MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Ushuluddin Disusun Oleh: AJI RUSMANSYAH 104032100978 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H. / 2010 M. i KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan rasa syukur Penulis panjatkan kehadiratNya. Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain karena kekuatan-Nya. Karena anugrah-Nyalah, sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK” , Shalawat dan salam semoga Allah SWT selalu curahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini bukan sematamata dari buah tangan sendiri, akan tetapi dari hamba Allah yang senantiasa mendermakan kemampuannya dengan tulus hati dan meluangkan waktu meski hanya meluangkan aspirasi. Oleh karena itu, tidak berlebihan kirannya jika pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih, khususnya kepada: 1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan besar hati dan sabar bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, konsultasi dan bimbingan skripsi. 2. Prof Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayattullah Jakarta, beserta seluruh staf dan jajarannya. 3. Drs. M. Nuh HS, MA., selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama dan Drs. Maulana, M.A selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama. 4. Para dosen yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, baik secara langsung maupun tidak. 5. Bapak dan Mama tercinta, H.M. Odjat Darojat dan Mama Iyus Rusminah, atas pengorbanan dan cinta kasihnya berupa moril maupun meteril, serta doa yang tidak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi anakmu. Segala hormat dan bhakti ananda persembahkan kepada keduanya. 6. Keluarga besar, Kakakku Jaka Sukmara dan Adik-adikku Akbar Maulana, Akhmad Nugraha yang telah memberikan motivasi dan memberikan kehangatan dalam keluarga. ii 7. Terima kasih yang spesial tuk Nani Zulaini “Umi” atas kesetiaan dan ketulusannya yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis baik suka maupun duka. 8. Terima kasih untuk Mama Asmawati memberikan motivasi, dukungan serta do’a kepada penulis. 9. Semua teman-temanku di Kampus dan di Komplek Rumah, di Kampus khususnya Jurusan Perbandingan Agama “Angkatan 2004 (“BiJiAn” Ahmad Sodri, Ardian, Fahmi, Putra, beduL, Rahmat, Iwenk, Boim, Gunawan, Oji, Rahman, Yudha, Likha, Cici, Hesty, Dhely, Rina, Diah dll), 2005 (Samsul, Guntur, Wasil dll ), 2006 (Jabar, Syahid, Tari, Enung, Ai dll), 2007 (Wafiq, Resa dll) dan 2008 (Totong Cs)”. 10. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuannya kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT, semoga berkenan menerima segala kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaikbaiknya balasan atas amal baik mereka. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat khazanah keilmuan kita. Amin. Jakarta, 6 Desember 2010 Penulis iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................... i DAFTAR ISI.................................................................................................. iii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................ 8 C. Tujuan Penulisan................................................................. 8 D. Tinjauan Pustaka…………………………………………. 8 E. Metode Penulisan dan Tehnik Penulisan ............................ 9 F. Sistematika Penulisan ......................................................... 11 BAB II : MUSIK LITURGI A. Pengertian dan Fungsi Musik............................................... 12 B. Pengertian Musik Liturgi..................................................... BAB III : 16 SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK A. Musik Gereja Perdana (100-900)................................. ....... 26 B. Periode Awal pada abad X (Tahun 900-1000).................... 30 C. Musik Abad Pertengahan (1000-1400) ............................... 31 D. Musik Zaman Renaissance (1400-1600)............................. 33 E. Musik Barok (1600-1750)................................................... 35 F. Musik Klasik (1750-1820) .................................................. 47 G. Musik Romantik (1800-1920)............................................. 54 H. Musik Abad ke-20............................................................... 60 iv BAB IV : BERBAGAI ASPEK DALAM MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK A. Tujuan Musik Liturgi .......................................................... 63 B. Fungsi Musik dalam Ibadah................................................ 66 C. Kedudukan Musik Liturgi Gereja Katolik………………… 73 D. Hakekat Musik Liturgi………………………………….. .. 76 E. Dimensi Musik Liturgi………………................................ 76 F. Jenis Musik Liturgi ............................................................. 79 G. Instrumen Pengiring dalam Musik Liturgi.......................... 88 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 92 B. Saran-saran............................................................................. 94 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki cipta, rasa, karsa dan karya. Dengan budi dayanya ia menciptakan tata kehidupan yang dinamik dan secara berkesinambungan manusia memiliki kecenderungan untuk mencari, menemukan, dan mengembangkan pola dasar kehidupan, dorongandorongan perasaannya, ketajaman fikirannya serta kemauannya untuk menemukan hubungan yang bermakna. Inilah yang membedakan eksistensinya terhadap makhluk lain. 1 Manusia mempunyai akal dan tangan lalu ia menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan yang bersifat estetik untuk menerangkan kehidupan bersama. Maka lahirlah karya-karya estetik itu yang kemudian dikenal dengan sebutan karya seni, yang dapat dinikmati dan diserap oleh indera pendengaran, penglihatan, perasaan atau gabungan dari kedua atau ketiga-tiganya. 2 Musik menggunakan bunyi sebagai materi, mempunyai bentuk melodi. Musik merupakan produk budaya yang tertinggi atau merupakan keindahan seni yang tertinggi. 3 Dalam kehidupan Kristiani, musik memiliki peran yang sangat besar, bahkan sangat berperan aktif dalam setiap ritual keagamaan mereka 1 Depdikbud, pesan-pesan Budaya Lagu-lagu Pop Dangdut dan pengaruhnya Terhadap Perilaku Sosial Remaja Kota, (Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisonal Direktorat Jendral Kebudayaan, 1995), h. 1. 2 Abay D. Subama, et al., Islam dan Kesenian. (Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Universitas Achmad Dahlan Lembaga LITBANG: 1995), h. 215-216. 3 Tamara Adriani Salim, “ Efek Musik dalam sajak Liris Chanson D’Automne dan Serenade Karya Paul Verlane”, skripsi Sarjana Pendidikan (Jakarta: Perpustakaan UI, 1989), h. 1. 2 sehingga sulit dipisahkan dari kehidupan iman. Musik dan nyanyian menjadi sebagian dari acara kebaktian, sama nilainya dengan doa dalam acara kebaktian. Musik juga dianggap sebagai bagian dari upacara penyembahan, karena Allah dipermuliakan melalui lagu-lagu pujian dari hati yang bersih dipenuhi dengan kecintaan dan penyembahan kepada-Nya. 4 Agama ini juga menyadari bahwa sebagai pelaku dan penikmat seni, mereka harus memiliki perangkat-perangkat filosofis bahwa musik harus di apresiasi secara intelektual, artinya menjaga musik sebagai hasil kreasi seni yang diberikan Sang Maha Indah, harus menjadi energi, bermusik apapun jenisnya. Sejak dari perjalanan iman umat Allah di Perjanjian Lama, sampai pada pemunculan gereja abad permulaan Perjanjian Baru, Mazmur, nyanyian rohani dan berbagai bentuk puji-pujian lainnya menandai kehidupan umat beriman. Suara serta komunikasi bagi mereka adalah dua berkat pilihan Allah untuk manusia. Suara yang manusia naikkan dalam pujian adalah satu cara terindah untuk menghormati Allah Yang Maha Kuasa. Manusia adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang diperlengkapi akal budi untuk mampu memuji dan memuliakan Tuhan melalui pujian. Musik dan pujian yang mengarah kepada Tuhan dapat membawa perubahan dalam diri seseorang. Banyak contoh yang dapat diambil dari Alkitab yang bisa dijadikan bahan untuk menciptakan lagu. Misalnya, I Tarawikh 16:23, menceritakan tentang keselamatan; Mazmur 13:6, Allah berbuat baik; Mazmur 98:1,1: adalah pencipta; hakim-hakim 5:11, Tuhan itu adil.5 Mereka percaya bahwa musik mempengaruhi kerohanian (spirit). Artinya, Roh 4 John Handel, Nyanyian Lucifer-ikhwal Penciptaan, Pengaruh terhadap Kerohanian dan Kejiwaan, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2002), h. 87. 5 Handel, Nyanyian Lucifer, h. 87. 3 Kudus dapat mengobatkan orang, mempercepat pertumbuhan jiwa seorang anak menjadi lebih dewasa, menguatkan iman melalui motivasi, tujuan dan doa. Musik yang baik itu harus bermanfaat, memberi kenikmatan dalam tubuh, intelek, emosi dan spirit dalam waktu yang lama. Suara manusia dinaikkan dalam puji-pujian dan penyembahan sebagai suatu persembahan yang berkenan. Musik dan nyayian jika tepat dibawakan juga akan sanggup memenuhi hati yang mendengar dengan kedamaian, kegembiraan, semangat dan suka cita melimpah. Demikian pula musik dan nyanyian yang benar dapat membuat suasana menjadi lebih hidup untuk siap menghadap hadirat Tuhan. 6 Gereja Katolik dimulai sebagai suatu sekte Yahudi. 7 Tarian dan nyanyian pujian seperti Mazmur-mazmur merupakan salah satu bagian dari ibadat Yahudi yang dikenal semua orang yang terbiasa mengunjungi Bait Allah di Yerussalem pada abad pertama saat sekte Kristen mulai berkembang. 8 Musik gereja mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Sampai dengan abad kesepuluh musik gereja sama dengan musik Gregorian, 9 yang diteruskan secara lisan dan improvisasi. Karena belum ada notasi musik, maka lagu Gregorian berkembang tidak sama pada daerah yang berbeda. Musik dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dijaga keseragamannya, tetapi sebagai 6 Handel, Nyanyian Lucifer, h. 87. Theo Witkamp,“Mazmur-mazmur Kekristenan Purba dalam Konteks Yahudi Abad Pertama”, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 16. 8 Witkamp, “Mazmur-mazmur Kekristenan”. h.18. 9 “Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399. 7 4 unsur fungsional yang disesuaikan dengan keperluan umat yang hadir dalam ibadat. Dengan berkembangnya musik polifon sejak abad ke-11, terciptalah aneka bentuk musik baru yang khusus untuk paduan suara, sehingga disamping musik liturgi, lahir lagu selingan yang dapat dipakai dalam liturgi. Musik profan yang bermutu dipisahkan dari musik keagamaan baru sejak abad ke-17. Pius X10 dalam Motu Proprio-nya Tra Le Sollectudine tahun 1903 membedakan antara Musik Gereja dan Musik Sacra. Yang terakhir disamakan dengan musik Gregorian sebagai gaya ideal dan suci. Menurut pola inilah segala musik dalam gereja hendaknya diperbaharui. Tidak ada musik yang dapat disebut musik ibadat Kristiani. Lagu Gregorian adalah warisan lagu kebudayaan Yunani, himne-himne St. Ambrosius adalah pengolahan lagu profan abad ke-4 dari Eropa Tenggara. Begitu pula lagu gereja Abad Pertengahan merupakan pengolahan kebudayaan (= lagu bermutu) dari abad ke-14 sampai dengan abad ke-18. Jadi yang selama ini dianggap sebagai khas gerejani seperti khidmad, tenang, suci sebenarnya adalah soal sikap orang yang beribadat, bukan soal jenis/bentuk/sifat musik. Namun sikap orang Kristen lain-lain menurut zaman dan tempat, maka musik liturgi juga berbeda-beda menurut zaman dan tempat. 11 10 “Pius X menjabat sebagai Paus (1903-1914) sesuai dengan semboyannya ia ingin membaharui segalanya dalam Kristus dan memusatkan usahanya pada masalah gereja, memajukan pembaharuan liturgi dan doa ofisi.“ lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid IV (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994), h. 12. 11 Karl-Edmund Prier. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 8. 5 Dalam lingkup gereja Katolik, ibadat hampir sama dengan liturgi, yang sering disebut ibadat resmi gereja. Istilah ibadat gereja menitikberatkan pada aspek kultus lahiriah dari liturgi, yakni upacara dan ulah kebaktian lainnya, yang dilakukan oleh umat Allah sebagai Tubuh Mistik Yesus Kristus yang disusun secara hirarkis yakni secara resmi dan di hadapan umum umat yang meluhurkan Tuhan, bersyukur serta menyatakan bakti kepada-Nya. 12 Dalam hidup sehari-hari orang Kristen tidak tampil sebagai anggota gereja namun, bila mereka berkumpul atas nama Kristus artinya sebagai umat Kristen mereka membentuk dan bertindak sebagai gereja, sebagai anggota Tubuh Kristus. Segala kegiatan profan (duniawi) seluruh kehidupan sehari-hari dibawa ke hadapan Tuhan, dimurnikan dan diperteguh dalam ibadat. Maka ibadat, khususnya ekaristi merupakan ungkapan iman yang paling jelas menjadi dasar dan puncak semua kegiatan Allah (bdk G 11 dan 26). Dalam arti luas, ibadat mencakup aneka ragam bentuk kebaktian bersama, misalnya ibadat sabda, ibadat tujuh sabda Yesus di Salib, pujian dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa ibadat merupakan suatu kesatuan, semua unsur yang berupa musik maupun bukan musik dikaitkan yang satu dengan yang lain. Maka musik ibadat Kristiani tidak dapat dipisahkan dari tempat orang berkumpul, dari gereja pembangunan (arsitektur), dari seni rupa, bahasa, gerak-gerik, musik dan tari. Sebagian besar yang kita ketahui tentang ibadah orang Ibrani ada dalam kitab Perjanjian Lama. Di dalamnya kita mendapati sejumlah besar acuan yang membuktikan pentingnya musik vokal dan instrumental dalam ibadah orang 12 1992), h. 59. Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja Jilid II (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 6 Ibrani. Kata musik pertama-tama tertulis dalam Kejadian 4:21, di mana Yubal disebutkan sebagai "bapa, semua orang yang memainkan kecapi dan suling". Dalam Kitab. Suci ada kira-kira 13 instrumen yang berbeda, yang disebutkan, yang dapat diklasifikasikan sebagai instrumen dengan senar, instrumen tiup atau perkusi. Ada sejumlah penyanyi dan lagu disebutkan dalam Perjahjian Lama, misalnya: Lagu Miriam (Keluaran 15:20-21) Lagu Musa (Keluaran 15:2) Lagu Debora dan Barak (Hakim-Hakim 5:3) ` Lagu ucapan Syukur Hana (1 Samue12:1-10) Lagu ucapan syukur dan pelepasan dari kejaran Saulus yang dinyanyikan Daud (II Samuel 22) 13 Semua kata yang berkenaan dengan musik, pemusik, instrumen musik, lagu, penyanyi dan nyanyian disebutkan 575 kali dalam seluruh isi Alkitab. Acuan yang berkaitan dengan musik didapati dan 44 dari 66 kitab dalam, Alkitab. Kitab Mazmur yang terdiri dari 150 pasal, dianggap berasal mula dari sebuah kitab yang berisi nyanyian. Sejak awal perkembangannya, Gereja Katolik telah memaknai musik sebagai suatu bentuk komunikasi iman dalam perayaan liturgi. 14 Hal ini selaras dengan pandangan St. Agustinus, bahwa eksistensi musik bukan sebuah eksistensi material atau yang mencakup panca indera semata, melainkan suatu eksistensi yang bersifat spritual. Ekspresi terhadap peranan musik dalam doa dan peribadatan Gereja, diungkapkan St. Agustinus dalam sebuah pepatah Latin, yakni Bene cantat bis orat; yang berarti: ”Bernyanyi dengan baik adalah berdoa dua kali”. Ungkapan ’bernyanyi dengan baik’ ini sesungguhnya menunjukkan suatu 13 Prier, Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik. h. 10. Karl-Edmund Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 15. 14 7 gradasi penghayatan dari sebuah aktus bernyanyi dalam ibadat Gereja. Artinya bernyanyi di dalam sebuah peribadatan, bukan sekedar melantunkan kata melalui nada-nada yang indah untuk menyenangkan hati, tetapi lebih dari itu ialah untuk membangun sebuah komunikasi iman yang dihayati melalui keindahan nada, syair lagu dan irama yang selaras dengan jiwa liturgi. Oleh karena itu untuk menghayati musik sebagai sarana doa yang berdaya guna, dibutuhkan juga corak musik yang menunjang ibadat atau perayaan liturgi, yang mampu memperdalam sikap batin kepada Allah. Prinsip fundamental yang menjadikan musik liturgi dinilai penting adalah relasi musik dengan aspek kebatinan dan kejiwaan manusia. Setiap manusia mengalami musik dengan melibatkan ekspresi batin dan jiwanya. Artinya meskipun ia memiliki kaidah-kaidah ilmiah-matematis, namun dalam pengapresiasiannya musik mengekspresikan batin dan jiwa manusia. Hal ini menegaskan bahwa dalam kehidupan religius dari berbagai agama, musik memainkan peranan penting dalam ritus-ritus keagamaan, entah lewat bunyibunyian instrumen musik maupun lewat nyanyian-nyanyian ritual. Dari fenomena ini, maka adalah penting untuk mengetahui makna dan sejarah apresiasi Gereja terhadap musik sebagai sebuah sarana peribadatan yang kini telah dikenal dengan sebutan ’musik liturgi’. Untuk dapat memahami secara mendalam maka penulis mengangkatnya dalam skripsi ini dengan topik “MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK” 8 B. Perumusan Masalah Dengan melihat latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, maka di dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu: Bagaimana bentuk dan praktik dari musik Liturgi Gereja Katolik? Apakah fungsi dari musik liturgi gereja katolik? Apakah Tujuan Musik Liturgi Gereja Katolik? C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui arti Musik Liturgi bagi jemaat atau yang melakukan Ibadat trersebut, bagaimana bentuk konkrit hubungan manusia dengan Tuhannya. Serta untuk mengetahui fungsi dan peranan Musik Liturgi dalam Gereja Katolik. Tujuan penulisan skripsi ini juga sebagai kontribusi kepada Fakultas Ushuluddin dan memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk meraih gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) di jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Tinjauan Pustaka Sebelum mengkaji pustaka-pustaka yang penulis pergunakan dalam penelitian, perlu penulis ungkapkan bahwa penelitian ini merupakan pengembangan dari berbagai penelitian dan penulisan tentang musik liturgi gereja sebagai bagian yang fungsional. Secara tidak langsung mengungkapkan perbedaan musik liturgi dengan musik rohani. penulis juga 9 Sebagai kajian pustaka bisa diungkapkan di sini, diantaranya: buku berjudul Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi oleh Karl-Edmund Prier SJ terbitan PML Yogyakarta, tahun 1987. Dalam buku ini Prier membahas struktur dari suatu ibadat, setiap bagian dari acara dalam suatu upacara ibadat mempunyai maksud tersendiri sehingga diperlukan nyanyian yang cocok. Misalnya, nyanyian yang cocok untuk pembukaan adalah nyanyian berbait. Kemudian Sejarah Musik Jilid 1, 2, 3, dan Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20 oleh Karl-Edmund Prier SJ terbitan PML Yogyakarta, tahun 1991, 1993, 1994 dan 1995. dalam buku ini Prier membahas tentang sejarah musik yang didalamnya ada sejarah musik gereja dari zaman kuno sampai zaman abad ke-20. E. Metode Penulisan dan Tehnik Penulisan Dalam setiap penelitian pasti tidak lepas dari metode. Metode mutlak adanya karena merupakan upaya agar penelitian dapat terlaksana dengan baik sehingga mendapat hasil yang memuaskan. Di dalam skripsi ini, metode yang digunakan adalah: 1. Metode Pengumpulan Data. Di dalam mengumpulkan data ini penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan metode pengumpulan data dengan menggunakan sumber-sumber data yang berupa dokumen, dalam hal ini adalah penelusuran atas pustakapustaka yang relevan dengan tema merupakan jalan yang wajib ditempuh guna tercakupnya data-data yang komprehensif. Hal ini disesuaikan 10 dengan sifat penelitian skripsi ini yang bisa digolongkan ke dalam jenis penelitian historis. 2. Pendekatan. Di dalam skripsi ini, pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan historis. Pendekatan historis merupakan usaha untuk menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide agama melalui periodeperiode tertentu dari perkembangan sejarah dan juga merupakan usaha untuk memperkirakan peranan kekuatan-kekuatan yang sangat mempengaruhi agama. 15 Dalam hal ini usaha menelusuri sejarah dan perkembangan musik liturgi. 3. Metode Analisis Data. Data diolah dan dianalisis dengan teknik deskriptifanalitik yaitu metode yang digunakan terhadap sesuatu data yang terkumpul kemudian disusun, dijelaskan dan selanjutnya dianalisis. 16 Sesuai dengan penelitian ini untuk menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian penulis menggunakan cara berfikir induktif, yaitu pembahasan yang berdasarkan pada pemikiran yang bersifat khusus untuk kemudian disimpulkan dalam kegiatan yang umum. 17 Untuk teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada pengetahuanpengetahuan yaitu Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang ditetapkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. 15 Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama: Suatu Pengantar Awal (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 76-77. 16 Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1998), h. 42. 17 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik (Bandung Tarsito, 1990), h.131. 11 F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi terbagi menjadi beberapa bab dan sub bab dengan rincian sebagai berikut. Bab pertama berupa pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan tehnik penulisan, serta sistematika penulisan. Bab kedua membicarakan tentang Musik Liturgi Gereja Kristen Katolik, di bagian ini akan di bahas tentang pengertian dan fungsi dari Musik. Bab ketiga ini penulis ingin menjelaskan pengertian, Tujuan dan Sejarah perkembangan dari Musik Liturgi, dimana didalamnya terdapat abad-abad perkembangan Musik Liturgi dari musik gereja perdana sampai abad romantik. Bab keempat merupakan bab inti, dimana penulis akan menguraikan kedudukan dan unsur yang dominan dalam musik liturgi gereja katolik. Pembahasannya meliputi bagaimana kedudukan Musik Liturgi dalam Ibadat dan Unsur yang mempengaruhi musik liturgi. Dari mulai hakekat Musik liturgi, dimensi-dimensi musik liturgi, jenis Musik liturgi dan Instrumen Pengiring dalam Musik liturgi. Bab kelima berisi penutup dan diakhiri dengan rangkuman yang dapat terlihat dari uraian kesimpulan dan saran-saran. Kemudian tak lupa juga diakhiri penulisan dicantumkan daftar pustaka yang digunakan sebagai rujukan. BAB II MUSIK LITURGI A. Pengertian dan Fungsi Musik Pengertian seni banyak sekali yang ditulis oleh para pakar di dalam buku- bukunya. Sekalipun istilah tersebut sudah cukup akrab di telinga masyarakat Indonesia, tapi tidak menutup kemungkinan istilah tersebut masih banyak orang belum mengetahuinya secara definitif. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia seni ialah “halus, indah, dan baik”. 1 Kalau kita kaji kata “indah’ adalah jelmaan yang terdapat dalam diri manusia karena secara fitrahnya manusia menyukai keindahaan sebagaimana dalam penciptaannya, yaitu dengan sebaik-baiknya (seindah-indah bentuk). 2 Dalam pengertian secara terminologi seni adalah kecendrungan manusia yang mempunyai sifat suka keindahan, rasa sedih dan haru. Kecenderungan tersebut dari Tuhan sebagai anugerah seseorang dan yang demikian berarti telah memenuhi pembawaan manusiawinya. Maka seni adalah penjelmaan keindahan yang terdapat dalam jiwa manusia, sebagai fitrahnya yang merupakan kecenderungan dari Tuhan sebagai anugerah kepada hamba-hamba-Nya. 3 Sedangkan istilah “musik” berasal dari bahasa Yunani mousike yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin musica. Kata benda mousike atau kata sifat 1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 602. Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah: Analisa Isi program Syiar dan Syair TVRI Juni-November 2001”, Skripsi Sarjana Pendidikan (Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, 2002), h. 12. 3 Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah” h. 22. 2 13 mousikos dibentuk dari akar kata mousa, yaitu nama salah satu dewi kesenian dan ilmu pengetahuan dalam mitos Yunani 4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia musik dibagi menjadi dua bagian 1. Musik adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi suara yang mempunyai kesatuan dan keseimbangan 2. Musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga menyandang irama lagu dan harmoni 5 Selain itu, ada beberapa hal definisi tentang musik, yang diucapkan atau hasil pemikiran para ahlinya. Sifatnya memang cenderung subyektif, tetapi minimal dapat digunakan sebagai bahan perbandingan. Diantaranya adalah : • Musik adalah ekspresi dari sesuatu yang agung (Wolfgang von Goethe) • Musik adalah bahasa dunia: Ia tidak perlu diterjemahkan, dalam musik berbicara kepada jiwa (Dr. Alfred Aurbach, Universitas California) • Musik adalah janji atau jaminan akan hidup yang kekal abadi (Roman Rolland) • Musik adalah suatu perwujudan yang lebih tinggi, daripada segala budi dan filsafat (Beethoven) 6 Setelah melihat beberapa definisi musik yang dikemukakan dapat ditarik kesimpulan bahwa musik adalah ungkapan perasaan yang diwujudkan dengan 4 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, (Yogjakarta: Kanisius, 1999), h. 135. 5 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 609. 6 Abay D. Subama, et al., Islam dan Kesenian. (Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Universitas Achmad Dahlan Lembaga LITBANG: 1995), h. 50. 14 suara beraturan baik vokal manusia maupun lewat alat-alat musik, itu berarti yang dikatakan musik itu bukan hanya instrumen tetapi juga vokal. 7 Bentuk kesenian itu dapat dikatakan musik apabila terdapat beberapa faktor berikut: ritme, artinya dengan beraturan, misalnya: detak jantung dan detik jarum jam, melodi atau lagu, dan yang terakhir terdapat unsur harmoni artinya keselarasan sesuai dengan lagunya. 8 Jadi, seni musik adalah ekspresi perasaan dan jiwa manusia sebagai fitrahnya terhadap keindahan yang diungkapkan lewat nada dan irama baik vokal maupun instrumental yang tersusun dalam melodi dan harmoni. Musik merupakan ekspresi budaya manusia dan mengungkapkan citarasa keindahan. Musik lahir dari sisi terdalam manusia yang didorong oleh kecenderungan manusia pada segala yang indah. Melalui perwujudan bentuk gagasan atau pesan, musik memiliki daya kekuatan yang langsung dapat menggerakkan hati dan menyentuh pencipta maupun pendengarnya. 9 Dilihat dari fungsinya musik adalah sarana untuk mengobyektifkan pengalaman batin sehingga dapat difahami maknanya. Kondisi ini memberikan fungsi lain bagi musik yaitu sebagai media komunikasi yang bersifat simbolik. Musik adalah salah satu cabang seni yang disampaikan dengan irama, memiliki daya komunikasi masa yang demikian tinggi dan seringkali digunakan untuk 7 Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah” h. 25. FR Iwan Buana, Makalah dalam seminar “Rekontektualisasi Gagasan Musik Sebagai Metode dan Media Alternatif Dunia Pendidikan”, (Jakarta: Aula Student Centre UIN Syarif Hidayatullah, 17 Mei, 2004), h.1. 9 Mohammad S Hali, “Unsur Musik dalam 3 buah Sajak Khalil Matran”, Skripsi Sarjana Pendidikan, (Jakarta: Perpustakaan UI, 1988), h. 8. 8 15 menyampaikan pesan-pesan yang mengandung masalah sosial dalam kehidupan sehari-hari. 10 Seorang pakar musik Paul Hamil, didalam bukunya “The Christian and His Music”, menulis bahwa ada bukti ilmiah betapa musik atau irama dapat mempertajam syaraf-syaraf penca indera kita. Sebagai contoh bahwa musik atau irama dapat berpengaruh kepada hidup manusia telah dibuktikan di sebuah garment di Colorado, Amerika Serikat. Dengan mendengarkan ritme dari lagulagu tertentu, ternyata produktivitas karyawannya meningkat 10 % dari sebelumnya. 11 Seorang ahli musik lainnya, yaitu Henver, telah melakukan serangkaian penelitian dan percobaan sehingga ditemukanlah suatu kenyataan bahwa harmonisasi yang buruk dan kompleks dapat menekan dan membuat sedih seseorang, sedangkan harmonisasi yang sederhana dan senada akan membawa seseorang bahagia, serasi, cerah dan harmonis. Melalui pengaruh musik dan irama, mata dan paru-paru dapat dipengaruhi. Dengan mendengar musik keras (rock and roll), pernapasan akan terengah-engah dan emosi memuncak. Sebaliknya irama merdu dan sederhana dapat membantu menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu karena pernapasan berjalan dengan normal. 12 Apabila seseorang mendengarkan dengan penuh penghayatan sebuah irama artinya orang tersebut sedang memberi sambutan terhadap musik tersebut. Selanjutnya irama tersebut merangsang thalamus atau otak dan menyalurkannya ke seluruh tubuh. Setelah itu pernapasan dan peredaran darah akan terpengaruh 10 Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.2. Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.2. 12 Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.3. 11 16 sehingga metabolisme tubuh akan terangsang. Apabila perubahan terjadi, maka seseorang dapat menjadi tenang atau sebaliknya sesuai dengan jenis irama yang didengarnya, serta penyesuaian tubuh terhadap rangsangan irama tersebut. 13 Walaupun bukan merupakan dasar eksistensi hidup manusia, akan tetapi seni musik dan lagu adalah sebagian dasar social dan cultural manusia. Eksistensi manusia bukan sekedar hidup, akan tetapi mempunyai kesanggupan untuk mengalami kesukaan, kepuasan, dan kegembiraan. Agar manusia itu memperoleh segala kebutuhan kehidupannya, mereka kemudian mencari beraneka ragam seni termasuk musik dan lagunya. Dengan demikian jelaslah bahwa musik memang mempunyai pengaruh yang cukup besar atas kehidupan manusia. Sebuah nyayian dapat menimbulkan rasa sedih, rasa tenang, rasa gembira, dan sebagainya sesuai dengan iramanya dan lagunya. Musik dengan nyayian yang kata-katanya sesuai dengan perasaan yang ditimbulkan, sangat mengesankan dan meresap ke dalam hati orang yang mendengarkannya. B. Pengertian Musik Liturgi Kata “liturgi” sendiri berasal dari bahasa Yunani Leitourgia, terbentuk dari akar kata ergon yang berarti “karya”, dan leitus, yang merupakan kata sifat untuk kata benda laos (bangsa). 14 Secara harfiah, leitourgia berarti ‘kerja’ atau ‘pelayanan’ yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Dalam masyarakat Yunani kuno, leitourgia dimaksudkan untuk menunjukkan kerja bakti atau kerja 13 14 Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.3. Martasudjita, Pengantar Liturg, hal.8. 17 pelayanan yang tidak dibayar, iuran atau sumbangan dari warga masyarakat yang kaya, dan pajak untuk masyarakat atau Negara. 15 Lantas apakah musik liturgi itu? Ditinjau dari tujuan apresiasinya, musik secara umum terbagi dalam dua bentuk yakni musik ritual dan musik profan. Musik ritual adalah musik yang diapresiasikan untuk mendukung upacara-upacara ritual, seperti adat (tradisi) maupun upacara keagamaan. Dalam berbagai kebudayaan dan agama, bunyi yang dihasilkan oleh instrumen atau alat tertentu diyakini memiliki kekuatan magis. Begitu pula dalam berbagai agama, terdapat jenis-jenis musik tertentu yang digunakan dalam ritus-ritus keagamaan. Sedangkan musik profan atau musik populer, adalah musik yang bernuansa bebas (tidak bersifat sakral) dan digemari dalam masyarakat serta diapresiasikan sebagai sarana hiburan. Musik tersebut menggunakan irama bebas dan komposisi melodinya mudah dicerna dan besifat inovatif. Dari uraian ini, pengertian musik liturgi secara singkat dapat dikatakan sebagai musik sakral dalam agama Katolik, atau musik yang dibawakan dalam liturgi Gereja Katolik. 16 Namun untuk menggagas arti musik liturgi secara lebih mendasar, pertama-tama harus bertolak dari pemahaman akan arti liturgi itu sendiri. Adapun arti liturgi yang digagas para ahli, yakni sebagai ”perayaan keselamatan dalam bentuk tanda dan simbol yang dilaksanakan oleh Gereja”. Dari pengertian ini, musik liturgi adalah salah satu simbol dalam liturgi. Secara umum simbol dipahami sebagai suatu wujud konkrit yang menyatakan dan mengungkapkan sesuatu yang lain di luar dirinya. Demikian pun dalam liturgi, simbol memiliki 15 16 Martasudjita, Pengantar Liturgii, h.8. Paul Widyawan, “Istilah Musik Liturgi”. Warta Musik Liturgi, No. 120, 1987. 18 fungsinya sebagai sarana untuk membantu orang menghayati imannya akan misteri penyelamatan Kristus bagi Gereja. Dengan ini, musik liturgi termasuk suatu bentuk simbol yang digunakan sebagai sarana untuk merayakan misteri keselamatan itu. 17 Tanpa terlepas dari arti simbolis tersebut, dalam Kamus Liturgi Sederhana, musik liturgi didefenisikan sebagai musik yang digubah untuk perayaan liturgi (untuk melagukan teks atau lagu liturgi dan mengiringinya) dengan bentuknya yang memiliki suatu bobot kudus tertentu. Bobot kudus inilah yang perlu dihayati, sehingga musik liturgi dapat berdaya guna sebagai simbol untuk merayakan misteri keselamatan. 18 “leitourgia” < leitos (umat,rakyat) + ergos (tugas) > pelayanan Dalam Bahasa Yunani sehari-hari Dalam Septuaginta (PL) Dalam Gereja Purba *tugas imam *tugas Imam besar Kristus *tugas pekabaran Injil *tugas malaikat-malaikat *tugas pemerintah *tugas membantu orang miskin Terdahulu Kemudian 17 18 225. *tugas pegawai *tugas pelayanan mezbah *tugas kultus imam-imam *tugas penatua-penatua atau uskup *tugas malaikat-malaikat *”tugas” hidup secara kristen *pelayanan perjamuan kudus Paul Widyawan, “Istilah Musik Liturgi”. Warta Musik Liturgi, No. 120, 1987. h. 20. Ernest Mariyanto, Kamus Musik Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius, 2004. h. 19 Dalam Gereja Katolik Roma Dalam Gereja-Gereja Protestan ( Reformasi abad 16 ) *ibadah sekeliling ekaristi/misa *pada awalnya tidak dipakai *Liturgi dipakai untuk ibadat sejak 1550 (oleh pengaruh Anglikan dan Ortodoks Yunani) Sekarang ini *lazim dipakai untuk ibadah *menjadi istilah teknis dalam ilmu Teologi; bidang studinya mencakup tata kebaktian Gambar I. Pengertian liturgi dalam beberapa tempat a. 19 Istilah “liturgi” dalam Septuaginta 20 Septuaginta disini selalu menggunakan kata “leitourgia” untuk suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh para imam secara tertib dan dengan khidmat, sesuai dengan undang-undang upacara ibadat; suatu pelayanan yang berguna untuk seluruh jemaat. 21 b. Istilah “liturgi” dalam Gereja purba Dalam Gereja Purba kata ini sebenarnya mengandung arti yang lain. Artinya sama seperti dalam Perjanjian Lama, yaitu menyatakan tugas kultus imam-imam. “Leiturgia” juga dapat merujuk kepada kehidupan sebagai orang Kristen, tugas malaikat, jabatan penatua dan uskup. Selanjutnya dipakai pula dalam pelaksanaan ibadah, sehubungan dengan 19 G. Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, (Jakarta; Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,1995) h. 17-18. 20 Septuaginta adalah terjemahan Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani. Disebut “Septuaginta” karena menurut cerita (yang tidak pasti ) Perjanjian Lama diterjemahkan oleh 70 orang penerjemah, kira-kira 200 SM-G. Riemer, Cermin Injil –Ilmu Liturgi, h.10. 21 Martasudjita, Pengantar Liturgi, h.10. 20 perayaan Perjamuan Kudus. Dalam arti istilah ini “liturgi” makin memperoleh tempatnya dalam teologi Katolik Roma. 22 c. Istilah “liturgi” pada saat reformasi Mula-mula para reformator sama sekali tidak memakai kata “liturgi”. Tapi mungkin istilah ini diambil alih dari Gereja Anglikan dan gereja Ortodoks Yunani. 23 d. Istilah “liturgi” sekarang ini Gereja masa kini biasanya menamakan ibadahnya suatu “liturgi”. Kebiasaan ini terdapat pada banyak gereja. “liturgi” sudah menjadi istilah teknis dalam ilmu teologi yang merujuk kepada berkumpulnya jemaat untuk beribadat, tata kebaktian, dan sebagainya. 24 Selain itu banyak hal yang mempengaruhi pembentukan liturgi itu sendiri, bukan saja faktor-faktor lingkungan teologi, tapi juga non-teologi. Semua faktor dengan wewenangnya masing-masing, bersama-sama membentuk pola liturgi yang indah dan yang sesuai dengan keadaan jemaat yang merayakannya. Bagan berikut melukiskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan liturgi tersebut. 25 22 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h.12. Valerandus Pollanus disebut sebagai orang pertama yang mulai memakai istilah “liturgi”, ia berbicara tentang liturgi Sacra (liturgi yang kudus) tahun 1551 M- G. Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 12. 24 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 12-13. 25 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 24. 23 21 LITURGI Dunia Gereja (politik, sosial, ekonomi) Sejarah Gereja Alkitab Kebudayaan (kesenian; musik; arsitektur) Persekutuan Gereja (di Negara dan didunia) Ajaran Gereja (dogma) Antropologi Etnologi (sifat suku bangsa; adat; emosi) Misiologi Gambar II. Faktor-faktor yang mempengaruhi Liturgi 1. 26 Faktor Sejarah Gereja Ilmu Liturgi memang wajib diteliti sejarah kebenarannya. Allah memerintah gereja dari abad ke abad, dan memeliharanya sepanjang perkembangan zaman. Artinya, gereja yang hidup pada masa sekarang ini bertanggung jawab untuk mengkaji perlindungan dan pemeliharaan ini, dan untuk belajar dari sejarah gereja. Ajaran sejarah ini merupakan nasihat yang penting sekali untuk gereja sekarang ini. 27 2. Faktor Dunia Gereja Yang dimaksud ialah pengaruh dunia sekitar gereja, yang dapat mempengaruhi liturgi, misalnya: bila keadaan ekonomi tidak baik dan masyarakat umumnya miskin, maka akibatnya untuk gereja jelas; bangunan gereja memprihatinkan, alat-alat musik tidak ada atau hanya yang sederhana saja. 26 27 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 24. Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 32-33. 22 Walaupun faktor ini kadang-kadang bias menimbulkan akibat yang fatal, tetapi jelas, faktor ini merupakan prinsip mutlak gereja. Wewenangnya bukan berkenaan dengan prinsip, melainkan relatif (artinya terbatas, sesuai dengan keadaan). 28 3. Faktor Alkitab Alkitab mempunyai wibawa mutlak dalam kehidupan Kristen, dalam gereja dan dalam Ilmu Teologi. Sejalan dengan itu liturgi harus taat kepada Firman Allah, sehingga menjunjung tinggi semua unsur, semua petunjuk atas perintah yang diberikan Allah sendiri untuk ibadah masa kini. Tapi tidak semua unsur liturgi yang berasal dari Alkitab merupakan perintah mutlak untuk semua masa, ada juga yang bersifat nasihat, saran, petunjuk dan dorongan. 29 4. Faktor Kebudayaan Faktor ini sangat penting sekali, bukan saja dilihat dari segi missioner, tapi juga dari segi pembinaan jemaat. Bila kebudayaan disangkal atau kurang diperhatikan dalam penciptaan dan perkembangan liturgy, maka iman didalam hati anggota jemaat akan kurang berakar. Tetapi faktor ini juga harus tunduk kepada faktor-faktor lain yang berwenang mutlak, misalnya Alkitab dan Dogma. 30 5. Faktor Persekutuan Gereja Wewenang faktor persekutuan tergantung pada peraturan gereja. Apabila persidangan raya menentukan suatu tata ibadah, dengan maksud supaya semua 28 29 30 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 35-36. Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 29-30. Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 34. 23 gereja memakai tata ibadah itu, maka peraturan itu bersifat perintah mutlak, yaitu berdasarkan ketentuan bersama-sama dalam persekutuan gereja. 31 6. Faktor Antropologi Etnologi Faktor ini sebenarnya tidak begitu berbeda sifatnya dari faktor kebudayaan. Bila hendak menciptakan liturgi, mau tidak mau kita harus berhadapan dengan faktor ini. Dan disini diperlukan khidmat untuk menentukan apa yang dapat dan yang harus dibuat, agar kebaktian memperoleh identitas yang sesuai dengan identitas suatu bangsa. Tapi pada saat yang sama kebaktian itu harus tetap bersifat “murni”, yaitu berlandaskan ajaran Alkitab yang sejati. 32 7. Faktor Ajaran Gereja (dogma) Faktor ini bukan saja berpengaruh dalam pokok ibadat Gereja Katolik Roma, tetapi juga pada Gereja-gereja Protestan. Dalam Gereja reformasi faktor dogma erat berkaitan dengan faktor Alkitab. Gereja Reformasi mengakui sebagai dalil utama, bahwa dasar ajarannya adalah Firman tuhan. Sejajar dengan ini kita dapat menilai bahwa wewenangnya bersifat mutlak. Tak heran jika dalam Gereja Katolik Roma dogma juga merupakan faktor yang bersifat perintah mutlak. Tapi dogma ini tidak selalu datangnya dari Alkitab, bias jnuga dari tradisi. 33 8. Faktor Misiologi Faktor misiologi untuk menciptakan liturgi adalah faktor yang penting sekali, yaitu merupakan dorongan, terutama untuk membuat kebaktian itu hidup dan sesuai dengan pengertian dan penghayatan setiap orang. 34 31 32 33 34 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h.35. Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 35. Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 34. Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 34. 24 Jelaslah bahwa ikhtisar ini menjelaskan betapa sulitnya menciptakan atau mengubah suatu liturgi. Jika komisi liturgi yang bertanggung jawab ingin memperbaruhi liturgi setempat, maka seharusnya ada pertimbangan dari keseluruhan faktor yang ada itu, untuk menentukan pola liturgi. Karena perubahan sembrono tidak akan menghasilkan kebaikan untuk jemaat. Dikalangan umat, “liturgi” biasa dipahami sebagai upacara atau ibadat publik gereja. Tidak heran jika orang berfikir tentang liturgi adalah urutan upacara, para petugas, peralatan yang harus ada, dan sebagainya. Tetapi, makna dan hakikat liturgi itu sendiri seharusnya digali dari apa yang diajarkan oleh Konsili Vatikan II, terutama melalui konstitusi liturginya, Sacrosanctum Concilium. 35 Dokumen liturgi ini merupakan hasil perumusan dan perjuangan panjang gerakan pembaruan liturgi yang memuat hasil refleksi dan studi liturgis selama berpuluh-pulluh tahun sebelumnya. Definisi liturgi dirumuskan sebagai tindakan bersama antara sang Imam Agung Yesus Kristus dan Gereja-Nya bagi pengkudusan manusia dan pemuliaan Allah yang bersifat simbolis. Karya keselamatan-Yesus di dalam liturgi selalu merupakan kehadiran dalam bentuk tanda atau simbolis, seperti; jabat tangan, menepuk dada, berdiri, berlutut, menumpangkan tangan, mencurahkan air, dan lain-lain. Selain itu juga digunakan banyak benda simbolis, seperti altar, mimbar, roti, anggur dan lain-lain. Simbolsimbol liturgi ini merupakan simbol yang melaksanakan bahkan menghadirkan secara efektif apa yang dilambangkan. Salah satu simbolisasi bias terlaksana ialah 35 Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara liturgy Gereja, khususnya perayaan Ekaristi. 25 melalui tubuh, gerak-gerik atau tindakan. Identitas manusia terbentuk dan terungkap dalam ekspresi dirinya. 36 36 Martasudjita, Pengantar Liturgi, h. 103-121. BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK Musik liturgi mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Berikut ini merupakan uraian singkat mengenai sejarah musik liturgi sejak zaman kekristenan purba hingga menjelang masa pembaharuan. A. Musik Gereja Perdana (100-900) 1 Musik merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial sekuler orang Ibrani. Mereka tidak membedakan antara kehidupan yang rohani dan sekuler. Kehidupan musik mereka tumbuh dari jiwa orang-orang yang kehidupan sehariharinya diatur oleh agama mereka. Menurut koleksi tulisan Yahudi yang ditulis setelah penulisan kitab Injil, Raja Salomo menikah dengan wanita Mesir dengan mas kawin berupa 1000 peralatan musik. Latar belakang agama Kristen dalam hubungannya dengan sumber utama yaitu agama Yahudi menjadi awal untuk membicarakan sumber-sumber liturgi (tata ibadat) Kristen dan musik gerejawi. “Sesudah menyanyikan nyanyian pujian, pergilah Yesus dan para muridmurid-Nya ke bukit Zaitun.” Begitulah berita Injil Matius 26:30 dan Markus 14:26 tentang perjamuan terakhir yang diadakan Yesus dan murid-murid-Nya. 1 Karl-Edmund Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 15. 27 Perjamuan ini pada dasarnya berbentuk perjamuan Paskah Yahudi sehingga berakhir dengan nyanyian Hallel yakni Mazmur-Mazmur 114 sampai 118. Inilah awal dari musik ibadat Kristen yang dilanjutkan dalam ibadat gereja Perdana. 2 Dalam mitos Yunani Kuno musik dianggap sebagai ciptaan dewa-dewi atau setengah dewa. Ada anggapan bahwa musik memiliki kekuasaan ajaib yang dapat menyempurnakan tubuh dan jiwa manusia, serta membuat mu’jizat dalam dunia alamiah. Seperti halnya dalam tradisi Ibrani, dalam tradisi Yunani Kuno musik pun tidak dapat dipisahkan dari upacara-upacara keagamaan, misalnya alat musik Iyra terkait dengan aliran Apollo, Aulos berkaitan dengan alat musik Dionysus. Dalam musik Ibrani, syair dan lagu dikatakan lebih penting dari musiknya dan lagunya lebih ditekankan untuk mengikuti alunan yang wajar dari syair dan aksen diantara kata-kata itu. Generasi Kristen mula-mula menggunakan lagu-lagu Yahudi lama untuk penyembahan mereka. Artinya, musik gereja Perdana berasal dari bentuk nyanyian ibadat sebagaimana dilakukan dalam sinagoge Yahudi. Karena belum ada notasi musik pada zaman itu, nyanyian ini berkembang lewat improvisasi seorang solis. Pada waktu menjelang akhir Perjanjian Lama, memasuki zaman Kristus, bangsa Yahudi membiarkan penyembahan berkembang secara leluasa. Dalam masa Perjanjian Baru, para rasul Yesus meneruskan kebiasaan sebagai orang Yahudi dengan mengikuti ibadat di Bait Suci di Yerussalem/Sinagoge. Kitab Mazmur Perjanjian Lama yang selalu dinyanyikan dalam ibadat Yahudi dan lagu-lagu baru yang memuji Yesus dalam bentuk seperti mazmur menjadi dasar liturgi yang 2 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 35-36. 28 dinyanyikan dalam ibadat Kristen awal. Musik gereja Perdana melanjutkan tradisi nyanyian ibadat Yahudi maupun tradisi musik dari Palestina dan sekitarnya. Pada zaman ini musik liturgi dikenal dengan istilah ‘nyanyian pujian’, nyanyian mazmur dan kidung pujian (Bdk. Kis 16:25; Ef 5:19; Kol 3:16). Musik dalam periode ini memiliki dua sumber utama, yang menjadi latar belakang musik gereja, yakni musik Yahudi dan musik Yunani. 3 Pertama, musik Yahudi. Musik ini berkembang dalam masa pemerintahan raja Daud. Atas usaha raja Daud (±1012-972 SM), mazmur-mazmur disusun dalam bentuk yang paralel, guna menyejajarkan setiap kalimat. Untuk menyanyikan mazmur-mazmur dibutuhkan dua kor di mana mazmur-mazmur tersebut dapat dibawakan dengan cara saling bersahutan. Musik ini berkembang dan mencapai puncaknya pada musik kenisah di Yerusalem pada masa pemerintahan raja Salomo (±972-929 SM). Usaha-usaha para ahli untuk menemukan lagu yang otentik atau alat musik yang disebut dalam Alkitab belum membawa hasil yang baik. Peninggalanpeninggalan kuno di Mesopotamia dan Mesir masih dapat memperlihatkan contoh-contoh alat musik kuno mereka di zaman lampau, namun tidak satu pun alat musik dari Alkitab yang diketahui secara pasti. Hasil penelitian para musikolog untuk menemukan notasi musik kuno di sekitar Laut Mati belum menunjukkan gejala-gejala titik terang. Meskipun demikian, masih terdapat keterangan yang dapat menjadi pegangan untuk bermusik, antara lain teks nyanyian dan cara membawakan musik. Atas usaha raja Daud (1012-972 SM), 3 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37. 29 telah disusun mazmur-mazmur berbentuk paralel, artinya tiap-tiap kalimat dinyanyikan sejajar. Untuk menyanyikan mazmur-mazmur dibutuhkan dua kor yang saling melengkapi, yaitu dengan cara saling bersahut-sahutan. Cara tersebut kemudian mempengaruhi cara membawakan musik Gregorian, yakni nyanyian secara ‘antiphonal’ atau ‘responsorial’. Perkembangan musik tersebut kemudian berlanjut dalam sinagogasinagoga, sesudah pembuangan di Babilonia pada abad ke-6 SM. Umat Yahudi membangun berbagai sinagoga sebagai tempat ibadat yang tetap sesudah pembuangan, sebab kenisah Yerusalem telah dihancurkan musuh. Mereka membawakan doa-doa dan mazmur-mazmur yang bersifat responsorial. Ada pun dua gaya bernyanyi dalam musik sinagoga, yaitu ‘syllabis’ dan ‘melismatis’. Dalam gaya syllabis, tiap suku kata diberi hanya satu nada, walaupun melodinya sangat bervariasi, misalnya pada kadens awal (initium) atau pada kadens terakhir (finalis). Sedangkan gaya melismatis bersifat kololatur, yang dinyanyikan oleh solo. Ciri khas gaya ini adalah pada satu suku kata diberi banyak nada atau suatu melodi kecil. Dari cara inilah umat Yahudi sesunggunya telah mewariskan beberapa unsur yang berharga bagi perkembangan musik Gereja khususnya musik Gregorian. 4 Kedua, musik Yunani (± 675-146 SM). Dalam masyarakat Yunani kuno, nyanyian erat kaitannya dengan puisi dan para “minstrel” (dapat dibandingkan dengan “pengamen” di Jawa) yang selalu berkeliling untuk membawakan lagu– 4 Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid 1 (Yogjakarta: PML, 1991), h. 23. 30 lagu secara resitatif. 5 Alat musik ’lira’ dipetik sebagai iringan dan sering berfungsi sebagai instrument solo. Selain itu dipakai juga alat musik tiup 'aulos’ yang terbuat dari bulu. Teori musik Yunani berkembang dalam waktu sekitar 600 tahun. Musik Yunani dipercaya sebagai musik terbaik dan terkenal di antara musik lain dalam sejarah musik dunia. Literatur musik Yunani sangat mempengaruhi perkembangan teori musik di seluruh dunia, dan mempelopori lahirnya musik keagamaan dan musik klasik di Eropa. Seperti halnya sejarah Yunani penuh dengan kejayaan di berbagai bidang penemuan, filsafat dan peradaban rakyatnya, demikian pun musik Yunani, ikut memberikan warna kemajuan bagi kebudayaan Yunani, bahkan bagi perkembangan musik dunia pada umumnya. Dalam kehidupan bangsa Yunani pada masa lampau, musik digunakan sebagai sarana hiburan, perayaan rakyat dan juga kegiatan ritual kegamaan. B. Periode Awal Pada Abad X (900-1000) Mulai abad I gereja tersebar sampai kawasan Eropa selatan. Di Roma berkembang warisan gereja Perdana. Sejak abad IV selain solis terdapat pula schola. 6 Sehingga terbuka jalan bagi lagu yang lebih kaya akan seni. Di Milano, Italia Utara berkembang bentuk nyanyian baru yang dipelopori oleh St. Ambrosius (333-397). Dalam perang melawan bangsa Arian (386), ia sering terkurung dalam gereja bersama umatnya. Kemudian ia melatih mereka nyanyian yang mudah dinyanyikan bersama-sama. Yang pertama, himne atau madah yakni 5 Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 25. Schola adalah sebutan bagi sekelompok penyanyi terlatih. (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid 1 (Yogjakarta: PML, 1991), h. 25). 6 31 nyanyian berbait dengan syair baru bukan dari kitab suci. Yang kedua adalah nyanyian antiphon, refren yang diulang diantara ayat-ayat Mazmur. 7 Gaya musik himne berasal dari Syria yang dibawa ke Eropa Barat pada abad IV, kemudian dikembangkan oleh St. Ambrosius sesuai kebudayaan dan kebutuhan setempat. Suatu bentuk penyesuaian yang saat ini dikenal dengan istilah inkulturasi. Perkembangan pokok terjadi di Roma. Sejak abad IV perayaan ibadat dirayakan secara resmi dalam gereja basilika, tidak lagi tersembunyi dalam katakombe. Sampai abad VI nyanyian ibadat berkembang subur, Paus Gregorius Agung (590-604) merasa perlu mengaturnya, kemudian lahirlah nyanyian Gregorian. Nyanyian ini terus berkembang, sebagai tradisi dan tulang punggung musik gereja abad pertengahan. Di Eropa Utara nada-nada melisma yang panjang diisi dengan syair baru, tropus dan sekuensi. 8 Sampai abad X musik berkembang sebagai tradisi lisan berupa musik jemaat, dinyanyikan dalam bahasa Latin dan dimengerti oleh semua umat. C. Musik Abad Pertengahan (1000 - 1400) Sekitar tahun 1000 terjadi perubahan dalam musik gereja. Di Eropa dikembangkan notasi musik, untuk keperluan didaktis. Nyanyian Gregorian dipandang sebagai warisan yang mengikat, sehingga menjadi tantangan para komponis untuk menciptakan musik Polifon yang bermutu tinggi. Maka lahirlah musik gereja gaya baru, Organum. Pada abad XXII di Paris, Prancis berkembang 7 8 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 36. Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37. 32 sekolah Notre Dame dengan seni ritmik yang tinggi, kemudian dengan motetus dan conductus yang termasuk Ars Antiqua. Pada abad ke-14 digunakan ars Nova sebagai notasi baru. 9 Saat itu, musik gereja menjadi musik klerikal, 10 jemaat menjadi pasif karena penyanyi dan paduan suara hanya terdapat di seminari dan biara. Hal ini membuat gereja berulangkali mengeluarkan peraturan tentang musik ibadat, namun kenyataan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maka sejak abad XIII Imam harus mengucapkan semua teks liturgi, meskipun nyanyian tersebut dibawakan oleh paduan suara. Musik gereja dipandang sebagai tambahan, hiasan, bukan bagian integral dari ibadat. Sehingga terbuka jurang pemisah antara liturgi resmi dan musik gereja. Pada tahun 1300 muncul istilah Musica Ecclesiastica bagi nyanyian Gregorian, dan Musica Mensurata bagi nyanyian Polifon. Disimpulkan perkembangan musik gereja menjadi seni Polifon adalah hasil perkembangan gereja di Eropa Utara dan akibat konfrontasi kebudayaan musik Eropa Selatan (Gregorian) yang monodis (satu suara, organum). Gereja melalui proses inkulturasi memajukan kesenian, namun di lain pihak pendewasaan musik gereja mendatangkan konflik dengan pimpinan gereja: gereja semakin yuridis, menegaskan ritus dari pada iman dalam perbuatan ibadat. 9 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37. Musik Klerikal adalah musik yang menjadi bagian tugas atau yang dilakukan oleh Klerus (orang-orang beriman yang menerima tahbisan diakoniat, imanat atau keuskupan). 10 33 D. Musik Zaman Renaissance (1400-1600) 11 Dibandingkan dengan musik Abad Pertengahan, musik Renesans lebih manusiawi. Hal ini tampak dalam bunyi bulat vokal Renesans, suara yang linear berkembang dalam Polifon menjadi harmonis. Para komponis tidak lagi mengarang suara satu persatu namun konsep komposisi keseluruhan. Melodinya disederhanakan dan diperindah dengan potongan-potongan yang ditentukan nafas manusia. Ritmik Gotik yang rumit diganti dengan irama hidup yang mengalir dan sederhana. Musik vokal diharuskan mengungkapkan isi dan perasaan yang termuat dalam syair. Selama abad XV di Belgia mulai terbentuk pusat-pusat musik, tempat komponis ternama berkarya atas permintaan pangeran maupun Uskup, di istanaistana dan gereja Katedral tertentu terbentuk paduan suara, orkes, dan kegiatan kreatif yang cukup subur. Umumnya para komponis tersebut tidak tinggal menetap, tetapi berkeliling, sehingga di Eropa berkembang gaya musik baru, musik Renesans. Musik ini dikuasai bentuk motet, suatu bentuk musik yang berpangkal dari syair dan merenungkannya dalam ulangan-ulangan potongan secara Polifon. Disamping musik gereja, berkembang seni musik Profan 12 di Italia (Madrigal) dengan mutu yang tinggi. Menjelang Konsili Trente (1545-1563) terdapat dua aliran musik gereja: yang pertama, ingin membendung dan melindungi tradisi musik gereja (yakni 11 Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 123. Profan berasal dari kata profane dalam bahasa Inggris, yang menurut bahasa berarti kotor, tidak senonoh, tidak sopan. Namun dalam arti yang berlawanan dengan kata sacred (suci) profan berarti duniawi, biasa.” Lihat John M. Echols dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 449. 12 34 nyanyian Gregorian dan musik Polifon klasik lama), dan yang kedua, ingin belajar perkembangan musik baru seni Madrigal dengan mencari faedah untuk musik gereja. 13 Dalam Konsili Trente 14 , pengolahan syair dalam komposisi motet dianggap terlalu bebas termasuk kebiasaan solis memakai hiasan, tambahan dalam membawakan lagu, sikap sembrono para organis yang memakai musik hiburan sebagai selingan. Mengenai perbedaan kedua aliran, Konsili hanya menuntut agar syair dalam musik gereja dapat ditangkap dan lagu Profan dihindari dalam ibadat. Nyanyian Gregorian agar dipelihara secara intensif terutama di SeminariSeminari. Namun pelaksanaan keputusan diserahkan pada Uskup lokal. Atas dasar ini berkembang pusat-pusat musik gereja lokal, yang diwarnai oleh tradisi lokal dan dicap oleh pakar musik tertentu. G. P. da Palestrina (Penyelamat musik gereja Polifon) berhasil menciptakan gaya musik Polifon yang sangat seimbang dengan mengembangkan teknik Polifon dari sekolah Belanda dan mengembangkannya dengan bunyi indah khas Italia. Selain itu terdapat pakar musik lain seperti: G. Allegri dengan Miserere, W. A. Mozart, dan Orlando de Lasso yang menyumbangkan 60 misa dan 1200 motet untuk musik gereja. Sekitar tahun 1600 terjadi perubahan yang cukup besar, musik monodi dengan basso continuo dan dengan akor-akor menggantikan musik modal dan polifon. Ini dikembangkan di Italia, Jerman dalam gereja Katolik maupun Protestan. Gaya musik monodi dengan iringan basso continuo hanya bertahan 13 14 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37. Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 155. 35 sementara sampai pertengahan abad XVII kemudian diganti dengan bentuk baru seperti Orgelmesse, Versetti (lagu-lagu pendek untuk orgel untuk menggantikan solis dalam membawakan ayat-ayat Magnificat dan Mazmur). Selain itu muncul juga musik gereja yang murni instrumental seperti Sonata gereja, Epistelsonate, elevation dan lain-lain. 15 Musik gereja Katolik pada hakikatnya bersifat tradisional, untuk ibadat masa Adven dan Prapaskah, gereja melarang bunyi instrumen meriah sehingga digunakan musik khas gerejawi seperti Gregorian dan Polifoni a capella gaya Palestrina. E. Musik Barok (1600-1750) 16 Waktu dari sekitar tahun 1600-1750 dalam sejarah musik merupakan satu epoche yang sangat utuh disebut Barok atau jaman basso continuo / Generalbass, atau jaman stilo concertante. 17 Istilah ‘Barok’ untuk pertama kali dipakai sebagai nama gaya kesenian dalam buku ‘Encyclopedie’ karangan Denis Diderot pada tahun !750 dan diartikan menurut kata Portugis ‘borucco’ atau ‘barocco’ 18 sebagi bulatmiring/loncong, kira-kira seperti bentuknya mutiara. Ternyata pada abad 18 kesenian musik dari periode tersebut tidak dinilai secara positif tetapi justru negatif: ‘kehilangan bentuk yang normal’, eksentris’ / ‘berlebihan’, kurang bermutu’, ‘skuril’, bahkan ‘dekaden’. Harmoni dalam musik Barok dianggap 15 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 41. Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 7. 17 J. Handschin, Musikgeschichte im Uberblick, Luzern 1948 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7). 18 Dalam bahasa Portugis berarti ‘mutiara’(Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7). 16 36 kurang jelas, terdapat banyak disonasi, melodinya sulit dan kurang wajar / kaku; pendek kata ‘barok’. 19 Baru selama abad 19 musik dari tahun 1600-1750 mulai dinilai secara baru dan lebih positif. Sedangkan istilah Barok mulai dipakai sebagai nama untuk masa tersebut pada awal abad 20, mula-mula di Jerman (H. Riemann, Handbuch der Musikgeschichte, 1911; H.J.Moser, Geschichte der deutschen musik, 1922; E Bucken / R Hass, Handbuch der Musikwissenschaft, 1928). Dengan mengikuti kebiasaan Jerman ini, maka di Amerika pun dipakai istilah ‘Barok’ 20 , sedangkan orang Perancis dan orang Inggris sampai sekarang berhati-hati memakai istilah Barok 21 ; para pakar sejarah musik di Italia malah secara eksplisit menolak istilah Barok karena mereka lebih-lebih melihat arti negatif dari kata Barok (lihat diatas) dan merasa bahwa ini kurang cocok untuk musik Bach, Handel dll.- Namun inilah soal istilah saja. Awal masa Barok di sekitar tahun 1600 cukup jelas sebagai awal gaya musik baru; dan orang pada waktu itu merasa bahwa mulailah masa baru, dengan perasaan dan pikiran baru. Meskipun demikian musik polifon lama dipelihara terus juga sesudah tahun 1600 sehingga terdapat dua gaya yang berbeda-beda pada waktu yang sama yang disebut stile antico dan stile moderno 19 Demikianlah penilaian J.J Rousseau dalam Dictionaire de musique, Geneve 1767/cetakan ke-2 Hildesheim !969; H.C. Koch, Musikalisches Lexikon, Frankfurt 1802/cetakan ke-20 Hildesheim 1964. (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7). 20 M.Bukofzer, Allegory in Baaroque Music, New York 1939. (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7). 21 Claude V. Palisca, Baroque. Dalam Stanley Sadie (e.d) The New Grove Dictionary of Music and Musicians, vol. 2, London 1980, hal. 172 (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7). 37 Sebaliknya akhir masa Barok tidak begitu jelas. Sekitar tahun 1750 (akhir hidup J.S Bach) terjadi suatu perubahan tidak hanya dalam musik tetapi juga dalam arsitektur, seni rupa, seni lukis dan sastra: disatu pihak suatu keinginan kea rah lebih sederhana dan lebih wajar (Aufklarung / pencerahan); dilain pihak keinginan kearah luwes (Rokoko / Pra kalsik). Namun kecendrungan ini sebenarnya sudah mulai sekitar tahun 1730 dan mencapai puncaknya di sekitar tahun 1780 yakni masa jaya Klasik. Secara lazim, dibedakan tiga tahap dalam jaman Barok : 22 • Barok Awal • Barok tengah : kira-kira 1630-1680 • Barok akhir : kira-kira 1580-1630 : kira-kira 1680-1750 Para seniman Barok tidak hanya menirukan alam seperti para seniman Renaissance tetapi mereka berkarya secara kreatif, sebagai genius dengan perasaan dan akal / pikiran. Proses ini kadang-kadang seakan-akan melawan alam, misalnya bila di alam seperti hutan dan rawa dibangun istana dengan kebun yang disusun secara geometris-matematis. Begitu pula para sastrawan menciptakan karya sastra yang teratur dan buku ilmu yang tinggi; para pemusik menganggap diri sebagai ‘musicus poeticus’ 23 yang menciptakan karya (opus) untuk memperoleh nama. Setiap bentuk yang diciptakan oleh manusia merupakan suatu langkah untuk mengatur alam ciptaan. Maka banyak bentuk Barok nampak dibuat-buat dan kurang wajar: mulai dari cara menghormati sampai kebiasaan 22 Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, hlm. 7. Musicus poeticus (latin) = Komponis (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 9). 23 38 memakai rambut palsu; dari etiket sopan-santun yang kaku sampai kebisaan kastrasi (untuk mempertahankan suara anak pada penyanyi pria dewasa). Dunia dipandang sebagai arena sandiwara, dengan pameran, sutradara (master of ceremony) dan musik. Namun karena manusia menjadi kritis dalam bidang agama, filsafat dan ilmu pengetahuan, maka pengertian diri orang terhadap dunia transenden pun tidak utuh lagi. Dalam abad-abad pertengahan segala bidang hidup diatur oleh hubungan dengan Tuhan / dunia transenden. Hal ini nampak secara visual pada gedung gereja katedral yang menuju surga, dan secara auditif pada cantus firmus yang mendapat tempat sentral dalam komposisi motet dsb. Dalam jaman Barok hubungan dengan dunia transenden diwujudkan dalam dunia konkrit ini: nampak secara visual dalam istana dan gereja yang indah dan mewah; secara auditif dalam gaya konser dimana solis dan pribadi manusia menonjol. Meskipun di Inggris sudah mulai gerakan baru, liberalisme, yang kemudian meletus dalam revilusi Perancis dan mendatangkan masyarakat baru (republik); namun dalam jaman Barok masih berkuasalah sistem politik Feodalisme / Absolutisme yang dengan gigih mempertahankan orde lama. Dalam arti ini karya J.S. Bach (lebih-lebih menjelang akhir hidupnya) dirasa sebagai “benda asing” / musik ketinggalan dari abad pertengahan di dalam masyarakat yang sudah berpikiran baru. 24 Masyarakat jaman Barok masih mempetahankan sistem golongan lama: Raja, kaum bangsawan, kaum Rohaniawan, penduduk kota dan petani. 25 Namun sistem masyarakat abad pertengahan ini (yang dianggap diatur oleh Allah) hanya 24 25 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 9. Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 9. 39 dapat dipertahankan dengan memakai kuasa. Raja Louis XIV menganggap dirinya sebagai dewa (matahari) dan dibantu oleh kaum bangsawan, kaum rohaniawan dan tentara. Dlam kota-kota terdapat lapisan orang kaya dan terdidik, sedangkan orang di pedalaman menjadi makin miskin. 80% masyarakat Eropa pada jaman Barok buta huruf. Buktinya, lagu dan tari rakyat Barok sebagian besar lenyap karena diwariskan hanya dengan lisan; sedangkan musik yang dipakai di lapisan masyarakat atas saja yang dicatat dan diabadikan. Musik diciptakan dan dipentaskan terutama pada istana (disponsori oleh bangsawan), gereja katedral (disponsori oleh uskup sebagai pimpinan gereja lokal), dikota (disponsori oleh pemerintah lokal), sekolah (disponsori oleh yayasan swasta), sebagai musik kamar (disponsori oleh kelompok orang kaya) dan dalam gedung opera (disponsori oleh yayasan swasta).26 Gaya Barok mendapat titik pangkal dari Italia: Tahun 1568 di Roma dibangun gereja II Gesu sebagai peringatan akan St. Ignasius dari Loyola yang dimakamkan dalam gereja ini. El Greco dan Tintoretto menghias gereja gereja ini dengan lukisan yang sangat patetis dan penuh perasaan. Maka gaya baru ini mulai ditirukan di lain tempat, terutama dalam gereja Sri Paus di Roma, St. Petrus (1644). Gaya bombastis ini hadir dalam arsitektur dan seni rupa, seni lukis dan musik di Italia utara (Venesia). Dari sini musik Barok mulai meluas ke seluruh Eropa, terutama musik opera.barok berakhir pada pertengahan abad 18 dengan timbulnya rasionalisme serta naturalisme baru. 27 26 27 Prier, Sejarah Musik jilid II, 1993, h. 10. Prier, Sejarah Musik jilid II, 1993, h. 10. 40 Barok seperti musik tradisional Indonesia senang dengan ulangan yang sama: dirangkaikan detil-detilnya sebagai variasi dan hidup dalam siklus abadi yang mendapat dasarnya pada kosmos; di satu pihak semuanya bergerak (matahari dan bintang-bintang dilangit, hidup manusia dari lahir sampai mati; para penari dan pemain alat musik) namun di lain pihak semuanya tenang pula karena termasuk dalam peraturan yang disusun oleh Dia yang lebih tinggi daripada manusia. Musik Barok seperti suita, variasi, passacaglia, fuga dsb. Mencerminkan sikap dasar ini: musik cukup hidup, memiliki pola variasi, namun tidak menuju pada suatu titik tujuan, seperti kemudian halnya dalam bentuk sonata klasik. Dalam jaman Barok para seniman berusaha untuk (melalui daya fantasi) menciptakan suatu ‘ruang seni’ yang dipisahkan dari dunia alam dan realita hidup: plafon gereja dihias dengan lukisan pemandangan alam yang fantastis; tari pergaulan dirubah menjadi tari seni; diciptakan opera yang berlangsung beberapa jam. 28 Cita-cita ialah karya seni yang menyeluruh: arsitektur, seni rupa, seni lukis, seni sastra, seni musik, bahkan (di sekitar istana) seni menghias kebun diikutsertakan untuk menciptakan karya kesenian di gereja dan istana dengan tujuan untuk mempesona manusia dengan panca inderanya. 29 Dunia dipandang sebagai suatu ‘teater’ raksasa, tinggal manusia menikmati penyajiannya yang disatu pihak indah dan mengesankan, dilain pihak penuh arti simbolis yang mendalam. Seni lukis dan seni rupa Barok melukiskan manusia; seni musik mengungkapkan emosi dan perasaannya. Namun manusia Barok belum sadar 28 29 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 10. Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 10. 41 akan kepribadiannya sebagai individu; ia melihat diri sebagai satu unsur dalam kesatuan seluruh dunia. Maka dalam musik Barok tidak dilukiskan perasaan yang dialami sendiri; perasaan dan emosi pun ditingkatkan dalam ‘gaya’ yang tak jarang bersifat agak kaku. Pikiran manusia pun tidak ketinggalan dalam proses ini tidak ketinggalan dalam proses seni ini: simbolik angka main peranan sangatlah penting dalam arsitektur maupun dalam musik; urutan akor dalam harmoni funsional, bentukbentuk musik yang dibuat-buat, ilmu kontrapung yang waktu Barok dipandang kolot namun dijunjung tinggi, sampai pembagian oktaf secara metematis (dan berlawanan dengan alam) dalam ‘sateman seimbang’ (‘wohltemperierte Stimmung’) oleh Werckmeister. 30 Dalam jaman Barok kembali dijunjung tinggi teori Pythagoras tentang musik angkasa. 31 Pada Abad pertengahan bayangan antic tentang musik angkasa ini telah ditingkatkan sebagai ‘musica coelestis’ (pujian alam raya kepada sang pencipta) serta ‘musica angelica’ (pujian pada Allah oleh para malaikat di surga). Pada Akhir Abad Pertengahan Harmoni angkasa tadi tidak dilihat secara realistis (sebagai bunyi fisik) melainkan secara abstrak / matematis. 32 Johannes Kepler (1571-1630) menyambung tradisi ini dalam bukunya “Harmonices mundi” 33 . 30 Dalam ‘wohltemperierte Stimmung’ oktaf dibagi dalam 12 langkah ½ nada yang persis sama. Dengan demikian tidak ada satu kuint lagi yang murni, semuanya berkurang sedikit. (Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 11). 31 Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 28-30 32 Misalnya Adam dan Fulda (Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 11). 33 Bahasa Latin, berarti ‘Harmoni dunia’, terbitan tahun 1619 ( Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 11). 42 Berdasarkan pandangan dunia baru yan heliosentris 34 , maka Kepler membandingkan gerakan eliptis dari planit yang satu dengan yang lain. Ternyata jaman Barok masih memakai istilah klasifikasi musik yang diajar oleh Boethius, seorang teori musik Roma pada abad 6 M sbb: - musica mundana : musik yang hadir dalam dunia nagkasa, termasuk musim-musim dan harmoni dari makrokosmos; - musica humana : harmoni dalam badan manusia seperti anggota badan, emosi, hubungan antar jiwa dan badan; harmoni dalam mikrokosmos; 35 - musica instrumentalis : musik yang berbunyi secara fisik, yakni hasil bunyi alat musik (musik instrumental) dan suara manusia (musik vokal). 36 Pada abad 13 musica mundana dan musica humana dipersatukan menjadi musica theoritica atau musica speculativa; dan musica instrumentalis mulai disebut musica pratica. Musica speculativa 37 biasanya diajar pada sekolah menengah dan universitas dalam rangka pendidikan ‘seni bebas’. Yang termasuk seni bebas ialah ‘grammatica’ (tata bahasa), ‘rhetorica’ (teknik berpitado), ‘dialectica’ (filsafat), 34 Bumi dan planit-planit lain mengelilingi matahari (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 11). 35 Kadang-kadang ‘musica humana’ diartikan pula sebagai musik vocal. Dalam bahasa Portugis berarti ‘mutiara’. (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 11). 36 Kadang-kadang ‘musica instrumentalis’ diartikan musik instrumental (Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 11). 37 Bahasa latin, berarti ‘filsafat tentang musik' (Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 11). 43 arithmatica (ilmu pasti), ‘geometria’ (ilmu geometri), ‘astronomia’ (=astrologi / ramalan nasib menurut bintang) dan ‘musica’ (=filsafat musik). 38 Musica practica dibagikan lagi menjadi : - Musica plana yakni musik Gregorian dengan satu suara dan irama bebas; - Musik mensurabilis atau musik polifon (disebut pula musica figuralis 39 ) Pada jaman Renaissance dan Barok musica practica yang diutamakan, namun musica speculativa mendapat suatu bobot baru pada jaman Barok berhubung dengan penemuan baru dalam astronomi dan akustik (Galilei, Mersenne, Sauveur). Bagi Heinrich Schutz (1641), filsafat musik (musica speculativa) adalah bagaikan matahari diantara para planit. Leibniz pun memandang musik terutama sebagai ilmu pasti dengan dikatakan (1712) Musik adalah latihan angka dari lapisan dibawah kesadaran. Ada juga yang disebut musica poetica adalah ‘ilmu komposisi’ 40 .ternyata ilmu komposisi abad 17 membahas tentang teknik mengarang motif, bentuk komposisi keseluruhan sampai pembawaan komposisi. Maklumlah, pada jaman Barok suatu komposisi sedikit banyak disertai improvisasi/hiasan dengan ornament, atau diberi ‘wajah’ dengan freshing / deklamasi tertentu. 38 Tokoh yang paling terkenal adalah Johannes de Muris, dengan bukunya ‘musica speculativa’, paris 1323 (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 11). 39 Menurut bentuk not mensural yang namanya ‘figurae’ (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 12). 40 Dari kata latin ‘opus’ = karya/komposisi; ‘poeticus’ = yang menciptakan karya / komponis; ‘musica poetica’ = ilmu menciptakan karya musik / ilmu komposisi (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 12). 44 Menurut musica poetica suatu nada tinggi melambangkan juga tempat yang tinggi (gunung, surga) atau selisih tinggi-rendah (misalnya lembah yang dalam, neraka); Sekon kecil mengungkapkan derita rasa sakit; tanda istirahat yang mendadak menunjuk pada kejutan, kematian; bila suara satu bergerak sambil suara dua ditahan, ini diartikan sebagai ungkapan kesalahan dan dosa; vorhalt / suspension ditafsirkan sebagai keraguan dsb. Musica poetica menyebut secara total 150 gejala musik yang khas. Kehadirannya merupakan suatu pesan di dalam musik. Termasuk tujuan pokok musik Barok untuk melukiskan ‘afek’. Yang dimaksud dengan ‘afek’ pada jaman Barok tidak sama dengan perasaan jaman Romantik. Para pemusik Barok yakin bahwa dalam tangga nada dan interval musik patokan-patokan sikap jiwa manusia. 41 Maka tanda nada dan interval dapat mewakili keadaan jiwa manusia yang tertentu. Artinya, dalam musik Barok komponis tidak mengekspresikan perasaan yang ada dalam hatinya, tetapi berusaha untuk memakai patokan (patern) tertentu (interval, motif irama dsb) secara seni sebagai sarana untuk mengekspresikan isi kata / syair nyanyian. Afek atau perasaan juga diungkapkan melalui alat musik yang dipakai, bagitu pula tangga nada yang dipilih: 42 Keutamaan: Tangga nada: Alat Musik: Iman doris (dorian) D trompet Harapan frigis (phyrgyan) E biola diskant 41 Bandingkan juga Raga dalam musik India dan pathet dalam musik gamelan Jawa. – sama halnya dengan tangga nada Yunani dan estetika Plato- lihat Sejarah Musik jilid I Yogjakarta: PML, 1991, h. 39-40. 42 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 13. 45 Kasih eolis (aeolian) A biola diskant Keadilan lidis (lydian) F flute Kekuatan miksolidis G trombone, klarine (mixolydian) Kewaspadaan ionis (ionian) C schalmei Dalam jaman Barok alat musik terus diperkembangkan. Sebenarnya proses ini sudah dimulai pada jaman Renaissance. Bukan jenis alat musik yang ditambah – kecuali piano (Hammerklavier)- tetapi mutu dari suara, termasuk usaha untuk meningkatkan ungkapan ‘afek’ / perasaan. Maka alat musik yang sukar diperbaiki keindahan bunyinya lama kelamaan lenyap. Alat musik yang dipakai pada jaman Barok: 43 1. dalam musik istana dan gereja (musik seni): biola, biola alto, cello, lute, gitar, teorbe, harpa, cembalo / harpsichord, organ, flute, horn, trompet, pauken. 2. dalam musik rakyat: biola sederhana (oktavgeige), drehleier (alat gesek denagn dawai bordun), gitar, hackbrett (dulcimer, semacam sitar), maultrommel (‘rinding’), pikolo, trekorder (blockflote), schalmei (semacam klarinet), gendering, kastagnet, xilofon, lonceng kecil dsb. Pada awal jaman Barok masih terdapat sejumlah alat musik tiup kayu (pommer, fagot, raket) yang kemudian lenyap kecuali obo dan klarinet. Semua ini dipakai dalam bermacam-macam variasi. 43 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 14. 46 Terutama pada abad XVII, dalam sistem absolutisme, gereja mengalami perkembangan lahiriah dengan arsitektur yang mewah. Begitu pula dengan perayaan liturgi dan musik gereja. Hal ini dilatar belakangi, yang pertama karena gengsi untuk berprestasi atau saingan antar istana, yang kedua karena situasi perang selama 40 tahun dan rasa tidak aman dalam hidup sehari-hari mendorong masyarakat mencari pegangan pada Tuhan. Maka tidak mengherankan perkembangan musik gereja menjadi meriah, bahkan tidak jarang melampaui batas yang wajar. 44 Pimpinan gereja Katolik berusaha mengendalikan perkembangan musik gereja dengan menegaskan bahwa syair liturgi tidak boleh dikurangi atau dirubah, larangan dipergunakannya alat musik terutama flute dan piano karena dicap sebagai musik teater, larangan jenis alat musik selama prapaskah. Namun semua aturan ini bersifat regional. Amanat Sri Paus tentang musik gereja selalu diarahkan kepada keuskupan Roma. Para pangeran Barok memandang musik gereja dalam istana mereka sebagai urusan swasta, dan karena hukum gereja dan hukum sipil dipisahkan, maka musik gereja diurus oleh instansi duniawi. Konsili Trente (1545-1563) memutuskan untuk membaharui Nyanyian Gregorian. Maka pada tahun 1614 diterbitkan Editio Medicea 45 . Nyanyian Gregorian dibawakan oleh kelompok penyanyi khusus yang disebut schola cantorum, umumnya diiringi dengan organ; tak jarang part vokal (ayat mazmur) dibawakan juga secara instrumental oleh organ ; teknik ini disebut alternatim atau canto misto, canto spezzato. 44 45 Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, h. 54. Prier, Sejarah Musik jilid, h. 155. 47 Disamping nyanyian Gregorian dalam ibadat gereja Katolik dipakai juga lagu polifon dalam gaya lama (a capella) maupun dalam gaya baru (monodis, secara konsertan dengan basso continou). Adapun jenis musik polifon meliputi Misa 46 , Motet 47 , Mazmur, Te Deum 48 , Magnificat 49 , Antiphon 50 , Sekuensi 51 . Selain itu perlu dicatat musik organ, nyanyian jemaat, serta sejumlah musik rohani seperti oratorio, concerto ecclesiastico (artinya konser gerejani). Konsili Trente telah mengangkat gaya Paelstrina sebagai stile ecclesiastico / gaya musik gereja yang ideal. Maka selama jaman Barok dan juga selanjutnya gaya polifon lama tetap dipertahankan disamping komposisi ‘modern’. F. Musik Klasik (1750-1820) 52 Karya besar musik gereja pada abad XVIII dan musik klasik Wina sebagian besar merupakan karya dari Joseph Haydn, W. A. Mozart, dan L. Van Beethoven. Disamping melanjutkan tradisi Barok dengan iringan orkes yang megah, dalam musik ini nampak cita-cita klasik Wina untuk menciptakan musik yang bermutu setinggi mungkin, sehingga pegangan teknis, formal, dan estetis dari musik profan klasik diambil alih dalam musik gereja. 46 Deretan nyanyian untuk ibadat misa yang meriah terdiri dari kyrie – Tuhan kasihanilah kami; Gloria – kemuliaan; Credo – aku percaya; sanctus / Benedictus – Kudus / Terpujilah; Agnus Dei – Anak domba Allah (Prier, Sejarah Musik II (Yogyakarta: PML, 1993), h. 38). 47 Prier, Sejarah Musik I, h. 149-150. 48 Sebuah lagu pujian dengan bentuk khusus; syairnya berasal dari St. Ambrosius. Lihat Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik I (Yogyakarta: PML, 1991), h. 94. 49 Kidung Maria; syairnya diambil dari kitab suci Injil Lukas 2 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II (Yogyakarta: PML, 1993), h. 38). 50 Semacam refren; dipakai sebagai ‘kurung’ pada awal dan pada akhir sebuah Mazmur. (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II (Yogyakarta: PML, 1993), h. 38). 51 Prier, Sejarah Musik I, h. 95 52 Prier, Sejarah Musik II, h. 74. 48 Musik gereja zaman klasik mencerminkan suatu optimisme dan pandangan yang luas. Musik gereja Mozart tidak berbeda dengan musik profan seperti opera ciptaan Mozart. Seperti halnya seniman klasik lainnya, Haydn dan Mozart mengabdi pada Allah dengan hati gembira. Haydn berkata: “Karena Allah memberikan kepadaku sesuatu hati yang gembira, maka kiranya Ia akan memaafkan daku, bila aku mengabdi kepada-Nya dengan hati gembira”. 53 Manusia abad XVIII merasa satu dengan dunia sekitarnya berdasarkan humanisme sebagaimana diajarkan oleh para filosof pada abad XVIII (Kant, Hegel, Schopenhauer, dan sebagainya). Pada zaman ini iman begitu terbuka untuk dunia, sehingga mengangkat semua unsur yang dapat memperlihatkan sikap terbuka ini ke dalam musik gereja. Istilah Klasik dan Klasisisme sering dipakai untuk musik. Namun artinya tidak begitu jelas. Semula tidak ada jaman atau gaya Klasik / Klasisisme. Menurut Ensiklopedi Indonesia klasik adalah “suatu karya (umumnya berupa karya cipta dari jaman lampau) yang bernilai seni serta ilmiah tinggi, berkadar keindahan dan tidak akan luntur sepanjang masa.” 54 Menurut Friedrich Blume, musik klasik adalah “karya seni musik, yang sempat mengintikan daya ekspresi dan bentuk bersejarah sedemikian hingga terciptalah suatu ekspresi yang meyakinkan dan dapat bertahan terus”. 55 Dalam arti ini Franz Schulbert sering disebut pencipta klasik dari Lied Jerman, dan inipun benar, meskipun Schubert biasanya 53 Prier, Sejarah Musik I, h.93. Hassan Shadily. Ensiklopedi Indonesia terbitan Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta 1982, jilid 3, hal. 1793 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 76). 55 Friedrich Blume dkk, Die Musik in Geschichte und Gegenwart, Kassel 1958, Band 7, h. 1027 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 76). 54 49 digolongkan sebagai komponis jaman Romantik. Maksudnya ialah bahwa Lied Jerman mencapai puncak perkembangan dalam komposisi-komposisi Franz Schubert. Begitu pula tari klasik Jawa sama sekali tidak berkaitan dengan periode klasik Eropa (1750-1820). Namun salah pula bila istilah klasik hanya diartikan sebagai puncak perkembangan dari suatu kesenian (musik, sastra, tari, arsitektur dsb). Salahlah, kalau apa yang mendahului puncak ini hanya dipandang sebagai hasil sementara, kurang sempurna; dan apa yang menyusul dinilai sebagai gejala pendangkalan / klasisisme saja. Pandangan ini salah karena sejarah kini tidak dilihat lagi sebagai perkembangan terus menerus terdiri dari unsure-unsur yang berkaitan, saling melengkapi dan mengimbangi. Janganlah Haydn, Mozaart dan Beethoven dianggap sebagai sebagai tokoh yang lepas dari konteksnya.56 Karena mereka pun hidup dari warisan jaman Barok yang mereka pun diolah terus dengan cara baru pada jaman Romantik. Memang, tidak dapat disangkal, bahwa Haydn, Mozart dan Beethoven merupakan pencipta klasik dari kwartet gesek, sonata piano dan sinfoni – namun ini tidak berarti bahwa perkembangan sejarah musik Eropa seakan-akan berpuncak kepada ketiga tokoh ini. Maka dalam bagian ini Klasik dilihat sebagai lanjutan dari jaman Barok maupun sebagai persiapan untuk Klasisisme / Romantik artinya Klasik diartikan sejajar dengan jaman sebelumnya dan sesudahnya. Selama abad 19 menjadi biasa bahwa tahun 1750 (wafat J.S Bach) dipandang sebagai awal era baru yang disebut Klasik. Namn sejak tahun 1730 di 56 Prier, Sejarah Musik II , h. 76. 50 Perancis berkembanglah Gaya galan yang bergabung dengan gaya musik Italia. Dengan demikian terdapat suatu masa peralihan yang disebut Rokoko atau Pra Klasik (1730-1760). Tidak semua ahli sejarah musik membuat suatu pembedaan antara Klasik awal (1760-1780) dan Klasik tinggi (1780-1820). 57 Apalagi mengenai batas akhir dari periode Klasik terdapat bermacam-macam pendapat. Hal ini memang masuk akal karena Klasik dan Romantik di satu pihak merupakan dua pola yang bertentangan, namun dilain pihak saling melengkapi. Maka karyakarya Beethoven pada akhir hidupnya dapat digolongkan sebagai karya musik Romantik; dan komposisi-kompisisi pertama dari Schubert masih dapat disebut Klasik. Dengan kata lain, jaman Kalsik masih berlangsung terus meskipun jaman Romantik sudah mulai. Seperti halnya pada jaman Barok yang meupakan suatu reaksi terhadap jaman Renaissance, begitu pula pergantian jaman Barok ke jaman Klasik. Hal ini nampak dalam timbulnya dua gaya baru: 58 1. Gaya Galan yang mulai di Perancis sejak 1730, suatu teknik komposisi yang sengaja ingin menjauh dari teknik kontarapung / polifon (Bach, Handel) dan bersifat lebih bebas, lebih mudah dimengerti, dengan melodi yang enak, dengan ornamentik yang lebih halus, dengan iringan tanpa keterikatan akan jumlah suara dsb. Musik ini ditujukan terutama kepada para pencinta musik, ingin menghibur secara bermutu; bukan tujuannya menciptakan komposisi berat (dengan mengikuti peraturan-peraturan ilmu kontrapung) 57 58 Prier, Sejarah Musik II, h. 76. Prier, Sejarah Musik II, h. 77. 51 2. Gaya sensitive yang berasal dari Inggris (young, Night Thought, 1742) pada dasarnya ingin menentang gaya Barok yang terlalu patetis dan kaku, terlalu emosional (afek). Maka keinginan untuk mengungkapkan perasaan pribadi. Secara kongkrit hal ini diwujudkan dalam dinamika (crescendo)yang diperkembangkan dalam sekolah Mannheim dengan Stamitz sebagai tokoh; pun pula di Paris dengan Gossec, Schobert, Beck serta C. Ph. E. Bach. Sedangkan Sekolah Wina dengan Monn, Wagenseil serta Joseph Hadyn berhasil mengungkapkan rasa suka dan duka dalam sebuah karya musik yang sama. Mulai pertengahan abad 18 berkembanglah Filsafat Aufklarung / pencerahan dimana manusia lewat daya pikirnya mencapai suatu pengertian diri baru yang makin dewasa dan bebas. Maka hancurlah keterikatan lama dan berkembanglah cita-cita baru seperti martabat manusia dan kemerdekaan. Hal ini nampak dalam deklarasi hak asasi manusia di AS tahun 1776; dalam Revolusi Perancis tahun 1789; dalam berakhirnya system budak; dalam keinginan untuk toleransi agama; dalam sekularisasi. 59 Kebudayaan yang tadi sedikit banyak diperkembangkan sebagai seni untuk golongan elite terutama di istana, gedung opera dan digereja katedral, kini makin didampingi dengan kebudayaan rakyat dengan musik rumah, salon, restaurant dsb. Karena hidup pada jaman Barok sedikit banyak berupa fasade (misalnya rambut palsu), dengan pernyataan yang berkelebihan (bombastis) dan dibuat-buat (artificial), maka timbullah keinginan ke arah hidup sederhana dan 59 Prier, Sejarah Musik II, h. 77. 52 alamiah. “alam” kini dalam arti: seperti semula (jaman firdaus, jaman KlasikYunani). Jean-Jaques Rousseau (1712-1778) mengungkapkan kritiknya terhadap kebudayaan sejaman dalam tulisan Discours sur les sciences et les arts / uraian tentang ilmu dan kesenian (1750 di Paris). 60 Sebagai akibatnya, maka pendidikan menjadi tema utama abad 18, termasuk juga pendidikan musik. Di lain pihak, orang genius sering menolak ilmu-ilmu (misalnya ilmu kontrapung) sebagai hambatan untuk memperkembangkan bakat. Mereka ingin bertindak sebagai seniman merdeka dalam kebudayaan musik baru di tengah masyarakat: maupun dalam musik rumah, musik salon, dalam konser umum serta opera dihadapan penonton yang tidak dikenal, maupun terhadap kritik dalam surat kabar. Perubahan jaman mendatangkan musik baru: kalau dalam Barok emosi manusia memasuki musik, maka dalam Klasik perasaan dan sikap manusia diungkapkan, namun selalu diangkat ke tingkat ‘obyektif’;diimbangi dalam pandangan yang lebih menyeluruh. Musik yang baru bukan lagi patetis (dibuatbuat) dan berat (banyak minor), tetapi wajar dan enak (banyak mayor). 61 Musik Klasik berusaha untuk menciptakan suatu ‘bahasa universal’ yang dapat dimengeri tidak hanya secara lokal (nasional) tetapi secara internasional (maka terdapat banyak musik instrumental). Tema-tema sonata dan sinfoni mirip dengan lagu rakyat, yang seimbang dalam melodi, ritmik dan harmonic. Baru dalam variasi-variasi dan ‘development’ komponis memperlihatkan kekayaan yang tersembunyi dalam tema yang sederhana itu. 60 61 Prier, Sejarah Musik II, h. 77. Prier, Sejarah Musik II, h. 78. 53 Musik Klasik tidak mau begitu saja mengabdi pada tujuan tertentu seperti iringan tari, hiburan, suasana pesta dan ibadat. Ia selalu ingin menyajikan musik yang bagus, ingin mengangkat manusia pada tingkat yang lebih tinggi. Maka musik Klasik tinggi dimengerti oleh masyarakat umum, bukan hanya bagi sekelompok elite saja. 62 Pesan rasional dan perasaan seimbang; begitu pula isi mendapat bentuk yang wajar. Bau pada musik Romantik terjadi suatu penggeseran kea rah perasaan dan isi. Musik Klasik berusaha untuk membatasi diri pula dalam bentuk, harmoni, instrumentasi dsb; musik Romantik tidak. Maka teori estetika Plato yang menyatakan bahwa irama adalah “suatu ketertiban terhadap gerakan melodi dan harmoni atau suatu ketertiban terhadap tinggi rendahnya nada-nada” 63 berlaku penuh sebagai dasar musik Klasik. Terutama Klasik menciptakan harmoni. Seniman Klasik berusaha untuk mengungkapkan keindahan alam dalam karya kesenian, misalnya dalam lukisan. Maka seorang komponis berusaha untuk menirukan bunyi alam secara langsung dalam musik program (Rousseau) maupun tidak langsung dengan mencipta musik yang ‘alamiah’ / wajar dan indah / seni – sama seperti Sang Pencipta yang menghasilkan alam raya. Dengan demikian musik Klasik di satu pihak melawan jaman Barok dimana musiknya sering artificial / dibuat-buat; dan pengertiannya kurang jelas. Maka para seniman Klasik percaya bahwa alam sendiri belum memiliki segala keindahan; maka seorang seniman diharap dapat menambah / meningkatkan kesenian alamiah dengan pengolahnya menurut hukum estetika. 62 63 Prier, Sejarah Musik II, h. 78. Prier, Sejarah Musik jilid I, h. 39-40. 54 G. Musik Romantik (1800-1920) 64 Kata ‘romantik’ dan romantis sebenarnya berasal dari sastra abad 18. sejak awal abad 19 dipakai secara umum tanpa diberi arti dan batas yang jelas: apakah yang dimaksudkan suatu gaya, suatu teknik, bentuk-bentuk tertentu-ataukah hanya suatu sikap saja terutama dalam kesenian. 65 Mula-mula istilah ‘romantis’ (Weber tahun 1821 menyebut operanya “Der Freischutz”suatu opera romantis) karena terdapat tokoh dan peristiwa yang luar biasa dan menarik. 66 Di samping itu unsur kuno, dunia dongeng dan jauh, dunia hantu malam, yang menakutkan dikaitkan dengan istilah ‘romantis’, meskipun tidak semua unsure ini harus hadir. Maka sulit didefinisikan. Jelas bahwa ‘romantis’ berhubungan dengan perasaan. Namun anehnya komposisi piano yang dikarang pada tahun 80-an abad 18 telah diberi judul penuh perasaan, beremosi dsb. Begitulah misalnya Sonaten und freie Fantasien karangan C.Ph.E.Bach (1782-1787). Bahkan karya musik akhir WA.Mozart memuat ungkapan perasaan mendadak yang kemudian oleh tokoh Romantik (E.T.A.Hoffmann) ditafsirkan sebagai musik khas Romantik. Ini tentu keterlaluan; namun merupakan suatu bukti bahwa suasana Romantik sudah mulai hadir pada abad 18. namun dapat dibayangkan, andaikan Mozart tidak meninggal dengan usia 35 tetapi mencapai umur 80, tidak mustahil bahwa kita akan memiliki juga karya musik Mozart yang romantis, sama seperti musik Beethoven atau oratorio Die Schopfung serta Die jahreszeiten ciptaan J.Haydn. artinya selama 64 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 125. Friedrich Blume, Romantik Dlama MMG vol. 11 colom 785 dst (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 77). 66 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 125. 65 55 jaman Klasik (mulai 1780) sudah hadir pula Romantik, yang berkembang dan menjadi makin nyata pada tahun 1830 dst. 67 Dengan demikian memang makin kabur arti Romantik. Meskipun demikian ada juga percobaan untuk membatasi Klasik dan Romantik, dimana musik ‘Klasik’ dinilai kuno, ketinggalan jaman tanpa perasaan, rasional. Sedangkan musik Romantik diharapkan dapat mengungkapkan sikap bathin / perasaan / jiwa manusia. Bahkan mereka yakin bahwa ungkapan ini tidak dilaksanakan oleh seniman / komponis tetapi oleh suatu dimensi transenden / lebih tinggi / kosmis (oleh Novalis disebut jiwa dunia). Maka karya seni menjadi subjektif, mengikuti tiap gerakan hati sampai jadi lembek bahkan sentimental, atau pada ekstrim yang lain, tidak takut menjadi brutal bahkan sinting. Disini tampak suatu cirri dari estetika Romantik dan kritik musik Romantik. Semua orang mendengar musik pertama-tama mendengar secara subjektif, sebagai pencint musik. Kata ‘amatir’ atau ‘diletan’ memuat kata ‘cinta’ akan sesuatu. Maka kritik terhadap suatu pementasan pertama-tama mencerminkan rasa subjektif dari seorang (entah entusiasme atau kebencian) bukan berdasarkan pengetahuan atau studi terhadap maksud komponis, artinya bukan sebagai ahli musik tetapi sebagai ‘diletan’. 68 Menurut Fr. Blume musik klasik dan Romantik sebenarnya adalah dua segi / perwujudan yang berlainan dalam satu jaman; tidak ada dua jaman yang berlainan. 69 Sedikit demi sedikit gaya musik yang terbentuk pada pertengahan 67 Prier, Sejarah Musik II, h. 125. Blume, l.c.colom 793 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 125). 69 Prier, Sejarah Musik II, hlm. 125. 68 56 abad 18 mengalami perubahan sampai akhir abad 19. “apa yang dimulai pada Haydn dan Mozart sebagai gaya Klasik tinggi telah memuat ‘godaan-godaan’ romantis. Baru dengan unsure romantis ini gaya Klasik mendapat cirri khasnya yang unik dan tak terhingga; dan apa yang dalam musik Schumann atau Brahms nampak sebagai khas romantis, berlandaskan pada dasar gaya klasik ini…Dimana keinginan romantis dicetuskan dalam bentuk klasik yang jelas dan tegas, lahirlah apa yang belakangan disebut ‘gaya klasik tinggi’. Romantik tidak ingin membentuk suatu gaya baru tetapi memperkembangkan tipe klasik tinggi ini. 70 Demikian pula pendapat Paul Henry Lang. 71 Dengan demikian boleh ditanyakan sejauh mana masih bijaksana untuk membedakan jaman Klasik dari jaman Romantik. Keduanya memang merupakan suatu kesatuan yang sudah mulai pada tahun 1760 dan baru berakhir pada awal abad 20. namun di lain pihak sejarah musik tidak dapat begitu saja menghapus istilah Romantik, karena memang ada perbedaan besar antara musik Klasik dan musik Romantik. Abad 19 adalah sangat kaya dalam kecendrungan, perkembangan dan peristiwa yang sangat aneka bahkan berlawanan satu sama lain. Politik abad 19 sibuk dengan restaurasi yang berpuncak pada Kongres Wina (1814/15). Namun karena problem tidak dipecahkan terjadilah revolusi di Jerman (1830 dan 1848) 70 Blume l.c.colom….(Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 126). 71 P.H. Lang, Music in Western Civilization, New york 1941, h. 816 : “Romanticism should not be taken as the antithesis of classicism nor was it a mere reaction to it, but rather a logical enhancement of certain elements which in classicism were inherent and active but tamed and kept in equilibrium…it is only in their vehemence that we feel a direct opposition to classic measure. And thereby the stylistic relationship between classicism and romanticism seems determined.” (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 126). 57 berupa perang antara kekuatan konserfatif (regime kaisar dan bangsawan) dan progresif (masyarakat buruh) yang makin menuju ke demokrasi. Industri dan ekonomi pada abad 19 berkembang dengan cepat (kaereta api, pabrik-pabrik dsb); namun masalah sosial pun tumbuh lebih cepat lagi (urbanisasi, kemiskinan, isolasi dalam masyarakat yang anonim). Kesenian dan musik ditanggung oleh instansi masyarakat, namun pada tingkat yang sangat berbeda-beda: disamping karya musik dengan mutu tinggi terdapat musik murahan (Kitsch); musik menjadi barang konsum (perbanyakan not, produksi piano kecil untuk dipakai di rumah); di samping pentas di gedung konser, gedung opera dan gereja, musik juga dipentaskan di salon dan di rumah sebagai hiburan; ketrampilan teknik permainan piano / biola (Liszt, Paganini) menjadi dangkal karena tujuannya hanya demi gengsi saja. Perkembangan musik Romantik seluruhnya dapat dilihat dalam fase-fase sbb: 72 1. Romantik Awal 1800-1830 Restaurasi terutama di Jerman diwarnai dengan usaha melarikan diri kedunia irasional: dengan menimba bahan dari dunia dongeng / ajaib (E.T.A. Hofmann dengan undine) dan alam / hutan yang misterius (C.M.v.Weber dengan Freischutz); bahan yang dekat dengan rakyat. Tidak hanya dalam bentuk karya opera, tetapi juga dalam wujud musik instrumental (Beethoven) dan musik kamar (nyanyian Schubert). 72 Menurut Michels, Atlas II, h. 435 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 126). 58 2. Romantik tinggi 1830- 1850 Revolusi pada tahun 1830 mendatangkan suatu perubahan: Romantik kini menjadi umum di seluruh Eropa; pusatnya bergeser dari Wina ke Paris dimana terdapat macam-macam inspirasi terutama dari sastra Perancis (V.Hugo, A Mumas dll). Symphonie fantastique ciptaan H. Berlioz mencerminkan semangat yang baru; Chopin memikat perhatian para pencinta musik piano. Di Italia Paganini menunjukkan kemahirannya pada biola, dan di Jerman Liszt emosinya dalam piano. Mendelsohn menemukan kembali dan mementaskan musik Bach secara romantis; Wagner menciptakan opera gaya baru; di Italia Verdi mempesona dengan opera-operanya. 3. Romantik Akhir 1850-1890 Revolusi pada tahun 1848 pun merupakan suatu penggalan. Sesudah wafat dari Mendelssohn (1847), Chopin (1848) dan Schumann (1856) diperkembangkan bentuk musik baru, Liszt dengan Symphonische Dichtungen (sejak 1848) dan Wanger dengan Musikdramen. Sekaligus tampil generasi baru: C.Franck, Bruckner, Brahms dll, dengan estetika dan bentuk baru. Historisme, naturalisme dan nasionalisme menetukan musik. 4. Musik pada pergantian abad 1890-1914 Generasi komponis dengan Puccini, Mahler, Faure, Debussy, R. Strauss dengan karya baru merintis macam-macam arah baru sampai menjadi ekstrim. Impresionisme Perancis ikut main peranan cukup besar. Akhir jaman Romantik berbeda-beda di masing-masing tempat. Namun musik atonal dari Schonberg 59 (1907/08) merupakan suatu garis yang cukup jelas, dan awal perang dunia I merupakan suatu batas definitif. Pada abad romantik sikap musik gereja mendapat kritikan karena dinilai terlalu gembira dan terbuka. Pada awal abad XIX, E. TH. A. Hoffman, seorang sastrawan Jerman menuntun musik liturgi gereja menjadi seni musik suci gereja (musica sacra) yang bertujuan mengangkat hati manusia langsung kepada Allah melalui akar-akar sederhana, murni, dengan bunyi yang indah. Dalam musik gereja Katolik abad XIX terdapat tiga aliran: 73 a. Aliran yang melanjutkan tradisi zaman klasik Wina. Cita-cita klasik Wina dilanjutkan oleh sejumlah komponis seperti C.M. Von Weber, Franz Schubert, Kaspar Ett, dan terutama A. Bruckner. Para komponis bekerja secara mandiri, maka komposisi yang mereka ciptakan merupakan cetusan iman pribadi atau berdasarkan pesanan. Bukan ibadat yang menentukan komposisi mereka, tetapi komposisi menentukan karakter ibadat melalui gaya komposisi, sehingga musik gereja dapat juga dipentaskan dalam gedung konser sebagaimana missa Solemnes karya Beethoven. b. Gerakan Cecilianisme. Cecilianisme adalah suatu organisasi di dalam gereja Katolik Jerman, yang didirikan pada tahun 1868 oleh seorang imam, F.X. Witt untuk mempersatukan kor-kor gereja katolik. Witt mengambil alih cita-cita musica sacra dari E.T. Hoffmann. Tujuan ini dimulai dengan penyegaran nyanyian Gregorian dan memperbaharui musik Polifon gaya Palestrina. Namun para pakar Cecilianisme dalam 73 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 47-49. 60 pembaharuan nyanyian Gregorian berpangkal pada Editio Medicaea dari tahun 1614/1615, sedangkan para rahib dari Solemnes, Perancis dengan menyelidiki naskah-naskah dari Abad Pertengahan. Maka terjadilah persaingan yang kurang sehat di antara mereka, perselisihan ini diselesaikan oleh Paus Leo XIII pada tahun 1901 dengan membenarkan versi Solemnes. K.G. Fellerer menilai restaurasi, pengembalian ke bentuk historis menjadi ideal untuk musik dalam ibadat, dan musik Gregorian dan Polifoni klasik kuno dipandang sebagai musik gereja yang ideal. c. Aliran Musik Devosional. 74 Dalam masa Romantik timbul suatu devosi baru (subyektif dan sentimental). Namun devosi ini tidak bermuara dalam liturgi sejati melainkan sering tersesat dalam moral dan mistisme. Selain Cecilianisme dengan keterikatannya pada musik Polifon a capella, individualisme telah mengakibatkan musik gereja mengalami suatu stagnasi (kemacetan, tidak mendapat kemajuan) yang baru teratasi pada abad XX, dimulai saat pembaharuan oleh Pius X. Sementara musik trivial (murahan) dan sentimental berkembang biak dengan pesat, sedang musik religius sejati diciptakan di luar gereja. H. Musik Abad Ke-20 75 Pada abad ini, musik mulai dihidupkan oleh Gereja untuk kegiatan- kegiatan ibadat. Musik mengalami perkembangan yang pesat dan telah memiliki 74 Devosional adalah sesuatu yang bersifat kebaktian. Aliran Musik Devosional adalah aliran yang bersifat ibadat kebaktian keagamaan dalam hubungannya dengan devosi, ketaatan. (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 153). 75 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 35-36. 61 makna yang lebih mendalam. Tahun 1903 dalam Motu Proprio Tra le Sollecitudine (Paus Pius X) istilah musica sacra menjadi istilah umum untuk nyanyian gregorian maupun untuk musik polifon. Kemudian melalui Konsili Vatikan II pada tahun 1963 sampai dengan tahun 1965, musik liturgi mendapat warna baru di mana corak musik liturgi tidak hanya sebatas pada musik Gregorian dan polifoni tetapi juga termasuk corak musik etnik (tradisional) yang diinkulturasikan ke dalam musik liturgi. 76 Konsili Vatikan II melalui dokumen artikel 112 Konstitusi Liturgi menegaskan bahwa musik Gereja kiranya semakin suci jika erat hubungannya dengan upacara ibadat dengan menjadikan ungkapan doa lebih mendalam, rasa kebersatuan hati umat semakin dipupuk dan upacara-upacara suci semakin diperkaya dengan nuansa yang agung dan khidmat. Oleh karena itu untuk membangun sebuah khaznah musik liturgi yang sesuai dengan prinsip tersebut, Konsili Vatikan dalam bab ke-16 Konstitusi Liturgi menekankan sejumlah aspek yang menunjang penataan dan pengembangan musik liturgi, seperti pendidikan musik liturgi, komposisi musik, musik di daerah misi dan sebagainya. Singkatnya, Konsili Vatikan II yang terjadi di abad ke-20 membawa perubahan yang sangat besar dalam musik liturgi Gereja Katolik. Hal ini akan dikaji secara khusus dalam bab empat. 76 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 35-36. BAB IV BERBAGAI ASPEK DALAM MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK Ada 2 dokumen utama yang dijadikan dasar hukum untuk mengatur masalah musik dalam liturgi, yaitu: • SC (Sacrosanctum Concilium) disahkan pada tanggal 4 Desember 1963 Paus Paulus VI • MS (Musicam Sacram) disahkan pada tanggal 5 Maret 1967 dalam kongregrasi untuk Ilahi Aneka ragam pola musik diperbolehkan dalam liturgi. Untuk itu, insan musik gereja harus menanggapi secara kreatif dan bertanggung jawab untuk mengembangkan musik baru dalam liturgi masa kini. Awalnya ada dua pola dalam menyanyikan misa, yaitu: • Misa latin: misa meriah di mana ordinarium + proporium dinyanyikan • Misa sederhana: dimana hanya 4 nyanyian. Misalnya Pembukaan, Persembahan, komuni dan Penutup. 1 Misa tanpa nyanyian (tanpa satu lagupun) atau dengan penuh nyanyian (seluruh misa dinyanyikan….kebayang kan imamnya…nyanyi terus,….) Misa ini dianggap tidak cukup membantu untuk liturgi masa kini. 1 Karl-Edmund Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 15. 63 Sejalan dengan perkembangan jaman, kini banyak bagian Misa yang boleh dinyanyikan, baik oleh pemimpin atau jemaat. Resiko dari perkembangan jaman ini terutama insan musik harus memahami hakikat dan fungsi dari setiap bagian misa tersebut A. Tujuan Musik Liturgi Musik liturgi adalah musik yang digubah untuk perayaan liturgi suci dimana dari segi bentuknya memiliki suatu bobot kudus tertentu seperti contohnya Kategori: Gregorian, polifoni suci, musik liturgi untuk organ/alat musik yang sah, musik liturgi rakyat. 2 Dari pengertian itulah, dalam Sacrosanctum Concilium diberikan batasan tentang musik liturgi sejati yang harus memiliki ciri: 3 • Bisa untuk paduan suara besar atau kelompok koor kecil, • Memiliki peluang untuk partisipasi aktif umat (lagu sudah dikenal umat), dan • Syair harus selaras dengan ajaran Katolik; ditimba dari Alkitab dan sumber-sumber liturgi. Sebagai sarana yang merupakan bagian integral dari liturgi maka tujuan musik liturgi berkaitan erat dengan tujuan liturgi itu sendiri yakni sebagai sarana untuk memuliakan Allah dan mengudusan manusia. Adapun tujuan tersebut 2 3 Kongregrasi untuk Ilahi “Musicam Sacram”, 1967. 4. Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 121. 64 dijabarkan dalam tiga tujuan apresiasi musik liturgi dalam perayaan liturgi Gereja, yaitu tujuan dekoratif, unitatif dan eskatologis. 4 1. Tujuan Dekoratif Sebagai sebuah kekayaan nilai seni dalam tradisi Gereja Katolik, musik liturgi memiliki sebuah tujuan dekoratif yakni memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. Bernyanyi dan bermusik adalah sebuah ekspresi seni dalam kehidupan manusia. Lewat bernyanyi manusia dapat menyampaikan isi hati secara lebih mendalam dan intensif jika dibandingkan dengan sekedar berkata-kata. Oleh karena itu, dengan memperhatikan efek psikologis dari musik dalam kehidupan manusia maka dalam kehidupan perayaan liturgi musik dipakai sebagai sarana untuk mengungkapkan doa-doa dan puji-pujian secara lebih menarik untuk kemuliaan Tuhan dan pengudusan umat beriman. 2. Tujuan Unitatif Dalam liturgi, setiap lagu yang dinyanyikan umat secara bersama memiliki daya yang memersatukan. Musik liturgi dapat bermakna seturut identitasnya, jika dihidupkan bersama dalam perayaan. Oleh karena itu, musik atau nyanyian liturgi mengabdi pada partisipasi umat dalam ibadat, sebagaimana yang diuraikan dalam artikel 114 Konstitusi Liturgi yang menghendaki agar pada setiap upacara liturgi yang dinyanyikan segenap umat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan 4 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 56. 65 membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka. 5 Dengan ini liturgi sebagai sebuah perayaan Gereja, secara lahirian diungkapakan melalui nyanyian bersama. Kebersamaan inilah yang menjadikan musik liturgi lebih berdaya guna sebagai sarana doa dan pujian bagi Allah sekaligus demi pengudusan umat beriman. Menyadari bahwa liturgi sendiri merupakan perayaan bersama, maka nyanyian itu harus melayani kebutuhan semua umat beriman yang sedang berliturgi. Yang harus dihindari adalah memilih lagu yang hanya berdasarkan selera pribadi atau kelompok. Kriteria lagu terletak pada apa yang dapat menjawab harapan dan kebutuhan umat agar perayaan liturgi sungguh menjadi perayaan bersama. 3. Tujuan Eskatologis Aktus bernyanyi untuk memuji dan memuliakan Tuhan, secara biblis memiliki keberlanjutannya sampai pada kehidupan kekal. Kitab Wahyu Yohanes memberikan gambaran tentang para kudus di surga yang bernyanyi untuk memuliakan Kristus sebagai Anak Domba Allah (bdk. Why 5: 7-10). Gambaran ini membangun suatu penghayatan tentang musik liturgi yang bernilai eskatologis. Namun prinsip utama yang memberikan makna eskatologis bagi musik liturgi adalah perayaan liturgi itu sendiri yang merupakan perlambangan dari 5 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 114. 66 perayaan liturgi surgawi. Hal ini ditegaskan Gereja dalam Konsili Vatikan II yang berbunyi: “...dalam liturgi di dunia ini kita mencicipi Liturgi surgawi, yang dirayakan di kota suci Yerusalem surgawi, tujuan peziarahan kita” (bdk. Why 21: 2; Kol 3: 1; Ibr 8: 2)...... bersama dengan segenap balatentara surgawi kita melambungkan kidung kemuliaan kepada Tuhan”. 6 Dengan ini, musik liturgi sebagai bagian integral dari liturgi memiliki nilai eskatologis yang perlu dihayati dalam kehidupan Gereja di dunia. B. Fungsi Musik dalam Ibadah Secara umum makna kata “ibadah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai definisi sebagai berikut: “perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari oleh ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.” 7 The International Standard Encyclopedia mendefinisikan kata “ibadah” sebagai: “kemuliaan dan penghormatan dalam pikiran, perasaan, atau tindakan yang dilakukan oleh manusia, malaikatmalaikat yang ditujukan sematamata kepada Allah.” 8 Dalam Webster Dictionary edisi kedua “ibadah” didefinisikan sebagai: “penghargaan kepada ilahi serta pengakuan keberadaan yang tertinggi melalui 6 7 8 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 8. Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed.1988), “ibadah,” 318. The International Standard Encyclopedia Vol. 5, “worship” 3112. 67 penyembahan, pengakuan dosa, pengucapan syukur.” 9 Evelyn Underhill mendefinisikan ibadah sebagai: “penyembahan total manusia sebagai respons kepada Allah yang kekal, yang menyatakan diri-Nya.” 10 Kata ibadah itu sendiri dalam bahasa Inggris (worship) berawal dari kata Anglo Saxon, yang secara literal adalah weorth (eorthy) dan scipe (ship). Pengertiannya merujuk kepada kelayakan seseorang yang menerima penghargaan dan penghormatan yang khusus. Kemudian kata ini berkembang menjadi “worthship” dan akhirnya menjadi “worship” yang artinya beribadah kepada Allah karena Ia layak dipuja dan disembah. 11 Alkitab menyaksikan bahwa musik cukup mendapat tempat dan perhatian yang tersendiri dan ini mengandung implikasi bahwa kehadiran musik mempunyai tujuan dan sasaran tertentu yang perlu dicapai. Allah memberikan perintah dan tuntutan tertentu terhadap pemanfaatan dan peran musik di dalam kehidupan gereja-Nya. Semua ini bertolak dari pemahaman bahwa musik (dalam ibadah) pada dasarnya merupakan ide Allah yang dikaruniakan kepada manusia pada umumnya dan umat Allah pada khususnya untuk memperkaya kehidupan mereka. Dalam hal ini, Dr. Brace H. Leafblad memberikan kesimpulan yang tepat: “Music was God’s idea… a luxurious gift to Human Beings which has enriched 9 Jean L. McKechnie, Webster’s Dictionary (USA: The World Publishing Co, 1975), 2109. 10 Warren W. Wiersbe, Real Worship (New Jersey, Nashville: Oliver Nelson, 1986), 21. Walter Elwell, Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1985) 1192. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10). 11 68 our life since earliest times. In Old Testament, God melded music and worship, a glorious union still stable today….God takes music in the church seriously….” 12 Walaupun inisiatif pengadaan musik itu diperintahkan oleh Allah, namun jika tidak sesuai dengan maksud Allah maka Allah tak berkenan atasnya. Bila Allah sendiri menyatakan perhatian yang cukup serius terhadap pemanfaatan musik di dalam kehidupan umat-Nya, maka sudah seharusnyalah kita yang diwarisi peninggalan karya-karya musik yang kaya dan indah harus memikirkan musik gereja dengan serius pula. Berikut ini beberapa konsep yang benar mengenai fungsi musik dalam ibadah, yaitu: 1. Sebagai Sarana untuk Memuji Tuhan Harold Best, dekan dari The Wheaton Conservatory of Music, dengan tegas mengatakan bahwa: “Music is also an act of worship.” 13 Sedangkan seorang profesor emeritus dalam bidang musik gerejawi dari Universitas Rochester, M. Alfred Bicheh pernah mengatakan dalam khotbahnya di Concordia Theological Seminary Indiana, 16 Maret 1978: “Music has both sacramental and sacrificial overtunes.” 14 Musik merupakan pemberian karunia yang dianugerahkan Allah kepada manusia, karena itu manusia harus memakainya untuk memuji Tuhan. Hal ini merupakan prinsip dasar manusia, seperti yang dikatakan Rasul Paulus dalam Roma 11:36: 12 Brace H. Leafblad, “What Sound Church Music?,” dalam Christianity Today, 19 May 1978, 19-20. (Karl-Edmund Prier SJ, “Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20”, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 38). 13 Harold Best, “Music: Offerings of Creativity,” dalam Christianity Today, 6 May 1977, 15. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10.). 14 Harold Best, “Music: Offerings of Creativity,” dalam Christianity Today, 6 May 1977, 15. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10). 69 “sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Pengertian seseorang terhadap konsep peranan musik dalam ibadah akan menentukan sikap orang yang bersangkutan dalam melakukan tindakan ibadahnya. Lovelace dan Rice mengatakan dengan keras bahwa penyalahgunaan musik dalam ibadah pada dasarnya merupakan tindakan yang sudah menjadikan musik sebagai “pelacur” (prostitute) dan bukan sebagai “pelayan” (handmaid of religion). 15 Mengapa demikian? Karena dengan penyalahgunaan musik dalam gereja, musik telah “dipaksa” untuk menjalankan peranan yang tidak sesuai dengan makna dan maksud ibadah yang sesungguhnya. Maka sebagai bagian dari ibadah, musik harus diperankan sesuai dengan makna ibadah, dalam hubungan antara umat Allah dan Allah sendiri. Alasan dan tujuan pemanfaatan musik dalam relasi tersebut harus bertolak dari Allah dan berporos kepada Allah. Dr. Leafblad menyimpulkan: “In our ministry to the Lord, our ultimate goal is to glorify Him. The goal of worship is not the delight of man, but the pleasure of God. Thus the ministry of music in worship must be primarily concerned with pleasing and glorifying God. In worship, God is the audience.” 16 Tujuan akhir ibadah bukanlah kepuasan manusia melainkan kepuasan Allah. Maka, pelayanan musik gerejawi dalam ibadah pertama-tama harus 15 Austin C. Lovelace & William C. Rice, Worship and Music in the Church (Nashville: Abingdon, 1976), 20-21(Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10). 16 Leafblad, What Sound Church Music?, 19. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10). 70 berusaha memuaskan dan memuliakan Allah. Di dalam Mazmur 100:2b berkata: “Datanglah di hadapan-Nya dengan sorak-sorai!” Ayat ini menunjukkan bahwa musik Allah memiliki sesuatu yang disukai-Nya ketika Dia dihampiri. 17 Musik bukan sekadar pencair suasana, bukan pula sebagai pembangkit semangat jemaat. Karena itu tuntutan kualitas musik tidak hanya ditekankan pada aspek “science and art” saja, melainkan juga pada aspek isi atau berita dari syair-syair nyanyian yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah ada keselarasan antara isi atau berita dengan realitas sifat dan eksistensi Allah beserta musiknya. 2. Sebagai Sarana untuk Persekutuan (fellowship) Relasi pertama, yaitu antara umat dengan Allah, yang diwujudkan dalam ibadah akan dengan sendirinya membawa mereka masuk dalam relasi kedua, yaitu antara umat dengan sesamanya. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis, di mana setiap orang sama-sama datang ke hadirat Allah sebagai umat yang telah ditebus, disucikan, diperbarui. Musik memiliki daya untuk mempersatukan, sehingga dapat berperan sebagai sarana pemersatu jemaat yang berkumpul bersama-sama untuk menyembah Tuhan. Jemaat yang sudah dipersatukan dalam Kristus dipanggil dan tergerak untuk mengikrarkan pengakuan, penyembahan, pengucapan syukur bahkan puji-pujian kepada Allah. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik musik. Pengertian tentang peranan musik yang demikian akan mempunyai akar theologis sebagaimana yang digariskan Alkitab, dan bukan 17 Lamar Boschman, Musik Bangkit Kembali (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 2001), h. 19. 71 sekadar alasan fungsional belaka. Musik sakral senantiasa mempersatukan karena pada saat ibadah dilangsungkan gereja telah menjadi satu. 18 3. Sebagai Sarana untuk Pembinaan (nurture) Peranan musik erat hubungannya dengan menasehati jemaat. Musik sebagai sarana untuk menyampaikan nasehat, dorongan, peringatan dan penghiburan (encouragement, comfort) kepada saudara seiman agar mereka dapat dikuatkan untuk bertumbuh dan berani menghadapi segala realitas dan tantangan hidup sebagai orang Kristen yang benar. Ini jelas berbeda dengan fungsi musik yang hanya sekadar bersifat entertainment atau hiburan, di mana umumnya membawa orang kepada dunia mimpi yang seolah-olah tidak ada persoalan dan kesulitan hidup yang menyebabkan timbulnya rasa pesimis dan frustasi. Walaupun musik itu sendiri memiliki aspek nilai Entertainment, namun di tengahtengah jemaat hal tersebut tidaklah menjadi tujuan yang paling utama. Dengan berdasarkan pengertian di atas, maka peranan musik gerejawi dapat dimanfaatkan sebagaimana seharusnya sehingga hal-hal yang bersifat negatif, misalnya memanipulasi emosi yang ditimbulkan sebagai efek sampingan dari jenis musik atau nyayian tertentu dapat dihindari. Sebaliknya, kehangatan ekspresi persekutuan dengan Allah yang saling membangun akan tampak dan dapat dirasakan oleh jemaat. 4. Sebagai Sarana untuk Pengajaran (education) Pada umumnya peranan musik di sini dimengerti sebagai sarana untuk menanamkan pengajaran-pengajaran yang terdapat dalam Alkitab ke dalam hati, 18 Best, Music: Offering of Creativity, 15. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10). 72 pikiran dan kehidupan umat-Nya. Kebenaran-kebenaran spiritual tersebut menjadi lebih jelas, ekspresif dan komunikatif ketika dinyatakan melalui melodi, harmoni dan ritme yang bersangkutan. Dalam hal ini musik merupakan sarana yang amat efektif daripada pendekatan verbal. Musik sebagai sarana pendidikan sudah lama dikenal dan diterapkan. Di India para guru memakai musik untuk membina kerohanian atau mental para murid atau pengikutnya. 19 Begitu pula Plato dan Aristoteles amat menganjurkan penggunaan musik sebagai mata pelajaran wajib bagi para murid mereka untuk membentuk karakter. 20 Secara pedagogis, musik juga merupakan metode pengajaran itu sendiri (a sound teaching method). Penjelasan di atas sebenarnya sudah dikenal sebelumnya oleh para filsuf di abad ke-3 SM, dan khususnya berkenaan dengan integrasi keunikan peranan musik dengan pendidikan agama Kristen, Marthin Luther mengatakan bahwa musik adalah metode dan sekaligus kurikulum. 21 Oleh karena itu, gereja-gereja liturgikal mempunyai kepekaan akan pentingnya pengajaran doktrinal di dalam musik gerejawi. Theologi yang tidak membawa manusia menyembah kepada Allah adalah theologi yang tidak benar dan berbahaya. Agar makna ibadah tidak diselewengkan, maka hubungan liturgy 19 Charles R. Hoffer, The Understanding of Music (California: Wadsworth Publishing Co.,1971), 2. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 11). 20 William Lyod Hooper, Church Music in Transition (Tennessee: Broadman Press, 1963), vi. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 11). 21 John F. Wilson, An Introduction to Church Music (Chicago: Moody Press, 1974), 39. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 11). 73 dan ibadah harus jelas. Liturgi dipakai untuk menjaga keutuhan pengajaran yang benar agar gereja tidak terlena dengan keindahan yang tidak menumbuhkan iman. C. Kedudukan Musik Liturgi Gereja Katolik Dari keseluruhan gagasan Konsili Vatikan II tentang musik liturgi dalam Konstitusi Liturgi bab keenam, dapat ditemukan tiga pertimbangan mendasar dalam musik liturgi. Pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain pertimbangan musik, pertimbangan liturgi dan pertimbangan pastoral. 1. Pertimbangan Musik Dalam artikel 112 Konstitusi Liturgi dinyatakan bahwa tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya dan bahwa musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. 22 Gagasan ini menyatakan bahwa dalam sejarah Gereja, musik liturgi memiliki mutu kesenian yang tinggi. Mutu tersebut tidak terlepas dari bobot estetika baik dari segi melodi, harmoni (keserasian akor), iringan, syair, penjiwaan dan teknik bernyanyi. 22 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 112. (Karl-Edmund Prier SJ, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 35-36). 74 Oleh karena itu dalam pertimbangan musik, sebuah musik liturgi dituntut untuk memiliki mutu (kualitas) musikal yang baik. Perhatian serius akan tuntutan ini akan mendukung tujuan dasariah musik liturgi itu sendiri, sebagaimana yang terungkap dalam Konstitusi Liturgi 112 yakni ’kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman”. 23 2. Pertimbangan Liturgi Dalam pertimbangan ini musik liturgi dituntut untuk mengikuti norma liturgi, seperti memiliki keselarasan dengan tahun liturgi, tema perayaan dan bagian-bagian dalam liturgi. Hal ini sesuai dengan amanat Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Liturgi 112, yaitu bahwa Gereja menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan Liturgi dan mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah. Selain itu dalam pertimbangan liturgi, musik liturgi dituntut untuk mendukung partisipasi umat. Konsili Vatikan II, melalui Konstitusi Liturgi 113 menggagas bahwa upacara Liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyayian meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan umat ikut serta secara aktif. Oleh karena itu, sebagaimana liturgi merupakan perayaan seluruh umat dalam kesatuan tubuh Gereja, maka musik liturgi harus dapat mendukung partisipasi umat dalam menghayati iman, memuliakan Tuhan serta merasakan pengudusan, penyelamatan dan kesatuan di dalam-Nya. 23 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 112. (Karl-Edmund Prier SJ, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 35-36). 75 Pertimbangan liturgi adalah suatu aspek penting untuk diwujudkan sebab pada hakekatnya musik liturugi adalah bagian yang terintegral dalam liturgi. 3. Pertimbangan Pastoral Di sini, musik liturgi dituntut untuk dapat mempertimbangkan kemampuan umat, kategori umur, situasi dan sensus religius. Maka musik liturgi harus memilki kepekaan terhadap cita rasa dan kemampuan umat dalam menghayati serta mengungkapkan imannya. 24 Selain itu, menurut pertimbangan pastoral, musik dalam liturgi juga harus dapat disesuaikan dengan konteks kebudayaan (tradisi) yang dihidupi umat. Di sinilah terbuka kemungkinan bagi Gereja untuk menggali khazanah musik daerah sehingga dapat digunakan dalam perayaan liturgi. Pertimbangan ini berkaitan dengan artikel 119 Konstitusi Liturgi, yang menyatakan bahwa musik dalam tradisi hendaknya mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius umat beriman, maupun dalam menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka. 25 Dengan pertimbangan pastoral inilah maka musik liturgi inkulturasi dianggap penting untuk ditumbuhkembangkan dalam Gereja Lokal. Akan tetapi perlu dipahami, bahwa ketiga pertimbangan musik liturgi di atas harus memiliki keterikatan satu sama lain. Artinya sebuah musik liturgi dinyatakan layak untuk dibawakan dalam perayaan liturgi, jika dapat memenuhi 24 Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h.10. 25 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 119. (Karl-Edmund Prier SJ, “Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20”, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 35-36). 76 secara seimbang ketiga tuntutan, yakni bahwa musik tersebut baik secara musikal, sesuai dengan jiwa liturgi dan selaras dengan cita rasa serta daya apresiasi umat. D. Hakekat Musik Liturgi Musik liturgi adalah musik yang mulia dan agung. Kesan ini demikian kuat terasa, manakala kita menelusuri liku-liku sejarah pekembangannya yang telah dihayati dalam Gereja Katolik, seperti yang telah dirumuskan dalam bab terdahulu. Kesadaran Gereja akan kekayaan nilai musik liturgi terungkap dalam Dekrit Sacrosantum Concilium Konsili Vatikan II, yang berbunyi: “Musik liturgi merupakan khazanah gereja universal yang tak terduga nilainya. Ia unggul di antara ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena ia merupakan bagian yang “mutlak” dan integral dari liturgi yang mulia. Musik liturgi makin luhur sejauh ia makin erat dihubungkan dengan liturgi, baik karena mengungkapkan doa-doa dengan lebih manis, maupun karena memupuk kesatuan serta memperkaya upacara kudus dengan kemeriahan yang lebih agung”. Pernyataan ini mengungkapkan hakekat musik liturgi. Musik liturgi bukan suatu unsur luar yang ditambah untuk menghias atau memperindah liturgi saja, melainkan suatu bagian integral (pars integralis) dan elemen konstitutif dari liturgi itu sendiri. E. Dimensi Musik Liturgi Musik liturgi memiliki tiga kegunaan penting berdasarkan sejumlah uraian pokok dalam Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II. Kegunaan itu adalah liturgis, 77 eklesiologis dan kristologis. Ketiga kegunaan tersebut memiliki kaitan erat satu sama lain. 26 1. Liturgis Konsili Vatikan II menekankan bahwa musik liturgi bukan sekadar untuk selingan, tambahan, atau dekorasi demi kemeriahan liturgi, melainkan merupakan bagian Liturgi yang penting atau integral. Dengan kata lain, musik liturgi adalah ‘liturgi’ itu sendiri. Jika kita bertolak dari paham tentang liturgi sebagai perayaan perjumpaan dengan Allah, maka yang boleh menjadi musik liturgi adalah musik dan nyanyian yang dapat membantu orang dapat mengalami perjumpaan dengan Allah. Maka musik yang dikehendaki dalam liturgi adalah musik atau nyanyian yang dapat menghantar orang kepada sebuah pangalaman batiniah akan Allah. Musik liturgi yang baik dapat membangun sebuah doa atau peribadatan yang baik pula. 2. Kristologis Dalam Konstitusi Liturgi 112, musik liturgi dipandang sebagai sarana untuk memuliakan Allah dan menguduskan umat beriman. Pemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman ini merupakan tujuan Gereja sebagai perwujudan karya penebusan Yesus Kristus yang dirayakan dalam perayaan liturgi. Maka, musik liturgi sebagai bagian integral dalam liturgi hendaknya mengungkapkan iman akan misteri Kristus. Bahwa Kristus hadir dalam liturgi harus terungkap dalam nyanyian liturgi. Dengan ini, musik liturgi dapat menjadi media yang 26 Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara Liturgi Gereja, khususnya perayaan Ekaristi. (Karl-Edmund Prier SJ, “Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20”, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 45). 78 memperjelas misteri Yesus Kristus dalam liturgi. 27 Melalui syair-syair yang bernuansa biblis dan teologis, nyanyian liturgi hadir untuk memperdalam misteri iman akan Yesus kristus yang dirayakan dalam liturgi. 3. Eklesiologis Musik liturgi dapat membantu umat dalam berpartisipasi secara aktif dalam liturgi. Dalam artikel 114 Konsili Vatikan II dikatakan bahwa ”..upacara liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyanyian meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan bila umat ikut serta secara aktif”. 28 Berbagai nyanyian dan musik yang amat sesuai dengan tema liturgi dan tempatnya akan membantu umat dalam memasuki misteri iman yang dirayakan dan memungkinkan umat untuk lebih baik menangkap sabda Tuhan dan karunia sakramen yang dirayakan. Di samping itu, nyanyian dapat ikut membangun kebersamaan umat yang sedang beribadat. Kebersamaan itu mungkin sudah tercipta sejak tahap persiapan seperti ketika para anggota kor dan pengiring berlatih. Dengan ini, nyanyian liturgi akan sangat mempersatukan umat dalam setiap perayaan liturgi. 27 28 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 121. Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 114. membantu untuk 79 F. Jenis Musik Liturgi 1. Musik Gregorian 29 Musik Gregorian adalah khazanah dasariah musik liturgi Gereja. Hal ini ditegaskan dalam artikel 116 Konstitusi Liturgi alinea pertama, yakni bahwa: “Gereja memandang nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas bagi Liturgi Romawi. Maka dari itu bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting, nyanyian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara Liturgi”. 30 Sebagaimana telah digambarkan, corak musik Gregorian lahir dari corak musik Yahudi. Musik ini mula-mula dikenal dengan nama musik monofoni (satu suara). Namun pada abad pertengahan, Paus Gregorius Agung secara resmi memperhatikan musik Gereja dengan mengumpulkan melodi-melodi yang sudah dipakai di berbagai Gereja dan membentuk suatu kumpulan nyanyian resmi dalam ibadat umat dengan sistematika berdasarkan tahun liturgis. Sebagai tanda peringatan akan jasa Paus Gregorius Agung, maka nyanyian monofoni itu dinamakan ‘Gregorian’. Nyanyian tersebut telah dirasakan dan dihayati oleh Gereja selama berabad-abad sebagai nyanyian yang sakral, sebab menyatakan keindahan yang mulia atas dasar sifat kontemplatifnya. Nyanyian ini diartikan pula sebagai mistik doa Gereja yang diekspresikan dalam nuansa monofon. 29 “Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399. 30 . Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 116.(Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003). 80 Nyanyian Gregorian 31 memiliki tangga nada khusus. Tangga nada ini diperkenalkan oleh seorang musisi dari biara St. Amand, yakni Haubald (840930) dalam bukunya “The Harmonica Institutione” (Pengajaran Ilmu Harmoni). Ada delapan tangga nada dalam musik Gregorian yang disusun menurut teori modalitet Haubald, antara lain: doris, frigis, lidis, miksolidis, hipopodoris, hipofrigis, hipolidis, hipomiksolidis. Setiap tangga nada pada nyanyian memiliki warta dan suasana khusus. Tangga nada doris dan hipodoris memiliki suasana yang bersifat serius dan berat. Tangga nada firigis dan hipofrigis, suasana yang diciptakannya bersifat mistis, lebut dan menyambung, seakan-akan tidak selesai. Tangga nada lidis dan hipolidis memberikan suasana senang, hidup dan gembira. Sedangkan, tangga nada miksolidis, dan hipomiksolidis memiliki kesamaan perannya dalam menciptakan suasana yang agung dan megah. Nuansa setiap lagu justru yang menjadikan musik Gregorian sering dirasa selaras dengan jiwa perayaan liturgis. Dinamika suasana yang diciptakan oleh sifat tangga nada tersebut, menjadikan musik Gregorian indah dan menawan dalam ritus-ritus peribadatan Gereja Katolik. Bentuk-bentuk modus ini dipakai sesuai dengan suasana perayaan liturgi, baik meriah maupun meditatif. Selain kekhasan modusnya, musik Gregorian juga memiliki kekhasan dalam iramanya. Dalam seni musik modern, kini dikenal dua prinsip susunan gerakan, yaitu birama dan irama. Birama bersifat statis sedangkan irama bersifat dinamis. Irama merupakan suatu prinsip gerakan melodis yang penuh variasi, 31 “Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399. 81 sedangkan birama merupakan prinsip gerakan yang sama (monoton). Namun hal ini tidak berlaku dalam musik Gregorian. Susunan gerakan kalimat musik Gregorian memiliki keunikan tersendiri. Pada musik Gregorian tidak terdapat prinsip birama yang tetap (statis). Keindahan musik Gregorian juga ditunjang oleh bahasa Latin yang mempunyai keistimewaan dalam hal aksentuasi. Pada frase lagu Gregorian terdapat istilah sastra klasik yang disebut arsis dan tesis. Arsis adalah alunan melodi yang naik di mana nada-nada makin diangkat sampai mencapai puncak ketinggian. Sedangkan tesis adalah alunan melodi yang turun di mana nada-nada seolah-olah makin tenang mencapai tempat istirahat. Selain irama, musik Gregorian juga memiliki gaya bernyanyi tersendiri. Gaya bernyanyi ini dibentuk oleh Dom Andre Mosquereau, OSB (1984-1930), seorang biarawan St. Piere dekat kota Solesma (Prancis).32 Ada tiga betuk gaya bernyanyi yang dikenal dalam Gereja Katolik hingga saat ini, yaitu: pertama, gaya sylabis, yang merupakan gaya bernyanyi yang paling mudah dan sederhana di mana satu suku kata (sulbe) dinyanyikan dengan satu not. Kedua, gaya melismatis, di mana satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa not. Ketiga, gaya neumatis, yaitu gaya campran antara sylabis dan melismatis, di mana kelompok nada yang disusun, diselingi satu nada untuk satu suku kata. Selingan ini menjadi loncatan ke suku kata berikutnya, dengan susunan kelompok nada dalam bentuk yang lain lagi. Gregorian di abad pertengahan menjadi semakin “berbunga-bunga” melodinya dan semakin melismatis, terutama akhiran “a” dari 32 “Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399. 82 kata Alleluia. Akhirnya muncul kebiasaan di mana “a” tersebut dengan banyak not, melodinya diisi dengan syair baru yang bersifat silabis. Dengan gaya bernyanyi yang unik, musik Gregorian dapat dirasakan sebagai musik sakral sebagai ‘doa yang dinyanyikan’apalagi dalam musik Gregorian terdapat tiga bentuk nyanyian, yaitu nyanyian yang memiliki not resitatif, nyanyian biasa seperti dalam nyayian-nyanyian ordinarium dan nyanyian yang memiliki perulangan, seperti litani dan hymne. Maka sudah selayaknya jika Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II menyatakan nyanyian ini sebagai nyanyian khas dan paling utama dalam liturgi Romawi. 33 2. Musik Polifoni: Musik Klasik Gerejawi 34 Antara pertengahan abad IX sampai akhir abad XI, musik liturgi mengalami suatu perkembangan baru. Pada masa ini, para komposer mulai menambah harmoni pada lagu-lagu sehingga terbentuk lagu yang terdiri dari banyak suara. Musik yang demikian kemudian dikenal dengan nama musik polifoni. Giovani Perluigi seorang komponis dari Palestrina (1515-1594) adalah perintis tentang musik polifoni dengan membuat aransemen melodi yang banyak, sehingga setiap nada atau titik (point) bergerak secara mandiri atau berlawanan, di sinilah lahir ‘teori kontrapun’. Istilah polifoni terbentuk dari kata poli yang berati banyak dan fonem yang berarti bunyi, sehingga polifoni berarti bunyi yang banyak. Dalam perspektif ilmu musik, istilah polifoni diartikan sebagai gaya komposisi musik yang menggabungkan dua suara atau lebih. 33 Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara liturgi Gereja, khususnya perayaan Ekaristi. (Karl-Edmund Prier SJ, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, h. 45). 34 Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid 1 (Yogjakarta: PML, 1991), h. 74. 83 Musik polifoni kemudian berkembang sebagai cikal bakal lahirnya paduan suara. Dengan itu, istilah polifoni yang dimaksudkan dalam Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II adalah musik dan nyanyian yang dikomposiskan dengan pembagian suara. 35 Namun hal ini tidak berarti bahwa semua musik yang bercirikan polifoni dapat digolongkan sebagai musik liturgi. Konsili Trente menekankan bahwa Gereja melarang penggunaan nada-nada lagu sekular untuk musik keagamaan, dan mengharuskan agar kata-kata dalam setiap lagu harus ditonjolkan dan dibuat mudah dipahamai umat. Maka, di akhir abad XVII, musik liturgi dikomposisi dengan aransemen orkestrasi yang dinilai mampu mendorong umat kepada kehidupan devotif yang mendalam dengan berbasiskan teks Kitab Suci. Gagasan konsili Trente kemudian dipertegas dalam Konsili Vatikan II, yang menegaskan tentang syarat dasariah sebuah musik dapat disebut musik liturgi. Hal ini tercantum dalam artikel 116 Konstitusi Liturgi, yang berbunyi: “Jenis-jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara Liturgi”. 36 Istilah polifoni semakin kurang digunakan, sebab khazanah polifoni sangat berkembang sangat baik dalam musik Klasik, Barok dan Romantik. Maka dewasa ini, salah satu bentuk musik polifoni yang dikenal adalah musik klasik Gerejawi. Namun musik klasik dewasa ini dipandang sebagai musik yang bernilai seni 35 Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003. 36 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 116.(Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003). 84 sangat tinggi sebagai warisan kebudayaan Eropa pada abad pertengahan. Sampai saat ini musik klasik Gerejawi sering digunakan khususnya dalam perayaanperayaan besar. Karena nilai panghayatan akan aspek liturgis, kristologis dan eklesiologis yang dapat ditampakan dari apresisasi musiknya, maka musik klasik Gerejawi dianggap layak menjadi corak musik liturgi. Menurut Ensiklopedi Indonesia, kata “klasik” adalah suatu karya cipta dari zaman lampau dengan nilai seni yang bermutu tinggi, yang keindahannya tidak akan luntur sepanjang masa. 37 Hal ini terwujud dalam seni musik klasik Gereja yang memiliki nilai estetika yang tinggi yang mampu mengangkat kewibawaan liturgi Gereja. Lagu dan iringan musik ‘Malam Kudus’ karya F. Gruber dan ‘Halleluya’ karya G.F. Handel misalnya, merupakan musik klasik gerejawi dengan ‘daya mistik’ yang kuat dan menggema sepanjang masa. Mula-mula musik klasik untuk liturgi Gereja terapresiasi dalam aspek vokal (nyanyian), sebab yang diutamakan dalam liturgi ialah syair. Sedangkan instrumen musik lebih dipandang sebagai unsur komplemen. Tetapi dalam perkembangannya, keindahan musik instrumen organ pipa yang bernuansa musik klasik dianggap penting di dalam sebuah perayaan liturgi. Pada abad ke-14 musik instrumental organ kemudian dipakai dalam liturgi. Musik ini dipakai dalam liturgi untuk menciptakan nuansa khidmad dalam peribadatan, entah dengan mengiringi nyanyian, maupun dengan melantunkan instrumen-instrumen klasik yang indah. 37 Hassan shadly. Ensiklopedi Indonesia terbitan Ichtiar Baru- Van Hoeve, Jakarta 1982, jilid 3. h.1793. 85 Musik klasik Gerejawi adalah musik yang memiliki mutu tinggi yang mampu membentuk peribadatan yang agung dan semarak di samping musik Gregorian. Ulrich Michels, dalam bukunya Atlas zur Musik, Band 2 berpendapat bahwa musik klasik Gerejawi tidak sebatas pada apresiasi keindahan nuansa musik tetapi juga memiliki pula suatu pewahyuan kebenaran yang jika direfleksikan dapat memberikan makna yang bernilai sepanjang sejarah. 38 Salah satu faktor yang menjadikan musik klasik seakan memiliki nilai mistik yang tak terungkapkan karena para pemusik klasik mencipta musik lewat refleksi dan penghayatan iman yang mendalam. Selain itu juga musik klasik menjadi sangat berkesan karena diciptakan dalam situasi di mana manusia abad ke-18 merasakan kesatuan dengan dunia (kosmos), dan berada dalam harmoni dengan sesama, bukan berdasarkan agama tetapi berdasarkan humanisme yang dipengaruhi oleh para filsuf eksistensial abad ke-18 seperti Kant, Hegel dan Ashopenhauer. Pada zaman klasik tersebut, iman terbuka untuk dunia maka semua unsur yang dapat memperlihatkan sikap terbuka ini diangkat ke dalam musik gereja (musik klasik gerejawi), sehingga musik tersebut memiliki daya mistik dan bahkan memiliki efek psikologis yang berguna untuk ketenangan hati dan kejernihan budi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa musik klasik gerejawi dapat dihayati sebagai khaznah musik liturgi Gereja Katolik yang memberikan inspirasi bagi perkembangan musik Gereja. Di Indonesia misalnya, komposisi musik Gereja bereferensi pada kaidah-kaidah komposisi musik klasik. Selain itu dalam 38 Prier, Sejarah Musik II, h. 93. 86 pola iringan organ Gereja, komposisi musik klasik menjadi warna khusus iringan organ Gereja, baik untuk mengiringi nyanyian klasik Gerejawi itu sendiri, maupun dalam mengiringi nyanyian Gregorian dan nyanyian inkulturatif. Pada dasarnya, iringan organ dalam musik liturgi tersebut disusun menurut pola “kantionalsatz” (gaya klasik), yakni iringan yang menggunakan sistem pembalikan akor dan bas berjalan. Organis Gereja yang mempelajari iringan tersebut, akan merasakan keindahan iringan musik liturgi. 3. Musik Inkulturatif Istilah inkulturasi pertama kali muncul dalam dokumen penutup sinode para uskup “Ad Populum Dei nuntius” tahun 1979, dalam Himbauan Apostolik Paus Yohanes Paulus II “Catechesae trandendae”. Secara etimologis inkulturasi berasal dari kata “in”, yang berarti masuk ke dalam, dan “cultura” yang kata kerjanya “colore” berarti pengolahan (tanah); pembinaan, budaya. 39 Dari kedua arti kata tersebut, inkulturasi berarti “masuk ke dalam budaya”. Kata ini kemudian dipakai secara populer dalam konteks liturgi Gereja Katolik. Anscar J. Chupungco mengartikan ‘inkulturasi liturgi’ sebagai proses di mana upacara-upacara keagamaan pra kristen diberi arti kristen. Istilah ini dipakai dalam Gereja Katolik Roma, yakni di mana unsur-unsur dan bentuk asli dari adat-istiadat diberi arti baru, yaitu arti kristiani. Dalam bukunya yang berjudul ‘Penyesuaian Liturgi dalam Budaya’ , Anscar Chupungco menulis bahwa sebuah inkulturasi bila dilaksanakan dengan tepat, merupakan sarana yang ideal untuk mengkristenkan segenap kebudayaan. 39 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 89. 87 Namun hal ini membutuhkan tahapan yang cukup panjang. Oleh karena itu inkulturasi harus terjadi secara berkesinambungan, sebab dalam upaya membaharui Gereja, Konsili Vatikan II pertama-tama memugar liturgi Gereja. Jadi Konsili Vatikan II telah menjamin unsur-unsur hakiki dari ibadat Kristen dalam rangka memantapkan pertumbuhannya yang homogen. 40 Dalam Konsili Vatikan II, salah satu bentuk inkultursi dalam bidang liturgi yang diangkat secara khusus adalah inkulturasi musik liturgi. Hal ini tertuang dalan artikel 119 Konstitusi Liturgi yang berbunyi: Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. 41 Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya , baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud art. 39 dan 40. 42 Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya sungguh diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan musik tradisional bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat. Artikel di atas secara jelas telah memberikan sebuah rekomendasi bagi seni musik tradisional untuk memberi warna yang khas bagi perayaan liturgi yang 40 Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003. 41 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 119.(Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003). 42 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 39-40.(Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003). 88 bercorak budaya. Hal inipun didasarkan pada iman akan misteri inkarnasi, sehingga segala unsur kebudayaan termasuk di dalamnya adalah musik-musik tradisi mendapat ‘bobot kudus’ dengan menyatu dalam sebuah perayaan liturgi. Dengan demikian, musik inkulturatif dapat diartikan sebagai kesenian musik dari berbagai tradisi kebudayaan tempat Gereja bermisi, yang dimasukkan ke dalam liturgi sehingga memiliki ‘bobot kudus’ (nilai kesakralan) sebagai salah satu corak musik liturgi. Namun tentang hal ini, Gereja tetap memberikan peringatan tertentu dalam berbagai kreativitas bermusik dalam liturgi, sehingga tidak menjadi ‘sangat bebas dan tidak terkendali’. Melalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal mendasar yang ditekankan adalah pada alinea ketiga dokumen liturgi Romawi dan inkulturasi nomor 40, bahwa bentuk musik, lagu dan alat-alat musik dapat digunakan dalam ibadat asal “cocok” atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, dan asal sesuai dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguhsungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman. 43 G. Instrumen Pengiring dalam Musik Liturgi 1. Organ Pipa Organ pipa merupakan musik instrumen yang secara khusus dipakai dalam peribadatan Gereja sejak abad ke-9, yang semula merupakan instrumen musik 43 Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara liturgi Gereja, khususnya perayaan Ekaristi. 89 profan. Instrumen tersebut mulai dipakai dalam gereja, pada masa Kaisar Karel Agung pada tahun 811. Dalam perkembangannya, organ pipa menjadi suatu bagian perlengkapan yang dirasa penting di dalam setiap gereja katedral. Ia bahkan dirasa menjadi musik yang mampu membangun khazanah liturgi yang agung dalam Gereja Katolik. Dalam Konsili Konstitusi Liturgi 120 dinyatakan bahwa: “Dalam Gereja Latin organ pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati umat kepada Allah dan ke sorga”. 44 Keagungan suara organ pipa secara natural dipengaruhi sumber bunyinya, yakni tiupan pada mulut tabung (pipa). Ada 2 macam pipa mulut tabung: pertama, pipa labial (Seruling recorder), yakni pipa yang ujungnya kosong di mana bunyi dihasilkan oleh getaran udara pada ‘bibir’ pipa (Latin: labia). Kedua, pipa lingual (Trompette, Fagotte, Brass), yakni pipa yang ujungnya (bagian yang ditiup) dilengkapi dengan ‘lidah’ (Latin: lingua). Pada saat pipa ditiup, lidah ini bergetar dan menghasilkan suara yang kemudian diperkeras oleh pipa. Di antara kedua pipa ini, pipa labial mempunyai variasi suara yang lebih kaya daripada pipa lingual. Suara pipa lingual lebih keras dan lebih kasar daripada pipa labial. Biasanya, pipa lingual digunakan untuk permainan instrumental solo, dan jarang 44 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 120.(Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003). 90 untuk mengiringi nyanyian umat, kecuali pada kesempatan tertentu, bila semua register yang lain dinilai kurang keras. 45 Sejak abad XX orang menemukan organ elektronik, yaitu organ yang dihasilkan dari getaran elektronis yang diperkeras melalui amplifier dan Loudspeaker. Banyak orang menganggap bahwa suara organ pipa (orgel) lebih alami dan menyentuh perasaan peribadatan. Maka gereja-gereja di Eropa yang semula mencoba organ elektronik, sesudah beberapa waktu kembali menggunakan Organ Pipa. 46 Ada pun jenis organ elektronik yang cocok digunakan sebagai organ gereja, dengan beberapa kategori antara lain memiliki keyboard berukuran 4 sampai dengan 5 Oktaf, memiliki pedal (pedal Spanyol sebagai pedal bas yang dimainkan dengan kaki) dengan ukuran minimal 1 oktaf. Kehadiran jenis organ gereja yang menggunakan energi listrik juga memiliki warna yang tidak jauh berbeda dengan suara organ pipa asli. Kesan dan nuansa yang ditimbulkan tidak jauh berbeda. Yang penting untuk diperhatikan adalah keterampilan organis untuk mengiringi sebuah perayaan liturgis. Dalam Instruksi Musik Liturgi nomor 62 dikatakan bahwa alat musik dapat menjadi sangat bermanfaat dalam perayaanperayaan kudus, entah untuk mengiringi nyanyian, entah untuk dimainkan sendiri sebagai musik instrumental tunggal. 2. Alat-alat Musik Lain Selain organ pipa alat musik lain dalam liturgi Gereja Katolik dimungkinkan juga sejauh dapat diselaraskan dengan jiwa liturgi. Hal ini 45 46 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 90. Prier, Perkembangan Musik Gereja, hlm. 68. 91 diungkapkan lebih lanjut dalam nomor 120 Konstitusi Liturgi: “Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah artikel 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam Liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman”. 47 Anjuran Konsili Vatikan II di atas, sesungguhnya telah memberikan gambaran yang tegas tentang syarat utama dalam pemakaian jenis-jenis alat musik lain dalam liturgi, yakni selaras dengan jiwa liturgi. Maka, baik organis maupun pemain alat musik tardisional dalam liturgi sangat diharapkan memiliki kecakapan untuk memainkan alat musiknya secara liturgis, guna memperkaya perayaan suci dan mendorong keikutsertaan kaum beriman dalam melagukan nyanyian liturgi. 47 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 120.(Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003). BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Musik Liturgi memilki bentuk dan praktik berubah-ubah ketika dari jaman pertama sampai pada jaman sekarang. Sesuai dengan Konsili vatikan II yang menyebutkan bahwasanya setiap praktik dan apapun yang mengenai tentang Musik Liturgi sesuai dengan daerah atau budaya setempat. Agama Katolik memang agama yang penganutnya suka bernyanyi. Musik memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan iman Kristen. Sejak dari zaman ke zaman dengan mengedepankan iman umat Allah di Perjanjian Lama sampai pada permunculan-permunculan gereja pada abad permulaan Perjanjian Baru, mazmur, nyanyian rohani dan berbagai bentuk pujian-pujian lain menandai kehidupan umat beriman. Musik mengiringi kemajuan rohani di berbagai tempat dan zaman. Itulah sebabnya setiap gereja yang ingin sungguh-sungguh memuji Tuhan dan memenangkan jiwa bagi-Nya, akan menggunakan musik sebaik-baiknya. Pernyataan Komisi Liturgi Amerika Serikat pada tahun 1972, mengusulkan tiga pertimbangan untuk memilih nyanyian dalam liturgi, yaitu musik harus baik, secara pastoral harus cocok, dan harus dapat memenuhi peran yang dituntut oleh liturgi. 93 Konsili vatikan II menggaris bawahi fungsi musik dalam liturgi, yakni untuk melayani liturgi. Artinya, musik diciptakan dan di buat untuk melayani dan mengabdi dalam liturgi. Musik harus dimasukkan dan diletakkan dalam konteks perayaan dan pengungkapan iman gereja. Maka, konsili vatikan II menentukan sebagai dasar pembaharuan liturgi, bahwa ‘naskah-naskah dan upacara-upacara harus diatur sedemikian rupa, sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus yang dilambangkan. Musik dalam liturgi merupakan suatu bagian fungsional dalam liturgi, karena bagian-bagian ibadat tertentu seharusnya dilakukan dengan bernyanyi. Misalnya dengan bernyanyi bersama waktu pembukaan ibadat, hadirin merasa menjadi satu umat dalam kristus, dengan nyayian ‘Tuhan Kasihanilah Kami’ umat menyatakan tobatnya, dengan nyanyian Musik dalam Liturgi terutama mencakup nyanyian umat supaya berperan aktif dalam ibadat, secara aklamasi. Tujuan yang luhur menuntut suatu sikap khusus waktu bernyanyi dan bermusik, bukan naskah yang membuat music menjadi sakral, tetapi hati manusia yang diungkapkan dalam musik. Musik adalah bahasa kesatuan umat manusia. Sebagian orang mengartikan musik sebagai “cetusan ekspresi istilah” Cetusan tersebut dinyatakan dalam bentuk bahasa bunyi. Bunyi yang harus diciptakan dalam berdoa hendaknya lebih menyatu dengan do’a, karena bunyi-bunyi itu merupakan cara menyuarakan doa. Doa bukanlah sekedar kata-kata. Umat menyanyi bukan untuk menyampaikan informasi atau menerangkan kebenaran-kebenaran, tetapi umat menyanyi karena mau mengungkapkan kehidupan, iman dan gereja. Umat dapat bersukacita, dapat 94 bersedih, dapat merenung, dan dapt berharap. Tentu saja semua ini menuntut bunyi, yakni bunyi dari suara umat dan dari alat-alat yang diciptakan manusia mulai dari bel, tepuk tangan dan derap kaki. Pada hakikatnya, musik dalam Liturgi bersifat simbolis. Artinya, musik disini dapat digunakan untuk mengungkapkan peran serta aktif umat, untuk membangkitkan suasana bagi tumbuhnya daya tangkap dan daya tanggap jiwa terhadap sabda dan karunia Allah dalam liturgi. Musik dalam liturgi juga berfungsi untuk memperjelas misteri Kristus, menumbuhkan kesadaran kebersamaan, dan komunikasi antar jemaat dan memberikan kemeriahan serta keagungan bagi liturgi. Dan tujuan musik liturgi berkaitan erat dengan tujuan liturgi itu sendiri yakni sebagai sarana untuk memuliakan Allah dan mengudusan manusia. B. Saran Musik selalu berkaitan dengan kehidupan manusia. Apapun jenis musik yang disukai dan digemari bila didengar dan dinikmati secara terus menerus, cepat atau lambat akan mengakibatkan pengaruh tertentu. Oleh karena itu penulis merasa layak untuk memberikan saran-saran demi suatu harapan agar: • Para pencinta musik dalam kalangan akademisi dapat memberikan kontribusi yang lebih besar sebgai kajian ataupun penelitian yang integral, sehingga musik yang pada akhir-akhir ini tidak dilihat lagi secara sepihak dan dengan mudah di klaim sebagai perusak moral manusia. 95 • Untuk masyarakat, berhentilah menganggap bahwa musik adalah milik agama tertentu. Berhentilah memperdebatkan musik haram-musik halal. Karena seperti kita ketahui musik mempunyai banyak peran dalam semua kegiatan manusia di muka bumi ini tanpa memandang suatu agama pun. Demikianlah saran-saran penulis untuk semua yang membaca karya tulis sederhana ini, kita juga mesti berhati-hati untuk menikmati musik-musik yang ada. DAFTAR PUSTAKA Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003. Gibran, Khalil. Musik Dahaga Jiwa. Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002. Hali, Mohammad S, “Unsur Musik dalam 3 buah Sajak Khalil Matran”, Skripsi Sarjana Pendidikan, Jakarta: Perpustakaan UI, 1988. Handol, John, ML, Nyanyian Luciefer-Ikhwal penciptaan, pengaruh Terhadap Kerohanian, kesehatan dan kejiwaan, Yogjakarta: yayasan Andi, 2002. Huck, Gabe. Liturgi Yang Anggun dan Menawan, terj. Komisi Liturgi KWI. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah: Analisa Isi program Syiar dan Syair TVRI Juni-November 2001”, Skripsi Sarjana Pendidikan, Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998. Kirchberger, Georg & Bernardus Boli Ujan, (ed). Liturgi Autentik dan Relevan. Maumere: Ledalero, 2006. KWI Komisi Liturgi. Puji Syukur. Jakarta: Obor, 1992. Letor, Anton Sigoama. Komposisi Lagu Menuju Musik Liturgi. Ende: Nusa Indah, 1984. Mariyanto, Ernest. Simbol: Maknanya dalam Kehidupan Sehari-hari dan dalam Liturgi. Malang: Dioma, 2001. Mariyanto, Ernest. Kamus Musik Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Martasudjita, E., Kristanto, J. Musik dan Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 2000. Martasudjita, E. Pengantar Liturgi: Makna Sejarah dan Teologi Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 1999. Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu Pop Dangdut dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Sosial Remaja Kota, Jakarta: Proyek Pengkajian dan pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisonal Direktorat Jendral Kebudayaan, 1995. Prier, Karl-Edmund, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja. Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994. _________Sejarah Musik jilid 1. Yogjakarta: PML, 1991. _________Sejarah Musik jilid 2. Yogjakarta: PML, 1993. _________ tentang musik Ibadat. Yogjakarta: PML, 1988. _________kedudukan nyanyian dalam Liturgi. Yogjakarta: PML, 1988. Riemer,G. Cermin Injil-Ilmu Liturgi, Jakarta; Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995. Saragih, Winnardo. Misi Musik: Menyembah Atau Menghujat Allah. Yogyakarta: ANDI, 2008. Widyawan, Paul. “Istilah Musik Liturgi”. Warta Musik Liturgi, No. 120, 1987.