IMPLEMENTASI BLENDED-COOPERATIVE LEARNING BERBASIS LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 BATU Oleh Ita Lestari Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5, Malang E-mail:[email protected] Pembimbing: (I) Prof. Dra. Herawati Susilo, M.Sc., Ph.D., Pembimbing (II) Avia Riza Dwi Kurnia, S.P., M.Pd. Abstract: Blended-Cooperative Learning (BCL) model is combination of technology and cooperative learning that has the potential to improve critical thinking skills and the results of learning. Learning can be improved through Lesson Study (LS). This study aims to determine the increase of critical thinking skills and the results of Biology learning. The results are LS based BCL can improve critical thinking skills and results of Biology learning. Keywords: blended-cooperative learning, lesson study, critical thinking skills, result of biology learning Abstak: Model Blended-Cooperative Learning (BCL) merupakan penerapan pembelajaran berbasis teknologi informasi dalam bentuk kooperatif yang dapat melatih siswa menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar. Pelaksanaan pembelajaran dipadu dengan Lesson Study (LS) yang berpotensi meningkatkan kualitas pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar Biologi siswa. Hasil penelitian adalah pembelajaran BCL berbasis LS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan dapat meningkatkan hasil belajar Biologi. Kata kunci: blended-cooperative learning, lesson study, kemampuan berpikir kritis, hasil belajar biologi Teknologi informasi dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan guna menunjang pembelajaran dalam bentuk akses literatur, kajian lingkungan dan permasalahan yang berkaitan erat dengan bidang IPA, terutama Biologi. Berdasarkan BSNP (2006:4) pembelajaran IPA (Biologi) dikembangkan melalui kemampuan berpikir analitis, induktif, dan deduktif (kemampuan berpikir kritis) yang diterapkan dengan metode student centered. Faktanya siswa belum terlibat secara aktif dalam pembelajaran, baik fisik maupun mental untuk mencari hubungan antarkonsep dalam pembelajaran Biologi. Kemampuan berpikir siswa belum terasah menuju kemampuan berpikir kritis dan menyebabkan hasil belajar yang rendah. Menurut Ennis (2002: 180-181) kemampuan berpikir kritis meliputi dua belas indikator yang terbagi menjadi lima aspek. Peneliti memilih enam indikator, antara lain (1) memberikan penjelasan sederhana; (2) membangun keterampilan dasar (mempertimbangkan kredibilitas sumber); (3) menyimpulkan; (4) memberikan penjelasan lanjut; dan (5) mengatur strategi dan taktik. Aspek kelima tertuang dalam 1 2 keaktifan siswa, yaitu menentukan tindakan dalam bentuk pengamatan (psikomotorik), dan berinteraksi dengan siswa lain (afektif). Berdasarkan Taksonomi Bloom, hasil belajar meliputi tiga aspek ranah, yaitu (1) kognitif; (2) afektif; dan (3) psikomotorik. Aspek kognitif berkaitan dengan hasil belajar intelektual. Aspek afektif berkenaan dengan perubahan sikap dan nilai. Aspek psikomotorik berkenaan dengan kemampuan motorik. Kemampuan berpikir kritis dapat memantapkan dan mematangkan konsep pembelajaran. Kemantapan dan kematangan konsep dapat mempengaruhi hasil belajar siswa dari aspek kognitif. Fakta yang terjadi yaitu pola pemikiran siswa belum diasah dan diarahkan. Kendala yang tampak antara lain (1) siswa belum dapat memberikan penjelasan sederhana; (2) siswa belum mampu membangun keterampilan dasar; (3) pola pemikiran siswa yang masih terbatas dan bersifat text book sehingga belum dapat menyimpulkan dengan baik dan benar; (4) siswa belum dapat memberikan penjelasan lebih lanjut; dan (5) siswa belum dapat mengatur strategi dan taktik. Dampak berkelanjutan yaitu hasil belajar siswa yang rendah, yaitu 22,6%. Guru bidang studi telah menerapkan kebijakan pemanfaatan teknologi informasi untuk menunjang pembelajaran. Respon siswa sangat baik karena lebih fleksibel daripada buku teks. Kendala yang terjadi yaitu siswa belum diarahkan dan dibimbing dengan baik mengenai pemanfaatan teknologi informasi. Berdasarkan fakta dan kendala tersebut, maka diperlukan inovasi model pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa. Model pembelajaran yang dapat diterapkan yaitu Blended-Cooperative Learning (BCL). BCL merupakan gabungan antara model Blended-Learning dipadu dengan metode Cooperative Learning yang diterapkan dengan metode Think Pair Share (TPS). Menurut Perifanou (2010), BCL merupakan pembelajaran berbasis teknologi yang berkembang sehingga lebih fleksibel dan dapat dipadu dengan beragam metode pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran BCL dilaksanakan dalam bentuk kolaborasi antara on line, off line dan face to face (tatap muka). Tujuan pembelajaran BCL yaitu untuk meningkatkan keaktifan siswa dan melatih serta mengembangkan kemampuan secara bertahap. Kooperatif siswa diterapkan dalam metode TPS termodifikasi. Metode TPS bertujuan mengaktifkan semua siswa dengan menciptakan pola interaksi yang terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap think, pair, dan share. Pola-pola interaksi yang terarah dapat meningkatkan dan mengasah konsentrasi dan kemampuan berpikir siswa secara bertahap. Modifikasi disesuaikan dengan jumlah anggota kelompok. Pembelajaran dilaksanakan dengan berbasis pada Lesson Study (LS). Menurut Susilo (2011:3) LS adalah suatu bentuk usaha untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengembangan keprofesionalan guru. Pembelajaran direncanakan dan dilaksanakan secara berkolaboratif dengan observer. Tugas observer yaitu membantu pengamatan kegiatan siswa tanpa mengganggu kegiatan pembelajaran. Kualitas pembelajaran berkaitan dengan keaktifan siswa. Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu adanya penelitian untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran Blended-Cooperative Learning berbasis Lesson Study untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar biologi siswa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, khususnya peningkatan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa. 3 METODE Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) berbasis LS yang terdiri atas 2 siklus dengan 3 pertemuan setiap siklus. Tahap PTK bergabung dengan LS pada setiap pertemuan. Tahap PTK terdiri atas 4 tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Tahap LS tediri atas 3 tahap, yaitu plan, do dan see. Subjek penelitian adalah siswa kelas X-2 SMA Negeri 2 Batu yang berjumlah 31 orang siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi, dokumentasi proses pembelajaran, hasil LKS, dan hasil ulangan harian. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang terdiri atas paparan data, pembahasan, dan penarikan kesimpulan. Instrumen penelitian yang digunakan antara lain (1) LKS untuk mengukur perkembangan kemampuan berpikir kritis siswa; (2) ulangan harian untuk mengukur hasil belajar siswa dan kemampuan berpikir kritis siswa; dan (3) lembar observasi proses pembelajaran untuk mengukur hasil belajar siswa aspek psikomotorik dan afektif. Data diperoleh dari observasi, dokumentasi proses pembelajaran, dan hasil tugas dan tes. Data pada setiap variabel dianalisis dengan cara kualitatif berdasarkan Penilaian Acuan Patokan (PAP) yang ditetapkan oleh sekolah yaitu dengan Kriteria Ketuntasan Klasikal (KKK) sebesar 75% dan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 75. KKM berpikir kritis yaitu 60 karena belum pernah diterapkan. HASIL Kemampuan Berpikir Kritis Kemampuan berpikir kritis siswa diukur melalui hasil LKS yang diterapkan dalam metode TPS yang berperan dalam membentuk pola-pola interaksi. Tahap awal yaitu think, siswa bekerja secara individu. Tahap kedua yaitu pair, dimana siswa bekerja secara kelompok. Tahap ketiga yaitu share yang tertuang dalam bentuk diskusi klasikal. Pola-pola interaksi tersebut berperan dalam melatih dan mengasah kemampuan berpikir siswa. Berdasarkan hasil penelitian pada pelaksanaan pembelajaran BCL berbasis LS dengan menerapkan metode TPS pada siklus I dan siklus II diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan. Persentase dari setiap siklus diperoleh dari rerata 2 pertemuan, yaitu pertemuan ke 1 dan pertemuan ke 2 dengan 2 tipe penugasan yaitu individu dan kelompok. Perbandingan kemampuan berpikir kritis siswa dari siklus I dan siklus II disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Siklus I dan Siklus II Tipe Siklus I (%) Siklus II (%) Peningkatan penugasan (%) Pert. ke 1 Pert. ke 2 Rerata Pert. ke 1 Pert. ke 2 Rerata 22,6 41,9 32,25 71 74,2 72,6 125,1 Individu 25,8 67,7 46,75 74,2 80,6 77,4 65,6 Kelompok 39,5 75 89,9 Rerata klasikal Sangat kurang Cukup Kategori Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa pada siklus I kemampuan berpikir kritis siswa tergolong sangat kurang dan belum dikatakan berhasil. Kemampuan berpikir siswa belum terasah. Pada tahap think, siswa cenderung berdiskusi dengan teman dan menanyakan jawaban kepada guru. Pada tahap pair, diskusi belum berjalan dengan baik. Beberapa siswa sering berdebat, dan siswa lain cenderung mengikuti pendapat teman. Pada tahap share, diskusi klasikal belum berjalan dengan baik dan lancar. Siswa 4 lebih senang menjadi peserta pasif, hanya beberapa orang siswa yang aktif menyajikan hasil LKS. Pada siklus II terjadi peningkatan menjadi kategori cukup dan tepat pada batas KKK yaitu 75%. Berdasarkan pengamatan, keaktifan siswa mengalami peningkatan. Tahap think mulai berjalan dengan baik. Siswa sudah menyiapkan tugas dari rumah dengan baik. Tahap pair mengalami peningkatan. Diskusi berjalan dengan baik dan lancar. Siswa sudah mengkoordinir kelompok dengan cara membagi tugas untuk setiap anggota. Tahap share mengalami peningkatan. Siswa mulai aktif untuk mempresentasikan hasil LKS. Hasil Belajar Siswa Hasil belajar meliputi 3 ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aspek kognitif diukur melalui hasil ulangan harian setiap siklus. Aspek afektif diukur melalui observasi kegiatan diskusi siswa dalam kelompok. Aspek psikomotorik diukur melalui observasi kegiatan pengamatan terhadap bahan. Aspek afektif dan psikomotorik tertuang dari kegiatan pembelajaran pada tahap TPS. Peningkatan kemampuan berpikir kritis secara tidak langsung diikuti oleh peningkatan hasil belajar Biologi siswa. Perbandingan hasil belajar dari awal observasi, siklus I dan siklus II disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Kemampuan Hasil Belajar Biologi pada Observasi Awal, Siklus I dan Siklus II Aspek belajar Obervasi Siklus I (%) Siklus II (%) Peningkatan awal (%) Pert. Pert. Rerata Pert. Pert. Rerata (%) ke 1 ke 2 ke 1 ke 2 6,5 77,4 77,4 83,9 83,9 8,3 Kognitif 32,3 12,9 48,4 30,7 58,1 77,4 67,8 120,8 Afektif 32,3 9,7 67,7 38,8 71 77,4 73,8 90,2 Psikomotorik 23,7 49 75,1 53,3 Rerata klasikal Sangat Kurang Cukup Kategori kurang Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa rata-rata ketuntasan klasikal pada observasi awal termasuk kategori sangat kurang dan belum tuntas. Pada siklus I terjadi peningkatan menjadi kategori kurang, namun belum dapat dikatakan tuntas dan berhasil. Aspek kognitif mengalami peningkatan yang baik hingga mencapai KKK. Aspek afektif mengalami penurunan. Hal tersebut karena siswa belum dapat mengkoordinir diskusi kelompok. Siswa cenderung lebih memprioritaskan kepentingan pribadi daripada kelompok. Siswa mengerjakan tugas individu ketika tahap pair. Aspek psikomotorik mengalami peningkatan namun belum maksimal. Siswa kurang peka dan terampil melakukan pengamatan. Pada siklus II terjadi peningkatan menjadi kategori cukup dan dapat dikatakan berhasil karena sudah mencapai KKK yaitu 75%. Aspek kognitif mengalami peningkatan yang baik hingga mencapai 83,9%. Aspek afektif mengalami peningkatan. Diskusi berjalan dengan baik dan lancar. Siswa sudah mengkoordinir kelompok dengan cara membagi tugas untuk setiap anggota. Aspek psikomotorik mengalami peningkatan. Siswa mulai aktif dan terampil melakukan pengamatan untuk menunjang pemahaman terhadap materi dan menyelesaikan LKS baik secara individu maupun kelompok. 5 Persentase Klasikal PEMBAHASAN BCL Berbasis LS untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus I secara klasikal sebesar 39,5% dengan kategori sangat kurang dan belum dapat dikatakan tuntas dan berhasil. Rendahnya ketuntasan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu ketidakhadiran siswa, dan kinerja siswa yang rendah. Kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus II secara klasikal mengalami peningkatan sebesar 89,9% menjadi 75% dengan kategori cukup. Persentase tersebut merupakan batas ketuntasan klasikal. Peningkatan belum menunjukkan hasil yang memuaskan sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan skala yang lebih luas agar terjadi peningkatan yang lebih memuaskan. Siswa sudah berlatih pada siklus I, sehingga mulai terbiasa dan terlatih. Kejelian dan ketelitian siswa mulai tumbuh sehingga hasil LKS mengalami peningkatan. Keberhasilan tampak dari peningkatan hasil LKS secara individu dengan kelompok. Kemampuan berpikir kritis secara individu mengalami peningkatan sebesar 125,1% menjadi 72,6%. Kemampuan berpikir kritis secara kelompok mengalami peningkatan sebesar 65,6% menjadi 77,4%. Perbandingan kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus I dan siklus II disajikan pada Gambar 1. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 77.4 72.6 65.6 46.75 39.5 32.25 Individu Kelompok Rerata Siklus I Siklus II Tipe Penugasan Gambar 1. Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa secara Individu dan Kelompok pada Siklus I dan Siklus II Pembelajaran diterapkan dengan model BCL berbasis LS melalui metode kooperatif TPS. Pembelajaran BCL memadukan teknologi informasi yang diterapkan dalam bentuk kooperatif. Arianto (2010) menyatakan bahwa BCL berperan dalam mengoptimalkan proses belajar peserta didik untuk bekerja sama dan memacu peserta didik untuk meningkatkan kemampuan berpikir. Model pembelajaran BCL memanfaatkan media informasi dari situs web site untuk mencari literatur. Keragaman literatur menimbulkan konflik kognitif pada diri siswa, sehingga siswa terpacu untuk berpikir dan mengkritisi materi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kirby (2006:7) yang menyatakan bahwa semakin banyak input, semakin dalam pula proses analisis sehingga semakin mengasah kemampuan berpikir. Hasil analisis dan kajian dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan dengan memberikan penjelasan lebih lanjut yang terperinci dan jelas. Cooperative tertuang dalam metode pembelajaran TPS termofikasi. Metode TPS merupakan metode pembelajaran yang dapat mengaktifkan semua siswa dengan menciptaka pola interaksi siswa secara bertahap. Pola-pola interaksi yang terarah dapat meningkatkan dan 6 mengasah konsentrasi dan kemampuan berpikir siswa. Metode TPS belum pernah diterapkan pada pembelajaran, sehingga penerapan metode tersebut dapat memberikan variasi dalam pembelajaran. Metode pembelajaran TPS terdiri atas 3 tahap, yaitu tahap think, pair dan share. Tahap think mengkondisikan siswa untuk dapat bekerja sendiri. Tahap think berperan dalam melatih kemampuan berpikir kritis secara individu. Tahap pair mengkondisikan siswa untuk bekerja berpasangan dan berkelompok. Masing-masing anggota menyumbangkan pemikiran kemudian menganalisis bersama. Kerja sama antarsiswa menciptakan kondisi salingketergantungan positif, dan dapat mengasah kejelian dan ketelitian dalam menganalisis secara kolaboratif. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Achmad (2007) yaitu berpikir kritis dapat ditumbuhkan melalui kinerja kelompok. Pembentukan kelompok dapat mengaktifkan siswa, memotivasi siswa untuk berpikir. Siswa dapat berdiskusi, memberikan pendapat, saran, maupun menyanggah. Semakin banyak masukan, maka analisis semakin terasah sehingga hasil dapat semakin baik. Pernyataan serupa disampaikan oleh Perifanou (2010). Pembelajaran BCL dapat meningkatkan keaktivan siswa dan melatih serta mengembangkan kemampuan secara bertahap. Kemampuan yang dikembangkan antara lain kemampuan sosial, kognitif, metakognitif, dan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan sosial diterapkan dalam bentuk diskusi kelompok untuk bekerja sama menyelesaikan permasalahan. Kemampuan kognitif dan metakognitif diterapkan melalui pengasahan soal dan kerja sama dalam diskusi. Kemampuan berpikir kritis ditumbuhkan melalui pembelajaran kolaboratif dalam bentuk kelompok, yaitu melalui diskusi, mengklarifikasi dan mengevaluasi ideide. Tahap share memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan pendapat di depan kelas untuk didiskusikan secara klasikal. Pembelajaran diterapkan berbasis LS. LS diterapkan dalam bentuk kolaboratif dengan observer secara berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, terutama aktifitas siswa. LS terdiri atas 3 tahap, yaitu tahap plan, do dan see. Tahap LS dilaksanakan pada setiap pertemuan. Tahap plan berperan dalam perbaikan RPP untuk pelaksanaan pembelajaran. Tahap do, observer berperan membantu guru mengamati kegiatan siswa. Tahap see, tim secara kolaboratif menganalisis pembelajaran. Hasil analisis digunakan untuk perbaikan pembelajaran. Berdasarkan penjabaran tersebut, maka penerapan BCL berbasis LS berperan dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa belum signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain (1) siswa belum terampil dalam kegiatan untuk mengasah kemampuan berpikir kritis; dan (2) ketidakhadiran siswa. Ketidakhadiran menyebabkan siswa tidak mendapatkan nilai LKS secara individu dan kelompok, dan nilai proses meluputi afektif dan psikomotorik. Pelaksanaan pembelajaran tidak selalu berjalan dengan lancar dan baik, terjadi beberapa hambatan antara dalam pembelajaran Blended. Hambatan pertama, siswa masih cenderung mencari literatur yang mudah didapatkan yang umumnya berupa blog dan wikipedia karena lebih mudah diakses. Hambatan kedua, keleluasaan untuk mengup load materi dan LKS pada situs web sekolah. Hambata ketiga, keleluasaan jaringan internet yang kurang stabil sehingga kerap mengganggu proses akses. 7 Persentase Klasikal BCL Berbasis LS untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Hasil belajar siswa yang diukur mencangkup 3 aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Berdasarkan data observasi awal dan analisis data diketahui bahwa rata-rata ketuntasan hasil belajar Biologi siswa secara klasikal sebesar 23,7% dengan kategori sangat kurang dan belum tuntas. Hasil belajar pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 49% dengan kategori kurang dan belum dapat dikatakan tuntas dan berhasil. Hasil belajar siklus II mengalami peningkatan sebesar 75,1% dengan kategori cukup. Berdasarkan rata-rata tersebut dapat dikatakan bahwa siklus II sudah mencapai KKK. Hasil belajar aspek kognitif mengalami peningkatan sebesar 8,3% menjadi 83,8% sehingga dapat dikatakan hasil belajar aspek kognitif mencapai ketuntasan secara klasikal. Pada siklus II terjadi peningkatan kinerja aspek afektif sebesar 120,8% menjadi 67,8%. Kinerja aspek psikomotorik juga mengalami peningkatan sebesar 90,2% menjadi 73,8%. Penilaian afektif dan psikomotorik didasarkan pada kriteria dan kehadiran siswa. Hasil belajar aspek afektif dan psikomotorik rendah karena banyaknya siswa yang tidak hadir dan belum terpenuhinya kriteria penilaian. Perbandingan hasil belajar pada siklus I dan siklus II disajikan pada Gambar 2. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 83.8 77.4 73.875.1 67.8 49 Kognitif 38.8 30.7 Afektif Psikomotorik Rerata Siklus I Siklus II Aspek Belajar Gambar 2. Perbandingan Hasil Belajar pada Siklus I dan Siklus II Menurut Watson (2009) pembelajaran BCL memberikan keleluasaan kepada siswa untuk mencari literatur dari media informasi. BCL memadukan tiga jenis interaksi yang meliputi interaksi sosial, interaksi muatan, dan interaksi guru. Interaksi sosial terlaksana melalui kegiatan kooperatif siswa dalam bentuk diskusi kelompok dan pengamatan bersama. Interaksi sosial meliputi aspek afektif melalui diskusi kelompok dan aspek psikomotorik melalui pengamatan terhadap bahan. Interaksi muatan meliputi aspek kognitif siswa. Interaksi guru melibatkan guru sebagai pembimbing dalam pembelajaran tatap muka. Alur peningkatan hasil belajar melalui penerapan model pembelajaran BCL terpadu dengan metode pembelajaran TPS.Tahap think mengkondisikan siswa untuk bekerja sendiri, menganalisis dan melakukan pengamatan secara individual. Pembelajaran BCL di kelas memanfaatkan akses internet untuk untuk mengakses tambahan bahan materi, kajian lingkungan, ataupun permasalahan. Hasil literatur siswa dapat memperkaya khasanah pengetahuan siswa dalam upaya memantapkan konsep siswa dari aspek kognitif. Hasil tahap think berperan dalam pemantapan konsep siswa berdasarkan pemikiran sendiri. Tahap pair mengkondisikan siswa untuk berinteraksi dengan teman dalam bentuk kelompok. Kegiatan diskusi berperan dalam mengasah kejelian, ketelian, kepekaan dan kemampuan menganalisis secara kolaboratif untuk menghasilkan konsep 8 yang matang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Poedjadi (2005: 129) yang menyatakan bahwa konsep yang dimiliki sebelumnya pada diri seseorang tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah padahal harus diselesaikan. Kemudian terjadilah konflik kognitif dan menghasilkan pengetahuan yang dibentuk dalam proses konstruktivisme melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek afektif mengalami peningkatan seiring berlatihnya siswa untuk berdiskusi dengan kelompoknya. Pada siklus II siswa sudah terlatih sehingga kerjasama dan pengelolaan kelompok mulai berjalan dengan baik. Aspek psikomotorik terlatih seiring dengan terasahnya kejelian dan ketelitian siswa. Kinerja kelompok dapat menciptakan saling ketergantungan dan saling mengingatkan satu sama lain. Ketiga aspek tersebut saling terkait satu sama lain untuk menghasilkan pemantapan konsep untuk meningkatkan pemahaman siswa dan memperkuat ingatan siswa. Peningkatan hasil belajar aspek kognitif secara tidak langsung mengikuti peningkatan kemampuan berpikir kritis. Tahap share memberikan kesempatan kapada seluruh siswa untuk dapat menyampaikan pendapatnya berdasarkan pemahaman dari konsep yang telah dibangun pada tahap think dan pair. Penjabaran tersebut sesuai dengan pernyataan Bath (2007) yang menjelaskan bahwa akses informasi dapat mensukseskan pembelajaran ditinjau dari 3 aspek, yaitu (1) kinerja guru; (2) peningkatan hasil kognitif siswa; dan (3) mengajarkan kepekaan terhadap lingkungan sosial. Kinerja guru berupa kinerja guru dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Peningkatan hasil kognitif siswa dibangun secara bertahap dari kegiatan pembelajaran. Kepekaan terhadap lingkungan sosial diperoleh melalui kajian literatur yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan. Pembelajaran berbasis LS tampak dari perbaikan kualitas pembelajaran, terutama pada aspek afektif dan psikomotorik. Peningkatan aspek kognitif secara tidak langsung juga mengikuti peningkatan aspek afektif dan psikomotorik. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian ada dua. Hasil pertama yaitu pembelajaran BCL berbasis LS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Penerapan model BCL berbasis LS yang diterapkan dalam metode TPS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Blended learning memberikan kesempatan siswa untuk mencari literatur sebanyak mungkin terkait dengan permasalahan. Metode TPS secara bertahap dimulai dari berpikir secara individu kemudian berdiskusi untuk memberikan masukan dapat melatih siswa untuk dapat berpikir dan mengkritisi materi dan permasalahan. Kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus I secara klasikal sebesar 39,5% dan pada siklus II sebesar 75%. Penelitian dapat dikatakan berhasil karena sudah mencapai KKK. Pembelajaran BCL berbasis LS dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penerapan model BCL berbasis LS yang diterapkan dalam metode TPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa yang diukur mencangkup 3 aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. Kajian literatur, pengamatan, dan kinerja secara bertahap dapat meningkatkan kemantapan dan kematangan teori siswa. Ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal pada siklus I sebesar 49% dan pada siklus II sebesar 75,1%. Penelitian dapat dikatakan berhasil karena sudah mencapai KKK. Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis LS perlu dibiasakan dan diterapkan pada pembelajaran Biologi dan bidang ilmu lain untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis serta hasil belajar siswa. Metode TPS baik diterapkan agar pembelajaran lebih bervariasi dan dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan nyaman sehingga siswa dapat meningkatkan konsentrasi dan keaktifan siswa. TPS juga berperan guna mengasah kemampuan berpikir siswa untuk menganalisis dan mengkritisi permasalahan, serta dapat meningkatkan keaktifan siswa. Bagi peneliti lanjutan, penelitian serupa perlu dicobakan lebih lanjut pada skala yang lebih luas, dapat diterapkan dengan Quosi eksperimen. DAFTAR RUJUKAN Achmad, A. 2007. Memahami Berpikir Kritis, (online) (http//helm.student.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_38.pdf), diakses pada 12 April 2013. Arianto, N.T. 2010. Seminar Laporan Hibah Pengajaran Program Hibah Kompetisi Berbasis Institusi Universitas Airlangga 2010, (Online) (web.unair.ac.id/.../f_34835_SEMINAR-LAPORAN-HibahPengajaran-2010), diakses pada 19 Maret 2013. Bath, D dan J. Bourke. 2010. Getting Started With Blended Learning. Griffith institude for higher education, 20 (2), (online) (www.griffith.edu.au/gihe), diakses pada 5 April 2013. Ennis, R.H. 2002. Critical Thinking Assessment, (online) (http//www3.qcc.cuny.edu/.../Ennis%20Critical%20Thinking%20Assessment), diakses pada 12 Maret 2012. Kirby, G.R. dan F F.R.G. 2006. Thinking Fourth Edition. New Jersey: Pearson Prentise Hall. Perifanou, M. 2010. Collaborative Blended Learning Methodology (CBLM). Web Quest for HRM, II (1), (online) (http//www.adameurope.eu/…398/prd/3/2/Collaborative%20...), diakses pada tanggal 18 Mei 2013. Poedjiadi, A. 2004. Sains Teknologi Masyarakat. Bandung: Remaja Rosdakarya. Susilo, H., Husnul C, Ridwan J, Jumiati, Yuyun D.S, Sunarjo. 2011. Lesson Study Berbasis Sekolah. Guru Konservatif Menuju Guru Inovatif. Malang: Bayumedia Publishing. Tim Penyusun BSNP. 2006. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdikbud. Watson, J. 2009. Blending Learning:The Convergence of Online and Face-to-Face Education. Nacol. North America council for online learning, 18 (1), (online), (http://www.nacoleducation), diakses pada 14 April 2012. 1