Kompilasi Soal Ujian Akhir Semester Genap T.A. 2015-2016 Mata Kuliah Ekonomi Syariah Pak Yusuf Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Nomor 1 Strategi pembangunan konvensional hanya berfokus pada ekonomi semata. Ekonomi telah menjadi cara (means) sekaligus tujuan (ends) pembangunan. a. Jelaskan pembangunan dalam perspektif maqashid a-syari’ah! Jelaskan komponen maqashid sebagai sumber daya produktif, tujuan utama, dan visi strategis pembangunan! Pembangunan dalam perspektif maqashid syariah ialah pembangunan yang menjaga lima poin penting kebutuhan dasar manusia yang terangkum di dalam konsep Maqasid al-Shariah sehingga diharapkan kemaslahatan umat manusia dapat tercapai. Lima poin penting dalam maqashid syariah yang perlu dijaga agar kebutuhan dasar manusia dapat tercapai dan mencegah terjadinya kerusakan: Dien dibutuhkan oleh manusia untuk menuntun keyakinan, memberikan ketentuan/aturan hidup, dan membangun moralitas. Nafs merupakan sesuatu yang membantu eksistensinya merupakan kebutuhan, yang mengancam kehidupan harus dijauhi ’Aql, bahwa Islam mewajibkan tholabul ilm (mencari ilmu) karena tanpanya manusia akan mengalami kesulitan dan penderitaan. Nasl untuk kelangsungan generasi dan kehidupan dunia sangat penting Maal yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan sebagai sarana untuk ibadah (banyak ibadah membutuhkan harta, misal haji, sedekah) Pembangunan dalam perspektif maqashid al syari’ah: Pembangunan di dalam Islam bermakna menciptakan keseimbangan dan harmoni, keadilan dan perdamaian, keindahan dan kemakmuran. Pembangunan bermakna membangun manusia secara keseluruhan: jiwa, pikiran, dan jasad. Pembangunan harus mencakup aspek material, kultural, dan politik, namun pada saat yang sama pembangunan juga harus mencakup aspek moral dan spiritual. Pembangunan material yang mengabaikan moralitas dan spiritualitas, tidak akan mampu mempertahankan pertumbuhan dalam jangka panjang dan hanya akan menjadi masalah, beban, dan penderitaan. b. Jelaskan rancang bangun sistem ekonomi Islam! Jelaskan pula komparasi sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya. Rancang Bangun Ekonomi Islam Sistem ekonomi Islam memiliki bentuk yang jelas dan utuh, dimana sistem berdiri diatas: Fondasi: - sistem finansial non-riba, non-maysir, non-gharar; Islam melarang riba namun tidak melarang laba sebagai return untuk usaha wirausahawan dan modal finansial. Islam memiliki dua bentuk utama pengaturan finansial dari bisnis yaitu mudharabah dan musyarakah. Pada transaksi dimana bagi-hasil tidak dapat diaplikasikan, bentuk pembiayaan lain dapat diterapkan seperti qard alhasanah, bai’ mua’jjal, bai’ salam, ijarah, dan murabahah. - sistem moneter stabil berbasis komoditas (emas-dinar); Dalam Islam, sistem uang yang mendapat dukungan adalah sistem uang yang stabil dan noninflatoir. Islam memberi keleluasaan yang luas untuk bentuk uang dan sistem pembayaran-nya, namun menekankan stabilitas dari nilai uang sebagai syarat utama. - sistem fiskal berbasis zakat; Zakat memiliki fungsi alokasi, distribusi, dan sekaligus stabilisasi dalam perekonomian. Khums adalah seperlima bagian dari anfal(ghanimah) yang menjadi kekayaan publik (QS 8: 41). Fay’ (QS 59: 7) adalah segala tanggungan yang dibebankan kepada harta kekayaan orang non-Muslim (ahl al-dhimmah) melalui penaklukan damai yang manfaatnya dibagi rata demi kepentingan umum. Seluruh pendapatan publik yang berkembang dalam sejarah Islam masuk dibawah kategori fay’seperti jizyah, kharaj dan ushr. Pilar: - sistem alokasi melalui mekanisme pasar dengan pengawasan pasar yang luas dan ketat (hisbah); Islam mengakui dan menghormati mekanisme pasar sebagai instrument utama dalam alokasi dan distribusi sumber daya, yang terjadi atas dasar kerelaan (QS 4: 29). Namun kekuatan pasar ini harus melewati filter moral terlebih dahulu sehingga permintaan (demand) dan penawaran (supply) pasar yang terbentuk akan konsisten dengan pencapaian tujuan-tujuan normatif. Lebih jauh lagi, pembentukan harga dan transaksi dalam pasar mendapat pengawasan ketat agar menghasilkan pasar yang bebas distorsi. Dalam Islam, fungsi ini dijalankan oleh institusi hisbah. - sistem kepemilikan pribadi, wakaf dan kepemilikan bersama untuk barangbarang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Secara umum, Islam mengizinkan, menerima, dan menghormati kepemilikan oleh individu, namun tidak secara absolut. Untuk barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak (dharuri), Islam menetapkan adanya kepemilikan bersama. Hal ini untuk menghindari adanya penimbunan harta hanya pada orang-orang bermodal. Selain itu, dengan adanya sistem wakaf dan kepemilikan bersama yang dikelola oleh pemerintah digunakan sebagai sumber utama pembiayaan negara. Atap: - sistem insentif moral dan material; Dorongan ekonomi dalam Islam harus berada dalam kerangka kepentingan sosial. Islam mendorong individu untuk mengejar kepentingan pribadi di dalam kerangka kepentingan sosial dimana terdapat konflik antara self- interest dan social interest, dengan cara memberi perspektif jangka panjang bagi kepentingan pribadi –menarik kepentingan pribadi melebihi jangka waktu dunia ke akhirat. - sistem tujuan maqashid syariah; Tujuan utama syariah Islam (maqashid syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan manusia, yang terletak pada perlindungan terhadap agama (dien), jiwa (nafs), akal (aqal), keturunan (nasl), dan kekayaan (maal). Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini berarti melindungi kepentingan umum (mashlahah) dan dikehendaki. Perbedaan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya: Nomor 2 Sistem moneter konvensional yang bertumpu pada sistem bunga dan uang fiat dipandang telah membawa instabilitas dan berbagai dampak buruk bagi perekonomian. Sistem moneter Islam berusaha mendorong berjalannya perekonomian secara efisien dan adil. a. Jelaskan teori moneter Islam dan bagaimana stabilitas uang tercipta dalam kerangka institusi ekonomi Islam. Kesepakatan jumhur ulama dan cendekiawan muslim tentang uang dan standar moneter yaitu: [i] perlindungan harta (mal) adalah salah satu tujuan syariah; [ii] preferensi syari‟ah terhadap penggunaan uang dalam transaksi dibandingkan barter; [iii] penerimaan emas dan perak sebagai uang adalah alamiah; [iv] Nabi Muhammad SAW menyetujui emas dan perak sebagai uang; [v] emas dan perak relatif lebih stabil dibandingkan bentuk uang yang lain; [vi] adalah kewajiban negara untuk mencetak, mengatur dan memasok uang emas dan perak; [vii] uang adalah alat tukar (medium of exchange) dan ukuran nilai (measure of value), bukan komoditas; [viii] illat riba pada uang adalah karena fungsinya sebagai medium of exchange dan measure of value (tsamaniyyah), kecuali mazhab Hanafi. Stabilitas uang tercipta dalam kerangka institusi ekonomi Islam dengan adanya pelarangan riba, pelarangan gharar, dan penerapan zakat. Pelarangan ribâ secara efektif menghapus praktek komoditisasi uang: mengambil keuntungan dari uang dengan cara memperdagangkannya pada “tingkat harga” (bunga) tertentu. Ketika uang berfungsi sebagai ukuran nilai dan alat tukar, maka menetapkan harga berupa bunga pada uang menjadi sebuah hal yang paradoks. Bunga membuat uang yang seharusnya memfasilitasi pertukaran, sebagai ukuran nilai bagi seluruh komoditas, justru menjadi obyek pertukaran. Dengan melarang ribâ maka Islam melindungi fungsi dasar uang sebagai ukuran nilai dan alat tukar. Pelarangan ribâ juga menjamin tidak akan ada ekspansi moneter yang tidak memiliki padanan dengan penciptaan nilai tambah ekonomi di sektor riil, sehingga secara efektif akan menjaga keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil, dan karenanya menjaga stabilitas harga dan inflasi. Penerapan zakât terhadap emas dan perak (al-mâl al-„ayn), baik dalam bentuk uang koin maupun batangan atau perhiasan (zakât al-‟ayn) menjadi disinsentif bagi aktivitas menumpuk harta (emas dan perak) dan menimbun uang baik karena motif keserakahan maupun untuk spekulasi. Zakât al-‟ayn dalam jangka pendek akan memaksa pemilik uang menginvestasikan uangnya ke sektor riil untuk mendapatkan return, karena pelarangan ribâ meniadakan peluang meminjamkan uang untuk keuntungan, sehingga velocity of money meningkat, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, zakât al-‟ayn juga akan secara efektif meminimalkan permintaan non-moneter terhadap emas dan perak sehingga pasokan uang akan terjaga. Pelarangan gharar, bersama-sama dengan pelarangan ribâ, membuat demand for money sepenuhnya berasal dari kebutuhan riil perekonomian. Dengan meminimalkan permintaan uang yang tidak riil, maka permintaan uang akan stabil, sehingga akan menstabilkan pasokan uang. Stabilitas demand for money dalam Islam didorong lebih lanjut dengan pelarangan penimbunan uang (iktinâz). Dalam upaya menjaga stabilitas nilai uang, terutama dari sisi money supply, negara memiliki otoritas untuk mencetak, mengatur dan mengedarkan uang. Dalam sejarah Islam, kewenangan ini dijalankan oleh institusi sikkah. b. Jelaskan debat sistem ekonomi moneter berbasis uang fiat (naqd ishtilah) dan sistem moneter berbasis uang komoditas (naqd bi al-khilqah) dalam wacana ekonomi Islam. Fiqh pendukung uang fiat: (i) uang kertas dipandang sebagai surat utang dari deposito emas atau perak. Ketika kini uang kertas sepenuhnya terlepas dari emas, pendapat ini menimbulkan banyak kesulitan karena uang kertas diperlakukan sebagai dayn, sehingga pertukaran uang dengan uang lain (al-sharf) tidak bisa dilakukan karena terkategori al-dayn bi al-dayn dan salam dengan uang kertas akan terlarang karena tsamân untuk salam harus dibayar tunai. (ii) sebagaimana suftaja, uang kertas diperlakukan sebagai pengganti atsmân perak dan emas, sehingga uang kertas dianggap memiliki karakteristik yang sama seperti emas dan perak. Namun hal ini hanya bisa dibenarkan jika bank sentral dan perbankan memiliki cadangan logam mulia ini 100 persen terhadap uang kertas yang diedarkannya. Pandangan ini juga akan menyulitkan pertukaran valas karena mata uang harus berbasis logam yang berbeda agar pertukaran dalam jumlah yang berbeda dapat dibenarkan dan terhindar dari ribâ. (iii) uang kertas diberikan kedudukan hukum yang sama dengan fulûs. Namun hal ini bermasalah secara fiqh: transaksi salam akan terlarang dan ribâ diizinkan karena untuk fulûs pertukaran dengan jumlah berbeda tidak dilarang. (iv) uang kertas dipandang sebagai salah satu dari sekian banyak standar harga (atsmân). Dengan pendapat ini, berbagai transaksi penting seperti pertukaran valas dan bay‟ al salam terjamin dan transaksi yang tidak diinginkan seperti ribâ terlarang. Ps. Dengan kondisi saat ini dimana tidak ada satupun negara yang uangnya terkait dengan logam mulia, pendapat terakhir nampak banyak diikuti. Namun, berbeda dengan emas dan perak yang nilainya stabil, penggunaan uang kertas mengandung bahaya gharar yang tinggi karena nilai uang kertas yang cenderung terus menurun sehingga membawa kita pada masalah baru, yaitu inflasi. Fiqh penolak uang fiat: Syarat sah uang sebagai nilai harga adalah material-nya harus dapat dimanfaatkan. Sedangkan uang kertas tidak memiliki nilai intrinsik, sebab material uang kertas tidak dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain. Dan setiap yang tidak bermanfaat maka ia tidak termasuk harta. Legalisasi oleh pemerintah juga tidak cukup memberikan nilai harga terhadap uang kertas, sebab ketika pemerintah mencabut legalisasi dan melarang peredarannya maka nilai harga uang kertas akan terhapus dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang tidak berharga. Oleh sebab itu maka uang kertas tidak dapat ditukarkan dengan harta atau dijadikan nilai harga untuk barang dan jasa. Syarî‟ah menetapkan seluruh hukum mu‟âmalâh dan ‟ibâdâh mâliyyah berbasis emas dan perak, seperti ketentuan zakât uang, pembayaran ganti rugi atas suatu tindak pidana pembunuhan (diyyat), dan batas hukuman bagi pencurian (hadd al-sâriqah). Hal ini mengindikasikan bahwa syarî‟ah memandang emas dan perak merupakan harga pasar yang memiliki stabilitas nilai yang tinggi sehingga akan memberi keadilan yang merupakan esensi dari hukum-hukum tersebut. Berbagai ketentuan syarî‟ah yang melarang gaya hidup bermewah-mewahan (altana‟um) juga secara jelas mengindikasikan bahwa fungsi utama emas dan perak adalah sebagai uang. Larangan memakai perhiasan dari emas, seperti cincin, kalung dan anting, secara jelas menunjukkan arahan syarî‟ah untuk menekan kegunaan nonmoneter emas. Lebih jauh, syarî‟ah memberi disinsentif bagi penggunaan non moneter emas dan perak dengan mengenakan zakât pada emas dan perak dalam segala bentuk, baik sebagai uang maupun perhiasan. Nomor 3 Sistem finansial Islam ditujukan untuk menjaga fungsi-fungsi uang dalam perekonomian. a. Jelaskan pelarangan riba dalam Islam, definisi, makna ekonomi dan implikasinya. Dapatkah Anda menjelaskan bagaimana riba memisahkan waktu dari aktivitas ekonomi riil? Riba merupakan kelebihan pembayaran yang ditetapkan pada transaksi utang piutang. Pelarangan ribâ secara efektif menghapus praktek komoditisasi uang: mengambil keuntungan dari uang dengan cara memperdagangkannya pada “tingkat harga” (bunga) tertentu. Ketika uang berfungsi sebagai ukuran nilai dan alat tukar, maka menetapkan harga berupa bunga pada uang menjadi sebuah hal yang paradoks. Bunga membuat uang yang seharusnya memfasilitasi pertukaran, sebagai ukuran nilai bagi seluruh komoditas, justru menjadi obyek pertukaran. Dengan melarang ribâ maka Islam melindungi fungsi dasar uang sebagai ukuran nilai dan alat tukar. Pelarangan ribâ juga menjamin tidak akan ada ekspansi moneter yang tidak memiliki padanan dengan penciptaan nilai tambah ekonomi di sektor riil, sehingga secara efektif akan menjaga keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil, dan karenanya menjaga stabilitas harga dan inflasi. Pelarangan Riba secara esensial bermakna pelarangan “trading in credit”. Trading in credit bermakna pemutusan waktu dari transaksi riil. –Ketika waktu dipisahkan dari transaksi riil melalui pinjaman berbasis bunga, Hal ini membuat tingkat utang meningkat sehingga biaya pembiayaan lebih besar melalui cost of debt services yang lebih tinggi. Bunga yang terakumulasi membuat utang terus tumbuh dan menjauhkan sektor keuangan dari sektor riil. Biaya bunga yang berlipat ganda telah membebani perekonomian jauh lebih besar dari biaya pembiayaan riil sebenarnya. b. Jelaskan pelarangan gharar dalam Islam, definisi, makna ekonomi dan implikasinya. Dapatkah Anda jelaskan bagaimana gharar memisahkan risiko dari aktivitas ekonomi riil? Gharar berarti ketidakjelasan atau hal-hal yang tidak diketahui hasilnya atau tidak diketahui hakikat dan ukurannya. Maqashid dari pelarangan gharar sendiri adalah agar tidak ada pihak berakad yang dirugikan karena haknya yang tidak terpenuhi dan untuk menghindari perselisihan karena terjadinya kerugian tersebut. Pelarangan gharar, bersama-sama dengan pelarangan ribâ, membuat demand for money sepenuhnya berasal dari kebutuhan riil perekonomian. Dengan meminimalkan permintaan uang yang tidak riil, maka permintaan uang akan stabil, sehingga akan menstabilkan pasokan uang. Gharar memisahkan risiko dari aktivitas ekonomi riil karena transaksi yang mengandung gharar mendapatkan keuntungan dari kerugian yang dialami oleh orang lain. Sehingga, keadaan perekonomian tidak berpengaruh secara langsung terhadap untung rugi yang dihadapi oleh pelaku transaksi gharar. Trading in risk bermakna pemutusan resiko dari sektor riil. Pemutusan resiko dari sektor riil membawa pada resiko yang lebih besar dan biaya manajemen resiko lebih tinggi. Komoditisasi resiko membuat sektor keuangan berlipat ganda dan bergerak semakin jauh dari transaksi riil. Biaya komoditisasi resiko juga membebani perekonomian jauh lebih besar dari biaya resiko riil. Nomor 4 Manajemen moneter dan sistem perbankan berbasis bunga banyak mengalami kegagalan-kegagalan. Intermediasi finansial Islam menjanjikan stabilitas dan kesejahteraan dalam perekonomian. a. Jelaskan bagaimana sistem perbankan berbasis bunga membuat inflasi terus terjadi, menghambat pencapaian tujuan normative perekonomian, dan memperburuk distribusi pendapatan. Kebijakan moneter berbasis bunga tidak efektif mengendalikan jumlah uang beredar dan inflasi, dan justru pada gilirannya selalu menghasilkan konflik dengan sektor riil akibat dampak inflator-nya melalui ekspansi jumlah uang beredar. Tingkat aktual suku bunga tidak mempengaruhi kemampuan sistem perbankan untuk menciptakan uang secara signifikan. Mengendalikan inflasi dengan suku bunga tinggi hanyalah obat penenang jangka pendek, namun tidak menyelesaikan akar masalah. Sistem perbankan berbasis bunga membawa dampak buruk pada pencapaian tujuan normatif perekonomian dan kebutuhan dasar sebagian besar penduduk. Sistem bunga juga membuat kesenjangan pendapatan semakin memburuk akibat distribusi modal finansial yang sangat tidak merata. Sistem keuangan berbasis bunga secara agresif juga mendorong masyarakat dan bahkan pemerintah untuk menjadi konsumtif. Sistem berbasis bunga telah mendorong upaya pencarian keuntungan secara cepat menjadi marak. Pergerakan suku bunga yang fluktuatif telah menimbulkan kesulitan bagi pemilik dana untuk membuat keputusan investasi jangka panjang di sektor riil. b. Jelaskan two-tier mudharabah model sebagai sistem perbankan Islam yang ideal. Mengapa model ini gagal diterapkan sehingga perbankan syariah kini berevolusi menjadi one-tier mudharabah model? Model dasar perbankan Islam adalah model two-tier mudharabah. Dalam model ini, hubungan antara rabbal-mâl dan mudhârib tercipta melalui kontrak tripartite dimana nasabah penyimpan dana memberikan otoritas kepada bank untuk menggunakan dana-nya dengan basis bagi hasil (first-tier mudhârabah) dan bank kemudian bertindak sebagai agen nasabah penyimpan dana untuk masuk ke kontrak dengan pihak lain untuk menjalankan mudhârabah aktual dimana bank bertindak sebagai investor dan pihak lain sebagai pengusaha (second-tier mudhârabah). Dengan mudhârabah dua tingkat, bank menjalankan fungsi intermediasi keuangan tanpa instrument bunga sama sekali. Pendapatan kotor berasal dari bagian bank dalam keuntungan pengusaha berdasarkan rasio bagi hasil yang disepakati di awal. Setelah dikurangi biaya operasional bank, pendapatan ini dibagi antara bank dan penabung berdasarkan rasio bagi hasil yang disepakati di awal. Model two-tier mudharabah menjadi kurang popular digunakan di institusi keuangan Islam beralasan karena besarnya risiko yang timbul akibat asymmetric information pada second-tier mudharabah (antara bank dan pihak yang dibiayai). Asymmetric information ini dapat terjadi di pembiayaan mudharabah melalui 3 jalan, yaitu: 1. Adverse selection, terjadi pada saat awal kontrak di mana perbankan mengalami kesalahan dalam memilih nasabah yang dibiayai. Kesalahan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan yang tertulis dalam proposal bisnis maupun pada saat proses screening nasabah. Adverse selection dapat memperbesar credit/default risk. 2. Moral hazard type I berupa disinsentif pada proses pelaksanaan usaha berupa upaya yang tidak optimal dari pengusaha sehingga keuntungan yang diperoleh tidak sesuai dengan yang dijanjikan di proposal. 3. Moral hazard type II yaitu falsifikasi/fraud pada laporan keuangan, misalnya dengan memperbesar pengeluaran operasional, untuk memperoleh net income yang lebih kecil sehingga pembagian keuntungan pada bank menjadi lebih kecil daripada yang seharusnya. Kemudian, perbankan syariah saat ini lebih banyak menggunakan one-tier mudharabah model: Dalam model ini, bank memperkecil risiko dari mudharabah dengan melakukan transaksi yang bersifat fixed return pada proses second-tier mudharabah, seperti menggunakan akad murabahah atau ijarah. Dengan model fixed return, bank lebih yakin pada nasabah karena cicilan yang sudah pasti. Selain itu, dengan fixed return, bank tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk melakukan proses monitoring dan verification terhadap usaha yang dibiayai.