musik liturgi gereja katolik - Institutional Repository UIN Syarif

advertisement
MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Ushuluddin
Disusun Oleh:
AJI RUSMANSYAH
104032100978
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H. / 2010 M.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan rasa syukur Penulis panjatkan kehadiratNya. Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain karena kekuatan-Nya.
Karena anugrah-Nyalah, sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini
dengan judul: “MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK” , Shalawat dan salam
semoga Allah SWT selalu curahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini bukan sematamata dari buah tangan sendiri, akan tetapi dari hamba Allah yang senantiasa
mendermakan kemampuannya dengan tulus hati dan meluangkan waktu meski
hanya meluangkan aspirasi. Oleh karena itu, tidak berlebihan kirannya jika pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih, khususnya kepada:
1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, selaku dosen pembimbing skripsi yang
dengan besar hati dan sabar bersedia meluangkan waktunya untuk
memberikan arahan, konsultasi dan bimbingan skripsi.
2. Prof Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayattullah
Jakarta, beserta seluruh staf dan jajarannya.
3. Drs. M. Nuh HS, MA., selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama dan
Drs. Maulana, M.A selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama.
4. Para dosen yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis di
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, baik secara langsung maupun tidak.
5. Bapak dan Mama tercinta, H.M. Odjat Darojat dan Mama Iyus
Rusminah, atas pengorbanan dan cinta kasihnya berupa moril maupun
meteril, serta doa yang tidak terhingga sepanjang masa untuk
keberhasilan studi anakmu. Segala hormat dan bhakti ananda
persembahkan kepada keduanya.
6. Keluarga besar, Kakakku Jaka Sukmara dan Adik-adikku Akbar
Maulana, Akhmad Nugraha yang telah memberikan motivasi dan
memberikan kehangatan dalam keluarga.
ii
7. Terima kasih yang spesial tuk Nani Zulaini “Umi” atas kesetiaan dan
ketulusannya yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada
penulis baik suka maupun duka.
8. Terima kasih untuk Mama Asmawati memberikan motivasi, dukungan
serta do’a kepada penulis.
9. Semua teman-temanku di Kampus dan di Komplek Rumah, di Kampus
khususnya Jurusan Perbandingan Agama “Angkatan 2004 (“BiJiAn”
Ahmad Sodri, Ardian, Fahmi, Putra, beduL, Rahmat, Iwenk, Boim,
Gunawan, Oji, Rahman, Yudha, Likha, Cici, Hesty, Dhely, Rina, Diah
dll), 2005 (Samsul, Guntur, Wasil dll ), 2006 (Jabar, Syahid, Tari,
Enung, Ai dll), 2007 (Wafiq, Resa dll) dan 2008 (Totong Cs)”.
10. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuannya kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT, semoga berkenan
menerima segala kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaikbaiknya balasan atas amal baik mereka. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat
dan dapat khazanah keilmuan kita. Amin.
Jakarta, 6 Desember 2010
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................ 8
C. Tujuan Penulisan................................................................. 8
D. Tinjauan Pustaka…………………………………………. 8
E. Metode Penulisan dan Tehnik Penulisan ............................ 9
F. Sistematika Penulisan ......................................................... 11
BAB II
:
MUSIK LITURGI
A. Pengertian dan Fungsi Musik............................................... 12
B. Pengertian Musik Liturgi.....................................................
BAB III :
16
SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK LITURGI GEREJA
KATOLIK
A. Musik Gereja Perdana (100-900)................................. ....... 26
B. Periode Awal pada abad X (Tahun 900-1000).................... 30
C. Musik Abad Pertengahan (1000-1400) ............................... 31
D. Musik Zaman Renaissance (1400-1600)............................. 33
E. Musik Barok (1600-1750)................................................... 35
F. Musik Klasik (1750-1820) .................................................. 47
G. Musik Romantik (1800-1920)............................................. 54
H. Musik Abad ke-20............................................................... 60
iv
BAB IV
:
BERBAGAI ASPEK DALAM MUSIK LITURGI
GEREJA KATOLIK
A. Tujuan Musik Liturgi .......................................................... 63
B. Fungsi Musik dalam Ibadah................................................ 66
C. Kedudukan Musik Liturgi Gereja Katolik………………… 73
D. Hakekat Musik Liturgi………………………………….. .. 76
E. Dimensi Musik Liturgi………………................................ 76
F.
Jenis Musik Liturgi ............................................................. 79
G. Instrumen Pengiring dalam Musik Liturgi.......................... 88
BAB V
:
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 92
B. Saran-saran............................................................................. 94
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki cipta,
rasa, karsa dan karya. Dengan budi dayanya ia menciptakan tata kehidupan yang
dinamik dan secara berkesinambungan manusia memiliki kecenderungan untuk
mencari, menemukan, dan mengembangkan pola dasar kehidupan, dorongandorongan perasaannya, ketajaman fikirannya serta kemauannya untuk menemukan
hubungan yang bermakna. Inilah yang membedakan eksistensinya terhadap
makhluk lain. 1
Manusia mempunyai akal dan tangan lalu ia menciptakan bentuk-bentuk
yang menyenangkan yang bersifat estetik untuk menerangkan kehidupan bersama.
Maka lahirlah karya-karya estetik itu yang kemudian dikenal dengan sebutan
karya seni, yang dapat dinikmati dan diserap oleh indera pendengaran,
penglihatan, perasaan atau gabungan dari kedua atau ketiga-tiganya. 2
Musik menggunakan bunyi sebagai materi, mempunyai bentuk melodi.
Musik merupakan produk budaya yang tertinggi atau merupakan keindahan seni
yang tertinggi. 3 Dalam kehidupan Kristiani, musik memiliki peran yang sangat
besar, bahkan sangat berperan aktif dalam setiap ritual keagamaan mereka
1
Depdikbud, pesan-pesan Budaya Lagu-lagu Pop Dangdut dan pengaruhnya Terhadap
Perilaku Sosial Remaja Kota, (Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya
Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisonal Direktorat Jendral Kebudayaan, 1995), h. 1.
2
Abay D. Subama, et al., Islam dan Kesenian. (Majelis Kebudayaan Muhammadiyah
Universitas Achmad Dahlan Lembaga LITBANG: 1995), h. 215-216.
3
Tamara Adriani Salim, “ Efek Musik dalam sajak Liris Chanson D’Automne dan
Serenade Karya Paul Verlane”, skripsi Sarjana Pendidikan (Jakarta: Perpustakaan UI, 1989), h. 1.
2
sehingga sulit dipisahkan dari kehidupan iman. Musik dan nyanyian menjadi
sebagian dari acara kebaktian, sama nilainya dengan doa dalam acara kebaktian.
Musik juga dianggap sebagai bagian dari upacara penyembahan, karena Allah
dipermuliakan melalui lagu-lagu pujian dari hati yang bersih dipenuhi dengan
kecintaan dan penyembahan kepada-Nya. 4
Agama ini juga menyadari bahwa sebagai pelaku dan penikmat seni,
mereka harus memiliki perangkat-perangkat filosofis bahwa musik harus di
apresiasi secara intelektual, artinya menjaga musik sebagai hasil kreasi seni yang
diberikan Sang Maha Indah, harus menjadi energi, bermusik apapun jenisnya.
Sejak dari perjalanan iman umat Allah di Perjanjian Lama, sampai pada
pemunculan gereja abad permulaan Perjanjian Baru, Mazmur, nyanyian rohani
dan berbagai bentuk puji-pujian lainnya menandai kehidupan umat beriman. Suara
serta komunikasi bagi mereka adalah dua berkat pilihan Allah untuk manusia.
Suara yang manusia naikkan dalam pujian adalah satu cara terindah untuk
menghormati Allah Yang Maha Kuasa. Manusia adalah satu-satunya makhluk
Tuhan yang diperlengkapi akal budi untuk mampu memuji dan memuliakan
Tuhan melalui pujian. Musik dan pujian yang mengarah kepada Tuhan dapat
membawa perubahan dalam diri seseorang. Banyak contoh yang dapat diambil
dari Alkitab yang bisa dijadikan bahan untuk menciptakan lagu. Misalnya, I
Tarawikh 16:23, menceritakan tentang keselamatan; Mazmur 13:6, Allah berbuat
baik; Mazmur 98:1,1: adalah pencipta; hakim-hakim 5:11, Tuhan itu adil.5
Mereka percaya bahwa musik mempengaruhi kerohanian (spirit). Artinya, Roh
4
John Handel, Nyanyian Lucifer-ikhwal Penciptaan, Pengaruh terhadap Kerohanian dan
Kejiwaan, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2002), h. 87.
5
Handel, Nyanyian Lucifer, h. 87.
3
Kudus dapat mengobatkan orang, mempercepat pertumbuhan jiwa seorang anak
menjadi lebih dewasa, menguatkan iman melalui motivasi, tujuan dan doa. Musik
yang baik itu harus bermanfaat, memberi kenikmatan dalam tubuh, intelek, emosi
dan spirit dalam waktu yang lama.
Suara manusia dinaikkan dalam puji-pujian dan penyembahan sebagai
suatu persembahan yang berkenan. Musik dan nyayian jika tepat dibawakan juga
akan sanggup memenuhi hati yang mendengar dengan kedamaian, kegembiraan,
semangat dan suka cita melimpah. Demikian pula musik dan nyanyian yang benar
dapat membuat suasana menjadi lebih hidup untuk siap menghadap hadirat
Tuhan. 6
Gereja Katolik dimulai sebagai suatu sekte Yahudi. 7 Tarian dan nyanyian
pujian seperti Mazmur-mazmur merupakan salah satu bagian dari ibadat Yahudi
yang dikenal semua orang yang terbiasa mengunjungi Bait Allah di Yerussalem
pada abad pertama saat sekte Kristen mulai berkembang. 8
Musik gereja mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Sampai
dengan abad kesepuluh musik gereja sama dengan musik Gregorian, 9 yang
diteruskan secara lisan dan improvisasi. Karena belum ada notasi musik, maka
lagu Gregorian berkembang tidak sama pada daerah yang berbeda. Musik
dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dijaga keseragamannya, tetapi sebagai
6
Handel, Nyanyian Lucifer, h. 87.
Theo Witkamp,“Mazmur-mazmur Kekristenan Purba dalam Konteks Yahudi Abad
Pertama”, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana,
1994), h. 16.
8
Witkamp, “Mazmur-mazmur Kekristenan”. h.18.
9
“Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi
Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399.
7
4
unsur fungsional yang disesuaikan dengan keperluan umat yang hadir dalam
ibadat.
Dengan berkembangnya musik polifon sejak abad ke-11, terciptalah aneka
bentuk musik baru yang khusus untuk paduan suara, sehingga disamping musik
liturgi, lahir lagu selingan yang dapat dipakai dalam liturgi. Musik profan yang
bermutu dipisahkan dari musik keagamaan baru sejak abad ke-17. Pius X10 dalam
Motu Proprio-nya Tra Le Sollectudine tahun 1903 membedakan antara Musik
Gereja dan Musik Sacra. Yang terakhir disamakan dengan musik Gregorian
sebagai gaya ideal dan suci. Menurut pola inilah segala musik dalam gereja
hendaknya diperbaharui.
Tidak ada musik yang dapat disebut musik ibadat Kristiani. Lagu
Gregorian adalah warisan lagu kebudayaan Yunani, himne-himne St. Ambrosius
adalah pengolahan lagu profan abad ke-4 dari Eropa Tenggara. Begitu pula lagu
gereja Abad Pertengahan merupakan pengolahan kebudayaan (= lagu bermutu)
dari abad ke-14 sampai dengan abad ke-18. Jadi yang selama ini dianggap sebagai
khas gerejani seperti khidmad, tenang, suci sebenarnya adalah soal sikap orang
yang beribadat, bukan soal jenis/bentuk/sifat musik. Namun sikap orang Kristen
lain-lain menurut zaman dan tempat, maka musik liturgi juga berbeda-beda
menurut zaman dan tempat. 11
10
“Pius X menjabat sebagai Paus (1903-1914) sesuai dengan semboyannya ia ingin
membaharui segalanya dalam Kristus dan memusatkan usahanya pada masalah gereja, memajukan
pembaharuan liturgi dan doa ofisi.“ lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid IV (Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994), h. 12.
11
Karl-Edmund Prier. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen
Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 8.
5
Dalam lingkup gereja Katolik, ibadat hampir sama dengan liturgi, yang
sering disebut ibadat resmi gereja. Istilah ibadat gereja menitikberatkan pada
aspek kultus lahiriah dari liturgi, yakni upacara dan ulah kebaktian lainnya, yang
dilakukan oleh umat Allah sebagai Tubuh Mistik Yesus Kristus yang disusun
secara hirarkis yakni secara resmi dan di hadapan umum umat yang meluhurkan
Tuhan, bersyukur serta menyatakan bakti kepada-Nya. 12
Dalam hidup sehari-hari orang Kristen tidak tampil sebagai anggota gereja
namun, bila mereka berkumpul atas nama Kristus artinya sebagai umat Kristen
mereka membentuk dan bertindak sebagai gereja, sebagai anggota Tubuh Kristus.
Segala kegiatan profan (duniawi) seluruh kehidupan sehari-hari dibawa ke
hadapan Tuhan, dimurnikan dan diperteguh dalam ibadat. Maka ibadat, khususnya
ekaristi merupakan ungkapan iman yang paling jelas menjadi dasar dan puncak
semua kegiatan Allah (bdk G 11 dan 26). Dalam arti luas, ibadat mencakup aneka
ragam bentuk kebaktian bersama, misalnya ibadat sabda, ibadat tujuh sabda Yesus
di Salib, pujian dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa ibadat
merupakan suatu kesatuan, semua unsur yang berupa musik maupun bukan musik
dikaitkan yang satu dengan yang lain. Maka musik ibadat Kristiani tidak dapat
dipisahkan dari tempat orang berkumpul, dari gereja pembangunan (arsitektur),
dari seni rupa, bahasa, gerak-gerik, musik dan tari.
Sebagian besar yang kita ketahui tentang ibadah orang Ibrani ada dalam
kitab Perjanjian Lama. Di dalamnya kita mendapati sejumlah besar acuan yang
membuktikan pentingnya musik vokal dan instrumental dalam ibadah orang
12
1992), h. 59.
Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja Jilid II (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
6
Ibrani. Kata musik pertama-tama tertulis dalam Kejadian 4:21, di mana Yubal
disebutkan sebagai "bapa, semua orang yang memainkan kecapi dan suling".
Dalam Kitab. Suci ada kira-kira 13 instrumen yang berbeda, yang disebutkan,
yang dapat diklasifikasikan sebagai instrumen dengan senar, instrumen tiup atau
perkusi. Ada sejumlah penyanyi dan lagu disebutkan dalam Perjahjian Lama,
misalnya: Lagu Miriam (Keluaran 15:20-21) Lagu Musa (Keluaran 15:2) Lagu
Debora dan Barak (Hakim-Hakim 5:3) ` Lagu ucapan Syukur Hana (1
Samue12:1-10) Lagu ucapan syukur dan pelepasan dari kejaran Saulus yang
dinyanyikan Daud (II Samuel 22) 13
Semua kata yang berkenaan dengan musik, pemusik, instrumen musik,
lagu, penyanyi dan nyanyian disebutkan 575 kali dalam seluruh isi Alkitab. Acuan
yang berkaitan dengan musik didapati dan 44 dari 66 kitab dalam, Alkitab. Kitab
Mazmur yang terdiri dari 150 pasal, dianggap berasal mula dari sebuah kitab yang
berisi nyanyian.
Sejak awal perkembangannya, Gereja Katolik telah memaknai musik
sebagai suatu bentuk komunikasi iman dalam perayaan liturgi. 14 Hal ini selaras
dengan pandangan St. Agustinus, bahwa eksistensi musik bukan sebuah eksistensi
material atau yang mencakup panca indera semata, melainkan suatu eksistensi
yang bersifat spritual. Ekspresi terhadap peranan musik dalam doa dan
peribadatan Gereja, diungkapkan St. Agustinus dalam sebuah pepatah Latin, yakni
Bene cantat bis orat; yang berarti: ”Bernyanyi dengan baik adalah berdoa dua
kali”. Ungkapan ’bernyanyi dengan baik’ ini sesungguhnya menunjukkan suatu
13
Prier, Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik. h. 10.
Karl-Edmund Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema
Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 15.
14
7
gradasi penghayatan dari sebuah aktus bernyanyi dalam ibadat Gereja. Artinya
bernyanyi di dalam sebuah peribadatan, bukan sekedar melantunkan kata melalui
nada-nada yang indah untuk menyenangkan hati, tetapi lebih dari itu ialah untuk
membangun sebuah komunikasi iman yang dihayati melalui keindahan nada, syair
lagu dan irama yang selaras dengan jiwa liturgi. Oleh karena itu untuk menghayati
musik sebagai sarana doa yang berdaya guna, dibutuhkan juga corak musik yang
menunjang ibadat atau perayaan liturgi, yang mampu memperdalam sikap batin
kepada Allah.
Prinsip fundamental yang menjadikan musik liturgi dinilai penting adalah
relasi musik dengan aspek kebatinan dan kejiwaan manusia. Setiap manusia
mengalami musik dengan melibatkan ekspresi batin dan jiwanya. Artinya
meskipun
ia
memiliki
kaidah-kaidah
ilmiah-matematis,
namun
dalam
pengapresiasiannya musik mengekspresikan batin dan jiwa manusia. Hal ini
menegaskan bahwa dalam kehidupan religius dari berbagai agama, musik
memainkan peranan penting dalam ritus-ritus keagamaan, entah lewat bunyibunyian instrumen musik maupun lewat nyanyian-nyanyian ritual. Dari fenomena
ini, maka adalah penting untuk mengetahui makna dan sejarah apresiasi Gereja
terhadap musik sebagai sebuah sarana peribadatan yang kini telah dikenal dengan
sebutan ’musik liturgi’.
Untuk dapat memahami secara mendalam maka penulis mengangkatnya
dalam skripsi ini dengan topik “MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK”
8
B.
Perumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, maka
di dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu:
ƒ
Bagaimana bentuk dan praktik dari musik Liturgi Gereja Katolik?
ƒ
Apakah fungsi dari musik liturgi gereja katolik?
ƒ
Apakah Tujuan Musik Liturgi Gereja Katolik?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah
untuk mengetahui arti Musik Liturgi bagi jemaat atau yang melakukan Ibadat
trersebut, bagaimana bentuk konkrit hubungan manusia dengan Tuhannya. Serta
untuk mengetahui fungsi dan peranan Musik Liturgi dalam Gereja Katolik.
Tujuan penulisan skripsi ini juga sebagai kontribusi kepada Fakultas
Ushuluddin dan memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk meraih gelar
kesarjanaan Strata Satu (S1) di jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin
Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D.
Tinjauan Pustaka
Sebelum mengkaji pustaka-pustaka yang penulis pergunakan dalam
penelitian,
perlu
penulis
ungkapkan
bahwa
penelitian
ini
merupakan
pengembangan dari berbagai penelitian dan penulisan tentang musik liturgi gereja
sebagai
bagian
yang fungsional.
Secara
tidak
langsung
mengungkapkan perbedaan musik liturgi dengan musik rohani.
penulis
juga
9
Sebagai kajian pustaka bisa diungkapkan di sini, diantaranya: buku
berjudul Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi oleh Karl-Edmund Prier SJ terbitan
PML Yogyakarta, tahun 1987. Dalam buku ini Prier membahas struktur dari suatu
ibadat, setiap bagian dari acara dalam suatu upacara ibadat mempunyai maksud
tersendiri sehingga diperlukan nyanyian yang cocok. Misalnya, nyanyian yang
cocok untuk pembukaan adalah nyanyian berbait.
Kemudian Sejarah Musik Jilid 1, 2, 3, dan Perkembangan Musik Gereja
Sampai Abad ke-20 oleh Karl-Edmund Prier SJ terbitan PML Yogyakarta, tahun
1991, 1993, 1994 dan 1995. dalam buku ini Prier membahas tentang sejarah
musik yang didalamnya ada sejarah musik gereja dari zaman kuno sampai zaman
abad ke-20.
E.
Metode Penulisan dan Tehnik Penulisan
Dalam setiap penelitian pasti tidak lepas dari metode. Metode mutlak
adanya karena merupakan upaya agar penelitian dapat terlaksana dengan baik
sehingga mendapat hasil yang memuaskan. Di dalam skripsi ini, metode yang
digunakan adalah:
1. Metode Pengumpulan Data. Di dalam mengumpulkan data ini penulis
menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan
metode pengumpulan data dengan menggunakan sumber-sumber data
yang berupa dokumen, dalam hal ini adalah penelusuran atas pustakapustaka yang relevan dengan tema merupakan jalan yang wajib ditempuh
guna tercakupnya data-data yang komprehensif. Hal ini disesuaikan
10
dengan sifat penelitian skripsi ini yang bisa digolongkan ke dalam jenis
penelitian historis.
2. Pendekatan. Di dalam skripsi ini, pendekatan yang penulis gunakan adalah
pendekatan historis. Pendekatan historis merupakan usaha untuk
menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide agama melalui periodeperiode tertentu dari perkembangan sejarah dan juga merupakan usaha
untuk
memperkirakan
peranan
kekuatan-kekuatan
yang
sangat
mempengaruhi agama. 15 Dalam hal ini usaha menelusuri sejarah dan
perkembangan musik liturgi.
3. Metode Analisis Data. Data diolah dan dianalisis dengan teknik deskriptifanalitik yaitu metode yang digunakan terhadap sesuatu data yang
terkumpul kemudian disusun, dijelaskan dan selanjutnya dianalisis. 16
Sesuai dengan penelitian ini untuk menganalisis data yang diperoleh dari
hasil penelitian penulis menggunakan cara berfikir induktif, yaitu
pembahasan yang berdasarkan pada pemikiran yang bersifat khusus untuk
kemudian disimpulkan dalam kegiatan yang umum. 17
Untuk teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada pengetahuanpengetahuan yaitu Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang
ditetapkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
15
Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama: Suatu Pengantar Awal (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1996), h. 76-77.
16
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM, 1998), h. 42.
17
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik
(Bandung Tarsito, 1990), h.131.
11
F.
Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi terbagi menjadi beberapa bab dan sub bab dengan
rincian sebagai berikut.
Bab pertama berupa pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, tinjauan pustaka, metode
penelitian dan tehnik penulisan, serta sistematika penulisan.
Bab kedua membicarakan tentang Musik Liturgi Gereja Kristen Katolik,
di bagian ini akan di bahas tentang pengertian dan fungsi dari Musik.
Bab ketiga ini penulis ingin menjelaskan pengertian, Tujuan dan Sejarah
perkembangan dari Musik Liturgi, dimana didalamnya terdapat abad-abad
perkembangan Musik Liturgi dari musik gereja perdana sampai abad romantik.
Bab keempat merupakan bab inti, dimana penulis akan menguraikan
kedudukan dan unsur yang dominan dalam musik liturgi gereja katolik.
Pembahasannya meliputi bagaimana kedudukan Musik Liturgi dalam Ibadat dan
Unsur yang mempengaruhi musik liturgi. Dari mulai hakekat Musik liturgi,
dimensi-dimensi musik liturgi, jenis Musik liturgi dan Instrumen Pengiring dalam
Musik liturgi.
Bab kelima berisi penutup dan diakhiri dengan rangkuman yang dapat
terlihat dari uraian kesimpulan dan saran-saran. Kemudian tak lupa juga diakhiri
penulisan dicantumkan daftar pustaka yang digunakan sebagai rujukan.
BAB II
MUSIK LITURGI
A.
Pengertian dan Fungsi Musik
Pengertian seni banyak sekali yang ditulis oleh para pakar di dalam buku-
bukunya. Sekalipun istilah tersebut sudah cukup akrab di telinga masyarakat
Indonesia, tapi tidak menutup kemungkinan istilah tersebut masih banyak orang
belum mengetahuinya secara definitif.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia seni ialah “halus, indah, dan
baik”. 1 Kalau kita kaji kata “indah’ adalah jelmaan yang terdapat dalam diri
manusia karena secara fitrahnya manusia menyukai keindahaan sebagaimana
dalam penciptaannya, yaitu dengan sebaik-baiknya (seindah-indah bentuk). 2
Dalam pengertian secara terminologi seni adalah kecendrungan manusia
yang mempunyai sifat suka keindahan, rasa sedih dan haru. Kecenderungan
tersebut dari Tuhan sebagai anugerah seseorang dan yang demikian berarti telah
memenuhi pembawaan manusiawinya. Maka seni adalah penjelmaan keindahan
yang terdapat dalam jiwa manusia, sebagai fitrahnya yang merupakan
kecenderungan dari Tuhan sebagai anugerah kepada hamba-hamba-Nya. 3
Sedangkan istilah “musik” berasal dari bahasa Yunani mousike yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin musica. Kata benda mousike atau kata sifat
1
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 602.
Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah: Analisa Isi program Syiar dan Syair TVRI
Juni-November 2001”, Skripsi Sarjana Pendidikan (Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah, 2002), h. 12.
3
Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah” h. 22.
2
13
mousikos dibentuk dari akar kata mousa, yaitu nama salah satu dewi kesenian dan
ilmu pengetahuan dalam mitos Yunani 4
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia musik dibagi menjadi dua bagian
1. Musik adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan
kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi
suara yang mempunyai kesatuan dan keseimbangan
2. Musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga
menyandang irama lagu dan harmoni 5
Selain itu, ada beberapa hal definisi tentang musik, yang diucapkan atau
hasil pemikiran para ahlinya. Sifatnya memang cenderung subyektif, tetapi
minimal dapat digunakan sebagai bahan perbandingan. Diantaranya adalah :
•
Musik adalah ekspresi dari sesuatu yang agung (Wolfgang von
Goethe)
•
Musik adalah bahasa dunia: Ia tidak perlu diterjemahkan, dalam musik
berbicara kepada jiwa (Dr. Alfred Aurbach, Universitas California)
•
Musik adalah janji atau jaminan akan hidup yang kekal abadi (Roman
Rolland)
•
Musik adalah suatu perwujudan yang lebih tinggi, daripada segala budi
dan filsafat (Beethoven) 6
Setelah melihat beberapa definisi musik yang dikemukakan dapat ditarik
kesimpulan bahwa musik adalah ungkapan perasaan yang diwujudkan dengan
4
E. Martasudjita, Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, (Yogjakarta:
Kanisius, 1999), h. 135.
5
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 609.
6
Abay D. Subama, et al., Islam dan Kesenian. (Majelis Kebudayaan Muhammadiyah
Universitas Achmad Dahlan Lembaga LITBANG: 1995), h. 50.
14
suara beraturan baik vokal manusia maupun lewat alat-alat musik, itu berarti yang
dikatakan musik itu bukan hanya instrumen tetapi juga vokal. 7
Bentuk kesenian itu dapat dikatakan musik apabila terdapat beberapa
faktor berikut: ritme, artinya dengan beraturan, misalnya: detak jantung dan detik
jarum jam, melodi atau lagu, dan yang terakhir terdapat unsur harmoni artinya
keselarasan sesuai dengan lagunya. 8
Jadi, seni musik adalah ekspresi perasaan dan jiwa manusia sebagai
fitrahnya terhadap keindahan yang diungkapkan lewat nada dan irama baik vokal
maupun instrumental yang tersusun dalam melodi dan harmoni.
Musik merupakan ekspresi budaya manusia dan mengungkapkan citarasa
keindahan. Musik lahir dari sisi terdalam manusia yang didorong oleh
kecenderungan manusia pada segala yang indah. Melalui perwujudan bentuk
gagasan atau pesan, musik memiliki daya kekuatan yang langsung dapat
menggerakkan hati dan menyentuh pencipta maupun pendengarnya. 9
Dilihat dari fungsinya musik adalah sarana untuk mengobyektifkan
pengalaman batin sehingga dapat difahami maknanya. Kondisi ini memberikan
fungsi lain bagi musik yaitu sebagai media komunikasi yang bersifat simbolik.
Musik adalah salah satu cabang seni yang disampaikan dengan irama, memiliki
daya komunikasi masa yang demikian tinggi dan seringkali digunakan untuk
7
Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah” h. 25.
FR Iwan Buana, Makalah dalam seminar “Rekontektualisasi Gagasan Musik Sebagai
Metode dan Media Alternatif Dunia Pendidikan”, (Jakarta: Aula Student Centre UIN Syarif
Hidayatullah, 17 Mei, 2004), h.1.
9
Mohammad S Hali, “Unsur Musik dalam 3 buah Sajak Khalil Matran”, Skripsi Sarjana
Pendidikan, (Jakarta: Perpustakaan UI, 1988), h. 8.
8
15
menyampaikan pesan-pesan yang mengandung masalah sosial dalam kehidupan
sehari-hari. 10
Seorang pakar musik Paul Hamil, didalam bukunya “The Christian and
His Music”, menulis bahwa ada bukti ilmiah betapa musik atau irama dapat
mempertajam syaraf-syaraf penca indera kita. Sebagai contoh bahwa musik atau
irama dapat berpengaruh kepada hidup manusia telah dibuktikan di sebuah
garment di Colorado, Amerika Serikat. Dengan mendengarkan ritme dari lagulagu tertentu, ternyata produktivitas karyawannya meningkat 10 % dari
sebelumnya. 11
Seorang ahli musik lainnya, yaitu Henver, telah melakukan serangkaian
penelitian dan percobaan sehingga ditemukanlah suatu kenyataan bahwa
harmonisasi yang buruk dan kompleks dapat menekan dan membuat sedih
seseorang, sedangkan harmonisasi yang sederhana dan senada akan membawa
seseorang bahagia, serasi, cerah dan harmonis. Melalui pengaruh musik dan
irama, mata dan paru-paru dapat dipengaruhi. Dengan mendengar musik keras
(rock and roll), pernapasan akan terengah-engah dan emosi memuncak.
Sebaliknya irama merdu dan sederhana dapat membantu menyembuhkan
penyakit-penyakit tertentu karena pernapasan berjalan dengan normal. 12
Apabila seseorang mendengarkan dengan penuh penghayatan sebuah
irama artinya orang tersebut sedang memberi sambutan terhadap musik tersebut.
Selanjutnya irama tersebut merangsang thalamus atau otak dan menyalurkannya
ke seluruh tubuh. Setelah itu pernapasan dan peredaran darah akan terpengaruh
10
Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.2.
Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.2.
12
Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.3.
11
16
sehingga metabolisme tubuh akan terangsang. Apabila perubahan terjadi, maka
seseorang dapat menjadi tenang atau sebaliknya sesuai dengan jenis irama yang
didengarnya, serta penyesuaian tubuh terhadap rangsangan irama tersebut. 13
Walaupun bukan merupakan dasar eksistensi hidup manusia, akan tetapi
seni musik dan lagu adalah sebagian dasar social dan cultural manusia. Eksistensi
manusia bukan sekedar hidup, akan tetapi mempunyai kesanggupan untuk
mengalami kesukaan, kepuasan, dan kegembiraan. Agar manusia itu memperoleh
segala kebutuhan kehidupannya, mereka kemudian mencari beraneka ragam seni
termasuk musik dan lagunya.
Dengan demikian jelaslah bahwa musik memang mempunyai pengaruh
yang cukup besar atas kehidupan manusia. Sebuah nyayian dapat menimbulkan
rasa sedih, rasa tenang, rasa gembira, dan sebagainya sesuai dengan iramanya dan
lagunya. Musik dengan nyayian yang kata-katanya sesuai dengan perasaan yang
ditimbulkan, sangat mengesankan dan meresap ke dalam hati orang yang
mendengarkannya.
B.
Pengertian Musik Liturgi
Kata “liturgi” sendiri berasal dari bahasa Yunani Leitourgia, terbentuk
dari akar kata ergon yang berarti “karya”, dan leitus, yang merupakan kata sifat
untuk kata benda laos (bangsa). 14 Secara harfiah, leitourgia berarti ‘kerja’ atau
‘pelayanan’ yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Dalam masyarakat Yunani
kuno, leitourgia dimaksudkan untuk menunjukkan kerja bakti atau kerja
13
14
Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.3.
Martasudjita, Pengantar Liturg, hal.8.
17
pelayanan yang tidak dibayar, iuran atau sumbangan dari warga masyarakat yang
kaya, dan pajak untuk masyarakat atau Negara. 15
Lantas apakah musik liturgi itu? Ditinjau dari tujuan apresiasinya, musik
secara umum terbagi dalam dua bentuk yakni musik ritual dan musik profan.
Musik ritual adalah musik yang diapresiasikan untuk mendukung upacara-upacara
ritual, seperti adat (tradisi) maupun upacara keagamaan. Dalam berbagai
kebudayaan dan agama, bunyi yang dihasilkan oleh instrumen atau alat tertentu
diyakini memiliki kekuatan magis. Begitu pula dalam berbagai agama, terdapat
jenis-jenis musik tertentu yang digunakan dalam ritus-ritus keagamaan.
Sedangkan musik profan atau musik populer, adalah musik yang bernuansa bebas
(tidak bersifat sakral) dan digemari dalam masyarakat serta diapresiasikan sebagai
sarana hiburan. Musik tersebut menggunakan irama bebas dan komposisi
melodinya mudah dicerna dan besifat inovatif. Dari uraian ini, pengertian musik
liturgi secara singkat dapat dikatakan sebagai musik sakral dalam agama Katolik,
atau musik yang dibawakan dalam liturgi Gereja Katolik. 16
Namun untuk menggagas arti musik liturgi secara lebih mendasar,
pertama-tama harus bertolak dari pemahaman akan arti liturgi itu sendiri. Adapun
arti liturgi yang digagas para ahli, yakni sebagai ”perayaan keselamatan dalam
bentuk tanda dan simbol yang dilaksanakan oleh Gereja”. Dari pengertian ini,
musik liturgi adalah salah satu simbol dalam liturgi. Secara umum simbol
dipahami sebagai suatu wujud konkrit yang menyatakan dan mengungkapkan
sesuatu yang lain di luar dirinya. Demikian pun dalam liturgi, simbol memiliki
15
16
Martasudjita, Pengantar Liturgii, h.8.
Paul Widyawan, “Istilah Musik Liturgi”. Warta Musik Liturgi, No. 120, 1987.
18
fungsinya sebagai sarana untuk membantu orang menghayati imannya akan
misteri penyelamatan Kristus bagi Gereja. Dengan ini, musik liturgi termasuk
suatu bentuk simbol yang digunakan sebagai sarana untuk merayakan misteri
keselamatan itu. 17
Tanpa terlepas dari arti simbolis tersebut, dalam Kamus Liturgi
Sederhana, musik liturgi didefenisikan sebagai musik yang digubah untuk
perayaan liturgi (untuk melagukan teks atau lagu liturgi dan mengiringinya)
dengan bentuknya yang memiliki suatu bobot kudus tertentu. Bobot kudus inilah
yang perlu dihayati, sehingga musik liturgi dapat berdaya guna sebagai simbol
untuk merayakan misteri keselamatan. 18
“leitourgia” < leitos (umat,rakyat) + ergos (tugas) > pelayanan
Dalam Bahasa Yunani sehari-hari
Dalam Septuaginta (PL)
Dalam Gereja Purba
*tugas imam
*tugas Imam besar Kristus
*tugas pekabaran Injil
*tugas malaikat-malaikat
*tugas pemerintah
*tugas membantu orang miskin
Terdahulu
Kemudian
17
18
225.
*tugas pegawai
*tugas pelayanan mezbah
*tugas kultus imam-imam
*tugas penatua-penatua atau uskup
*tugas malaikat-malaikat
*”tugas” hidup secara kristen
*pelayanan perjamuan kudus
Paul Widyawan, “Istilah Musik Liturgi”. Warta Musik Liturgi, No. 120, 1987. h. 20.
Ernest Mariyanto, Kamus Musik Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius, 2004. h.
19
Dalam Gereja Katolik Roma
Dalam Gereja-Gereja Protestan
( Reformasi abad 16 )
*ibadah sekeliling ekaristi/misa
*pada awalnya tidak dipakai
*Liturgi dipakai untuk ibadat sejak 1550
(oleh pengaruh Anglikan dan Ortodoks
Yunani)
Sekarang ini
*lazim dipakai untuk ibadah
*menjadi istilah teknis dalam ilmu
Teologi; bidang studinya mencakup tata
kebaktian
Gambar I. Pengertian liturgi dalam beberapa tempat
a.
19
Istilah “liturgi” dalam Septuaginta 20
Septuaginta disini selalu menggunakan kata “leitourgia” untuk suatu
pekerjaan yang dilaksanakan oleh para imam secara tertib dan dengan
khidmat, sesuai dengan undang-undang upacara ibadat; suatu pelayanan
yang berguna untuk seluruh jemaat. 21
b.
Istilah “liturgi” dalam Gereja purba
Dalam Gereja Purba kata ini sebenarnya mengandung arti yang lain.
Artinya sama seperti dalam Perjanjian Lama, yaitu menyatakan tugas
kultus imam-imam. “Leiturgia” juga dapat merujuk kepada kehidupan
sebagai orang Kristen, tugas malaikat, jabatan penatua dan uskup.
Selanjutnya dipakai pula dalam pelaksanaan ibadah, sehubungan dengan
19
G. Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, (Jakarta; Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF,1995) h. 17-18.
20
Septuaginta adalah terjemahan Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa
Yunani. Disebut “Septuaginta” karena menurut cerita (yang tidak pasti ) Perjanjian Lama
diterjemahkan oleh 70 orang penerjemah, kira-kira 200 SM-G. Riemer, Cermin Injil –Ilmu Liturgi,
h.10.
21
Martasudjita, Pengantar Liturgi, h.10.
20
perayaan Perjamuan Kudus. Dalam arti istilah ini “liturgi” makin
memperoleh tempatnya dalam teologi Katolik Roma. 22
c.
Istilah “liturgi” pada saat reformasi
Mula-mula para reformator sama sekali tidak memakai kata “liturgi”. Tapi
mungkin istilah ini diambil alih dari Gereja Anglikan dan gereja Ortodoks
Yunani. 23
d.
Istilah “liturgi” sekarang ini
Gereja masa kini biasanya menamakan ibadahnya suatu “liturgi”.
Kebiasaan ini terdapat pada banyak gereja. “liturgi” sudah menjadi istilah
teknis dalam ilmu teologi yang merujuk kepada berkumpulnya jemaat
untuk beribadat, tata kebaktian, dan sebagainya. 24
Selain itu banyak hal yang mempengaruhi pembentukan liturgi itu sendiri,
bukan saja faktor-faktor lingkungan teologi, tapi juga non-teologi. Semua faktor
dengan wewenangnya masing-masing, bersama-sama membentuk pola liturgi
yang indah dan yang sesuai dengan keadaan jemaat yang merayakannya. Bagan
berikut melukiskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan liturgi
tersebut. 25
22
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h.12.
Valerandus Pollanus disebut sebagai orang pertama yang mulai memakai istilah
“liturgi”, ia berbicara tentang liturgi Sacra (liturgi yang kudus) tahun 1551 M- G. Riemer, Cermin
Injil-Ilmu Liturgi, h. 12.
24
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 12-13.
25
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 24.
23
21
LITURGI
Dunia Gereja
(politik, sosial, ekonomi)
Sejarah Gereja
Alkitab
Kebudayaan
(kesenian; musik; arsitektur)
Persekutuan Gereja
(di Negara dan didunia)
Ajaran Gereja
(dogma)
Antropologi Etnologi
(sifat suku bangsa; adat;
emosi)
Misiologi
Gambar II. Faktor-faktor yang mempengaruhi Liturgi
1.
26
Faktor Sejarah Gereja
Ilmu Liturgi memang wajib diteliti sejarah kebenarannya. Allah
memerintah gereja dari abad ke abad, dan memeliharanya sepanjang
perkembangan zaman. Artinya, gereja yang hidup pada masa sekarang ini
bertanggung jawab untuk mengkaji perlindungan dan pemeliharaan ini, dan untuk
belajar dari sejarah gereja. Ajaran sejarah ini merupakan nasihat yang penting
sekali untuk gereja sekarang ini. 27
2.
Faktor Dunia Gereja
Yang dimaksud ialah pengaruh dunia sekitar gereja, yang dapat
mempengaruhi liturgi, misalnya: bila keadaan ekonomi tidak baik dan masyarakat
umumnya miskin, maka akibatnya untuk gereja jelas; bangunan gereja
memprihatinkan, alat-alat musik tidak ada atau hanya yang sederhana saja.
26
27
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 24.
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 32-33.
22
Walaupun faktor ini kadang-kadang bias menimbulkan akibat yang fatal,
tetapi jelas, faktor ini merupakan prinsip mutlak gereja. Wewenangnya bukan
berkenaan dengan prinsip, melainkan relatif (artinya terbatas, sesuai dengan
keadaan). 28
3.
Faktor Alkitab
Alkitab mempunyai wibawa mutlak dalam kehidupan Kristen, dalam
gereja dan dalam Ilmu Teologi. Sejalan dengan itu liturgi harus taat kepada
Firman Allah, sehingga menjunjung tinggi semua unsur, semua petunjuk atas
perintah yang diberikan Allah sendiri untuk ibadah masa kini. Tapi tidak semua
unsur liturgi yang berasal dari Alkitab merupakan perintah mutlak untuk semua
masa, ada juga yang bersifat nasihat, saran, petunjuk dan dorongan. 29
4.
Faktor Kebudayaan
Faktor ini sangat penting sekali, bukan saja dilihat dari segi missioner, tapi
juga dari segi pembinaan jemaat. Bila kebudayaan disangkal atau kurang
diperhatikan dalam penciptaan dan perkembangan liturgy, maka iman didalam
hati anggota jemaat akan kurang berakar. Tetapi faktor ini juga harus tunduk
kepada faktor-faktor lain yang berwenang mutlak, misalnya Alkitab dan
Dogma. 30
5.
Faktor Persekutuan Gereja
Wewenang faktor persekutuan tergantung pada peraturan gereja. Apabila
persidangan raya menentukan suatu tata ibadah, dengan maksud supaya semua
28
29
30
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 35-36.
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 29-30.
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 34.
23
gereja memakai tata ibadah itu, maka peraturan itu bersifat perintah mutlak, yaitu
berdasarkan ketentuan bersama-sama dalam persekutuan gereja. 31
6.
Faktor Antropologi Etnologi
Faktor ini sebenarnya tidak begitu berbeda sifatnya dari faktor
kebudayaan. Bila hendak menciptakan liturgi, mau tidak mau kita harus
berhadapan dengan faktor ini. Dan disini diperlukan khidmat untuk menentukan
apa yang dapat dan yang harus dibuat, agar kebaktian memperoleh identitas yang
sesuai dengan identitas suatu bangsa. Tapi pada saat yang sama kebaktian itu
harus tetap bersifat “murni”, yaitu berlandaskan ajaran Alkitab yang sejati. 32
7.
Faktor Ajaran Gereja (dogma)
Faktor ini bukan saja berpengaruh dalam pokok ibadat Gereja Katolik
Roma, tetapi juga pada Gereja-gereja Protestan. Dalam Gereja reformasi faktor
dogma erat berkaitan dengan faktor Alkitab. Gereja Reformasi mengakui sebagai
dalil utama, bahwa dasar ajarannya adalah Firman tuhan. Sejajar dengan ini kita
dapat menilai bahwa wewenangnya bersifat mutlak. Tak heran jika dalam Gereja
Katolik Roma dogma juga merupakan faktor yang bersifat perintah mutlak. Tapi
dogma ini tidak selalu datangnya dari Alkitab, bias jnuga dari tradisi. 33
8.
Faktor Misiologi
Faktor misiologi untuk menciptakan liturgi adalah faktor yang penting
sekali, yaitu merupakan dorongan, terutama untuk membuat kebaktian itu hidup
dan sesuai dengan pengertian dan penghayatan setiap orang. 34
31
32
33
34
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h.35.
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 35.
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 34.
Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 34.
24
Jelaslah bahwa ikhtisar ini menjelaskan betapa sulitnya menciptakan atau
mengubah suatu liturgi. Jika komisi liturgi yang bertanggung jawab ingin
memperbaruhi liturgi setempat, maka seharusnya ada pertimbangan dari
keseluruhan faktor yang ada itu, untuk menentukan pola liturgi. Karena perubahan
sembrono tidak akan menghasilkan kebaikan untuk jemaat.
Dikalangan umat, “liturgi” biasa dipahami sebagai upacara atau ibadat
publik gereja. Tidak heran jika orang berfikir tentang liturgi adalah urutan
upacara, para petugas, peralatan yang harus ada, dan sebagainya. Tetapi, makna
dan hakikat liturgi itu sendiri seharusnya digali dari apa yang diajarkan oleh
Konsili Vatikan II, terutama melalui konstitusi liturginya, Sacrosanctum
Concilium. 35 Dokumen liturgi ini merupakan hasil perumusan dan perjuangan
panjang gerakan pembaruan liturgi yang memuat hasil refleksi dan studi liturgis
selama berpuluh-pulluh tahun sebelumnya. Definisi liturgi dirumuskan sebagai
tindakan bersama antara sang Imam Agung Yesus Kristus dan Gereja-Nya bagi
pengkudusan manusia dan pemuliaan Allah yang bersifat simbolis. Karya
keselamatan-Yesus di dalam liturgi selalu merupakan kehadiran dalam bentuk
tanda atau simbolis, seperti; jabat tangan, menepuk dada, berdiri, berlutut,
menumpangkan tangan, mencurahkan air, dan lain-lain. Selain itu juga digunakan
banyak benda simbolis, seperti altar, mimbar, roti, anggur dan lain-lain. Simbolsimbol liturgi ini merupakan simbol yang melaksanakan bahkan menghadirkan
secara efektif apa yang dilambangkan. Salah satu simbolisasi bias terlaksana ialah
35
Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara liturgy Gereja,
khususnya perayaan Ekaristi.
25
melalui tubuh, gerak-gerik atau tindakan. Identitas manusia terbentuk dan
terungkap dalam ekspresi dirinya. 36
36
Martasudjita, Pengantar Liturgi, h. 103-121.
BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK LITURGI
GEREJA KATOLIK
Musik liturgi mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Berikut ini
merupakan uraian singkat mengenai sejarah musik liturgi sejak zaman kekristenan
purba hingga menjelang masa pembaharuan.
A.
Musik Gereja Perdana (100-900) 1
Musik merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial sekuler orang
Ibrani. Mereka tidak membedakan antara kehidupan yang rohani dan sekuler.
Kehidupan musik mereka tumbuh dari jiwa orang-orang yang kehidupan sehariharinya diatur oleh agama mereka. Menurut koleksi tulisan Yahudi yang ditulis
setelah penulisan kitab Injil, Raja Salomo menikah dengan wanita Mesir dengan
mas kawin berupa 1000 peralatan musik. Latar belakang agama Kristen dalam
hubungannya dengan sumber utama yaitu agama Yahudi menjadi awal untuk
membicarakan sumber-sumber liturgi (tata ibadat) Kristen dan musik gerejawi.
“Sesudah menyanyikan nyanyian pujian, pergilah Yesus dan para muridmurid-Nya ke bukit Zaitun.” Begitulah berita Injil Matius 26:30 dan Markus
14:26 tentang perjamuan terakhir yang diadakan Yesus dan murid-murid-Nya.
1
Karl-Edmund Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema
Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 15.
27
Perjamuan ini pada dasarnya berbentuk perjamuan Paskah Yahudi sehingga
berakhir dengan nyanyian Hallel yakni Mazmur-Mazmur 114 sampai 118. Inilah
awal dari musik ibadat Kristen yang dilanjutkan dalam ibadat gereja Perdana. 2
Dalam mitos Yunani Kuno musik dianggap sebagai ciptaan dewa-dewi
atau setengah dewa. Ada anggapan bahwa musik memiliki kekuasaan ajaib yang
dapat menyempurnakan tubuh dan jiwa manusia, serta membuat mu’jizat dalam
dunia alamiah. Seperti halnya dalam tradisi Ibrani, dalam tradisi Yunani Kuno
musik pun tidak dapat dipisahkan dari upacara-upacara keagamaan, misalnya alat
musik Iyra terkait dengan aliran Apollo, Aulos berkaitan dengan alat musik
Dionysus. Dalam musik Ibrani, syair dan lagu dikatakan lebih penting dari
musiknya dan lagunya lebih ditekankan untuk mengikuti alunan yang wajar dari
syair dan aksen diantara kata-kata itu. Generasi Kristen mula-mula menggunakan
lagu-lagu Yahudi lama untuk penyembahan mereka.
Artinya, musik gereja Perdana berasal dari bentuk nyanyian ibadat
sebagaimana dilakukan dalam sinagoge Yahudi. Karena belum ada notasi musik
pada zaman itu, nyanyian ini berkembang lewat improvisasi seorang solis. Pada
waktu menjelang akhir Perjanjian Lama, memasuki zaman Kristus, bangsa
Yahudi membiarkan penyembahan berkembang secara leluasa. Dalam masa
Perjanjian Baru, para rasul Yesus meneruskan kebiasaan sebagai orang Yahudi
dengan mengikuti ibadat di Bait Suci di Yerussalem/Sinagoge. Kitab Mazmur
Perjanjian Lama yang selalu dinyanyikan dalam ibadat Yahudi dan lagu-lagu baru
yang memuji Yesus dalam bentuk seperti mazmur menjadi dasar liturgi yang
2
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 35-36.
28
dinyanyikan dalam ibadat Kristen awal. Musik gereja Perdana melanjutkan tradisi
nyanyian ibadat Yahudi maupun tradisi musik dari Palestina dan sekitarnya.
Pada zaman ini musik liturgi dikenal dengan istilah ‘nyanyian pujian’,
nyanyian mazmur dan kidung pujian (Bdk. Kis 16:25; Ef 5:19; Kol 3:16). Musik
dalam periode ini memiliki dua sumber utama, yang menjadi latar belakang musik
gereja, yakni musik Yahudi dan musik Yunani. 3
Pertama, musik Yahudi. Musik ini berkembang dalam masa pemerintahan
raja Daud. Atas usaha raja Daud (±1012-972 SM), mazmur-mazmur disusun
dalam bentuk yang paralel, guna menyejajarkan setiap kalimat. Untuk
menyanyikan mazmur-mazmur dibutuhkan dua kor di mana mazmur-mazmur
tersebut dapat dibawakan dengan cara saling bersahutan. Musik ini berkembang
dan mencapai puncaknya pada musik kenisah di Yerusalem pada masa
pemerintahan raja Salomo (±972-929 SM).
Usaha-usaha para ahli untuk menemukan lagu yang otentik atau alat musik
yang disebut dalam Alkitab belum membawa hasil yang baik. Peninggalanpeninggalan kuno di Mesopotamia dan Mesir masih dapat memperlihatkan
contoh-contoh alat musik kuno mereka di zaman lampau, namun tidak satu pun
alat musik dari Alkitab yang diketahui secara pasti. Hasil penelitian para
musikolog untuk menemukan notasi musik kuno di sekitar Laut Mati belum
menunjukkan gejala-gejala titik terang. Meskipun demikian, masih terdapat
keterangan yang dapat menjadi pegangan untuk bermusik, antara lain teks
nyanyian dan cara membawakan musik. Atas usaha raja Daud (1012-972 SM),
3
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37.
29
telah disusun mazmur-mazmur berbentuk paralel, artinya tiap-tiap kalimat
dinyanyikan sejajar. Untuk menyanyikan mazmur-mazmur dibutuhkan dua kor
yang saling melengkapi, yaitu dengan cara saling bersahut-sahutan. Cara tersebut
kemudian mempengaruhi cara membawakan musik Gregorian, yakni nyanyian
secara ‘antiphonal’ atau ‘responsorial’.
Perkembangan musik tersebut kemudian berlanjut dalam sinagogasinagoga, sesudah pembuangan di Babilonia pada abad ke-6 SM. Umat Yahudi
membangun berbagai sinagoga sebagai tempat ibadat yang tetap sesudah
pembuangan, sebab kenisah Yerusalem telah dihancurkan musuh. Mereka
membawakan doa-doa dan mazmur-mazmur yang bersifat responsorial. Ada pun
dua gaya bernyanyi dalam musik sinagoga, yaitu ‘syllabis’ dan ‘melismatis’.
Dalam gaya syllabis, tiap suku kata diberi hanya satu nada, walaupun melodinya
sangat bervariasi, misalnya pada kadens awal (initium) atau pada kadens terakhir
(finalis). Sedangkan gaya melismatis bersifat kololatur, yang dinyanyikan oleh
solo. Ciri khas gaya ini adalah pada satu suku kata diberi banyak nada atau suatu
melodi kecil. Dari cara inilah umat Yahudi sesunggunya telah mewariskan
beberapa unsur yang berharga bagi perkembangan musik Gereja khususnya musik
Gregorian. 4
Kedua, musik Yunani (± 675-146 SM). Dalam masyarakat Yunani kuno,
nyanyian erat kaitannya dengan puisi dan para “minstrel” (dapat dibandingkan
dengan “pengamen” di Jawa) yang selalu berkeliling untuk membawakan lagu–
4
Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid 1 (Yogjakarta: PML, 1991), h. 23.
30
lagu secara resitatif. 5 Alat musik ’lira’ dipetik sebagai iringan dan sering
berfungsi sebagai instrument solo. Selain itu dipakai juga alat musik tiup 'aulos’
yang terbuat dari bulu.
Teori musik Yunani berkembang dalam waktu sekitar 600 tahun. Musik
Yunani dipercaya sebagai musik terbaik dan terkenal di antara musik lain dalam
sejarah
musik
dunia.
Literatur
musik
Yunani
sangat
mempengaruhi
perkembangan teori musik di seluruh dunia, dan mempelopori lahirnya musik
keagamaan dan musik klasik di Eropa. Seperti halnya sejarah Yunani penuh
dengan kejayaan di berbagai bidang penemuan, filsafat dan peradaban rakyatnya,
demikian pun musik Yunani, ikut memberikan warna kemajuan bagi kebudayaan
Yunani, bahkan bagi perkembangan musik dunia pada umumnya. Dalam
kehidupan bangsa Yunani pada masa lampau, musik digunakan sebagai sarana
hiburan, perayaan rakyat dan juga kegiatan ritual kegamaan.
B.
Periode Awal Pada Abad X (900-1000)
Mulai abad I gereja tersebar sampai kawasan Eropa selatan. Di Roma
berkembang warisan gereja Perdana. Sejak abad IV selain solis terdapat pula
schola. 6 Sehingga terbuka jalan bagi lagu yang lebih kaya akan seni. Di Milano,
Italia Utara berkembang bentuk nyanyian baru yang dipelopori oleh St.
Ambrosius (333-397). Dalam perang melawan bangsa Arian (386), ia sering
terkurung dalam gereja bersama umatnya. Kemudian ia melatih mereka nyanyian
yang mudah dinyanyikan bersama-sama. Yang pertama, himne atau madah yakni
5
Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 25.
Schola adalah sebutan bagi sekelompok penyanyi terlatih. (Karl-Edmund Prier SJ,
Sejarah Musik jilid 1 (Yogjakarta: PML, 1991), h. 25).
6
31
nyanyian berbait dengan syair baru bukan dari kitab suci. Yang kedua adalah
nyanyian antiphon, refren yang diulang diantara ayat-ayat Mazmur. 7
Gaya musik himne berasal dari Syria yang dibawa ke Eropa Barat pada
abad IV, kemudian dikembangkan oleh St. Ambrosius sesuai kebudayaan dan
kebutuhan setempat. Suatu bentuk penyesuaian yang saat ini dikenal dengan
istilah inkulturasi. Perkembangan pokok terjadi di Roma. Sejak abad IV perayaan
ibadat dirayakan secara resmi dalam gereja basilika, tidak lagi tersembunyi dalam
katakombe. Sampai abad VI nyanyian ibadat berkembang subur, Paus Gregorius
Agung (590-604) merasa perlu mengaturnya, kemudian lahirlah nyanyian
Gregorian. Nyanyian ini terus berkembang, sebagai tradisi dan tulang punggung
musik gereja abad pertengahan. Di Eropa Utara nada-nada melisma yang panjang
diisi dengan syair baru, tropus dan sekuensi. 8
Sampai abad X musik berkembang sebagai tradisi lisan berupa musik
jemaat, dinyanyikan dalam bahasa Latin dan dimengerti oleh semua umat.
C.
Musik Abad Pertengahan (1000 - 1400)
Sekitar tahun 1000 terjadi perubahan dalam musik gereja. Di Eropa
dikembangkan notasi musik, untuk keperluan didaktis. Nyanyian Gregorian
dipandang sebagai warisan yang mengikat, sehingga menjadi tantangan para
komponis untuk menciptakan musik Polifon yang bermutu tinggi. Maka lahirlah
musik gereja gaya baru, Organum. Pada abad XXII di Paris, Prancis berkembang
7
8
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 36.
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37.
32
sekolah Notre Dame dengan seni ritmik yang tinggi, kemudian dengan motetus
dan conductus yang termasuk Ars Antiqua. Pada abad ke-14 digunakan ars Nova
sebagai notasi baru. 9
Saat itu, musik gereja menjadi musik klerikal, 10 jemaat menjadi pasif
karena penyanyi dan paduan suara hanya terdapat di seminari dan biara. Hal ini
membuat gereja berulangkali mengeluarkan peraturan tentang musik ibadat,
namun kenyataan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maka sejak abad XIII
Imam harus mengucapkan semua teks liturgi, meskipun nyanyian tersebut
dibawakan oleh paduan suara.
Musik gereja dipandang sebagai tambahan, hiasan, bukan bagian integral
dari ibadat. Sehingga terbuka jurang pemisah antara liturgi resmi dan musik
gereja. Pada tahun 1300 muncul istilah Musica Ecclesiastica bagi nyanyian
Gregorian, dan Musica Mensurata bagi nyanyian Polifon. Disimpulkan
perkembangan musik gereja menjadi seni Polifon adalah hasil perkembangan
gereja di Eropa Utara dan akibat konfrontasi kebudayaan musik Eropa Selatan
(Gregorian) yang monodis (satu suara, organum).
Gereja melalui proses inkulturasi memajukan kesenian, namun di lain
pihak pendewasaan musik gereja mendatangkan konflik dengan pimpinan gereja:
gereja semakin yuridis, menegaskan ritus dari pada iman dalam perbuatan ibadat.
9
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37.
Musik Klerikal adalah musik yang menjadi bagian tugas atau yang dilakukan oleh
Klerus (orang-orang beriman yang menerima tahbisan diakoniat, imanat atau keuskupan).
10
33
D.
Musik Zaman Renaissance (1400-1600) 11
Dibandingkan dengan musik Abad Pertengahan, musik Renesans lebih
manusiawi. Hal ini tampak dalam bunyi bulat vokal Renesans, suara yang linear
berkembang dalam Polifon menjadi harmonis. Para komponis tidak lagi
mengarang suara satu persatu namun konsep komposisi keseluruhan. Melodinya
disederhanakan dan diperindah dengan potongan-potongan yang ditentukan nafas
manusia. Ritmik Gotik yang rumit diganti dengan irama hidup yang mengalir dan
sederhana. Musik vokal diharuskan mengungkapkan isi dan perasaan yang
termuat dalam syair.
Selama abad XV di Belgia mulai terbentuk pusat-pusat musik, tempat
komponis ternama berkarya atas permintaan pangeran maupun Uskup, di istanaistana dan gereja Katedral tertentu terbentuk paduan suara, orkes, dan kegiatan
kreatif yang cukup subur. Umumnya para komponis tersebut tidak tinggal
menetap, tetapi berkeliling, sehingga di Eropa berkembang gaya musik baru,
musik Renesans. Musik ini dikuasai bentuk motet, suatu bentuk musik yang
berpangkal dari syair dan merenungkannya dalam ulangan-ulangan potongan
secara Polifon. Disamping musik gereja, berkembang seni musik Profan 12 di
Italia (Madrigal) dengan mutu yang tinggi.
Menjelang Konsili Trente (1545-1563) terdapat dua aliran musik gereja:
yang pertama, ingin membendung dan melindungi tradisi musik gereja (yakni
11
Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 123.
Profan berasal dari kata profane dalam bahasa Inggris, yang menurut bahasa berarti
kotor, tidak senonoh, tidak sopan. Namun dalam arti yang berlawanan dengan kata sacred (suci)
profan berarti duniawi, biasa.” Lihat John M. Echols dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia
(Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 449.
12
34
nyanyian Gregorian dan musik Polifon klasik lama), dan yang kedua, ingin
belajar perkembangan musik baru seni Madrigal dengan mencari faedah untuk
musik gereja. 13
Dalam Konsili Trente 14 , pengolahan syair dalam komposisi motet
dianggap terlalu bebas termasuk kebiasaan solis memakai hiasan, tambahan dalam
membawakan lagu, sikap sembrono para organis yang memakai musik hiburan
sebagai selingan. Mengenai perbedaan kedua aliran, Konsili hanya menuntut agar
syair dalam musik gereja dapat ditangkap dan lagu Profan dihindari dalam ibadat.
Nyanyian Gregorian agar dipelihara secara intensif terutama di SeminariSeminari. Namun pelaksanaan keputusan diserahkan pada Uskup lokal.
Atas dasar ini berkembang pusat-pusat musik gereja lokal, yang diwarnai
oleh tradisi lokal dan dicap oleh pakar musik tertentu. G. P. da Palestrina
(Penyelamat musik gereja Polifon) berhasil menciptakan gaya musik Polifon yang
sangat seimbang dengan mengembangkan teknik Polifon dari sekolah Belanda
dan mengembangkannya dengan bunyi indah khas Italia. Selain itu terdapat pakar
musik lain seperti: G. Allegri dengan Miserere, W. A. Mozart, dan Orlando de
Lasso yang menyumbangkan 60 misa dan 1200 motet untuk musik gereja.
Sekitar tahun 1600 terjadi perubahan yang cukup besar, musik monodi
dengan basso continuo dan dengan akor-akor menggantikan musik modal dan
polifon. Ini dikembangkan di Italia, Jerman dalam gereja Katolik maupun
Protestan. Gaya musik monodi dengan iringan basso continuo hanya bertahan
13
14
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37.
Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 155.
35
sementara sampai pertengahan abad XVII kemudian diganti dengan bentuk baru
seperti Orgelmesse, Versetti (lagu-lagu pendek untuk orgel untuk menggantikan
solis dalam membawakan ayat-ayat Magnificat dan Mazmur). Selain itu muncul
juga musik gereja yang murni instrumental seperti Sonata gereja, Epistelsonate,
elevation dan lain-lain. 15
Musik gereja Katolik pada hakikatnya bersifat tradisional, untuk ibadat
masa Adven dan Prapaskah, gereja melarang bunyi instrumen meriah sehingga
digunakan musik khas gerejawi seperti Gregorian dan Polifoni a capella gaya
Palestrina.
E.
Musik Barok (1600-1750) 16
Waktu dari sekitar tahun 1600-1750 dalam sejarah musik merupakan satu
epoche yang sangat utuh disebut Barok atau jaman basso continuo / Generalbass,
atau jaman stilo concertante. 17
Istilah ‘Barok’ untuk pertama kali dipakai sebagai nama gaya kesenian
dalam buku ‘Encyclopedie’ karangan Denis Diderot pada tahun !750 dan
diartikan menurut kata Portugis ‘borucco’ atau ‘barocco’ 18 sebagi bulatmiring/loncong, kira-kira seperti bentuknya mutiara. Ternyata pada abad 18
kesenian musik dari periode tersebut tidak dinilai secara positif tetapi justru
negatif: ‘kehilangan bentuk yang normal’, eksentris’ / ‘berlebihan’, kurang
bermutu’, ‘skuril’, bahkan ‘dekaden’. Harmoni dalam musik Barok dianggap
15
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 41.
Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 7.
17
J. Handschin, Musikgeschichte im Uberblick, Luzern 1948 (Karl-Edmund Prier SJ,
Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7).
18
Dalam bahasa Portugis berarti ‘mutiara’(Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid II
Yogjakarta: PML, 1993, h. 7).
16
36
kurang jelas, terdapat banyak disonasi, melodinya sulit dan kurang wajar / kaku;
pendek kata ‘barok’. 19
Baru selama abad 19 musik dari tahun 1600-1750 mulai dinilai secara
baru dan lebih positif. Sedangkan istilah Barok mulai dipakai sebagai nama untuk
masa tersebut pada awal abad 20, mula-mula di Jerman (H. Riemann, Handbuch
der Musikgeschichte, 1911; H.J.Moser, Geschichte der deutschen musik, 1922; E
Bucken / R Hass, Handbuch der Musikwissenschaft, 1928). Dengan mengikuti
kebiasaan Jerman ini, maka di Amerika pun dipakai istilah ‘Barok’ 20 , sedangkan
orang Perancis dan orang Inggris sampai sekarang berhati-hati memakai istilah
Barok 21 ; para pakar sejarah musik di Italia malah secara eksplisit menolak istilah
Barok karena mereka lebih-lebih melihat arti negatif dari kata Barok (lihat diatas)
dan merasa bahwa ini kurang cocok untuk musik Bach, Handel dll.- Namun inilah
soal istilah saja.
Awal masa Barok di sekitar tahun 1600 cukup jelas sebagai awal gaya
musik baru; dan orang pada waktu itu merasa bahwa mulailah masa baru, dengan
perasaan dan pikiran baru. Meskipun demikian musik polifon lama dipelihara
terus juga sesudah tahun 1600 sehingga terdapat dua gaya yang berbeda-beda
pada waktu yang sama yang disebut stile antico dan stile moderno
19
Demikianlah penilaian J.J Rousseau dalam Dictionaire de musique, Geneve
1767/cetakan ke-2 Hildesheim !969; H.C. Koch, Musikalisches Lexikon, Frankfurt 1802/cetakan
ke-20 Hildesheim 1964. (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7).
20
M.Bukofzer, Allegory in Baaroque Music, New York 1939. (Prier, Sejarah Musik jilid
II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7).
21
Claude V. Palisca, Baroque. Dalam Stanley Sadie (e.d) The New Grove Dictionary of
Music and Musicians, vol. 2, London 1980, hal. 172 (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta:
PML, 1993, h. 7).
37
Sebaliknya akhir masa Barok tidak begitu jelas. Sekitar tahun 1750 (akhir
hidup J.S Bach) terjadi suatu perubahan tidak hanya dalam musik tetapi juga
dalam arsitektur, seni rupa, seni lukis dan sastra: disatu pihak suatu keinginan kea
rah lebih sederhana dan lebih wajar (Aufklarung / pencerahan); dilain pihak
keinginan kearah luwes (Rokoko / Pra kalsik). Namun kecendrungan ini
sebenarnya sudah mulai sekitar tahun 1730 dan mencapai puncaknya di sekitar
tahun 1780 yakni masa jaya Klasik.
Secara lazim, dibedakan tiga tahap dalam jaman Barok : 22
•
Barok Awal
•
Barok tengah : kira-kira 1630-1680
•
Barok akhir
: kira-kira 1580-1630
: kira-kira 1680-1750
Para seniman Barok tidak hanya menirukan alam seperti para seniman
Renaissance tetapi mereka berkarya secara kreatif, sebagai genius dengan
perasaan dan akal / pikiran. Proses ini kadang-kadang seakan-akan melawan alam,
misalnya bila di alam seperti hutan dan rawa dibangun istana dengan kebun yang
disusun secara geometris-matematis. Begitu pula para sastrawan menciptakan
karya sastra yang teratur dan buku ilmu yang tinggi; para pemusik menganggap
diri sebagai ‘musicus poeticus’ 23 yang menciptakan karya (opus) untuk
memperoleh nama. Setiap bentuk yang diciptakan oleh manusia merupakan suatu
langkah untuk mengatur alam ciptaan. Maka banyak bentuk Barok nampak
dibuat-buat dan kurang wajar: mulai dari cara menghormati sampai kebiasaan
22
Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, hlm. 7.
Musicus poeticus (latin) = Komponis (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid II
Yogjakarta: PML, 1993, h. 9).
23
38
memakai rambut palsu; dari etiket sopan-santun yang kaku sampai kebisaan
kastrasi (untuk mempertahankan suara anak pada penyanyi pria dewasa). Dunia
dipandang sebagai arena sandiwara, dengan pameran, sutradara (master of
ceremony) dan musik.
Namun karena manusia menjadi kritis dalam bidang agama, filsafat dan
ilmu pengetahuan, maka pengertian diri orang terhadap dunia transenden pun
tidak utuh lagi. Dalam abad-abad pertengahan segala bidang hidup diatur oleh
hubungan dengan Tuhan / dunia transenden. Hal ini nampak secara visual pada
gedung gereja katedral yang menuju surga, dan secara auditif pada cantus firmus
yang mendapat tempat sentral dalam komposisi motet dsb. Dalam jaman Barok
hubungan dengan dunia transenden diwujudkan dalam dunia konkrit ini: nampak
secara visual dalam istana dan gereja yang indah dan mewah; secara auditif dalam
gaya konser dimana solis dan pribadi manusia menonjol. Meskipun di Inggris
sudah mulai gerakan baru, liberalisme, yang kemudian meletus dalam revilusi
Perancis dan mendatangkan masyarakat baru (republik); namun dalam jaman
Barok masih berkuasalah sistem politik Feodalisme / Absolutisme yang dengan
gigih mempertahankan orde lama. Dalam arti ini karya J.S. Bach (lebih-lebih
menjelang akhir hidupnya) dirasa sebagai “benda asing” / musik ketinggalan dari
abad pertengahan di dalam masyarakat yang sudah berpikiran baru. 24
Masyarakat jaman Barok masih mempetahankan sistem golongan lama:
Raja, kaum bangsawan, kaum Rohaniawan, penduduk kota dan petani. 25 Namun
sistem masyarakat abad pertengahan ini (yang dianggap diatur oleh Allah) hanya
24
25
Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 9.
Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 9.
39
dapat dipertahankan dengan memakai kuasa. Raja Louis XIV menganggap dirinya
sebagai dewa (matahari) dan dibantu oleh kaum bangsawan, kaum rohaniawan
dan tentara. Dlam kota-kota terdapat lapisan orang kaya dan terdidik, sedangkan
orang di pedalaman menjadi makin miskin. 80% masyarakat Eropa pada jaman
Barok buta huruf. Buktinya, lagu dan tari rakyat Barok sebagian besar lenyap
karena diwariskan hanya dengan lisan; sedangkan musik yang dipakai di lapisan
masyarakat atas saja yang dicatat dan diabadikan.
Musik diciptakan dan dipentaskan terutama pada istana (disponsori oleh
bangsawan), gereja katedral (disponsori oleh uskup sebagai pimpinan gereja
lokal), dikota (disponsori oleh pemerintah lokal), sekolah (disponsori oleh
yayasan swasta), sebagai musik kamar (disponsori oleh kelompok orang kaya)
dan dalam gedung opera (disponsori oleh yayasan swasta).26
Gaya Barok mendapat titik pangkal dari Italia: Tahun 1568 di Roma
dibangun gereja II Gesu sebagai peringatan akan St. Ignasius dari Loyola yang
dimakamkan dalam gereja ini. El Greco dan Tintoretto menghias gereja gereja ini
dengan lukisan yang sangat patetis dan penuh perasaan. Maka gaya baru ini mulai
ditirukan di lain tempat, terutama dalam gereja Sri Paus di Roma, St. Petrus
(1644). Gaya bombastis ini hadir dalam arsitektur dan seni rupa, seni lukis dan
musik di Italia utara (Venesia). Dari sini musik Barok mulai meluas ke seluruh
Eropa, terutama musik opera.barok berakhir pada pertengahan abad 18 dengan
timbulnya rasionalisme serta naturalisme baru. 27
26
27
Prier, Sejarah Musik jilid II, 1993, h. 10.
Prier, Sejarah Musik jilid II, 1993, h. 10.
40
Barok seperti musik tradisional Indonesia senang dengan ulangan yang
sama: dirangkaikan detil-detilnya sebagai variasi dan hidup dalam siklus abadi
yang mendapat dasarnya pada kosmos; di satu pihak semuanya bergerak
(matahari dan bintang-bintang dilangit, hidup manusia dari lahir sampai mati;
para penari dan pemain alat musik) namun di lain pihak semuanya tenang pula
karena termasuk dalam peraturan yang disusun oleh Dia yang lebih tinggi
daripada manusia. Musik Barok seperti suita, variasi, passacaglia, fuga dsb.
Mencerminkan sikap dasar ini: musik cukup hidup, memiliki pola variasi, namun
tidak menuju pada suatu titik tujuan, seperti kemudian halnya dalam bentuk
sonata klasik.
Dalam jaman Barok para seniman berusaha untuk (melalui daya fantasi)
menciptakan suatu ‘ruang seni’ yang dipisahkan dari dunia alam dan realita
hidup: plafon gereja dihias dengan lukisan pemandangan alam yang fantastis; tari
pergaulan dirubah menjadi tari seni; diciptakan opera yang berlangsung beberapa
jam. 28 Cita-cita ialah karya seni yang menyeluruh: arsitektur, seni rupa, seni lukis,
seni sastra, seni musik, bahkan (di sekitar istana) seni menghias kebun
diikutsertakan untuk menciptakan karya kesenian di gereja dan istana dengan
tujuan untuk mempesona manusia dengan panca inderanya. 29 Dunia dipandang
sebagai suatu ‘teater’ raksasa, tinggal manusia menikmati penyajiannya yang
disatu pihak indah dan mengesankan, dilain pihak penuh arti simbolis yang
mendalam. Seni lukis dan seni rupa Barok melukiskan manusia; seni musik
mengungkapkan emosi dan perasaannya. Namun manusia Barok belum sadar
28
29
Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 10.
Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 10.
41
akan kepribadiannya sebagai individu; ia melihat diri sebagai satu unsur dalam
kesatuan seluruh dunia. Maka dalam musik Barok tidak dilukiskan perasaan yang
dialami sendiri; perasaan dan emosi pun ditingkatkan dalam ‘gaya’ yang tak
jarang bersifat agak kaku.
Pikiran manusia pun tidak ketinggalan dalam proses ini tidak ketinggalan
dalam proses seni ini: simbolik angka main peranan sangatlah penting dalam
arsitektur maupun dalam musik; urutan akor dalam harmoni funsional, bentukbentuk musik yang dibuat-buat, ilmu kontrapung yang waktu Barok dipandang
kolot namun dijunjung tinggi, sampai pembagian oktaf secara metematis (dan
berlawanan dengan alam) dalam ‘sateman seimbang’ (‘wohltemperierte
Stimmung’) oleh Werckmeister. 30
Dalam jaman Barok kembali dijunjung tinggi teori Pythagoras tentang
musik angkasa. 31 Pada Abad pertengahan bayangan antic tentang musik angkasa
ini telah ditingkatkan sebagai ‘musica coelestis’ (pujian alam raya kepada sang
pencipta) serta ‘musica angelica’ (pujian pada Allah oleh para malaikat di surga).
Pada Akhir Abad Pertengahan Harmoni angkasa tadi tidak dilihat secara realistis
(sebagai bunyi fisik) melainkan secara abstrak / matematis. 32 Johannes Kepler
(1571-1630) menyambung tradisi ini dalam bukunya “Harmonices mundi” 33 .
30
Dalam ‘wohltemperierte Stimmung’ oktaf dibagi dalam 12 langkah ½ nada yang persis
sama. Dengan demikian tidak ada satu kuint lagi yang murni, semuanya berkurang sedikit. (Prier,
Sejarah Musik jilid 1, h. 11).
31
Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 28-30
32
Misalnya Adam dan Fulda (Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 11).
33
Bahasa Latin, berarti ‘Harmoni dunia’, terbitan tahun 1619 ( Karl-Edmund Prier SJ,
Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 11).
42
Berdasarkan
pandangan
dunia
baru
yan
heliosentris 34 ,
maka
Kepler
membandingkan gerakan eliptis dari planit yang satu dengan yang lain.
Ternyata jaman Barok masih memakai istilah klasifikasi musik yang diajar oleh
Boethius, seorang teori musik Roma pada abad 6 M sbb:
-
musica mundana : musik yang hadir dalam dunia nagkasa,
termasuk musim-musim dan harmoni dari makrokosmos;
-
musica humana : harmoni dalam badan manusia seperti anggota
badan, emosi, hubungan antar jiwa dan badan; harmoni dalam
mikrokosmos; 35
-
musica instrumentalis : musik yang berbunyi secara fisik, yakni
hasil bunyi alat musik (musik instrumental) dan suara manusia
(musik vokal). 36
Pada abad 13 musica mundana dan musica humana dipersatukan menjadi
musica theoritica atau musica speculativa; dan musica instrumentalis mulai
disebut musica pratica.
Musica speculativa 37 biasanya diajar pada sekolah menengah dan
universitas dalam rangka pendidikan ‘seni bebas’. Yang termasuk seni bebas ialah
‘grammatica’ (tata bahasa), ‘rhetorica’ (teknik berpitado), ‘dialectica’ (filsafat),
34
Bumi dan planit-planit lain mengelilingi matahari (Prier, Sejarah Musik jilid II
Yogjakarta: PML, 1993, h. 11).
35
Kadang-kadang ‘musica humana’ diartikan pula sebagai musik vocal. Dalam bahasa
Portugis berarti ‘mutiara’. (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 11).
36
Kadang-kadang ‘musica instrumentalis’ diartikan musik instrumental (Prier, Sejarah
Musik jilid II, h. 11).
37
Bahasa latin, berarti ‘filsafat tentang musik' (Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 11).
43
arithmatica (ilmu pasti), ‘geometria’ (ilmu geometri), ‘astronomia’ (=astrologi /
ramalan nasib menurut bintang) dan ‘musica’ (=filsafat musik). 38
Musica practica dibagikan lagi menjadi :
-
Musica plana yakni musik Gregorian dengan satu suara dan irama
bebas;
-
Musik mensurabilis atau musik polifon (disebut pula musica
figuralis 39 )
Pada jaman Renaissance dan Barok musica practica yang diutamakan,
namun musica speculativa mendapat suatu bobot baru pada jaman Barok
berhubung dengan penemuan baru dalam astronomi dan akustik (Galilei,
Mersenne, Sauveur). Bagi Heinrich Schutz (1641), filsafat musik (musica
speculativa) adalah bagaikan matahari diantara para planit. Leibniz pun
memandang musik terutama sebagai ilmu pasti dengan dikatakan (1712) Musik
adalah latihan angka dari lapisan dibawah kesadaran.
Ada juga yang disebut musica poetica adalah ‘ilmu komposisi’ 40 .ternyata
ilmu komposisi abad 17 membahas tentang teknik mengarang motif, bentuk
komposisi keseluruhan sampai pembawaan komposisi. Maklumlah, pada jaman
Barok suatu komposisi sedikit banyak disertai improvisasi/hiasan dengan
ornament, atau diberi ‘wajah’ dengan freshing / deklamasi tertentu.
38
Tokoh yang paling terkenal adalah Johannes de Muris, dengan bukunya ‘musica
speculativa’, paris 1323 (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 11).
39
Menurut bentuk not mensural yang namanya ‘figurae’ (Prier, Sejarah Musik jilid II
Yogjakarta: PML, 1993, h. 12).
40
Dari kata latin ‘opus’ = karya/komposisi; ‘poeticus’ = yang menciptakan karya /
komponis; ‘musica poetica’ = ilmu menciptakan karya musik / ilmu komposisi (Prier, Sejarah
Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 12).
44
Menurut musica poetica suatu nada tinggi melambangkan juga tempat
yang tinggi (gunung, surga) atau selisih tinggi-rendah (misalnya lembah yang
dalam, neraka); Sekon kecil mengungkapkan derita rasa sakit; tanda istirahat yang
mendadak menunjuk pada kejutan, kematian; bila suara satu bergerak sambil
suara dua ditahan, ini diartikan sebagai ungkapan kesalahan dan dosa; vorhalt /
suspension ditafsirkan sebagai keraguan dsb. Musica poetica menyebut secara
total 150 gejala musik yang khas. Kehadirannya merupakan suatu pesan di dalam
musik.
Termasuk tujuan pokok musik Barok untuk melukiskan ‘afek’. Yang
dimaksud dengan ‘afek’ pada jaman Barok tidak sama dengan perasaan jaman
Romantik. Para pemusik Barok yakin bahwa dalam tangga nada dan interval
musik patokan-patokan sikap jiwa manusia. 41
Maka tanda nada dan interval dapat mewakili keadaan jiwa manusia yang
tertentu. Artinya, dalam musik Barok komponis tidak mengekspresikan perasaan
yang ada dalam hatinya, tetapi berusaha untuk memakai patokan (patern) tertentu
(interval, motif irama dsb) secara seni sebagai sarana untuk mengekspresikan isi
kata / syair nyanyian.
Afek atau perasaan juga diungkapkan melalui alat musik yang dipakai,
bagitu pula tangga nada yang dipilih: 42
Keutamaan:
Tangga nada:
Alat Musik:
Iman
doris (dorian) D
trompet
Harapan
frigis (phyrgyan) E
biola diskant
41
Bandingkan juga Raga dalam musik India dan pathet dalam musik gamelan Jawa. –
sama halnya dengan tangga nada Yunani dan estetika Plato- lihat Sejarah Musik jilid I
Yogjakarta: PML, 1991, h. 39-40.
42
Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 13.
45
Kasih
eolis (aeolian) A
biola diskant
Keadilan
lidis (lydian) F
flute
Kekuatan
miksolidis G
trombone, klarine
(mixolydian)
Kewaspadaan
ionis (ionian) C
schalmei
Dalam jaman Barok alat musik terus diperkembangkan. Sebenarnya
proses ini sudah dimulai pada jaman Renaissance. Bukan jenis alat musik yang
ditambah – kecuali piano (Hammerklavier)- tetapi mutu dari suara, termasuk
usaha untuk meningkatkan ungkapan ‘afek’ / perasaan. Maka alat musik yang
sukar diperbaiki keindahan bunyinya lama kelamaan lenyap.
Alat musik yang dipakai pada jaman Barok: 43
1.
dalam musik istana dan gereja (musik seni): biola, biola alto, cello, lute,
gitar, teorbe, harpa, cembalo / harpsichord, organ, flute, horn, trompet,
pauken.
2.
dalam musik rakyat: biola sederhana (oktavgeige), drehleier (alat gesek
denagn dawai bordun), gitar, hackbrett (dulcimer, semacam sitar),
maultrommel
(‘rinding’),
pikolo,
trekorder
(blockflote),
schalmei
(semacam klarinet), gendering, kastagnet, xilofon, lonceng kecil dsb. Pada
awal jaman Barok masih terdapat sejumlah alat musik tiup kayu (pommer,
fagot, raket) yang kemudian lenyap kecuali obo dan klarinet. Semua ini
dipakai dalam bermacam-macam variasi.
43
Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 14.
46
Terutama pada abad XVII, dalam sistem absolutisme, gereja mengalami
perkembangan lahiriah dengan arsitektur yang mewah. Begitu pula dengan
perayaan liturgi dan musik gereja. Hal ini dilatar belakangi, yang pertama karena
gengsi untuk berprestasi atau saingan antar istana, yang kedua karena situasi
perang selama 40 tahun dan rasa tidak aman dalam hidup sehari-hari mendorong
masyarakat mencari pegangan pada Tuhan. Maka tidak mengherankan
perkembangan musik gereja menjadi meriah, bahkan tidak jarang melampaui
batas yang wajar. 44
Pimpinan gereja Katolik berusaha mengendalikan perkembangan musik
gereja dengan menegaskan bahwa syair liturgi tidak boleh dikurangi atau dirubah,
larangan dipergunakannya alat musik terutama flute dan piano karena dicap
sebagai musik teater, larangan jenis alat musik selama prapaskah. Namun semua
aturan ini bersifat regional. Amanat Sri Paus tentang musik gereja selalu
diarahkan kepada keuskupan Roma. Para pangeran Barok memandang musik
gereja dalam istana mereka sebagai urusan swasta, dan karena hukum gereja dan
hukum sipil dipisahkan, maka musik gereja diurus oleh instansi duniawi.
Konsili Trente (1545-1563) memutuskan untuk membaharui Nyanyian
Gregorian. Maka pada tahun 1614 diterbitkan Editio Medicea 45 . Nyanyian
Gregorian dibawakan oleh kelompok penyanyi khusus yang disebut schola
cantorum, umumnya diiringi dengan organ; tak jarang part vokal (ayat mazmur)
dibawakan juga secara instrumental oleh organ ; teknik ini disebut alternatim atau
canto misto, canto spezzato.
44
45
Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, h. 54.
Prier, Sejarah Musik jilid, h. 155.
47
Disamping nyanyian Gregorian dalam ibadat gereja Katolik dipakai juga
lagu polifon dalam gaya lama (a capella) maupun dalam gaya baru (monodis,
secara konsertan dengan basso continou). Adapun jenis musik polifon meliputi
Misa 46 , Motet 47 , Mazmur, Te Deum 48 , Magnificat 49 , Antiphon 50 , Sekuensi 51 .
Selain itu perlu dicatat musik organ, nyanyian jemaat, serta sejumlah musik
rohani seperti oratorio, concerto ecclesiastico (artinya konser gerejani).
Konsili Trente telah mengangkat gaya Paelstrina sebagai stile ecclesiastico
/ gaya musik gereja yang ideal. Maka selama jaman Barok dan juga selanjutnya
gaya polifon lama tetap dipertahankan disamping komposisi ‘modern’.
F.
Musik Klasik (1750-1820) 52
Karya besar musik gereja pada abad XVIII dan musik klasik Wina
sebagian besar merupakan karya dari Joseph Haydn, W. A. Mozart, dan L. Van
Beethoven. Disamping melanjutkan tradisi Barok dengan iringan orkes yang
megah, dalam musik ini nampak cita-cita klasik Wina untuk menciptakan musik
yang bermutu setinggi mungkin, sehingga pegangan teknis, formal, dan estetis
dari musik profan klasik diambil alih dalam musik gereja.
46
Deretan nyanyian untuk ibadat misa yang meriah terdiri dari kyrie – Tuhan kasihanilah
kami; Gloria – kemuliaan; Credo – aku percaya; sanctus / Benedictus – Kudus / Terpujilah; Agnus
Dei – Anak domba Allah (Prier, Sejarah Musik II (Yogyakarta: PML, 1993), h. 38).
47
Prier, Sejarah Musik I, h. 149-150.
48
Sebuah lagu pujian dengan bentuk khusus; syairnya berasal dari St. Ambrosius. Lihat
Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik I (Yogyakarta: PML, 1991), h. 94.
49
Kidung Maria; syairnya diambil dari kitab suci Injil Lukas 2 (Karl-Edmund Prier SJ,
Sejarah Musik II (Yogyakarta: PML, 1993), h. 38).
50
Semacam refren; dipakai sebagai ‘kurung’ pada awal dan pada akhir sebuah Mazmur.
(Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II (Yogyakarta: PML, 1993), h. 38).
51
Prier, Sejarah Musik I, h. 95
52
Prier, Sejarah Musik II, h. 74.
48
Musik gereja zaman klasik mencerminkan suatu optimisme dan
pandangan yang luas. Musik gereja Mozart tidak berbeda dengan musik profan
seperti opera ciptaan Mozart. Seperti halnya seniman klasik lainnya, Haydn dan
Mozart mengabdi pada Allah dengan hati gembira. Haydn berkata: “Karena Allah
memberikan kepadaku sesuatu hati yang gembira, maka kiranya Ia akan
memaafkan daku, bila aku mengabdi kepada-Nya dengan hati gembira”. 53
Manusia abad XVIII merasa satu dengan dunia sekitarnya berdasarkan
humanisme sebagaimana diajarkan oleh para filosof pada abad XVIII (Kant,
Hegel, Schopenhauer, dan sebagainya). Pada zaman ini iman begitu terbuka untuk
dunia, sehingga mengangkat semua unsur yang dapat memperlihatkan sikap
terbuka ini ke dalam musik gereja.
Istilah Klasik dan Klasisisme sering dipakai untuk musik. Namun artinya
tidak begitu jelas. Semula tidak ada jaman atau gaya Klasik / Klasisisme. Menurut
Ensiklopedi Indonesia klasik adalah “suatu karya (umumnya berupa karya cipta
dari jaman lampau) yang bernilai seni serta ilmiah tinggi, berkadar keindahan dan
tidak akan luntur sepanjang masa.” 54 Menurut Friedrich Blume, musik klasik
adalah “karya seni musik, yang sempat mengintikan daya ekspresi dan bentuk
bersejarah sedemikian hingga terciptalah suatu ekspresi yang meyakinkan dan
dapat bertahan terus”. 55 Dalam arti ini Franz Schulbert sering disebut pencipta
klasik dari Lied Jerman, dan inipun benar, meskipun Schubert biasanya
53
Prier, Sejarah Musik I, h.93.
Hassan Shadily. Ensiklopedi Indonesia terbitan Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta 1982,
jilid 3, hal. 1793 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 76).
55
Friedrich Blume dkk, Die Musik in Geschichte und Gegenwart, Kassel 1958, Band 7,
h. 1027 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 76).
54
49
digolongkan sebagai komponis jaman Romantik. Maksudnya ialah bahwa Lied
Jerman mencapai puncak perkembangan dalam komposisi-komposisi Franz
Schubert. Begitu pula tari klasik Jawa sama sekali tidak berkaitan dengan periode
klasik Eropa (1750-1820).
Namun salah pula bila istilah klasik hanya diartikan sebagai puncak
perkembangan dari suatu kesenian (musik, sastra, tari, arsitektur dsb). Salahlah,
kalau apa yang mendahului puncak ini hanya dipandang sebagai hasil sementara,
kurang sempurna; dan apa yang menyusul dinilai sebagai gejala pendangkalan /
klasisisme saja. Pandangan ini salah karena sejarah kini tidak dilihat lagi sebagai
perkembangan terus menerus terdiri dari unsure-unsur yang berkaitan, saling
melengkapi dan mengimbangi. Janganlah Haydn, Mozaart dan Beethoven
dianggap sebagai sebagai tokoh yang lepas dari konteksnya.56 Karena mereka pun
hidup dari warisan jaman Barok yang mereka pun diolah terus dengan cara baru
pada jaman Romantik. Memang, tidak dapat disangkal, bahwa Haydn, Mozart dan
Beethoven merupakan pencipta klasik dari kwartet gesek, sonata piano dan
sinfoni – namun ini tidak berarti bahwa perkembangan sejarah musik Eropa
seakan-akan berpuncak kepada ketiga tokoh ini. Maka dalam bagian ini Klasik
dilihat sebagai lanjutan dari jaman Barok maupun sebagai persiapan untuk
Klasisisme / Romantik artinya Klasik diartikan sejajar dengan jaman sebelumnya
dan sesudahnya.
Selama abad 19 menjadi biasa bahwa tahun 1750 (wafat J.S Bach)
dipandang sebagai awal era baru yang disebut Klasik. Namn sejak tahun 1730 di
56
Prier, Sejarah Musik II , h. 76.
50
Perancis berkembanglah Gaya galan yang bergabung dengan gaya musik Italia.
Dengan demikian terdapat suatu masa peralihan yang disebut Rokoko atau Pra
Klasik (1730-1760). Tidak semua ahli sejarah musik membuat suatu pembedaan
antara Klasik awal (1760-1780) dan Klasik tinggi (1780-1820). 57 Apalagi
mengenai batas akhir dari periode Klasik terdapat bermacam-macam pendapat.
Hal ini memang masuk akal karena Klasik dan Romantik di satu pihak merupakan
dua pola yang bertentangan, namun dilain pihak saling melengkapi. Maka karyakarya Beethoven pada akhir hidupnya dapat digolongkan sebagai karya musik
Romantik; dan komposisi-kompisisi pertama dari Schubert masih dapat disebut
Klasik. Dengan kata lain, jaman Kalsik masih berlangsung terus meskipun jaman
Romantik sudah mulai.
Seperti halnya pada jaman Barok yang meupakan suatu reaksi terhadap
jaman Renaissance, begitu pula pergantian jaman Barok ke jaman Klasik. Hal ini
nampak dalam timbulnya dua gaya baru: 58
1.
Gaya Galan yang mulai di Perancis sejak 1730, suatu teknik komposisi
yang sengaja ingin menjauh dari teknik kontarapung / polifon (Bach,
Handel) dan bersifat lebih bebas, lebih mudah dimengerti, dengan melodi
yang enak, dengan ornamentik yang lebih halus, dengan iringan tanpa
keterikatan akan jumlah suara dsb. Musik ini ditujukan terutama kepada
para pencinta musik, ingin menghibur secara bermutu; bukan tujuannya
menciptakan komposisi berat (dengan mengikuti peraturan-peraturan ilmu
kontrapung)
57
58
Prier, Sejarah Musik II, h. 76.
Prier, Sejarah Musik II, h. 77.
51
2.
Gaya sensitive yang berasal dari Inggris (young, Night Thought, 1742)
pada dasarnya ingin menentang gaya Barok yang terlalu patetis dan kaku,
terlalu emosional (afek). Maka keinginan untuk mengungkapkan perasaan
pribadi.
Secara
kongkrit
hal
ini
diwujudkan
dalam
dinamika
(crescendo)yang diperkembangkan dalam sekolah Mannheim dengan
Stamitz sebagai tokoh; pun pula di Paris dengan Gossec, Schobert, Beck
serta C. Ph. E. Bach. Sedangkan Sekolah Wina dengan Monn, Wagenseil
serta Joseph Hadyn berhasil mengungkapkan rasa suka dan duka dalam
sebuah karya musik yang sama.
Mulai pertengahan abad 18 berkembanglah Filsafat Aufklarung /
pencerahan dimana manusia lewat daya pikirnya mencapai suatu pengertian diri
baru yang makin dewasa dan bebas. Maka hancurlah keterikatan lama dan
berkembanglah cita-cita baru seperti martabat manusia dan kemerdekaan. Hal ini
nampak dalam deklarasi hak asasi manusia di AS tahun 1776; dalam Revolusi
Perancis tahun 1789; dalam berakhirnya system budak; dalam keinginan untuk
toleransi agama; dalam sekularisasi. 59
Kebudayaan yang tadi sedikit banyak diperkembangkan sebagai seni
untuk golongan elite terutama di istana, gedung opera dan digereja katedral, kini
makin didampingi dengan kebudayaan rakyat dengan musik rumah, salon,
restaurant dsb. Karena hidup pada jaman Barok sedikit banyak berupa fasade
(misalnya rambut palsu), dengan pernyataan yang berkelebihan (bombastis) dan
dibuat-buat (artificial), maka timbullah keinginan ke arah hidup sederhana dan
59
Prier, Sejarah Musik II, h. 77.
52
alamiah. “alam” kini dalam arti: seperti semula (jaman firdaus, jaman KlasikYunani). Jean-Jaques Rousseau (1712-1778) mengungkapkan kritiknya terhadap
kebudayaan sejaman dalam tulisan Discours sur les sciences et les arts / uraian
tentang ilmu dan kesenian (1750 di Paris). 60 Sebagai akibatnya, maka pendidikan
menjadi tema utama abad 18, termasuk juga pendidikan musik. Di lain pihak,
orang genius sering menolak ilmu-ilmu (misalnya ilmu kontrapung) sebagai
hambatan untuk memperkembangkan bakat. Mereka ingin bertindak sebagai
seniman merdeka dalam kebudayaan musik baru di tengah masyarakat: maupun
dalam musik rumah, musik salon, dalam konser umum serta opera dihadapan
penonton yang tidak dikenal, maupun terhadap kritik dalam surat kabar.
Perubahan jaman mendatangkan musik baru: kalau dalam Barok emosi
manusia memasuki musik, maka dalam Klasik perasaan dan sikap manusia
diungkapkan, namun selalu diangkat ke tingkat ‘obyektif’;diimbangi dalam
pandangan yang lebih menyeluruh. Musik yang baru bukan lagi patetis (dibuatbuat) dan berat (banyak minor), tetapi wajar dan enak (banyak mayor). 61 Musik
Klasik berusaha untuk menciptakan suatu ‘bahasa universal’ yang dapat
dimengeri tidak hanya secara lokal (nasional) tetapi secara internasional (maka
terdapat banyak musik instrumental). Tema-tema sonata dan sinfoni mirip dengan
lagu rakyat, yang seimbang dalam melodi, ritmik dan harmonic. Baru dalam
variasi-variasi dan ‘development’ komponis memperlihatkan kekayaan yang
tersembunyi dalam tema yang sederhana itu.
60
61
Prier, Sejarah Musik II, h. 77.
Prier, Sejarah Musik II, h. 78.
53
Musik Klasik tidak mau begitu saja mengabdi pada tujuan tertentu seperti
iringan tari, hiburan, suasana pesta dan ibadat. Ia selalu ingin menyajikan musik
yang bagus, ingin mengangkat manusia pada tingkat yang lebih tinggi. Maka
musik Klasik tinggi dimengerti oleh masyarakat umum, bukan hanya bagi
sekelompok elite saja. 62 Pesan rasional dan perasaan seimbang; begitu pula isi
mendapat bentuk yang wajar. Bau pada musik Romantik terjadi suatu
penggeseran kea rah perasaan dan isi. Musik Klasik berusaha untuk membatasi
diri pula dalam bentuk, harmoni, instrumentasi dsb; musik Romantik tidak.
Maka teori estetika Plato yang menyatakan bahwa irama adalah “suatu
ketertiban terhadap gerakan melodi dan harmoni atau suatu ketertiban terhadap
tinggi rendahnya nada-nada” 63 berlaku penuh sebagai dasar musik Klasik.
Terutama Klasik menciptakan harmoni. Seniman Klasik berusaha untuk
mengungkapkan keindahan alam dalam karya kesenian, misalnya dalam lukisan.
Maka seorang komponis berusaha untuk menirukan bunyi alam secara langsung
dalam musik program (Rousseau) maupun tidak langsung dengan mencipta musik
yang ‘alamiah’ / wajar dan indah / seni – sama seperti Sang Pencipta yang
menghasilkan alam raya.
Dengan demikian musik Klasik di satu pihak melawan jaman Barok
dimana musiknya sering artificial / dibuat-buat; dan pengertiannya kurang jelas.
Maka para seniman Klasik percaya bahwa alam sendiri belum memiliki segala
keindahan; maka seorang seniman diharap dapat menambah / meningkatkan
kesenian alamiah dengan pengolahnya menurut hukum estetika.
62
63
Prier, Sejarah Musik II, h. 78.
Prier, Sejarah Musik jilid I, h. 39-40.
54
G.
Musik Romantik (1800-1920) 64
Kata ‘romantik’ dan romantis sebenarnya berasal dari sastra abad 18. sejak
awal abad 19 dipakai secara umum tanpa diberi arti dan batas yang jelas: apakah
yang dimaksudkan suatu gaya, suatu teknik, bentuk-bentuk tertentu-ataukah
hanya suatu sikap saja terutama dalam kesenian. 65
Mula-mula istilah ‘romantis’ (Weber tahun 1821 menyebut operanya “Der
Freischutz”suatu opera romantis) karena terdapat tokoh dan peristiwa yang luar
biasa dan menarik. 66 Di samping itu unsur kuno, dunia dongeng dan jauh, dunia
hantu malam, yang menakutkan dikaitkan dengan istilah ‘romantis’, meskipun
tidak semua unsure ini harus hadir. Maka sulit didefinisikan.
Jelas bahwa ‘romantis’ berhubungan dengan perasaan. Namun anehnya
komposisi piano yang dikarang pada tahun 80-an abad 18 telah diberi judul penuh
perasaan, beremosi dsb. Begitulah misalnya Sonaten und freie Fantasien
karangan C.Ph.E.Bach (1782-1787). Bahkan karya musik akhir WA.Mozart
memuat ungkapan perasaan mendadak yang kemudian oleh tokoh Romantik
(E.T.A.Hoffmann) ditafsirkan sebagai musik khas Romantik. Ini tentu
keterlaluan; namun merupakan suatu bukti bahwa suasana Romantik sudah mulai
hadir pada abad 18. namun dapat dibayangkan, andaikan Mozart tidak meninggal
dengan usia 35 tetapi mencapai umur 80, tidak mustahil bahwa kita akan memiliki
juga karya musik Mozart yang romantis, sama seperti musik Beethoven atau
oratorio Die Schopfung serta Die jahreszeiten ciptaan J.Haydn. artinya selama
64
Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 125.
Friedrich Blume, Romantik Dlama MMG vol. 11 colom 785 dst (Karl-Edmund Prier
SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 77).
66
Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 125.
65
55
jaman Klasik (mulai 1780) sudah hadir pula Romantik, yang berkembang dan
menjadi makin nyata pada tahun 1830 dst. 67
Dengan demikian memang makin kabur arti Romantik. Meskipun
demikian ada juga percobaan untuk membatasi Klasik dan Romantik, dimana
musik ‘Klasik’ dinilai kuno, ketinggalan jaman tanpa perasaan, rasional.
Sedangkan musik Romantik diharapkan dapat mengungkapkan sikap bathin /
perasaan / jiwa manusia. Bahkan mereka yakin bahwa ungkapan ini tidak
dilaksanakan oleh seniman / komponis tetapi oleh suatu dimensi transenden /
lebih tinggi / kosmis (oleh Novalis disebut jiwa dunia). Maka karya seni menjadi
subjektif, mengikuti tiap gerakan hati sampai jadi lembek bahkan sentimental,
atau pada ekstrim yang lain, tidak takut menjadi brutal bahkan sinting. Disini
tampak suatu cirri dari estetika Romantik dan kritik musik Romantik. Semua
orang mendengar musik pertama-tama mendengar secara subjektif, sebagai
pencint musik. Kata ‘amatir’ atau ‘diletan’ memuat kata ‘cinta’ akan sesuatu.
Maka kritik terhadap suatu pementasan pertama-tama mencerminkan rasa
subjektif dari seorang (entah entusiasme atau kebencian) bukan berdasarkan
pengetahuan atau studi terhadap maksud komponis, artinya bukan sebagai ahli
musik tetapi sebagai ‘diletan’. 68
Menurut Fr. Blume musik klasik dan Romantik sebenarnya adalah dua
segi / perwujudan yang berlainan dalam satu jaman; tidak ada dua jaman yang
berlainan. 69 Sedikit demi sedikit gaya musik yang terbentuk pada pertengahan
67
Prier, Sejarah Musik II, h. 125.
Blume, l.c.colom 793 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML,
1993, h. 125).
69
Prier, Sejarah Musik II, hlm. 125.
68
56
abad 18 mengalami perubahan sampai akhir abad 19. “apa yang dimulai pada
Haydn dan Mozart sebagai gaya Klasik tinggi telah memuat ‘godaan-godaan’
romantis. Baru dengan unsure romantis ini gaya Klasik mendapat cirri khasnya
yang unik dan tak terhingga; dan apa yang dalam musik Schumann atau Brahms
nampak sebagai khas romantis, berlandaskan pada dasar gaya klasik ini…Dimana
keinginan romantis dicetuskan dalam bentuk klasik yang jelas dan tegas, lahirlah
apa yang belakangan disebut ‘gaya klasik tinggi’. Romantik tidak ingin
membentuk suatu gaya baru tetapi memperkembangkan tipe klasik tinggi ini. 70
Demikian pula pendapat Paul Henry Lang. 71
Dengan demikian boleh ditanyakan sejauh mana masih bijaksana untuk
membedakan jaman Klasik dari jaman Romantik. Keduanya memang merupakan
suatu kesatuan yang sudah mulai pada tahun 1760 dan baru berakhir pada awal
abad 20. namun di lain pihak sejarah musik tidak dapat begitu saja menghapus
istilah Romantik, karena memang ada perbedaan besar antara musik Klasik dan
musik Romantik.
Abad 19 adalah sangat kaya dalam kecendrungan, perkembangan dan
peristiwa yang sangat aneka bahkan berlawanan satu sama lain. Politik abad 19
sibuk dengan restaurasi yang berpuncak pada Kongres Wina (1814/15). Namun
karena problem tidak dipecahkan terjadilah revolusi di Jerman (1830 dan 1848)
70
Blume l.c.colom….(Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993,
h. 126).
71
P.H. Lang, Music in Western Civilization, New york 1941, h. 816 : “Romanticism
should not be taken as the antithesis of classicism nor was it a mere reaction to it, but rather a
logical enhancement of certain elements which in classicism were inherent and active but tamed
and kept in equilibrium…it is only in their vehemence that we feel a direct opposition to classic
measure. And thereby the stylistic relationship between classicism and romanticism seems
determined.” (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 126).
57
berupa perang antara kekuatan konserfatif (regime kaisar dan bangsawan) dan
progresif (masyarakat buruh) yang makin menuju ke demokrasi. Industri dan
ekonomi pada abad 19 berkembang dengan cepat (kaereta api, pabrik-pabrik dsb);
namun masalah sosial pun tumbuh lebih cepat lagi (urbanisasi, kemiskinan, isolasi
dalam masyarakat yang anonim). Kesenian dan musik ditanggung oleh instansi
masyarakat, namun pada tingkat yang sangat berbeda-beda: disamping karya
musik dengan mutu tinggi terdapat musik murahan (Kitsch); musik menjadi
barang konsum (perbanyakan not, produksi piano kecil untuk dipakai di rumah);
di samping pentas di gedung konser, gedung opera dan gereja, musik juga
dipentaskan di salon dan di rumah sebagai hiburan; ketrampilan teknik permainan
piano / biola (Liszt, Paganini) menjadi dangkal karena tujuannya hanya demi
gengsi saja.
Perkembangan musik Romantik seluruhnya dapat dilihat dalam fase-fase
sbb: 72
1.
Romantik Awal 1800-1830
Restaurasi terutama di Jerman diwarnai dengan usaha melarikan diri
kedunia irasional: dengan menimba bahan dari dunia dongeng / ajaib (E.T.A.
Hofmann dengan undine) dan alam / hutan yang misterius (C.M.v.Weber dengan
Freischutz); bahan yang dekat dengan rakyat. Tidak hanya dalam bentuk karya
opera, tetapi juga dalam wujud musik instrumental (Beethoven) dan musik kamar
(nyanyian Schubert).
72
Menurut Michels, Atlas II, h. 435 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II
Yogyakarta: PML, 1993, h. 126).
58
2.
Romantik tinggi 1830- 1850
Revolusi pada tahun 1830 mendatangkan suatu perubahan: Romantik kini
menjadi umum di seluruh Eropa; pusatnya bergeser dari Wina ke Paris dimana
terdapat macam-macam inspirasi terutama dari sastra Perancis (V.Hugo, A
Mumas dll). Symphonie fantastique ciptaan H. Berlioz mencerminkan semangat
yang baru; Chopin memikat perhatian para pencinta musik piano. Di Italia
Paganini menunjukkan kemahirannya pada biola, dan di Jerman Liszt emosinya
dalam piano. Mendelsohn menemukan kembali dan mementaskan musik Bach
secara romantis; Wagner menciptakan opera gaya baru; di Italia Verdi
mempesona dengan opera-operanya.
3.
Romantik Akhir 1850-1890
Revolusi pada tahun 1848 pun merupakan suatu penggalan. Sesudah wafat
dari Mendelssohn (1847), Chopin (1848) dan Schumann (1856) diperkembangkan
bentuk musik baru, Liszt dengan Symphonische Dichtungen (sejak 1848) dan
Wanger dengan Musikdramen. Sekaligus tampil generasi baru: C.Franck,
Bruckner, Brahms dll, dengan estetika dan bentuk baru. Historisme, naturalisme
dan nasionalisme menetukan musik.
4.
Musik pada pergantian abad 1890-1914
Generasi komponis dengan Puccini, Mahler, Faure, Debussy, R. Strauss
dengan karya baru merintis macam-macam arah baru sampai menjadi ekstrim.
Impresionisme Perancis ikut main peranan cukup besar. Akhir jaman Romantik
berbeda-beda di masing-masing tempat. Namun musik atonal dari Schonberg
59
(1907/08) merupakan suatu garis yang cukup jelas, dan awal perang dunia I
merupakan suatu batas definitif.
Pada abad romantik sikap musik gereja mendapat kritikan karena dinilai
terlalu gembira dan terbuka. Pada awal abad XIX, E. TH. A. Hoffman, seorang
sastrawan Jerman menuntun musik liturgi gereja menjadi seni musik suci gereja
(musica sacra) yang bertujuan mengangkat hati manusia langsung kepada Allah
melalui akar-akar sederhana, murni, dengan bunyi yang indah. Dalam musik
gereja Katolik abad XIX terdapat tiga aliran: 73
a.
Aliran yang melanjutkan tradisi zaman klasik Wina. Cita-cita klasik Wina
dilanjutkan oleh sejumlah komponis seperti C.M. Von Weber, Franz
Schubert, Kaspar Ett, dan terutama A. Bruckner. Para komponis bekerja
secara mandiri, maka komposisi yang mereka ciptakan merupakan cetusan
iman pribadi atau berdasarkan pesanan. Bukan ibadat yang menentukan
komposisi mereka, tetapi komposisi menentukan karakter ibadat melalui
gaya komposisi, sehingga musik gereja dapat juga dipentaskan dalam
gedung konser sebagaimana missa Solemnes karya Beethoven.
b.
Gerakan Cecilianisme. Cecilianisme adalah suatu organisasi di dalam
gereja Katolik Jerman, yang didirikan pada tahun 1868 oleh seorang
imam, F.X. Witt untuk mempersatukan kor-kor gereja katolik. Witt
mengambil alih cita-cita musica sacra dari E.T. Hoffmann. Tujuan ini
dimulai dengan penyegaran nyanyian Gregorian dan memperbaharui
musik Polifon gaya Palestrina. Namun para pakar Cecilianisme dalam
73
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 47-49.
60
pembaharuan nyanyian Gregorian berpangkal pada Editio Medicaea dari
tahun 1614/1615, sedangkan para rahib dari Solemnes, Perancis dengan
menyelidiki naskah-naskah dari Abad Pertengahan. Maka terjadilah
persaingan yang kurang sehat di antara mereka, perselisihan ini
diselesaikan oleh Paus Leo XIII pada tahun 1901 dengan membenarkan
versi Solemnes. K.G. Fellerer menilai restaurasi, pengembalian ke bentuk
historis menjadi ideal untuk musik dalam ibadat, dan musik Gregorian
dan Polifoni klasik kuno dipandang sebagai musik gereja yang ideal.
c.
Aliran Musik Devosional. 74 Dalam masa Romantik timbul suatu devosi
baru (subyektif dan sentimental). Namun devosi ini tidak bermuara dalam
liturgi sejati melainkan sering tersesat dalam moral dan mistisme. Selain
Cecilianisme dengan keterikatannya pada musik Polifon a capella,
individualisme telah mengakibatkan musik gereja mengalami suatu
stagnasi (kemacetan, tidak mendapat kemajuan) yang baru teratasi pada
abad XX, dimulai saat pembaharuan oleh Pius X. Sementara musik trivial
(murahan) dan sentimental berkembang biak dengan pesat, sedang musik
religius sejati diciptakan di luar gereja.
H.
Musik Abad Ke-20 75
Pada abad ini, musik mulai dihidupkan oleh Gereja untuk kegiatan-
kegiatan ibadat. Musik mengalami perkembangan yang pesat dan telah memiliki
74
Devosional adalah sesuatu yang bersifat kebaktian. Aliran Musik Devosional adalah
aliran yang bersifat ibadat kebaktian keagamaan dalam hubungannya dengan devosi, ketaatan.
(Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 153).
75
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 35-36.
61
makna yang lebih mendalam. Tahun 1903 dalam Motu Proprio Tra le
Sollecitudine (Paus Pius X) istilah musica sacra menjadi istilah umum untuk
nyanyian gregorian maupun untuk musik polifon.
Kemudian melalui Konsili Vatikan II pada tahun 1963 sampai dengan
tahun 1965, musik liturgi mendapat warna baru di mana corak musik liturgi tidak
hanya sebatas pada musik Gregorian dan polifoni tetapi juga termasuk corak
musik etnik (tradisional) yang diinkulturasikan ke dalam musik liturgi. 76
Konsili Vatikan II melalui dokumen artikel 112 Konstitusi Liturgi
menegaskan bahwa musik Gereja kiranya semakin suci jika erat hubungannya
dengan upacara ibadat dengan menjadikan ungkapan doa lebih mendalam, rasa
kebersatuan hati umat semakin dipupuk dan upacara-upacara suci semakin
diperkaya dengan nuansa yang agung dan khidmat. Oleh karena itu untuk
membangun sebuah khaznah musik liturgi yang sesuai dengan prinsip tersebut,
Konsili Vatikan dalam bab ke-16 Konstitusi Liturgi menekankan sejumlah aspek
yang menunjang penataan dan pengembangan musik liturgi, seperti pendidikan
musik liturgi, komposisi musik, musik di daerah misi dan sebagainya.
Singkatnya, Konsili Vatikan II yang terjadi di abad ke-20 membawa
perubahan yang sangat besar dalam musik liturgi Gereja Katolik. Hal ini akan
dikaji secara khusus dalam bab empat.
76
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 35-36.
BAB IV
BERBAGAI ASPEK DALAM MUSIK LITURGI
GEREJA KATOLIK
Ada 2 dokumen utama yang dijadikan dasar hukum untuk mengatur
masalah musik dalam liturgi, yaitu:
•
SC (Sacrosanctum Concilium) disahkan pada tanggal 4 Desember 1963
Paus Paulus VI
•
MS (Musicam Sacram) disahkan pada tanggal 5 Maret 1967 dalam
kongregrasi untuk Ilahi
Aneka ragam pola musik diperbolehkan dalam liturgi. Untuk itu, insan
musik gereja harus menanggapi secara kreatif dan bertanggung jawab untuk
mengembangkan musik baru dalam liturgi masa kini.
Awalnya ada dua pola dalam menyanyikan misa, yaitu:
•
Misa latin: misa meriah di mana ordinarium + proporium dinyanyikan
•
Misa sederhana: dimana hanya 4 nyanyian. Misalnya Pembukaan,
Persembahan, komuni dan Penutup. 1
Misa tanpa nyanyian (tanpa satu lagupun) atau dengan penuh nyanyian
(seluruh misa dinyanyikan….kebayang kan imamnya…nyanyi terus,….) Misa ini
dianggap tidak cukup membantu untuk liturgi masa kini.
1
Karl-Edmund Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema
Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 15.
63
Sejalan dengan perkembangan jaman, kini banyak bagian Misa yang boleh
dinyanyikan, baik oleh pemimpin atau jemaat. Resiko dari perkembangan jaman
ini terutama insan musik harus memahami hakikat dan fungsi dari setiap bagian
misa tersebut
A.
Tujuan Musik Liturgi
Musik liturgi adalah musik yang digubah untuk perayaan liturgi suci
dimana dari segi bentuknya memiliki suatu bobot kudus tertentu seperti
contohnya Kategori: Gregorian, polifoni suci, musik liturgi untuk organ/alat
musik yang sah, musik liturgi rakyat. 2
Dari pengertian itulah, dalam Sacrosanctum Concilium diberikan batasan
tentang musik liturgi sejati yang harus memiliki ciri: 3
•
Bisa untuk paduan suara besar atau kelompok koor kecil,
•
Memiliki peluang untuk partisipasi aktif umat (lagu sudah dikenal umat),
dan
•
Syair harus selaras dengan ajaran Katolik; ditimba dari Alkitab dan
sumber-sumber liturgi.
Sebagai sarana yang merupakan bagian integral dari liturgi maka tujuan
musik liturgi berkaitan erat dengan tujuan liturgi itu sendiri yakni sebagai sarana
untuk memuliakan Allah dan mengudusan manusia. Adapun tujuan tersebut
2
3
Kongregrasi untuk Ilahi “Musicam Sacram”, 1967. 4.
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 121.
64
dijabarkan dalam tiga tujuan apresiasi musik liturgi dalam perayaan liturgi Gereja,
yaitu tujuan dekoratif, unitatif dan eskatologis. 4
1.
Tujuan Dekoratif
Sebagai sebuah kekayaan nilai seni dalam tradisi Gereja Katolik, musik
liturgi memiliki sebuah tujuan dekoratif yakni memperkaya upacara suci dengan
kemeriahan yang lebih semarak. Bernyanyi dan bermusik adalah sebuah ekspresi
seni dalam kehidupan manusia.
Lewat bernyanyi manusia dapat menyampaikan isi hati secara lebih
mendalam dan intensif jika dibandingkan dengan sekedar berkata-kata. Oleh
karena itu, dengan memperhatikan efek psikologis dari musik dalam kehidupan
manusia maka dalam kehidupan perayaan liturgi musik dipakai sebagai sarana
untuk mengungkapkan doa-doa dan puji-pujian secara lebih menarik untuk
kemuliaan Tuhan dan pengudusan umat beriman.
2.
Tujuan Unitatif
Dalam liturgi, setiap lagu yang dinyanyikan umat secara bersama memiliki
daya yang memersatukan. Musik liturgi dapat bermakna seturut identitasnya, jika
dihidupkan bersama dalam perayaan. Oleh karena itu, musik atau nyanyian liturgi
mengabdi pada partisipasi umat dalam ibadat, sebagaimana yang diuraikan dalam
artikel 114 Konstitusi Liturgi yang menghendaki agar pada setiap upacara liturgi
yang dinyanyikan segenap umat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan
4
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 56.
65
membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka. 5 Dengan ini liturgi
sebagai sebuah perayaan Gereja, secara lahirian diungkapakan melalui nyanyian
bersama.
Kebersamaan inilah yang menjadikan musik liturgi lebih berdaya guna
sebagai sarana doa dan pujian bagi Allah sekaligus demi pengudusan umat
beriman.
Menyadari bahwa liturgi sendiri merupakan perayaan bersama, maka
nyanyian itu harus melayani kebutuhan semua umat beriman yang sedang
berliturgi. Yang harus dihindari adalah memilih lagu yang hanya berdasarkan
selera pribadi atau kelompok. Kriteria lagu terletak pada apa yang dapat
menjawab harapan dan kebutuhan umat agar perayaan liturgi sungguh menjadi
perayaan bersama.
3.
Tujuan Eskatologis
Aktus bernyanyi untuk memuji dan memuliakan Tuhan, secara biblis
memiliki keberlanjutannya sampai pada kehidupan kekal. Kitab Wahyu Yohanes
memberikan gambaran tentang para kudus di surga yang bernyanyi untuk
memuliakan Kristus sebagai Anak Domba Allah (bdk. Why 5: 7-10). Gambaran
ini membangun suatu penghayatan tentang musik liturgi yang bernilai eskatologis.
Namun prinsip utama yang memberikan makna eskatologis bagi musik
liturgi adalah perayaan liturgi itu sendiri yang merupakan perlambangan dari
5
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 114.
66
perayaan liturgi surgawi. Hal ini ditegaskan Gereja dalam Konsili Vatikan II yang
berbunyi:
“...dalam liturgi di dunia ini kita mencicipi Liturgi surgawi, yang dirayakan di kota suci
Yerusalem surgawi, tujuan peziarahan kita” (bdk. Why 21: 2; Kol 3: 1; Ibr 8: 2)...... bersama
dengan segenap balatentara surgawi kita melambungkan kidung kemuliaan kepada Tuhan”. 6
Dengan ini, musik liturgi sebagai bagian integral dari liturgi memiliki nilai
eskatologis yang perlu dihayati dalam kehidupan Gereja di dunia.
B.
Fungsi Musik dalam Ibadah
Secara umum makna kata “ibadah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mempunyai definisi sebagai berikut: “perbuatan untuk menyatakan bakti kepada
Allah, yang didasari oleh ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.” 7 The International Standard Encyclopedia mendefinisikan kata
“ibadah” sebagai: “kemuliaan dan penghormatan dalam pikiran, perasaan, atau
tindakan yang dilakukan oleh manusia, malaikatmalaikat yang ditujukan sematamata kepada Allah.” 8
Dalam Webster Dictionary edisi kedua “ibadah” didefinisikan sebagai:
“penghargaan kepada ilahi serta pengakuan keberadaan yang tertinggi melalui
6
7
8
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 8.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed.1988), “ibadah,” 318.
The International Standard Encyclopedia Vol. 5, “worship” 3112.
67
penyembahan, pengakuan dosa, pengucapan syukur.” 9 Evelyn Underhill
mendefinisikan ibadah sebagai: “penyembahan total manusia sebagai respons
kepada Allah yang kekal, yang menyatakan diri-Nya.” 10
Kata ibadah itu sendiri dalam bahasa Inggris (worship) berawal dari kata
Anglo Saxon, yang secara literal adalah weorth (eorthy) dan scipe (ship).
Pengertiannya merujuk kepada kelayakan seseorang yang menerima penghargaan
dan penghormatan yang khusus. Kemudian kata ini berkembang menjadi
“worthship” dan akhirnya menjadi “worship” yang artinya beribadah kepada
Allah karena Ia layak dipuja dan disembah. 11
Alkitab menyaksikan bahwa musik cukup mendapat tempat dan perhatian
yang tersendiri dan ini mengandung implikasi bahwa kehadiran musik
mempunyai tujuan dan sasaran tertentu yang perlu dicapai. Allah memberikan
perintah dan tuntutan tertentu terhadap pemanfaatan dan peran musik di dalam
kehidupan gereja-Nya. Semua ini bertolak dari pemahaman bahwa musik (dalam
ibadah) pada dasarnya merupakan ide Allah yang dikaruniakan kepada manusia
pada umumnya dan umat Allah pada khususnya untuk memperkaya kehidupan
mereka.
Dalam hal ini, Dr. Brace H. Leafblad memberikan kesimpulan yang tepat:
“Music was God’s idea… a luxurious gift to Human Beings which has enriched
9
Jean L. McKechnie, Webster’s Dictionary (USA: The World Publishing Co, 1975),
2109.
10
Warren W. Wiersbe, Real Worship (New Jersey, Nashville: Oliver Nelson, 1986), 21.
Walter Elwell, Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids, Michigan: Baker
Book House, 1985) 1192. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam
Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10).
11
68
our life since earliest times. In Old Testament, God melded music and worship, a
glorious union still stable today….God takes music in the church seriously….” 12
Walaupun inisiatif pengadaan musik itu diperintahkan oleh Allah, namun
jika tidak sesuai dengan maksud Allah maka Allah tak berkenan atasnya. Bila
Allah sendiri menyatakan perhatian yang cukup serius terhadap pemanfaatan
musik di dalam kehidupan umat-Nya, maka sudah seharusnyalah kita yang
diwarisi peninggalan karya-karya musik yang kaya dan indah harus memikirkan
musik gereja dengan serius pula. Berikut ini beberapa konsep yang benar
mengenai fungsi musik dalam ibadah, yaitu:
1.
Sebagai Sarana untuk Memuji Tuhan
Harold Best, dekan dari The Wheaton Conservatory of Music, dengan
tegas mengatakan bahwa: “Music is also an act of worship.” 13 Sedangkan
seorang profesor emeritus dalam bidang musik gerejawi dari Universitas
Rochester, M. Alfred Bicheh pernah mengatakan dalam khotbahnya di Concordia
Theological Seminary Indiana, 16 Maret 1978: “Music has both sacramental and
sacrificial
overtunes.” 14
Musik
merupakan
pemberian
karunia
yang
dianugerahkan Allah kepada manusia, karena itu manusia harus memakainya
untuk memuji Tuhan. Hal ini merupakan prinsip dasar manusia, seperti yang
dikatakan Rasul Paulus dalam Roma 11:36:
12
Brace H. Leafblad, “What Sound Church Music?,” dalam Christianity Today, 19 May
1978, 19-20. (Karl-Edmund Prier SJ, “Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20”, dalam
Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 38).
13
Harold Best, “Music: Offerings of Creativity,” dalam Christianity Today, 6 May 1977,
15. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen
Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10.).
14
Harold Best, “Music: Offerings of Creativity,” dalam Christianity Today, 6 May 1977,
15. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen
Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10).
69
“sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah
kemuliaan sampai selama-lamanya!”
Pengertian seseorang terhadap konsep peranan musik dalam ibadah akan
menentukan sikap orang yang bersangkutan dalam melakukan tindakan
ibadahnya. Lovelace dan Rice mengatakan dengan keras bahwa penyalahgunaan
musik dalam ibadah pada dasarnya merupakan tindakan yang sudah menjadikan
musik sebagai “pelacur” (prostitute) dan bukan sebagai “pelayan” (handmaid of
religion). 15
Mengapa demikian? Karena dengan penyalahgunaan musik dalam gereja,
musik telah “dipaksa” untuk menjalankan peranan yang tidak sesuai dengan
makna dan maksud ibadah yang sesungguhnya. Maka sebagai bagian dari ibadah,
musik harus diperankan sesuai dengan makna ibadah, dalam hubungan antara
umat Allah dan Allah sendiri.
Alasan dan tujuan pemanfaatan musik dalam relasi tersebut harus bertolak
dari Allah dan berporos kepada Allah. Dr. Leafblad menyimpulkan:
“In our ministry to the Lord, our ultimate goal is to glorify Him. The goal of
worship is not the delight of man, but the pleasure of God. Thus the ministry of music
in worship must be primarily concerned with pleasing and glorifying God. In
worship, God is the audience.” 16
Tujuan akhir ibadah bukanlah kepuasan manusia melainkan kepuasan
Allah. Maka, pelayanan musik gerejawi dalam ibadah pertama-tama harus
15
Austin C. Lovelace & William C. Rice, Worship and Music in the Church (Nashville:
Abingdon, 1976), 20-21(Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam
Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10).
16
Leafblad, What Sound Church Music?, 19. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk
Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10).
70
berusaha memuaskan dan memuliakan Allah. Di dalam Mazmur 100:2b berkata:
“Datanglah di hadapan-Nya dengan sorak-sorai!” Ayat ini menunjukkan bahwa
musik Allah memiliki sesuatu yang disukai-Nya ketika Dia dihampiri. 17 Musik
bukan sekadar pencair suasana, bukan pula sebagai pembangkit semangat jemaat.
Karena itu tuntutan kualitas musik tidak hanya ditekankan pada aspek “science
and art” saja, melainkan juga pada aspek isi atau berita dari syair-syair nyanyian
yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah ada keselarasan
antara isi atau berita dengan realitas sifat dan eksistensi Allah beserta musiknya.
2. Sebagai Sarana untuk Persekutuan (fellowship)
Relasi pertama, yaitu antara umat dengan Allah, yang diwujudkan dalam
ibadah akan dengan sendirinya membawa mereka masuk dalam relasi kedua,
yaitu antara umat dengan sesamanya. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis, di
mana setiap orang sama-sama datang ke hadirat Allah sebagai umat yang telah
ditebus, disucikan, diperbarui. Musik memiliki daya untuk mempersatukan,
sehingga dapat berperan sebagai sarana pemersatu jemaat yang berkumpul
bersama-sama untuk menyembah Tuhan. Jemaat yang sudah dipersatukan dalam
Kristus dipanggil dan tergerak untuk mengikrarkan pengakuan, penyembahan,
pengucapan syukur bahkan puji-pujian kepada Allah. Hal tersebut sesuai dengan
karakteristik musik. Pengertian tentang peranan musik yang demikian akan
mempunyai akar theologis sebagaimana yang digariskan Alkitab, dan bukan
17
Lamar Boschman, Musik Bangkit Kembali (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil
Immanuel, 2001), h. 19.
71
sekadar alasan fungsional belaka. Musik sakral senantiasa mempersatukan karena
pada saat ibadah dilangsungkan gereja telah menjadi satu. 18
3.
Sebagai Sarana untuk Pembinaan (nurture)
Peranan musik erat hubungannya dengan menasehati jemaat. Musik
sebagai sarana untuk menyampaikan nasehat, dorongan, peringatan dan
penghiburan (encouragement, comfort) kepada saudara seiman agar mereka dapat
dikuatkan untuk bertumbuh dan berani menghadapi segala realitas dan tantangan
hidup sebagai orang Kristen yang benar. Ini jelas berbeda dengan fungsi musik
yang hanya sekadar bersifat entertainment atau hiburan, di mana umumnya
membawa orang kepada dunia mimpi yang seolah-olah tidak ada persoalan dan
kesulitan hidup yang menyebabkan timbulnya rasa pesimis dan frustasi.
Walaupun musik itu sendiri memiliki aspek nilai Entertainment, namun di tengahtengah jemaat hal tersebut tidaklah menjadi tujuan yang paling utama.
Dengan berdasarkan pengertian di atas, maka peranan musik gerejawi
dapat dimanfaatkan sebagaimana seharusnya sehingga hal-hal yang bersifat
negatif, misalnya memanipulasi emosi yang ditimbulkan sebagai efek sampingan
dari jenis musik atau nyayian tertentu dapat dihindari. Sebaliknya, kehangatan
ekspresi persekutuan dengan Allah yang saling membangun akan tampak dan
dapat dirasakan oleh jemaat.
4.
Sebagai Sarana untuk Pengajaran (education)
Pada umumnya peranan musik di sini dimengerti sebagai sarana untuk
menanamkan pengajaran-pengajaran yang terdapat dalam Alkitab ke dalam hati,
18
Best, Music: Offering of Creativity, 15. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk
Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10).
72
pikiran dan kehidupan umat-Nya. Kebenaran-kebenaran spiritual tersebut menjadi
lebih jelas, ekspresif dan komunikatif ketika dinyatakan melalui melodi, harmoni
dan ritme yang bersangkutan.
Dalam hal ini musik merupakan sarana yang amat efektif daripada
pendekatan verbal. Musik sebagai sarana pendidikan sudah lama dikenal dan
diterapkan. Di India para guru memakai musik untuk membina kerohanian atau
mental para murid atau pengikutnya. 19
Begitu pula Plato dan Aristoteles amat menganjurkan penggunaan musik
sebagai mata pelajaran wajib bagi para murid mereka untuk membentuk
karakter. 20 Secara pedagogis, musik juga merupakan metode pengajaran itu
sendiri (a sound teaching method).
Penjelasan di atas sebenarnya sudah dikenal sebelumnya oleh para filsuf di
abad ke-3 SM, dan khususnya berkenaan dengan integrasi keunikan peranan
musik dengan pendidikan agama Kristen, Marthin Luther mengatakan bahwa
musik adalah metode dan sekaligus kurikulum. 21
Oleh karena itu, gereja-gereja liturgikal mempunyai kepekaan akan
pentingnya pengajaran doktrinal di dalam musik gerejawi. Theologi yang tidak
membawa manusia menyembah kepada Allah adalah theologi yang tidak benar
dan berbahaya. Agar makna ibadah tidak diselewengkan, maka hubungan liturgy
19
Charles R. Hoffer, The Understanding of Music (California: Wadsworth Publishing
Co.,1971), 2. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat
Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 11).
20
William Lyod Hooper, Church Music in Transition (Tennessee: Broadman Press,
1963), vi. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen
Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 11).
21
John F. Wilson, An Introduction to Church Music (Chicago: Moody Press, 1974), 39.
(Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa
Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 11).
73
dan ibadah harus jelas. Liturgi dipakai untuk menjaga keutuhan pengajaran yang
benar agar gereja tidak terlena dengan keindahan yang tidak menumbuhkan iman.
C.
Kedudukan Musik Liturgi Gereja Katolik
Dari keseluruhan gagasan Konsili Vatikan II tentang musik liturgi dalam
Konstitusi Liturgi bab keenam, dapat ditemukan tiga pertimbangan mendasar
dalam
musik
liturgi.
Pertimbangan-pertimbangan
tersebut
antara
lain
pertimbangan musik, pertimbangan liturgi dan pertimbangan pastoral.
1.
Pertimbangan Musik
Dalam artikel 112 Konstitusi Liturgi dinyatakan bahwa tradisi musik
Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang
dari ungkapan-ungkapan seni lainnya dan bahwa musik Liturgi semakin suci, bila
semakin erat hubungannya dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan
doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah
dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. 22
Gagasan ini menyatakan bahwa dalam sejarah Gereja, musik liturgi
memiliki mutu kesenian yang tinggi. Mutu tersebut tidak terlepas dari bobot
estetika baik dari segi melodi, harmoni (keserasian akor), iringan, syair,
penjiwaan dan teknik bernyanyi.
22
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 112. (Karl-Edmund Prier SJ,
Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja
(Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 35-36).
74
Oleh karena itu dalam pertimbangan musik, sebuah musik liturgi dituntut
untuk memiliki mutu (kualitas) musikal yang baik. Perhatian serius akan tuntutan
ini akan mendukung tujuan dasariah musik liturgi itu sendiri, sebagaimana yang
terungkap dalam Konstitusi Liturgi 112 yakni ’kemuliaan Allah dan pengudusan
umat beriman”. 23
2.
Pertimbangan Liturgi
Dalam pertimbangan ini musik liturgi dituntut untuk mengikuti norma
liturgi, seperti memiliki keselarasan dengan tahun liturgi, tema perayaan dan
bagian-bagian dalam liturgi. Hal ini sesuai dengan amanat Konsili Vatikan II
dalam Konstitusi Liturgi 112, yaitu bahwa Gereja menyetujui segala bentuk
kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan Liturgi dan
mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah. Selain itu dalam
pertimbangan liturgi, musik liturgi dituntut untuk mendukung partisipasi umat.
Konsili Vatikan II, melalui Konstitusi Liturgi 113 menggagas bahwa upacara
Liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyayian
meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan umat ikut serta secara
aktif.
Oleh karena itu, sebagaimana liturgi merupakan perayaan seluruh umat
dalam kesatuan tubuh Gereja, maka musik liturgi harus dapat mendukung
partisipasi umat dalam menghayati iman, memuliakan Tuhan serta merasakan
pengudusan, penyelamatan dan kesatuan di dalam-Nya.
23
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 112. (Karl-Edmund Prier SJ,
Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja
(Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 35-36).
75
Pertimbangan liturgi adalah suatu aspek penting untuk diwujudkan sebab
pada hakekatnya musik liturugi adalah bagian yang terintegral dalam liturgi.
3.
Pertimbangan Pastoral
Di sini, musik liturgi dituntut untuk dapat mempertimbangkan
kemampuan umat, kategori umur, situasi dan sensus religius. Maka musik liturgi
harus memilki kepekaan terhadap cita rasa dan kemampuan umat dalam
menghayati serta mengungkapkan imannya. 24
Selain itu, menurut pertimbangan pastoral, musik dalam liturgi juga harus
dapat disesuaikan dengan konteks kebudayaan (tradisi) yang dihidupi umat. Di
sinilah terbuka kemungkinan bagi Gereja untuk menggali khazanah musik daerah
sehingga dapat digunakan dalam perayaan liturgi. Pertimbangan ini berkaitan
dengan artikel 119 Konstitusi Liturgi, yang menyatakan bahwa musik dalam
tradisi hendaknya mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang
sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius umat beriman, maupun dalam
menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka. 25
Dengan pertimbangan pastoral inilah maka musik liturgi inkulturasi
dianggap penting untuk ditumbuhkembangkan dalam Gereja Lokal.
Akan tetapi perlu dipahami, bahwa ketiga pertimbangan musik liturgi di
atas harus memiliki keterikatan satu sama lain. Artinya sebuah musik liturgi
dinyatakan layak untuk dibawakan dalam perayaan liturgi, jika dapat memenuhi
24
Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen
Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h.10.
25
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 119. (Karl-Edmund Prier SJ,
“Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20”, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik
Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 35-36).
76
secara seimbang ketiga tuntutan, yakni bahwa musik tersebut baik secara musikal,
sesuai dengan jiwa liturgi dan selaras dengan cita rasa serta daya apresiasi umat.
D.
Hakekat Musik Liturgi
Musik liturgi adalah musik yang mulia dan agung. Kesan ini demikian
kuat terasa, manakala kita menelusuri liku-liku sejarah pekembangannya yang
telah dihayati dalam Gereja Katolik, seperti yang telah dirumuskan dalam bab
terdahulu. Kesadaran Gereja akan kekayaan nilai musik liturgi terungkap dalam
Dekrit Sacrosantum Concilium Konsili Vatikan II, yang berbunyi:
“Musik liturgi merupakan khazanah gereja universal yang tak terduga
nilainya. Ia unggul di antara ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena ia
merupakan bagian yang “mutlak” dan integral dari liturgi yang mulia. Musik
liturgi makin luhur sejauh ia makin erat dihubungkan dengan liturgi, baik karena
mengungkapkan doa-doa dengan lebih manis, maupun karena memupuk kesatuan
serta memperkaya upacara kudus dengan kemeriahan yang lebih agung”.
Pernyataan ini mengungkapkan hakekat musik liturgi. Musik liturgi bukan
suatu unsur luar yang ditambah untuk menghias atau memperindah liturgi saja,
melainkan suatu bagian integral (pars integralis) dan elemen konstitutif dari liturgi
itu sendiri.
E.
Dimensi Musik Liturgi
Musik liturgi memiliki tiga kegunaan penting berdasarkan sejumlah uraian
pokok dalam Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II. Kegunaan itu adalah liturgis,
77
eklesiologis dan kristologis. Ketiga kegunaan tersebut memiliki kaitan erat satu
sama lain. 26
1. Liturgis
Konsili Vatikan II menekankan bahwa musik liturgi bukan sekadar untuk
selingan, tambahan, atau dekorasi demi kemeriahan liturgi, melainkan merupakan
bagian Liturgi yang penting atau integral. Dengan kata lain, musik liturgi adalah
‘liturgi’ itu sendiri.
Jika kita bertolak dari paham tentang liturgi sebagai perayaan perjumpaan
dengan Allah, maka yang boleh menjadi musik liturgi adalah musik dan nyanyian
yang dapat membantu orang dapat mengalami perjumpaan dengan Allah. Maka
musik yang dikehendaki dalam liturgi adalah musik atau nyanyian yang dapat
menghantar orang kepada sebuah pangalaman batiniah akan Allah. Musik liturgi
yang baik dapat membangun sebuah doa atau peribadatan yang baik pula.
2. Kristologis
Dalam Konstitusi Liturgi 112, musik liturgi dipandang sebagai sarana
untuk memuliakan Allah dan menguduskan umat beriman. Pemuliaan Allah dan
pengudusan umat beriman ini merupakan tujuan Gereja sebagai perwujudan karya
penebusan Yesus Kristus yang dirayakan dalam perayaan liturgi. Maka, musik
liturgi sebagai bagian integral dalam liturgi hendaknya mengungkapkan iman
akan misteri Kristus. Bahwa Kristus hadir dalam liturgi harus terungkap dalam
nyanyian liturgi. Dengan ini, musik liturgi dapat menjadi media yang
26
Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara Liturgi Gereja,
khususnya perayaan Ekaristi. (Karl-Edmund Prier SJ, “Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad
ke-20”, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994),
h. 45).
78
memperjelas misteri Yesus Kristus dalam liturgi. 27 Melalui syair-syair yang
bernuansa biblis dan teologis, nyanyian liturgi hadir untuk memperdalam misteri
iman akan Yesus kristus yang dirayakan dalam liturgi.
3. Eklesiologis
Musik liturgi dapat membantu umat dalam berpartisipasi secara aktif
dalam liturgi. Dalam artikel 114 Konsili Vatikan II dikatakan bahwa ”..upacara
liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyanyian
meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan bila umat ikut serta secara
aktif”. 28
Berbagai nyanyian dan musik yang amat sesuai dengan tema liturgi dan
tempatnya akan membantu umat dalam memasuki misteri iman yang dirayakan
dan memungkinkan umat untuk lebih baik menangkap sabda Tuhan dan karunia
sakramen yang dirayakan. Di samping itu, nyanyian dapat ikut membangun
kebersamaan umat yang sedang beribadat. Kebersamaan itu mungkin sudah
tercipta sejak tahap persiapan seperti ketika para anggota kor dan pengiring
berlatih.
Dengan
ini,
nyanyian
liturgi
akan
sangat
mempersatukan umat dalam setiap perayaan liturgi.
27
28
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 121.
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 114.
membantu
untuk
79
F.
Jenis Musik Liturgi
1.
Musik Gregorian 29
Musik Gregorian adalah khazanah dasariah musik liturgi Gereja. Hal ini
ditegaskan dalam artikel 116 Konstitusi Liturgi alinea pertama, yakni bahwa:
“Gereja memandang nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas bagi Liturgi
Romawi. Maka dari itu bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting,
nyanyian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara Liturgi”.
30
Sebagaimana telah digambarkan, corak musik Gregorian lahir dari corak
musik Yahudi. Musik ini mula-mula dikenal dengan nama musik monofoni (satu
suara). Namun pada abad pertengahan, Paus Gregorius Agung secara resmi
memperhatikan musik Gereja dengan mengumpulkan melodi-melodi yang sudah
dipakai di berbagai Gereja dan membentuk suatu kumpulan nyanyian resmi dalam
ibadat umat dengan sistematika berdasarkan tahun liturgis. Sebagai tanda
peringatan akan jasa Paus Gregorius Agung, maka nyanyian monofoni itu
dinamakan ‘Gregorian’. Nyanyian tersebut telah dirasakan dan dihayati oleh
Gereja selama berabad-abad sebagai nyanyian yang sakral, sebab menyatakan
keindahan yang mulia atas dasar sifat kontemplatifnya. Nyanyian ini diartikan
pula sebagai mistik doa Gereja yang diekspresikan dalam nuansa monofon.
29
“Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi
Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399.
30
. Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 116.(Dokumen Konsili
Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2003).
80
Nyanyian Gregorian 31 memiliki tangga nada khusus. Tangga nada ini
diperkenalkan oleh seorang musisi dari biara St. Amand, yakni Haubald (840930) dalam bukunya “The Harmonica Institutione” (Pengajaran Ilmu Harmoni).
Ada delapan tangga nada dalam musik Gregorian yang disusun menurut teori
modalitet Haubald, antara lain: doris, frigis, lidis, miksolidis, hipopodoris,
hipofrigis, hipolidis, hipomiksolidis.
Setiap tangga nada pada nyanyian memiliki warta dan suasana khusus.
Tangga nada doris dan hipodoris memiliki suasana yang bersifat serius dan berat.
Tangga nada firigis dan hipofrigis, suasana yang diciptakannya bersifat mistis,
lebut dan menyambung, seakan-akan tidak selesai. Tangga nada lidis dan
hipolidis memberikan suasana senang, hidup dan gembira. Sedangkan, tangga
nada miksolidis, dan hipomiksolidis memiliki kesamaan perannya dalam
menciptakan suasana yang agung dan megah. Nuansa setiap lagu justru yang
menjadikan musik Gregorian sering dirasa selaras dengan jiwa perayaan liturgis.
Dinamika suasana yang diciptakan oleh sifat tangga nada tersebut, menjadikan
musik Gregorian indah dan menawan dalam ritus-ritus peribadatan Gereja
Katolik. Bentuk-bentuk modus ini dipakai sesuai dengan suasana perayaan liturgi,
baik meriah maupun meditatif.
Selain kekhasan modusnya, musik Gregorian juga memiliki kekhasan
dalam iramanya. Dalam seni musik modern, kini dikenal dua prinsip susunan
gerakan, yaitu birama dan irama. Birama bersifat statis sedangkan irama bersifat
dinamis. Irama merupakan suatu prinsip gerakan melodis yang penuh variasi,
31
“Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi
Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399.
81
sedangkan birama merupakan prinsip gerakan yang sama (monoton). Namun hal
ini tidak berlaku dalam musik Gregorian. Susunan gerakan kalimat musik
Gregorian memiliki keunikan tersendiri. Pada musik Gregorian tidak terdapat
prinsip birama yang tetap (statis).
Keindahan musik Gregorian juga ditunjang oleh bahasa Latin yang
mempunyai keistimewaan dalam hal aksentuasi. Pada frase lagu Gregorian
terdapat istilah sastra klasik yang disebut arsis dan tesis. Arsis adalah alunan
melodi yang naik di mana nada-nada makin diangkat sampai mencapai puncak
ketinggian. Sedangkan tesis adalah alunan melodi yang turun di mana nada-nada
seolah-olah makin tenang mencapai tempat istirahat.
Selain irama, musik Gregorian juga memiliki gaya bernyanyi tersendiri.
Gaya bernyanyi ini dibentuk oleh Dom Andre Mosquereau, OSB (1984-1930),
seorang biarawan St. Piere dekat kota Solesma (Prancis).32 Ada tiga betuk gaya
bernyanyi yang dikenal dalam Gereja Katolik hingga saat ini, yaitu: pertama, gaya
sylabis, yang merupakan gaya bernyanyi yang paling mudah dan sederhana di
mana satu suku kata (sulbe) dinyanyikan dengan satu not. Kedua, gaya
melismatis, di mana satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa not. Ketiga,
gaya neumatis, yaitu gaya campran antara sylabis dan melismatis, di mana
kelompok nada yang disusun, diselingi satu nada untuk satu suku kata. Selingan
ini menjadi loncatan ke suku kata berikutnya, dengan susunan kelompok nada
dalam bentuk yang lain lagi. Gregorian di abad pertengahan menjadi semakin
“berbunga-bunga” melodinya dan semakin melismatis, terutama akhiran “a” dari
32
“Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi
Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399.
82
kata Alleluia. Akhirnya muncul kebiasaan di mana “a” tersebut dengan banyak
not, melodinya diisi dengan syair baru yang bersifat silabis.
Dengan gaya bernyanyi yang unik, musik Gregorian dapat dirasakan
sebagai musik sakral sebagai ‘doa yang dinyanyikan’apalagi dalam musik
Gregorian terdapat tiga bentuk nyanyian, yaitu nyanyian yang memiliki not
resitatif, nyanyian biasa seperti dalam nyayian-nyanyian ordinarium dan nyanyian
yang memiliki perulangan, seperti litani dan hymne. Maka sudah selayaknya jika
Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II menyatakan nyanyian ini sebagai
nyanyian khas dan paling utama dalam liturgi Romawi. 33
2.
Musik Polifoni: Musik Klasik Gerejawi 34
Antara pertengahan abad IX sampai akhir abad XI, musik liturgi
mengalami suatu perkembangan baru. Pada masa ini, para komposer mulai
menambah harmoni pada lagu-lagu sehingga terbentuk lagu yang terdiri dari
banyak suara. Musik yang demikian kemudian dikenal dengan nama musik
polifoni. Giovani Perluigi seorang komponis dari Palestrina (1515-1594) adalah
perintis tentang musik polifoni dengan membuat aransemen melodi yang banyak,
sehingga setiap nada atau titik (point) bergerak secara mandiri atau berlawanan, di
sinilah lahir ‘teori kontrapun’. Istilah polifoni terbentuk dari kata poli yang berati
banyak dan fonem yang berarti bunyi, sehingga polifoni berarti bunyi yang
banyak. Dalam perspektif ilmu musik, istilah polifoni diartikan sebagai gaya
komposisi musik yang menggabungkan dua suara atau lebih.
33
Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara liturgi Gereja,
khususnya perayaan Ekaristi. (Karl-Edmund Prier SJ, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad
ke-20, h. 45).
34
Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid 1 (Yogjakarta: PML, 1991), h. 74.
83
Musik polifoni kemudian berkembang sebagai cikal bakal lahirnya paduan
suara. Dengan itu, istilah polifoni yang dimaksudkan dalam Konstitusi Liturgi
Konsili Vatikan II adalah musik dan nyanyian yang dikomposiskan dengan
pembagian suara. 35 Namun hal ini tidak berarti bahwa semua musik yang
bercirikan polifoni dapat digolongkan sebagai musik liturgi. Konsili Trente
menekankan bahwa Gereja melarang penggunaan nada-nada lagu sekular untuk
musik keagamaan, dan mengharuskan agar kata-kata dalam setiap lagu harus
ditonjolkan dan dibuat mudah dipahamai umat. Maka, di akhir abad XVII, musik
liturgi dikomposisi dengan aransemen orkestrasi yang dinilai mampu mendorong
umat kepada kehidupan devotif yang mendalam dengan berbasiskan teks Kitab
Suci. Gagasan konsili Trente kemudian dipertegas dalam Konsili Vatikan II, yang
menegaskan tentang syarat dasariah sebuah musik dapat disebut musik liturgi. Hal
ini tercantum dalam artikel 116 Konstitusi Liturgi, yang berbunyi:
“Jenis-jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang
dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara Liturgi”.
36
Istilah polifoni semakin kurang digunakan, sebab khazanah polifoni sangat
berkembang sangat baik dalam musik Klasik, Barok dan Romantik. Maka dewasa
ini, salah satu bentuk musik polifoni yang dikenal adalah musik klasik Gerejawi.
Namun musik klasik dewasa ini dipandang sebagai musik yang bernilai seni
35
Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003.
36
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 116.(Dokumen Konsili
Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2003).
84
sangat tinggi sebagai warisan kebudayaan Eropa pada abad pertengahan. Sampai
saat ini musik klasik Gerejawi sering digunakan khususnya dalam perayaanperayaan besar. Karena nilai panghayatan akan aspek liturgis, kristologis dan
eklesiologis yang dapat ditampakan dari apresisasi musiknya, maka musik klasik
Gerejawi dianggap layak menjadi corak musik liturgi.
Menurut Ensiklopedi Indonesia, kata “klasik” adalah suatu karya cipta dari
zaman lampau dengan nilai seni yang bermutu tinggi, yang keindahannya tidak
akan luntur sepanjang masa. 37 Hal ini terwujud dalam seni musik klasik Gereja
yang memiliki nilai estetika yang tinggi yang mampu mengangkat kewibawaan
liturgi Gereja. Lagu dan iringan musik ‘Malam Kudus’ karya F. Gruber dan
‘Halleluya’ karya G.F. Handel misalnya, merupakan musik klasik gerejawi
dengan ‘daya mistik’ yang kuat dan menggema sepanjang masa.
Mula-mula musik klasik untuk liturgi Gereja terapresiasi dalam aspek
vokal (nyanyian), sebab yang diutamakan dalam liturgi ialah syair. Sedangkan
instrumen musik lebih dipandang sebagai unsur komplemen. Tetapi dalam
perkembangannya, keindahan musik instrumen organ pipa yang bernuansa musik
klasik dianggap penting di dalam sebuah perayaan liturgi. Pada abad ke-14 musik
instrumental organ kemudian dipakai dalam liturgi. Musik ini dipakai dalam
liturgi untuk menciptakan nuansa khidmad dalam peribadatan, entah dengan
mengiringi nyanyian, maupun dengan melantunkan instrumen-instrumen klasik
yang indah.
37
Hassan shadly. Ensiklopedi Indonesia terbitan Ichtiar Baru- Van Hoeve, Jakarta 1982,
jilid 3. h.1793.
85
Musik klasik Gerejawi adalah musik yang memiliki mutu tinggi yang
mampu membentuk peribadatan yang agung dan semarak di samping musik
Gregorian. Ulrich Michels, dalam bukunya Atlas zur Musik, Band 2 berpendapat
bahwa musik klasik Gerejawi tidak sebatas pada apresiasi keindahan nuansa
musik tetapi juga memiliki pula suatu pewahyuan kebenaran yang jika
direfleksikan dapat memberikan makna yang bernilai sepanjang sejarah. 38
Salah satu faktor yang menjadikan musik klasik seakan memiliki nilai
mistik yang tak terungkapkan karena para pemusik klasik mencipta musik lewat
refleksi dan penghayatan iman yang mendalam. Selain itu juga musik klasik
menjadi sangat berkesan karena diciptakan dalam situasi di mana manusia abad
ke-18 merasakan kesatuan dengan dunia (kosmos), dan berada dalam harmoni
dengan sesama, bukan berdasarkan agama tetapi berdasarkan humanisme yang
dipengaruhi oleh para filsuf eksistensial abad ke-18 seperti Kant, Hegel dan
Ashopenhauer. Pada zaman klasik tersebut, iman terbuka untuk dunia maka
semua unsur yang dapat memperlihatkan sikap terbuka ini diangkat ke dalam
musik gereja (musik klasik gerejawi), sehingga musik tersebut memiliki daya
mistik dan bahkan memiliki efek psikologis yang berguna untuk ketenangan hati
dan kejernihan budi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa musik klasik gerejawi dapat
dihayati sebagai khaznah musik liturgi Gereja Katolik yang memberikan inspirasi
bagi perkembangan musik Gereja. Di Indonesia misalnya, komposisi musik
Gereja bereferensi pada kaidah-kaidah komposisi musik klasik. Selain itu dalam
38
Prier, Sejarah Musik II, h. 93.
86
pola iringan organ Gereja, komposisi musik klasik menjadi warna khusus iringan
organ Gereja, baik untuk mengiringi nyanyian klasik Gerejawi itu sendiri,
maupun dalam mengiringi nyanyian Gregorian dan nyanyian inkulturatif. Pada
dasarnya, iringan organ dalam musik liturgi tersebut disusun menurut pola
“kantionalsatz” (gaya klasik), yakni iringan yang menggunakan sistem
pembalikan akor dan bas berjalan. Organis Gereja yang mempelajari iringan
tersebut, akan merasakan keindahan iringan musik liturgi.
3.
Musik Inkulturatif
Istilah inkulturasi pertama kali muncul dalam dokumen penutup sinode
para uskup “Ad Populum Dei nuntius” tahun 1979, dalam Himbauan Apostolik
Paus Yohanes Paulus II “Catechesae trandendae”. Secara etimologis inkulturasi
berasal dari kata “in”, yang berarti masuk ke dalam, dan “cultura” yang kata
kerjanya “colore” berarti pengolahan (tanah); pembinaan, budaya. 39 Dari kedua
arti kata tersebut, inkulturasi berarti “masuk ke dalam budaya”. Kata ini kemudian
dipakai secara populer dalam konteks liturgi Gereja Katolik. Anscar J. Chupungco
mengartikan ‘inkulturasi liturgi’ sebagai proses di mana upacara-upacara
keagamaan pra kristen diberi arti kristen. Istilah ini dipakai dalam Gereja Katolik
Roma, yakni di mana unsur-unsur dan bentuk asli dari adat-istiadat diberi arti
baru, yaitu arti kristiani.
Dalam bukunya yang berjudul ‘Penyesuaian Liturgi dalam Budaya’ ,
Anscar Chupungco menulis bahwa sebuah inkulturasi bila dilaksanakan dengan
tepat, merupakan sarana yang ideal untuk mengkristenkan segenap kebudayaan.
39
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 89.
87
Namun hal ini membutuhkan tahapan yang cukup panjang. Oleh karena
itu inkulturasi harus terjadi secara berkesinambungan, sebab dalam upaya
membaharui Gereja, Konsili Vatikan II pertama-tama memugar liturgi Gereja.
Jadi Konsili Vatikan II telah menjamin unsur-unsur hakiki dari ibadat Kristen
dalam rangka memantapkan pertumbuhannya yang homogen. 40
Dalam Konsili Vatikan II, salah satu bentuk inkultursi dalam bidang
liturgi yang diangkat secara khusus adalah inkulturasi musik liturgi. Hal ini
tertuang
dalan
artikel
119
Konstitusi
Liturgi
yang
berbunyi:
Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa
yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam
kehidupan beragama dan bermasyarakat. 41
Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang
sewajarnya , baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam
menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud art. 39 dan
40. 42 Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya
sungguh diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan
musik tradisional bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat.
Artikel di atas secara jelas telah memberikan sebuah rekomendasi bagi
seni musik tradisional untuk memberi warna yang khas bagi perayaan liturgi yang
40
Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003.
41
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 119.(Dokumen Konsili
Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2003).
42
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 39-40.(Dokumen Konsili
Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2003).
88
bercorak budaya. Hal inipun didasarkan pada iman akan misteri inkarnasi,
sehingga segala unsur kebudayaan termasuk di dalamnya adalah musik-musik
tradisi mendapat ‘bobot kudus’ dengan menyatu dalam sebuah perayaan liturgi.
Dengan demikian, musik inkulturatif dapat diartikan sebagai kesenian musik dari
berbagai tradisi kebudayaan tempat Gereja bermisi, yang dimasukkan ke dalam
liturgi sehingga memiliki ‘bobot kudus’ (nilai kesakralan) sebagai salah satu
corak musik liturgi.
Namun tentang hal ini, Gereja tetap memberikan peringatan tertentu dalam
berbagai kreativitas bermusik dalam liturgi, sehingga tidak menjadi ‘sangat bebas
dan tidak terkendali’. Melalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja
memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal
mendasar yang ditekankan adalah pada alinea ketiga dokumen liturgi Romawi dan
inkulturasi nomor 40, bahwa bentuk musik, lagu dan alat-alat musik dapat
digunakan dalam ibadat asal “cocok” atau dapat disesuaikan dengan penggunaan
dalam liturgi, dan asal sesuai dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguhsungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman. 43
G.
Instrumen Pengiring dalam Musik Liturgi
1.
Organ Pipa
Organ pipa merupakan musik instrumen yang secara khusus dipakai dalam
peribadatan Gereja sejak abad ke-9, yang semula merupakan instrumen musik
43
Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara liturgi Gereja,
khususnya perayaan Ekaristi.
89
profan. Instrumen tersebut mulai dipakai dalam gereja, pada masa Kaisar Karel
Agung pada tahun 811. Dalam perkembangannya, organ pipa menjadi suatu
bagian perlengkapan yang dirasa penting di dalam setiap gereja katedral. Ia
bahkan dirasa menjadi musik yang mampu membangun khazanah liturgi yang
agung dalam Gereja Katolik. Dalam Konsili Konstitusi Liturgi 120 dinyatakan
bahwa:
“Dalam Gereja Latin organ pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik
tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara
mengagumkan, dan mengangkat hati umat kepada Allah dan ke sorga”. 44
Keagungan suara organ pipa secara natural dipengaruhi sumber bunyinya,
yakni tiupan pada mulut tabung (pipa). Ada 2 macam pipa mulut tabung: pertama,
pipa labial (Seruling recorder), yakni pipa yang ujungnya kosong di mana bunyi
dihasilkan oleh getaran udara pada ‘bibir’ pipa (Latin: labia). Kedua, pipa lingual
(Trompette, Fagotte, Brass), yakni pipa yang ujungnya (bagian yang ditiup)
dilengkapi dengan ‘lidah’ (Latin: lingua). Pada saat pipa ditiup, lidah ini bergetar
dan menghasilkan suara yang kemudian diperkeras oleh pipa. Di antara kedua
pipa ini, pipa labial mempunyai variasi suara yang lebih kaya daripada pipa
lingual. Suara pipa lingual lebih keras dan lebih kasar daripada pipa labial.
Biasanya, pipa lingual digunakan untuk permainan instrumental solo, dan jarang
44
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 120.(Dokumen Konsili
Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2003).
90
untuk mengiringi nyanyian umat, kecuali pada kesempatan tertentu, bila semua
register yang lain dinilai kurang keras. 45
Sejak abad XX orang menemukan organ elektronik, yaitu organ yang
dihasilkan dari getaran elektronis yang diperkeras melalui amplifier dan
Loudspeaker. Banyak orang menganggap bahwa suara organ pipa (orgel) lebih
alami dan menyentuh perasaan peribadatan. Maka gereja-gereja di Eropa yang
semula
mencoba
organ
elektronik,
sesudah
beberapa
waktu
kembali
menggunakan Organ Pipa. 46
Ada pun jenis organ elektronik yang cocok digunakan sebagai organ
gereja, dengan beberapa kategori antara lain memiliki keyboard berukuran 4
sampai dengan 5 Oktaf, memiliki pedal (pedal Spanyol sebagai pedal bas yang
dimainkan dengan kaki) dengan ukuran minimal 1 oktaf. Kehadiran jenis organ
gereja yang menggunakan energi listrik juga memiliki warna yang tidak jauh
berbeda dengan suara organ pipa asli. Kesan dan nuansa yang ditimbulkan tidak
jauh berbeda. Yang penting untuk diperhatikan adalah keterampilan organis untuk
mengiringi sebuah perayaan liturgis. Dalam Instruksi Musik Liturgi nomor 62
dikatakan bahwa alat musik dapat menjadi sangat bermanfaat dalam perayaanperayaan kudus, entah untuk mengiringi nyanyian, entah untuk dimainkan sendiri
sebagai musik instrumental tunggal.
2.
Alat-alat Musik Lain
Selain organ pipa alat musik lain dalam liturgi Gereja Katolik
dimungkinkan juga sejauh dapat diselaraskan dengan jiwa liturgi. Hal ini
45
46
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 90.
Prier, Perkembangan Musik Gereja, hlm. 68.
91
diungkapkan
lebih
lanjut
dalam
nomor
120
Konstitusi
Liturgi:
“Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi
setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah artikel 22 (2), 37 dan 40, alat-alat
musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat
disesuaikan dengan penggunaan dalam Liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung
gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman”.
47
Anjuran Konsili Vatikan II di atas, sesungguhnya telah memberikan
gambaran yang tegas tentang syarat utama dalam pemakaian jenis-jenis alat musik
lain dalam liturgi, yakni selaras dengan jiwa liturgi. Maka, baik organis maupun
pemain alat musik tardisional dalam liturgi sangat diharapkan memiliki
kecakapan untuk memainkan alat musiknya secara liturgis, guna memperkaya
perayaan suci dan mendorong keikutsertaan kaum beriman dalam melagukan
nyanyian liturgi.
47
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 120.(Dokumen Konsili
Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2003).
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Musik Liturgi memilki bentuk dan praktik berubah-ubah ketika dari jaman
pertama sampai pada jaman sekarang. Sesuai dengan Konsili vatikan II yang
menyebutkan bahwasanya setiap praktik dan apapun yang mengenai tentang
Musik Liturgi sesuai dengan daerah atau budaya setempat.
Agama Katolik memang agama yang penganutnya suka bernyanyi. Musik
memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan iman Kristen. Sejak dari zaman ke
zaman dengan mengedepankan iman umat Allah di Perjanjian Lama sampai pada
permunculan-permunculan gereja pada abad permulaan Perjanjian Baru, mazmur,
nyanyian rohani dan berbagai bentuk pujian-pujian lain menandai kehidupan umat
beriman. Musik mengiringi kemajuan rohani di berbagai tempat dan zaman. Itulah
sebabnya setiap gereja yang ingin sungguh-sungguh memuji Tuhan dan
memenangkan jiwa bagi-Nya, akan menggunakan musik sebaik-baiknya.
Pernyataan Komisi Liturgi Amerika Serikat pada tahun 1972, mengusulkan tiga
pertimbangan untuk memilih nyanyian dalam liturgi, yaitu musik harus baik,
secara pastoral harus cocok, dan harus dapat memenuhi peran yang dituntut oleh
liturgi.
93
Konsili vatikan II menggaris bawahi fungsi musik dalam liturgi, yakni
untuk melayani liturgi. Artinya, musik diciptakan dan di buat untuk melayani dan
mengabdi dalam liturgi. Musik harus dimasukkan dan diletakkan dalam konteks
perayaan dan pengungkapan iman gereja. Maka, konsili vatikan II menentukan
sebagai dasar pembaharuan liturgi, bahwa ‘naskah-naskah dan upacara-upacara
harus diatur sedemikian rupa, sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus
yang dilambangkan.
Musik dalam liturgi merupakan suatu bagian fungsional dalam liturgi,
karena bagian-bagian ibadat tertentu seharusnya dilakukan dengan bernyanyi.
Misalnya dengan bernyanyi bersama waktu pembukaan ibadat, hadirin merasa
menjadi satu umat dalam kristus, dengan nyayian ‘Tuhan Kasihanilah Kami’ umat
menyatakan tobatnya, dengan nyanyian Musik dalam Liturgi terutama mencakup
nyanyian umat supaya berperan aktif dalam ibadat, secara aklamasi. Tujuan yang
luhur menuntut suatu sikap khusus waktu bernyanyi dan bermusik, bukan naskah
yang membuat music menjadi sakral, tetapi hati manusia yang diungkapkan dalam
musik.
Musik adalah bahasa kesatuan umat manusia. Sebagian orang mengartikan
musik sebagai “cetusan ekspresi istilah” Cetusan tersebut dinyatakan dalam
bentuk bahasa bunyi. Bunyi yang harus diciptakan dalam berdoa hendaknya lebih
menyatu dengan do’a, karena bunyi-bunyi itu merupakan cara menyuarakan doa.
Doa bukanlah sekedar kata-kata. Umat menyanyi bukan untuk menyampaikan
informasi atau menerangkan kebenaran-kebenaran, tetapi umat menyanyi karena
mau mengungkapkan kehidupan, iman dan gereja. Umat dapat bersukacita, dapat
94
bersedih, dapat merenung, dan dapt berharap. Tentu saja semua ini menuntut
bunyi, yakni bunyi dari suara umat dan dari alat-alat yang diciptakan manusia
mulai dari bel, tepuk tangan dan derap kaki.
Pada hakikatnya, musik dalam Liturgi bersifat simbolis. Artinya, musik
disini dapat digunakan untuk mengungkapkan peran serta aktif umat, untuk
membangkitkan suasana bagi tumbuhnya daya tangkap dan daya tanggap jiwa
terhadap sabda dan karunia Allah dalam liturgi. Musik dalam liturgi juga
berfungsi
untuk
memperjelas
misteri
Kristus,
menumbuhkan
kesadaran
kebersamaan, dan komunikasi antar jemaat dan memberikan kemeriahan serta
keagungan bagi liturgi.
Dan tujuan musik liturgi berkaitan erat dengan tujuan liturgi itu sendiri
yakni sebagai sarana untuk memuliakan Allah dan mengudusan manusia.
B.
Saran
Musik selalu berkaitan dengan kehidupan manusia. Apapun jenis musik
yang disukai dan digemari bila didengar dan dinikmati secara terus menerus,
cepat atau lambat akan mengakibatkan pengaruh tertentu. Oleh karena itu penulis
merasa layak untuk memberikan saran-saran demi suatu harapan agar:
•
Para pencinta musik dalam kalangan akademisi dapat memberikan
kontribusi yang lebih besar sebgai kajian ataupun penelitian yang integral,
sehingga musik yang pada akhir-akhir ini tidak dilihat lagi secara sepihak
dan dengan mudah di klaim sebagai perusak moral manusia.
95
•
Untuk masyarakat, berhentilah menganggap bahwa musik adalah milik
agama tertentu. Berhentilah memperdebatkan musik haram-musik halal.
Karena seperti kita ketahui musik mempunyai banyak peran dalam semua
kegiatan manusia di muka bumi ini tanpa memandang suatu agama pun.
Demikianlah saran-saran penulis untuk semua yang membaca karya tulis
sederhana ini, kita juga mesti berhati-hati untuk menikmati musik-musik yang
ada.
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium. Terj. R. Hardawiryana.
Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003.
Gibran, Khalil. Musik Dahaga Jiwa. Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
Hali, Mohammad S, “Unsur Musik dalam 3 buah Sajak Khalil Matran”, Skripsi
Sarjana Pendidikan, Jakarta: Perpustakaan UI, 1988.
Handol, John, ML, Nyanyian Luciefer-Ikhwal penciptaan, pengaruh Terhadap
Kerohanian, kesehatan dan kejiwaan, Yogjakarta: yayasan Andi, 2002.
Huck, Gabe. Liturgi Yang Anggun dan Menawan, terj. Komisi Liturgi KWI.
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah: Analisa Isi program Syiar dan Syair
TVRI Juni-November 2001”, Skripsi Sarjana Pendidikan, Jakarta:
Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, 2002.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Kirchberger, Georg & Bernardus Boli Ujan, (ed). Liturgi Autentik dan Relevan.
Maumere: Ledalero, 2006.
KWI Komisi Liturgi. Puji Syukur. Jakarta: Obor, 1992.
Letor, Anton Sigoama. Komposisi Lagu Menuju Musik Liturgi. Ende: Nusa Indah,
1984.
Mariyanto, Ernest. Simbol: Maknanya dalam Kehidupan Sehari-hari dan dalam
Liturgi. Malang: Dioma, 2001.
Mariyanto, Ernest. Kamus Musik Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Martasudjita, E., Kristanto, J. Musik dan Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: Kanisius,
2000.
Martasudjita, E. Pengantar Liturgi: Makna Sejarah dan Teologi Liturgi. Yogyakarta:
Kanisius, 1999.
Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu Pop Dangdut dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku
Sosial Remaja Kota, Jakarta: Proyek Pengkajian dan pembinaan Nilai-nilai
Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisonal Direktorat Jendral
Kebudayaan, 1995.
Prier, Karl-Edmund, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema
Duta Wacana, Edisi Musik Gereja. Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994.
_________Sejarah Musik jilid 1. Yogjakarta: PML, 1991.
_________Sejarah Musik jilid 2. Yogjakarta: PML, 1993.
_________ tentang musik Ibadat. Yogjakarta: PML, 1988.
_________kedudukan nyanyian dalam Liturgi. Yogjakarta: PML, 1988.
Riemer,G. Cermin Injil-Ilmu Liturgi, Jakarta; Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,
1995.
Saragih, Winnardo. Misi Musik: Menyembah Atau Menghujat Allah. Yogyakarta:
ANDI, 2008.
Widyawan, Paul. “Istilah Musik Liturgi”. Warta Musik Liturgi, No. 120, 1987.
Download