Sia-sia, Penurunan BI Rate Tanpa Koreksi Stimulus Ekonomi Selasa, 23 Juni 2009 JAKARTA (Suara Karya): Kebijakan terus menurunkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) dinilai sia-sia. Bahkan ini hanya menelan ongkos yang mahal sektor moneter jika dilakukan tanpa adanya koreksi kebijakan fiskal. Demikian dikemukakan ekonom Econit Hendri Saparini dalam percakapan dengan Suara Karya, kemarin. Dia membeberkan sudah sangat lama BI Rate tak lagi jadi benchmark bagi kalangan perbankan. Buktinya, berapapun BI Rate atau seberapa sering BI Rate turun, perbankan hampir tak pernah bereaksi. Dia mengatakan, bank sama sekali tak bisa disalahkan karena mereka senantiasa akan menghitung risiko yang mungkin timbul dari bunga kredit yang diturunkan atau berapa besar kredit yang digelontorkan. "Banyak faktor yang akan mempengaruhi langkah apa yang akan diambil kalangan perbankan. Dari faktor dana saja, mereka saat ini tidak mudah memperoleh likuiditas baru. Jika mereka ingin menerbitkan obligasi, misalnya, mereka harus memberikan imbal hasil (yield) yang kompetitif jika dibandingkan dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah," katanya. Kepemilikan Asing Dari sisi risiko bisnis, bukan rahasia lagi jika fundamental ekonomi saat ini sama sekali tidak mendukung dunia usaha, dalam hal ini pergerakan sektor riil. "Risiko di sektor riil memang masih tinggi, wajar jika akhirnya bunga tak kunjung turun," katanya. Dia mengingatkan, saat ini kepemilikan pemerintah di sejumlah bank semakin kecil. Bukan hanya publik, bahkan pihak asing pun lebih banyak yang menguasai bank nasional. Artinya, mereka akan semakin berhitung tentang risiko. "Jadi percuma saja pemerintah atau siapapun teriak minta bank turunkan bunga jika kondisi yang tak kondusif di dunia usaha tak diperbaiki. Bank tetap akan menghindari risiko sekecil apa pun, " katanya. Dia lalu membeberkan, saat ini memang telah terjadi proses deindustrialisasi. Sektor industri kian melemah. Pemerintah telah gagal meningkatkan permintaan domestik (domestik demand). Hal ini, kata dia, terjadi karena kegagalan pemerintah meluncurkan dan merancang program stimulus fiskal. "Tidak seperti di negara lain, kebijakan stimulus fiskal yang dikeluarkan pemerintah sama sekali tak berhasil menggerakkan roda ekonomi. Pasalnya, sebagian besar dananya digunakan untuk pajak. Sementara untuk pengeluaran langsung, kecil sekali. Berbagai hal ini tentu menjadi pertimbagan tersendiri bagi kalangan perbankan," katanya. Jadi, jika ingin ada reaksi perbankan, jangan hanya menggunakan instrumen ekonomi di satu sisi, yaitu instrumen moneter, tetapi buat juga instrumen sisi fiskal berjalan efektif. "Jika hanya di satu sisi saja seperti ini, hanya moneter saja, ongkosnya akan sangat mahal tanpa membawa dampak yang berarti. Koreksi lagi stimulus fiskal yang menurut saya ada kesalahan dalam waktu dan desainnya," kata dia. Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyatakan, masih ada kemungkinan untuk menurunkan lagi suku bunga BI Rate meski suku bunga acuan itu saat ini berada pada level tujuh persen. Saat ini, meski diperkirakan inflasi pada 2009 akan menurun, BI mewaspadai inflasi yang terjadi di 2010, terutama pada harga komoditas dunia yang tampaknya mulai meningkat. Namun ia menambahkan, saat ini harga komoditas masih aman. Rapat Dewan Gubernur BI memangkas suku bunga BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,00 persen atau terendah sejak diperkenalkan sebagai instrumen moneter pada Agustus 2005. BI sejak Desember 2008-Juni 2009 melakukan pemangkasan suku bunga acuan BI Rate. Total suku bunga acuan BI Rate yang telah dipangkas sejak Desember 2008 hingga Juni 2009 sebesar 250 basis poin atau 2,5 persen. Meski demikian, penurunan suku bunga BI Rate yang agresif tersebut tidak dibarengi respons positif perbankan dalam menurunkan suku bunga. Menurut catatan BI, sejak Desember 2008 hingga April 2009, penurunan BI Rate direspons cepat perbankan dalam menurunkan bunga deposito. Bunga deposito dalam periode itu telah turun 1,71 persen (171 bps). Namun, untuk bunga kredit, rata-rata hanya turun 0,38 persen (38 bps). Bunga kredit modal kerja hanya turun 0,4 persen, bahkan bunga kredit konsumsi justru naik 0,08 persen. BI Rate diperkenalkan sejak Agustus 2005 yang ditetapkan sebesar 7,75 persen. BI Rate tertinggi pernah mencapai 12,75 persen yang terjadi pada periode 6 Desember 2005 hingga 5 April 2006. Instrumen BI Rate diharapkan dapat menjadi acuan suku bunga di pasar. Sehingga, bila BI Rate naik atau turun, maka suku bunga mengikutinya, terutama suku bunga perbankan. Dengan demikian, BI Rate ini dapat menjadi instrumen moneter yang efektif mengarahkan suku bunga. (Nunun)