INKULTURASI GEREJA KATOLIK DI INDONESIA Problematik, pengertian dan teologi inkulturasi E. Martasudjita Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Abstract: The discourse of inculturation is often constricted in the liturgical field. But actually the inculturation is a very far-ringing and complex problem. The problem of inculturation encompasses all aspects of the church’s life. Therefore the inculturation needs an interdisciplinary approach. The theological discussion of inculturation is still now looking for direction. This article would give contribution to make it clear, so that we can understand the problem and meaning of inculturation as well as the theological foundation, the step and the various challenge of inculturation today. May it helps us finding a direction of the inculturation of the Catholic Church in Indonesia. Keywords: inkulturasi, indonesianisasi, evangelisasi, iman dan budaya Tema “Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia” merupakan permasalahan teologis yang amat luas dan kompleks. Persoalan ini mencakup dan mengandaikan berbagai disiplin ilmu lainnya. Justru karena begitu luas dan besarnya masalah ini, tema inkulturasi perlu mendapatkan penjernihan. Dalam pustaka berbahasa Indonesia, pada tahun 2005 ini terbit buku Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia tulisan Dr. H.JW.M. Boelaars, OFMCap1 . Buku yang merupakan terjemahan disertasi Dr. Boelaars ini membahas proses perubahan dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. Dr. Boelaars menyadari bahwa Gereja Katolik di Indonesia sedang terus berproses menuju kedewasaan Gereja semesta bercorak Indonesia2 . Proses tersebut merupakan proses yang masih terus berjalan dan baru akan selesai “kalau Gereja Katolik Indonesia 100% Indonesia maupun 100% Katolik”3 . Proses 1 Yogyakarta: Kanisius, 2005, 540. 2 Dr. H.JW.M. Boelaars OFMCap, Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, 11. Ibid., 339. 3 E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia 127 inkulturasi memang tidak mudah dilaksanakan, tetapi hal itu juga bukan tidak mungkin. Itulah sebabnya diperlukan terus menerus diskusi yang sifatnya luas, mendalam dan interdisipliner untuk semakin menemukan arahnya yang jelas. Dalam hal ini tentu saja diperlukan usaha penjernihan yang terus menerus. Artikel ini ingin memberikan suatu sumbangan bagi penjernihan tersebut. Tentu saja artikel ini tidak bisa memberikan sumbangan yang menyeluruh dan tuntas terhadap tema inkulturasi Gereja Indonesia. Namun diharapkan, semoga tulisan ini mampu memberikan penjernihan dalam beberapa hal, khususnya: problematik dan cakupan inkulturasi, pengertian dan dasar teologi inkulturasi, serta tahap-tahap dan tantangan inkulturasi sekarang ini dan di masa depan. Artikel ini tentu saja lebih suatu kerangka dasar atau sketsa yang masih membutuhkan diskusi dan pendalaman lanjutan. Dalam tulisan ini saya mendekati permasalahan inkulturasi dalam Gereja Katolik di Indonesia dan menggalinya menurut perspektif ajaran dan teologi Gereja Katolik. 1. Problematika Inkulturasi Gereja Tema inkulturasi merupakan tema teologis yang sangat luas dan kompleks. Tema ini juga tidak mudah. Namun tema inkulturasi yang bertolak dari tema teologis hubungan Gereja dan budaya itu termasuk tema sentral dalam Gereja Katolik dan teologi pada abad XX dan selanjutnya4 . Ada banyak pertanyaan dan permasalahan di sekitarnya. Pertama ialah masalah cakupan. Orang sering memikirkan inkulturasi hanya dalam konteks liturgi saja, entah soal pakaian, musik, tata ruang liturgi dst. Padahal masalah inkulturasi itu bukan hanya bersangkut paut dengan liturgi saja, melainkan juga berbagai bidang kehidupan iman, entah itu pewartaan, persekutuan, atau pun pelayanan. Inkulturasi juga bisa menyangkut berbagai ranah kehidupan bersama dalam Gereja, entah mencakup segala tradisi, adat kebiasaan, kehidupan membiara, berkeluarga atau pun membujang dst. Kedua ialah masalah makna inkulturasi itu sendiri. Kebanyakan orang menggambarkan inkulturasi sebatas pada “kulitnya” saja. Bila orang sudah menggunakan gamelan dalam misa kudus, lalu imamnya memakai pakaian adat (misal di Jawa: surjan-blangkon), orang sudah menganggap: “Inilah inkulturasi”. Padahal inkulturasi bermakna lebih luas dan lebih dalam lagi. Inkulturasi itu meliputi seluruh pengungkapan, penghayatan 4 Walter Kasper, “Kirche und Kultur. Evangelisierung und Inkulturation”, dalam Bernhard Fraling dkk (ed.), Kirche und Theologie im kulturellen Dialog, Freiburg im Breisgau-Basel-Wien: Herder, 1994, 157. 128 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005 dan perwujudan iman kristiani itu sendiri dalam seluruh kehidupan kita. Ketiga ialah masalah dasar teologis inkulturasi. Sebagian orang masih memandang bahwa dasar pokok inkulturasi adalah misteri inkarnasi, yakni Sang Allah Putra yang menjadi manusia. Padahal kita semestinya memahami inkulturasi berdasarkan keseluruhan misteri Yesus Kristus yang bukan hanya menjelma tetapi juga hidup, berkarya dan terutama wafat serta bangkit (misteri Paskah) hingga mengutus Roh Kudus-Nya kepada Gereja. Keempat ialah masalah tegangan antara iman seluruh Gereja (universal) dan penghayatannya secara lokal. Ini soal yang tidak mudah. Banyak orang yang mengharapkan agar segala unsur budaya setempat bisa dimasukkan ke dalam khazanah kehidupan iman Gereja. Misalnya saja ada orang yang mengusulkan pemakaian jenis makanan pokok setempat sebagai pengganti roti dan anggur dalam perayaan Ekaristi. Usulan untuk mengganti roti dan anggur dengan makanan pokok daerah tersebut tentu saja tidak diterima. Sebab iman yang kita akui dan kita hayati pertamatama adalah iman seluruh Gereja. Kelima ialah masalah benturan budaya. Iman kristiani yang kita terima di Indonesia adalah iman yang diwartakan oleh orang Eropa. Itu pun menumpang pada masa kolonialisme Barat. Lalu bagaimana iman Gereja yang diwartakan oleh para misionaris itu dihayati dan diungkapkan oleh orang Indonesia? Bagaimanapun juga Injil Yesus Kristus itu dibawa, diungkapkan, dan diwartakan dengan baju budaya tertentu, sebut saja: Yahudi-Yunani-Romawi- dan Barat. Bagaimana realitas budaya “asing” yang menjadi badan atau bungkus Injil Yesus Kristus bisa diterima dan dihayati oleh orang-orang beriman di Indonesia? Dalam hal ini mau tidak mau terjadilah benturan budaya. Contoh konkretnya: bagaimana simbolsimbol kristiani, seperti simbol liturgi (kasula, roti-anggur, tepukan pada sakramen krisma dsb), dapat dipahami dan dihayati orang Indonesia? Keenam ialah masalah pluralitas. Masalah ini muncul sebagai buah dari adanya inkulturasi. Dengan semakin banyaknya unsur budaya lokal yang masuk dalam khazanah kehidupan iman Gereja setempat, maka di dunia ini bisa terjadi aneka macam bentuk dan model penghayatan iman Gereja. Ada kemungkinan bahwa orang Katolik di daerah tertentu tidak dapat mengikuti kegiatan Gereja di daerah lain, karena di situ serba lain. Ketujuh ialah masalah interdisipliner. Terkadang orang hanya mendekati inkulturasi hanya dari sisi biblis, teologis atau liturgis saja. Sayangnya sisi budaya-antropologis, historis, sosiologis, ethnologis dsb kurang digali. Cara terbaik ialah bahwa para ahli dari berbagai cabang disiplin ilmu itu berbicara bersama tentang masalah inkulturasi ini. Masalah lebih lanjut ialah keterbatasan tenaga ahlinya dan bagaimana mengumpulkan mereka. E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia 129 2. Penjernihan pengertian inkulturasi 2.1. Peristilahan Kita mengenal berbagai istilah yang menyertai kata “inkulturasi” ini. Ada istilah indonesianisasi, indigenisasi (dari bahasa Latin indigena = pribumi), evangelisasi, implantasi, adaptasi, akomodasi, kontekstualisasi. Istilah inkulturasi berasal dari lingkungan teologi misi. Istilah inkulturasi ini dipopulerkan oleh Joseph Mason, seorang misiolog dari Belgia, pada tahun 19595 . Kata “inkulturasi” berhubungan dengan kosakata antropologi: enkulturasi (=penyesuaian seseorang ke dalam suatu budaya tertentu) dan akkulturasi (= pertemuan antar budaya dan penerimaan unsur-unsur budaya dari suatu budaya asing). Istilah inkulturasi semula digunakan dalam khazanah diskusi teologis, lalu digunakan dalam dokumen Yesuit pada Kongregasi Jendral pada tahun 1974/1975. Baru pada sinode para Uskup tahun 1977 istilah inkulturasi diterima dan digunakan dalam suatu dokumen resmi Gereja 6 . Kemudian Sri Paus Yohanes Paulus II biasa menggunakan istilah inkulturasi ini dalam beberapa ajarannya7 . (no. 53). Kini, istilah inkulturasi sudah menjadi kosakata yang umum dan diterima di mana-mana. 2.2. Makna inkulturasi Problematik inkulturasi sebagaimana diungkapkan di atas memerlukan suatu penjernihan pengertian inkulturasi. Saya berpendapat bahwa pengertian inkulturasi bukanlah sekedar masalah: bolehkah imam memakai surjan dan blangkon (pakaian adat Jawa) dengan dikalungi stola pada saat memimpin Ekaristi? Inkulturasi bukan juga sekedar bolehkah menggambar Yesus dan para Rasul ala orang Jawa, orang Bali, orang Dayak, orang Flores? Inkulturasi juga bukan sekedar membangun gedung gereja ala adat Jawa, Batak, Toraja, Minahasa, dsb. Inkulturasi juga bukan hanya masalah penggunaan istilah daerah atau setempat untuk perbendaharaan istilah iman Gereja, misalnya: Gusti Pangeran, tunggil dat (bahasa Jawa untuk menerjemahkan kata sehakekat – homousios). Pengertian inkulturasi bukanlah sekedar menunjuk persoalan bagaimana mengungkapkan iman kristiani, yang kita warisi dari iman para Rasul hingga sejarah Gereja 5 Giancarlo Collet, “Inkulturation”, dalam P. Eicher (ed.), Neues Handbuch theologischer Grundbegriffe, München: Kösel, 1991, 396. 6 Dokumen hasil sinode para uskup tahun 1977 itu berjudul: Ad populorum Dei nuntius (lih. no. 5). Namun sebenarnya para Uskup di Asia telah menggunakan istilah inkulturasi pada dokumen FABC I di Taiwan pada tahun 1974. Lihat: His Gospel to Our People, vol. 2, Manila: Cardinal Bea Institute, 1976, 332. 7 Misalnya saja: dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae no. 53; Ensiklik Redemptoris Missio no 52 dan 54. 130 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005 selanjutnya, ke dalam budaya, bahasa dan seluruh cara kehidupan orang setempat atau pribumi. Lalu inkulturasi harus dimengerti bagaimana? Sebaiknya kita memahami inkulturasi sebagai suatu proses yang terus menerus, dalam mana Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosio-politis dan religius-kultural dan sekaligus Injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah dan mentransformasikan situasi tersebut dan kehidupan orang-orang setempat.8 Dari pengertian ini kita bisa menggali beberapa poin penting: Pertama, inkulturasi bukanlah sekedar suatu cara pengungkapan iman Gereja universal ke dalam tata cara budaya atau bahasa tertentu yang setempat saja, tetapi juga mencakup penghayatan iman dalam hidup konkret yang secara mendasar diubah dan ditransformasikan oleh Injil Yesus Kristus yang diimani itu. Masalah pengungkapan iman itu mencakup rumusan-rumusan (misalnya: teks-teks berbahasa Indonesia atau daerah), cara mengekspresikan iman kita ke dalam bentuk visualisasi tertentu (seni lukis, seni tari, seni suara dst), juga berbagai simbol-simbol religius dan liturgi kita. Tampaknya inkulturasi dalam hal pengungkapan iman ini relatif lebih mudah dibicarakan dan didiskusikan. Akan tetapi masalah inkulturasi itu terutama mencakup transformasi hidup bukan hanya dalam arti umum, tetapi juga amat konkret. Inilah bidang penghayatan iman. Apakah kita sesudah menjadi orang kristiani sekian lamanya telah sungguh-sungguh menjadi seorang kristiani sejati? Inilah masalah yang tetap menjadi bahan permenungan yang tiada habis-habisnya. Kita sendiri mengalami betapa susahnya menjadi orang kristiani yang baik. Betapa orang-orang kristiani nyatanya masih suka main judi, minum narkoba, ikut arus dalam hal hedonisme, konsumerisme, korupsi, pelanggar peraturan hidup bersama dst. Orang kristiani yang baik ialah orang kristiani yang hidupnya sudah sungguh-sungguh sesuai dengan nilai-nilai Injil. Nilai-nilai Injil itu bukan hanya menyangkut nasehat-nasehat Injil saja, tetapi juga kehidupan yang sudah menjadi serupa dengan Yesus Kristus dalam seluruh seginya. Kedua, inkulturasi juga bukan hanya masalah teori, otak atau pemikiran saja. Kalau masalahnya hanya soal teori, kita dapat mengatasinya jauh lebih mudah. Asal semua ahli mau berkumpul, didukung para pejabat Gereja dan dana yang besar, kiranya bisa dibayangkan akan adanya kerangka pemikiran bersama mengenai inkulturasi. Masalahnya ialah bahwa inkulturasi juga menyangkut masalah penghayatan. Inilah masalah yang menyangkut persoalan eksistensial yang mengikutsertakan seluruh diri manusia, termasuk prasangka, praduga, perasaan, disposisi batin dan tingkah laku, tabiat, kebiasaan dan tradisi. Kalau kita sudah berbicara mengenai penghayatan iman, rasanya kita mengalami kesulitan besar. Kita 8 Bdk. Giancarlo Collet, Op.cit., 395; E. Martasudjita Pr, Pengantar Liturgi. Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1999, 79. E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia 131 ambil saja salah satunya, yaitu masalah perasaan. Sama-sama orang Jawa saja, ternyata ada banyak perbedaan. Antara orang Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur sudah ada perbedaan gaya dan model. Belum lagi di antara orang tua dan orang muda ada perbedaan tuntutan dan tingkat kepuasannya. Yang tua Jawa suka misa dengan musik gamelan, sedangkan yang muda barangkali lebih suka dengan iringan musik orkes atau band. Ketiga, inkulturasi itu mencakup proses transformasi budaya yang didorong, diarahkan dan dijiwai oleh Injil. Ada banyak pengertian budaya itu sendiri. Ada banyak definisi tentang kebudayaan. Dan istilah ini terus diperdebatkan oleh para ahli. Kata “budaya: berasal dari kata budi-daya. Sinonimnya ialah peradaban yang berasal dari kata Arab “adaba” yang berarti mendidik. Kata “budaya” ini digunakan untuk menerjemahkan kata “kultur-culture-cultuur” dari kata Latin cultura, yang berasal dari kata kerja colere (=mengolah tanah). Dari pengertian cultura ini, kebudayaan menunjuk segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia. Itu bisa mencakup macammacam hal, seperti kepercayaan, adat-istiadat, kebiasaan, pola pikir, kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi, gaya hidup dsb. Kita bisa mengikuti pandangan para Bapa Konsili Vatikan II yang berkata bahwa kebudayaan itu “segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya” (GS 53). Dalam problem inkulturasi, pertanyaannya menjadi: sejauh mana Injil Yesus Kristus telah mempengaruhi dan memiliki daya ubah terhadap kebudayaan manusia itu. Karena budaya yang mau diubah oleh Injil itu mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, maka inkulturasi juga sungguhsungguh mencakup seluruh kehidupan manusia. Tujuan pokok inkulturasi lalu terletak pada perubahan eksistensial seluruh diri manusia dengan seluruh dimensinya berdasarkan Roh Injil Yesus Kristus itu. Karena manusia itu sangat konkret, artinya: selalu terikat pada budaya tertentu, maka persoalan inkulturasi Gereja juga sangat konkret. Inkulturasi di Jawa bisa berbeda dari inkulturasi di Kalimantan, di Flores, Sumatra, Sulawesi, atau Papua dsb. 3. Kilasan historis singkat inkulturasi Gereja Untuk memperjelas penjernihan makna inkulturasi, kita perlu belajar dari sejarah inkulturasi Gereja sendiri. Dari kilasan yang dibuat singkat di sini, semoga kita bisa diteguhkan dalam beberapa poin pengertian inkulturasi9 . 9 Untuk mendapatkan gambaran pokok mengenai sejarah inkulturasi Gereja sejak Gereja perdana hingga zaman ini dan usaha inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia, lihat R. Hardawiryana SJ, Umat Kristiani Mempribumi Menghayati Iman Kristiani di Nusantara, seri Cara Baru Menggereja di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2000, 37-83. 132 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005 Kita mulai dengan bertanya: kapan inkulturasi Gereja dimulai? Sebagai istilah, inkulturasi memang baru ramai dibicarakan sejak tahun 1970an. Akan tetapi persoalan inkulturasi sudah amat sangat tua, bahkan setua dengan kekristenan itu sendiri. Bagaimana iman kristiani yang bertolak dari pengalaman iman akan Tuhan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit itu dihidupi, dihayati dan selanjutnya diungkapkan dalam lingkungan budaya tertentu sudah menjadi persoalan sejak awal mula berdirinya Gereja. Sudah sejak awal para rasul harus memeras otak bersama seluruh jemaat pertama untuk mempertanggungjawabkan imannya kepada Kristus dalam konteks religius Yahudi. Segala upaya yang menghubungkan peristiwa Yesus Kristus dengan teks-teks Perjanjian Lama adalah bentuk inkulturasi iman Gereja Perdana. Apabila kita membaca teks-teks Perjanjian Baru, kita akan menemukan banyak kutipan Perjanjian Lama. Di situ menjadi tampak bahwa iman kristiani masuk, dihayati dan diungkapkan dalam konteks budaya-religius Yahudi. Contoh yang amat sangat bagus ialah inkulturasi iman kristiani yang menggunakan seluruhnya simboltradisi religius Yahudi namun dengan Roh-Jiwa iman Kristiani akan Tuhan Yesus Kristus. Hal ini tampak misalnya pada gelar-gelar Yesus. Kebanyakan gelar-gelar Yesus itu diambilkan dari istilah-istilah yang sudah ada dalam Kitab Suci Perjanjian Lama atau pun tradisi Yahudi, namun kini gelar-gelar tersebut dikenakan kepada Yesus menurut terang iman yang betul-betul baru, yang berdasarkan pengalaman wafat dan kebangkitan Kristus. Kita mengenal perayaan Paskah yang mengenangkan wafat dan kebangkitan Kristus padahal istilah Paskah di situ sudah terdapat pada Perjanjian Lama dan Tradisi Yahudi. Banyak berbagai simbol liturgi kristiani yang berakar pada tradisi Yahudi. Dan masih banyak contoh lainnya. Inilah tahap inkulturasi besar Gereja periode pertama. Ketika Gereja Perdana berkembang dan memperoleh warga baru dari lingkungan Yunani, terjadilah gesekan-gesekan yang tidak jarang menimbulkan konflik dalam jemaat. Peristiwa timbulnya “sungut-sungut” di antara orang Yahudi yang berbahasa Yunani dan Ibrani karena pembagian untuk janda yang diabaikan merupakan contoh usaha inkulturasi kemudian (Kis 6:1-7). Ketika Gereja berkembang ke daerah nonYahudi, khususnya orang-orang yang berbahasa Yunani dan Romawi-Latin, Gereja memasuki periode inkulturasi besar yang kedua. Santo Paulus dkk tentu termasuk salah satu tokohnya. Perselisihan terjadi dengan hebat. Lihatlah Kis 15 saat dilangsungkan sidang di Yerusalem! Di situ muncul konflik mengenai perlu tidaknya penerapan hukum Taurat Yahudi untuk orang-orang non-Yahudi. Ini juga termasuk persoalan inkulturasi, yakni saat iman kristiani yang tadinya dibawa dari lingkungan Yahudi ke lingkungan orang-orang non-Yahudi, yaitu dari Yunani dan kemudian ke Romawi dan Eropa secara keseluruhan. Para ahli umumnya memandang E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia 133 masuk dan berakarnya Injil Yesus Kristus atau iman kristiani ke dalam benua dan masyarakat Eropa sebagai inkulturasi tahap kedua10 . Dari perspektif sejarah, inilah masa inkulturasi yang paling panjang, dari abad I hingga abad XX. Iman kristiani yang dirumuskan dalam Perjanjian Baru menurut pola pikir Yahudi harus diungkapkan dan dihayati menurut budaya Yunani-Romawi. Dogma-dogma kristologis dan Trinitas pada konsili-konsili ekumenis pada Gereja abad-abad pertama dan Patristik merupakan usaha perumusan Injil Yesus Kristus yang diimani Gereja sepanjang masa ke dalam budaya-bahasa Yunani-Romawi-Eropa. Di bidang liturgi pun terjadi suatu inkulturasi yang hebat. Berbagai pakaian dan upacara liturgi kristiani banyak diambilkan dari tradisi Yunani-RomawiEropa. Dengan gerakan misi dan evangelisasi besar-besaran pada akhir abad pertengahan (abad XVI) dan awal zaman modern (abad XVII), masuklah Injil dan iman kristiani ke bangsa-bangsa non-Eropa, yakni Amerika (Latin), Asia, Afrika. Sebenarnya sudah ada usaha inkulturasi tahap ketiga, namun hasilnya belum kesampaian. Itulah usaha pater-pater Yesuit, Matteo Ricci di Cina dan Roberto DeNobili di India pada abad ke17. Mereka mencoba mempersiapkan lahirnya Gereja setempat di negaranegara non Eropa. Tetapi usaha tersebut berakhir atas perintah Paus Benediktus XIV pada pertengahan abad XVIII. Praktis sejak itu inkulturasi iman kristiani ke bangsa-bangsa non-Eropa tidak terjadi. Seluruh Tradisi Gereja waktu itu adalah seluruh warisan, konsep, rumusan dari orangorang kristiani Eropa yang dijadikan norma dan ukuran bagi Gereja-Gereja di luar Eropa. Itu pula yang dibawa oleh para misionaris Eropa di Indonesia, khususnya pada abad XIX dan XX awal. Babak baru yang menandai secara resmi periode ketiga dari inkulturasi Gereja ialah Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II mengajarkan dengan penuh semangat dan jelas keabsahan (validitas) dan kemendesakan masalah inkulturasi ini11 . Konsili Vatikan II memang tidak atau belum menggunakan istilah inkulturasi itu sendiri. Akan tetapi konsili ini telah membuka dan bahkan mendorong agar Injil Yesus Kristus diwartakan kepada segala bangsa melalui bentuk dan pendekatan kebudayaan setempat. Para bapa Konsili Vatikan II meyakini bahwa kebudayaan setiap bangsa tidak bertentangan tetapi justru disembuhkan, diangkat dan disempurnakan dengan misteri penjelmaan dan penebusan Kristus (AG 9). Untuk mewartakan dan menghadirkan Injil keselamatan Kristus, “Gereja harus memasuki golongan-golongan itu dengan gerak yang sama seperti Kristus sendiri, ketika Ia dalam penjelmaan-Nya mengikatkan diri pada keadaan- 10 Karl Rahner, “Theologische Grundinterpretation des II. Vatikanischen Konzils”, dalam Schriften zur Theologie XIV, Zürich:Benziger, 1980, 294. 11 Lihat: AG 9.10.11.21. 22; GS 44.58; LG 13.17.23; NA 2; SC 37. 134 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005 keadaan sosial dan budaya tertentu, pada situasi orang-orang yang seharihari dijumpai-Nya” (AG 10). Para Bapa Konsili Vatikan II bahkan mengharapkan agar Konferensi-konferensi Waligereja mengupayakan perwujudan rencana penyesuaian warta Injil itu ke dalam kebudayaan masing-masing (AG 22). Salah satu ajaran pokok dari Konsili Vatikan II mengenai gagasan inkulturasi tampak dalam GS 58: “Allah yang mewahyukan diri kepada umat-Nya hingga penampakan diri-Nya sepenuhnya dalam Putera-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman. Begitu pula Gereja yang sepanjang zaman hidup dalam pelbagai situasi, telah memanfaatkan sumber-sumber aneka kebudayaan, untuk melalui pewartaannya menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beranekaragam. Tetapi sekaligus juga Gereja, yang diutus kepada semua bangsa dari segala zaman dan di daerah mana pun, tidak terikat secara eksklusif tak terceraikan kepada suku atau bangsa mana pun, kepada corak hidup yang khas manapun, kepada adat-istiadat entah yang lama entah yang baru. Seraya berpegang teguh pada tradisinya sendiri, pun sekaligus menyadari perutusannya yang universal, Gereja mampu menjalin persekutuan dengan pelbagi pola kebudayaan. Dengan demikian baik Gereja sendiri maupun pelbagai kebudayaan diperkaya”. Sekarang ini kita berada pada periode inkulturasi besar yang ketiga. Cirikhasnya ialah Injil Yesus Kristus diimani oleh Gereja Dunia12 . Artinya, orang-orang kristiani tidak hanya terdiri atas orang-orang Barat di Eropa, tetapi juga bangsa-bangsa non-Eropa, khususnya Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Meski Gereja di benua-benua non-Eropa itu merupakan buah karya para misionaris dari Eropa, namun Gereja-Gereja baru itu memiliki kebudayaan yang sama sekali baru dan berbeda dari kebudayaan Eropa. Walaupun begitu, masalah inkulturasi sama sekali bukanlah masalah monopoli Gereja di Asia, Afrika dst. Inkulturasi adalah masalah seluruh Gereja di manapun dan kapanpun, termasuk sekarang ini juga masalah Gereja di Eropa. Apalagi kebudayaan modern sekarang ini sangat ditandai pada suatu etape baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa, dan arus globalisasi dengan segala efeknya. Kemajuan iptek dengan globalisasinya itu juga bagian dari kebudayaan manusia modern yang bagaimanapun juga harus dihadapi dengan bijaksana dan tepat, agar pewartaan Injil tetap relevan, aktual dan kena untuk orang zaman ini. 12 Karl Rahner, Op.cit., 288. E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia 135 4. Dasar teologis inkulturasi Saya merumuskan dasar teologis inkulturasi pada misteri perutusan trinitaris yakni perutusan Putra oleh Bapa dalam Roh Kudus dan sekaligus misteri perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra. Kedua perutusan itu sama sekali tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya mengalir dari sumber yang sama yakni Allah Bapa 13 , dan keduanya melayani rencana keselamatan Allah Bapa yang terlaksana melalui PuteraNya Yesus Kristus dalam Roh Kudus di dalam rentang sejarah (dunia dan manusia). Perutusan Putra terwujud dalam misteri inkarnasi yang berpuncak pada misteri Paskah, yakni wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam perutusan Putra itu, Bapa melaksanakan dan mewujudkan rencana keselamatan-Nya dalam sejarah. Allah Putra menjalankan perutusan-Nya dengan menjelma menjadi manusia. Allah-Manusia itulah Yesus Kristus. Itulah misteri inkarnasi (dari kata Latin in + caro/carnis=daging). “Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak” (Gal 4:4-5). Dari kutipan kata-kata santo Paulus itu, penjelmaan Sang Putra yang menjadi manusia memiliki implikasi dan konsekwensinya menurut nasib hidup manusia pada umumnya, yakni Yesus lahir dari perempuan, dan Dia pun harus masuk ke dalam suatu budaya tertentu: menjadi orang Yahudi yang harus taat pada hukum Taurat. Yesus adalah orang Yahudi, hidup sebagai orang Yahudi, dididik dan bertumbuh dalam lingkungan dan tradisi Yahudi. Yesus adalah manusia konkret, dengan budaya dan tantangannya yang konkret dan tertentu pula, yakni lingkungan Yahudi. Dia mengikuti adat kebiasaan religius Yahudi pula. Misalnya saja pada Luk 2:21, Yesus disunatkan dan diberi nama pada hari kedelapan; Luk 2:41-52, Ia diajak orangtuanya pergi ke Yerusalem pada usia 12 tahun; lalu saat berkarya Yesus keluar-masuk sinagoga dst. Pada waktu karya publik-Nya, Yesus ini mewartakan Kerajaan Allah. Melalui hidup dan karya-Nya misteri Kerajaan Allah dihadirkan, yakni saat mana Allah memulai penyelamatanNya di dunia ini. Seluruh hidup dan karya Yesus itu berpuncak pada misteri wafat dan kebangkitan-Nya, yakni misteri Paskah. Dengan misteri PaskahNya itu, seluruh rencana keselamatan Allah Bapa mengalami puncak pelaksanaannya yang definitif. Seluruh kehidupan manusia dengan segala kebudayaannya ditebus dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus. Perutusan Roh Kudus terwujud dengan pencurahan Roh oleh Allah melalui Kristus kepada umat manusia. Bapa dan Putera mengutus dan 13 Gerhard Ludwig Müller, Katholische Dogmatik. Für Studium und Praxis der Theologie, Freiburg im Breisgau-Basel-Wien: Herder, 1995, 679. 136 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005 menganugerahkan Roh Kudus ke dalam hati kita (bdk. Yoh 14:26; 16:7; Rm 5:5). Roh Kudus ini dikaruniakan oleh Allah kepada kita sebagai jaminan keselamatan (bdk. 2 Kor 1:22; 5:5; Ef 1:14). Dengan kata lain, Roh Kudus diutus oleh Bapa dan Putra untuk membagikan, “menerapkan”, dan menjamin agar karya keselamatan Allah Bapa yang terlaksana melalui Putra-Nya Yesus Kristus itu sampai kepada masing-masing orang di dunia ini di segala zaman. Roh Kuduslah yang memungkinkan setiap orang di mana pun dan kapan pun bisa mengalami dan memperoleh karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus itu. Jadi, kalau perutusan Putra itu bertujuan bagi pelaksanaan rencana keselamatan Allah Bapa, maka perutusan Roh Kudus bertujuan untuk membagikan atau menjamin agar karya keselamatan Allah yang telah terlaksana melalui Kristus itu sampai kepada setiap orang di mana pun dan kapan pun. Dalam refleksi tulisan Lukas, perutusan Roh Kudus itu terjadi pada hari Pentakosta (Kis 2). Menurut Lukas, pada hari Pentakosta itu Gereja lahir. Saya mendasarkan inkulturasi pada perutusan trinitaris yang terdiri atas perutusan Putra dan perutusan Roh Kudus sebagai satu kesatuan perutusan yang tak terpisahkan dalam rangka sejarah keselamatan Allah. Namun dari rentang waktu atau tahap-tahapnya kita bisa memandang dasar inkulturasi ke dalam tiga misteri yang sekali lagi tak boleh dipisahkan, yakni misteri inkarnasi, misteri Paskah dan misteri Pentakosta. Pertama: dalam misteri inkarnasi, Allah menerima, memakai, dan mengangkat seluruh segi kehidupan manusia dengan segenap kebudayaannya sebagai medan pertemuan dan komunikasi dengan diri-Nya. Misteri penjelmaan ialah peristiwa masuknya Allah (yakni Allah Putra) ke dalam konteks hidup kita manusia dengan seluruh dimensinya, entah religius, sosiologis, antropologis, budaya, ekonomi, politik, lingkungan hidup dsb. Seluruh dimensi kemanusiaan dan kebudayaan ini dimasuki oleh Allah. Bila Dia memasuki kebudayaan manusia, itu berarti kebudayaan manusia berharga dan bernilai. Dan bahkan dengan masuknya Allah dalam sejarah kemanusiaan ini, kehidupan manusia dengan seluruh dimensinya disucikan karena diangkat oleh Allah. Kedua: dalam misteri Paskah, Yesus Kristus yang wafat dan bangkit menebus, membersihkan, memurnikan, dan menyucikan seluruh kehidupan manusia termasuk seluruh unsur kebudayaannya. Tidak semua dimensi kemanusiaan dan kebudayaan itu bersih dan murni. Ada unsurunsur yang kurang murni, kurang pantas, kurang bersih, sehingga harus dibersihkan, dimurnikan, singkatnya: ditebus. Kebiasaan persaingan, berperang, dendam, membunuh dsb tentulah bagian kehidupan manusia yang harus ditebus. Penebusan Kristus atas budaya persaingan, dendam, permainan kuasa dan uang itu bukanlah dengan menggunakan buldozer, senjata api atau kekuatan kekuasaan duniawi, melainkan dengan pengosongan diri (kenosis), perendahan diri hingga peristiwa salib-Nya di E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia 137 Golgota. Misteri wafat dan kebangkitan Kristus menebus kita dan seluruh dosa kita. Kristus tidak hanya menebus diri kita saja, tetapi juga seluruh kebudayaan yang kita bawa serta, yakni kebudayaan yang mempengaruhi dan mengiringi kehidupan kita. Ketiga: dalam misteri Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan kepada kita agar kita dapat berjumpa dengan Bapa melalui Putra. Kita telah menerima “Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: ‘ya Abba, ya Bapa!’” (Rm 8:15). Karena kita diangkat menjadi anak, maka kita menjadi ahli waris, “maksudnya orang-orang yang berhak menerima janjijanji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia” (Rm 8:17). Apabila kita membaca teks Kis 2:1-13, kita akan menyaksikan bahwa pada hari kelahiran Gereja (menurut versi Lukas) terjadilah mukjizat Pentakosta. Pencurahan Roh Kudus atas diri para rasul memungkinkan pewartaan Injil yang dijalankan oleh Gereja (para rasul) sampai kepada segala bangsa. Ketika Roh Kudus dikurniakan kepada para rasul, orang-orang dari berbagai bangsa di bawah kolong langit yang berkumpul di Yerusalem menjadi bingung, heran dan kagum “karena mereka masing-masing mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri” (Kis 2:6). Di sini sering ditunjuk karunia berbahasa Roh (bdk. 1 Kor 12:10). Namun menurut hemat saya, halnya jauh lebih mendalam. Dalam mukjizat Pentakosta itu diungkapkan betapa berkat karunia Roh Kudus pewartaan Injil dapat diterima oleh segala bangsa yang ada “di bawah kolong langit”. Dalam keseluruhan Kis 2, sesudah kotbah Petrus, orang-orang yang tadi tercengang-cengang dan termangu-mangu (Kis 2:12) terbuka hatinya terhadap pewartaan Injil. Mereka menjadi terharu (Kis 2:37) dan menyediakan diri dibaptis. “Orang-orang yang menerima pewartaannya itu memberi diri dibaptis” (Kis 2:41). Keterbukaan hati dan kesediaan diri untuk dibaptis menunjukkan bahwa segala bangsa dengan segala kebudayaannya sebenarnya adalah orang-orang yang memiliki kerinduan hati akan berita keselamatan Allah melalui Yesus Kristus itu. Dengan kata lain, segala bangsa dengan segala kebudayaannya yang beranekaragam itu memiliki kesesuaian dan compatible dengan Injil Yesus Kristus berkat karunia Roh Kudus. Namun sekaligus harus dikatakan bahwa Roh Kudus kini membagikan dan menghadirkan karya keselamatan Allah yang terlaksana melalui Kristus itu kepada setiap orang sesuai dengan seluruh kebudayaannya dan situasi hidupnya. 5. Tahap-tahap inkulturasi Ada banyak pendekatan dalam usaha inkulturasi. Kadang-kadang orang juga berbicara mengenai tahap-tahap inkulturasi. Masalahnya, 138 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005 apabila itu disebut tahap-tahap, orang-orang sering berbicara sekaligus mengenai tahap yang berbeda-beda dalam bidang yang berbeda-beda. Dari sekian macam pandangan mengenai tahap inkulturasi, kita bisa menyebut 4 macam tahap, dengan mengambil contohnya pada bidang liturgi14 . Pertama ialah tahap imposition atau pengambil-alihan. Maksud tahap imposition ialah bahwa orang mengambil alih atau menggunakan begitu saja rumusan atau teks ajaran atau teks liturgi sesuai dengan rumusan aslinya, tanpa penerjemahan sama sekali. Misalnya saja kita merayakan misa dalam bahasa Latin atau Inggris. Tahap ini sebenarnya belum termasuk inkulturasi. Akan tetapi kita sudah menyebutnya di sini, karena bagaimanapun juga si subyek yang menghayatinya sudah berasal dari budaya lain. Kiranya mudah dibayangkan bahwa dalam misa yang berbahasa Inggris antara orang Jawa di Yogyakarta yang merayakan misa dan orang-orang Inggris asli dari London tentu ada perbedaan penghayatan dan suasana. Kedua ialah tahap penerjemahan. Pendekatan ini sudah menjadi bagian proses inkulturasi, dalam mana rumusan dan ajaran iman Gereja atau tradisinya (termasuk liturgi dan katekese) diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Penerjemahan sendiri pasti suatu usaha yang tidak mudah, sebab ketika kita membahasakan suatu istilah asing ke dalam bahasa setempat, kita harus mempertimbangkan segala seginya, seperti dari sudut linguistik, antropologis, sosiologis, tentu saja teologis, biblis dsb. Orang harus membedakan mana yang pokok dan mana yang iringan atau tidak pokok. Model atau tahap penerjemahan ini amat umum terjadi sekarang ini. Kita mempunyai terjemahan Kitab Suci, ajaran Gereja, katekismus, teks-teks liturgi, nyanyian-nyanyian liturgi, jangan lupa pula: doa Bapa Kami, Salam Maria dsb. Penerjemahan sendiri bukanlah model yang jelek. Ini perlu dan mempunyai banyak keuntungan. Paling tidak kesetiaan kita akan tradisi iman Gereja dijaga baik. Contoh penerjemahan yang luar biasa cocok dengan citarasa kita ialah lagu Ndherek Dewi Maria, O Kawula menika, Gusti ulun yang aslinya berbahasa Belanda. Ketiga ialah tahap penyesuaian (adaptation). Penyesuaian sering dipandang sebagai langkah yang lebih maju dan mendalam daripada sekedar penerjemahan. Tahap penyesuaian ini sudah termasuk proses inkulturasi yang baik. Pada tahap ini, unsur-unsur budaya sudah bisa masuk “asal selaras dengan hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli” (SC 37). Konstitusi Liturgi berbicara mengenai aptatio dan accomodatio. Kata aptatio biasa dihubungkan dengan wewenang Konferensi para uskup untuk 14 Keempat tahap ini mengikuti rangkuman Peter Schineller SJ, Inculturation of the liturgy, dalam Peter Fink, The New Dictionary of Sacramental Worship, Dublin: Gill and Macmillan, 1990, 598-599. E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia 139 membuat penyesuaian seturut apa yang tertera dalam norma liturgi dan penyesuaian itu perlu mendapat pengakuan dari Tahta Suci. Sedangkan istilah accomodatio menunjuk pada wewenang setiap pelayan perayaan liturgi untuk mengadakan penyesuaian sesuai dengan petunjuk buku-buku liturgi15 . Contoh penyesuaian dalam bidang liturgi ialah tarian pada prosesi perarakan pembuka di bagian Ritus Pembuka, persiapan persembahan dan perarakan penutup pada perayaan Ekaristi, sungkeman dalam liturgi perkawinan dan tahbisan, nyanyian-nyanyian liturgi menurut corak musik daerah, penggunaan pakaian adat dalam liturgi dsb. Keempat ialah tahap inkulturasi. Inilah tahap paling mendalam. Dalam praktek, tahap ini tidak mudah dicapai. Cirikhas dari tahap inkulturasi ini ialah bahwa unsur budaya setempat tetap, tetapi roh atau maknanya telah diterangi atau “dibaptis” oleh Injil Yesus Kristus. Contoh inkulturasi yang mendalam dan betul ialah teologi dan liturgi Paskah. Istilah dan tradisi Paskah berasal dari Perjanjian Lama. Orang Yahudi merayakan pesta Paskah. Namun dengan peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus, Paskah Yahudi itu diberi isi baru. Berbagai simbolnya masih dalam lingkungan Yahudi, tetapi isi dan maknanya sudah betul-betul baru. Bahkan Gereja berhasil menghubungkan makna Paskah Yahudi dan makna Paskah kristiani. Dalam inkulturasi yang baik, entah bagaimana budaya setempat dapat memperoleh titik hubungnya dengan iman kristiani, dan inkulturasi ini bahkan ikut mendorong orang untuk memuliakan Sang Pencipta dan memperjelas rahmat Sang Penebus (AG 22). Entah bagaimana dalam inkulturasi, seluruh budaya manusia mendapat kepenuhan dan kegenapannya dalam diri Yesus Kristus, karena “Ia sebagai manusia yang sempurna menyelamatkan semua orang dan merangkum segalanya dalam Diri-Nya” (GS 45). Seraya mengakui inkulturasi sebagai proses yang sulit (Redemptoris Missio no. 52), Paus Yohanes Paulus II memberikan patokan proses inkulturasi dengan dua prinsip: “(1) kesesuaian dengan Injil dan (2) persekutuan dengan Gereja semesta” (Redemptoris Missio no. 54). Di samping itu diakui oleh Sri Paus bahwa proses inkulturasi perlu dilakukan pelan-pelan dan perlu melibatkan seluruh umat Allah dan bukan hanya segelintir orang ahli saja karena umat beriman secara keseluruhan memiliki ‘sensus fidei’ yang tak boleh diabaikan (Redemptoris Missio no. 54). 6. Tantangan inkulturasi Gereja pada beberapa bidang Bidang inkulturasi yang paling sering dibicarakan adalah inkulturasi liturgi. Akan tetapi harus dikatakan dengan tegas di sini bahwa masalah inkulturasi tidak hanya menyangkut bidang liturgi saja, melainkan semua 15 A.J., Chupungco, Cultural Adaptation of the Liturgy, New York: Paulis Press, 1982, 49. 140 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005 bidang kehidupan Gereja. Dalam Anjuran Apostolik pasca Sinode para Uskup Asia, Ecclesia in Asia16 , disebut bidang-bidang kunci inkulturasi yang perlu diperhatikan dan dilakukan di Asia, yakni “refleksi teologis, liturgi, pendidikan para imam dan religius, katekese dan spiritualitas” (no. 21). Kita singgung bidang-bidang itu, sambil menyebut tantangan dan kemungkinannya ke depan17 . Bidang inkulturasi teologi. Pada tahun 1970, para Uskup Asia telah membuat suatu komitmen historis, yakni ingin mengembangkan suatu teologi pribumi yang merefleksikan dan mengerjakan bagaimana hidup dan warta Injil dapat berinkarnasi dalam budaya di Asia. Konteks khusus yang ada di Asia ialah dialog dengan tiga hal: budaya, agama-agama, dan orang-orang miskin. Dialog dalam tiga hal ini (tripple dialogue) menjadi perutusan khas dari Gereja Katolik di Asia dan secara resmi dinyatakan pada sidang pleno FABC (The Federation of Asian Bishops’ Conferences) yang pertama di Taiwan pada tahun 197418 . Teologi Asia mestinya suatu teologi dialog. Salah satu fokus dan yang menjadi prioritas ialah inkulturasi kristologi. Kristologi di Asia perlu mencari jalan dan kemungkinan bagaimana mengungkapkan dan menghayati Yesus Kristus, Sang Penyelamat, dalam budaya dan konteks Asia itu. Di Indonesia, tantangan kita ialah bagaimana menjelaskan diri dan peran Tuhan Yesus Kristus yang diimani Gereja semesta dalam dialognya dengan orang-orang beragama Islam dan keyakinan agama-agama asli yang masih ada. Di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma dan Fakultas Teologi Kepausan Wedabhakti, Kentungan, dikembangkan teologi proyek19 . Teologi proyek ini sebenarnya juga merupakan usaha kontekstualisasi teologi kristiani. Inilah salah satu contoh usaha inkulturasi teologi di antara kita. Bidang pembaharuan biblis. Bidang ini bisa dimasukkan dalam konteks inkulturasi teologi. Ada dua aspek dalam proses inkulturasi pesan biblis: yakni aktualisasi dan inkulturasi 20 . Dalam proses aktualisasi, orang membaca kembali teks Kitab Suci dan menerapkan teks tersebut ke dalam 16 Ecclesia in Asia merupakan dokumen resmi dari Paus Yohanes Paulus II sebagai tanggapan beliau atas hasil sidang sinode para uskup Asia di Roma pada tahun 1998. 17 Bdk. Jacob Theckanath, “Evangelisastion and The Asian Face of Jesus”, dalam S. Dias (ed.), Evangelisation and Inculturation, Bombay: The Pauline Sisters Bombay Society, 2001, 166-197. 18 Thomas C. Fox, Pentecost in Asia. A New Way of Being Church, Maryknoll-New York: Orbis Books, 2002, 37. 19 Teologi proyek menunjuk suatu proses berteologi yang berpangkal tolak dari praksis iman yang kemudian dianalisa menurut interdisipliner. Hasil analisa tersebut dipertemukan dengan Ajaran dan Tradisi Gereja, khususnya yang terdapat dalam Kitab Suci dan Magisterium, kemudian diperkaya dengan berbagai komentar teologis dari berbagai ahli, hingga akhirnya mahasiswa ditantang untuk menemukan atau merumuskan sendiri sintesa teologisnya. Sintesa teologis itu hendaknya merupakan jawaban yang kontekstual dari iman kristiani terhadap permasalahan aktual umat beriman. 20 J. Theckanath, Op.cit., 178. E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia 141 terang kehidupan konkret umat beriman setempat. Dari situ diharapkan ditemukannya pesan yang sesuai untuk zaman kita. Ini dibuat misalnya dalam kelompok-kelompok pendalaman Kitab Suci. Sedangkan dengan proses inkulturasi, diupayakan suatu penerjemahan Kitab Suci sesuai dengan bahasa setempat, seperti bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah. Penerjemahan Kitab Suci itu merupakan karya dan usaha yang amat berat, sulit, dan panjang. Di situ dibutuhkan orang-orang ahli yang pakar Kitab Suci betul tetapi juga ahli bahasa dan seni, dan memiliki daya tahan banting dan ketelitian yang luarbiasa. Ada juga gerakan untuk menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan konteks budaya Asia. Akan tetapi usaha ini baru pada awal dan masih harus terus berkembang. Bidang eklesiologis. Inkulturasi di bidang refleksi teologis mengenai Gereja tentulah sangat penting. Gereja Katolik di Indonesia perlu merefleksikan dan mengembangkan inkulturasi eklesiologi. Gereja di Indonesia berada dalam keanekaragaman budaya daerah, tempat atau pulau, dan kualitas serta kuantitas yang berbeda-beda. Jumlah imam yang begitu banyak di beberapa keuskupan, seperti di Keuskupan Agung Semarang dan Keuskupan Agung Jakarta serta beberapa Keuskupan lain di Jawa dan sarana komunikasi yang relatif mudah tentu amat kontras dibandingkan dengan jumlah imam yang sedikit dan sarana komunikasi yang sangat sulit di daerah Papua. Rama Mangun juga pernah mengetengahkan gagasan mengenai Gereja Diaspora yang sempat ditanggapi secara ramai dan meriah. Persoalan peran awam dalam Gereja juga menjadi pertanyaanpertanyaan eklesiologis yang perlu diperhatikan dalam usaha inkulturasi. Bidang Spiritualitas. Para Uskup Asia menekankan kembali pentingnya pendekatan kontemplatif dari spiritualitas dan doa. Para pemikir Asia berpendapat bahwa Injil Yohanes dalam arti tertentu lebih dekat dengan spiritualitas Asia21 . Kekayaan simbolisme dan dimensi mistik dan batin sesuai dengan Injil Yohanes. Kiranya kekayaan spiritualitas dari budaya di Asia dan di Indonesia khususnya perlu lebih banyak digali karena memiliki nilai-nilai yang amat luhur dan bersesuaian dengan Injil. Misalnya saja: kita bisa mengembangkan spiritualitas kerendahan hati di antara orang kristiani Jawa melalui model penulisan huruf Jawa. Maksudnya, dalam penulisan huruf Jawa, jika suatu huruf didudukkan atau diletakkan pada sebuah tanda huruf (bahasa Jawanya: dipangku), huruf tersebut mati atau menjadi huruf mati. Dengan lain kata, dalam tradisi Jawa diyakini bahwa orang yang ingin diangkat, ditinggikan atau dipuja-puja, katakanlah orang yang sombong, orang itu justru akan jatuh atau “mati”. Tulisan Rama St. Darmawijaya Pr yang berjudul Pengabdian. Panakawan atau Hamba Yahwe22 juga merupakan contoh usaha inkulturasi yang mau mendalami iman 21 Ibid., 176-177. 22 Yogyakarta: Kanisius, 1988. 142 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005 kristiani sebagaimana terdapat dalam Kitab Suci ke dalam simbolisme orang Jawa23 . Bidang pendidikan imam dan religius. Model pendidikan calon imam umumnya mengikuti model dan tradisi Barat, yakni Seminari. Bangunanbangunan Seminari juga biasanya besar, megah, dan bangunan itu umumnya terdiri atas unit-unit besar. Apakah mungkin kita mendidik calon imam dengan menekankan kelompok-kelompok paguyuban yang lebih kecil? Lalu apakah formasi para calon imam dan religius dengan model “nyantrik” juga dapat lebih dikembangkan? Pendidikan religius tentu saja harus mengikuti konstitusi masing-masing tarekat-kongregasi. Apakah kita bisa menemukan model inkulturasi hidup membiara dan pendidikannya 24 yang lebih Indonesia, lebih dekat orang miskin, menekankan paguyuban dan kerjasama dsb? Kiranya hal ini sudah banyak diperjuangkan dan lumayan berhasil. Bidang katekese. Bidang katekese juga menghadapi masalah inkulturasi pula. Saat Gereja Katolik menerbitkan Katekismus Gereja Katolik pada tahun……, para uskup dari Konferensi Waligereja Indonesia ingin membantu umat untuk memiliki buku panduan ajaran iman Gereja Katolik yang selaras dengan ajaran Gereja universal tetapi sekaligus sesuai dengan konteks Indonesia. Dari sana lahirlah atau terbitlah buku Iman Katolik. Buku Informasi dan Referensi dari Konferensi Waligereja Indonesia tahun 199625 . Dalam buku itu, dijabarkan iman Gereja semesta sekaligus dalam konteks khas Indonesia. Bidang liturgi. Inkulturasi liturgi sudah kita bicarakan di atas dalam porsi yang besar. Pada umumnya inkulturasi liturgi di Indonesia belum sangat mendalam. Pada umumnya kita baru sampai pada tahap penyesuaian. Pada tahun 1994 Kongregasi Suci untuk Ibadat dan Tatatertib Sakramen mengeluarkan Instruksi IV tentang Pelaksanaan Konstitusi Liturgi Vatikan II no 37-40 secara benar, yakni mengenai Liturgi Romawi dan Inkulturasi26 . Sebelum mengadakan usaha inkulturasi liturgi, orang perlu membaca instruksi ini, lalu mencari celah-celah kemungkinan pengembangan inkulturasinya. Tata Perayaan Ekaristi Indonesia yang baru (TPE 2005) di satu pihak telah memuat berbagai penyesuaian khas Indone23 St. Darmawijaya merenungkan tokoh Panakawan dalam budaya Jawa sebagaimana terdapat dalam wayang Jawa. Budaya wayang itu terlebih dahulu direnungkan dalam terang iman kristiani dan kemudian pesan budaya Jawa itu diolah sebagai nilai Kristen. Secara khusus direnungkan di sini bagaimana tokoh Panakawan dan Hamba Yahwe memiliki kesamaan sekaligus perbedaannya., Yogyakarta: Kanisius, 1988. 24 Lihat: Cl. Groenen, “Inkulturasi dalam Hidup ‘Membiara’”, Rohani, vol. XXVII, no. 12, 1980, 368-374.382. 25 Yogyakarta: Kanisius dan Obor, 1996. 26 Instruksi ini berjudul: De Liturgia Romana et Inculturatione, edisi terjemahan diterbitkan: Dokpen KWI, Seri Dokumen Gerejawi no.40, 1995. E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia 143 sia, namun di lain pihak merupakan suatu teks TPE yang cukup setia dengan teks Latin dari Ordo Missae yang terdapat dalam Missale Romanum 1970, 1975 dan 2002. 7. Penutup Tema “Indonesianisasi” atau “Inkulturasi Gereja Indonesia” merupakan tema yang besar, sulit dan mencakup macam-macam bidang kehidupan Gereja dan disiplin ilmu. Suatu usaha inkulturasi Gereja Indonesia yang sungguh-sungguh butuh proses waktu yang lama. Belajar dari ratusan tahun perjalanan inkulturasi Gereja sendiri, kita, umat beriman di Indonesia, bisa meyakini bahwa inkulturasi memerlukan proses waktu yang lama, tidak mudah dan perlu discernment bersama. Itulah sebabnya inkulturasi perlu melibatkan begitu banyak ahli dari berbagai bidang dan sekaligus harus juga menyertakan seluruh umat beriman. Meskipun umat beriman pada umumnya bukanlah orang-orang ahli, mereka itu memiliki sensus fidelium dari iman Gereja. Para Bapa Konsili Vatikan II sendiri berkata: “Keseluruhan umat beriman, yang telah diurapi oleh Yang Kudus (lih 1 Yoh 2:20 dan 27), tidak dapat sesat dalam beriman; dan sifat mereka yang istimewa itu mereka tampilkan melalui perasaan iman adikodrati segenap umat, bila ‘dari para uskup hingga para awam beriman yang terkecil’ mereka secara keseluruhan menyatakan kesepakatan mereka tentang perkara-perkara iman dan kesusilaan” (LG 12). Meskipun inkulturasi itu merupakan proyek besar yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama, inkulturasi jelas merupakan tantangan yang pasti dan mendesak bagi Gereja Katolik di manapun. Oleh karenanya kita harus mulai melangkah dengan tindakan konkret untuk mengembangkan inkulturasi ini, yang barangkali saja kecil dan sederhana tetapi memberikan sumbangan yang berarti. Kegiatan-kegiatan kita di komunitas basis, seperti: pendalaman iman umat di lingkungan, pendalaman Kitab Suci, pendalaman kaktekese Liturgi, penyusunan lagulagu liturgi berbahasa daerah oleh para komponis lokal, dst merupakan contoh-contoh konkret dari langkah kecil tetapi berarti itu. Saya yakin apabila semua langkah konkret tersebut dilaksanakan menurut semangat Injil Yesus Kristus dalam ikatan Roh Kudus dan dalam semangat kesatuan dengan Gereja universal, kita berada pada langkah yang tepat dan benar. Semoga kegiatan-kegiatan konkret itu dapat merupakan benih-benih yang ditaburkan dan kemudian bisa bertumbuh, lalu pada saatnya menghasilkan buah-buah yang berlimpah. Semoga saja! *) 144 E. Martasudjita Pr: Doktor Teologi lulusan Universitas Innsbruck, Austria; mengajar teologi dogmatik dan liturgi di Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005 BIBLIOGRAFI Boelaars, H.JW.M, Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005. Calves, J.Y., “Hakikat Inkulturasi”, Rohani, vol XXXII, no. 8, 1986, 260-267. Chupungco, A.J., Cultural Adaptation of the Liturgy, New York: Paulis Press, 1982. Collet, G., Inkulturation, dalam P. Eicher (ed.), Neues Handbuch theologischer Grundbegriffe, München: Kösel, 1991, 394-407. D’Souza, Bishop Patrick, “Keynote Address”, dalam S. Dias (ed.), Evangelisation and Inculturation, Bombay: The Pauline Sisters Bombay Society, 2001, 30-47. Fox, Thomas C., Pentecost in Asia. A New Way of Being Church, MaryknollNew York: Orbis Books, 2002. Gomis, Bishop Oswald, “Evangelisation and Inculturation”, dalam S. Dias (ed.), Evangelisation and Inculturation, Bombay: The Pauline Sisters Bombay Society, 2001, 48-62. Groenen, Cl., “Inkulturasi dalam Hidup ‘Membiara’”, Rohani, vol. XXVII, no. 12, 1980, 368-374.382. Hardawiryana, R. SJ, Umat Kristiani Mempribumi Menghayati Iman Kristiani di Nusantara, seri Cara Baru Menggereja di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2000 Hillman, E., “Inculturation”, dalam Komonchak (ed.), The New Dictionary of Theology, Dublin: Gill and Macmillan, 1990, 510-513. Irrarazaval, D., “Incarnation, Paschal Mystery, Pentecost: Source of Inculturation”, Jahrbuch für kontextuelle Theologien, Aachen: Institut Missio e.V., 1994, 166-190. Kasper, W., “Kirche und Kultur. Evangelisierung und Inkulturation”, dalam Bernhard Fraling dkk (ed.), Kirche und Theologie im kulturellen Dialog, Freiburg im Breisgau-Basel-Wien: Herder, 1994, 157-162. Martasudjita, E., Pengantar Liturgi. Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1999. Pieris, Al., “Inculturation in Asia. A theological reflection on an experience”, Jahrbuch für kontextuelle Theologien, Aachen: Institut Missio e.V.. 1994, 59-72. Theckanath, Jacob, “Evangelisation and the Asian Face of Jesus”, dalam S. Dias (ed.), Evangelisation and Inculturation, Bombay: The Pauline Sisters Bombay Society, 2001, 166- 197. E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia 145