PERSEPSI DAN ATRIBUSI MASYARAKAT TERHADAP PEMILIHAN AHOK MENJADI WAKIL GUBERNUR DKI JAKARTA Makalah Diajukan untuk Melengkapi Nilai Mata Kuliah Psikologi Sosial Semester Tiga Ravinder Kaur 2012 71 075 JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ESA UNGGUL JAKARTA 2013 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan izin dan kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ’’ Persepsi dan Atribusi Masyarakat Terhadap Pemlihan Ahok Sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta” tepat pada waktunya. Tugas ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Sosial. Dan juga penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Ibu Safitri sebagai dosen Psikologi Sosial. 2. Orangtua yang selalu ada di hati penulis, terima kasih atas kesetiaanmu serta nasihat dan motivasi yang telah diberikan. 3. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu yang turut membantu kelancaran dalam penyusunan makalah ini. Penulis membuka diri untuk kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah. Kritik dan saran dapat dikirimkan ke salah satu email penulis: [email protected] Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat. Jakarta, Januari 2014 Penulis Ravinder Kaur BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Orang akan berpikir dua kali sebelum meneriaki seseorang dengan kata-kata, “Cina lu!”. Sebab ungkapan seperti itu lebih terdengar sebagai makian dari pada pujian. Kata “Cina” masih memilki konotasi negatif dari pada positif. Begitu buruknya kata “Cina” sampai-sampai orang-orang keturunan Cina sendiri lebih suka menyebut diri mereka “ Chinese” atau “Keturunan Tionghoa” daripada “Orang Cina”. Bahkan bisa-bisa mereka tersinggung jika disebut sebagai “Orang Cina”. Kata “Cina” selalu diasosiasikan dengan ras kulit kuning yang bermata sipit, komunitas eksklusif, pelit serta percaya tahyul. “Cina” juga sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang “bukan kita”. Cina sudah bukan lagi masalah genetik, tetapi sudah berkembang menjadi kata sifat yang bermakna negatif. Mereka dianggap sebagai suku bangsa lain yang mengeruk kekayaan Indonesia untuk keuntungan mereka. Sesuatu yang membuat orang-orang “Pribumi” mudah iri terhadap orang-orang “Cina”, sehingga orang-orang yang merasa “Indonesia Asli” bisa menjadi amat diskriminatif dan represif terhadap mereka. Puncaknya, adalah peristiwa Mei 1998, dimana toko-toko milik orang-orang Cina dijarah dan para wanitanya, konon banyak yang diperkosa. Ditengah pandangan masyarakat yang masih seperti tersebut diatas, memasang Ahok sebagai calon wakil gubenur adalah sebuah keputusan politik yang sangat berani. Menjual Ahok untuk menarik simpati publik adalah sebuah perhitungan politik yang melawan arus. Tetapi apa yang terjadi?, justru pasangan Jokowi-Ahok meraih suara terbanyak dalam acara pesta coblosan kemarin. Terlepas dari figur Jokowi yang memang kuat, figur Ahok yang “Cina” terbukti bukan menjadi “masalah”. Ini menandakan bahwa pandangan orang-orang Jakarta telah berubah, bukan saja terhadap kata “Cina”, tetapi juga terhadap kata-kata “Putra Daerah”. 1.2. Rumusan Masalah Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai beberapa masalah mengenai perlunya Persepsi dan Atribusi Masyarakat Terhadap Pemilihan Ahok Menjadi Wakil Gubernur Jakarta. 1. Apa itu persepsi dan atribusi? 2. “ Cina” dimata masyarakat 3. Dampak persepsi masyarakat terhadap pemilihan Ahok 1.3. Tujuan Peneliti Dalam makalah ini penulis mempuyai beberapa tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menjelaskan pengertian dari persepsi dan atribusi 2. Menjelaskan pandangan masyarakat kepada “Cina” 3. Menjelaskan dampak persepsi masyarakat terhadap pemilhan Ahok 1.4. Kerangka Teori Secara umum, persepsi sosial adalah aktivitas mempersepsikan ornag lain dan apa yang membuat mereka dikenali. Melalui persepsi sosial, kita berusaha mencari tahu dan mengerti orang lain. Sebagai bidang kajian, persepsi sosial adalah studi terhadap bagaiamana orang membentuk kesan dan membuat kesimpulan tentang orang lain (Taiford, 2008). Teoriteori dan penelitian persepsi sosial berurusan dengan kodrat, penyebab-penyebab, dan konsekuensi dari persepsi terhadap satuan-satuan sosial, seperti diri sendiri, individu lain, kategori-kategori sosial, dan kumpulan atau kelompok tempat seseorang tergabung atau kelompok lainnya. Persepsi sosial juga merujuk pada bagaimana orang mengerti dan mengategorisasi dunia. Seperti persepsi lainnya, persepsi sosial merupakan sebuah konstruksi. Sebagai hasil konstruksi, pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dari persepsi sosial tidak selalu sesuai dengan kenyataannya. Menurut Myers (1996) kecenderungan memberikan atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu (ada sifat ilmuan dalam manusia), temasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain. Fritz Heider yang terkenal sebagai tokoh psikologi atribusi, dasar untuk mencari penjelasan mengenai perilaku orang adalah akal sehat. TEORI-TEORI ATRIBUSI 1. Correspondent infrence theory (teori penyimpulan terkait) Teori ini difokuskan pada orang yang dipersepsikan. Teori ini sendiri dikembangkan oleh Edwards E. Jones dan Keith Davis (1965).Menurut teori ini, perilaku merupakan sumber informasi yang kaya. Dengan demikian, apabila kita mengamati perilaku orang lain dengan cermat, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan. 2. Casual analysis theory (Teori Analisis Kasual) Teori ini merupakan teori atribusi yang lebih terkenal. Dasarnya adalah tetap commonsense (akal sehat) dan berfokus pada atribusi internal dan eksternal. Teori ini dikembangkan oleh Harold H. Kelley. Teori Analisis Kasual menyebutkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menetapkan apakah suatu perilaku beratribusi internal atau eksternal. a. Kosensus Apakah susatu perilaku cenderung dilakukan oleh semua orang pada situasi yang sama? Makin banyak yang melakukannnya, makin tinggi kosensus; makin sedikit yang melakukannya, makin rendah kosensus. b. Konsistensi Apakah perilaku yang bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama dimasa lalu dalam kondisi yang sama? Jika iya, berarti konsistensinya tinggi; jika tidak maka konsistensinya rendah c. Distingsi dan kekhasan Apakah pelaku yang bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama di masa lalu dan situasi yang berbeda –beda? Jika iya, maka distingsinya tinggi; kalau tidak, naka distingsinya rendah. Meurut Kelley, bila ketiga hal tersebut tinggi maka orang akan melakukan atribusi kausalitas tinggi. Misalnya, ibu marah kepada tukan sayur keliling, begitu pula ibu – ibu lain di kompleks (berarti kosensus tinggi). 1.4. Sumber Data Data yang digunakan oleh penulis dalam membuat makalah ini adalah menggunakan data sekunder dimana data di ambil dari hasil mengumpulkan data-data dari buku dan browsing di internet. 1.5. Metode dan Teknik Makalah ini menggunakan Metode Kajian Pustaka. 1.6. Sistematika Penulisan Makalah ini bersis 3 bab. Bab I Pendahuluan yang berisi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Sumber Data, Metode dan Teknik, Sistematika Penulisan. Bab II Pembahasan yang berisi: Persepsi dan Atribusi, “Cina” dimata masyarakat, Persepsi Masyarakat Terhadap Pemilhan Ahok Bab III yang berisi: Simpulan dan Saran Daftar Pustaka BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Persepsi sosial dan Atribusi Dalam psikologi, persepsi secara umum merupakan proses perolehan, penafsiran, pemilihan, dan pengaturan informasi indrawi. Persepsi sosial dapat diartikan sebagai proses perolehan, penafsiran, pemilihan, dan pengaturan informasi indrawi tentang orang lain. Apa yang diperoleh, ditafsirkan, dipilih, dan diatur adalah informasi indrawi dari lingkungan sosial serta yang menjadi fokusnya adalah orang lain. Isi dari persepsi bisa berupa apa saja. Atribut-atribut individual dapat mencakup kepribadian, sifat-sifat, disposisi tingkah laku, karakteristik fisik, dan kemampuan menilai. Atribut-atribut kelompok dapat mencakup properti-properti seperti ukuran, kelekatan, sifatsifat budaya, pola stratifikasi, pola-pola jaringan, legitimasi, dan unsur-unsur sejarah. Akan tetapi, ruang lingkup persepsi sosial biasanya ditekankan pada sisi mikro, terarah kepada penyimpulan individual berkaitan dengan karakteristiknya sendiri atau karakteristik individu lain. Lebih khusus lagi, dengan persepsi sosial kita berusaha 1. Mengetahui apa yang dipikirkan, dipercaya, dirasakan, diniatkan, dikehendaki, dan didambakan orang lain; 2. Membaca apa yang ada di dalam diri orang lain berdasarkan ekspresi wajah, tekanan suara, gerak-gerik tubuh, kata-kata, dan tingkah laku mereka; 3. Menyesuaikan tindakan sendiri dengan keberadaan orang lain berdasarkan pengetahuan dan pembacaan terhadap orang tersebut. PERSEPSI SOSIAL SEBAGAI PROSES Persepsi sosial merupakan proses yang berlangsung pada diri kita untuk mengetahui dan mengevaluasi orang lain. Dengan proses itu, kita memebentuk kesan tentang orang lain. Kesan yang kita bentuk didasarkan pada informasi yang tersedia di lingkungan, sikap kita terdahulu tentang rangsang-rangsang yang relevan, dan mood kita saat ini. Proses persepsi sosial dimulai dari pengenalan terhadap tanda-tanda nonverbal atau tingkah laku nonverbal ynag ditampilkan orang lain. Tanda-tanda nonverbal ini merupakan informasi yang diajadikan bahan untuk mengenali dan mengerti orang lain secara lebih jauh. Dari informasi-informasi nonverbal, kita membuat penyimpulan-penyimpulan tentang apa kira-kira yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Kemudian, ungkapan-unkapan verbal melengkapi penyimpulan-penyimpulan dari tanda-tanda nonverbal. Dengan menggunakan informasi-informasi dari tingkah laku nonverbal dan verbal, kita membentuk kesan-kesan tentang orang lain. Kita bisa mendapat kesan apakah orang lain yang kita temui ramah, baik hati, judes, pelit, pemarah, pintar, dan sebagainya. Kesan-kesan itu tidak kita kenali secara sendiri-sendiri, melainkan kita perbandinngkan satu sama lain untuk mendapatkan kesan yang lebih menyeluruh tentang orang lain . Asch (1946) menunjukkan bahwa orang melakukan persepsi terhadap sifat-sifat dalam hubungannya satu sama lain, sehingga sifat-sifat itu dipahami sebagai bgian yang terintegrasi dengan kepribadian orang yang memilikinya. Sekali kita membentuk kesan tentang orang lain, kita cenderung tidak suka mengubahnya bahkan jika kita menemukan fakta yang bertentangan dengan kesan itu. Pemebentukan kesan didasari oleh kegiatan atribusi. Dalam proses persepsi sosial, atribusi amerupakan langkah awal dari pembentukan kesan. Istilah atribusi secara umum merujuk pada proses menegenali penyebab dari tingkah laku orang lain dan sekaligus memperoleh penegatahuan tentang sifat-sifat serta disposisi-disposisi yang menetap pada orang lain (Heider, 1958; Jones & Davis, 1965; Kelley, 1972; Graham & Folkes, 1990; Read & Miller, 1998). Manusia memang tidak hanya melakukan tindakan persepsi terhadap objek. Tetapi manusia juga melakukan proses persepsi mengenai orang atau orang – orang lain. Persepsi tentang orang (person perception) kadang juga disebut persepsi social. Tujuannya adalah untuk memahami orang dan orang – orang lain (Sarlito 1997). Menurut Rahmat (2003) ada empat perbedaan anatara persepsi obyek dan persepsi tentang orang (persepsi interpersonal): 1. Persepsi obyek, stimuli dianggap sebagai panca indra melalui benda – benda fisik : gelombang cahaya, gelombang suara, temperatur. Sedangkan persepsi tentang orang, stimuli sampai kepada kita melalui lambang – lambang verbal atau grafis yang disampaikan pada pihak ke tiga. 2. Persepsi tentang orang jauh lebih sulit daripada persepsi objek. Pada persepsi objek, kita hanya menaggapi sifat - sifat luar objek tersebut. Namun, pada persepsi tentang orang, kita mencoba memahami apa yang tidak ditangkap oleh alat indra kita. Kita coba memahami bukan saja perilaku orang, tetapi motiv atau mengapa orang berperilaku. 3. Persepsi obyek, obyek tidak bereaksi kepada kita. Kita tidak memberikan reaksi emosional terhadap objek. Namun, ketika melakukan persepsi kepada orang lain, berbagai factor telibat seperti faktor – faktor personal kita, karakteristik orang lain yang dipersepsi maupun hubungan antara kita dengan orang tersebut. 4. Objek relative tetap, tapi orang cenderung berubah –ubah. Waber (1992) menyebut istilah inferensi sosial. Inferensi sosial berarti mengerti apa yang kita pelajari tentang orang atau orang lain. Inferensi sosial kita umumnya datang dari empat sumber. Yaitu: 1) Informasi sosial tentang oranglain: manusia adalah makhluk yang selalu membutuhkan informasi tentang orang lain yang berada disekitar dirinya. Contohnya saja saat anda menemui seseorang yang sedang lari dengan membawa buku. Pasti anda akan menanyakan padanya, “kenapa anda terburu-buru? Ada masalah kah?” 2) Penampilan: apakah memang benar penampilan bisa dijadikan dasar dalam menilai seseorang? Tidak bisa dipungkiri, penampilan fisik merupakan hal yang pertama kali diperhatikan saat kita bertemu dan bertatap muka dengan seseorang. Penampilah fisik seseorang kita juga bisa memperoleh data – data social yang penting tentang dirinya. Misalnya saja, apa yang ada dalam pikiran anda saat melihat seorang laki – laki berpakaian rapih, berkemeja licin yang dimasukan kedalam celananya? Pasti akan muncul pemikiran atau penilaian bahwa laki-laki itu adalah seorang pejabat, orang sibuk, atau orang yang memang selalu berada di lingkungan perusahaan. 3) Petunjuk nonverbal: a. Eksperi wajah, ekspresi wajah seseorang memegang peranan penting dalam interaksi dengan sesama. Petunjuk wajah di anggap merupakan sumber persepsi yang dapat di andalkan. b. Kontak mata, menunjukan seberapa intim kita dengan lawan bicara. Saat interaksi dengan orang yang tidak kita kenal biasanya kita akan menghindari kontak mata yang terlalu sering dengan mereka. Sebaliknya, kalau sedang berinteraksi dengan orang yang amat kita senangi kontak mata akan dilakukan sesering mungkin. c. Gerakan tubuh (gesture), yang kita lakukan memiliki makna atau arti tersendiri. Gerakan di sini bisa berupa gerakan tangan, lengan, maupun kepala. Beberapa gerakan memiliki arti tertentu. Misalnya, jari tangan( telunjuk dan jari tengah) yang memiliki huruf V menunjukan tanda damai atau kemenangan (victory). d. Suara, yang kita keluarkan bisa memberikan pengaruh besar dalam menunjukan emosi dan perasaan. e. Tindakan, dalam membentuk persepsi interpersonal, manusia sering kali memfokuskan diri atau memberi perhatian pada bagaimana cara seseorang bertindak terhadap orang lain. 4) implikasi tindakan – tindakan orang lain Impression integration Bagaimanakah mengintegerasikan berbagai kesan dan makna yang berbeda terhadap seseorang? Ada beberapa strategi untuk mengintegrasikan kesan – kesan itu: 1.) Evaluasi Keputusan yang paling penting yang kita buat tentang orang lain adalah apakah kita menyukai atau tidak menyukainya. Melalui kebaikan dan keburukan seseorang ini berarti suatu evaluasi yang kita berikan kepada orang lain. 2.) Averaging Saat kesan terhadap seseorang itu bercampur (misalnya ada yang kita senangi, kita benci, ada yang kita ragukan, dan lainnya), apakah satu sama lain bisa saling mengisi? Penelitian menyebutkan bahwa kesan yangberlawanan bisa saling bersatu melalui proses pukul rata (process of averaging). Secara spesifik, kualitas yang berbeda pada setiap individu tidak hanya dievaluasi (dinilai mana yang baik dan mana yang buruk, positif atau negatif), tetapi juga memberi bobot (mana yang lebih penting, dan mana yang kurang penting). 3.) Consistency Konsistensi berarti suatu kesan yang kita miliki tentang seseorang, menentukan kesan lain yang kita peroleh tentang orang itu. Misalnya, apabila informasi awal yang kita peroleh tentang seseorang kita nilai positif atau baik maka kesan berikutnya tentang orang itu juga akan dinilai dengan baik secara konsisten. Halo effect adalah salah satu kencenderungan prinsip konsistensi dalam pembentukan kesan. 4.) Positivity Beberapa penilitian menunjukkan, manusia cenderung untuk melihat orang lain dalam hal yang positif. Bias positif ini merupakan perpanjangan dari keinginan manusia untuk memperoleh pengalaman yang selalu baik. Atribusi Untuk mempermudah penjelasan tentang atribusi, marilah kita simak contoh kasus berikut: Bayangkan diri anda suatu waktu baru saja pulang dari berbelanja kebutuhan sehari – hari di supermarket dekat rumah. Saat itu, anda sedang berjalan sendirian menuju rumah dengan tangan yang penuh dengan kantong belanjaan. Tiba – tiba saja dari arah berlawanan, anda di kejutkan dengan sepeda motor yang datang dengan kecepatan tinggi. Sepeda motor itu semakin mendekati anda dan hampir menabrak anda. Dengan kedua tangan yang penuh, anda tidak bisa menjaga keseimbangan dan akhirnya terjatuh. Bahkan salah satu kantong belanja anda terjatuh dan isinya berhamburan dijalan. Saat itu, secara reflex, anda bisa saja marah lalu mengejar sepeda motor itu. Tetapi hal itu tidak mungkin karena anda sedang berjalan kaki dan anda juga harus membereskan barang – barang belanjaan anda. Hal yang mungkin anda lakukan adalah menggerutu. Andapun berfikir kenapa pengendara itu melakukan hal tersebut. Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilaku yang tampak (Baron dan Byrne, 1979) Mengapa manusia melakukan atribusi? Menurut Myers (1996) kecenderungan memberikan atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu (ada sifat ilmuan dalam manusia), temasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain. Fritz Heider yang terkenal sebagai tokoh psikologi atribusi, dasar untuk mencari penjelasan mengenai perilaku orang adalah akal sehat. TEORI-TEORI ATRIBUSI 1. Correspondent infrence theory (teori penyimpulan terkait) Teori ini difokuskan pada orang yang dipersepsikan. Teori ini sendiri dikembangkan oleh Edwards E. Jones dan Keith Davis (1965).Menurut teori ini, perilaku merupakan sumber informasi yang kaya. Dengan demikian, apabila kita mengamati perilaku orang lain dengan cermat, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan. 2. Casual analysis theory (Teori Analisis Kasual) Teori ini merupakan teori atribusi yang lebih terkenal. Dasarnya adalah tetap commonsense (akal sehat) dan berfokus pada atribusi internal dan eksternal. Teori ini dikembangkan oleh Harold H. Kelley. Teori Analisis Kasual menyebutkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menetapkan apakah suatu perilaku beratribusi internal atau eksternal. BIAS – BIAS DALAM ATRIBUSI (ATTRUTIONAL BIASES) Dalam menganalisis suatu perilaku tertentu, kita tentunya menemukan beberapa bias atau kesalahan sebagai bentuk lain dari kognisi social. Ada dua jenis bias dalam atribusi: 1. Bias Kognitif (Cognitive Biases) Disini disebutkan bahwa atribusi merupakan suatu proses yang rasional dan logis. Teori atribusi menjelaskan bahwa manusia mengolah informasi dengan cara yang rasional. a. Salience Hal ini membuat kita melihat stimuli sebagai hal yang paling berpengaruh dalam membentuk persepsi. Sesuatu yang bergerak, berwarna atau baru atau apapun yang sering bergerak akan mendapatkan perhatian yang lebih dari pada yang diam atau stabil. b. Memberikan atribusi lebih pada disposisi (overattributing to dispositions) Salah satu konsekuensi dari bias ini adalah kita lebih sering menjelaskan perilaku seseorang melalui disposisinya. Disposisi itu kemudian dianggap sebagai kepribadian dan perilakunya secara umum, sementara situasi disekitarnya tidak bisa kita perhatikan. c. Pelaku vs Pengamat Salah saut hal yang menarik dalam kesalahan atribusi yang mendasar adalah hal itu biasanya terletak pada pengamat dan bukan pelakunya. Para pelaku biasanya justru sering terlalu menekankan pada peran factor eksternal. 2. Bias Motivasi (Motivational Biases) Bias ini muncul dari usaha yang dilakukan manusia untuk memenuhi kepentingan dan motivasi mereka. Seperti dijelaskan sebelumnya, bias kognitif timbul dari anggapan bahwa seolah – olah manusia hanya memiliki satu kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk memperoleh pemahaman yang jelas dan menyeluruh tentang lingkungannya. Sementara dalam kenyataannya, manusia memiliki kebutuhan lain, seperti kasih saying, percaya diri, harga diri, kebutuhan materi, yang sering kali tidak diindahkan. ATRIBUSI TENTANG DIRI (SELF) Banyak pembahasan mengenai atribusi adalah atribusi tentang orang lain. Padahal, manusia juga melakukan atribusi terhadap diri sendiri. Salah satu hal yang menarik dalam teori atribusi adalah orang memiliki persepsi berdasarkan kondisi internalnya sendiri, sama seperti saat mereka memiliki persepsi tentang kondisi orang lain. Sama seperti atribusi tentang orang lain, dalam atribusi tentang diri sendiri kita juga mencari sebab – akibat suatu tindakan yang kita lakukan. Pendekatan ini memberikan pemahaman tentang persepsi diri mengenai sikap, motivasi, dan emosi. 1. Sikap Telah banyak penelitian yang menunjukan bahwa seseorang memiliki sikap sendiri melalui introspeksi, dengan melihat kembali berbagai pemikiran dan perasaannya secara sadar. 2. Motivasi Dalam elemen ini, manusia cenderung mau melakukan sesuatu untuk ganjaran atau imbalan yang tinggi. Ini berarti manusia memiliki atribusi eksternal dalam melakukan suatu hal “saya mau melakukannya karena saya dibayar tinggi untuk itu” sementara melakukan hal yang sama dengan imbalan yang sedikit atau lebih rendah akan membuat manusia memiliki atribusi internal. 3. Emosi Para peneliti mengatakan bahwa pada dasarnya manusia mengenal apa yang didasarkan dengan cara mempertimbangkan atau memahami keadaan psikologi, mental, dan berbagai dorongan eksternal yang menyebabkan hal itu terjadi. Stanly Schacter (1962) pernah melakukan penelitian tentang persepsi diri dengan pendekatan emosional. 2.2 Pandangan masyarakat terhadap “Cina” Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, dikatakan bahwa istilah Cina berasal dari nama dinasti Chin (abad ketiga sebelum Masehi) yang berkuasa di Cina selama lebih dari dua ribu tahun sampai pada tahun 1913. Bencana banjir, kelaparan, dan peperangan memaksa orang-orang bangsa Chin ini merantau ke seluruh dunia. Kira-kira pada abad ke tujuh orang-orang ini mulai masuk ke Indonesia. Pada abad ke sebelas, ratusan ribu bangsa Chin mulai berdiam di kawasan Indonesia, terutama di pesisir timur Sumatra dan di Kalimantan Barat. Bangsa Chin yang merantau dari Cina ini di Indonesia lalu disebut dengan Cina perantauan. Orang-orang Cina perantauan ini mudah bergaul dengan penduduk lokal sehingga mereka bisa diterima dengan baik. Para perantau yang membawa keluarga mereka kemudian membentuk perkampungan yang disebut dengan "Kampung Cina." Di kota-kota dimana terdapat banyak orang Cina bertempat tinggal, kampung ini lalu disebut dengan Pecinan. Orang-orang yang tinggal di Pecinan ini banyak yang menjadi pedagang. Ketika bangsa barat, terutama Belanda dengan perusahaan dagangnya (VOC) memasuki Indonesia dan memonopoli perdagangan di Indonesia, para pedagang dari negeri Chin yang sudah menguasai perdagangan selama beratus-ratus tahun ini bentrok dengan mereka. Akibatnya, VOC dan kemudian pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi berupa hak-hak istimewa kepada bangsa perantau dari Cina ini. Salah satunya adalah mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi daripada warga penduduk asli. Status istimewa ini mengakibatkan warga asli atau penduduk pribumi menjadi tidak suka kepada Cina perantauan ini. Bukan hanya itu, tetapi kolaborasi mereka dengan penjajah Belanda dan praktek dagang yang bercorak koneksi dan kolusi yang merugikan masyarakat pribumi serta perilaku mereka sebagai pemadat dan penjudi membuat orang-orang Cina perantauan ini semakin tidak disukai. Akibatnya, istilah "Cina" menjadi stigma yang berkonotasi jelek yang berpengaruh terhadap semua orang Cina perantauan. Akibat dari stigmatisasi istilah "Cina" itu, banyak orang Cina di Indonesia menggunakan nama lain yaitu Tiongkok yang berasal dari kata "Chung Kuo." Pada tahun 1901 mereka mendirikan sebuah organisasi yang bernama Tiong Hoa Hwee Kwan. Lalu pada tahun 1939 mereka mendirikan Partai Tionghoa Indonesia. Sejak itulah istilah Tionghoa digunakan sebagai padanan dari Cina. Pada jaman Orde Lama, banyak warga keturunan Cina yang dikatakan sebagai pendukung aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada waktu itu pula hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros JakartaPeking. Setelah meletusnya Gerakan 30 September/PKI, rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). Setelah rezim Orde Baru tumbang, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No.14 tahun 1967. Setelah itu masyarakat keturunan Cina bisa menikmati udara bebas untuk merayakan tahun baru Imlek, melakukan atraksi barongsai, liong-liong, dan melakukan berbagai upacara dan perayaan lainnya. Tetapi, surat-surat keputusan lainnya belum dicabut sehingga masyarakat keturunan Cina masih merasakan belenggu diskriminasi. Dalam kehidupan sehari-hari mereka masih mendapatkan perlakuan khusus, misalnya kalau melamar untuk mendapatkan paspor mereka harus menyertakan surat kewarganegaraan. 2.3 Dampak persepsi masyarakat terhadap pemilhan Ahok 19 Juli 2012, KPUD Jakarta mengumumkan hasil Pemilukada tanggal 11 Juli 2012 yang lalu. Hasilnya sebagai berikut: Jokowi – Ahok 42,6 % Foke – Nara 34,05 % Hidayat – Didik 11,7 % Faisal – Biem 4,9 % Alex – Nono 4,67 % Herdardji – Riza 1,97 Tampilnya pasangan Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama atau Jokowi – Ahok sebagai peraih suara paling tinggi cukup mengejutkan bagi penduduk jakarta, karena surveisurvei yang dilakukan sebelum hari pemilihan hanya menempatkan pasangan kotak-kotak itu pada posisi kedua. Padahal, Calon Wakil Gubernur yang diusung PDI Perjuangan dan Gerinda itu beragama Kristen Protestan. Hasil ini menunjukkan, agama Calon Gubernur dan Wakil Gubernur tidak terlalu menjadi persoalan bagi warga Jakarta yang mayoritas Muslim. Mereka sama sekali tak menghiraukan fatwa atau pendapat yang mengharamkan memilih Non-Muslim sebagai pemimpin. Memang sudah seharusnya pemilih Jakarta menunjukkan kelasnya sebagai warga Ibukota yang cerdas, rasional dan tidak emosional, yang menyadari isu agama itu dimunculkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, untuk kepentingan politik sesaat. Menurut kami, memilih pemimpin harus didasarkan kepada kemampuan calon, bukan apa agama calon dan rasnya. Sebab, soal agama adalah urusan pribadi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Apakah Calon rajin sembahyang atau tidak, tekun puasa Ramadhan atau tidak, dan selalu membayar zakat atau tidak, itu semua bukan urusan rakyat untuk mengetahuinya. Ras seorang manusia juga tidaklah bisa manusia yang tentukan. Jadi ras adalah sesuatu yang harus kita terima tanpa seharusnya menjadi masalah. Yang perlu dipertimbangkan saat memilih pemimpin adalah sejauh mana kemampuan pemimpin untuk menghadirkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena itu, yang harus dipilih adalah pemimpin yang adil sehingga kepemimpinannya membawa kemaslahatan (kemanfaatan) bagi rakyat yang dipimpinnya. Sosok Ahok di mata masyarakat Ada seorang ulama di Belitung Timur, kampung halaman Ahok, yang mengatakan, “Pada diri Ahok ditemukan sifat-sifat kenabian, yaitu Shidiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (mampu berkomunikasi) dan Fathonah (cerdas).” Berdasarkan rekam jejak yang dipublikasikan, selama memimpin Belitung Timur, Ahok terkenal sebagai sosok pemimpin yang profesional, jujur, bersih, transparan dan merakyat. Sifat-sifat itu sesuai dengan ajaran Islam. Ahok tak menjaga jarak antara dirinya dengan rakyat. Ia biasa keliling kampung untuk mengetahui persoalan rakyatnya. Ahok juga tidak pernah memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi. Justru yang terjadi, Ahok memotong uang perjalanan dinasnya untuk membantu rakyatnya yang miskin. Perilaku Ahok itu jarang ditemukan pada pemimpin-pemimpin saat ini. Tidak sedikit Gubernur dan Bupati/Walikota yang mendekam di penjara karena terlibat kasus korupsi penggunaan APBD. Tapi tidak termasuk Ahok. Ia sadar bahwa APBD adalah uang rakyat yang harus dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Maka, uang itu haram dimanfaatkan untuk urusan pribadi, seperti untuk memperkaya diri sendiri atau untuk mendanai kampanye pemenangan dalam Pemilukada. BAB III SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan Ras dan agama seseorang tidak cukup membuat kita untuk dapat membuat persepsi ataupun atribusi kita terhadap sesorang. Ini dapat kita pelajari dari Wakil Gubernur Jakarta, Ahok. 3.2 Saran Don’t judge a book by its cover. Kita sering sekali mendengar kalimat tersebut sampai kita lupa kalau sebenarnya itu yang sering kita lakukan terhadap orang lain. Saran dari penulis adalah mari kita sama-sama belajar untuk tidak menilai seseorang hanya dari penampilan atau dari apa yang kita pikirkan karena mungkin saja orang tersebut tidak sesuai dengan persepsi yang telah kita ciptakan.