MUSIK LITURGI BERNUANSA ETNIS Musik Gereja Inkulturasi Adalah musik gereja yang bernuansa musik tradisi setempat atau lokal. Di Indonesia, musik gereja yang digunakan dalam peribadatan sudah berkembang bukan hanya menggunakan musik gereja barat, namun unsur - unsur musik tradisional sudah mulai di gunakan dalam peribadatan. Musik inilah yang bisa kita sebut musik gereja inkulturasi. Ada nilai-nilai etnis dan unsur-unsur musik tradisi yang digunakan dalam muik gereja yang bersifat inkulturatif ini. Setiap negara / daerah mempunyai musik inkulturasi yang berbeda beda menurut musik tradisi negara atau daerah tersebut. Sebagai contoh, buku nyanyian ibadah " Madah Bakti " yang diterbitkan oleh Pusat Musik Liturgi ( PML ) Yogyakarta. Dalam buku Madah Bakti yang digunakan oleh gereja Katholik ini, hampir semuanya adalah musik dan nyanyian inkulturasi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Warna musik dan nyanyiannya sangat kental dengan warna musik tradisi daerah-daerah di I|ndonesia. Musik gereja inkulturasi ini diharapkan dapat memperkaya musik gereja dalam peribadatan tanpa merubah esensi dan tujuan utama dari peribadatan tersebut, yaitu kekhidmatan dan kekusyukan kita dalam berkomunikasi dengan Tuhan dalam peribadatan kita. Oleh karena itu musik inkulturasi yang akan digunakan dalam ibadah harus bersifat liturgis, yang orientasinya adalah untuk kemuliaan Tuhan, bukan untuk kesenangan dan kepopuleran musisinya. Musik Inkulturatif Istilah inkulturasi pertama kali muncul dalam dokumen penutup sinode para uskup “Ad Populum Dei nuntius” tahun 1979, dalam Himbauan Apostolik Paus Yohanes Paulus II “Catechesae trandendae”. Secara etimologis inkulturasi berasal dari kata “in”, yang berarti masuk ke dalam, dan “cultura” yang kata kerjanya “colore” berarti pengolahan (tanah); pembinaan, budaya. Dari kedua arti kata tersebut, inkulturasi berarti “masuk ke dalam budaya”. Kata ini kemudian dipakai secara populer dalam konteks liturgi Gereja Katolik. Anscar J. Chupungco mengartikan ‘inkulturasi liturgi’ sebagai proses di mana upacara-upacara keagamaan pra kristen diberi arti kristen. Istilah ini dipakai dalam Gereja Katolik Roma, yakni di mana unsur-unsur dan bentuk asli dari adat-istiadat diberi arti baru, yaitu arti kristiani. Dalam bukunya yang berjudul ‘Penyesuaian Liturgi dalam Budaya’ , Anscar Chupungco menulis bahwa sebuah inkulturasi bila dilaksanakan dengan tepat, merupakan sarana yang ideal untuk mengkristenkan segenap kebudayaan. Namun hal ini membutuhkan tahapan yang cukup panjang. Oleh karena itu inkulturasi harus terjadi secara berkesinambungan, sebab dalam upaya membaharui Gereja, Konsili Vatikan II pertama-tama memugar liturgi Gereja. Jadi Konsili Vatikan II telah menjamin unsur-unsur hakiki dari ibadat Kristen dalam rangka memantapkan pertumbuhannya yang homogen. Dalam Konsili Vatikan II, salah satu bentuk inkultursi dalam bidang liturgi yang diangkat secara khusus adalah inkulturasi musik liturgi. Hal ini tertuang dalan artikel 119 Konstitusi Liturgi yang berbunyi: Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya , baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud art. 39 dan 40. Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya sungguh diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan musik tradisional bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat. Artikel di atas secara jelas telah memberikan sebuah rekomendasi bagi seni musik tradisional untuk memberi warna yang khas bagi perayaan liturgi yang bercorak budaya. Hal inipun didasarkan pada iman akan misteri inkarnasi, sehingga segala unsur kebudayaan termasuk di dalamnya adalah musik-musik tradisi mendapat ‘bobot kudus’ dengan menyatu dalam sebuah perayaan liturgi. Dengan demikian, musik inkulturatif dapat diartikan sebagai kesenian musik dari berbagai tradisi kebudayaan tempat Gereja bermisi, yang dimasukkan ke dalam liturgi sehingga memiliki ‘bobot kudus’ (nilai kesakralan) sebagai salah satu corak musik liturgi. Namun tentang hal ini, Gereja tetap memberikan peringatan tertentu dalam berbagai kreativitas bermusik dalam liturgi, sehingga tidak menjadi ‘sangat bebas dan tidak terkendali’. Melalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal mendasar yang ditekankan adalah pada alinea ketiga dokumen liturgi Romawi dan inkulturasi nomor 40, bahwa bentuk musik, lagu dan alat-alat musik dapat digunakan dalam ibadat asal “cocok” atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, dan asal sesuai dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh-sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman. Setelah Konsili Vatikan II, banyak usaha untuk melaksanakan hasil konsili di berbagai daerah. Salah satu hasil konsili yang disambut baik oleh umat dan para klerus adalah keterbuakaan Gereja terhadap tradisi-tradisi dan budaya lokal, terutama dalam Sacrosanctum Consilium. Gereja terdiri dari berbagai daerah, suku dan bangsa sehingga Gereja mesti membuka diri terhadap kebudayaan dan tradisi yang berasal dari berbagai daerah, suku dan bangsa tersebut. Di Indonesia, usaha untuk menggali kekayaan tradisi dan kebudayaan daerah setempat dan menyelaraskannya dengan liturgi Gereja sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum Konsili Vatikan II. Sebelum Konsili Vatikan II, sudah ada ide untuk pembaruan liturgi dan musik liturgi di Indonesia. Usaha itu dimulai oleh Mgr. Van Bekkum SVD di Flores Barat (Manggarai) yang mengumpulkan para pemusik untuk menciptakan lagu gereja berdasarkan lagu daerah. Selain itu, P. Vincent Lechovic SVD di Timor, NTT, juga mengambil langkah serupa dan berhasil menerbitkan buku lagu “Tsi Taneb Uis Neno” yang berisi lagu-lagu berbahasa Dawan pada tahun 1957. Di Jawa, Mgr. A. Soegijapranata, SJ sebagai uskup pribumi pertama Semarang mendirikan panitia untuk menciptakan lagu liturgi khas Jawa yang bermutu yang kemudian dipakai dalam liturgi dan di luar liturgi. Atas dorongan Konsili Vatikan II, usaha inkulturasi musik liturgi di Indonesia mendapat bentuknya. Langkah-langkah konkret yang langsung dirasakan adalah digunakannya lagu-lagu dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Namun untuk mendapatkan lagu-lagu seperti itu tidaklah mudah mengingat bahwa tradisi musik Gereja di Indonesia sangat banyak dipengaruhi dan didominasi oleh lagu-lagu yang berasal dari tradisi liturgi Barat, seperti lagu-lagu gregorian dan lagu-lagu rohani abad XIX. Namun atas usaha dari berbagai pihak, seperti yang sudah dituliskan di atas, muncullah lagu-lagu inkulturatif dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang digunakan dalam liturgi. Usaha tersebut terus dikembangkan dan dikelolah agar inkulturasi musik liturgi Indonesia bisa tercapai. Pusat Musik Liturgi Salah satu pihak yang terus menerus mengusahakan hal tersebut adalah Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. PML merupakan salah satu lembaga musik di Indonesia yang mengabdi untuk musik Indonesia dan pengembangannya. Pada tahun 2011, PML telah berusia 40 tahun. Dalam waktu 40 tahun Pusat Musik Liturgi telah menghasilkan banyak lagu, buku dan kaset/CD yang bertujuan untuk memajukan musik nusantara pada umumnya, dan khususnya mengabdi pada musik liturgi, terutama dalam rangka inkulturasi. PML tidak hanya menangani musik Gereja/Liturgi berupa buku umat, buku kor, buku iringan organ, buku imam, dan kaset/CD, tetapi juga menerbitkan buku dan CD musik umum seperti lagu tradisional seri Nusantara Bernyanyi dan buku-buku kor yang diarensemen oleh Bpk. Paul Widyawan, serta buku-buku teori musik umum berupa: Kamus Musik, Sejarah Musik, Menjadi Dirigen, Menjadi Organis, Ilmu Harmoni, Ilmu Bentuk, Ilmu Melodi, Musik Populer, Teori Musik Umum, Tuntunan Karawitan, dan lain sebagainya. Dalam pidato peresmian pendirian PML tahun 1971, Rm. Prier menyatakan bahwa “PML didirikan untuk memajukan musik Gereja Indonesia sehingga makin khas Indonesia”. Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Romo Prier dalam sambutannya pada perayaan 40 tahun PML di Aula Auditorium Puskat. Beliau menyatakan bahwa “Tujuan PML sejak didirikan 40 tahun lalu adalah untuk memajukan musik liturgi yang khas Indonesia, untuk menciptakan lagu yang belum ada 40 tahun lalu karena konsili baru menyarankan untuk memakai bahasa pribumi dalam perayaan liturgi”. Pernyataan tersebut kemudian dirumuskan secara lebih singkat dan padat dalam rumusan visi – misi PML. Rumusan tersebut adalah sebagai berikut: Visi - Misi PML adalah untuk mengabdi kepada perkembangan musik di Indonesia pada umumnya, dan khususnya pada musik liturgi, terutama dalam rangka inkulturasi atau “pengungkapan perayaan liturgi dalam tatacara dan suasana yang selaras dengan citarasa budaya setempat umat yang beribadat”. Visi – misi tersebut didasari oleh hasil Konsili Vatikan II yang menghendaki agar “Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja menampungnya dalam liturgi sendiri, asal saja selaras dengan hakekat semangat liturgi yang sejati dan asli” (SC 37). Konsili Vatikan II menegaskan dan menganjurkan: “Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka” (SC 119). Indonesia merupakan salah satu daerah misi yang mempunyai banyak suku bangsa dengan tradisi musiknya yang beragam. Maka didasari oleh semangat Konsili Vatikan II, Romo Prier mempunyai cita-cita untuk mewujudkan semangat Konsili tersebut dengan mendirikan sebuah lembaga yang memusatkan perhatiannya pada perkembangan musik liturgi, terutama pada musik inkulturasi Indonesia. Atas dukungan dan kerjasama dengan berbagai pihak, PML pun didirikan di Yogyakarta. Memang pada waktu PML didirikan tahun 1971, bidang inkulturasi musik liturgi belum jelas arahnya, bahkan istilah “inkulturasi” belum digunakan. Istilah yang digunakan pada saat itu adalah “Indonesianisasi”. Namun sejak awal PML telah berkeinginan untuk merintis musik Gereja yang khas Indonesia. Romo Prier mengungkapkan bahwa “Memang, inkulturasi musik Gereja sejak semula merupakan suatu keharusan bagi Pusat Musik Liturgi. Kalau India, Kongo, Argentina, Brasil telah menghasilkan lagu liturgi yang khas, mengapa Indonesia tidak?”. Pernyataan inilah yang menjadi pendorong dan penyemangat bagi Romo Prier untuk mengembangkan musik liturgi yang khas Indonesia. Demikianlah PML ingin mengabdi kepada perkembangan musik di Indonesia pada umumnya, dan khususnya pada musik liturgi terutama dalam rangka inkulturasi. Dari rumusan visi - misi di atas, terkandung tiga bagian yang menjadi perhatian PML. Ketiga bagian tersebut adalah sebagai berikut. 1. Musik liturgi secara umum, yakni tradisi musik Gereja Katolik yang sudah ada sebelumnya dan tetap dipertahankan sampai sekarang. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah musik Gregorian dan musik polifoni (SC 116) dan penggunaan organ dalam liturgi (SC 120). 2. Musik Indonesia secara umum, yakni tradisi musik daerah-daerah di Indonesia dan nyanyian-nyanyian nasional Indonesia yang tidak ada kaitannya dengan musik Gereja. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya berbagai buku lagu dan CD yang memuat lagu-lagu dari berbagai daerah di Indonesia, antara lain: Bolebo, Kambanglah Bungo, Domidow, Dami Piranta, Ondel-ondel, Mutiara Samudera, Dolanan, dan Nusantara Bernyanyi. 3. Musik liturgi khas Indonesia, yakni musik yang diambil dari tradisi Indonesia kemudian digubah/diciptakan khusus untuk kegiatan peribadatan. Musik inilah yang disebut sebagai musik inkulturasi, yang menjadi fokus utama PML. Untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan itu memanglah tidak semudah yang diduga, butuh perjuangan yang berat dan waktu yang panjang. Berbagai kegiatan dan studi diarahkan ke sana untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dan tujuan PML. Yang jelas dan pasti hasrat untuk sekedar mewujudkan itu, untuk membuat musik Gereja yang khas Indonesia, telah digambarkankan dalam lambang PML, yakni berupa penggabungan sebuah gitar dan alat musik gamelan sebagai alat musik daerah Indonesia. Usaha mewujudkan cita-cita tersebut tidak sekedar dinampakkan dalam lambang PML melainkan terutama diwujudkan melalui kegiatankegiatan dan karya-karya PML. Kegiatan dan Karya PML Sejak didirikan 11 Juli 1971, PML telah menunjukkan perhatian dan misinya terhadap inkulturasi musik liturgi di Indonesia. Karena makin lama makin disadari bahwa musik memiliki peranan penting dalam liturgi, bahkan dapat dikatakan bahwa musik merupakan bagian integral dari liturgi, usaha untuk mengadakan inkulturasi musik liturgi yang khas Indonesia dan sesuai dengan cita-rasa bangsa Indonesia, semakin digalakkan. Berbagai usaha inkulturasi telah dilakukan PML untuk mewujudkan tujuan keberadaannya. PML telah berusaha melaksanakan berbagai macam kegiatan. PML memulai usahanya dengan mengadakan eksperimen, yakni menciptakan lagu liturgi dengan menggunakan pola lagu yang menjadi ciri khas musik suatu daerah dan menggunakan alat musik tradisional daerah tersebut sebagai alat pengiringnya. Pertama-tama PML mengumpulkan bahan dari daerah-daerah di Indonesia, mempelajarinya, merekam, serta berkontak dengan para komponis maupun pemusik dari dalam maupun luar negeri. Langkah kedua adalah mencoba lagu gereja kreasi baru yang telah diciptakan. Lagu-lagu tersebut kemudian dikumpulkan dan disatukan dalam buku-buku lagu. Sumber: http://musik-gereja-inkulturasi.blogspot.com/2012/08/musik-gereja-inkulturasi.html http://juntim-juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html http://brenmorin.blogspot.com/2009/07/musik-liturgi-dalam-terang-konsili.html Foto: