
CaCO3
SF/Hemafort
8
Lenal ace
Hemafort /
SF
et al., 2014).
2011) dan (Chelmow
et al., 2014).
Kalsium karbonat
menurunkan tingkat
alopurinol dengan
menghambat penyerapan
GI (Chelmow et al.,
2014).
Saling meningkatkan
efek (Chelmow et al,
2014)
Interaksi
farmakodinamik
(Chelmow et al.,
2014).
Simvastatin akan
meningkatkan tingkat
atau efek dari digoxin
oleh P-glikoprotein
(MDR1) (Chelmow et al,
2014)
Kalsium karbonat akan
menurunkan tingkat atau
efek dari SF dengan
meningkatkan pH
lambung (Chelmow et
al., 2014).
Lenal ace menurunkan
tingkat hemafort dengan
Kategori
signifikansi klinis
4 (Tatro, 2007)
Kategori
signifikansi klinis
signifikan
(Chelmow et al.,
2014).
dan Cusi, 2007).
4
Perlu adanya penyesuaian
dosis dan pengaturan
interval pemberian dosis
(Mozayani dan Raymon,
2012) dan (Baxter, 2011).
Kategori
signifikansi klinis
signifikan
(Chelmow et al,
2014)
Interaksi
Kategori
farmakodinamik
signifikansi klinis
(Chelmow et al, 2014) signifikan
(Chelmow et al,
2014)
1
Adanya modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat
serta pemantauan kadar
glukosa darah pasien
(Baxter, 2010).
Adanya modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat
(Baxter, 2010).
Interaksi
farmakokinetik pada
proses absorbsi
(Chelmow et al.,
2014).
2
Perlu adanya pengaturan
interval pemberian dosis
sehingga meminimalkan
pencampuran kedua obat di
dalam tubuh (Baxter, 2010).
1
Perlu adanya pengaturan
interval pemberian dosis
Interaksi
farmakodinamik yaitu
sinergisme (Chelmow
et al, 2014)
Interaksi
farmakokinetik pada
Kategori
signifikansi klinis
minor atau tidak
signifikan
(Chelmow et al.,
2014).
Kategori
signifikansi klinis
1
84
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
85
menghambat penyerapan
GI. Hemafor
tmeningkatkan kadar
lenal ace dengan
meningkatkan
penyerapan GI
(Chelmow et al, 2014)
Mucogard menurunkan
tingkat lansoprazol
dengan menghambat
penyerapan GI
(Chelmow et al, 2014)
9
Lansoprazol
Mucogard
10
Lansoprazol
Sohobion
Lansoprazol menurunkan
tingkat atau efek dari
sohobion dengan
menghambat penyerapan
GI (Chelmow et al,
2014)
11
Amitriptilin
Glikuidon
12
Glimepirid
KSR/KCl
Amitriptilin
meningkatkan efek
glikuidon sehingga
menimbulkan risiko
terjadinya hipoglikemi
(Chelmow et al, 2014)
KSR meningkatkan
glimepirid sehingga
proses absorbsi
minor atau tidak
(Chelmow et al, 2014) signifikan
(Chelmow et al,
2014)
Interaksi
farmakodiamik yaitu
antagonisme
(Chelmow et al, 2014)
sehingga meminimalkan
pencampuran kedua obat di
dalam tubuh (Baxter, 2010)
dan (Chelmow et al, 2014)
Kategori
signifikansi klinis
minor atau tidak
signifikan
(Chelmow et al,
2014)
Interaksi
Kategori
farmakokinetik
signifikansi klinis
(Chelmow et al, 2014) minor atau tidak
signifikan
(Chelmow et al,
2014)
4
Adanya modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat.
Lansoprazol diberikan 30
menit sebelum pemberian
mucogard (Baxter, 2010).
4
Adanya modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat
(Baxter, 2010).
Interaksi
farmakodinamik yaitu
sinergisme (Chelmow
et al, 2014)
1
Adanya modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat
serta pemantauan kadar
glukosa darah pasien
(Baxter, 2010).
3
Adanya modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat
Interaksi
farmakodinamik yaitu
Kategori
signifikansi klinis
minor atau tidak
Signifikan
(Chelmow et al,
2014)
Kategori
signifikansi klinis
85
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
86
menimbulkan risiko
terjadinya hipoglikemi
(Chelmow et al, 2014)
sinergisme (Chelmow
et al, 2014)
minor atau tidak
signifikan
(Chelmow et al,
2014)
serta pemantauan kadar
glukosa darah pasien
(Baxter, 2010).
13
Glimepirid
Simvastatin
Simvastatin
meningkatkan
konsentrasi glimepirid
sehingga menimbulkan
efek hipoglikemia (Tatro,
2007)
Interaksi
farmakokinetik yaitu
pada proses
metabolisme (Galani
and Vyas, 2010).
Kategori
signifikansi klinis
5 (Tatro, 2007).
2
14
Eclid
(acarbose)
KSR/KCl
KSR/KCl meningkatkan
efek dari eclid sehingga
menimbulkan efek
hipoglikemia (Chelmow
et al., 2014).
Interaksi
farmakodinamik yaitu
sinergisme (Chelmow
et al., 2014).
1
15
Clopidogrel
Simvastatin
Simvastatin menghambat
konversi clopidogrel
menjadi bentuk aktifnya
(Tatro, 2007)
Interaksi
farmakokinetik yaitu
pada proses
metabolisme (Tatro,
2007).
Kategori
signifikansi klinis
minor atau tidak
signifikan
(Chelmow et al.,
2014).
Kategori
signifikansi klinis
5 (Tatro, 2007).
Total
1
Melakukan monitoring
terhadap kadar glukosa
darah pasien untuk
mewaspadai terjadinya efek
hipoglikemi dan adanya
penyesuaian dosis kedua
obat tersebut (Tatro, 2007).
Melakukan monitoring
terhadap kadar glukosa
darah pasien dan adanya
penyesuaian dosis kedua
obat tersebut (Lacy, 2012).
Adanya penyesuaian dosis
dan interval waktu
pemberian obat (Baxter,
2010) dan (Chelmow et al.,
2014)
29
86
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
87
Berdasarkan Tabel XV, XVI, dan XVII di atas mekanisme dan efek dari interaksi
obat adalah sebagai berikut ini.
1. Interaksi antara klonidin dan diltiazem
Jumlah kasus interaksinya yaitu sebasar 1 kasus. Interaksi yang terjadi
yaitu antara klonidin yang merupakan obat golongan antihipertensi sentral
dengan diltiazem yang merupakan obat golongan CCB. Interaksi yang terjadi
antara kedua obat ini dapat mengakibatkan bradikardi sehingga perlu
mendapatkan perhatian dalam penggunaannya. Interaksi ini merupakan jenis
interaksi farmakodinamik yaitu aditif dengan kategori signifikansi klinis serius
(Chelmow et al., 2014). Managemennya ketika kedua obat ini digunakan
bersamaan yaitu melakukan pemantauan denyut jantung dan tekanan darah
pada pasien (Baxter, 2010).
2. Interaksi obat antara captopril dengan alopurinol pada peresepan terdapat 3
kasus. Interaksi antara captopril dengan alopurinol termaksud interaksi dengan
kategori signifikansi klinis serius (Chelmow et al, 2014), kategori signifikansi
klinis 4 (Tatro, 2007) dan kategori sigifikansi klinis 2 (Hasten and Horn, 2002).
Jenis interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik sinergisme.
Mekanismenya yaitu adanya risiko reaksi hipersensitivitas jika kedua obat
diberikan secara bersamaan (Chelmow et al., 2014) dan (Tatro, 2007).
Kombinasi dari kedua obat tersebut akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya reaksi hipersensitivitas seperti Stevens Johnson Syndrome,
Anaphylaxis, pengelupasan kulit, demam dan arthtalgia (Hansten and Horn,
2002), (Tatro, 2007) dan (Baxter, 2010). Kombinasi antara dua obat tersebut
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
88
mungkin menambah kejadian hipersensitivitas karena pemberian captopril
atau alopurinol tanpa kombinasi sudah dapat menimbulkan reaksi
hipersensitivitas (Stockley, 2010). Managemen dari interaksi obat tersebut
adalah dengan melakukan pemantauan reaksi hipersensitivitas yang terjadi,
hentikan pemberian kombinasi kedua obat tersebut jika terjadi peningkatan
manifestasi dari hipersensitivitas dan diberikan pengobatan sesuai dengan
reaksi hipersensitivitas yang terjadi (Tatro, 2007).
3.
Interaksi obat antara gemfibrosil dengan simvastatin pada peresepan terdapat
2 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi
klinis serius (Chelmow et al, 2014) dan kategori signifikansi klinis 1 (Tatro,
2007).
Interaksi antara gemfibrosil dan simvastatin memiliki onset yang
lambat, tingkat keparahan yang moderat dan tingkat dokumentasi obat yang
diduga terjadi (suspected).
Interaksi antara kedua obat ini merupakan
interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme (Tatro, 2007).
Mekanisme interaksi obat yang terjadi yaitu saling meningkatkan efek
satu sama lain sehingga dapat menyebabkan miopati atau rabdomiolisis
(Chelmow et al, 2014). Risiko terjadinya miopati akan meningkat yang
ditunjukkan dengan adanya peningkatan kreatinin kinase ketika kedua obat
ini digunakan secara bersamaan. Gemfibrozil diekskresikan terutama melalui
ginjal sehingga dosis dan interval pemberian dosis harus diturunkan pada
pasien dengan insufisiensi ginjal (Mozayani dan Raymon, 2012). Kombinasi
antara kedua obat ini dapat digunakan tanpa adanya toksisitas otot yang
parah, namun dalam penggunaannya diperlukan perhatian yang besar.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
89
Managemen yang dilakukan ketika kedua obat ini digunakan secara
bersamaan yaitu adanya penyesuaian dosis saat penggunaannya, pemantauan
nilai kreatinin kinase, adanya edukasi serta pengawasan terhadap pasien
(Mozayani dan Raymon, 2012) dan (Baxter, 2010).
4. Interaksi antara irbesartan dan furosemid
Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 5 kasus. Interaksi kedua obat ini
termaksud kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi
merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme interaksinya
yaitu irbesartan meningkatkan kadar serum kalium sedangkan furosemid
menurunkan kadar kalium serum (Chelmow et al., 2014).
Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan umumnya memiliki efek
aditif terkait penurunan tekanan darah dan umumnya masih dapat ditoleransi.
Managemennya yaitu ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan adalah
modifikasi dosis dan waktu pemberian obat, mengecek kadar serum kalium
pasien, dan pemantauan tekanan darah (Baxter, 2010).
5. Interaksi antara irbesartan dengan HCT
Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 1 kasus. Interaksi kedua obat ini
termaksud dalam kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi
merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme interaksinya
yaitu irbesartan meningkatkan kadar kalium serum dan HCT menurunkan
kadar kalium serum (Chelmow et al., 2014).
Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan umumnya memiliki efek
aditif terkait penurunan tekanan darah dan umumnya masih dapat ditoleransi.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
90
Managemennya yaitu ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan adalah
modifikasi dosis dan waktu pemberian obat, mengecek kadar serum kalium,
dan pengecekan tekanan darah pasien (Baxter, 2010).
6. Interaksi antara valsartan dengan furosemid
Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 3 kasus. Interaksi kedua obat ini
termaksud kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi
merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme interaksinya
yaitu valsartan meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan
kadar serum kalium (Chelmow et al., 2014).
Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan umumnya memiliki efek
aditif terkait penurunan tekanan darah dan umumnya masih dapat ditoleransi.
Managemennya yaitu ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan adalah
modifikasi dosis dan waktu pemberian obat, mengecek kadar serum kalium,
dan pengecekan tekanan darah (Baxter, 2010).
7. Interaksi antara micardis dengan furosemid
Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 1 kasus. Interaksi kedua obat ini
termaksud kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi
merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme interaksinya
yaitu micardis meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan
kadar kalium serum (Chelmow et al., 2014).
Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan umumnya memiliki efek
aditif terkait penurunan tekanan darah dan umumnya masih dapat ditoleransi.
Managemennya yaitu ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan adalah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
91
modifikasi dosis dan waktu pemberian obat, mengecek kadar serum kalium dan
pemantauan tekanan darah pasien (Baxter, 2010).
8. Interaksi antara captopril dengan furosemid
Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 2 kasus. Interaksi yang terjadi
yaitu antara captopril dan furosemid. Captopril merupakan obat golongan
ACEI dan furosemid merupakan obat golongan diuretik kuat. Interaksi yang
terjadi antara kedua obat ini merupakan interaksi secara farmakodinamik yaitu
sinergisme dengan signifikansi klinis dari interaksi adalah minor dengan onset
tertunda dan menimbulkan efek hipotensi akut (Tatro, 2007). Terjadinya
peningkatan efek hipotensif ini bisa bersifat ekstrim sehingga dapat terjadi
resiko hiperkalemia bila kombinasi kedua obat ini tetap diberikan (Hasten and
Horn, 2002). Mekanisme terjadinya interaksi berkaitan dengan hilangnya
jumlah natrium dan air saat pemberian diuretik yang akan meningkatkan efek
hipotensi setelah pemberian ACE inhibitor (Baxter, 2010).
Manajemen dari interaksi adalah dengan melakukan penurunan dosis
diuretik (<80 mg) setidaknya 24 jam sebelum pemberian ACE inhibitor.
Respon dari dosis awal ACE inhibitor harus dimonitoring setidaknya selama 2
jam dari saat pemberian, pemberian ACE inhibitor harus dimulai dari dosis
yang paling rendah walaupun pada pasien dengan risiko rendah
(Baxter,
2010).
9. Interaksi antara candesartan dengan furosemid
Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 3 kasus. Interaksi kedua obat ini
termaksud kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang terjadi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
92
merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme interaksinya
yaitu candesartan meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid
menurunkan kadar serum kalium (Chelmow et al., 2014).
Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan umumnya memiliki efek
aditif terkait penurunan tekanan darah dan umumnya masih ditoleransi.
Managemennya yaitu ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan adalah
modifikasi dosis dan waktu pemberian obat, mengecek kadar serum kalium dan
pemantauan tekanan darah pasien (Baxter, 2010).
10.
Interaksi antara bisoprolol dengan furosemid
Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 1 kasus. Interaksi antara kedua
obat ini termaksud kategori signifikansi klinis signifikan. Interaksi yang
terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu aditif. Mekanisme
interaksinya yaitu bisoprolol meningkatkan kadar serum kalium dan
furosemid menurunkan kadar serum kalium (Chelmow et al, 2014).
Bisoprolol merupakan obat golongan β-blocker yang dapat menyebabkan
retensi natrium dan air. Furosemid merupakan obat golongan diuretik yang
dapat menyebabkan peningkatan sekresi renin oleh ginjal. Penggabungan
kedua obat ini yaitu β-blocker menghambat peningkatan kadar renin dalam
plasma yang disebabkan oleh diuretik dan diuretik mengurangi retensi
natrium dan air yang disebabkan oleh β-blocker (Syamsudin, 2011)
Kombinasi kedua obat ini dapat menyebabkan kelainan elektrodiagram,
terjadinya peningkatan kadar trigliserida. Managemen yang perlu dilakukan
yaitu adanya pemantauan kadar kalium serum, tekanan darah, dan glukosa
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
93
darah. Pasien dianjurkan untuk mencari bantuan medis jika mereka
mengalami pusing, lemah, pingsan, detak jantung lebih cepat atau tidak
teratur, atau hilangnya kontrol kadar glukosa darah (Baxter, 2010).
11. Interaksi obat antara furosemid dengan KCl/KSR pada peresepan terdapat 4
kasus. Interaksi obat antara furosemid dengan KCl/KSR merupakan interaksi
farmakodinamik yaitu antagonisme dan termaksud kategori signifikansi klinis
signifikan (Chelmow et al., 2014). Mekanisme yang terjadi yaitu KCl/KSR
meningkatkan kadar serum kalium dan furosemid menurunkan kadar serum
kalium. Managemennya yaitu adanya pengaturan dosis obat dan waktu
minum kedua obat tersebut (Baxter, 2010).
12. Interaksi obat antara furosemid dengan digoksin pada peresepan terdapat 1
kasus. Interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik sinergisme dan
termaksud kategori signifikansi klinis signifikan menurut Chelmow et al
(2014), kategori signifikansi klinis 1 menurut Tatro (2007), dan kategori
signifikansi klinis 3 menurut Hasten and Horn (2002).
Mekanisme yang terjadi yaitu furosemid meningkatkan efek dari digoxin.
Glikosida jantung menghambat natrium-kalium ATP-ase, yang berkaitan
dengan transportasi ion natrium dan kalium melintasi membran sel miokard,
sehingga meningkatkan aktivitas dan toksisitas dari digitalis. Adanya
peningkatan ekskresi kalium dan magnesium dapat mempengaruhi otot
jantung. Penggunaan bersamaan dapat menyebabkan toksisitas digitalis
(Baxter, 2010).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
94
Managemen yang dilakukan yaitu mengukur tingkat plasma kalium dan
magnesium ketika menggunakan obat ini dalam kombinasi. Perlu dipastikan
bahwa kadar kalium tetap dalam kisaran normal. Mencegah kerugian lebih
lanjut dengan pembatasan diet natrium
atau penambahan diuretik hemat
kalium (Baxter, 2010).
13. Interaksi obat antara furosemid dengan ciprofloxacin pada peresepan terdapat
1 kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik
sinergisme dan termaksud kategori signifikansi klinis 5. Interaksi antara
furosemid dengan ciprofloxacin memiliki onset yang lambat, tingkat
keparahan interaksi minor dan dokumentasi obat belum pasti terjadi
(possible). (Tatro, 2007).
Mekanisme yang terjadi yaitu adanya peningkatan efek farmakologi dari
ciprofloxacin. Managemen yang dilakukan yaitu adanya pengaturan dosis
obat dan waktu minum kedua obat tersebut ( Baxter, 2010)
14. Interaksi obat antara captopril dengan glimepirid pada peresepan terdapat 3
kasus. Interaksi yang terjadi termaksud dalam interaksi obat farmakodinamik
yaitu sinergisme dan termaksud dalam kategori signifikansi klinis signifikan
(Chelmow et al, 2014). Penggunaan captopril dengan dosis 50-100 mg/hari
atau 25-50 mg dua kali sehari dapat meningkatkan efek glimepirid, sehingga
dapat menimbulkan risiko terjadinya hipoglikemia.
Captopril dapat meningkatkan efek glimepirid dan menurunkan kadar
kolseterol total di dalam tubuh sehingga terjadi penurunan LDL, penurunan
trigliserid dan peningkatan HDL (Baxter, 2010). Managemen yang dilakukan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
95
yaitu perlu adanya penyesuaian dosis obat baik captopril maupun glimepirid
dan melakukan monitoring kadar glukosa darah pasien, kadar klirens
kreatinin pasien (Chelmow et al,2014) dan (Hasnuddin, 2012).
15. Interaksi obat antara captopril dengan KCl/KSR pada peresepan terdapat 2
kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakokinetik pada proses
eliminasi dan termaksud kategori signifikansi klinis signifikan (Chelmow et
al, 2014), kategori signifikansi klinis 4 (Tatro, 2007). Mekanismenya yaitu
captopril dan KSR/KCl dapat meningkatkan kadar kalium serum sehingga
mengakibatkan retensi kalium. Captopril menghambat angiotensin converting
enzyme yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga
mengakibatkan penurunan sintesis aldosteron (Porth and Matfin, 2009).
Penghambatan sintesis aldosteron yang dihasilkan oleh captopril akan
berpengaruh terhadap kadar kalium dalam tubuh yaitu akan terjadi penurunan
ekskresi kalium. Kemudian dengan diberikannya kalium klorida saat
pemberian captopril akan menghambat eliminasi kalium klorida karena
penghambatan aktivasi reseptor aldosteron yang bertanggung jawab terhadap
ekskresi kalium (Porth and Matfin, 2009). Dihambatnya eliminasi kalium
klorida dan dihambatnya aktivasi reseoptor aldosteron akan meningkatkan
kadar kalium serum sehingga akan meningkatkan kejadian hiperkalemia
(Baxter, 2010). Kejadian hiperkalemia juga akan lebih tinggi, diakibatkan
ketidaknormalan ginjal (Mahdiana, 2011). Manajemen dari interaksi yang
terjadi adalah dengan menghentikan pemberian kalium klorida saat
pemberian captopril pada pasien, dilakukan monitoring serum kalium saat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
96
pemberian captopril dan menyesuaikan suplemen kalium yang diperlukan
(Tatro, 2007) dan (Baxter, 2010).
16. Interaksi obat antara bisoprolol dengan KCl/KSR pada peresepan terdapat 1
kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu
sinergisme dan termaksud dalam kategori signifikansi klinis signifikan.
Mekanismenya yaitu penggunaan kedua obat ini meningkatkan kadar serum
kalium (Chelmow et al., 2014). Managemen yang dilakukan yaitu adanya
modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar serum
kalium (Baxter, 2010).
17. Interaksi obat antara diltiazem dengan CaCO3 pada peresepan terdapat 1
kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu
antagonisme dan termaksud dalam kategori signifikansi klinis signifikan.
Mekanisme yang terjadi yaitu CaCO3 mengurangi efek diltiazem (Chelmow
et al., 2014). Managemen yang dilakukan yaitu adanya pemantauan
efektivitas dari diltiazem dan modifikasi dosis serta waktu pemberian obat
(Baxter, 2010).
18. Interaksi obat antara gemfibrosil dengan novomix pada peresepan terdapat 1
kasus. Interaksi antara kedua obat ini termasuk dalam jenis interaksi
farmakokinetik pada proses distribusi dan ekskresi serta termaksud kategori
signifikansi klinis signifikan. Mekanisme interaksinya yaitu gemfibrosil dapat
meningkatkan efek novomix sehingga dapat menyebabkan hipoglikemia
(Chelmow et al, 2014).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
97
Gemfibrosil dapat berikatan kuat dengan protein ataupun albumin di
dalam plasma sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan dalam
pengikatan protein novomix, sehingga lebih banyak obat bebas yang
bersirkulasi di dalam plasma dan meningkatkan konsentrasi novomix di
dalam tubuh. Obat yang tidak berikatan dengan protein merupakan obat
bebas, aktif dan menimbulkan efek farmakologi (Baxter, 2010) dan
(Chelmow et al., 2014).
Gemfibrosil dapat meningkatkan efek novomix melalui adanya
mekanisme kompetisi pada sekresi tubulus ginjal dan adanya persaingan
pengikatan pada protein plasma. Gemfibrosil akan menghambat sekresi
novomix di tubulus ginjal sehingga konsentrasi plasma novomix meningkat
dan menimbulkan efek hipoglikemia (Baxter, 2010).
Gemfibrosil merupakan agonis dari peroxisome proliferator-activated
receptor-alpha
(PPARα)
yang
mempunyai
mekanisme
kerja
yaitu
memetabolisme lipid di hati. Mekanisme kerja gemfibrosil yaitu menurunkan
kadar kolesterol total, menurunkan LDL, menurunkan trigliserida, dan
peningkatan HDL (Zambon and Cusi, 2007).
Penurunan kadar kolesterol total di dalam tubuh dapat meningkatkan
sensitivitas insulin, sehingga dapat menurunkan resistensi insulin (Zambon
and Cusi, 2007). Penggunaan insulin bersamaan dengan gemfibrosil dapat
membantu mengontrol kadar glukosa darah pasien. Managemen yang
dilakukan adalah monitoring kadar glukosa darah pasien, dan penyesuaian
dosis kedua obat (Chelmow et al, 2014) dan (Zhou and Meibohm, 2013).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
98
19. Interaksi obat antara gemfibrosil dengan glimepirid pada peresepan terdapat 1
kasus. Interaksi antara kedua obat ini termasuk kategori signifikansi klinis 4.
Interaksi antara glimepirid dan gemfibrosil memiliki onset yang lambat,
tingkat keparahan yang moderat dan tingkat dokumentasi yang belum pasti
terjadi (possible). Interaksi antara kedua obat ini merupakan interaksi
farmakokinetik yaitu pada proses distribusi, metabolisme dan ekskresi
(Baxter, 2011) dan (Tatro, 2007).
Mekanisme interaksi obat yang terjadi yaitu gemfibrosil meningkatkan
efek glimepirid, sehingga dapat menyebabkan efek hipoglikemi (Chelmow et
al, 2014). Gemfibrosil merupakan inhibitor dari enzim CYP2C9 sedangkan
glimepirid di dalam tubuh di metabolisme oleh enzim CYP2C9. Gemfibrosil
sebagai inhibitor enzim CYP2C9 dapat menghambat metabolisme glimepirid
sehingga dapat meningkatkan konsentrasi glimepirid di dalam tubuh dan
menimbulkan terjadinya efek hipoglikemia (Lacy, 2012) dan (Tatro, 2007).
Gemfibrosil dapat meningkatkan efek glimepirid melalui mekanisme
kompetisi pada sekresi tubulus ginjal dan persaingan pengikatan pada protein
plasma. Gemfibrosil akan menghambat sekresi glimepirid di tubulus ginjal
sehingga dapat meningkatkan konsentrai plasma glimepirid dan menimbulkan
efek hipoglikemia (Baxter, 2010).
Gemfibrosil dapat berikatan kuat dengan protein atau albumin di dalam
plasma sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan dalam pengikatan
protein glimepirid, sehingga obat bebas yang bersirkulasi di dalam plasma
lebih banyak dan meningkatkan konsentrasi glimepirid di dalam tubuh. Obat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
99
yang tidak berikatan dengan protein merupakan obat bebas, aktif dan dapat
menimbulkan efek farmakologi (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al, 2014).
Gemfibrosil merupakan agonis dari peroxisome proliferator-activated
receptor-alpha
(PPARα)
yang
mempunyai
mekanisme
kerja
yaitu
memetabolisme lipid di hati. Mekanisme kerja gemfibrosil yaitu menurunkan
kadar kolesterol total, menurunkan LDL, menurunkan trigliserida, dan
peningkatan HDL (Zambon and Cusi, 2007).
Penggunaan glimepirid bersamaan dengan gemfibrosil dapat membantu
mengontrol kadar glukosa darah pasien. Managemen yang dilakukan kepada
pasien yaitu adanya monitoring kadar glukosa darah pasien dan pengaturan
dosis kedua obat (Chelmow et al, 2014) dan (Zhou and Meibohm, 2013).
20. Interaksi obat antara CaCO3 dengan alopurinol pada peresepan terdapat 4
kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi
klinis signifikan. Interaksi obat yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik.
Kalsium
karbonat
(CaCO3)
menurunkan
tingkat
alopurinol
dengan
menghambat penyerapan GI (Chelmow et al, 2014).
Alopurinol merupakan suatu analog purin yang merupakan isomer
hipoksantin. Alopurinol mengurangi sintesis asam urat dengan menghambat
xantin oksidase secara kompetitiif. Hal ini menyebabkan adanya penurunan
kadar asam urat plasma dan peningkatan kadar xantin dan hipoksantin yang
lebih larut dalam plasma dan mudah diekskresi. Adanya penggunaan kalsium
karbonat bersamaan dengan alopurinol mengakibatkan efektifitas kerja dari
alopurinol menurun. Managemenya yaitu perlu adanya penyesuaian dosis,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
100
pengaturan interval pemberian dosis (Mozayani dan Raymon, 2012) dan
(Baxter, 2010).
21. Interaksi obat antara glimepirid dengan novomix pada peresepan terdapat 1
kasus. Interaksi kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi klinis
signifikan. Interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik yaitu
sinergisme. Mekanisme interaksinya yaitu saling meningkatkan efek
(Chelmow et al, 2014). Managemennya yaitu adanya modifikasi dosis dan
waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter,
2010).
22. Interaksi obat antara simvastatin dengan digoksin pada peresepan terdapat 1
kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi
klinis signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik
(Chelmow et al, 2014).
Mekanisme interaksinya yaitu simvastatinakanmeningkatkan tingkatatau
efek dari digoxin oleh P-glikoprotein (MDR1) sebesar 0,3 nanogram/ml.
Managemennya yaitu adanya penyesuaian dosis saat penggunaan kedua obat
ini secara bersamaan, pengaturan interval waktu minum obat (Baxter, 2010).
23.
Interaksi antara amlodipin dengan klonidin
Jumlah kasus interaksinya yaitu sebesar 2 kasus. Interaksi yang terjadi
yaitu antara amlodipin yang merupakan obat golongan CCB dengan klonidin
yang merupakan obat golongan antihipertensi sentral. Interaksi yang terjadi
antara kedua obat ini mengakibatkan peningkatan efek hipotensif. Interaksi
yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik aditif dengan kategori
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
101
signifikansi klinis 3. Kategori signifikansi klinis yang ketiga ini memiliki risiko
interaksi obat yang kecil, memiliki manfaat yang lebih banyak daripada risiko
yang ditimbulkan (Hasten and Horn, 2002). Managemennya yaitu adanya
modifikasi dosis dan waktu pemberian obat bila hendak digunakan secara
bersamaan dan adanya pemantauan tekanan darah pasien (Baxter, 2010).
24. Interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat
Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember
2013 dengan jumlah kasus terbesar adalah interaksi obat antihipertensi yaitu
furosemid dengan CaCO3 (26 interaksi obat). Interaksi antara furosemid
dengan CaCO3 merupakan interaksi farmakodinamik yaitu antagonisme
Kategori signifikansi klinisnya yaitu minor atau tidak signifikan (Chelmow et
al., 2014).
Pada umumnya CaCO3 digunakan sebagai buffer dalam penanganan
kondisi asidosis metabolik yang biasanya terjadi pada hampir seluruh pasien
gagal ginjal karena adanya kesulitan dalam proses eliminasi buangan asam
yang merupakan hasil dari metabolisme tubuh (Sjamsiah, 2005). Furosemid
menurunkan kadar kalsium karbonat dengan meningkatkan klirens ginjal
(Chelmow et al., 2014). Managemennya yaitu adanya pengaturan dosis dan
waktu pemberian kedua obat (Baxter, 2010).
25. Interaksi obat antara furosemid dengan asam folat pada peresepan pasien
terdapat 21 kasus. Interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik
antagonisme. Furosemid menurunan kadar asam folat dengan meningkatkan
klirens ginjal. Kategori signifikansi klinisnya yaitu minor atau tidak
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
102
signifikan (Chelmow et al., 2014). Managemennya yaitu adanya pengaturan
dosis dan waktu pemberian kedua obat (Baxter, 2010).
26. Interaksi obat antara furosemid dengan paracetamol pada peresepan terdapat
5 kasus. Menurut Tatro (2007), interaksi antara furosemid dengan
paracetamol termaksud dalam k4ategori signifikansi klinis 5. Interaksi antara
furosemid dengan paracetamol memiliki onset yang lambat, tingkat
keparahan interaksi minor dan dokumentasi interaksi obat kemungkinan tidak
terjadi (unlikely). Interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakokinetik pada
proses ekskresi.
Mekanisme dari interaksi obat antara furosemid dengan paracetamol
yaitu
paracetamol
menurunkan
efek
furosemid
sehingga
ekskresi
prostaglandin ginjal dan aktivitas renin plasma menurun (Tatro, 2007).
Manajemen yang dilakukan pada pasien yang menggunakan furosemid
dengan paracetamol yaitu dengan adanya pengaturan dosis obat dan waktu
pemberian kedua obat tersebut (Baxter, 2010).
27. Interaksi obat antara furosemid dengan lenal ace (kalsium asetat) pada
peresepan tedapat
3
kasus.
Interaksi
yang terjadi
yaitu interaksi
farmakodinamik yaitu antagonisme. Kategori signifikansi klinis antara kedua
obat tersebut yaitu minor atau tidak signifikan. Mekanismenya yaitu
furosemid mengurangi tingkat kalsium asetat dengan meningkatkan klirens
ginjal (Chelmow et al., 2014). Managemennya yaitu pengaturan dosis dan
waktu minum kedua obat (Baxter, 2010).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
103
28. Interaksi obat antara furosemid dengan cefixim pada peresepan terdapat 3
kasus. Interaksi yang terjadi yaitu interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme
dengan
kategori
signifikansi
klinis
minor
atau
tidak
signifikan.
Mekanismenya yaitu cefixim meningkatkan toksisitas furosemid sehingga
menyebabkan nefrotoksisitas (Chelmow et al., 2014). Managemennya yaitu
adanya pengaturan dosis obat dan waktu minum kedua obat tersebut (Baxter,
2010).
29.
Interaksi obat antara furosemid dengan gemfibrosil pada peresepan
terdapat 2 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori
signifikansi klinis 3 dan merupakan jenis interaksi obat farmakodinamik yaitu
sinergisme (Hastern and Horn, 2002). Mekanisme interaksi obat yang terjadi
belum diketahui secara pasti. Kombinasi kedua obat ini dapat menyebabkan
adanya kompetisi dan perpindahan furosemid oleh gemfibrosil dari tempat
pengikatan protein plasma sehingga terjadi diuresis. Managemen yang
dilakukan yaitu adanya pemeriksaan serum protein dan fungsi ginjal sebelum
pemberian gemfibrosil dengan furosemid. Jika kadar serum albumin pasien
rendah, maka total kadar pemberian gemfibrosil tidak boleh melebihi 500 mg
untuk setiap 1 g/100 ml konsentrasi albumin. Perlu dilakukan juga pengaturan
waktu minum obat (Baxter, 2010).
30. Interaksi obat antara HCT dengan novomix (pre-mixed insulinsatau insulin
kombinasi) pada peresepan terdapat 1 kasus.
Interaksi antara novomix
dengan HCT termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau tidak
signifikan dan merupakan jenis interaksi obat farmakodinamik yaitu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
104
antagonisme (Chelmow et al, 2014). HCT mengurangi efek dari novomix,
sehingga menyebabkan efek hiperglikemia ( Brophy, 2010) dan (Chelmow et
al, 2014). Dosis HCT lebih besar dari 50 mg/hari dapat meningkatkan kadar
glukosa darah (Chelmow et al, 2014).
HCT dapat meningkatkan kadar kolesterol total di dalam tubuh sehingga
terjadi peningkatan LDL, peningkatan trigliserid dan HDL tidak mengalami
perubahan. Hal ini berakibat pada adanya penurunan sensitivitas insulin dan
toleransi terhadap glukosa di dalam tubuh, sehingga menimbulkan efek
hiperglikemia (Baxter, 2010).
Mekanisme lainnya yang dapat menimbulkan efek hiperglikemia adalah
adanya peningkatan kadar asam lemak bebas, penurunan sensitivitas insulin,
peningkatan produksi glukosa oleh hati dan efek inhibitor langsung terhadap
sekresi insulin. Koreksi terhadap hipokalemia melalui penggantian dengan
garam
kalium
dapat
mencegah terjadinya
intoleransi
glukosa
dan
mengembalikan sensitifitas insulin. Manajemen yang dilakukan adalah
modifikasi waktu pemberian kedua obat, monitoring kadar glukosa darah
pasien dan kadar klirens kreatinin pasien (Syamsudin, 2011).
31. Interaksi obat antara captopril dengan novomix (pre-mixed insulinsatau
insulin kombinasi) pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi antara kedua
obat ini termaksud dalam interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme
(Chelmow et al, 2014). Berdasarkan literatur Hasten and Horn (2002),
interaksi antara captopril dengan novomix termaksud kategori singifikansi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
105
klinis ketiga yang berarti kombinasi obat memberikan risiko atau tingkat
keparahan yang bersifat minor atau kecil.
Captopril meningkatkan efek novomix sehingga menimbulkan efek
hipoglikemia (Baxter, 2010) dan (Chelmow et al, 2014). Captopril dapat
meningkatkan sensitivitas insulin dan meningkatkan penggunaan glukosa.
Captopril dapat menurunkan kadar kolesterol total di dalam tubuh sehingga
terjadi penurunan LDL, penurunan trigliserida, dan peningkatan HDL. Hal ini
berakibat pada peningkatan sensitivitas insulin dan peningkatan toleransi
terhadap glukosa di dalam tubuh sehingga menimbulkan efek hipoglikemi
(Baxter, 2010).
Managemen yang dilakukan adalah pasien perlu menyadari adanya
peningkatan risiko hipoglikemia dengan tanda-tanda berupa takikardi,
berkeringat dan tremor. Dosis novomix dikurangi ketika digunakan dengan
captopril, atau adanya modifikasi waktu pemberian obat. Monitoring terhadap
glukosa darah pasien diperlukan saat pemberian, penghentian, dan
penggantian dosis bersamaan dengan penggunaan captopril (Hasten and
Horn, 2002) dan (Baxter, 2010).
32. Interaksi obat antara clonidin dengan glikuidon pada peresepan terdapat 2
kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik yaitu
antagonisme dan termaksud kategori signifikansi klinis minor atau tidak
signifikan. Mekanismenya yaitu clonidin menurunkan efek glikuidon
sehingga menyebakan hiperglikemi (Chelmow et al., 2014). Managemen
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
106
yang dilakukan yaitu adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta
pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010).
33. Interaksi obat antara clonidin dengan novomix (pre-mixed insulins atau
insulin kombinasi) pada peresepan terdapat 1 kasus. Interaksi yang terjadi
merupakan interaksi farmakodinamik yaitu antagonisme dan termaksud
kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan. Mekanismenya yaitu
clonidin menurunkan efek novomix sehingga menyebabkan hiperglikemi
(Chelmow et al., 2014). Managemen yang dilakukan yaitu adanya modifikasi
dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien
(Baxter, 2010).
34. Interaksi obat antara diltiazem dengan lansoprazol pada peresepan terdapat 1
kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakokinetik pada proses
metabolisme dan termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau
tidak signifikan. Mekanisme yang terjadi yaitu diltiazem meningkatkan
tingkat atau efek lansoprazol dengan mempengaruhi metabolisme enzim
CYP450 3A4 di hati atau usus (Chelmow et al., 2014). Penggunaan
lansoprazol dengan diltiazem dapat meningkatkan konsentrasi substrat
plasma obat dari isoenzim CYP450 3A4. Managemen yang dilakukan yaitu
adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat (Baxter, 2010).
35. Interaksi obat antara CaCO3 dengan SF/hemafort pada peresepan terdapat 2
kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi
klinis minor atau tidak signifikan. Interaksi obat yang terjadi yaitu interaksi
farmakokinetik pada proses absorbsi (Chelmow et al., 2014).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
107
Mekanisme interaksinya yaitu kalsium karbonat akan menurunkan
tingkat atau efek dari SF dengan meningkatkan pH lambung (Chelmow et al.,
2014). Kalsium dapat membentuk kompleks yang larut dengan besi sehingga
proses absorbsi menurun. Managemennya yaitu perlu adanya pengaturan
interval pemberian obat sehingga meminimalkan terjadinya pencampuran
kedua obat di dalam tubuh (Baxter, 2010).
36. Interaksi obat antara lenal ace dengan SF (hemafort) pada peresepan terdapat
1 kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi
klinis minor atau tidak signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi
farmakokinetik pada proses absorbsi (Chelmow et al., 2014).
Mekanisme interaksinya yaitu lenal ace menurunkan tingkat hemafort
dengan menghambat penyerapan di GI. Hemafort meningkatkan kadar lenal
ace dengan meningkatkan penyerapan di GI. Kalsium dapat membentuk
kompleks yang larut dengan besi sehingga proses absorbsi menurun.
Managemennya yaitu perlu adanya pengaturan interval pemberian obat
sehingga meminimalkan terjadinya pencampuran kedua obat di dalam tubuh
(Baxter, 2010) dan (Chelmow et al., 2014).
37. Interaksi obat antara lansoprazol dengan mucogard pada peresepan terdapat 4
kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi
klinis minor atau tidak signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi
farmakodinamik
yaitu
antagonisme.
Mekanismenya
yaitu
mucogard
menurunkan tingkat lansoprazol dengan menghambat penyerapan GI
(Chelmow et al., 2014). Mucogard dapat menurunkan tingkat penyerapan dari
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
108
lansoprazole sebanyak 30%. Managemennya yaitu adanya modifikasi dosis
dan waktu pemberian obat. Lansoprazol diberikan 30 menit sebelum
pemberian mucogard (Baxter, 2010).
38. Interaksi obat antara lansoprazol dengan sohobion (vitamin B1, B6, dan B12)
pada peresepan terdapat 4 kasus. Seseorang dikatakan mengalami defisiensi
vitamin B12 apabila konsentrasi serum vitamin B12 di dalam tubuh kurang
dari atau sama dengan 148 pmol/L (Mahdiana, 2011). Vitamin B12 di dalam
tubuh terlibat di dalam proses metabolisme yaitu pada produksi sel darah
merah, sintesis DNA, fungsi sistem saraf dan perbaikan sel. Gejala klinis
yang ditimbulkan dari defisiensi vitamin B12 yaitu anemia, neuropati perifer,
depresi dan gangguan kognitif (Katzung, 2013). Faktor risiko terjadinya
defisiensi vitamin B12 adalah karena faktor usia dan mengkonsumsi obat
yang dapat menurunkan konsentrasi vitamin B12 dalam tubuh (Syamsudin,
2011).
Interaksi yang terjadi antara kedua obat tersebut termaksud dalam
kategori signifikansi klinis minor atau tidak signifikan dengan jenis interaksi
yaitu farmakokinetik (Chelmow et al, 2014). Mekanisme yang terjadi
yaitulansoprazolmenurunkan tingkat atau efek dari sohobion dengan
menghambatpenyerapan di gastrointestinal. Adanya pengurangan dosis obat
dari lambung dan usus ke dalam tubuh. Lansoprazol melakukan penekanan
pada sekresi asam lambung sehingga menganggu penyerapan sohobion.
Managemennya yaitu adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat
(Baxter, 2010).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
109
39. Interaksi obat antara amitriptillin dengan glikuidon pada peresepan terdapat 1
kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi
klinis minor atau tidak signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi
farmakodinamik
yaitu
sinergisme.
Mekanismenya
yaitu
amitriptilin
meningkatkan efek glikuidon sehingga menimbulkan risiko terjadinya
hipoglikemi (Chelmow et al, 2014). Managemen yang dilakukan yaitu
modifikasi dosis dan waktu pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa
darah pasien (Baxter, 2010).
40. Interaksi obat antara glimepirid dengan KSR/KCl pada peresepan terdapat 3
kasus. Interaksi antara kedua obat ini termaksud dalam kategori signifikansi
klinis minor atau tidak signifikan. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi
farmakodinamik yaitu sinergisme. Mekanismenya yaitu KSR meningkatkan
glimepirid sehingga menimbulkan risiko terjadinya hipoglikemi (Chelmow et
al, 2014). Managemen yang dilakukan yaitu modifikasi dosis dan waktu
pemberian obat serta pemantauan kadar glukosa darah pasien (Baxter, 2010).
41. Interaksi obat antara glimepirid dengan simvastatin pada peresepan terdapat 2
kasus. Menurut Tatro (2007), interaksi antara glimepirid dan simvastatin
termaksud dalam kategori signifikansi klinis 5. Interaksi antara kedua obat ini
memiliki onset yang lambat, tingkat keparahan interaksi minor, dan
dokumentasi interaksi obat kemungkinan tidak terjadi (unlikely). Interaksi
antara gilmepirid dan simvastatin termaksud dalam interaksi obat
farmakokinetik pada proses metabolisme (Galani and Vyas, 2010).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
110
Mekanisme dari interaksi kedua obat ini yaitu simvastatin meningkatkan
konsentrasi glimepirid sehingga dapat menimbulkan terjadinya efek
hipoglikemia (Tatro, 2007). Glimepirid di dalam tubuh dimetabolisme oleh
enzim CYP2C9, sedangkan simvastatin merupakan inhibitor dari enzim
CYP2C9. Simvastatin sebagai inhibitor enzim CYP2C9 akan menghambat
metabolisme glimepirid sehingga konsentrasi glimepirid meningkat di dalam
tubuh dan menimbulkan terjadinya efek hipoglikemia (Galani and Vyas,
2010) dan (Lacy, 2012).
Terjadinya efek hipoglikemia disebabkan oleh adanya peningkatan
pelepasan insulin di dalam tubuh, kurangnya konsumsi karbohidrat, dan
olahraga fisik yang terlalu berlebihan (Katzung, 2013). Managemen yang
dilakukan yaitu adanya monitoring terhadap kadar glukosa darah untuk
mewaspadai terjadinya efek hipoglikemia yang disebabkan oleh peningkatan
efek glimepirid dan adanya penyesuaian dosis glimepirid dan simvastatin
(Tatro, 2007).
42. Interaksi obat antara eclid (acarbose) dengan KCL/KSR pada peresepan
terdapat 1 kasus. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi farmakodinamik
yaitu sinergisme dan termaksud dalam kategori signifikansi klinis minor atau
tidak signifikan. Kalium klorida meningkatkan efek dari eclid sehingga dapat
menyebabkan
efek
hipoglikemia.
Interaksi
terutama
terlihat
dalam
pengobatan hipokalemia (Chelmow et al, 2014). Managemen yang dilakukan
adalah monitoring kadar glukosa darah pasien dan penyesuaian dosis antara
eclid dengan kalium klorida (Lacy, 2012).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
111
43. Interaksi obat antara clopidogrel dengan simvastatin pada peresepan terdapat
1 kasus. Interaksi kedua obat ini termaksud kategori signifikansi klinis 5.
Interaksi antara clopidogrel dengan simvastatin memiliki onset yang lambat,
tingkat keparahan moderat dan tingkat dokumentasi interaksi obat
kemungkinan tidak terjadi (unlikely). Interaksi yang terjadi merupakan
interaksi farmakokinetik pada proses metabolisme.
Mekanismenya yaitu simvastatin menghambat konversi clopidogrel
menjadi bentuk aktifnya. Interaksi antara kedua obat ini bisa menyebabkan
rabdomiolisis. Clopidogrel merupakan inactive prodrug yang dimetabolisme
untuk menjadi metabolit yang aktif oleh isoenzim sitokrom P450, CYP2C19
dan CYP3A4. Beberapa golongan statin seperti simvastatin pada prinsipnya
dimetabolisme oleh CYP3A4, sehingga memungkinkan simvastatin dapat
menghambat aktivitas dari clopidogrel. Managemenya yaitu adanya
penyesuian dosis dan interval waktu pemberian obat (Baxter, 2010) dan
(Chelmow et al, 2014)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang “ Studi Literatur Interaksi Obat Pada
Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013” dapat
disimpulkan beberapa hal berikut ini :
1. Karakteristik pasien gagal ginjal kronik dengan persentase umur tertinggi yaitu
pada kelompok adult sebesar 58,5% (38 pasien). Jenis kelamin terbanyak
adalah laki-laki sebesar 62% (40 orang).
2. Gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik meliputi kelas
terapi obat yang paling banyak digunakan yaitu obat antihipertensi dengan
golongan obat terbanyak yaitu diuretik sebesar 30,9 %. Jumlah obat pada tiap
lembar rekam medik yang paling banyak diresepkan yaitu sebanyak tiga
sampai 4 jenis obat dan lima sampai enam jenis obat tiap lembar rekam medik
dengan persentase sebesar 41,5%. Cara pemberian obat yang paling banyak
diresepkan yaitu secara peroral sebesar 94,2%.
3. Persentase interaksi obat pada persepan pasien gagal ginjal kronik periode
Desember 2013 berdasarkan studi literatur sebesar 82 %.
4. Kategori signifikansi klinis yang paling banyak menurut Chelmow et al (2014)
adalah kategori signifikansi klinis minor sebanyak 79 interaksi obat. Menurut
Tatro (2007), kategori signifikansi klinis yang paling banyak adalah kategori
112
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
113
signifikansi klinis 5 (minor) sebanyak 4 interaksi obat. Menurut Hasten and
Horn (2002), kategori signifikansi klinis yang paling banyak adalah kategori
signifikansi klinis ketiga sebanyak 5 interaksi obat.
B. Saran
Berdaasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, adapun beberapa saran.
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait analisis kasus interaksi obat
secara prospektif pada pasien disertai wawancara secara terstruktur terkait
terapi yang diberikan oleh dokter pada pasien gagal ginjal kronik
2. Berdasarkan data studi literatur terkait interaksi obat pada peresepan pasien
gagal ginjal kronik, dapat dijadikan pihak RSUD Panembahan Senopati Bantul
sebagai pemetaan dan early warning system terkait interaksi obat yang dapat
membahayakan keadaan pasien.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Daftar pustaka
Ahmad, O.B., Pinto, C.B., Lopez, A.D., Murray, C.J., Lozano,R. and Inoue, M.,
2001, Age Standardization of Rates : A New WHO Standard, World
Health Organization, 8-14.
Albert, P., 2008, Drug-Drug Interaction in Pharmaceutical Development, John
Wiley and Sons, USA, pp. 2.
Aronson, J.K., 2009, Meyler’s Side Effects of Endocrine and Metabolic Drugs,
Elsevier, USA, pp. 452, 539.
Baradero, M., Dairit, W., Siswadi, Y., 2008, Klien Gangguan Ginjal, EGC,
Jakarta, hal. 130-135.
Basit, A., Riaz, M. and Fawwad, R., 2012, Glimepiride : evidence-based facts,
trends, and observations, Dovepress, 405.
Baxter, K., 2010, Stockley’s Drug Interactions, Ninth edition, Pharmaceutical
Press, China, pp. 623-650, 1125-1150.
Bettega, D., 2005, Kajian Pola Peresepan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Ditinjau dari Dosis, Interaksi, Efek Samping dan Kontraindikasi Obat di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta, Skripsi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Black, H.R., and Elliot, W.J., 2007, Hypertension : A Companion to
Braundwald’s Heart Disease, Elsevier’s Health Sciences, Canada, pp.3941.
Black and Hawks, 2005, Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcomes, 7 th ed., Elsivier Saunders, Missouri, pp.245.
Brophy, K.M., Ferguson, HS., Webber, K.S., Abrams, A.C., and Lammon, C.B.,
2010, Clinical Drug Therapy for Canadian Practice, Lippincott, Williams
and Wilkins, USA, 433-434.
Chelmow, D., Geibel, J., Grimm, L., Harris, J.E., Maron, D.J., Meyers,A.D., et
al.,
Drug
Interaction
Cherker,
Medscape,
http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker, diakses pada
tanggal 1 Juni 2014.
Chisholm, A., Wells, B., Schwinghammer, L., Malone, M., Kolesar,M.,
Rotschafer, C., Dipiro, J., 2008, Pharmacotherapy Principles & Practice,
McGraw-Hill Companies, USA, pp. 357.
Corwin, E., 2009, Buku Saku Patofisiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, hal. 680-682.
Davey, P., 2006, Medicine At a Glance, Erlangga, Jakarta, pp. 258.
114
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
115
Dharmeizar, 2012, Epidemiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik,
PERNEFTRI, Yogyakarta, hal. 5-8.
Diantary, 2007, Evaluasi Penggunaan ACE Inhibitor pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta, Jurnal Farmasi Indonesia, 3 (4),
189-190.
Dinesh, K.U., Subish, P., Pranaya, M., Shankar, P.R., Anil, S.K. and Durga, B.,
2007, Pattern of Potential Drug-Drug Interactions in Diabetic Outpatients
in a Tertiary Care Teaching Hospital in Nepal, Med J Malaysia, 296-297.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G. and Posey, L.M.,
2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th ed., McGrawHill Companies, USA, pp. 858-862
Fink, Taylor, Greer, MacDonald, Rossini, Sadiq, Lankireddy, Kane, Wilt., 2012,
Chronic Kidney Disease Stages 1–3: Screening, Monitoring, and
Treatment, AHRQ Publication, United States of America, pp. 6-9.
Fujita, Y., Tamada, D., Kozawa, J., Kobayashi, Y., Sasaki, S., Kitamura, T., et al.,
2012, Successful Treatment of Reactive Hypoglycemia Secondary to Late
Dumping Syndrome Using Miglitol, Internal Medicine, 2581-2582.
Galany, V.J., and Vyas, M., 2010, In Vivo and In Vitro Drug Interactions Study of
Glimepiride with Atorvastatin and Rosuvastatin, J Young Pharm, 196-198.
Gunawan, M., 2002, Kajian Penggunaan Obat pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
nonhemodialisis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta Tahun 2000-2001: Pola Peresepan, Evaluasi Kontraindikasi,
dan Penyesuaian Dosis, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Hacker, M., Bachman, K., and Messer, W., 2009, Pharmacology Principles and
Practice, Elsevier Inc, USA, pp.304,305.
Hansten, P.D. and Horn, J.R., 2002, Managing Clinically Important Drug
Interactions, Facts and Comparisons, USA, pp.1-3, 50, 78-80, 395-400.
Hasnuddin, M., 2012, A Study On Drug-Drug Interaction Between Peridopril and
Glimepiride in Rats, Dissertation, Rajiv Gandhi University of Health
Sciences, Kartanaka, Bangalore, 11-12.
Huether, S.E., and McCance, K.L., 2008, Understanding Phatophysiology, 4th
edition, Mosby Inc an affiliate of Elsevier Inc, China, pp. 588-590.
Ignatavicius and Workman, 2009, Medical Surgical Nursing: Critical Thinking
for collaborative care, 5 th ed., Elsevier Saunnder, Missouri, pp.281.
Ikawati, Z., Djumiani, S., dan Putu, D., 2008, Kajian Keamanan Pemakaian Obat
Antihipertensi di Poliklinik Usia Lanjut Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit
dr. Sardjito, Majalah Ilmu Kefarmasian, 5 (3), 157.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
116
Inzucchi, S., Bergenstal, R.M., Buse, J.B., Diamant, M., Ferrannini, E., Nauck,
M., et al., 2012, Management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes : A
Patient-Centered Approach, Position Statement of the American Diabetes
Association (ADA) and the European Association for the Study of Diabetes
(EASD), 1-2.
Izzo, J.L., Sica, D.A., and Black, H.R., 2008, Hypertension Primer : The
Essentials of High Blodd Pressure : Basic Science, Population Science,
and Clinical Management, 4th edition, Lippincott Williams and Wilkins,
pp.144-145.
Kaka, 2001, Pola Peresepan Obat pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengna
Hemodialisis di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
Tahun 2000, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Kamaluddin dan Rahayu, 2009, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kepatuhan Asupan Cairan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan
Hemodialisis di RSUD Prof. Dr. Margono. Soekarjo Purwokerto, Jurnal
Keperawatan Soedirman, 4(1), 20.
Kapadia, J., Thakor, D., Desai, C. and Dikshit, R.K., 2013, A Study of Potential
Drug-Drug Interactions in Indoor Patients of Medicine Department at a
Tertiary Care Hospital, Journal of Applied Pharmaceutical Science vol.3,
1-3.
Katzung, B.G., 2013, Basic and Clinical Pharmacology, 10 th Edition,
diterjemahkan oleh Nugroho, A.W., Rendy, L. dan Dwijayanthi, L.,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal. 187-281.
Kurnia, Y., 2007, Interaksi Obat Yang Penting Di Klinik, Meditek., 15 (39), 20-29
Lacy,C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2012, Drug
Information Handbook, American Pharmacist Association, Lexicomp,
pp.805-806.
Lacobellis, G., 2006, Drug-Drug Interaction in the Metabolic Syndrome, Nova
Sciences Publishers, New York, pp. 1-2.
Levin, A., Hemmelgarn, B., Culleton, B., Tobe, S., McFarlane, P., Ruzicka, M.,
Burns, K., Manns, B, White, C, Madore, F., Moist, L., Klarenbach, S.,
Barrett, B, Foley, R, Jindal, K., Senior, P., Pannu, N., Shurraw, S, Akbari,
A., Cohn, A., Reslerova, M., Deved, V., Mendelssohn, D., Nesrallah, G.,
Kappel, J., Tonelli, M., 2008. Guidelines for the management of chronic
kidney disease. CMAJ. 179(11), 1154-1162.
Madhu, T., and Sreedevi, A., 2013, A Studi of Socio Demographic Profile of
Geriatric Population is the Field Practice Area of Kurnool Medical
Cholage, Int J Res Dev Health, pp.69-71.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
117
Mahdiana, R., 2011, Panduan Kesehatan Jantung & Ginjal, Citra Medical,
Yogyakarta, hal. 19-30.
Milner, Q., 2004, Pathophysiology of chronic renal failure, British Journal of
Anesthesia, 3(5), 123-124.
Mittal, P., and Juyal, V., 2012, Drug-dietary interaction potential of garlic on
glimepiride treated type 2 diabetic Wistar rats, Journal of Diabetology, 12.
Moyazani, A. and Raymon, L., 2012, Handbook of Drug Interaction, Second
Edition, Humana Press, USA, pp. 35-40.
Munif, A. and Imron, M., 2010, Metodelogi Penelitian Bidang Kesehatan, Sagung
Seto, Jakarta, hal. 107.
Nah, Y.K., 2007, Interaksi Obat yang Penting Dalam Klinik, Meditek, 24.
Nidhi, S., 2012, Concept of Drug Interaction, International Research Journal of
Pharmacy, 1-3.
NKUDIC, 2010, Kidney and Urologic Disease Statistic for the United States,
http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/kustats/.D,
diakses
pada
tanggal 5 Agustus 2014.
Notoadmodjo, S., 2010, Metodelogi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta,
Jakarta, hal.27-28.
Nurachmah, E., dan Angriani, R., 2010, Dasar-Dasar Anatomi dan Fisiologi,
Penerbit Saleba Medika, Jakarta, hal. 225.
Nurchayati, S., 2010, Analisa Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup
Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Rumah
Sakit Islam Fatmawati Cilacap dan RSUD Banyumas, Tesis, 45,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Pearle, T., and Monica, P., 2007, Ginjal Si Penyaring Ajaib, Indonesia Publishing
House, Bandung, hal.19-21.
Peradnyani, N., 2006, Studi Pustaka Interaksi Obat dengan Obat pada Pasien
Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2002, Skripsi, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta
Persatuan Nefrologi Indonesia, 2012, Persatuan Nefrologi Indonesia tahun 2013,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Porth, M.C., and Matfin, G., 2009, Pathophysiology : Concepts of Altered Health
States, 8th edition, Wolters Kluwer Health, Lipincott Wiliams and Wilkins,
Philadelphia, pp.431-432.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
118
Price, A., dan Wilson, M., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
EGC, Jakarta, hal. 944-965.
Raut, A. and Sonar, C., 2013, Clinically Significant Drug-Drug Interactions And
Their Association With Polypharmacy In Elderly Patients, Journal of
Advanced Scientific Research, 6.
Riset Kesehatan Dasar, 2013, Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Rojas, P., Sanchez, L., Santos, A., Gomez, M.P., Blanco, H., and Laguna , J. J.,
2013, Hypersensitivity to Repaglinide, J Investig Allergol Clin Immunol,
245-247.
RSUD Bantul, 2015, Data Perekapan Kunjungan Pasien, RSUD Panembahan
Senopati Bantul, Yogyakarta.
Setiadi, 2007, Anatomi dan Fisiologi Manusia, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal: 117.
Sexton, J., Nickless, G. and Green, C., 2006, Pharmaceutical Care Made Easy,
Pharmaceutical Press, London, pp. 2-3.
Sheeja, V.S., Reddy, M.H., Joseph, J., 2010, Insulin Therapy In Diabetes
Management, International Journal of Pharmaceutical Sciences Review
and Research, 98.
Silverthorn, D., 2014, Fisiologi Manusia: Sebuah Pendekatan Terintegrasi, EGC,
Jakarta, hal. 652-653.
Sjamsiah, S., 2005, Farmakoterapi Gagal Ginjal, Penerbit Universitas Airlangga,
Surabaya, hal. 37-38.
Soenarso, E.H., 2004, Aspek Klinis Gagal Ginjal Kronis, Media Kartika., 2(1),
42.
Soeparman, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, EGC, Jakarta, hal.25.
Sohewardi, S., Chogtu, B. and Faizal, P., 2012, Surveilance of The Potential
Drug-Drug Interactions in the Medicine Department of a Tertiary Care
Hospital, Journal of Clinical and Diagnostic Research, 1258-1260.
Sudoyo, A.W., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Jakarta, hal. 55.
Suwitra, K., 2006, Penyakit Ginjal Kronik : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 4 th
ed., Pusat Penerbitan Departemen dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, hal.581-582.
Syaifuddin, H., 2011, Anatomi Fisiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, hal. 447-448.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
119
Syamsir, A., dan Hadibroto, I., 2007, Gagal Ginjal: Informasi Lengkap untuk
Penderita dan Keluarga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, pp. 8-9.
Syamsudin, 2011, Interaksi Obat Konsep Dasar dan Klinis, Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Pres), Jakarta, pp. 1-12, 36-65, 69-77.
Tatro, D.S., 2007, Drug Interaction Facts, Wolters Kluwer Health, United States
of America, pp. 13-14, 761-770, 1005-1015.
Triplitt, C., 2006, Drug Interactions of Mediactions Commonly Used in Diabetes,
Diabetes Spectrum Journals, 202.
Wiffen, P., Mitchell, M., Snelling, M., and Stoner, N., 2007, Oxford Handbook of
Clinical Pharmacy, First edition, Oxford university press, pp. 247.
Wynn, G.H., Oesterheld, J.R., Cozza, K.L. and Armstrong, S.C., 2009, Clinical
Manual of Drug Interaction Principles for Medical Practice, Wilson
Boulevard, USA, pp. 4.
Zambon, A. and Cusi, K., 2007, The Role of Fenofibrate In Clinical Practice,
Diabetes and Vascular Disease Research, 15-16.
Zhou, H. and Meibohm, B., 2013, Drug-Drug Interactions for Therapeutic
Biologics, Jhon Wiley & Sons, USA, pp. 164-165.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
LAMPIRAN
120
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
121
Lampiran 1. Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
122
Lampiran 2. Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul dari BAPPEDA Bantul
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
123
Lampiran 3. Surat Keterangan Permohonan Ijin Penelitian
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
125
Lampiran 4. Formulir Pengambilan Data Penelitian Peresepan Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013
No
Tanggal
No RM
Pasien
Diagnosa Medik
Terapi Obat yang diberikan
Pengobatan
Data Laboratorium dan data
klinis
Umur
L/P
Obat
Rute
pemberian
Jenis Obat
Regimen
dosis
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
126
Lampiran 5. Daftar nama obat dengan nama dagang dan nama generik
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Nama Generik
Clopidogrel
Irbesartan
Candesartan
Valsartan
Telmisartan
Amlodipin
Nifedipin
Diltiazem
Captopril
Klonidin
Bisoprolol
HCT
Furosemid
ISDN
Digoksin
Simvastatin
Gemfibrosil
Asam Folat
Sulfasferrosus
Eritropoetin Beta
Kalsium Karbonat
Kalsium Asetat
Vitamin B12
Calcium Polystyrene Sulfonat
Kalium Klorida
Mix Insulin Analog
Glikuidon
Glimepirid
Akarbose
Alopurinol
Metoklopramid
Ranitidin
Lansoprazol
Sukralfat
Betahistin Mesilat
Amitriptilin
Parasetamol
Cefixim
Ciprofloxacin
Levofloxacin
Ketoconazole
Ambroxol
OBH
Cetirizin
Betametason
Nama Dagang
Clopidogrel
Irbesartan, Irtan
Candesartan
Valsartan
Micardis
Amlodipin, Amdixal, Intervask
Nifedipin
Diltiazem
Captopril
Klonidin
Bisoprolol
HCT
Furosemid
ISDN
Digoksin
Simvastatin
Gemfibrosil
Anemolat
Hemafort
Recormon
Osteocal
Lenal Ace
Sohobion
Kalitake
KSR
Novomix
Glidiab
Glimepirid
Eclid
Alopurinol
Metoklopramid
Ranitidin
Lansoprazol
Mucogard
Vastigo, Versilon
Amitriptylin
Parasetamol
Cefixim
Ciprofloxacin
Levofloxacin
Ketoconazole
Ambroxol
OBH
Cetirizin
Betametason
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BIOGRAFI PENULIS
Chelsyana Herdyani Nagi merupakan anak pertama
dari pasangan Bapak Kristoforus Nagi dan Ibu Yarit
Lette yang lahir pada tanggal 26 Juli tahun 1993.
Pendidikan dimulai dari Taman Kanak-Kanak St.
Maria Dili pada tahun 1997-1998, kemudian
pendidikan Sekolah Dasar Katolik St. Maria
Asumpta Kupang pada tahun 1999-2005. Penulis
melanjutkan pendidikan SMP di SMPK Kartini
Mataloko pada tahun 2005-2008, kemudian
pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAK
Frateran Ndao Ende pada tahun 2008-2011.
Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan di
Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta.
Selama menjadi mahasiswa penulis mendapat
kesempatan untuk menjalankan Program Pengabdian
kepada Masyarakat yang didanai DIKTI, serta aktif
dalam kegiatan seperti menjadi Panitia Desa Mitra,
Pharmacy Days, Sumpahan Apoteker, Kampanye
Informasi Obat, dan Panitia Paskah.
127
Download