NYANYIAN KEHIDUPAN *) Lalu kata Maria: “Jiwaku memuliakan Tuhan, …….” (Luk 1:46). Demikian cuplikan awal Nyanyian Pujian Maria (=Magnificat) setelah Maria menerima kabar gembira (pemberitahuan tentang kelahiran Yesus) dari malaikat Gabri-el (=Allah adalah pahlawanku, Majalah Hidup, Deshi Ramadhani, 29 Sepetember 2009). Betapa bahagia dan tersanjung serta terpujilah Maria di antara wanita karena terpilih dan dipanggil Allah untuk mengandung dari Roh Kudus, melahirkan buah tubuh Yesus. Rasa bahagia yang tak terperi karena penuh misteri kasih Allah, Maria mengungkapkan isi hatinya, bersaksi dan bersembah-sujud syukur kepada Tuhan karena keagungan dan kemuliaanNya. Ungkapan hati Maria ini spontan tak terbendung dipenuhi dengan Roh Kudus. Kata-kata yang diungkapkan dengan rendah hati sungguh bermakna dan mengandung penghayatan iman yang mendalam. Pujian Maria ini tidak cukup dan kuasa diungkapkan hanya dengan kata-kata saja. Hati Maria berbunga-bunga, penuh tanda-tanya, sekaligus terpana dan tepekur. Susunan kata-kata pujian Maria ini sangat puitis dan ungkapannya sungguh dramatis. Ungkapan yang meluap dari hati terdalam tentu tak kuasa cukup dengan kata-kata saja, namun Maria mengungkapkan pujiannya dengan bersenandung dalam hati. Oleh karena itu sudah sepantasnya pujian Maria yang puitis dan dramatis (dramaturgi) ini dikatakan sebagai ’nyanyian’ pujian Maria atau lebih dikenal dengan sebutan Magnificat (= Aku mengagungkan Tuhan). Inilah sebetulnya nyanyian sejati dalam liturgi katolik. Banyak contoh nyanyian liturgi katolik yang ada di dalam Kitab Suci (biblis) namun pada umumnya paling banyak dan menonjol dalam nyanyian Mazmur (150 bab) sebagai ungkapan pengalaman hidup dan kesaksian iman nabi Daud kepada Allah. Isi nyanyiannya berupa anekaragam ungkapan hati, seperti pengajaran, pujian, syukur, pertobatan, permohonan, keluh-kesah, kerinduan, ketakutan, ketenteraman, kemenangan, kesesakan, pergumulan, pengharapan, ratapan, kesetiaan, dan doa. Pada intinya semua ungkapan hati ini adalah perwujudan doa, berdialog dengan diri sendiri, sesama manusia dan Tuhan. Nyanyian Mazmur yang sekarang sudah menjadi kesatuan dalam liturgi tata perayaan Ekaristi sebagai mazmur tanggapan (dulu: lagu antar bacaan), pada dasarnya sarat dengan ’seni’ liturgi. Cara membawakan mazmur bisa dengan diucapkan secara puitis (semacam deklamasi), diawali dengan solis (tertulis pada awal Mazmur ’untuk pemimpin biduan’ – misal Mzm 5), diiringi dengan permainan alat musik (misal seruling, kecapi dan semacamnya – Mzm 5,6). Pada awal mulanya corak melodi pada nyanyian Mazmur (Kitab Perjanjian Lama, sebelum masehi) bersifat nir-ritmik (tanpa birama) untuk mengungkapkan syair pada setiap ayat secara resitatif. Kemudian pada perkembangan musik gereja selanjutnya sekitar abad keenam (590 – 604) sesudah masehi sejak masa penggembalaan Paus Gregorius I mulai dikenal dengan musik Gregorian. Musik gereja pada dasarnya sudah dikenal dan berkembang di kalangan umat sejak masa perjanjian lama hingga masa perjanjian baru hingga kini. Dengan kata lain tradisi musik gereja sudah berakar lama dan kaya sebagai ungkapan dan kesaksian umat beriman kepada Allah yang mahamulia dan mahakasih. *) Usulan dan sumbangsih artikel yang ditulis oleh A.J. Tjahjoanggoro (Tim Magnificat) untuk dimuat pada Tabloid Jubileum Keuskupan Surabaya, 8 Februari 2010. Peranan nyanyian dalam liturgi tata perayaan ekaristi jelas merupakan bagian kesatuan dalam sembah bakti dan puji syukur segenap umat beriman kepada Allah melalui perjamuan kurban kasih Kristus. Sikap bernyanyi dengan hati dalam iman merupakan sikap dasar utama pelayanan kasih bagi segenap umat dan seluruh petugas liturgi, termasuk musik liturgi khususnya dalam perayaan Ekaristi. Para petugas musik liturgi seyogyanya menyanyikan madah pujian dan syukur hanya kepada Tuhan dengan suara yang hidup (viva voce), terungkap murni dari hati yang beriman. Dengan demikian para petugas musik liturgi bersama segenap umat menyanyikan dan merayakan kehidupan yang bersumber pada kurban kasih Kristus yang sejati dan abadi dalam perayaan Ekaristi. Salam Magnificat, A.J. Tjahjoanggoro