Birokrat Belum Mampu Wujudkan Revolusi Mental

advertisement
Sua­ra Pem­ba­ru­an
Utama
Jumat, 21 Oktober 2016
3
Birokrat Belum Mampu Wujudkan Revolusi Mental
[YOGYAKARTA] Birokrasi yang
menjadi garda terdepan pelayanan
publik belum mampu mewujudkan
Gerakan Revolusi Mental yang
dicanangkan pemerintahan Presiden
Joko Widodo (Jokowi). Masih
maraknya praktik pungli dan korupsi
menunjukkan reformasi birokrasi
sebagai wujud revolusi mental
belum berjalan dengan baik.
Hal itu dikatakan pengamat
hukum tata negara dari Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta (UGM)
Zainal Arifin Mochtar kepada SP
di Jakarta, Kamis (20/1). Dikatakan,
persoalan pungli yang dilakukan
aparat negara menandakan bahwa
kebijakan hukum terkait birokrasi
belum mampu memotong rantai
korupsi.
Zainal mengatakan, praktik
pungli jangan dilihat dari jumlah
uang yang disetorkan kepada aparat
negara, tetapi kepada niat untuk
menyogok dan penyuburan tindak
korupsi. “Uangnya memang kecil,
sekilas sepele, tetapi ini menunjukkan betapa rusaknya kinerja
birokrasi, baik di pusat maupun
daerah,” ujarnya.
Dikatakan, perlu upaya yang
masif untuk memotong rantai pungli
tersebut. Sebab, seberapa pun jumlah uang pungli tersebut sudah
masuk kategori gratifikasi. Di sisi
lain, persoalan pungli tidak hanya
melibatkan aparatur negara, tetapi
juga pemberi. Warga negara yang
memberikan uang pungli perlu
mendapat perhatian agar persoalan
ini bisa dituntaskan.
Direktur Center For Budget
Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi
mengatakan, Tim Sapu Bersih
(Saber) Pungli yang dibentuk
pemerintah tidak akan berjalan
efektif jika kapasitas dan pengawasan yang diterapkan sangat minim.
Menurutnya, satu-satunya cara
efektif dalam memberangus pungli
adalah dengan menyederhanakan
birokrasi.
Artinya, untuk mengurus segala
sesuatu cukup satu meja yang dilalui,
terutama yang terkait dengan perizinan. Selanjutnya, mendorong
peyelesaian perizinan yang bisa
selesai dengan hitungan jam, bukan
harian.
“Tim Saber Pungli yang akan
dibentuk oleh pemerintah tidak akan
efektif jika kewenangannya tidak
besar. Bandingkan saja dengan
KPK, yang mempunyai Kewenangan
luas dan besar. KPK tidak mampu
untuk pemberantasan korupsi.
Apalagi, Tim Saber tidak memiliki
payung hukum apa pun,” kata
Uchok.
Menurutnya, pemerintah
seharusnya sudah sejak lama bisa
memahami persoalan pungli yang
sudah berlangsung sejak puluhan
tahun lalu dan hingga kini sudah
mendarah daging di tengah-tengah
kehidupan masyarakat.
Dikatakan pula, fungsi inspektorat pengawasan di masing-masing
institusi tidak berjalan dengan baik.
Hal itu sebagian besar disebabkan
oleh minimnya kapasitas individu
dalam pengawasan itu. Belum lagi
dengan masih adanya orang-orang
inspektorat “buangan” dari instansi
lain yang becokol di tempatnya,
yang justru kembali menyemarakkan praktik pungli.
Sekretaris Kabinet Pramono
Anung mengatakan, hari ini, Jumat
(21/10), Presiden Jokowi akan
menerbitkan Peraturan Presiden
(Perpres) yang menjadi payung
hukum bagi pembentukan Tim Saber
Pungli. “Sekarang, instrumennya
sudah dipersiapkan secara resmi.
Mudah-mudahan, besok (Jumat,
Red) akan diumumkan oleh Menko
Polhukam,” kata Pramono.
Dikatakan, Menko Polhukam
Wiranto ditugaskan Presiden Jokowi
sebagai penanggungjawab sekaligus
pemegang komando Tim Saber
Pungli. Pembentukan Tim Saber
Pungli merupakan bagian dari
kebijakan pemerintah mereformasi
bidang hukum. Tim ini terdiri atas
Kepolisian, Kejaksaan Agung, serta
Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi.
Bangun Sistem
Dosen Filsafat Sekolah Tinggi
Filsafat Ledalero, Flores, NTT Pater
Otto Gusti Madung mengatakan,
salah satu cara mencegah pungli
adalah membangun sistem yang
bisa menciptakan akuntabilitas dan
transparansi dalam pelayanan publik. Menurut Otto, pemberantasan
pungli tidak bisa hanya dengan
gerakan secara terpisah, mendadak,
dan hangat-hangat di awal.
“Pungli sudah mengakar menjadi
budaya sampai birokrat di tingkat
bawah. Untuk memberantasnya
perlu dibangun sistem yang menciptakan mekanisme pelayanan
publik yang transparan dan akuntabel, termasuk sistem sanksi yang
tegas sehingga menimbulkan efek
jera,” ujar Otto.
Salah satu sistem yang bisa
dibangun, ujarnya, adalah pelayanan
publik berbasis teknologi. Menurut
dia, penggunaan Teknologi informasi
(TI) bisa menciptakan sistem transparansi dan akuntabel. “Tetapi, sarana
pendukung lain harus ada, seperti
listrik dan jaringan internet. Masih
banyak daerah yang belum tersentuh
teknologi dan kapasitas aparatur belum
terlalu bisa menggunakan Teknologi.
Ini persoalan juga,” ujarnya.
Budayawan Tommy F Awuy
mengatakan, pungli yang terjadi
saat ini sebenarnya bukan hal yang
mengejutkan dan merupakan sebuah
mental yang terbentuk sejak lama.
“Misalnya, sejak kecil kita sudah
dibiasakan menitip absen masuk
kelas. Itu benih-benih mental
korupsi,” ujarnya.
Menurut Tommy, untuk menghapuskan pungli dan korupsi dibutuhkan waktu yang lama, karena
budaya tersebut juga tertanam sejak
lama. Oleh karena itu, kerja Tim
Saber Pungli harus dilakukan secara
konsisten agar efektif.
Budayawan Radhar Panca
Dahana menambahkan, pungli
merupakan produk kultural yang
telah berlangsung lama dari zaman
kerajaan dan memiliki fungsi
semacam upeti. Namun, saat ini,
pungli mengalami pergeseran fungsi. Pungli kini berfungsi untuk
mendapatkan akses kekuasaan
politik, yang akhirnya juga mengarah ke kekuasaan ekonomi.
“Sekarang ini fungsinya untuk
akses mendapatkan kekuasaan.
Kalau kekuasaan berdasarkan seperti itu, maka kekuasaan akan
menjadi sesuatu yang destruktif.
Memiliki daya rusak,” ujar Radhar.
Pada zaman kerajaan, katanya,
pungli memiliki fungsi semacam
sharing dan berpengaruh ke hubung­
an antarbangsa. Pemberian upeti
kepada kerajaan saat itu juga berfungsi untuk membangun pertahanan
kerajaan tersebut.
Menurut Radhar, untuk menghapus pungli dari Indonesia, aparat
dan para pejabat berwenang harus
mengenali terlebih dulu makna
pungli dan mengerti dasar sosial
kulturalnya. “Dari situ aparat merombak dan membuat acuan untuk
menindak pungli,” katanya.
[FAT/YUS/152/Y-7/C-6]
Presiden Jokowi: Pungli Bukan Hanya Urusan Rp 10.000
[JAKARTA] Praktik pungutan
liar (pungli) bukan persoalan
nominalnya yang besar atau kecil.
Pungli perlu diberantas, karena
telah meresahkan dan membuat
susah masyarakat.
“Sekali lagi, ingin saya tegaskan, yang namanya pungli bukan
soal besar-kecilnya. Keluhan yang
sampai ke saya sudah puluhan ribu
banyaknya. Urusan Rp 10.000,
Rp 50.000, Rp 100.000. Ada juga
yang jutaan rupiah,” kata Presiden
Joko Widodo (Jokowi) di Istana
Negara, Jakarta, Kamis (20/10).
“Melihat keluhan dan informasi yang diberikan kepada saya, ini
persoalan yang harus kita selesaikan.
Jadi, bukan urusan Rp 10.000. Pungli
telah membuat masyarakat kita
susah untuk mengurus sesuatu. Atau,
misalnya, di jalan dicegat dimintai
pungutan. Pada akhirnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan
menurunkan daya saing ekonomi
Indonesia,” katanya.
Menurut Presiden, pungli sudah
berlangsung bertahun-tahun, bahkan sudah dianggap sebagai hal
yang normal. Masyarakat terlalu
permisif terhadap pungli. “Tidak
hanya urusan KTP, sertifikat,
urusan izin-izin, juga urusan yang
ada di jalan raya, urusan yang
berkaitan di pelabuhan, kantor,
instansi, bahkan rumah sakit. Halhal berkaitan dengan pungutan
tidak resmi harus kita bersamasama mulai kurangi dan hilangkan,”
kata Presiden.
Dikatakan, keterpaduaan antara pemerintah pusat dan daerah
dalam memberantas pungli merupakan keniscayaan. Dengan demikian, diharapkan operasi pemberantasan pungli semakin efektif.
Presiden juga menyoroti mengenai
perizinan yang imbasnya ke pungli, sehingga investasi di daerah
menjadi terhambat.
“Saya baru saja bertemu investor. Mereka menghitung, izin
Jokowi.
Ditambahkan, hampir setiap
tempat mengeluarkan izin, seperti saat mengurus dan mendirikan
industri, apalagi yang berskala
besar. “Dinas perindustrian, dinas
perdagangan, dinas kesehatan,
dinas tenaga kerja, ini yang menyebabkan semakin ruwet.
Rekomendasi bisa menjadi kayak
izin. Syarat bisa menjadi kayak
izin. Ini yang harus dihentikan,”
katanya.
sp/joanito de saojoao
Joko Widodo
hampir dua ribu banyaknya.
Lembarannya dua puluh ribu, kalau
diurutkan dari pusat ke daerah.
Kalau seperti ini diteruskan, investor tidak akan tahan, sehingga
indeks daya saing, kemudahan
berusaha, masih jauh sekali,” kata
Konsisten
Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Asman Abnur mengatakan, pihaknya konsisten dalam
menghilangkan praktek pungli
yang kerap terjadi pada layanan
masyarakat. Praktek pungli yang
dilakukan oleh sejumlah oknum
bisa dihilangkan jika terdapat suatu
sistem dengan berbasis teknologi
informasi (TI).
“Praktik pungli sudah lama
terjadi, kadang hilang, kadang
tumbuh lagi. Kalau kita menerapkan seluruh pelayanan publik
dengan berbasis TI, maka praktik
seperti itu bisa dihilangkan,” ujar
Asman. Menurutnya, saat ini
pungli terjadi karena adanya kegiat­
an tatap muka antara masyarakat
dengan penyelenggara layanan.
Jika hal tersebut bisa dikurangi
melalui sistem TI, maka pungli
pun dapat dihilangkan.
Untuk itu, Asman mengaku
tidak pernah berhenti dalam mengimbau seluruh kepala daerah untuk
dapat menerapkam sistem berbasis
TI pada sejumlah layanan publik
di daerah masing-masing. “Tiru
saja sejumlah daerah yang sudah
mencobanya. Tidak usah studi
banding lagi. Silakan contoh daerah yang sudah menerapkan sistem
TI dalam layanan publik, seperti
Surabaya dan Sidoarjo,” tuturnya.
[YUS/C-6]
Download