BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Komitmen Organisasi 2.1.1 Pengertian Komitmen Organisasi Menurut Mowday (1982) dalam Sopiah (2008:155), komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Komitmen organisasional merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan anggota organisasi untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi. Menurut Robbins dan Judge (2008), komitmen organisasi adalah tingkat sampai mana seorang karyawan memihak sebuah organsiasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Mathis dan Jackson (2010) mendefinisikan komitmen organisasi di mana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan untuk tinggal bersama organisasi tersebut. Kreitner dan Kinicki (2014:165) mendefinsikan komitmen organisasi sebagai tingkatan dimana seseorang mengenali sebuah organisasi dan terikat pada tujuantujuannya. Ini adalah sikap kerja yang penting karena orang-orang yang memiliki komitmen diharapkan bisa menunjukkan kesediaan untuk bekerja lebih keras demi mencapai tujuan organisasi dan memiliki hasrat yang lebih besar untuk tetap bekerja di suatu perusahaan. Menurut Noe, Hollenbeck, Gerhart dan Wright (2011:308), komitmen organisasi adalah sejauh mana seorang karyawan mengidentifikasi organisasi dan bersedia untuk mengajukan upaya atas namanya. Karyawan dengan komitmen organisasi yang tinggi akan meregangkan diri mereka untuk membantu organisasi melalui masa-masa sulit. Karyawan dengan komitmen organisasi rendah cenderung meninggalkan pada kesempatan pertama untuk pekerjaan yang lebih baik. Mereka memiliki niat kuat untuk pergi, jadi seperti karyawan dengan keterlibatan kerja yang rendah, mereka sulit untuk memotivasi. 13 14 Menurut Hellriegel dan Slocum (2011:91), komitmen organisasi adalah kekuatan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan yang tinggal dengan organisasi mereka untuk jangka waktu yang panjang cenderung lebih berkomitmen untuk organisasi daripada mereka yang bekerja untuk jangka waktu yang lebih singkat. 2.1.2 Indikator Komitmen Organisasi Menurut Mowday (1982) dalam Sopiah (2008:165), indikator komitmen organisasi dibagi menjadi 3 yaitu: 1. Penerimaan terhadap tujuan organisasi. 2. Keinginan untuk bekerja keras. 3. Hasrat untuk bertahan menjadi bagian dari organisasi. 2.1.3 Konsekuensi Komitmen Organisasi Menurut Greenberg (2005:184), konsekuensi dari komitmen yaitu: 1) Karyawan yang memiliki komitmen mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk mengundurkan diri. Semakin besar komitmen karyawan pada organisasi, maka semakin kecil kemungkinan untuk mengundurkan diri. Komitmen mendorong orang untuk tetap mencintai pekerjaannya dan akan bangga ketika dia sedang berada di sana. 2) Karyawan yang memiliki komitmen bersedia untuk berkorban demi organisasinya. Karyawan yang memiliki komitmen menunjukkan kesadaran tinggi untuk membagikan dan berkorban yang diperlukan untuk kelangsungan hidup perusahaan. 2.1.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Komitmen Organisasional Menurut Dyne dan Graham (2005) dalam Soekidjan (2009) faktor-faktor yang memengaruhi komitmen adalah: Personal, Situasional dan Posisi. Karakteristik Personal. a. Ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu, teliti, ekstrovert, berpandangan positif (optimis), cenderung lebih komit. Demikian juga individu yang lebih berorientasi kepada tim dan menempatkan tujuan kelompok diatas tujuan sendiri serta individu yang altruistik (senang membantu) akan cenderung lebih komit. b. Usia dan masa kerja, berhubungan positif dengan komitmen organisasi. 15 c. Tingkat pendidikan, makin tinggi semakin banyak harapan yang mungkin tidak dapat di akomodir, sehingga komitmennya semakin rendah. d. Jenis kelamin, wanita pada umumnya menghadapi tantangan lebih besar dalam mencapai kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi. e. Status perkawinan, yang menikah lebih terikat dengan organisasinya. f. Keterlibatan kerja (job involvement), tingkat keterlibatan kerja individu berhubungan positif dengan komitmen organisasi. Situasional. a. Nilai (value) tempat kerja. Nilai-nilai yang dapat dibagikan adalah suatu komponen kritis dari hubungan saling keterikatan. Nilai-nilai kualitas, inovasi, kooperasi, partisipasi dan trust akan mempermudah setiap anggota atau karyawan untuk saling berbagi dan membangun hubungan erat. Jika para anggota atau karyawan percaya bahwa nilai organisasinya adalah kualitas produk dan jasa, para anggota atau karyawan akan terlibat dalam perilaku yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan hal itu. b. Keadilan organisasi. Keadilan organisasi meliputi: Keadilan yang berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya, keadilan dalam proses pengambilan keputusan, serta keadilan dalam persepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi. c. Karakteristik pekerjaan. Meliputi pekerjaan yang penuh makna, otonomi dan umpan balik dapat merupakan motivasi kerja yang internal. Jerigan, Beggs menyatakan kepuasan atas otonomi, status dan kebijakan merupakan prediktor penting dari komitmen. Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat meningkatkan rasa tanggung jawab, serta rasa keterikatan terhadap organisasi. d. Dukungan organisasi. Dukungan organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan komitmen organisasi. Hubungan ini didefinisikan sebagai sejauh mana anggota atau karyawan mempersepsi bahwa organisasi (lembaga, atasan, rekan) memberi dorongan, respek, menghargai kontribusi dan memberi apresiasi bagi individu dalam pekerjaannya. Hal ini berarti jika organisasi peduli dengan keberadaan dan kesejahteraan personal anggota atau karyawan dan juga menghargai kontribusinya, maka anggota atau karyawan akan menjadi komit. 16 Positional. a. Masa kerja. Masa kerja yang lama akan semakin membuat anggota atau karyawan komit, hal ini disebabkan oleh karena semakin memberi peluang anggota atau karyawan untuk menerima tugas menantang, otonomi semakin besar, serta peluang promosi yang lebih tinggi. Juga peluang investasi pribadi berupa pikiran, tenaga dan waktu yang semakin besar, hubungan sosial lebih bermakna, serta akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang. b. Tingkat pekerjaan. Berbagai penelitian menyebutkan status sosioekonomi sebagai prediktor komitmen paling kuat. Status yang tinggi cenderung meningkatkan motivasi maupun kemampun aktif terlibat. 2.2 Sikap kerja 2.2.1 Pengertian Sikap Kerja Menurut Azwar (2007), suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek. Sikap (attitude) didefinisikan oleh Robbins dan Judge (2007) sebagai pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa. Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. 2.2.2 Tingkatan Sikap Menurut Notoadmodjo (2003) dalam buku Wawan dan Dewi (2010), sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu: a. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). b. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang tersebut menerima ide itu. 17 c. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. d. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi. 2.2.3 Fungsi Sikap Menurut Katz (1964) dalam buku Wawan dan Dewi (2010:23) sikap mempunyai beberapa fungsi, yaitu: a. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat Fungsi ini berkaitan dengan sarana dan tujuan. Orang memandang sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana atau alat dalam rangka mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersifat positif terhadap objek tersebut. Demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap yang bersangkutan. b. Fungsi pertahanan ego Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap ini diambil oleh seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam keadaan dirinya atau egonya. c. Fungsi ekspresi nilai Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada pada dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dapat menunjukkan kepada dirinya. Dengan individu mengambil sikap tertentu akan menggambarkan keadaan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan. d. Fungsi pengetahuan Individu mempunyai dorongan untuk ingin mengerti dengan pengalamanpengalamannya. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang terhadap objek sikap yang bersangkutan. 18 2.2.4 Komponen Sikap Kerja Menurut Azwar (2011:23) sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang yaitu: a. Komponen kognitif Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau yang kontroversial. b. Komponen afektif Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. c. Komponen konatif Merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai sikap yang dimiliki oleh seseorang. Aspek ini berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu Penjelasan di atas relevan dengan pendapat Robbins (2007) yang menyatakan bahwa sikap terbentuk dari tiga komponen (aspek) yaitu aspek evaluasi (komponen kognisi) dan perasaan yang kuat (komponen afektif) yang akan membimbing pada suatu tingkah laku (komponen kecenderungan untuk berbuat atau konasi). Keyakinan bahwa ”diskriminasi salah” merupakan sebuah pernyataan evaluatif. Opini semacam ini adalah komponen kognitif (cognitive component), yang menentukan tingkatan untuk bagian yang lebih penting dari sebuah sikap. Komponen afektifnya (affective component). Perasaan adalah segmen emosional atau perasaan dari sebuah segmen emosional atau perasaan dari sebuah sikap, perasaan ini selanjutnya menimbulkan hasil akhir perilaku. Komponen perilaku (behavioral component) dari sebuah sikap merujuk pada suatu maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu. Gambar yang ditampilkan berikut menunjukkan hubungan dari tiga komponen sikap. Contoh yang diberikan oleh Robbins ini menggambarkan bagaimana sikap negatif seorang karyawan terhadap pengawasnya. 19 Gambar 2. 1 Komponen Sikap Sumber: Komponen Sikap, Robbins dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat, hal. 94 2.2.5 Sifat Sikap Sifat sikap ada dua macam, dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif (Wawan dan Dewi, 2010): 1. Sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu. 2. Sikap negatif, terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu. 20 2.2.6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Sikap Menurut Azwar (2011:30) faktor-faktor yang memengaruhi sikap yaitu: a. Pengalaman pribadi Pengalaman pribadi dapat menjadi dasar pembentukan sikap apabila pengalaman tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Individu pada umumnya cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap seseorang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. c. Pengaruh kebudayaan Kebudayaan dapat memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya. Sebagai akibatnya, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. d. Media massa Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara objektif berpengaruh terhadap sikap konsumennya. e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan. Tidaklah mengherankan apabila pada gilirannya konsep tersebut memengaruhi sikap. f. Faktor emosional Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. 2.2.7 Perwujudan Sikap Dalam Perilaku Werner dan Defleur (Azwar, 2007) mengemukakan 3 postulat guna mengidentifikasikan tiga pandangan mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu postulat of consistency, postulat of independent variation, dan postulate of contingent consistency. Berikut ini penjelasan tentang ketiga postulat tersebut: 21 a. Postulat of consistency Postulat konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal memberi petunjuk yang cukup akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang bila dihadapkan pada suatu objek sikap. Jadi postulat ini mengasumikan adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku. b. Postulat of independent variation Postulat ini mengatakan bahwa mengetahui sikap tidak berarti dapat memprediksi perilaku karena sikap dan perilaku merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda. c. Postulate of contingent consistency Postulat konsistensi kontigensi menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Norma-norma, peranan, keanggotaan kelompok dan lain sebagainya, merupakan kondisi ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku. Oleh karena itu, sejauh mana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi lainnya. Postulat yang terakhir ini lebih masuk akal dalam menjelaskan hubungan sikap dan perilaku. Apabila individu berada dalam situasi yang betul-betul bebas dari berbagai bentuk tekanan atau hambatan yang dapat mengganggu ekspresi sikapnya maka dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku yang ditampakannya merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya. Artinya, potensi reaksi sikap yang sudah terbentuk dalam diri individu itu akan muncul berupa perilaku aktual sebagai cerminan sikap yang sesungguhnya terhadap sesuatu. Sebaliknya jika individu mengalami atau merasakan hambatan yang dapat mengganggu kebebasannya dalam mengatakan sikap yang sesungguhnya atau bila individu merasakan ancaman fisik maupun ancaman mental yang dapat terjadi pada dirinya sebagai akibat pernyataan sikap yang hendak dikemukakan maka apa yang diekspresikan oleh individu sebagai perilaku lisan atau perbuatan itu sangat mungkin tidak sejalan dengan sikap hati nuraninya, bahkan dapat sangat bertentangan dengan apa yang dipegangnya sebagai suatu keyakinan. Semakin kompleks situasinya dan semakin banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam bertindak maka semakin sulitlah mempediksikan perilaku dan semakin sulit pula menafsirkannya sebagai indikator (Azwar, 2007). 22 2.3 Kepuasan Kerja 2.3.1 Pengertian Kepuasan Kerja Menurut Kalleberg (1977) dalam Seifert dan Umbach (2008), kepuasan kerja merupakan orientasi afektif secara keseluruhan pada bagian dari individu terhadap peran kerja mereka yang berlangsung saat ini. Menurut Kreitner dan Kinicki (2014:169), kepuasan kerja adalah sebuah tanggapan afektif atau emosional terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang. Definisi ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kepuasan kerja bukanlah sebuah konsep kesatuan. Namun seseorang bisa merasa cukup puas dengan salah satu aspek pekerjaannya dan merasa kurang puas dengan satu atau beberapa aspek lainnya. Menurut Hellriegel dan Slocum (2011:88), kepuasan kerja mencerminkan sejauh mana individu menemukan kepuasan dalam pekerjaan mereka. Kepuasan kerja rendah dapat mengakibatkan absensi, keterlambatan, dan kesehatan mental. Menurut Robbins dan Judge (2013:79), kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan positif terhadap pekerjaan mereka yang dihasilkan dari evaluasi karakteristik. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memegang perasaan positif terhadap pekerjaan mereka, sementara orang yang tidak puas memegang perasaan negatif terhadap pekerjaan mereka. Menurut Mathis dan Jackson (2011) kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang. Menurut Umar (2008:213), kepuasan kerja adalah perasaan dan penilaian seorang atas pekerjaannya, khususnya mengenai kondisi kerjanya, dalam hubungannya dengan apakah pekerjaannya mampu memenuhi harapan, kebutuhan, dan keinginannya. Menurut Hariandja (2009:290), kepuasan kerja adalah merupakan salah satu elemen yang cukup penting dalam organisasi. Hal ini di sebabkan kepuasan kerja dapat memengaruhi perilaku kerja seperti malas, rajin, produktif, dan lain-lain, atau mempunyai hubungan beberapa jenis perilaku yang sangat penting dalam organisasi. 23 2.3.2 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kepuasan Kerja Luthans (2006:243) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kepuasan kerja yaitu: 1. Pekerjaan itu sendiri. Isi dari pekerjaan itu sendiri adalah sumber utama dari kepuasan kerja, dimana pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Karyawan cenderung menyukai pekerjaan yang memberikan mereka kesempatan untuk menggunakan kemampuan dan kecakapan serta menawarkan variasi pekerjaan, kebebasan dan umpan balik dari atasan tentang sejauh mana pekerjaan mereka. 2. Kompensasi (upah atau gaji) Pemberian kompensasi merupakan imbalan dari perusahaan untuk karyawan atas pelayanan yang telah diberikan oleh karyawan. Gaji dikatakan penentu penting dalam menentukan kepuasan kerja, karena diperlukan untuk memenuhi banyak kebutuhan hidup pegawai. Hal terpenting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan sebagai keadilan yang didasarkan tuntutantuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasan kerja. 3. Promosi Jabatan Promosi jabatan merupakan faktor yang berhubungan dengan ada atau tidak adanya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja. Promosi menunjuk pada suatu kesempatan untuk memperoleh jenjang tertentu yang lebih tinggi dalam organisasi. Kesempatan tersebut bisa timbul karena berbagai faktor diantaranya pengetahuan dan kemampuan yang tinggi dalam menyelesaikan pekerjaan. Pencapaian prestasi tertentu juga memungkinkan diberikannya kesempatan untuk mendapatkan jenjang jabatan yang lebih menantang. 4. Hubungan dengan rekan kerja Faktor ini berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasanya dan pegawai yang lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaanya. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan sosial. Oleh karena itu, bila mempunyai rekan kerja, kelompok kerja yang kohesif, ramah dan menyenangkan dapat menciptakan kepuasan kerja yang meningkat. Dukungan, motivasi, perhatian, dan tingkat pemahaman ditunjukan sebagai suatu proses 24 positif dari sebuah interaksi antar sesama pegawai dalam organisasi. Kesetiakawanan, kerukunan dan kesediaan untuk saling bekerjasama antar teman sekerja merupakan sumber peningkatan kepuasan kerja. 5. Supervisi Supervisi adalah kemampuan seorang atasan untuk memberikan bantuan secara teknis maupun memberikan dukungan, baik adalah hal mengarahkan, memimpin, dan mengembangkan karyawan yang bekerja dibawah divisinya. Para atasan umumnya menaruh perhatian yang cukup untuk memperhatikan bawahannya, tapi beberapa diantaranya tidak cukup menaruh perhatian. Cara-cara atasan dalam memperlakukan bawahannya dapat menjadi menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi bawahannya tersebut, dan hal ini memengaruhi kepuasan kerja. Hubungan antara bawahan dan atasan sangat penting gunanya dalam perusahaan, oleh sebab itu, penting bagi para bawahan untuk mengetahui harapan atasan mereka. Atasan yang baik mampu menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi karyawan, atasan bisa dianggap sebagai figur ayah atau ibu atau teman, sekaligus atasan. Hubungan antara mereka disebut functional attraction yang menjelaskan sejauh mana karyawan merasa atasannya membantu mereka dalam mencapai hasil yang terbaik. Dengan kata lain, konsep ini adalah sejauh mana atasan memberikan peluang kepada karyawannya melalui tugas-tugas yang mereka berikan dan umpan balik dari karyawan. 6. Lingkungan kerja Faktor ini lebih banyak berkaitan dengan kondisi fisik lingkungan kerja. Jika kondisi kerjanya berkualitas baik misalnya tampak bersih dan menarik, maka individu akan dapat lebih semangat melaksanakan pekerjaannya. Sebaliknya jika kondisi lingkungan kerja tidak berkualitas baik misalnya kotor, berisik dan panas, maka individu seringkali tidak betah dan mengeluh dalam bekerja. 2.3.3 Pengaruh Kepuasan Kerja Menurut Robbins dan Judge (2013:82), tingkat kepuasan kerja karyawan yang rendah akan berdampak pada tindakan-tindakan seperti: 1. Keluar (Exit) Ketidakpuasan kerja diungkapkan dengan meninggalkan pekerjaan, termasuk mencari pekerjaan lain (turnover). 25 2. Menyuarakan (Voice) Ketidakpuasan kerja diungkapkan melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi, termasuk memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya. 3. Mengabaikan (Neglect) Ketidakpuasan kerja diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, misalnya, sering absen, datang terlambat, malas dan kinerja yang menurun. 4. Kesetiaan (Loyalty) Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar dan percaya bahwa organisasi dan manajemen akan melakukan hal yang tepat untuk memperbaiki kondisi. 2.3.4 Dimensi dan Indikator Kepuasan Kerja Kalleberg (1977) dalam Tricia dan Umbach (2008), menggunakan dua dimensi dari kepuasan kerja dalam penelitiannya. Yaitu dimensi intrinsik yang mengacu pada pekerjaan itu sendiri dan ekstrinsik yang mewakili aspek pekerjaan eksternal untuk tugas itu sendiri. Dua dimensi itu didefinisikan sebagai berikut: 1. Dimensi Intrinsik a. Sejauh mana pekerjaan itu menarik b. Sejauh mana pekerjaan itu mandiri c. Hasil pekerjaan yang jelas 2. Dimensi Ekstrinsik a. Keuangan (Financial) Mengacu pada item seperti gaji dan tunjangan b. Karir (Carrer) Peluang pekerjaan yang disediakan untuk kemajuan karir c. Kenyamanan (Convenience) Dimensi kenyamanan berfokus pada kenyamanan dari pekerjaan (yaitu kebebasan dari tuntutan yang saling bertentangan, tidak ada jumlah pekerjaan yang berlebihan dan waktu untuk melakukan pekerjaan. d. Hubungan dengan rekan kerja (Relationships with co-workers) Hubungan dengan rekan kerja dan termasuk kesempatan untuk berteman dengan orang-orang ditempat kerja. 26 e. Kecukupan sumber daya (Adequancy of resources) Tingkat dimana sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dengan baik tersedia untuk pekerja. 2.4 Kinerja Karyawan 2.4.1 Pengertian Kinerja Karyawan Menurut Mangkunegara (2011), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Hasibuan (2012), kinerja adalah suatu hasil yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Menurut Rivai (2011:554), kinerja merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan perannya dalam perusahaan. 2.4.2 Dimensi dan Indikator Kinerja Karyawan Menurut Mangkunegara (2009:75) mengemukakan bahwa indikator kinerja, yaitu: 1. Kualitas Kualitas kerja adalah seberapa baik seorang karyawan mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan. 2. Kuantitas Kuantitas kerja adalah seberapa lama seorang pegawai bekerja dalam satu harinya. Kuantitas kerja ini dapat dilihat dari kecepatan kerja setiap pegawai itu masing-masing. 3. Pelaksanaan tugas Pelaksanaan tugas adalah seberapa jauh karyawan mampu melakukan pekerjaannya dengan akurat atau tidak ada kesalahan. 4. Tanggung jawab Tanggung jawab terhadap pekerjaan adalah kesadaran akan kewajiban karyawan untuk melaksanakan pekerjaan yang diberikan perusahaan. 27 2.4.3 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kinerja Karyawan Faktor yang memengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Davis (2000) dalam Mangkunegara (2010) yang merumuskan bahwa: Human Performance = Ability + Motivation Motivation = Attitude + Situation Ability = Knowlage + Skill Penjelasan dari rumusan kinerja di atas menurut Mangkunegara (2010) adalah sebagai berikut: 1) Faktor Kemampuan (Ability) Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, pemimpin dan karyawan yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) apalagi IQ superior, very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal. 2) Faktor Motivasi (Motivation) Motivasi diartikan suatu sikap (attitude pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja di lingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif (kontra) terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud antara lain, hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja. Menurut Timple (1992) dalam Mangkunegara (2010), faktor-faktor kinerja terdiri faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Misalnya, kinerja seorang baik disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki kemampuannya. Faktor eksternal yang memengaruhi kinerja berasal dari lingkungan seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi. 28 2.5 Kerangka Penelitian Komitmen Organisasi (X1) Sikap Kerja Kinerja Karyawan (X2) (Y) Kepuasan Kerja (X3) Gambar 2. 2 Kerangka Penelitian Sumber: Penulis, 2016 2.5.1 Hipotesis Dalam penelitian ini akan diuji hipotesis guna memenuhi tujuan-tujuan di dalam penelitian ini. Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini terdiri dari tujuh hipotesis yang dijelaskan berikut ini: Hipotesis 1 H0: Komitmen Organisasi tidak memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan Ha: Komitmen Organisasi memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan Hipotesis 2 H0: Sikap Kerja tidak memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan Ha: Sikap Kerja memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan Hipotesis 3 H0: Kepuasan Kerja tidak memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan Ha: Kepuasan Kerja memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan 29 Hipotesis 4 H0: Komitmen Organisasi, Sikap Kerja dan Kepuasan Kerja tidak memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan Ha: Komitmen Organisasi, Sikap Kerja dan Kepuasan Kerja memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan 30