Liturgi: Sumber Kehidupan, Daya Iman bagi Kaum Pejuang John Mansford Prior, svd 1 “Kalau gerakan ini berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkannya.” (Kis 5:39) “Siapa yang menggerakkan revolusi setengah jalan, hanya menggali liang kuburnya sendiri.” (Sejarahwan Revolusi Perancis) VATIKAN II - MENGEJUTKAN, MENGILHAMI: Memenuhi Harapan Yohanes XXIII Yohanes XXIII, (Angelo Giuseppe Roncalli, 1881-1963), anak tani, juga sejarahwan dan diplomat gerejawi, dan pada usia senja Uskup Roma (1958-1963), dan menurut banyak pihak salah satu paus terbesar selama milenium kedua, beliau menceritakan bahwa ilham untuk mencanangkan sebuah konsili umum datang kepadanya “dalam seketika, tak pernah terbayangkan sebelumnya, bagai sinar kilat dari surga.” Sungguh Yohanes adalah sebuah anugerah. Dia mempercayakan seluruh agenda konsili kepada para uskup. Maksud dan harapannya sendiri ia sampaikan berulang kali dalam bahasa kiasan seperti dalam cetusan “fajar baru”, “musim semi baru”, “angin segar”, “loncatan ke depan” (un balzo), dan “pentakosta baru”. Dia memanggil para uskup untuk “membuka jendela” dengan tiga maksud utama: memasakinikan seluruh Gereja Katolik dengan “membaca tanda-tanda zaman” (aggiornamento), menempuh langkah-langkah awal dalam upaya menyatukan kembali GerejaGereja Kristen (oikumene: dari “bidah sesat” Gereja-Gereja Ortodoks dan Protestan menjadi “sama saudara dalam Kristus”), dan memajukan perdamaian dunia yang, pada dasawarsa enampuluhan itu, terbelah ke dalam kubu kapitalis barat dan blok komunis soviet (pacem in terris). Yohanes hendak melahirkan komunitas Gereja yang bersetiakawanan dengan kaum kecil, “Gereja kaum miskin.”. 2 Dalam amanat pembuka konsili pada tanggal 11 Oktober 1962, Yohanes XXIII menandaskan bahwa sebuah konsili mutlak diperlukan agar Gereja mendarmakan dirinya, “secara tulus dan tanpa takut gagal, bagi karya yang dituntut dari kita oleh zaman sekarang ini.” Jadi, Gereja berada bukan bagi dirinya sendiri melainkan untuk melayani missio Dei. 1 John Prior mengajar dalam program pascasarjana (S2) pada STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT. Ia adalah anggota Dewan Penasihat Intercultural Bible Collective (Vrije Universiteit, Amsterdam), editor Jurnal Ledalero: Wacana Iman dan Kebudayaan, wakil editor Mission Studies (Jurnal Internasional Association for Mission Studies, IAMS), dan anggota Dewan Penyunting Asian Horizons: Dharmaram Journal of Theology (Bengaluru, India). 2 Harapan Yohanes XXIII disampaikan dalam wejangannya pada 11 September 1962 dan sebulan kemudian dalam pidato pembuka konsili pada tgl. 11 Oktober 1962. 1 Selama empat tahun (1962-1965) pada musim gugur (September/Oktober-Desember), melalui kegaduhan debat yang sering sengit-seru, 3 gelombang mayoritas para uskup yang berjiwa pastoral terus-menerus dihadangi oleh bendungan minoritas reaksioner yang dipayongi oleh blok Kuria Vatikan yang gigih mempertahankan peran dan posisi institusionalnya, dan – celakanya seusai konsili berhasil mengambil kembali peran semula yang menentukan. Walau tak bisa begitu saja selesai diartikan makna konsili, namun dapat ditandaskan bahwa sejak masa sidang pertamanya para uskup hendak melepaskan era monolitik-monarkis Constantinian (sejak awal abad ke-4) dan membuka era baru, era berdialog. “Kata dialog”, ucap Yohanes Paulus II, “merangkul seluruh makna konsili” (lih. Ut umum sint (1995) art.2, 9, 28). Ajaran Tumbuh dari Desakan Pastoral Kala itu, sebagai seorang siswa sekolah lanjutan di Inggris (1958-1964), melalui radio, majalah, koran harian dan buku – teristimewa karya The Council and Reunion oleh Hans Küng (1961) 4 saya sempat mengikuti peristiwa konsili umum itu dari pekan ke pekan. Tanpa tedeng aling-aling saya menerima sepenuhnya evaluasi jurnalis majalah Time yang meliputi konsili di Roma, Robert Blair Kaiser (1931-2015), yang separuh abad kemudian menandaskan: Konsili Vatikan II menggeser-alihkan caranya kita berpikir tentang Allah, tentang kita sendiri, tentang Alkitab, tentang liturgi, tentang kemiskinan dan ketidakadilan, tentang pasangan hidup kita, tentang kekudusan, tentang persekutuan umat yang disebut ‘Gereja’, tentang saudara-saudara sepupuh Protestan, tentang orang Budhis, Hindu, Muslim dan Yahudi, malah menggesek cara berpikir kita tentang masyarakat Rusia. 5 Sambil menyusuri lekuk-lekuk ingatan masa yang pernah penuh harapan itu, dengan tegas dapat saya tandaskan bahwa Konsili Yohanes XXIII menanggalkan model Gereja piramidal dan kembali pada model injili, model lingkaran – Gereja sebagai misteri, sebagai umat Allah dalam perjalanan (Lumen Gentium art.1-17). Dan model lingkaran ini turut memberdayakan kaum umat-awam (LG art.30-38). Ditanggalkan pula Gereja bagai benteng, suatu masyarakat paripurna dari mana para serdadu Kristen berkelana guna menaklukkan dunia bagi Kristus. Dalam konsili, Gereja memahami dirinya sebagai seorang penziarah bersama dengan semua orang yang berkehendak baik. Dekrit Unitatis Redintegratio (1965) mencanangkan oikumene antarGerejaGereja Kristen berlandas sakramen pembaptisan yang satu dan sama. Dekrit Dignitatis Humanae (1965) mengakhiri doktrin terdahulu mengenai ‘toleransi’ terhadap agama-agama lain dan menggantikan toleransi dengan sikap hormat dengan penuh penghargaan selaku rekan-rekan penziarah. Dekrit Nostra Aetate (1965) bersikap amat positif terhadap agama-agama besar dunia dan dengan demikian memutar-balikkan ajaran Gereja seputar kebebasan beragama sebagaimana diajar Paus Gregorius XVI (1831-1846) dalam surat edarannya Mirari Vos (1832) yang mengutuknya sebagai suatu ideologi yang “palsu dan absurd, malah gila”. Pengganti-pengganti Gregorius XVI tidak hanya turut menyerapahi kebebasan beragama – karena hanya kebenaran punya hak, dan Gereja Katolik sendiri adalah satu-satunya pihak yang benar - mereka juga 3 Perdebatan sengit di ruang sidang komisi dan kemudian di aula St. Petrus, serta manipulasi busuk di balik tirai oleh Kuria Vatikan, dicatat dengan sangat teliti oleh teolog pendamping ahli (peritus), Yves Congar, dalam agenda hariannya. Lih. My Journal of the Council. Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 2012. 4 Secara amat profetis karya Küng The Council and Reunion membeberkan apa yang bakal menjadi agenda konsili. 5 Robert Blair Kaiser, “Stories of Vatican II: The Human Side of the Council”, Tablet Lecture 2012. Lih. http://www.thetablet.co.uk/other/the-tablet-lecture-2012. Diakses 12 November 2012. 2 menyumpahi kebebasan pers, demokrasi dan hak-hak asasi manusia. 6 Lagi pula Konsili Yohanes mengakui keadilan dan perdamaian sebagai bagian hakiki dari pewartaan Injil (mis. Gaudium et Spes art.29-32, 63-72). Maka, konsili umum terakhir ini mengakui sembari merangkul kembali humanisme Kristiani. Betapa kuatnya gerakan aggiornamento Yohanes XXIII mengembus-segarkan sikap dan perilaku kita; tutur sejarahwan John O’Malley: ... dalam drama Konsili Yohanes XXIII dipertaruhkan dua wawasan Kekatolikan yang bertolak belakang: ganti komando tampil undangan bebas, ganti hukum dan aturan diajukan cita-cita, ganti ancaman ditawarkan ajakan, ganti paksaan dihadirkan suara hati, ganti monolog dianjurkan percakapan, ganti pejabat yang memerintah disodorkan pelayan yang mengabdi, ganti pemencilan dan pemisahan didambakan pembauran dan pemaduan, ganti pola vertikal dari ‘atas-ke-bawah’ diharapkan pola horisontal-berlingkar, ganti mengucil dipersilakan merangkul, ganti permusuhan didesak persahabatan, ganti format statis disongsong corak lentur-plastis, ganti penerimaan secara pasif diajak pelibatan diri secara aktif, ganti penentuan rinci dipatok hanya prinsip dan arah umum, ganti definisi-definisi tertutup dicanangkan gambaran-gambaran terbuka, ganti minta perubahan kelakuan disulut pertobatan batin, ganti diktat legal diidamkan diktat hati nurani, ganti penyesuaian lahiriah diangankan pencarian penuh kegembiraan akan kekudusan. 7 Pendek kata, Gereja Katolik dalam konsilinya membuka diri untuk berwawancara dengan dunia modern, dan dunia pasca-kolonial. Pada sesi keempat (dan terakhir) para uskup peserta konsili sudah menjadi insyaf bahwa: Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. (GS 1). Jadilah Kisah yang Hendak Dimaklumkan! Walau ditantang dan ditentang oleh kantong-kantong fundamentalis yang mendapat dukungan dari sementara pihak di Kuria Vatikan di bawah komando Kardinal Alfredo Ottaviani (18901979), perlu diakui pula bahwa selama 50 tahun ini kebanyakan umat Katolik telah bergeser dari iklim hujat-menghujat ke suasana dialog, dari Gereja Katolik laksana benteng tertutup menjadi umat mufakir, Gereja yang menghadirkan diri dalam kesetiakawanan dengan siapa saja, teristimewa dengan orang yang tersisih-stigmatisasikan. Kita telah beralih dari sebuah Gereja yang sibuk membenarkan diri (apologetika) menjadi komunitas Gereja yang berbasis kekuatan Yesus tersalib, yang berakar dalam kebenaran injili, yang bernafaskan rahmat Allah. Kita hendak 6 Misalnya, Pius IX (1846-1878) dalam Syllabus Errorum (1864), Leo XIII (1878-1903) dalam Libertas Praestantissimum (1888), juga paus reaksioner Pius X (1903-1914) dalam E Suprimi (1903) dan Acerbo Nimis (1905), tetapi terutama dalam “labrakan”nya terhadap aliran-aliran pembaruan teologi yang dijulukinya kesesatan “modernisme”. Lih. Lamentabili Sane (Juli 1907) dan Pascendi Dominici Gregis (September 1907). Konsili Yohanes XXIII membalikkan ajaran-ajaran ini. 7 John W. O’Malley, Vatican II: Did Anything Happen? New York: Continuum, 2007, hlm.81. 3 menjadi penyiar nilai-nilai kemanusiaan yang tahan segala zaman, umat Allah dalam perjalanan bersama orang dari semua aliran yang berkehendak baik. Kini timbul pertanyaan yang menantang: Betulkah dampak revolusioner dari konsili limapuluh tahun lalu masih tetap meresapi segala pemakluman Sabda ilahi dan perayaan ibadat liturgis Gereja? Bahwasanya kita merayakan liturgi kehidupan, merayakan apa yang kita yakini, apa yang kita perjuangkan dalam kehidupan sehari-hari? INTERMEZZO: HERMENEUTIKA TONGGAK BARU Tahun-tahun belakangan ini ada orang yang mencibir karya konsili dan menguras pesan progresifnya, dan dengan suara kilahnya yang mengalun ke telinga, menegaskan: “Sebetulnya masa pasca-konsili bersambungan dengan masa sebelumnya”, atau, “Ini cuma konsili pastoral, bukan konsili dogmatik yang menentukan”, atau, “Konsili tahun 1960an itu tak bertaji lagi”. Meski irit komentar, siapa saja yang mengalami pembaruan berkelanjutan yang menggoyangkan Gereja selama 50 tahun ini, mesti mengakui bahwa pembaruan pastoral dengan sendirinya turut menata kembali rumusan, penekanan dan prioritas ajaran kita. Persoalan dokrinal tidak dapat diceraikan dari desakan-desakan pastoral. Pembaruan pastoral berarti memaklumkan kebenaran dalam praktik, dalam cara-cara sedemikian rupa sehingga belas kasih Allah lebih tampak: Allah yang menyelamatkan, Allah Sang Pembebas. Karena itu, jika sekarang ini, tanpa ‘menyulap’ sejarah kita hendak membaca kembali makna konsili, menelusuri maju-mundurnya, kita bertindak bukan bagai laku pada panggung statisstagnan; ada patahan dua generasi yang memisahkan masa konsili Yohanes dari situasi kita sekarang ini. Dan selama limapuluhan tahun ini kita tidak henti bergerak dalam dunia yang senantiasa berlangkah, bergerak. Namun, ‘hermeneutika kesinambungan’ (bahasa kalangan Josef Ratzinger) tengah merancukan kenyataan historis ini. Bagi kami yang mengalami peristiwa Konsili Yohanes itu, garis pisah tajam masih terletak dalam kesadaran kami: konsili jelas-jelas membelah dua masa. Maka, semestinya kita mengkaji makna konsili, maju-mundurnya, melalui sebuah ‘hermeneutika tonggak baru’. Aliran Kesinambungan Selama memimpin Kongregasi Pengajaran Iman (1981-2005) Josef Ratzinger berhasil memukul mundur, atau sekurang-kurangnya mengarahkan kembali beberapa upaya untuk menerapkan daya dorong konsili. Antara lain Ratzinger memukul aliran teologi pembebasan di Amerika Latin, 8 kemajemukan agama di Asia, 9 teologi moral berkesadaran historis di Amerika Utara, 10 dan pengembangan eklesiologi pasca konsili. 11 8 Tidak kurang dari 92 teolog ditegur atau malah dipecat selama Josef Ratzinger memimpin Kongregasi Ajaran Iman (1981-2005). Daftarnya dimuat dalam Matthew Fox, The Pope’s War. New York: Sterling Ethos, 2011, hlm.238240. 9 Mis. Jacques Dupuis (1923-2004), asal Belgia, yang lama mengajar di India (1948-1984) dan sesudah itu di Universitas Gregoriana Roma (1984-2001). Beliau begitu tertekan oleh tuduhan-tuduhan yang meleset dari Kongregasi Ajaran Iman (thn. 2001), walau dibenarkan dalam sidang pengadilan Kongregasi Ajaran Iman, ia keburu wafat (2004). 4 Soalnya, ketika konsili dicanangkan oleh Yohanes XXIII pada 25 Januari 1959, Kuria Vatikan tidak memiliki minat atau maksud apa pun dengan pembaruan radikal di dalam Gereja; jelas, pembaruan mengancam kedudukan serta wewenang mereka. Kelemahan fatal dari peserta konsili ialah kegagalannya membarui Kuria sesuai visi dan misi yang dicetuskan dalam dokumendokumen konsili itu sendiri. Pelaksanaan konsili dipercayakan justru kepada mereka yang tidak menerima hasilnya. 12 Jadi, kita bertanya: Siapa sebetulnya memiliki klaim lebih baik atas warisan Konsili Vatikan II – para pembaru yang mengupayakan sebuah Gereja yang mengumat dan memasyarakat, atau kaum restorasionis yang ingin menekankan otoritas kepausan dan wewenang hirarki yang serba kokohkuat? Mana dari keduanya mengungkapkan secara lebih baik maksud Konsili Yohanes XXIII? Hemat saya para restorasionis itu masih terpidana dari masa lampaunya, pada puing-puing yang masih sempat bernapas di pesisir pergolakan zaman. Kita tidak boleh menjadi narapidana dari aliran teologi Romawi pra-konsiliar. Bagi umat kebanyakan sudah jelas mana dari kedua pendekatan ini secara lebih tepat mengungkapkan harapan Yohanes XXIII. Bagaimana pun juga, jelas bahwa Konsili Yohanes lebih berupa sebuah titik awal daripada suatu konklusi, suatu ajakan untuk bekerja dan menggalakkan kajian-kajian baru. Dokumen-dokumen konsili bukan kata akhir melainkan kata pertama yang mengantar kita ke era baru, setitik awal dari suatu proses pembaruan berkelanjutan - ecclesia semper reformanda - sebuah isyarat profetis, seguyup gemar injili. Kita tak boleh menoleh ke belakang (bnd. Kej 19:1-29, khususnya ay.15-26). PEMBARUAN PERAYAAN LITURGI: Dampak Ajaran Konsili Masa Pra-Konsili Tidak banyak di antara kita yang berumur secukupnya hingga pernah alami perayaan Misa pada masa pra-Konsili. Pada tahun 1953 saya dilantik menjadi seorang misdinar yang melayani Misa harian di Paroki St. Pankrasius, di Ipswich, Inggris. Pada masa itu seorang imam ‘membuat Misa’, sedangkan umat-awam diam-diam menyibukkan diri dengan mendaraskan doa Rosario, atau mengikuti Misa dalam bukunya. Jadi, pastor membisik-bisik dalam bahasa Latinnya di altar sedangkan umat-awam diam-diam berdoa di bangkunya masing-masing. Pastor membelakangi umat-awam, menghadap tembok yang biasanya ditembusi kaca warna. Rumusan Misa senantiasa tetap-membaku – semper idem - selalu presis sama. Kebanyakan imam sudah hafal semuanya 10 Termasuk teolog moral Katolik tertemuka di Amerika Serikat, Charles Curran. Teristimewa Hans Küng (Swis), Leonardo Boff (Brazil), dan Edward Schillebeeckx (Belgia). 12 Supaya impiannya tak diabortus sebelum lahir akibat perlawanan dari pihak Kuria Vatikan, yang diperkirakan akan mensubotasinya, Yohanes XXIII membiarkan kuria menyiapkan skema-skema sebelumnya. Yohanes yakin bahwa para uskup sedunia akan mengambil alih kemudi konsili; dan terjadi demikian ketika semua skema, kecuali skema liturgi, ditolak. Masalahnya, seuai konsili kuria mengambil peran kunci yang menjegalkan pelaksanaannya. 11 5 dan tidak sedikit imam yang ‘membaca Misa’ secara terburu-buru, menelan waktu tidak lebih dari 20 menit. 13 Kalau pada masa itu kami merindukan suasana sakral, kami tidak pergi ‘mendengar’ Misa, melainkan mengikuti perarakan Sakramen Mahakudus pada bulan Juni (Corpus Christi), dan perarakan dengan patung Bunda Maria pada bulan Mei. Juga kami bisa mengikuti acara salve tiap Minggu sore dan turut mengumandangkan sejumlah nyanyian dalam bahasa Inggris sambil menghadap montrans yang diapiti dengan tidak kurang dari 12 lilin bernyala, dalam suasana yang diharumi asap kemenyang; seluruh acaranya dilengkapi dengan sebuah khotbah katekese. 14 Pada masa pra-konsili itu jiwa kami diasuhi devosi dan religiositas rakyat, bukan oleh acaraacara liturgis formal. 15 Misa lebih berupa sebuah kewajiban, sebuah ritus belaka. 16 Ceritanya agak lain di pedalaman Flores, NTT, tapi mirip pula. Pada masa itu umat menyanyikan ayat-ayat pendek dalam bahasa daerahnya sesuai bagian Misa yang sedang dibisikkan oleh pastor dalam bahasa Latinnya. Ada doa/nyanyian singkat selama pastor membaca Prefasi, lagu lain selama Doa Syukur Agung sebelum kata-kata Institusi, dan sebuah nyanyian khusus sesudahnya. 17 Pada 7 Maret 2015 Paus Fransiskus membandingkan pengalaman ‘ikut Misa’ sebelum konsili dengan apa yang diharapkan sesudahnya: Murid-murid Yesus tidak pergi ke gereja hanya untuk mentaati suatu ketentuan, untuk merasa baik-baik saja dengan Allah yang diharapkan tidak akan terlalu ‘menyusahkan’ mereka. "Tapi Tuhan, saya pergi Misa setiap hari Minggu, saya memenuhi kewajiban agamaku..., jangan datang mencampuri hidup saya, jangan menyusahkan saya". Ini adalah mentalitas begitu banyak umat Katolik, begitu banyak. 18 13 Sikap dan penegasan ini sangat mirip dengan pola dan aturan adat di Indonesia timur: tiap kata harus diucapkan dengan tepat, kalau tidak tua adat sendiri, atau klannya, bisa kena malapetaka. Boleh jadi, sikap/pola adat seperti itu masih mempengaruhi sikap, perilaku dan tafsiran gerak-gerik liturgis dari sejumlah klerus serta kaki-tangan mereka. 14 Sebelum konsili, homili/khotbah hari Minggu belum diwajibkan. Karena itu SC art.52 berbunyi, “Homili sebagai bagian Liturgi sendiri sangat dianjurkan. Di situ hendaknya sepanjang tahun Liturgi diuraikan misteri-misteri iman dan kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab Suci.” 15 Dulu sang imam diwajibkan ikut gerak-gerik/rubrik Misa secara tepat-kakul; jika tidak, ia bisa terjebat dalam tidak kurang dari 100 kesempatan kena sangsi ‘dosa berat’. Mengingat caranya pastor-pastor kami zaman itu komatkamit berburu membaca doa-doa dalam bahasa Latin yang mereka kurang pahami, dan yang sering diucapkannya secara kurang jelas (terselang-seling “eerr”, “aahh”, “uumm”), niscaya aturan liturgi Romawi tidak melemparkan mereka semua ke dalam api neraka! 16 Rezim Suharto (1966-1998) amat mendukung agama selaku ritus (‘agama upacara-upacara’) demi menghalalkan (sakralisasikan) rezimnya. Sementara itu, sisi profetis masing-masing agama dikekangnya dengan keras. 17 Re. nyanyian umat sementara imam sendiri ‘buat Misa’: untuk lingkup bahasa Manggarai lih. buku Dere Serani (cek ke-1 1936), untuk lingkup bahasa Bajawa lih. Sura Ngasi (cek. ke-1 1949, hlm. 21-39), untuk lingkup bahasa Lio lih. Jala da Gheta Surga. Tapi harus diakui pula bahwa tujuan konsili belum tentu kena sasarannya pada tahuntahun awal. Misalnya, habis konsili umat di pedalaman Flores mengikuti Misa dalam bahasa Indonesia, lalu ada ibu yang mengeluh: “Sekarang kami hanya tunggu ‘Amin’ saja”. Pada masa pra-konsili ketika umat aktif menyanyikan ayat-ayat suci dalam bahasa mereka (sementara pastor menghadap tembok) dinilai lebih ‘partisipatif’ daripada Misa dalam bahasa yang belum lazim dipakai dalam hidup sehari-hari; umat hanya dibutuhkan untuk menjawab “Amin”. 18 Ibadat liturgi juga dapat berperan lebih bagai hiburan, ‘entertainment’. Lih. hasil survei Alocita: Emmanuel Subangun, “Pembaharuan Karismatik Katolik: Gerakan dan Pemujaan.” (manuskrip) Jogyakarta: Alocita, 1993. 6 Maka, kita tidak turut mengambil bagian dalam ibadat liturgis untuk menghindar dari campurtangan Allah dalam hidup sehari-hari; sebaliknya, kita merayakan ibadat liturgis supaya Tuhan, yang hadir dalam sabda dan sakramen itu, memaknai kehidupan harian kita. Maksud Pembaruan Liturgi Dalam homili pada 7 Maret 2015 itu, dengan lebih tegas Uskup Fransiskus menandaskan: Murid-murid Yesus pergi ke gereja untuk menghadap Tuhan dan untuk menemukan kasih karunia-Nya yang bekerja di dalam sakramen-sakramen, mendapat kekuatan untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan Injil. Karena itu, kita tidak boleh menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa kita bisa masuk ke rumah Tuhan dan ‘menutup diri kita’ dengan doa dan praktek-praktek devosional. Sikap ini jelas bertentangan dengan persyaratan keadilan, kejujuran, atau amal terhadap sesama kita. Kita tidak bisa mengganti utang kita pada sesama dengan semacam ‘kado agama’, yaitu menunda pertobatan yang benar. Kultus, perayaan liturgi, adalah tempat istimewa untuk mendengarkan suara Tuhan, yang menuntun kita pada jalan kebenaran dan kesempurnaan Kristen. Homili Uskup Fransiskus itu disampaikan dalam Misa untuk mengenang setengah abad sejak Misa untuk pertama kalinya dirayakan dalam bahasa Italia. Menurut homili Fransiskus ini, maksud dan tujuan dari pembaruan liturgi adalah, “untuk mendengarkan suara Tuhan, yang menuntun kita pada jalan kebenaran dan kesempurnaan Kristen.” Tandasnya lagi, pembaruan liturgi bermaksud mengaitkan kembali ibadat dan kehidupan sehari-hari, liturgi dan sabda ilahi. Ite missa est – Misa sudah selesai: mari kita pergi, kita diutus. Apa yang kita rayakan kita coba hayati di tengah masyarakat; apa yang kita perjuangkan di tengah masyarakat, dalam ibadat liturgis disoroti dalam terang kehadiran Allah, Allah yang hadir secara sakramental. Sacramentum Concilium: Hasil awal Konsili Secara sangat kebetulan, para peserta Konsili membuka proses pembaruan Gereja dengan membahas skema De Sara Liturgia. Alasannya, karena 69 skema lainnya (setebal 2000 halaman folio) yang disiapkan oleh Kuria Vatikan ditolak semua. 19 Draft De Sara Liturgia bersifat lebih pastoral ke timbang semua rancangan lain karena menimbah dari kekayaan gerakan pembaruan liturgi selama abad ke-20. 20 Membuka pembahasan pembaruan Gereja dengan topik liturgi tentu ada untungnya tapi juga ada ruginya. Beruntung karena para uskup dari Jerman, Perancis dan Belgia (yang didukung di aula konsili oleh para uskup dari Afrika, Asia dan Oseania) sudah lama merindukan pembaruan liturgi. Indonesia tidak ketinggalan. Uskup Willem van Bekkum dari Keuskupan Ruteng, Flores, Juga, Emmanuel Subangun, On the Half-Hearted Decolonising Process of the (Catholic) Church in Indonesia. Jogyakarta: Kanisius, 2003. 19 Kuria Vatikan menyiapkan 70 skema dengan perhitungan bahwa para uskup pasti menerima semuanya (dengan hanya satu-dua catatan sana-sini) sehingga konsili akan berlangsung paling lama dua bulan dan dapat ditutup sebelum Hari Raya Natal 1962. 20 Di Romapun pembaruan liturgi sudah ditangani sebelum konsili. Misalnya, upaya membarui Liturgi Pekan Suci diprakarsai Pius XII pada 1949, hasil pembaruan diumumkan dalam Dekrit Maxima Redemptionis Nostrae Mysteria (1955), dan diperlakukan pada Pekan Suci 1956. Orang kunci dalam pembaruan ini turut berperan dalam pembaruan liturgi sesuai pesan Konsili Yohanes, seperti Augustin Bea dan Annibale Bugnini. 7 misalnya, enam tahun sebelum konsili pernah membawa sebuah makalah dalam Kongres Liturgi Internasional perdana (Assisi, Mei 1956). 21 Setiap anjuran yang disampaikan van Bekkum diterima dalam Konstitusi Liturgi yang disahkan dan diumumkan pada 4 Desember 1963. Membuka konsili dengan pembahasan seputar pembaruan liturgi ada keuntungan pastoral pula, karena inilah pembaruan gerejawi yang langsung dan serentak terasa oleh seluruh umat beriman. Namun harus diakui pula ada kerugian juga. Pada sesi konsili yang pertama para uskup belum mengenal satu sama lain, lagi mereka mesti mengendus-endus jalan. Mereka membutuhkan waktu untuk membentuk identitasnya sebagai peserta Musyawarah Paripurna Gereja. Pada awal konsili pandangan sebagian besar uskup masih relatif sempit; mereka perlu waktu untuk memberanikan diri dan membentuk sebuah gerakan pembaruan dengan arah, tujuan serta strategi yang semakin jelas. Sesi demi sesi para peserta belajar dari dan berguru pada uskup lain, sembari menimba ilmu dari para periti, yakni para pakar teologi pendamping. Pembahasan di Aula St Petrus, dan dokumen-dokumen yang dihasilkannya, menunjuk dengan jelas bagaimana wawasan para uskup dibuka semakin lebar dan mendalam dari tahun ke tahun. Gerak Dinamika 1962-1965 Gerak dinamika konsili dapat ditelusuri dengan memperhatikan urutan tema-tema yang dibahas serta dokumen-dokumen yang dihasilkan. Mulanya para uskup mengembangkan visinya tentang Gereja yang beribadat, Gereja yang merayakan sakramen-sakramennya (Sacrosanctum Concilium (1963). Wawasan peserta konsili diperluas dan diperdalam tahun berikutnya ketika membahas tema Gereja yang mengumat, umat Allah dalam perjalanan (Lumen Gentium, 1964), dan memuncak pada sesi akhir (1965) ketika visi para uskup hendak merangkul semua pihak yang berkehendak baik, dan menghasilkan sejumlah dekrit dan sebuah konstitusi pastoral yang bernapaskan visi dan strategi dari sebuah Gereja yang berdialog dan memasyarakat lewat sorotan kebebasan beragama (Dignitatis Humanae), dialog dengan agama-agama lain (Nostra Aetate), dan Gereja yang memasyarakat (Gaudium et Spes). Sebagaimana Yohanes Paulus II menandaskan dalam surat edarannya Ut Umum Sint (1995, art.8), setiap dokumen konsili mesti ditafsir dalam terang semua dokumen lain. Dan sejarah mencatat bahwa Paulus VI, ketika mengumumkan Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 1964), juga mengatakan bahwa sebetulnya konstitusi tentang liturgi (1963) sebaiknya disempurnakan sejalan dengan eklesiologi yang dipaparkan dalam Lumen Gentium. 22 Di situlah dapat kita memetik kriteria-kriteria kunci untuk menafsir konstitusi tentang liturgi secara tepat. Tolok Ukur Membaca SC 21 Bekkum, Willem van, “The Liturgical Revival in the Service of the Missions”, dalam The Assisi Papers. Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1957, 95-112. Van Bekkum terpilih sebagai anggota komisi persiapan naskah SC dengan tidak kurang dari 1338 dari 2000 suara dari para peserta konsili. Andaikata konsili diselenggarakan satu dasawarsa lebih awal, yaitu pada tahun 1950an ketika Presiden Sukarno mengumandangkan cita-cita nasional dalam ideologi Trisaktinya - berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian di bidang kebudayaan – sangat boleh jadi cita-cita konsili lebih mudah mengakarkan diri dalam kehidupan, kultur, dan karya Gereja Katolik Indonesia. 22 Konstitusi Liturgi tidak jadi disempurnakan dalam terang ajaran Lumen Gentium karena agenda konsili dinilai terlalu padat. Walau demikian, tanggapan Paulus VI (dan kemudian Yohanes Paulus II) itu tepat: SC mesti ditafsir dalam terang LG serta semua dokumen yang menyusulnya. 8 Kriteria Pertama: kita tidak menafsir SC secara harafiah, secara kaku, secara fundamentalis. Karena konstitusi ini berupa hasil awal dari konsili, tidak mengherankan kalau ditemukan kalimat-kalimat kompromistis yang seakan-akan ‘mengawasi’ atau malah mengurangi setiap langkah maju; dokumen ini dihasilkan sebelum para peserta konsili sempat membuka diri lebih jauh. Misalnya, konselebrasi dibatasi pada kesempatan-kesempatan khusus saja; komuni dalam dua rupa hanya diperbolehkan secara sangat istimewa; pada prinsipnya bahasa-bahasa setempat dibatasi pada liturgi sabda saja dengan pengecualian khusus untuk “daerah misi”; 23 dan, hanya dengan pengecualian pula dapat seorang imam mendaraskan Ibadat Harian dalam bahasanya sendiri. Sepertinya pintu pembaruan hendak dibuka, tapi kapan saja dapat ditutup kembali! Jadi, kita menerima prinsip dan pendasaran pembaruan liturgi sebagaimana terpapar dalam SC, tetapi catatan-catatan ‘penyeimbang’ yang hendak mempertahankan Ritus Latin, harus kita tafsir ulang dalam terang ajaran lain yang dihasilkan pada dua tahun berikutnya. Secara eklesiologis Sacrosanctum Concilium mesti dipahami seturut wawasan eklesial Lumen Gentium, yaitu Gereja bagai misteri, Gereja bagai umat Allah dalam perjalanan. Pun pula, dalam Dekrit Ad Gentes diharapkan Gereja yang, menampung untuk suatu pertukaran yang mengagumkan semua kakayaan para bangsa … meminjam dari adat-istidadat dan tradisi-tradisi para bangsanya, dari kebijaksanaan dan ajaran mereka, dari kesenian dan ilmu-pengetahuan mereka, segala sesuatu yang dapat merupakan sumbangan untuk mengakui kemuliaan Sang Pencipta. (AG art.22) Kriteria Kedua: kita mesti memperhatikan caranya para peserta konsili sendiri menafsir konstitusi liturgi. Justru mereka yang menghasilkan dokumen ini adalah tokoh-tokoh Gereja paling pertama yang membarui perayaan-perayaan liturgis di keuskupannya masing-masing di seantero dunia. Sekedar contoh: kita dapat membaca pandangan Paulus VI, Uskup Roma, yang nota bene menandatangani dokumen liturgi ini atas nama seluruh peserta konsili. Sembilan bulan sebelum konsili berakhir, pada Hari Minggu pertama Masa Prapaska (7 Maret 1965), dan tidak kurang dari empat tahun sebelum Buku Misa hasil konsili sempat terbit, Paulus VI sudah merayakan Misa yang paling perdana dalam bahasa Italia. Di Paroki Segala Orang Kudus (Ognisannti), Roma, dipasang sebuah meja di depan panti imam sehingga Paulus VI dapat memimpin perayaan Ekaristi sambil menghadap umat. Lagi, umat berdiri untuk menerima komuni. Kala itu sesi konsili keempat belum lagi dibuka (Oktober 1965), namun gebrakan Paulus VI ini sudah mendaluwarsakan kalimat-kalimat SC yang mengimbau agar lagu-lagu Gregorian dan sedapat mungkin bahasa Latin dipertahankan. Dan bukan hanya di Roma sekat-sekat Latin lekas dilepaskan - di Perancis, Jerman, Belanda dan Belgia sebelum konsili berakhir seluruh Misa sudah dirayakan dalam bahasa-bahasa setempat. 24 Kriteria Ketiga: Konstitusi Apostolik 1969. Empat tahun sesudah Misa perdana itu, Komisi Liturgi menerbitkan Edisi Tipica Missale Romanum, yaitu ritus Misa yang dibarui seturut kehendak konsili. Dan Paulus VI menulis pengantarnya (‘Konstitusi Apostolik’). Dalam pengantarnya ini kita membaca bagaimana Paulus VI sendiri menafsir SC. Untuk menerangkan 23 “…pelbagai tempat dan situasi [yang] mendesaklah penyesuaian Liturgi secara lebih mendalam.” (SC art. 40). Bertolak dari anak kalimat ini, seluruh perayaan sakramen-sakramen segera dirayakan dalam bahasa setempat. 24 Dalam pengutan suaranya para uskup peserta konsili mendukung usulan supaya ibadat-ibadat liturgis, termasuk Ekaristi, dirayakan dalam bahasa-bahasa setempat, dengan 2,000 suara pro ketimbang hanya 200 suara kontra. 9 tujuan utama dari seluruh pembaruan liturgi, Paulus VI menutip SC art.21: “Supaya lebih terjaminlah bahwa Umat kristiani memperoleh rahmat berlimpah dalam liturgi.” Tujuan itu akan tercapai kalau “dalam pembaruan itu naskah-naskah dan upacara-upcara diatur sedemikian rupa, sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus yang dilambangkan.” Dan hasil yang diharapkan: “Dengan demikian Umat kristiani sedapat mungkin menanggapnya dengan mudah, dan dapat ikut serta dalam perayaan secara penuh, aktif, dan dengan cara yang khas bagi jemaat.” Lex Orandi, Lex Credenda: Ajaran Bergeser Pembaruan perayaan sakramen-sakramen mencerminkan perkembangan dalam ajaran liturgi. Sakramen-sakramen bukan lagi ritus imam melainkan perayaan umat. Kini Liturgi Sabda disejajarkan dengan Liturgi Ekaristi, dus mimbar sabda sama penting dengan meja altar. Dalam pengantar Buku Misa 1969 itu, Paulus VI mengutip SC art.51 untuk menggarisbawahi salah satu pembaruan paling istimewa dalam liturgi: “Agar santapan sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada umat beriman, hendaklah khazanah harta Alkitab dibuka lebih lebar, sehingga dalam kurun waktu beberpa tahun bagian-bagian penting Kitab Suci dibacakan kepada umat.” Pergeseran dari liturgi selaku ritus belaka menjadi perayaan kehidupan iman adalah mustahil tanpa salah satu gerakan pembaruan yang paling penting, yang paling berpengaruh dan paling bermanfaat bagi iman dalam kehidupan sehari-hari, yaitu gerakan alkitabiah selama belahan pertama abad ke-20. Pada masa pra-Konsili, siklus bacaan Mingguan tinggal tetap, yang itu-itu saja tiap-tiap tahun, dan, kecuali ada pesta orang kudus (ada orang kudus kelas I, kelas II dan kelas III), bacaan Hari Minggu diulangi tiap hari biasa selama pekan berikutnya. Sama penting dengan sajian santapan Sabda dalam siklus tiga tahun pada Hari Minggu, dan dua tahun pada hari-hari biasa dalam Perayaan Ekaristi adalah syering dan pendalaman iman dalam kelompokkelompok umat, entah di Komunitas Basis Gerejawi, entah dalam salah satu bentuk pengelompokan lain. 25 Menarik bahwa SC No.54 sekitar bahasa Latin dan lagu Gregorian dalam perayaan Ekaristi tidak dikutip oleh Paus Paulus VI dalam Konstitusi Apostoliknya: Sesuai dengan artikel 36 Konstitusi ini, dalam Misa suci yang dirayakan bersama Umat bahasa pribumi dapat diberi tempat yang sewajarnya, terutama dalam bacaan-bacaan dan doa Umat, dan – sesuai dengan situasi stempat – juga dalam bagian-bagian yang menyanggut Umat. Tetapi hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama mengucapkan atau menyanyikan dalam bahasa Latin juga bagian-bagian Misa yang tetap yang menyangkut mereka. Namun bila pemakaian bahasa pribumi yang lebih luas dalam 25 Saya tidak menguraikan hal istimewa ini lebih lanjut karena ada presentasi oleh dosen teologi alkitabiah, Dr. V. Indra Sanjaya. Selama 40an tahun cara menafsir Alkitab bersama umat dimatangkan secara luar biasa. Awal kerasulan/pastoral Kitab Suci di Indonesia dirintis oleh Martin Harun, OFM pada tahun 1970an, bermula dengan para mahasiswa di Jakarta. Nyatanya sudut pandang kita/peserta syering cukup menentukan pesan/warta yang kita peroleh. Untuk sebuah tafsiran menyeluruh dari perspektif ‘penciptaan’ yang berlawanan dengan perspektif ‘imperium’ lih. Wes Howard Brook, “Keluarlah, Wahai Umat-Ku!”: Panggilan Allah dalam Alkitab agar Keluar dari Imperium. Maumere: Penerbit Ledalero, 2014, xxv-893 hlm. Hermeneutika ‘interkultural’, di mana hasil tafsiran dari orang dari satu benua atau golongan sosial tertentu dibandingkan dengan hasil dari benua atau golongan sosial lain, pun tafsiran profesional dibandingkan dengan tafsiran umat biasa, memperdepankan betapa jauhnya konteks turut menentukan tafsiran. Lih. Hans de Wit (et al.), Through the Eyes of Another: Intercultural Reading of the Bible. Amsterdam: Vrije Universiteit, 2004, xi-532 hlm. Juga, Hans de Wit, Empirical Hermeneutics, Interculturality, and Holy Scripture. Intercultural Biblical Hermeneutics Series No.1. Amsterdam: Vrije Universiteit, 2012, 96 hlm. 10 Misa nampaknya cocok, hendaknya ditepati peraturan art. 40 Konstitusi ini [lih. catatan kaki No.22]. Jadi, cuma enam tahun sesudah Konstitusi Liturgi diumumkan oleh Konsili, SC art. 54 sudah didaluwasakan. Masa Kreatif Limapuluh tahun lalu Gereja Katolik Indonesia tidak ketinggalan. Segera semua perayaan sakramen dialihbahasakan ke dalam bahasa yang jelas lagi indah. 26 Mendengar bahwa Concilium di Roma, yang menyusun semua buku liturgis baru, sudah menyiapkan pedoman untuk penggubahan Doa Syukur Agung baru oleh konferensi waligereja setempat, maka PWI Liturgi (kini Komisi Liturgi KWI) menerbitkan buku Doa Syukur Agung 1972 yang berisi lima Doa Syukur Agung untuk Masa Khusus, delapan untuk Masa Biasa, satu untuk Liturgi Perkawinan, dan satu lagi untuk Misa Anak-Anak. 27 Pada tahun 1970an juga ditawarkan tiga bentuk Liturgi Malam Paskah. 28 Pedoman Pastoral untuk Liturgi (1973) yang disusun oleh Komisi Liturgi MAWI cukup terbuka, juga Pesan MAWI Mengenai Pastoral Liturgi untuk Para Petugas Liturgi (1986). Masa itu semangat kreatif tengah menggelegak. Melihat betapa picik ‘petugas’ liturgi tamatan Roma sekarang ini, kita mesti bertanya: Apakah Gereja Indonesia dengan misinya berdialog dan bermasyarakat sungguh mau memasungkan diri kembali dalam bentuk-bentuknya liturgi Romawi serba kaku? Atau, apakah tidak semestinya kita kembali ke konsili sebagaimana ditafsir oleh peserta episkopalnya dan berani mulai lagi proses mempribumikan serta mengkontekstualisasikan ibadat liturgis agar mengungkapkan nilai-nilai perjuangan injili? 29 Jadi, sungguh aneh kalau seandainya separuh abad seusai konsili ada oknum-oknum klerikal yang berkubang dalam kalimat-kalimat ‘penyeimbang’ yang diartikan secara sempit/harafiah, apa lagi kalau seandainya ada anggota Komisi-Komisi Liturgi yang mengangkat diri menjadi ‘polisi kanisah’ dengan mengawasi setiap gerak-gerik pemimpin perayaan-perayaan sakramental. 26 Masa itu Marcel Beding (1933-1998) dari Harian Kompas, bantu ‘meluruskan’ bahasa Indonesia untuk terjemahan-terjemahan liturgis; hasilnya indah, sederhana, dan tepat sesuai pedoman SC No.50, “Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga lebih jelaslah makna masing-masing bagiannya serta hubungannya satu dengan yang lain. Dengan demikian umat beriman akan lebih mudah ikut-serta dengan khidmat dan aktif. Maka dari itu hendaknya upacara-upacara disederhanakan… Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sedangkan beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu, hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu nampknya memang berguna atau perlu.” 27 Buku ini dilengkapi Imprimatur dari Ketua PWI-Liturgi, Paul A. Sani, svd, Uskup Denpasar (1961-1972) yang adalah turut serta dalam semua sesi konsili (1962-1965). 28 Masa pasca-konsili itu adalah masa yang sangat kreatif. Misalnya, pada Liturgi Malam Paskah di pedalaman Flores dideklimasikan syair penciptaan gaya adat dalam bahasa daerah ketika api paska dinyalakan (di depan meja altar), pula Madah Pujian Paskah dibawakan dalam bentuk syair adat dalam bahasa daerah. Sakramen Ekaristi berbentuk lebih kreatif lagi ketika dirayakan di KBG pada masa Adven dan masa Prapaskah entah di kota entah di pedalaman, dan setiap pekan dalam Misa sekolah. Keyakinan iman dan perjuangan hidup sempat menyatu. 29 Ada sejumlah romo, termasuk yang dijuluki ‘dosen liturgi’, yang memasung diri pada tiap-tiap aturan liturgi sekian kaku-mati hingga perasaan dan harapan umat jadi korban. Sekedar contoh: Pada hari Selasa dalam Pekan Suci (31 Maret 2015), sebuah Misa Requiem dirayakan di Maumere untuk almarhumah Johanna Maria Pattinaja Seda, isteri Frans Seda (alm.). Bacaan yang ditetapkan untuk hari itu adalah Yohanes 13:21-33.36-38 tentang Yudas. Maka di tengah sidang perkabungan si pemimpin Misa berkhotbah melulu tentang pengkhianatan Yudas Iskariot. Dengan demikian si romo mengkhianati maksud pedoman liturgi sambil melecetkan keluarga yang berduka. Ketak mengikuti aturan liturgis kadang-kala bisa membawa dampak pastoral yang sungguh mengecewakan. 11 Para penyusun SC, yakni Paulus VI bersama peserta konsili lainnya, sudah lama melampaui catatan-catatan sempit itu, malah sebelum konsili sendiri berakhir. Jika kita berpegang teguh pada kalimat-kalimat itu, tanpa mempertimbangkan tafsiran para peserta konsili itu sendiri, tanpa menghiraukan perluasan visi mereka dari sesi ke sesi, tanpa menggunakan ‘tafsiran kanonis’ (setiap dokumen ditafsir dalam terang semua dokumen lainnya), kita sungguh pukul mundur hasil Konsili Yohanes. Akibatnya bakal fatal. Sebagaimana kita pelajari dari Revolusi Perancis, “Siapa yang menggerakkan revolusi setengah jalan, hanya menggali liang kuburnya sendiri.” MAKSUD UTAMA PEMBARUAN LITURGI: Membarui diri, Melakukan Perubahan Sebagaimana sudah disinggung di atas, tepat 50 tahun setelah Paulus VI merayakan Misa perdana dalam bahasa Italia, Uskup Fransiskus kembali ke Paroki Segala Orang Kudus, Roma, untuk mengenang kembali peristiwa monumental itu. Dalam khotbahnya Fransiskus mengangkat apa yang dipandangnya sebagai maksud utama dari seluruh proses pembaruan liturgi setengah abad sebelumnya: Konstitusi konsili, Sacrosanctum Concilium, mendefinisikan liturgi sebagai “sumber pertama yang tidak tergantikan bagi kaum beriman untuk menimba semangat kristiani yang sejati” (SC art.14). Jadi, pembaruan liturgi dimaksudkan untuk menegaskan kembali hubungan hakiki yang menyatukan kehidupan para murid Yesus dengan ibadat-ibadat liturgi. Perayaan liturgi bukan hal-ikhwal doktrin yang harus dipahami, atau sebuah ritus yang harus dipenuhi. Tentu liturgi juga adalah hal ini, tetapi pada dasarnya hakikatnya lain: liturgi adalah sumber kehidupan dan cahaya dalam perjalanan iman kita. Dalam liturgi kita merayakan kehidupan, mengibadatkan nilai dan keyakinan iman yang paling pokok (misteri iman), nilai yang menjiwai, mendorong serta mengarahkan kita dalam kehidupan sehari-hari. Tandas Paus Fransiskus: Gereja memanggil kita untuk memiliki dan mempromosikan kehidupan liturgis yang otentik, sehingga ada harmoni antara apa dirayakan dalam liturgi dan apa yang kita sendiri hayati dalam keberadaan kita sendiri. Liturgi menunjukkan bagaimana kita dapat mengungkapkan dalam hidup apa yang telah kita terima melalui iman dan apa yang telah kita rayakan (lih. SC, art.10). Dan justru maksud utama ini – agar “liturgi menunjukkan bagaimana kita dapat mengungkapkan dalam hidup apa yang telah kita terima melalui iman dan apa yang telah kita rayakan” – merombak caranya kita merayakan sakramen-sakramen. Umat tidak lagi ‘menghadiri’ Misa yang dirayakan oleh imam seorang diri, kini seluruh umat merayakan Misa bersama. Alih-alih menjadi obyek dari perayaan-perayaan liturgis umat-awam menjadi subyeknya. Pastor-tertahbis tidak lagi merayakan sakramen atas nama umat yang lain, tetapi bersama umat seluruhnya; imam tampil bukan lagi bagai ‘mediator’ antara umat-awam dan Allah, melainkan selaku ‘pemimpin’ komunitas beriman. Sekarang digarisbawahi bahwa Kristus hadir dalam diri umat, dalam 12 perkumpulan umat, dalam Sabda yang diwartakan, dalam Sakramen-sakramen yang dirayakan. 30 Perubahan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa setempat menyatakan caranya Gereja memaknai dirinya sebagai persekutuan jemaat-jemaat, di mana setiap Gereja lokal adalah keseluruhan Gereja di tempat bersangkutan (pola lingkaran-persekutuan) – bukan suatu cabang yang dikelola dari pusat di Roma (pola piramidal-feodal). Singkatnya, ibadat liturgis Gereja beralih dari ritusritus serba kaku-mati menjadi perayaan-perayaan penuh kehidupan. MAJU ATAU MUNDUR? Turut Aktif Terlibat dalam Karya Keselamatan/Pembebasan Memasang Patokan Pasti Apa sebabnya ditemukan sementara imam dan sejumlah umat-awam yang hendak kembali ke masa lampau, dan mau mundur dari kemajuan gemilang Konsili Vatikan II? Kita tahu bahwa globalisasi ekonomi dan komunikasi sosial selama 30an tahun belakangan ini telah mematahkan kawasan-kawasan budaya homogen dengan memicu migrasi massal di seantero dunia. Akibatnya terwujud pola masyarakat yang semakin multi-etnik dan multi-religius. Jadi, tidak mengherankan jika timbul pula rasa bingung, takut, terancam. Norma budaya dan keyakinan kelompok, warisan masa lampau, tengah bermutasi menjadi larutan cara pandang dan beragam perilaku yang semakin individualistik. Menanggapi goncangan-goncangan berkelanjutan ini dalam setiap lapangan kehidupan, tak mengherankan jika timbul juga gerakan radikalisme reaksioner di lingkup budaya dan agama. Terancam, ada orang yang berkubang dalam pengokohan kepastian masa silam dengan mengukuhkan kesamaan-keseragaman, dan berpegang teguh pada rumusan dogmatik dan moral, sambil mencari keamanan dalam rubrik-rubrik seremonial serba absolut, konstan, tegas. Dengan demikian mereka membangun penyekat-penyekat tajam dan penentupenentu pasti untuk menyokong identitas diri serta jatidiri kelompoknya yang serba jelas. Kaum fundamentalis merancung yang memisah-belahkannya dari siapa pun yang digolongkan ‘di luar’ dan dari apa saja yang distigmatisasikan bagai ‘yang lain’. Gerak mundur dari wawasan Konsili Yohanes, termasuk upaya re-Romanisasi dan re-Latinisasi perayaan-perayaan liturgis, dapat dipahami sebagai salah satu wujud dari mereka yang terancam oleh dialog terbuka di dalam dunia yang semakin majemuk. Tolak menjadi rekan penziarah, mereka memasungkan diri kembali ke dalam benteng pertahanan pra-konsiliar. Syukur Alhamdulillah, ada pihak lain yang masih bergerak maju dalam roh dan cackrawala pemikiran konsili, yang tetap mengikuti lompatan orientasinya, yang berani mengambil risiko dengan melepaskan sekat-sekat golongan sempitnya, dan yang siap senantiasa melacakmengendus cara-cara bagaimana kita dapat berdialog dengan kehidupan dalam segala kekeruhan dan keruwetannya, di dalam dan di antara konteks-konteks aneka pola masyarakat yang semakin beragam. Eksplorasi iman ini sejalan dengan jiwa dan roh Konsili Vatikan II yang bersikap positif terhadap pluralitas budaya dan agama, serta rela berguru pada ‘tanda-tanda zaman’. 30 Hosti dan anggur diberkati menjadi tubuh Kristus yang bangkit. Kristus kosmik dianugerahkan sebagai rezeki/santapan bagi umat dalam perjalanan, bukan bagai obyek mistis-magis. Yesus bersabda “Ambillah dan makanlah …” Terjemahan ke dalam bhs. Indonesia keliru; accipite… [bhs. Yunani PB λαμβάνω] tidak berarti ‘terimalah’ melainkan ‘Ambillah’. Kata ‘terimalah’ seakan-akan membuat umat pasif. ‘Ambillah’ mengandaikan kita dengan sadar berkomuni secara aktif, dengan iman, dan siap bertanggungjawab – sesuai maksud Yesus. 13 “Datanglah Kerajaan-Mu di atas Bumi…”: Sekedar menyimpulkan: dalam perayaan-perayaan liturgis kita meragakan - melalui tanda-tanda yang menghadirkan Kristus - apa yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan credo baptisan, sebagaimana dikutip oleh rasul Paulus, kita memberi kesaksian pada masyarakat yang kita idamkan, yang kita impikan, yang kita perjuangkan, di mana, “tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki dan perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Gal 3:28). Dan jika kita dipersatukan dengan Kristus dalam Ekaristi dan menjadi tubuh-Nya, maka dalam hidup seharihari kita mengumandangkan kedelapan Sabda Bahagia (Mat 5:1-12) sebagai suatu ‘Pernyataan Masyarakat Baru’ (tanpa lupa kedelapan Sabda Celaka (Mat 23:13-36) yang Yesus alamatkan kepada pimpinan agama). Pun pula kita insyaf bahwa pada Pengadilan Terakhir nanti, tidak akan ada pertanyaan menyangkut doa atau liturgi, tidak ada pemeriksaan seputar penganutan agama, identitas etnis atau golongan sosial. Semua pertanyaan yang dilontarkan Sang Hakim Agung dan yang menantang kita berputar sekitar jantung-hati kehidupan Kristiani, “Aku lapar … Aku haus… Aku seorang asing… Aku telanjang… Aku sakit… Aku di dalam penjara…” (Mat 25:31-46). Dalam Perayaan Ekaristi Kristus Kosmik menghadirkan diri-Nya (maka hosti biasanya berbentuk lingkaran, lambang kosmos), karena “…segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia… Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.” (Kol 1:15-20). Jadi, dalam perayaan-perayaan liturgis kita merayakan nilai-nilai humanisme Kristiani yang kita perjuangkan dalam beragam situasi masyarakat majemuk. 31 Inkarnasi berarti bahwa kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus adalah kenyataan saat ini, adalah daya dorong sejarah, aktif dalam setiap generasi umat beriman. Dalam bahasa Prefasi pada hari raya Kristus Raja semesta alam, Kristuslah yang menundukkan alam semesta di bawah kekuasaan-Nya. Kristuslah yang akan mempersembahkan kepada-Mu, ya Bapa mahaagung, pemerintahan abadi yang mencakup semesta alam, pemerintahan yang berpedoman kebenaran dan kehidupan, pemerintahan yang memancarkan kesucian dan rahmat, pemerintahan yang berlimpahkan keadilan, cinta kasih dan damai. Kita merayakan ibadat-ibadat liturgis agar seluruh hidup kita mengalirkan puji-syukur yang agung. Dari perjumpaan ke perjumpaan, dari kejadian ke kejadian, dari hari ini hingga fajar menyingsing hari esok, dari bulan sabit ke bulan purnama, kita menyadari kehadiran Tuhan yang Mahamulia, yang Mahaagung, Sang Pembebas. Hidup kita, selaku orang beriman dan peserta aktif dalam masyarakat, mengungkapkan syukuran kita. Apa saja yang kita hadapi, siapa saja yang kita jumpai, semuanya menyadarkan kita bahwa seluruh kehidupan dipersembahkan bagi Tuhan selaku lagu syukur agung. Seluruh hidup kita rayakan, “dengan perantaraan Kristus, dan bersama Dia serta bersatu dalam Roh Kudus, [agar dapat] menyampaikan kepada-Mu, Allah Bapa yang mahakuasa, segala hormat dan pujian, kini dan sepanjang masa. Amin!” 31 Untuk uraian singkat, sahaja lagi inspiratif seputar intisari gerakan injili yang menjadi maksud dan tujuan Gereja, lih. Leonardo Boff, Kekristenan: Sebuah Ikhtisar. Maumere: Penerbit Ledalero, 2014, xii-205 hlm. 14