Bab 2 Landasan Teori Bab dua ini akan membahas landasan landasan teori yang akan digunakan untuk meneliti makna dalam lagu Tears. Peneliti akan menggunakan berbagai teori yang berkaitan dengan lagu Tears karya Yoshiki. 2.1 Teori Semantik Untuk lebih memahami dan menemukan makna yang terdapat dalam suatu lirik lagu, diperlukan pemahaman tentang arti makna sebagai dasar dari suatu analisis. Karena itu diperlukan pemahaman mengenai teori semantik untuk mendukung analisis tersebut. Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah‘semaino’yang berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique). Menurut Saussure dalam Parera (2004 : 136), tanda lingustik terdiri dari : 1) Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa. 2) Komponen yang diartikan atau makna dari komponen pertama. Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adaah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referent atau acuan atau hal yang ditunjuk. Jadi, Ilmu Semantik adalah : 1) Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. 2) Ilmu tentang makna atau arti. Hiejima (1991 : 1-3), seorang ahli semantik modern, mengemukakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari makna dari kata, frase, dan kalimat. Menurutnya, bila melihat sebuah makna dengan sudut pandang secara objektif maupun secara fisik, banyak hal yang berbeda dan tidak sesuai. Dalam melihat sebuah makna dalam kondisi seperti itu, lebih baik menggunakan sudut pandang secara subjektif. Hal ini dikarenakan kata atau kalimat merupakan sesuatu yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari dan dari setiap individu akan lahir makna-makna yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. 2.2 Analisis Medan Makna Konsep mengenai medan makna awalnya dipelopori oleh Saussure dalam Parera (2004 : 137). Pada awal analisis linguistik struktural, para linguistik sangat dipengaruhi oleh psikologi asosionistik dalam pendekatan mereka terhadap makna. Ferdinand de Saussere memberikan gambaran tentang hubungan asosiatif makna dengan contoh kata enseignement. Ia membedakan ada (1) kesamaan formal dan semanti, (2) similaritas semantik (butir umum), (3) similaritas sufiks-umum biasa (4) similaritas kebetulan. Diagram analisis asosiasi makna Saussere dapat dilihat di bawah ini. Skema 2.1 Skema Asosiasi Makna Saussure Enseignement Enseigner Element Enseignons Justement Apprentissage Changement etc etc Educaton etc (1) Similaritas formal dan semantik (2) Similaritas semantik Anmement etc (3) Surfiks biasa (umum) (4) Similaritas kebetulan Sumber : Parera (2004 : 138) Bally, seorang murid Saussere, memasukkan konsep medan asosiatif dan menganalisisnya secara mendetail dan terperinci ( Parera, 2004 : 138 ). Ia melihat medan asosiatif sebagai satu lingkaran yang mengelilingi satu tanda dan muncul ke dalam lingkungan leksikalnya. Hal ini digambarkan dalam diagram dibawah ini. Skema 2.2 Skema Medan Asosiatif Bally STRENGTH Plough Patient walk Cow Tilling Endurance Calf Bull Horn Yoke Slowness Sumber : Parera (2004 : 139 ). Ia menggambarkan kata ox : ox menyebabkan seseorang berpikir tentang kata seperti cow, lalu makin jauh orang akan berpikir tentang plow, dan akhirnya tentang strength, dan sebagainya. Misalnya, medan asosiatif ini terjadi dalam kata kerbau bahasa Indonesia. Dengan kata kerbau mungkin seseorang akan berpikir tentang kekuatan atau kebodohan. Maka, medan makna adalah salah satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada similaritas/kesamaan, kontak/hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata. Trier dalam Parera (2004 : 139), salah satu patokan utama linguistik abad dua puluh asumsi bahasa terdiri dari sistem atau satu rangkaian subsistem yang berhubungan. Oleh karena itu, analisis bahasa dipecah – pecah atas subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Hubungan antar unsur dalam sub sistem – sub sistem itu menentukan nilai dan fungsi masing-masing unsur. Dengan demikian, para linguis pun ingin mencari hubungan antara unsur-unsur dalam sistem semantik sebuah bahasa. Trier dalam Parera ( 2004 : 140 ) melukiskan vokabulari sebuah bahasa tersusun rapi dalam medan-medan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpang tindih antarsesama makna. Ia mengatakan bahwa medan makna itu tersusun sebagai satu mosaik. Setiap medan makna itu akan selalu tercocokkan antarsesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa yang tidak mengenal tumpang tindih. Sebagai contoh dituturkan dua medan makna yang ditampilkan oleh Trier. Skema 2.3 Skema Medan Makna Trier pandai cerdik bijak terpelajar berpengalaman terdidik cendekiawan Sumber : Parera ( 2004 : 140 ) Dengan sebenarnya medan makna ini bertentangan dengan pendekatan medan asosiatif makna. Medan asosiatif makna menuntut asosiasi antara kata yang menjadi pusat dan beberapa kemungkinan kolokasinya. Misal dengan menyebutkan kata ”hitam” seorang akan mengasosiasikannya dengan ”putih, negro, kotor, manis, keriting” dan sebagainya. Sebalikanya pendekatan medan makna memandang bahasa sebagai satu keseluruhan yang tertata yang dapat dipenggal atas bagian-bagian yang saling berhubungan secara teratur pula. Dengan demikian kita melihat bahwa pendekatan asosiatif dalam medan makna bergerak naik ke atas sedangkan pendekatan medan makna bergerak dari atas ke bawah. Walaupun pendekatan medan makna yang dikemukakan oleh Trier dalam Parera ( 2004 : 140 ) telah mendapatkan beberapa kecaman dan hambatan, tetapi kepeloporannya telah memberikan beberapa pendekatan yang lebih luwes terhadap medan makna tersebut. Bagaimanapun juga, setiap kata dapat dikelompokkan sesuai dengan medan maknanya. Akan tetapi, perlu diketahui pula bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa. Misalnya, bahasa Indonesia membedakan medan makna melihat atas : melirik, mengintip, memandang, meninjau, menatap, melotot, dan sebagainya. Pendekatan yang luwes ini telah diusahakan oleh G. Matore dengan menggunakan pendekatan bersifat sosiologis. Di samping itu, ada pendekatan luwes yang dikemukakan oleh Lyons, yakni ”hubungan kemaknaan”. Medan makna dapat dilakukan pada kelompok makna tentang tingkat jabatan yang mempunyai batas yang melekat, nasabah keluarga, tata warga. Beberapa studi tentang medan makna dalam bahasa Inggris telah disebutkan dalam bagian lain tulisan ini. Pendekatan medan makna secara asosiatif berguna dalam penelitian psikolinguistik. Sedangkan pendekatan medan makna yang sesuai dengan masing-masing bidang berguna dalam studi sosiolinguistik. Menurut Chaer (2007 : 315 ), kata-kata atau leksem-leksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan atas kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri semantik yang dimiliki kata-kata. Umpamanya, kata-kata kuning, merah, hijau, biru, dan ungu berada dalam satu kelompok , yaitu kelompok warna. Sebaliknya, setiap kata atau leksem dapat pula dianalisis unsur-unsur maknanya untuk mengetahui perbedaan makna antara kata tersebut dengan kata lainnya yang berada dalam satu kelompok. Misalnya, mayat dan bangkai berada dalam satu kelompok, yang perbedaannya terletak pada bahwa mayat memiliki unsur makna /+manusia/ sedangkan bangkai memiliki unsur makna /-manusia/, alias bukan manusia. Kata – kata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata – kata yang berada dalam satu medan makna atau satu medan leksikal. Sedangkan usaha untuk menganalisis kata atau leksem atau unsur-unsur makna yang dimilikinya disebut analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna, atau juga disebut analisis ciri-ciri leksikal. Yang dimaksud medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu ( Chaer, 2007 : 316 ). Misalnya nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu medan makna. Banyaknya unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak sama besarnya, karena hal tersebut berkatian erat dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu. Medan warna dalam bahasa Indonesia mengenal nama-nama merah, coklat, biru, hijau, kuning, abu-abu, putih dan hitam; dengan catatan menurut fisika, putih adalah campuran berbagai warna, sedangkan hitam dalah tak berwarna. Untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda, bahasa Indonesia memberi keterangan perbandingan, seperti, merah darah, merah jambu, dan merah bata. Bahasa Inggris mengenal sebelas nama warna dasar, yaitu white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey. Sedangkan dalam bahasa Hunanco, salah satu bahasa daerah Filipina, hanya terdapat empat warna, yaitu (ma) biru, yakni warna hitam dan warna gelap lainnya; (ma) langit, yakni warna putih dan warna cerah lainnya; (ma) rarar, yakni kelompok warna merah; dan (ma) latuy, yakni warna kuning, hijau muda, dan coklat muda. 2.3 Majas atau Gaya Bahasa Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis (Keraf, 2007 : 112). Gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan yaitu pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak – corak tertentu, seperti yang umum yang terdapat dalam retorika-retorika klasik. Sedangkan majas atau gaya bahasa dalam bahasa Jepang dikenal sebagai bahasa yang menyembunyikan subjek atau tidak menampilkan subjek dalam struktur kalimat. Karena itu penutur dan petutur dianggap sudah memahami posisi masing-masing Contoh : a. Objek , Predikat (ご飯を食べます) b. Keterangan , Predikat (明日行きます) c. Keterangan, Objek, Predikat (昨日、新聞を読みました) Terjemahan : a. Sudah makan b. Besok pergi c. Kemarin membaca buku Sehubungan dengan kalimat di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar subjek orang pertama watashi「私」 disembunyikan karena dianggap petutur atau pendengar sudah mengetahuinya. Keraf (2007 : 113) mendefinisikan gaya bahasa atau majas sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Majas memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. 2.4 Majas Metafora Metafora adalah majas yang mengungkapkan ungkapan secara langsung atau pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan, misalnya kata tulang punggung dalam kalimat “Ayah adalah tulang punggung keluarga”. Ayah dan tulang punggung adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Titik persamaan antara ayah dan tulang punggung adalah sama-sama punya fungsi menopang. Tulang punggung menopang agar badan manusia tegak berdiri, ayah menopang keluarga agar tegak berdiri. Inilah sebabnya kata “tulang punggung” digunakan sebagai metafora untuk menyebut fungsi ayah selaku kepala keluarga yang menopang tegaknya keluarga. Secara etimologis, kata “Majas metafora” berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ‘metaphorá’ “transfer”. Kata ‘metaphorá’ “transfer” berasal dari kata kerja ‘metaphero’ “memindahkan, mentransferkan”. Kata tersebut berasal dari kata ‘meta’ “antara” + ‘phero’ “membawa, menggerakkan”. Majas metafora sering digunakan untuk memahami konsep suatu entitas dengan cara memahami entitas yang lain dan untuk mendeskripsikan sesuatu secara indah karena mengandung muatan nilai rasa tertentu. Dalam contoh berikut kita dapat merasakan nilai rasa yang tersirat dalam majas metafora matahari, tulang punggung, dan tikus (Julius, 2009) Searle (1986 : 76) mengungkapkan bahwa metafora adalam makna maksud. Pembicara bermaksud yang lain ketika ia mengujarkan satu kata atau kalimat. Jika seorang mengatakan “Sally is a block of ice”, tentulah pembicara itu mempunyai maksud yang lain terhadap makna kata dan kalimat tersebut. Metafora adalah salah satu majas yang sering digunakan di Jepang. Karena dalam karya sastra Jepang cukup sering ditemui dalam bentuk majas metafora. Menurut Sato (1992) : 古代から、 現喩ひゆはつねにレトリックの中心的な関心のまとであ る。一九世紀後半に古典レトリックがすっかり見捨てられたのちも、 隠喩だけはいつも哲学者、 時人たちの卿味をひきつづけている。か ぞえてみることなどとても不司研究され書かれてきた隠喩かれてき た論の書物や論文は、何百、 いや何千か、 数知れず、隠喩にかか わる問題はもう出つくしているのではないかとさえ思われるありま だ. Terjemahan : “Sejak zaman dahulu, bahkan sampai sekarang, metafora selalu menjadi titik perhatian dalam retorika. Pada paruh kedua abad kesembilan belas, retorika klasik telah benar-benar ditinggalkan, namun hanya metafora yang terus menarik minat para filsuf dan penyair. Jika dihitung, memang tidak mungkin, namun, buku-buku dan disertasi mengenai teori metafora yang telah diteliti terdapat ratusan, ribuan, bahkan tidak terhitung. Pertanyaan mengenai metafora pun telah muncul, bahkan masih dipikirkan hingga sekarang. “ Pengunaaan majas metafora juga sering terdapat dalam haiku atau puisi Jepang. Seperti contoh haiku karya Hitomaro Kashu (1294) : あさずくひ 迎いの山に 月建てるみゆ (Bulan yang baru akan segera datang, kemudian matahari akan terbit bersinar terang dibalik gunung) . 「月建てるみゆ」 yang dimaksud disini bukan berarti mendirikan bulan, tapi berarti bulan yang baru akan segera datang, yang bisa berarti pula akan berganti bulan (Brower, 1997 : 5) Hiroshi (2001) menjelaskan mengenai majas metafora sebagai berikut : 読みやすく、分かりやすい文章には比喩やたとえ話が欠かせません。 抽象的で理解しにくい内容でも、 適切な比喩があれば、 読者はす っ きりと理解できます。 しかし、適切な比喩を見つけるのは難し いも のです。 「例えば」と言えばいいというものではありません。 適 切な比喩を使うには以下のような注意が必要です。 読者が理解 しや すい内容であること。 説明したい内容よりも難しい比喩を使 っては いけません。 また、読者がよく知らない分野からたとえ話 を引いてきてはいけません。 「読者のことを考える」という大原 則を忘れてはいけません。 Terjemahan : “Untuk lebih mudah memahami suatu kalimat maka pengertian mengenai majas metafora dan perumpamaan adalah hal yang penting. Bahkan untuk tingkat bacaan yang abstrak, jika pembaca memiliki pemahaman tentang majas metafora yang baik maka akan dapat memahami suatu kalimat dengan jelas. Walaupun begitu terkadang sulit memahami atau menentukan suatu metafora dengan tepat. Misalnya tidak menemukan kata yang pas untuk mengekspresikan kalimat tersebut. Walaupun begitu ada beberapa cara supaya pembaca lebih mudah memahami metafora tersebut. Seperti penulis tidak perlu menggunakan metafora yang sangat susah di dalam tulisannya. Karena pembaca terkadang berasal dari daerah atau bidang pekerjaan yang berbeda-beda, karena itu sebaiknya penulis tidak menggunakan perumpamaan yang sulit. Prinsip dalam memperhatikan pembaca tidak boleh dilupakan.” Berdasarkan kutipan yang di atas maka majas metafora lah yang akan dijadikan landasan teori untuk menganalisis makna yang terdapat dalam lagu Tears karya Yoshiki.