Hand Out Psikologi Sosial

advertisement
MATA KULIAH PSIKOLOGI SOSIAL
DOSEN : DRS. I MADE MURDIKA, M.Si
Psikologi Sosial
1. Pengertian
Ilmu pengetahuan yang membahas perilaku individu dalam konteks sosial.
Ciri khas Psikologi sebagai ilmu adalah penekanannya yang mendalam pada aspek-aspek psikologis
seperti kognisi, emosi, dan motivasi dalam membahas perilaku manusia.
Floyd Allport (1924) yang pertama kali mengemukakan bahwa analisis Psikologi Sosial harus berfokus
pada individu. Kritikan datang dari eropa: Ada 3 Pokok yang dikritik oleh Farr dan Moscovici (1996),
pertama dengan berfokus pada individu berarti terjadi individualisasi pengertian sosial. Pada saat yang
sama akan terjadi pula desosialisasi individu. Dua fenomena ini mengingkari ciri sifat manusia sebagai
mahluk sosial.
Kedua, penelitian individu dalam laboratorium yang canggih namun hanya menekankan pada aspek
psiko-sosial tertentu dinilai sering lepas dari kontek sosial yang senyatanya. Bila ini terjadi maka
Psikologi Sosial menjadi lebih dekat dengan Biologi. Tidak ada salahnya memang, mengkaji sosio-biologi
namun dalam konteks empiris dinamikanya menjadi lebih kompleks. Dengan demikian dikhawatirkan
kajian tersebut menjadi terlalu sempit. Ketiga, orientasi Psikologi Sosial yang terlalu individualis dinilai
mengingkari kenyataan sejarah.
Pada awalnya Psikologi tumbuh dan berkembang dari ilmu alam (natural science,
naturwissenschaft) dan ilmu sosial humaniora (geisteswissenchaft). Kenyataan rupanya terjadi polarisasi
untuk lebih mengentalkan identitas Psikologi Sosial yaitu dengan cara spesifikasi analisis pada perilaku
individu dalam konteks sosial.
Dengan mempertimbangkan hal diatas maka berkembang memperluas definisi Psikologi Sosial,
maksudnya bahasan Psikologi Sosial tidak sebatas perilaku individu, tetapi unit yang lebih besar. Dalam
konteks hubungan sosial, pembahasan selanjutnya akan dibatasi pada pola interaksi sebagai berikut: (1)
Individu-individu, (2) Individu-kelompok, (3) Kelompok-kelompok.
2. Sejarah Singkat.
Perkembangan Psikologi Sosial dapat dilihat sedikitnya dari 3 indikator, yaitu tokoh, lembaga, dan
publikasi. Tokoh dalam Psikologi Sosial memang lebih banyak yang berasal Psikologi dibanding sosiologi.
Wundt, pada awalnya dikenal sebagai ahli Psikologi dengan penelitiannya terkait dengan fisiologi.
Wundt dikenal sebagai orang pertama yang menerbitkan buku Psikologi dengan judul Grundzuge der
Physiologschen Psychologie tahun 1874. Dan Wundt menerbitkan buku Psikologi Sosial yang pertama
kalinya dengan judul Volkerpsychology yang terdiri dari 10 jilid tahun 1900-1920.
Tahun 1908 tampaknya buku Wundt kurang diperhatikan dengan terbitnya buku An Introduction to
Social Psychology yang ditulis Mc Dougall (1908) yang sering disebut sebagai dokumen yang
menegaskan munculnya Psikologi Sosial. Pada tahun yang sama Ross juga menerbitkan buku dengan
judul Social Psychology: An Outline and Source Book. Buku ini berorientasi pada Sosiologi dibanding
Psikologi. Ini membuktikan bahwa meskipun Psikologi lebih besar pengaruhnya dalam perkembangan
Psikologi Sosial dibandingkan Sosiologi, pengaruh Sosiologi tidak dapat diabagikan.
Tahun 1900an banyak tokoh yang membahas Psikologi Sosial diantaranya Mead, Le Bon, dan Lewin.
Wundt tokoh dari Leipzig yang terkenal dengan laboratorium penelitiannya, Mc Dougall belajar di
Cambridge dan Ross banyak dipengaruhi oleh tradisi prancis, Mead memiliki latar belakang yang
kompleks karena belajar dari banyak tokoh lain seperti Ebbinghaus (Psikologi), Pualsen (Psikologi,
Antropologi, Filsafat dan Pendidikan), dan Dilthey (Filsafat). Latar belakang Mead adalah Eropa namun
pindah ke Universitas Chicago, Amerika Serikat. Disinilah Mead banyak menyampaikan ide-idenya dalam
Psikologi Sosial. Tokoh Psikologi lain yang terkenal pada periode ini; Watson, Freud, Jung,
Munsterberg, Wertheimer, Koffka,Kohler dll. Mereka memberikan kontribusi pada perkembangan
Psikologi Sosial, tetapi tidak langsung seperti tokoh lain yang disebut terdahulu. Dari disiplin lain seperti;
Dewey(filsafat), Malinowski (antropologi sosial), Durkheim (sosiologi), bahkan Darwin tidak bisa
diabaikan peran pemikirannya dalam mempengaruhi perkembangan Psikologi Sosial.
Tahun 1917, Lewin menulis tentang pengalaman Sosial-psikologis tentara yang terlibat perang Duni I
tahun 1920. Mc Dougall menerbitkan The Group Mind yang merupakan volume kedua. Tahun 1924,
Floyd Allport menerbitkan buku Social Psychology. Allport menegaskan bahwa Psikologi Sosial
seharusnya menjadi sains experimental dan perilaku. Dia juga menerangkan fenomena sosial dari sudut
kajian individu bahkan tanpa perlu mengaitkan dengan collective entities seperti lembaga sosial dan
kebudayaan.
Pengaruh kekuasaan Hitler di Jerman dan Eropa mengakibatkan perkembangan Psikologi mengalami
masa sulit, sehingga ilmuwan pindah ke Ingris atau Amerika Serikat. Selama perang dunia ke II
perkembangan Psikologi tidak secepat sebelumnya. Para ahli berpendapat bahwa tokoh dunia yang
paling berpengaruh terhadap Perkembangan Psikologi Sosial adalah Adolf Hitler, bukan sebagai orang
yang langsung berperan tapi tokoh di luar lingkaran akademik. Sesudah PD II terjadi perubahan geografis
yang sangat menonjol bagi pertumbuhan Psikologi Sosial, Eropa sebagai akar dalam pertumbuhan
Psikologi Sosial tidak lagi berperan secara menonjol. Amerika Serikat mengambil alih peran Eropa.
Catatan sebagian fakta tentang itu;
1. Wertherimer berperan besar sebagai ketua Departemen Psikologi pada The New School for Social
Research di New York.
2. Kurt Lewin mendirikan pusat penelitian dinamika kelompok di MIT yang kemudian pindah ke
Universitas Michigan. Pusat penelitian ini sangat terkenal. Penerus Lewin diantaranya adalah
Cartwright. Tahun kemudian Cartwright dan Zander menerbitkan buku yang terkenal dengan judul
Group Dynamic.
3.Heider dengan penelitian disonansi kognitifnya yang terkenal mengembangkan Psikologi di Smith
College dan kemudian Universitas Kansas.
4.Solomon Asch dan Kohler mengembangkan penelitian yang terkenal juga di Swarthmore College.
5.Di Universitas Yale dikembangkan eksperimen dalam bidang komunikasi massa. Tokoh yang terkenal
berperan disana antara lain adalah Stouffer dan Hovland, dengan publikasinya adalahCommunication
and Persuasion.
Periode setelah PD II inidikenal sebagai awal dari munculnya Psikologi Sosial modern. Tahun 1954
dengan terbitnya Handbook of Social Psychology yang diedit oleh Gordon Lindzey disepakati merupakan
awal dari periode Psikologi Sosial Modern. Salah satu bab ditulis oleh G.W. Allport yang membahas latar
belakang sejarah Psikologi Sosial Modern. Dari tulisan tersebut disimpulkan Psikologi Sosial berakar di
Eropa.
3. RELEVANSI PSIKOLOGI SOSIAL SAAT INI.
Kontek sosial dari perilaku manusa tidak terbatas pada hubungan dengan orang lain.
Faktor lingkungan fisik tidak dapat diabaikan peranannya. Yang menambah arti penting Psikologi Sosial
adalah perubahan sosial yang terus berjalan. Manusia sebagai pelaku sekaligus objek perubahan harus
berinteraksi dengan perubahan tersebut. Kemiskinan, Tanggung Jawab Sosial,dan Masalah keluarga
adalah tiga contoh peran Psikologi Sosial bagi masyarakat Indonesia dewasa ini.
a. KEMISKINAN
Dekade delapan puluhan adalah dekade kesadaran masyarakat Indonesia akan masalah
kemiskinan. Sampai sekarang masih ada jutaan manusia Indonesia yang hidup miskin. Teori Psikologi
Sosial cendrung sejalan dengan pemikiran anthropolog Oscar Lewis tentang kemiskinan struktural.
Bahwa kemiskinan berkaitan erat dengan faktor psikologis seperti malas dan kurang kreatif. Banyak
pemikiran Psikologi Sosial yang menempatkan pentingnya pemberdayaan manusia agar mereka dapat
lepas dari kemiskinan.Diantaranya teori equity dari Adams. Pemikiran yang terakhir ini menyebutkan
bahwa distribusi yang adil akan membawa manusia pada perasaan diperlakukan adil yang selanjutnya
akan membawa mereka pada upaya untuk terus berkarya dan produktif karena mereka sadar akan
mendapat imbalan sebanding dengan usahanya. Kemiskinan tidak dapat dipahami dari nilai absolutnya.
Orang yang secara ekonomi telah tercukupi kebutuhan pokoknya tidak berarti dia dapat menilai dirinya
sebagai berkecukupan. Orang akan selalu melakukan perbandingan dengan orang lain.Hal ini ditegaskan
oleh Leon Festinger dengan teori Perbandingan Sosial.
Kesenjangan sosial akan membawa orang yang kekayaannya sedikit, meski tidak miskin lagi, merasa
miskin. Apabila mereka berpikir bahwa kekurang berhasilannya itu disebabkan karena diperlakukan
tidak adil seperti dalam konsep equity, maka terjadi deprivasi relatif. Konsep deprivasi relatif seperti ini
telah berhasil menjelaskan munculnya fenomena kerusuhan sosial. Tentu saja ini bukan satu-satunya
teori yang dapat menjelaskan terjadinya kerusuhan sosial. Teori Identitas Sosial, Kategori Sosial dan
Nilai-nilai Sosial dapat pula menjelaskannya (Faturochman,1993).
Dalam Teori Agresi dikenal konsep etologi, konsep ini menjelaskan bahwa akan terjadi agresivitas bila
sumber kehidupan seseorang diambil alih oleh orang lain. Apabila beberapa konsep ini disatukan maka
akan jelas bahwa potensi terjadinya kerusuhan cukup besar bila kemiskinan absolut maupun relatif
masih ada.
b. TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Akhir-akhir ini sering disinyalir bahwa solidaritas sosial telah terkikis. Keengganan untuk menolong
orang lain dapat terjadi karena dorongan untuk menolong berkurang, Proses menolong yang semakin
sulit, dan akibat dari menolong tidak selamanya positif. Situasi dunia yang makin kompetitif
melemahkan dorongan untuk menolong. Orang yang menolong korban penganiayaan bisa menanggung
risiko yang besar seperti disakiti dan diancam.
Psikologi Sosial tidak hanya menganalisis untuk memahami fenomena,tetapi juga mengemukakan
berbagai alternatif untuk meningkatkan tanggung jawab sosial terutama dalam hal perilaku menolong.
Teknik-teknik mempengaruhi orang lain dapat diterapkan untuk mencari pertolongan. Selama ini teknik
tersebut banyak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bersifat selfish,
c. MASALAH KELUARGA
Dibeberapa negara maju ada perubahan yang cukup drastis dalam keluarga sebagai institusi.
Pernikahan tidak lagi dianggap satu-satunya yang cara untuk membentuk sebuah keluarga. Rasionalitas
telah menjadi dasar dalam menjalin hubungan antar anggota keluarga. Karenanya, seolah-olah
kehangatan dalam keluarga tidak cukup kuat. Di Indonesia masalahnya tidak seperti dinegara maju.
Perubahan yang terjadi cendrung searah dengan yang sekarang terjadi dinegara maju. Gejala yang
muncul adalah makin berkurangnya peran keluarga luas (extended family) dan pola hubungan
menyempit sebatas pada keluarga inti. Teori Ketertarikan dan Teori Cinta dapat menjelaskan gejala
diatas. Konsep-konsep ketertarikan dan teori segitiga cinta dari Stemberg dapat diterapkan dalam
membina pola hubungan keluarga besar. Tentu saja upaya seperti itu tidak mudah karena asumsiasumsi pada kedua konsep tersebut terbatas untuk pola hubungan dyadic. Untuk memudahkan kedua
konsep tersebut dilakukan dengan menambah Teori Dinamika Kelompok dalam penerapannya. Salah
satu keunggulan Psikologi Sosial dalam menganalisis gejala yang ada adalah kemampuannya
menjelaskan dinamika kelompok.
II. PERSEPSI DIRI
Secara prinsip,proses persepsi sosial dan persepsi diri tidak ada perbedaan. Perbedaan yang
mendasar antara keduanya adalah karena pada persepsi diri subyek dan obyeknya sama. Darley Bem
(dalam Manstead dan Hewstone,1996; Shaw dan Costanzo, 1982), perbedaan mendasar antara persepsi
diri dengan persepsi sosial disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya;
1. Perbedaan dalam diri dengan luar diri seseorang. Ada kecendrungan bahwa suatu kesalahan bagi
pelaku disebabkan karena faktor di luar dirinya, sedangkan bagi orang lain suatu kesalahan
disebabkan lebih oleh faktor pelaku itu sendiri.
2.Perbedaan karena kenal dengan tidak kenal. Didalam persepsi diri, orang yang bersangkutan
lebih tahu banyak tentang dirinya dibandingkan orang lain, terutama berkaitan dengan masalah
waktu. Orang lain pada umumnya mengetahui seseorang dalam jangka waktu tertentu.
Sebaliknya, bagi yang bersangkutan segala sesuatu yang terjadi pada orang lain diketahui
sebatas waktu kejadian, atau sepenggal-sepenggal.
3.Perbedaan antara diri dengan orang lain. Bagi pelaku, suatu keberhasilan dianggapnya sebagai
cerminan dari self-esteem, sedangkan bagi orang lain hal itu sering dianggap sebagai usaha untuk
menutupi kelemahannya.
4.Perbedaan sebagai pelaku dan pengamat. Dalam kehidupan sehari-hari pasti ada perbedaan
pandangan antara orang yang mengalami dengan orang lain yang mengamatinya. Subjektivitas pada
pelaku maupun pengamat sama-sama berperan dalam melakukan penilaian.
Ketika melakukan proses persepsi diri, maka seseorang bertindak sebagai aktor sekaligus pelaku. Ini
berbeda dengan persepsi sosial yang membedakan aktor dan pelaku. Dengan demikian semakin
kelihatan bahwa ditinjau dari proses fisiologis persepsi, keduanya tidak berbeda, tetapi sampai pada
impresi dan atribusi akan kelihatan perbedaan pada keduanya cukup menonjol.
Persepsi diri bermanfaat bagi seseorang dalam usaha untuk menempatkan diri dalam dalam
berhubungan dengan orang lain. Secara garis besar untuk mendapatkan gambaran tentang diri sendiri
ditempuh dengan dua cara. Pertama dengan jalan mengamati langsung perilaku dirinya, dan kedua
dengan cara mempersepsi bagaimana persepsi orang lain tentang dirinya.
1. EVALUASI DIRI
Tujuan yang lebih mendasar dari persepsi diri adalah dalam rangka menilai diri sendiri. Evaluasi diri
akan menjadi sulit tanpa adanya pembanding, dalam hal ini orang lain. Teori Perbandingan Sosial yang
banyak dikenal mengacu pada pendapat Leon Festinger (1954), yang menyatakan bahwa seseorang
menggunakan orang lain sebagai dasar perbandingan untuk mengevaluasi diri sendiri baik dalam hal
pendapat maupun dalam hal kemampuan.Teori ini berkembang karena pada dasarnya tiap-tiap individu
memiliki kebutuhan untuk menilai diri sendiri. Pada saat menghadapi persaingan orang juga
membutuhkan evaluasi diri, tujuannya agar dapat mengungguli saingan atau setidaknya menyamainya.
Apabila kemudian dia sadar bahwa kemampuannya terlalu jauh di bawah dirinya,maka akan dilakukan
usaha untuk menghindari persaingan itu.
a. Penonjolan keunikan.
Salah satu kesulitan dalam menilai diri adalah kecendrungan untuk menggunakan hal-hal yang
justru kurang biasa pada dirinya atau hal-hal yang menonjol saja (dalam arti negatif maupun positif).
Gejala seperti ini biasa disebut distinctiveness postulate.Apabila hal ini terjadi, maka obyektivitas
penilaian menjadi berkurang.
b. Skemata diri.
Untuk sampai pada atribusi dalam proses persepsi, terjadi suatu proses dalam self yang merupakan
mental framework (jaringan kerangka kerja mental) yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman.
Untuk memproses informasi yang masuk, yang biasa disebut schema. Dalam kaitannya dengan persepsi
diri, skema yang digunakan adalah skema diri, yaitu jaringan kerangka kerja mental yang menentukan
bagaimana fakta-fakta tentang diri sendiri yang sedang diperhatikan, bagaimana menyimpan fakta
tersebut dalam memori dan bagaimana menggunakan informasi tersebut dalam pembentukan impresi
tentang diri sendiri. Skema diri bisa digunakan untuk memprediksi bagaimana kita akan merespon
terhadap suatu situasi dimasa yang akan datang.
c. Verifikasi diri.
Dengan mengetahui skema diri, orang tidak hanya akan mempermudah memprediksi diri sendiri,
tetapi juga kemudian berusaha untuk memperhatikan dan mencari informasi yang sesuai dengan skema
diri tersebut. Keadaan seperti ini disebut sebagai verifikasi diri.
2. ATRIBUSI DIRI
Daryl Bem menyatakan bahwa seseorang mencoba memahami sikap dan karakteristik dirinya
sendiri dengan jalan melihat pada perilaku dirinya dan situasi yang ada pada saat itu.
Orang dapat melihat dirinya sebagaimana ia melihat orang lain, dan juga memperhatikan penyebabpenyebab dari perilakunya. Contoh misalnya pada petinju Mohammad Ali. Dia selalu mengatakan
bahwa”Sayalah yang terbesar”. Kemudian dia mencocokkan dengan keadaan sesungguhnya. Ternyata
dia memang mampu merobohkan lawan-lawannya. Dengan melihat kenyataan ini, ia merasa yakin
bahwa dia memang yang terbesar. Sebaliknya, apabila ternyata dia beberapa kali dikalahkan, maka dia
akan menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena faktor situasi.
Pada dasarnya persepsi diri bisa obyektif. Untuk membuktikan hal ini bisa menggunakan kerangka
berpikir dari teori disonansi. Menurut teori ini pada dasarnya setiap individu berusaha bisa dalam
keadaan konsisten antar berbagai hal dalam dirinya (perbuatan, pikiran, dan perasaan). Kondisi yang
diinginkan adalah kondisi konsisten, selaras antara pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatannya.
Apabila tidak ada konsistensi antar dua aspek atau lebih dalam dirinya, maka kondisi ini disebut sebagai
disonansi. Untuk menghindari keadaan disonan itu, orang akan mempersepsi dirinya seobyektif
mungkin. Salah satu cara yang sering ditempuh untuk mengetahui atau menguji obyektivitas tersebut
adalah melalui introspeksi.
a. Efek Justifikasi Berlebihan
Seseorang merasa lebih puas apabila perilakunya merupakan cerminan keadaan dalam dirinya,
sesuai dengan atribusi internal dirinya. Pada kenyataannya tidak jarang terjadi bahwa seseorang
melakukan sesuatu sesuai dengan kemauannya, namun orang lain justru memberi hadiah padanya.
Akibatnya orang yang bersangkutan menjadi tidak puas atau kurang yakin dengan kemampuannya.
Selanjutnya dia menjadi kurang bersemangat melakukan hal itu. Kondisi seperti ini disebut efek
justifikasi yang berlebihan, sedangkan hadiah yang menyebabkan efek ini disebut sebagai controlling
reward.
b. Excitation Transfer.
Dolf Zilmann dkk(1972) menemukan bahwa sering terjadi pengaruh dari keadaan fisik terhadap
proses atribusi. Salah satu penyebab terjadinya keadaan seperti ini adalah adanya pengaruh dari
ephinephrine, hormon perangsang. Hormon ini mendorong seseorang ke dalam kondisi emosi yang
menonjol atau ekstrim. Dalam keadaan demikian, maka proses atribusi menjdi pengaruh. Contoh dari
keadaan seperti ini adalah dalam kondisi yang mencekam. Hasil penelitian menemukan bahwa dalam
keadaan mencekam, orang akan menilai sesuatu yang menyenangkan lebih menyenangkan, dan yang
kurang menyenangkan menjadi sangat kuarang menyenangkan.
c. Ilusi Kontrol.
Seseorang merasa yakin mampu mengontrol keadaan, bahkan keadaan yang terjadi karena
kebetulan. Keyakinan memiliki kemampuan mengontrol keadaan yang seseungguhnya random ini
disebut sebagai ilusi kontrol. Contohnya adalah pada para penjudi. Mereka sering sekali yakin mampu
meramalkan angka yang akan muncul pada pelemparan dadu, sehingga berani bertaruh dalam jumlah
yang banyak. Ketiga hal diatas, overjustifikasi, excitation transfer, dan ilusi kontrol, yang sering
menimbulkan bias dalam atribusi diri.
3. KESADARAN DIRI
Orang yang mampu mempersepsi diri dengan baik berarti mempunyai kesadaran diri yang baik pula.
Selanjutnya orang yang sadar diri akan lebih banyak memperhatikan dan memproses informasi tentang
dirinya. Dia menjadi sadar tentang jarak antara ideal diri dengan kenyataan dirinya dan juga menjadi
lebih kritis terhadap dirinya. Orang yang kesadaran dirinya tinggi juga mengetahui dirinya secara lebih
baik, memahami emosi-emosinya, dan mampu mengetahui moodnya pada suatu momen tertentu.
Orang yang memiliki kesadaran diri juga mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi yang dialami, atau
memiliki pemonitoran diri yang baik. Oleh karena itu ia juga mampu membaca situasi sosial dalam
rangka memahami orang lain dan mengerti harapan orang lain terhadap dirinya. Sebaliknya, orang yang
rendah monitor dirinya cendrung konsisten perilakunya dari waktu kewaktu karena memang tidak ada
usaha untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya.
Download